Tuesday, March 31, 2020

Terapi Untuk Dhini

“Senyum-senyum aja liat apaan sih Fan?”
“Ah nggak, ini liatin foto temen gue di instagram. Akhirnya dia punya anak juga setelah 5 tahun lebih nikah.”
“Oh gitu yaa.”
“Eh, aduh, hmm, sorry Dhin, gue nggak ada maksud...”
“Hehe udah nggak papa kali Fan.”

Fanny merasa tak enak dengan sahabatnya itu karena baru saja menyinggung hal yang bersifat sensitif. Dhini Aminarti, seorang artis cantik yang sekarang berusia 33 tahun itu adalah sahabatnya. Dhini sudah hampir 7 tahun menikah dengan Dimas Seto tapi sampai sekarang belum punya anak. Sudah bermacam usaha mereka lakukan tapi sampai sekarang belum mendapatkan hasil juga. Karena itulah Fanny yang keceplosan langsung tak enak pada Dhini, tapi untung Dhini tak menanggapinya serius, meskipun didalam hatinya sempat merasa tersindir, tapi dia tau Fanny tidak ada niat menyindirnya.

“Seneng banget ya temen lo Fan, akhirnya punya anak juga.”
“Hmm, iya Dhin, hehe” jawab Fanny dengan canggung.
“Tapi kok dia juga ampe 5 tahun baru punya anak ya Fan?”
“Hmm, nggak papa nih Dhin gue cerita?”
“Yaa nggak papalah, cerita aja.”
“Jadi gini Dhin, temen gue ini dulu pernah periksa waktu udah 2 tahun nikah, kenapa kok belum punya anak juga. Nah kata dokternya, sebabnya ya dari dia sama suaminya”
“Dia sama suaminya? Maksudnya?” Dhini mulai penasaran.
“Iya Dhin, kata temen gue, dokter itu bilang kalau kandungannya emang lemah, trus makin ditambah sama kualitas benih suaminya yang kurang bagus, ya bisa dibilang lemah gitu deh. Trus temen gue mulai nyari solusi gitu kan, nah katanya sejak setahun lalu dia ikut terapi sama ahli kandungan gitu, eh nggak taunya sekarang udah bisa punya anak.”
“Oh ya? Setahun terapi sekarang udah punya anak? Berarti cuma sekitar 3 bulan udah hamil dong? Ahli kandungan dimana Fan?”
“Iya Dhin, sebenernya gue udah lama tahu sih, cuma gue nggak enak mau cerita sama lo. Kalau soal terapinya dimana gue juga nggak tahu sih. Apa mau gue tanyain ke dia?”
“Hmm, yaa boleh aja sih, tapi jangan bilang kalo gue yang nanya ya Fan.”
“Iya Dhin lo tenang aja. Entar kalo udah tau gue kabarin lo.”
“Oke makasih ya Fan.”

Sejak obrolan dengan Fanny itu Dhini terus kepikiran. Dia memang pernah periksa dulu bareng suaminya, dan memang ada permasalahan yang sama seperti yang diceritakan oleh Fanny tadi soal temannya. Dhini berpikir, kalo masalah mereka sama, siapa tau dia bisa juga dapat solusi, dan akhirnya bisa punya anak juga. Karena selama ini dia cukup tertekan, terutama dari keluarganya. Padahal teman-teman seumurannya yang udah lama nikah, anaknya malah sudah ada yang 2 atau 3.

Dhini kemudian pamit kepada Fanny untuk pulang. Dia pengen cepat-cepat bertemu dengan suaminya untuk memberi tahu tentang cerita Fanny tadi. Siapa tahu suaminya setuju untuk ikut terapi itu. Sesampainya dirumah ternyata suaminya belum pulang karena masih dilokasi syuting, tapi waktu sudah cukup sore, pasti suaminya sebentar lagi akan pulang. 2 jam kemudian akhirnya Dimas sampai dirumah, dia disambut dengan hangat oleh Dhini. Setelah mandi dan makan malam, sambil bersantai Dhini mengajak Dimas untuk membicarakan tentang obrolannya dengan Fanny tadi siang.

“Eh pa, ada yang mau mama omongin deh.”
“Soal apa ma?”
“Jadi gini, tadi siang itu kan mama main ketempatnya Fanny, nah disitu tadi kita ngomongin soal temen dia.”
“Hayoo ngegosip ya pasti?”
“Eh enggak pa, bukan ngegosip. Dengerin dulu dong...”
“Hehe bercanda ma. Trus gimana? Temennya Fanny kenapa?”
“Temennya Fanny itu baru aja punya anak, padahal mereka nikahnya udah 5 tahun lebih lho.”
“Oh ya? Lama juga ya?”
“Iya, trus kata Fanny, sebenarnya temennya itu sama suaminya, ternyata punya masalah yang sama kayak kita pa.”
“Oh gitu, jadi sama-sama lemah gitu ma?”
“Iya pa, abis periksa itu mereka nyari-nyari solusi, ya sama kayak kita lah. Terus katanya tahun kemarin mereka ikut terapi, eh berhasil pa”
“Wah, tokcer banget dong? Terapi dimana itu ma? Terus terapinya kayak gimana?”
“Belum tahu pa, tadi Fanny masih mau nanya sama temennya. Nanti kalo udah dapat kabar, papa mau nggak nyobain terapinya?
“Ya mau mau aja ma, siapa tahu kan kita nanti juga bisa punya keturunan.”
“Yaudah, ntar kalo udah dapat kabar dari Fanny, mama kasih tau papa deh.”

Dhini lega karena suaminya bersedia untuk ikut terapi itu. Bahkan dia senang sekali karena suaminya terlihat cukup antusias. Meskipun dia belum tahu seperti apa terapi yang dijalani oleh teman Fanny, tapi setiap mendengar hal seperti itu Dhini selalu tertarik untuk mencoba, karena sudah terlalu lama dia dan Dimas menunggu untuk punya momongan.

Sudah seminggu ini belum ada kabar dari Fanny, padahal setiap hari Dhini selalu menunggunya. Dia mau tanya langsung ke Fanny tapi tidak enak karena dia juga tahu kalo Fanny sedang sibuk. Tapi karena sudah terlalu lama menunggu akhirnya Dhini tak tahan juga, diapun pergi kerumah Fanny. Kebetulan Dhini tahu kalau Fanny sedang ada di rumah dari status bbmnya. Siang itu dia sendirian menembus padatnya kemacetan Jakarta hingga sejam kemudian sampailah ke rumah Fanny. Kebetulan Fanny sedang bersantai di teras rumahnya.

