Monday, July 31, 2023

Dari FANTASI berujung REALISASI by Gee13 @semprot

 Tokoh-Tokoh


 Mirna (38 Tahun)



 

Rani (33 Tahun)

Fantasi Seorang Suami

Sudah beberapa bulan terakhir susah sekali rasanya lepas dari jerat bayang-bayang jelek yang menempel di kepala ini. Mencengkeram begitu kuat, hilang-hilang timbul lagi, terus saja begitu. Aku berusaha keras untuk tidak membayangkannya. Namun, semakin ingin dilupakan, semakin terus menancap tak berkurangan. Seiring itu pula aku juga coba berupaya membujuk halus istriku sampai-sampai mengucapkannya secara terang-terangan perihal fantasiku ini. DUUUUAAARRR, Mirna yang sudah masuk usia ke-38 tahun ini TERKAGET-KAGET, lekas mencak-mencak kepadaku. Aku dibilangnya GILA!

"Coba kamu pikir baik-baik lagi, apakah risikonya sudah kamu pertimbangkan?"
"Jangan kamu pikir enak di kamu saja"

"Sudah kupikirkan matang-matang, aku merasa dengan usia kita yang lambat laun semakin tua dan anak kita yang sudah beranjak remaja perlahan dewasa, hubungan ranjang kita perlu sesuatu yang dahsyat, biar tak kesan membosankan"

"Dahsyat apanya, itu bukan dahsyat, tetapi malapetaka, perbuatan ngawur!"

"Jangan dilihat dari sisi jeleknya, nanti ada sisi bagusnya, bahkan enak yang kamu bisa rasakan"

"Apa? Baik? Enak? Kata siapa? Katamu kan?!"
"Ah kamu sudah gila, hanya nafsu di kepalamu"

"Loh kok kamu malah bilang aku gila, nafsu itu wajar, enak nilai tambahnya"

"Memang betul gila, suami macam apa yang tega melihat istrinya disetubuhi laki-laki lain. Apakah kamu sudah tidak punya rasa cemburu lagi?

"Cemburu! Cemburunya itu malah memperkokoh hubungan kita"

"Astaga! cemburu seperti apa yang ada dibenakmu itu..."
"Papa benar-benar jadi error semenjak kecanduan film porno"
"Mulai sekarang kamu berhenti, kurang-kurangin deh yang begituan"

"Mana bisa?!"

"Sudah cukup! nanti terdengar oleh Rengga"

Itulah awal jawaban istriku ketika aku mengutarakan niat ingin menyaksikan tubuh moleknya yang berisi padat disenggamai oleh orang lain. Aku dikutuk GILA tanpa ampun, telah menyalahi janji untuk menjaganya. Akan tetapi, aku tak putus asa setelah penolakan Mirna. Upaya demi upaya aku kerahkan, seperti sering mengunduh sekaligus menonton video porno dengan tema CUCKOLD dan THREESOME. Mirna diam-diam turut mengintip apa yang ditonton olehku. Aku sengaja tak memberi komentar, khawatir Mirna justru semakin menyangka yang tidak-tidak kepadaku. Maka, Aku membiarkan. Perlahan-lahan malah ia mulai menyukai dan menyaksikan film porno dengan genre tersebut tanpa sepengetahuanku, siapa tahu ini salah satu cara yang akan membuka jalan pikirannya sehingga fantasiku bisa terwujud.

Benarlah kemudian, dua bulan kubiarkan Mirna kudapati bermain dengan dildo yang sengaja kubelikan sebagai penambah keharmonisan dalam bercinta. Ia kadang menggunakannya saat aku terpaksa harus pulang malam dan terlalu lelah untuk menuruti kemauannya berhubungan badan. Atau saat,

"Aaaahhh...."

"Yuk sayang, isep dong dildonya, anggep kamu isep penis laki-laki lain sayang"

"Gak mau, ahhhh", ucap Mirna kala aku sedang menyetubuhinya dengan gaya misionaris pada suatu malam. Ia menggeleng tak mau dan menutup mulutnya rapat-rapat.

"Ayo dong, urgggh....", balasku mengarahkan kepala dildo ke bibir Mirna yang menutup rapat.

"Enghhhhh...."

"Ayoooo dong sayang, urghhh.."
"Aku mau ngentot kamu, sambil lihatin kamu ngulum dildo seolah lagi mengoral penis laki-laki lain. Padahal, kan ini juga bohong-bohongan"

Mirna kukuh tak mau melakukan. Bibirnya mengatup rapat dan tak berbicara sedikitpun. Aku yang sudah dikuasai nafsu dan berharap Mirna betul-betul mau mengulum dildo, terpaksa menunggu sejenak sampai ia lengah. Aku letakkan dildo itu di samping kepala Mirna. Lalu kembali aku fokus menggenjot tubuh istriku seraya meremas-remas susunya yang tergolong besar. Sambil kupilin puting susunya yang kecoklatan, aku berimajinasi andai ada laki-laki lain yang menghisap puting  payudara istriku, pastinya mengasyikkan sekali. Aku pun bertambah birahi walau baru membayangkannya saja. Alhasil, aku menggenjot Mirna lebih cepat, mendorong penisku keluar masuk ke vagina Mirna seraya melihatnya mendesah-desah dan membuka mulutnya. AKHIRNYA!!!

HOOOPPPPP!

"HHHMMMFFHHHH"

"Sebentar saja sayang, uhhhhh"
"Aku mau bayangin kamu isap kontol laki-laki lain"

"Hhhhmmmmfffhhh", Mirna tergolek pasrah ketika aku berhasil meletakkan sebagian batang dildo ke mulutnya. Aku kendalikan alat itu keluar masuk mulut Mirna tanpa harus memintanya ikut berimajinasi yang sama denganku.

"Urghhhhh...."
"Aku mau keluar sayaaang", aku sungguh terangsang sekali memerhatikan istriku mengemut dildo tersebut. Tak heran, aku akhirnya kalah dan mencapai orgasme lebih dulu. Ah apakah ini pertanda jalan semakin terang bahwa Mirna mau disetubuhi laki-laki lain? CROOOTTTT.

Beberapa minggu setelah itu, saat pulang malam lebih cepat dari biasanya, aku yang sembunyi-sembunyi masuk ke dalam rumah mengintip ke arah kamarku karena Mirna tak kutemui di ruang mana pun. Apalagi aku sengaja tak memberi salam dan membuka pintu rumah pelan-pelan. HAHAHAHAHA Sepertinya akan terwujud fantasiku tak beberapa lama lagi. Namun, aku harus pelan-pelan. Tak bisa kembali dengan cara mengutarakan niatku blak-blakkan.

Aku mengintip Mirna yang sedang tak mengenakan celana, mencolek-colek klitoris vaginanya. Tangan yang satunya menggenggam dildo dan mengarahkan ke arah mulut, seraya ujung dildo diemut olehnya, lambat laun separuh dildo itu dilahap oleh Mirna. Aku menikmati sejenak pemandangan istriku yang sedang larut dengan imajinasinya. Kemudian aku tinggalkan sambil memikirkan apa langkah selanjutnya yang akan ditempuh. Sayangnya aku tak menemukan jawabannya malam itu.

Beberapa hari kemudian,

"Paaa, mau denger ceritaku, gak?"

"Cerita apa?", tanyaku yang lagi santai menonton televisi sehabis mandi pulang kerja.

"Tapi papa jangan kaget apalagi marah ya", ucap Mirna sambil menghidangkan makan malam.

"Iya".

"Beneran nih?"

"Iyaa Maaa, aku enggak akan marah"

"Engggh...."

Aku membiarkan istriku dengan keputusannya.

"Begini paaa, papa kenal Pak Yanto yang rumahnya dekat warung Bu Aminah kan?"

"Bu Aminah mana?"

"Yang penjual sayur, tempat aku belanja"

"Oh iya, yang istri dan anaknya tinggal di kampung itu kan?"

"Betul"

"ada apa dengan dia?", tanyaku heran.

"Gak jadi deh paaa, nanti aja Aku ceritanya"

"Loh kok belum cerita udah bersambung"

Mirna menyimpan ceritanya perihal Pak Yanto. Dengan cerita yang tanggung begitu aku bertambah penasaran dan tak ingin menagih-nagih ke Mirna, takut ia justru malah semakin menyimpan ceritanya. Kami pun makan malam tanpa cerita mengenai Pak Yanto yang usianya 5 tahun lebih tua dariku yang sudah berumur 42 tahun. Akan tetapi, aku tetap akan mencari tahu, namun Mirna jangan sampai menyadari aku berusaha mencari informasi yang tak ingin disampaikannya.

"Rengga, kamu ada tahu soal Pak Yanto?"

"Pak Yanto? Maksud papa?", aku bertanya pelan-pelan ke putraku. Sebelum berangkat kerja, aku menemuinya di kamar. Sementara Mirna sedang sibuk di dapur.