“Hei Dhin, kok nggak kabar-kabar kalau lo mau kesini?”
“Hehe iya Fan, tadi pas kebetulan gue ada acara di deket sini, makanya sekalian mampir. Lo nggak lagi sibuk kan?”
“Oh nggak kok, yuk masuk dulu.”

Dhini pun masuk mengikuti Fanny. Mereka langsung menuju ke bagian belakang rumah yang ada kolam renangnya. Mereka berdua kemudian duduk di kursi yang memang disiapkan Fanny disitu untuk bersantai.

“Gimana kabar lo Dhin?”
“Alhamdulillah sehat kok Fan, lo sendiri gimana?”
“Yah kayak yang lo liat ini, masih segar bugar kan, hehe.”
“Iya, tetep cantik kok lo Fan, hehe.”
“Haduuh, ngeledek apa gimana nih? Cantikan lo kemana-mana lah.”
“Yee serius Fan, siapa juga yang ngeledek.”
“Haha iya deh, gue ngikut aja.”
“Hehe gitu dong. Hmm, oh iya Fan, soal yang minggu lalu, udah lo tanyain ke temen lo?”
“Astaga, iya Dhin, gue sampai lupa ngasih tahu lo. Bentar ya lo tunggu disini.”

Fanny pun beranjak meninggalkan Dhini dan masuk ke dalam rumah. Tak lama kemudian wanita cantik seumuran Dhini itu kembali lagi dengan membawa secarik kertas.

“Ini Dhin, gue udah dapet alamatnya. Namanya Dokter Candra, dia ahli kandungan. Dokter Candra ini sebenarnya nggak buka praktek di rumahnya, dia cuma kerja di rumah sakit aja. Tapi meskipun gitu katanya udah banyak yang terapi sama dia dan sukses.”
“Wah di luat kota ya? Terus, model terapinya gimana Fan?”
“Kalau itu temen gue bilang sesuai sama kondisi pasiennya, jadi terapinya beda-beda. Kalau temen gue katanya dikasih kayak obat-obatan herbal gitu. Awalnya sih konsultasi dulu, terus dia periksa kondisi rahim temen gue sama kualitas sperma suaminya.”
“Waduh, diperiksa rahimnya? Sama dia?”
“Oh nggak kok, dia dibantu sama orang lain. Kalau ada pasien cewek dia biasa manggil temennya, bisa perawat, bidan atau juga dokter kandungan yang cewek.”
“Oh gitu. Wah kalau gitu entar gue cobain deh, gue bilang sama Dimas nanti.”
“Iya Dhin, cobain aja, siapa tahu kan jodoh lo terapi sama tu dokter.”
“Makasih banget ya Fan buat bantuannya.”
“Iya sama-sama.”

Dhini sebenarnya sudah ingin pulang dan cepat-cepat memberi tahu suaminya, tapi rasanya kurang etis kalau langsung pulang. Karena itulah dia masih tetap berada di rumah Fanny untuk sekedar ngobrol basa-basi. Sekitar jam 5 sore barulah Dhini pamit pulang. Sesampainya di rumah ternyata mobil suaminya sudah ada di rumah, ternyata Dimas juga baru sampai.

“Loh ma, darimana?”
“Dari tempat Fanny pa. Papa baru pulang?”
“Iya baru banget ini masuk rumah, terus denger mobil mama masuk. Gimana, udah dapat info dari Fanny?”
“Iya pa, nih,” Dhini menyodorkan kertas yang tadi diberikan oleh Fanny.
“Dokter Candra? Ini alamat rumahnya ya?”
“Iya pa, itu alamat rumahnya, di luar kota sih. Masuk dulu aja yuk pa, entar mama ceritain.”

Mereka berdua pun masuk ke dalam rumah. Karena sudah tak sabar Dhini pun bercerita semua informasi tentang Dokter Candra yang dia dapat dari Fanny tadi. Mendengar cerita istrinya itu Dimas semakin antusias. Mereka berdua pun sepakat untuk pergi ke rumah Dokter Candra pada hari minggu nanti, dimana kebetulan keduanya tidak ada jadwal syuting.

Pada hari minggunya, sekitar jam 8 pagi Dhini dan Dimas sudah bersiap menuju rumah Dokter Chandra. Berbekal alamat yang diberikan oleh Fanny mereka berdua berangkat. Rumah Dokter Candra ini ternyata cukup jauh jaraknya dari rumah mereka berdua. Setelah mencari-cari akhirnya mereka menemukan alamat itu. Rumahnya cukup besar, tapi lingkungan di sekitarnya termasuk sepi. Jam sudah menunjukkan pukul 10 lewat saat mereka turun dari mobil dan mengetuk pintu rumah Dokter Candra.

“Eh loh, Dimas Seto dan Dhini Aminarti kan?” tanya Dokter Candra yang terkejut dikunjungi oleh 2 orang artis ibukota.
“Iya. Anda, Dokter Candra?” tanya Dimas.
“Iya benar. Mari mari silahkan masuk.”

Dimas dan Dhini masuk dan dipersilahkan duduk oleh Dokter Candra di ruang tamunya.

“Wah, ada apa ini kok tiba-tiba artis ibukota datang ke rumah saya? Dan, kok tahu nama saya ya?” tanya Dokter Candra.
“Hmm, begini dok, maaf sebelumnya. Saya tahu Dokter Candra dari teman saya namanya Fanny, dia bilang temennya yang namanya Bella pernah terapi kehamilan sama dokter dan katanya sukses,” jawab Dhini.
“Bella?” Dokter Candra mengernyitkan dahinya, mencoba mengingat-ingat nama itu.
“Iya dok, Bella. Setahun lalu dia terapi sama dokter dan sekarang udah punya anak.”
“Ooh Bella yang itu, iya iya. Tapi udah lama dia nggak kemari mbak, setelah positif hamil itu kayaknya, makanya agak lupa saya. Hmm, jadi tujuannya kesini?”
“Gini dok, mungkin dokter udah tahu kalau kami udah lama nikah dan belum dikaruniai anak. Kami ingin konsultasi sama Dokter Candra, dan mau terapi sekalian kalau bisa,” jawab Dimas.
“Oh gitu ya. Hmm, gimana yaa...”
“Berapapun biayanya kamu sanggup kok dok.”
“Wah, bukan masalah biaya kok mas Dimas. Saya nggak pernah matok berapa, kalau ada yang minta tolong ya saya bantu, bahkan kalau terapinya ternyata gagal saya gratiskan. Cuma, mas dan mbak kan datang jauh-jauh kesini, cuma sayanya belum persiapan apa-apa. Coba kalau mas dan mbak nelpon saya dulu kan saya bisa persiapan. Pada dasarnya saya sih mau aja, cuma mungkin belum bisa mulai sekarang, soalnya kan harus meriksa mas dan mbak dulu.”
“Hmm, terus gimana dok?”