"Mama kamu kemarin ada cerita ke Papa mengenai pak yanto yang rumahnya deket penjual sayur itu, tetapi gak jadi"

"Terus kenapa papa gak tanyain lagi aja ke Mama"

"Ya nanti dikira papa penasaran banget lagi"

"Hahaha loh bukannya betul kan? Buktinya malah nanya ke aku"

"Hhmmm yaudah kamu ada tahu apa enggak?"

"Mama pernah bilang kalau setiap belanja ke warung bu Aminah, Pak Yanto selalu ada di sana. Beli sih gak, kayaknya dia sengaja pengen ketemu dan ngobrol sama mama"

"Apa yang diobrolin?"

"Engghh... lingkungan komplek sini aja. Kan Pak Yanto itu juga katanya sedang nganggur paaa"

"Hmmm, terus apalagi?"

"Sepertinya itu saja"

"Kalau ada informasi lagi, kasih tahu papa ya"

"Beres..."

Berangkat ke kantor, pikiranku tak tenang. Sebelum pamit dan disalami Mirna, sebetulnya aku ingin menanyakan perihal Pak Yanto yang tak jadi diceritakan olehnya. Sayangnya, Aku memutuskan menahan diri kembali.

Karena dibayangi banyak pertanyaan dan mengganggu fokus pekerjaan di kantor, malam harinya akhirnya kutanyakan juga kepada Mirna.

"Ngobrol biasa sih paa, cerita soal anak istrinya di kampung, tentang dia yang sedang cari kerja lagi, apa iya masih ada pekerjaan untuk laki-laki usia 47 tahun"

"Hhhmmm..."

"Mama mau cerita ke papa, takut dikiranya terlalu kepo urusan orang"

"Ah aku enggak begitu juga kali"
"Hhhmm, kayaknya aku bisa bantu sih itu. Kasihan juga pak yanto masih harus kirim uang ke kampung, sedangkan ia di sini belum dapat kerjaan lagi"

"Beneran bisa bantu, paa?"

"Ya mesti dicoba dulu, belum yakin bakal diterima bekerja atau enggak di tempat papa"
"Besok, papa mau ketemu sama dia"

Aku tak begitu puas mendengar cerita dari Mirna langsung. Aku coba menempuh langkah lain lagi. Besok pagi, sebelum meluncur ke kantor aku mau bertandang ke tempat Bu Aminah. Siapa tahu ia menyimpan secuil informasi lain yang tak diutarakan oleh Mirna.

...............................

====================

Siasat Suami Birahi


"Wah coba saya ingat-ingat dulu ya"

"Boleh, silakan"

"Ibu memang tidak ada cerita ke bapak, ya?", tanya bu Aminah yang baru saja membuka warungnya. Ia keluar-masuk rumahnya, menenteng barang jualan, seperti sayur mayur, beberapa ekor ayam, dan bumbu rempah-rempah untuk dijajakan. Aku memaklumi dirinya yang sedang bersiap seraya berusaha mengingat. Lagipula aku berangkat kerja lebih pagi dari biasanya demi mengetahui cerita yang mungkin masih disembunyikan oleh istriku, Mirna.

"Cerita? Ada. Saya bertanya sekedar ingin tahu, mungkin ada bagian yang terlewat"

"Hehe, bapaknya cemburu? Tidak usah dikhawatirkan berlebihan, Pak Yanto itu memang begitu, suka gombal. Namanya juga laki jauh dari istri. Cari perhatian"

"Suka gombal? Jadi Mirna digombali?"

"Bukan Mirna saja, tetapi hampir sebagian perempuan yang belanja di sini digombali olehnya. Saya pun terkadang juga"

"Tetap saja Bu, namanya suami mana ada yang terima bininya digoda laki-laki lain", ucapku menunjukkan harga martabat dan harga diri. Padahal, aku semakin penasaran gombalan macam apa yang dihaturkan oleh Pak Yanto ke Mirna.

"Jangan terlalu dianggap serius. Pusing sendiri nanti. Lagipula ibu juga santai menyikapinya, kan pak?"

"Malah ia tak cerita bagian ini"

"Ibu mungkin tak cerita takut bapak yang tak bisa santai, hehe"

"Oh ya bisa diceritakan gombalannya seperti apa?"

"Enghh... seperti gombalan biasanya. Dipuji cantik, terlihat masih muda, pintar merawat diri, jago masak, ayu..."

"Mmmm..apa ada yang berbau mesum-mesum kah bu?"

"Heh?! Mesum?! Enggak, enggak ada yang mesum, hanya otak Yanto yang mungkin loh ya rada mesum, tetapi setahu saya enggak pernah dia mengucap apalagi melecehkan perempuan di sini. Kalau ada, bisa jelek imbasnya bagi tempat dagang ini. Sudah saya omeli dan usir dari sini"

"Baiklah, kalo hanya itu yang terjadi. Kalau ada info-info tolong beri tahu, bu. Oh ya jangan sampai Mirna tahu saya kemari", aku mulai menaikki motor dan menyetelnya.

"Hehehe, iya pasti saya sampaikan. Jangan khawatir, Mirna tidak akan tahu kalau bapak ke sini"

"Saya pamit dulu, bu aminah. Semoga laris jualannya!"

"Aaamiiin, hati-hati!"

Sejujurnya aku ingin mendengar lebih dari itu. Aku berharap Bu Aminah berceritanya bahwa Mirna digoda oleh Pak Yanto. Godaan yang merujuk mesum, ngeres, merangsang birahi istriku. Namun, faktanya tidak. Justru aku yang terlampau jauh mesumnya.

Ketika tiba di kantor, tepatnya jam istirahat, aku berusaha menghubungi Mirna di rumah. Aku menanyakan apakah ada kontak Pak Yanto untuk dihubungi, terkait lowongan pekerjaan yang barangkali bisa laki-laki itu penuhi. Bagi sisi lainku, dengan mencarikan Pak Yanto pekerjaan itu berarti aku menghentikan langkah gombalnya untuk tiap kali mampir ke warung bu Aminah, menggoda perempuan bersuami.

"Aku mana punya paaah, apa aku mintain saja ke rumahnya sekarang?"

"Enggak, enggak usah. Nanti aku saja yang menghubungi Pak Yanto. Sepertinya di grup warga perumahan ada"

"Bagus deh, ngomong-ngomong pekerjaan apa untuk dia?"

"Kalau tenaganya masih kuat, papa arahkan ke bagian gudang untuk bantu angkat-angkat. Kalau tidak, ya administrasi bagian antar berkas"

"Semoga keterima ya"

"Ya, aku juga berharap begitu, ya namanya nolong orang kan, hehehe"

"Papa pulang jam berapa nanti?", tanya Mirna tak biasanya menanyakan kepulanganku.

"Kayak biasa sih, mengapa?"

"Ooh, aku mau yoga di rumah"

"Tumben? Dengan siapa?"

"Sendiri dong, supaya badan mama gak melar, hehehe"

"Alhamdulillah, aku ikut seneng deh, hehehe"

"Iya dong kan untuk papa juga, supaya makin betah di rumah"

"Tapi jangan kurus-kurus ya, aku tetep lebih seneng kamu montok, gak rela aku tete kamu mengecil, maaah"

"Iyyyaaaa, aku cuman pengeb jangan diriku ini jadi gendut kayak emak-emak banget"

"Oke deh, papa tutup teleponnya, jangan lupa makan siang"

"Kamu juga"

Setelah menelepon Mirna, aku mencari kontak Pak Yanto di grup WA warga perumahan. Aku selidik dari profile picture masing-masing yang mana kiranya terdapat wajah Pak Yanto. Ketemu! Kudapati ia sedang berpose sendiri duduk ongkang kaki dengan bertelanjang dada di depan rumahnya. Pria berwajah agak sangar dan bengal ini ditumbuhi kumis tipis di bawah hidung peseknya. Bagian rambut sudah menipis, tersisa kening yang perlahan mengerut. Kendati saat ini pengangguran, tak tercermin dalam bentuk tubuhnya yang cukup kekar, meski bagian perut tampak tambun. Kedua lengan berotot menjalar guratan urat, pertanda bahwa ia cocok di bagian angkat barang. Senyumnya nakal seraya mengasap. Aku pelan terbayang seandai Mirna digoda mesum, atau bahkan ditiduri laki-laki ini. Kala bibir gelap Pak Yanto menghisap lahap puting susu istriku. Wwwuuhhhh NGACENG BURUNGKU! Apakah tetap aku biarkan saja ia menggoda-goda Mirna? Ah benar benar sudah gila diriku ini.

Tak lama-lama, kemudian aku mengirim pesan WA ke Pak Yanto. Menyapa salam, tak lama aku masuk ke inti pembicaraan.