Dokter Candra kemudian terdiam, dia terlihat sedang berpikir. Dimas dan Dhini menunggu dengan cemas. Memang salah mereka tidak mencari tahu nomer yang bisa dihubungi sehingga bisa membuat janji dan Dokter Candra juga bisa persiapan. Mereka terlalu antusias sampai lupa hal sepele itu.

“Ya udah gini aja, mas dan mbak kan udah datang jauh-jauh dari Jakarta, gimana kalau saya periksa mas Dimas dulu aja? Kalau mbak Dhini nanti saja soalnya kan yang meriksa bukan saya, kecuali mbak Dhini nggak keberatan saya periksa sekarang.”
“Hmm, emang periksa apa ya dok?”
“Saya periksa dulu tingkat kesuburan dari mas dan mbak dulu, biar saya bisa nentuin terapi apa yang pas buat kalian berdua.”
“Tingkat kesuburan? Berarti dokter mau periksa, hmm, sperma saya dan rahim istri saya?”
“Iya begitulah kira-kira mas.”
“Gimana ma?” tanya Dimas kepada Dhini.
“Hmm, apa nggak sebaiknya saya diperiksa sama dokter yang cewek aja dok? Saya denger dulu Bella juga gitu.”
“Ya makanya saya bilang tadi, kalau buat mbak Dhini jelas nggak bisa sekarang karena nggak ada yang bantu saya. Kalau mas Dimas sih mungkin bisa.”
“Kalau sekarang, saya harus gimana dok?”
“Nanti mas saya kasih botol, terus mas keluarin sperma mas di botol itu, biar besok saya bawa ke rumah sakit buat dicek, gimana?”
“Hmm yaudah, nggak papa deh kalau gitu. Terus saya ngeluarinnya gimana dok?”
“Kalau mau ngeluarin sendiri bisa di kamar mandi mas, kalau mau sama istrinya nanti saya siapin kamar dulu.”

Wajah Dimas dan Dhini merona merah mendengar jawaban dari Dokter Candra. Meskipun mereka tahu Dokter Candra tidak bermaksud aneh-aneh, apalagi dia seorang dokter kandungan, tapi membayangkan mereka bercinta di rumah orang, dan pemilik rumah itu sedang menunggu mereka, rasanya akan membuat mereka sangat risih. Dimas menatap Dhini dan mendapat jawaban gelengan kepala dari istrinya itu.

“Yaudah biar saya keluarin sendiri aja dok.”
“Yaudah kalau gitu saya ambilkan dulu botolnya.”

Dokter Candra masuk ke dalam meninggalkan Dimas dan Dhini. Suami istri itu masih terdiam dengan pikirannya sendiri-sendiri. Tak lama kemudian Dokter Candra kembali dan mengajak Dimas menunjukkan letak kamar mandinya. Setelah Dimas masuk ke kamar mandi Dokter Candra kembali ke ruang tamu menemui Dhini dengan membawa beberapa lembar kertas. Dhini sendiri pikirannya sudah kemana-mana membayangkan suaminya sedang onani di rumah orang.

“Sambil menunggu mas Dimas, saya mau tanya beberapa hal kepada mbak Dhini. Dan maaf sebelumnya, pertanyaan ini agak pribadi, tapi saya harap mbak Dhini bisa menjawabnya dengan jujur, demi kelancaran terapi ini, gimana mbak?”
“Hmm, baik dok, silahkan.”
“Oke. Kalau boleh tahu, seberapa sering intensitas mbak Dhini dan suami berhubungan badan?”
“Hmm, nggak pasti sih dok. Kalau kita lagi longgar seminggu bisa 3 kali. Tapi kalau lagi sama-sama sibuk dan kecapekan syuting, kadang sebulan cuma 2 kali.”
“Kapan terakhir mbak Dhini berhubungan badan dengan suami?”
“Hmm, itu, semalam dok.”

Dokter Candra masih terus menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan aktivitas ranjang Dhini dan Dimas, dan menulis jawaban-jawaban Dhini di kertas yang dia bawa. Dhini sebenarnya malu menjawabnya tapi dia berpikir demi kelancaran terapinya, tidak ada salahnya menjawab jujur, apalagi Dokter Candra adalah dokter kandungan yang pasti sudah tidak asing dengan aktivitas seperti itu.

Sekitar 15 menit kemudian Dimas sudah kembali dengan botol yang sudah terisi spermanya, tapi Dimas menutupinya dengan menggenggam erat. Diapun menyerahkan botol itu kepada Dokter Candra. Dokter Candra menerimanya dan sedikit mengernyit waktu melihatnya, karena sperma Dimas terlihat encer, tapi dia belum mau berkomentar karena menjaga perasaan Dimas di depan istrinya.

“Oke kalau begitu, saya rasa ini cukup dan besok akan saya periksa di rumah sakit.”
“Lalu kapan kami bisa kesini lagi dok?”
“Minggu depan mas, boleh sabtu atau minggu, tapi kalau bisa dipastikan aja biar saya bisa ngatur jadwal dan juga orang yang akan bantu saya.”
“Kalau gitu sabtu aja ya dok?”
“Oke mas, saya catat. Oh iya, kalau bisa seminggu ini mas dan mbak jangan berhubungan badan dulu, kalaupun berhubungan tolong jangan keluarin sperma didalam, soalnya minggu depan gantian mbak Dhini yang diperiksa.”
“Baik dok.”

Setelah beberapa saat ngobrol Dimas dan Dhini pun pamit pulang. Dalam perjalanan mereka membahas tentang terapi yang akan dilakukan. Dhini juga bercerita tentang pertanyaan-pertanyaan Dokter Candra tadi.

Seminggu kemudian, tepatnya hari sabtu pagi, Dhini dan Dimas sudah dalam perjalanan menuju rumah Dokter Candra. Kali ini mereka sudah menghubungi Dokter Candra agar ketika sampai nanti semua sudah dipersiapkan. Dhini dan Dimas datang bersamaan dengan seorang wanita yang datang mengendarai motor. Mereka sempat berkenalan, ternyata wanita itu adalah Susi, bidan yang dimintai tolong oleh Dokter Candra.

Hari itu Dhini diperiksa oleh Susi di sebuah kamar sementara Dokter Candra dan Dimas menunggu di ruang tamu membahas hasil tes pada sperma Dimas. Ternyata dari hasil tes itu sperma Dimas memang terlalu encer dan kondisinya pun lemah bahkan untuk membuahi rahim yang sehat sekalipun. Dimas terlihat sedih mendengarnya tapi kemudian Dokter Candra memberikan kepadanya sebuah botol yang berisi beberapa tablet obat. Dokter Candra mengatakan itu adalah obat herbal yang bisa membantu meningkatkan kesuburannya.

Tak lama kemudian Dhini dan Susi keluar dari kamar dan bergabung dengan Dokter Candra dan Dimas. Disana mereka membahas tentang terapi selanjutnya yang akan dilakukan, dan kembali Dokter Candra berpesan agar selama seminggu ini jika Dhini dan Dimas berhubungan badan jangan sampai mengeluarkan spermanya di dalam rahim Dhini. Mereka kemudian membuat janji lagi minggu depannya untuk bertemu lagi.

Tapi sayang sekali minggu depannya Dimas diharuskan syuting karena ada perubahan jadwal mendadak. Dia harus berangkat ke Bandung selama 2 hari. Dia berpesan kepada Dhini untuk mengabari Dokter Candra bahwa mereka tidak bisa terapi untuk minggu ini. Dhini mengiyakan, tapi begitu suaminya berangkat ke Bandung diapun berangkat menuju ke rumah Dokter Candra sendirian. Dhini sebenarnya hanya penasaran saja dengan hasil tes pada rahimnya, karena itu dia memutuskan untuk membohongi suaminya, lagipula dia berpikir yang memeriksanya adalah bidan Susi, sehingga tak perlu khawatir.

Sesampainya di rumah Dokter Candra ternyata Susi sudah datang juga. Dokter Candra pun menanyakan kenapa Dhini hanya seorang diri, dan Dhini menjelaskan kalau suaminya harus keluar kota untuk syuting dadakan.

“Jadi gimana dok sama hasil pemeriksaan kemarin?”
“Gini mbak Dhini, sebenarnya kondisi rahim mbak Dhini ini nggak lemah-lemah amat kok, jika dibuahi oleh sperma yang normal, mbak Dhini bisa hamil. Tapi dengan sperma milik mas Dimas memang agak susah.”
“Emang sperma suami saya kenapa dok?”
“Lho emang mas Dimas nggak cerita?”
“Nggak dok.”
“Hmm, sperma mas Dimas terlalu encer, juga terlalu lemah untuk membuahi rahim yang normal sekalipun, apalagi rahim mbak Dhini. Tapi saya sudah kasih dia obat kok buat meningkatkan kesuburannya.”
“Oh gitu yaa. Terus, ini saya perlu diperiksa lagi nggak dok?”
“Masih sih harusnya. Tapi apa nggak papa mbak Dhini diperiksa tanpa ada suami?”
“Ya nggak papa, yang meriksa mbak Susi kan?”
“Iya mbak, nanti sekalian dikasih krim buat meningkatkan kualitas sel telur mbak Dhini juga.”
“Yaudah dok, diperiksa aja.”
“Oke kalau gitu, silahkan Sus, kamu periksa, sama oleskan krim itu sekalian ya.”
“Baik dok. Mari mbak Dhini.”

Dhini pun mengikuti Susi masuk ke kamar yang minggu kemarin juga dia pakai untuk diperiksa. Di dalam kamar, Susi kembali meminta kepada Dhini untuk membuka celana dalamnya. Kebetulan hari itu Dhini memakai rok panjang sehingga cukup celana dalamnya saja yang dibuka. Dhini kemudian rebahan di ranjang dan membuka kedua kakinya lebar-lebar, seperti minggu lalu. Kini terlihatlah liang kewanitaannya yang gundul karena Dimas selalu meminta Dhini untuk mencukurnya.

Susi mulai melakukan tugasnya. Dengan jarinya dia buka bibir kemaluan Dhini. Dhini merasa kali ini pemeriksaannya berbeda, tidak seperti minggu lalu yang lubang kewanitaannya dimasuki sebuah alat, kali ini jari Susi yang masuk dan seperti mengoleskan sesuatu di dinding vaginanya. Dhini tentu saja merasa geli tapi membiarkannya saja, karena berpikir ini adalah salah satu proses terapi.

Sekitar 5 menit Susi melakukan itu hingga membuat tubuh Dhini beberapa kali menggeliat menahan geli. Dia menutup matanya dan mengatupkan bibirnya menahan desahan yang sedari tadi ingin keluar. Nafasnya sudah tidak beraturan, dan liang kemaluannya sudah mulai basah, tapi Susi masih meneruskan tindakannya. Bahkan dirasakan oleh Dhini jari Susi seperti sedang mengocok vaginanya. Dhini bingung apakah dia harus protes kepada Susi atau tidak, tapi akhirnya memilih untuk diam saja.

“Sssshh aahhh mbaak, sayaa diapaaiiin?” akhirnya Dhini buka suara saking tidak tahannya.
“Saya ngoleskan krim seperti yang disuruh sama Dokter Candra tadi mbak, ini buat merangsang sel telur mbak Dhini. Mau dilanjut apa berhenti dulu mbak?”
“Hmm aahh lanjuut aja dulu mbaak.”

Mendengar itu Susi kembali melanjutkan kocokan jarinya di liang kewanitaan Dhini. Dhini masih berusaha keras menahan desahannya agar tak sampai terdengar keluar kamar, karena disana ada Dokter Candra. Dia pastinya malu sekali jika Dokter Candra sampai mendengarnya. Tanpa disadari oleh Dhini, pintu kamar itu sudah sedikit terbuka dan Dokter Candra bisa melihat apa yang terjadi di dalam. Dia tersenyum melihat Susi yang mengerjai Dhini. Susi pun terlihat tersenyum mengetahui Dokter Candra yang sedang mengintip, dan memberikan kode acungan jempol.

“Mbaak, sshhh aaahhhh, sayyaaa aahh aahh, mbaaaaaaakkkkkhhh...”

Badan Dhini kelojotan dan liang vaginanya mengeluarkan cairan cukup banyak. Dhini orgasme oleh kocokan jari Susi. Setelah itu Susi menarik jarinya dan membiarkan Dhini mengatur nafasnya. Dhini terlihat terengah-engah. Matanya masih tertutup, wajahnya merona merah dan butiran-butiran keringat tampak menghiasi wajahya. Setelah beberapa menit beristirahat, diapun diminta Susi untuk memakai celana dalamnya lagi. Kemudian mereka kembali menemui Dokter Candra yang terlihat asyik bermain game di handphonenya.

“Udah Sus?”
“Udah dok.”
“Gimana mbak Dhini? Apa yang dirasakan?”
“Hmm, itu dok, badan saya kerasa agak hangat, dan, hmm, liang saya terasa sedikit gatal,” jawab Dhini malu-malu.
“Oh nggak papa, itu reaksi dari krim yang diberikan tadi. Kalau terasa gatal di dinding vagina berarti obat itu sedang bekerja mbak.”

Dhini hanya mengangguk saja. Dia memang merasa saat ini vaginanya terasa gatal, sehingga terlihat gelisah sekali duduknya. Kemudian Susi pamit ke belakang meninggalkan Dhini dan Dokter Candra berdua. Disitu kembali Dokter Candra menanyakan beberapa hal kepada Dhini tentang aktivitas hubungan ranjangnya dengan Dimas. Setelah lebih dari 1 jam akhirnya Dhini pamit pulang. Dalam perjalanan Dhini merasa gelisah sekali, dia benar-benar tidak nyaman dengan rasa di liang kewanitaannya. Ingin sekali rasanya menggaruk tapi dia sekarang masih di jalan. Akhirnya Dhini memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Sesampai di rumahnya yang sepi dia langsung menuju kamar dan bermasturbasi sampai mengalami orgasme yang hebat. Dia bahkan mengulanginya sampai 2 kali lagi sampai rasa gatal di vaginanya hilang.

Minggu depannya Dhini dan Dimas kembali pergi ke rumah Dokter Candra untuk meneruskan terapinya. Mereka diterapi di ruangan terpisah lagi. Dhimas hanya diberikan beberapa obat tambahan dan diminta untuk mengeluarkan spermanya lagi, untuk diperiksa apakah ada perkembangan atau tidak, sedangkan Dhini kembali diterapi oleh Susi seperti minggu lalu, sampai dia orgasme lagi. Sebelum pulang Dokter Candra berpesan bahwa mereka sudah boleh berhubungan badan dan meminta Dimas untuk mengeluarkan spermanya di dalam rahim Dhini, lalu meminta mereka berdua untuk datang lagi minggu depannya.

Lagi-lagi minggu depannya Dimas tidak bisa karena harus syuting keluar kota lagi. Seperti sebelumnya, Dimas meminta Dhini untuk mengabari Dokter Candra kalau mereka tidak bisa terapi, tapi kemudian tanpa sepengetahuan Dimas Dhini berangkat lagi seorang diri. Sesampainya disana, Dokter Candra mengatakan hasil pemeriksaan sperma Dimas ternyata sudah menunjukkan hasil yang baik, meskipun masih jauh dari harapan. Dan Dhini kembali diterapi oleh Susi.

Sama seperti 2 minggu sebelumnya, Dhini diminta untuk tidur terlentang dan membuka kedua kakinya. Kali ini Dhini memakai celana panjang jadi mau tak mau dia harus melepaskannya bersama dengan celana dalamnya. Kini Dhini hanya memakai kemeja yang cukup ketat dan jilbab membungkus kepalanya. Susi kembali mengulangi terapinya dengan mengoleskan krim di dinding kewanitaan Dhini. Kali ini Dhini beberapa kali kelepasan sampai desahannya terdengar cukup keras, apalagi beda dengan sebelumnya, Susi sampai memasukan 2 jarinya di vagina Dhini.

Setelah 5 menit Dhini tak kuat lagi menahan orgasmenya hingga tubuhnya kelojotan saat permainan jari Susi membawanya ke puncak kenikmatan. Tapi kali ini Susi tidak berhenti dan terus mengocok kewanitaan Dhini. Dhini yang masih terengah-engah tak sempat protes dan dia membiarkan saja Susi melanjutkan kocokannya. Bahkan kali ini tangan Susi yang satunya mulai menjamah bagian atas bibir vagina Dhini. Ketika menemukan tonjolan biji klitoris Dhini, jari Susi langsung memainkannya. Dhini langsung mendesah panjang akibat rangsangan itu. Dia juga merasa tubuhnya semakin memanas, dan terasa puting susunya semakin keras menggesek cup branya.

Desahan Dhini tak lagi dapat tertahan sampai-sampai dia harus menutup mulut dengan menggunakan tangannya. Tapi permainan jari Susi yang terus menerus membuat libido Dhini kian naik tak tertahankan. Salah satu tangannya tanpa sadar meremasi dadanya sendiri yang masih terbungkus rapat itu. hingga akhirnya Dhini mendesah sangat panjang, pinggulnya sampai terangkat saat dia mendapatkan orgasme keduanya.

“Sshhh aaahh mbaak, udaaahh saya capeekk aahh aahh aahh.” Ternyata Susi terus melanjutkan kocokannya. Protes Dhini tak didengarnya, malah kocokan itu semakin cepat. Dhini yang sudah kecapekan karena sudah 2 kali orgasme akhirnya hanya bisa pasrah saja. Kali ini kedua tangan Dhini sudah berada di dadanya sendiri, meremasnya. Dia biarkan mulutnya terbuka mengeluarkan desahan-desahan erotis. Dhini menutup rata matanya menikmati kocokan jari Susi di vaginanya. Tanpa dia sadari, Dokter Candra sudah berada di dalam kamar itu, sedang menatap vagina indah Dhini yang sudah sangat basah dikerjai oleh Susi.

Dhini masih terus menutup matanya hingga dia tak tahu kalau Dokter Candra sudah mulai melepaskan bajunya satu persatu hingga telanjang bulat. Dokter Candra kemudian mendekat ke arahnya, menunggu Susi membuat Dhini orgasme lagi. Dan tak lama kemudian kembali tubuh Dhini kelojotan sampai pinggulnya kembali terangkat. Dia orgasme untuk yang ketiga kalinya, dan tubuhnya kini benar-benar lemas.

Dhini masih menutup matanya rapat-rapat. Nafasnya masih terengah-engah. Dia merasakan kedua kakinya dibuka semakin lebar. Dia berpikir Susi akan melanjutkan kocokannya, dan dia sudah pasrah bila itu terjadi, karena memang dia merasakan kenikmatan yang tiada tara. Meskipun sudah 3 kali dibuat orgasme, tapi vaginanya masih terasa gatal, seperti ingin digaruk lagi oleh jari-jari Susi.

Dhini kembali merasakan biji klitorisnya digesek-gesek oleh jari Susi. Dia kembali mendesah tertahan menikmati rangsangan yang diberikan. Dia merasakan kini bibir vaginanya dibuka oleh jari Susi, lalu tak lama kemudian sesuatu menempel disana. Dhini yang masih menikmati permainan Susi tak sadar kalau benda yang menempel di bibir vaginanya itu bukanlah jari Susi lagi. Sampai akhirnya benda yang menempel di bibir vaginanya itu memaksa menyeruak masuk, tiba-tiba kesadaran Dhini kembali. Dia terkejut dan langsung membuka matanya.

“Do-dokter, apa yang dokter lakukan?” Dhini terkejut bukan main melihat Dokter Candra sudah berada diantara kedua pahanya, dalam keadaan telanjang bulat, dan ujung kepala kejantanannya sudah menyeruak masuk ke dalam liang senggamanya.
“Ini adalah inti dari terapi yang harus kamu lakukan Dhini.”
“Ja-jangan dok, aaaaaaahhhhhhhhh...” Dhini mendesah panjang saat batang kejantanan Dokter Candra yang sudah keras itu dipaksa masuk hingga melesak memenuhi rongga kewanitaannya.
“Uuuuugghh sempitnyaaa, memek artis memang bedaa.” Erang Dokter Candra waktu batang penisnya sudah terbenam semua di dalam vagina Dhini.

Mulut dan mata Dhini terbuka lebar merasakan benda asing itu memenuhi liang senggamanya. Batang itu, terasa begitu penuh, dia bahkan tak pernah merasa seperti ini selama dengan suaminya. Batang itu lebih besar, dan panjang ketimbang milik suaminya. Tapi segera Dhini tersadar kalau ini tidak boleh terjadi, tapi sudah terlambat. Air mata sontak turun membasahi pipinya.

“Dokter jangaan dok, cabutt dok, keluarin. Ini nggak boleh, ini dosa...”
“Aahh, biar saya yang nanggung dosanya Dhin, kamu nikmati aja, setelah ini kamu bakal hamil, saya jamin itu.”
“Jangan dok, saya nggak mau, sayaaa aahh aahh aahhh...”

Dhini tak sempat menyelesaikan perkataannya saat Dokter Candra menggerakan penisnya maju mundur di vagina Dhini. Batin Dhini berperang, hatinya menolak, tapi tubuhnya menikmatinya. Air matanya masih mengalir, tapi mulutnya mendesah. Dia tak paham dengan kodisinya ini. Sejak menikah dia sudah tak pernah lagi berhubungan dengan pria lain, dan bertekad menjaga tubuhnya hanya untuk dinikmati oleh suaminya saja, tapi saat ini, di ranjang ini tubuhnya sedang dinikmati oleh orang lain, yang baru sebulan ini dia kenal.

Susi sudah tak berada disitu, dia sudah pergi setelah ‘pekerjaannya’ diambil alih oleh Dokter Candra. Dia memang hanya bertugas untuk merangsang dan membuat kewanitaan Dhini siap untuk dimasuki, setelah itu semua menjadi tugas Dokter Candra.

Lelaki itu kemudian terus memompa batang kejantanannya dengan tempo yang semakin meningkat. Dhini tak tahu kenapa dirinya hanya pasrah saja, bahkan liang kewanitaannya semakin menikmati apa yang dilakukan oleh Dokter Candra. Dia tak tahu jika selama ini krim yang dioleskan di vaginanya adalah krim perangsang, yang semakin lama dosis yang diberikan semakin besar, sehingga kini tubuhnya telah sepenuhnya diambil alih oleh hawa nafsunya. Hal ini terlihat dari tubuh Dhini yang mulai bergerak mengimbangi pompaan dari Dokter Candra.

Dhini kembali menutup matanya. Dia tak habis pikir kenapa tubuhnya bisa sebegini pasrah diambil alih oleh nafsunya sendiri, dan begitu menikmati disenggamai oleh orang lain. Dia hanya diam saja waktu Dokter Candra melepaskan kemeja dan bra yang dia pakai sehingga kini dia hanya tinggal memakai jilbabnya saja yang sengaja tidak dibuka. Tubuh Dhini yang ramping, cenderung kurus kini terbuka sepenuhnya dinikmati oleh Dokter Candra.

Kedua tangan Dokter Candra dengan gemas meraba dan meremas buah dada Dhini. Jemarinya sesekali memilin puting susu artis cantik itu. Desahan Dhini kian tak tertahankan memenuhi kamar itu. Dhini bahkan membalas pagutan bibir Dokter Candra tak kalah panasnya. Lidah mereka bertemu dan saling mengait. Kedua tangan Dhini memeluk tubuh Dokter Candra yang kekar itu.

Selama hampir 5 menit dalam posisi itu tubuh Dhini semakin cepat merespon pompaan dari Dokter Candra. Dia kemudian memeluk erat dan menghisap kuat bibir Dokter Candra waktu orgasmenya yang keempat hari itu meledak. Dokter Candra diam sejenak, memberi waktu kepada istri Dimas itu untuk menikmati orgasmenya, sambil mereka berdua tetap berciuman.

Setelah beberapa saat Dokter Candra menggulingkan tubuh mereka berdua hingga Dhini berada di atas. Dalam posisi ini seharusnya Dhini bisa langsung bergerak mengeluarkan penis Dokter Candra dari dalam kemaluannya, tapi yang terjadi justru wanita 33 tahun itu bergerak naik turun memompa batang kejantanan sang dokter. Dokter Candra tersenyum puas melihat Dhini yang sudah takluk oleh nafsunya, meskipun harus dibantu dengan krim perangsang.

Dhini bergerak liar diatas tubuh Dokter Candra, sedangkan lelaki itu hanya diam saja membiarkan Dhini mengambil dominasi permainan. Kedua tangan Dhini bertumpu pada dada bidang Dokter Candra, sementara pinggulnya terus bergerak naik turun. Matanya masih terpejam menikmati tiap gesekan antara permukaan kelamin mereka. Jilbab Dhini sudah sangat berantakan, tapi dia tidak peduli. Yang sekarang ada dalam pikirannya hanyalah mengejar kenikmatan duniawi yang diberikan oleh Dokter Candra. Beberapa menit kemudian tubuh Dhini kembali kelojotan tak tentu mendapatkan orgasmenya lagi. Dia kemudian menjatuhkan badannya menelungkupi tubuh pejantannya.

Dhini sudah terlihat sangat lelah, nafasnya terengah-engah seperti habis berlari kiloan meter. Dokter Candra mengecup kening Dhini, lalu menarik lepas penisnya. Dia kemudian mengatur posisi Dhini seperti sedang merangkak, lalu bersiap di belakangnya. Sesaat dia melihat pemandangan indah itu. Pantat Dhini yang cukup montok terlihat begitu indah, putih mulus tanpa noda. Dokter Candra kemudian menggesekan kepala penisnya di bibir kemaluan Dhini yang sudah sangat basah.

“Eeenngghhh aaahhhhhh...” Dhini kembali mendesah saat batang kejantanan Dokter Candra menembus liang senggamanya lagi. Tak menunggu lama Dokter Candra langsung memompa penisnya dengan kecepatan sedang. Dhini yang bertumpu pada kedua tangan dan lututnya itu tampak mulai mengimbangi goyangan Dokter Candra meskipun dia sudah merasa sangat letih.

Pompaan Dokter Candra benar-benar terasa nikmat di liang kewanitaan Dhini. Payudaranya yang kecil itu bergoyang indah mengikuti irama goyangan mereka. Dokter Candra beberapa kali menepuk pantat Dhini membuatnya memekik, namun selanjutnya tak peduli dan terus membalas pompaan lelaki itu. Sampai akhirnya Dhini tak kuat lagi, dia mendesah panjang hingga tubuhnya jatuh tengkurap di ranjang saat orgasmenya yang kesekian datang. Dokter Candra masih terus memompa Dhini yang tengkurap itu, sambil mendekap tubuh Dhini dari belakang.

Dokter Candra merasa sebentar lagi dia juga akan mencapai puncaknya, sehingga dia mencabut penisnya dan membalikkan tubuh Dhini hingga terlentang. Dhini reflek membuka kedua kakinya, dan langsung saja batang kejantanan lelaki itu menembus liang kewanitaannya lagi. Gerakan Dokter Candra kini semakin cepat, dan cendering kasar, tapi Dhini justru menikmati hal itu, sehingga tak lama kemudian dia kembali mengerang dengan orgasmenya.

Namun Dokter Candra tak lantas berhenti karena dia sebentar lagi juga akan mencapai puncaknya. Dia terus memompa vagina Dhini dengan sangat cepat, hingga akhirnya sebuah tusukan yang dalam bersamaan dengan menyemburnya cairan hangat dan kental di dalam vagina sang artis. Dhini yang dinding rahimnya disembur sedemikian banyak mau tak mau ikut orgasme lagi. Erangan keduanya terdengar menikmati puncak erotisme permainan itu. Keduanya masih masih saling memeluk dengan nafas yang sama-sama terengah-engah.

Dokter Candra kemudian mencium lembut bibir Dhini, dan dibalas juga dengan lembut. Mereka berpagutan cukup lama sampai akhirnya kemaluan Dokter Candra melemas dan keluar dari vagina Dhini. Terlihat lelehan cairan putih kental keluar dari bibir kewanitaan Dhini. Dokter Candra kemudian merebahkan tubuhnya, lalu merengkuh tubuh Dhini hingga kepala wanita itu berada di dadanya. Keduanya masih terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Dokter Candra merasakan kepuasan yang tiada tara, sedangkan Dhini perasaannya bergejolak. Dia menyesal karena telah melakukan penghianatan terhadap suaminya, namun dia juga merasa sangat puas dengan permainan sang dokter. Meskipun begitu air matanya tak sampai keluar seperti tadi.

“Maaf ya Dhin, aku terpaksa bohong buat bisa menikmati tubuhmu.”
“Maksud dokter apa?”
“Aku sebenarnya bukan dokter, hanya perawat yang bekerja di rumah sakit saja. Dan rumah ini bukan rumahku, ini hanyalah rumah yang aku sewa untuk menjalankan semua ini.”
“Jadi?”
“Ya, semuanya adalah rencanaku, mulai dari cerita Fanny kepadamu, Susi, dan semuanya, itu hanya untuk dapat menidurimu saja.”
“Fanny? Kenapa bisa begitu?”
“Karena Fanny adalah korbanku sebelum kamu, dan aku yang memintanya untuk bisa memancingmu agar kamu kesini.”
“Jadi semua ini hanya kebohongan belaka? Tentang Bella dan kehamilannya, tentang hasil tesku dan suamiku?”
“Nggak, nggak semuanya bohong. Bella memang hamil olehku. Tesmu dan suamimu itu juga nggak bohong. Aku benar-benar memeriksakannya di rumah sakit. Dan hasilnya sama persis dengan yang aku sampaikan. Sperma suamimu terlalu lemah, sedangkan rahimmu tidak selemah itu. Dengan sperma yang normal saja, kamu bisa hamil. Dan setelah ini, aku yakin kamu akan hamil.”
“Hiks, tega kamu mas...” Dhini mulai berhenti memanggil dokter karena memang Candra bukanlah seorang dokter.
“Semua demi kamu Dhin. Lagipula, jika kamu hamil, bukankah itu yang kalian tunggu-tunggu? Aku tahu kamu tertekan dengan keluargamu, apalagi keluarga suamimu yang terus menyindirmu. Setelah ini kamu bisa membungkam mereka semua.”
“Iya, tapi nggak dengan cara seperti ini, hiks.”
“Sudahlah, tidak akan ada yang tahu selama kita merahasiakannya. Setelah suamimu pulang, ajaklah dia berhubungan badan, agar dia mengira dia yang telah menghamilimu.”

Dhini hanya diam saja. Dia tak menyangka bisa jatuh terjebak seperti ini dengan mudahnya. Baru sekarang dia berpikir, kenapa tidak mengecek dulu kebenaran status Candra yang mengaku dokter. Harusnya dia bertanya dulu di rumah sakit mana dia bertugas, dan memastikan semua itu kesana. Dia terlalu antusias dengan cerita Fanny, dan dia terlalu percaya kepada Fanny, sahabat yang ternyata menjerumuskannya seperti ini. Dhini menangis sejadi-jadinya di dalam pelukan Candra. Dia tidak berusaha menjauh, toh sama saja, tubuhnya sudah habis dinikmati oleh lelaki itu, bahkan lelaki itu telah menanamkan benih di rahimnya.

Entah berapa lama Dhini menangis. Candra hanya mengelus kepala Dhini yang masih tertutup jilbab yang sudah acak-acakan itu. Sampai akhirnya tangis Dhini mereda, dia bangkit dari pelukan Candra, menuju kamar mandi yang ada di dalam kamar ini untuk membersihkan diri. Tak lama kemudian Dhini sudah kembali, dia juga sudah melepas jilbabnya. Kini sempurnalah ketelanjangan wanita itu berjalan kembali ke ranjang untuk memunguti pakaiannya.

“Jangan dipakai dulu Dhin.”
“Kenapa? Kamu masih belum puas?”
“Tentu saja, kita baru bermain sekali. Aku mau menghabiskan hari ini sama kamu, dan aku mau kamu menginap disini, toh suamimu sedang keluar kota sampai besok sore kan?”
“Nggak mas, aku nggak mau. Cukup sekali aja, ini salah, ini, dosa besar.”
“Apa kamu masih mau nolak kalau aku bilang semua yang terjadi di kamar ini sudah kurekam, bahkan sejak pertama kali kamu datang kesini? Apa kamu masih mau nolak kalau aku bakal sebarin rekaman itu kalau kamu nggak mau nurut sama aku?”
“Apa? Nggak, kamu pasti bohong, seperti kebohongan-kebohonganmu yang lain.”
“Coba kamu lihat itu Dhin, di sudut kamar itu,” Candra menunjuk ke sudut kamar, di atas sebuah lemari. Dhini terhenyak, sebuah kamera jelas-jelas terpasang disitu. Bagaimana dia bisa tidak menyadarinya?

“Apa mau kamu sebenarnya Can?”
“Mauku? Mulai sekarang kamu nurut sama semua kata-kataku. Seperti Fanny, yang pertama kali menolak bahkan memaki-makiku, tapi begitu tahu aku mempunyai semua rekaman persetubuhan kami, dia akhirnya menurut juga, bahkan dengan terpaksa harus mau menyeretmu kesini.”
“Jadi, kamu ngancam Fanny juga?”
“Tentu saja sayang, mana mau dia kayak gitu kalau nggak diancam.”
“Kamu memang brengsek mas, biadab!”
“Ya, dan kamu baru saja dihamili oleh lelaki biadab ini.”

Dhini tertunduk lesu. Dia menyerah, tak mungkin bisa menghindar lagi. Tak mungkin dia akan menolak kata-kata Candra atau semua video rekaman dirinya tersebar. Imagenya sebagai publik figur dan seorang istri baik-baik bisa tercoreng, bukan hanya dia yang akan malu, tapi juga seluruh keluarga besarnya. Apa kata mereka nanti kalau rekaman itu sampai tersebar? Lagi pula, sepertinya kata-kata Candra ada benarnya. Dengan dirinya hamil, bukankah itu yang sudah ditunggu-tunggu selama hampir 7 tahun ini? Bukankah jika dia hamil, tekanan kepadanya dari seluruh keluarga akan berhenti?

Akhirnya dia menatap pasrah kearah Candra, dan lelaki itu tersenyum puas mengetahui Dhini telah menyerah pasrah pada keadaan. Candra yang masih terbaring telanjang di ranjang itu kemudian meminta Dhini untuk mendekatinya. Dengan sebuah kode, dia meminta Dhini untuk menyentuh batang kejantanannya yang masuh lemas, dengan tangan dan mulutnya. Dhini yang sudah menyerah dengan pasrah mengikuti perintah Candra. Dia melakukan itu meskipun satu sisi hatinya mengutuk keras.

Akhirnya hari itu dihabiskan oleh Candra dengan sepuas-puasnya menikmati tubuh Dhini. Berbagai posisi yang belum pernah dicoba Dhini mereka lakukan. Dhini pun terpaksa menginap di rumah yang disewa Candra, untuk melayani nafsu lelaki itu yang seolah tak ada habisnya, sampai dia tergeletak tak berdaya kehabisan energi.

Setelah kejadian hari itu Dhini sering mencuri waktu untuk bisa mendatangi panggilan Candra. Bahkan mereka pernah melakukan itu di rumah Dhini ketika Dimas pergi syuting. Untuk mengelabuhi Dimas, Dhini bersedia membayar sewa rumah tempat Candra ‘praktek’ dan mereka masih rutin datang untuk ‘terapi’. Setiap terapi tidak pernah ada yang aneh-aneh, karena Dhini dan Candra melakukannya di luar jadwal itu.

Dua bulan kemudian akhirnya Dhini dinyatakan hamil. Kabar itu tentunya disambut dengan sangat Dimas dan keluarga besar mereka. Sebagai rasa terima kasihnya Dimas bahkan memberi uang dalam jumlah yang sangat besar kepada Candra. Tentu saja Candra senang menerimanya, sudah menikmati tubuh Dhini, dia bahkan dibayar untuk menghamili wanita cantik itu.

Selama kehamilan sampai Dhini melahirkan Candra jarang menemui Dhini, untuk memberikan waktu kepada wanita itu agar menjaga janinnya. Lagipula Dimas sekarang lebih banyak meluangkan waktu untuk menemani istrinya sehingga waktunya untuk berduaan dengan Dhini menjadi terbatas. Setelah kelahiran anaknya, Dhini juga semakin jarang ‘dikunjungi’ oleh Candra. Lelaki itu ingin memberi Dhini waktu mengurusi anaknya.

Setelah merasa anaknya cukup bisa untuk ditinggal ‘sebentar’, kembali Dhini dan Candra melanjutkan aktivitas terlarang mereka. Dhini kini memasang KB agar Candra bebas mengeluarkan sperma di dalam rahimnya tanpa membuatnya hamil lagi. Perselingkuhan itu tetap berlangsung dengan aman karena mereka pandai sekali mengatur waktu. Berhasil menikmati tubuh artis cantik itu ternyata membuat Candra ketagihan, sehingga diapun berencana untuk menggunakan Dhini sebagai pancingan untuk bisa mendapatkan artis-artis yang lain. Tapi dia masih menimbang-nimbang siapa yang akan dijadikan korban berikutnya, sampai saatnya tiba, dia masih ingin terus menikmati ‘kebersamaannya’ dengan Dhini Aminarti.


Selesai.

0 comments:

Post a Comment