"Ya pekerjaan apa saja pasti saya terima, asalkan jangan menghitung-hitung"

"Hahahaa, siap pak yanto. Ini ada pekerjaan bagian gudang, ya bantu angkat-angkat barang masuk ke kontainer, masih kuat tenaganya kan, Pak Yanto?"

"Jelas masih! Justru saya seneng pekerjaan yang sifatnya fisik"

"Wah kayaknya berjodoh ya"

"Hehehe, Aaamiiin, ini saya sudah pasti diterima apa belum?"

"Untuk diterimanya atau enggaknya, saya coba hubungi bagian personalia dulu. Kalau boleh tahu pendidikan terakhir bapak, apa ya?"

"SMA"

"Baik, nanti malam, bapak bisa mampir ke rumah saya kan ya? Tolong bawa fotokopi ktp, ijazah, dan pas foto"

"Beres, saya mesti siapkan dulu itu"

"Oke, sampai jumpa nanti malam, kalau menurut saya, pak yanto bakal keterima, karena kita lagi perlu beberapa orang untuk menyokong barang ekspor"

"Aaamiiin, terima kasih banyak Pak Riko sebelumnya"

"Iya sama sama pak"

Saat menghubungi Pak Yanto, mendadak isi otak kotorku melintas lewat. Aku akan menfaatkan momen ketika Pak Yanto berkunjung malam nanti ke rumahku. Ah tak sabar aku menanti malam tiba. Tak jadi rencanaku untuk lembur. Aku memutuskan mau membuktikan sekaligus mengecek apakah betul sanjungan atau gombalan yang dilontarkan Pak Yanto ke Mirna hanya gombalan biasa seperti yang diutarakan Bu Aminah? Aku ingin waktu berputar cepat karena begitu tak sabarnya.

<div style="text-align: center">=Y='
"Katanya pulang malam..."

"Enggak jadi, aku lebih memilih kamu malam ini?"

"Hah? Maksudnya?"

"Ini pegang...", seusai melucuti celana dalam, aku menuntun tangan Mirna memegang penisku yang tegak berdiri. "Lagi kepengen peluk kamu. Hehehe"

"Iihh papa, kan kemarin udah, sangean mulu ih"

"Memang gak boleh sangean sama kamu? Hihihi"

"Ya boleh, tapi masa hampir tiap hari begini"
"Biasanya kan enggak"

"Bagaimana enggak tiap hari, makin lama bodi kamu makin menggiurkan maah"
"Makin demen aku"

"Yaudah mandi dulu gih sana, aku mau siapin makan malam"

"Kamu sendiri belum mandi kan?", tanyaku memerhatikan Mirna yang masih mengenakan tanktop krem dan baluta celana legging yang serupa. Itulah penyebab mengapa penis ini berdiri setibanya di rumah.

"Iya, mama belum sempet mandi habis yoga tadi, kan dikira papa pulang malam"

"Seksi banget sih kamu, sayang", aku lekas memeluk tubuh Mirna dari belakang, serta menggapai bagian kedua bukit kembarnya.
"Mandii bareng yukk"

"Enggak mau, aku mau siapin makan dulu, kalau udah diapa-apain jadi cape duluan"

"Memang di kamar mandi mau aku apakan kamu?"

"Pura-pura tanya lagi kamu, ih" Mirna menyingkap kedua tanganku. Ia mendesak diriku masuk ke kamar mandi sembari memberikan handuk yang tergantung di belakang pintu kamar kami. "Buru, sana mandi!"

"Siaaap Nyonya!"

Ketika akan beranjak, aku mengamati jendela kamar yang menghadap ke arah teras rumah. Suasana luar tampak mendung kelabu nan gelap, aku berkenan Pak Yanto datang segera. Di depan jendela kamar ini, terdapat sepasang bangku kayu yang di tengahi meja. Aku biasa menerima tamu di situ jika memang mereka bertandang sebentar, seperti keamanan meminta iuran atau Ketua RT menyebarkan pamflet pemberitahuan kerja bakti. Mereka juga bisa ngopi santai di sini berlama-lama apabila hujan turun seraya menunggu waktu berteduh. Kemudian aku mengambil ponselku dan mengirimkan pesan agar Pak Yanto datang sekarang, keburu disalip oleh hujan yang sepertinya akan turun deras.

Setelah mengirimkan pesan itu, barulah aku masuk menuju kamar mandi yang terletak di dekat gudang belakang rumah, sebentar kutatap Mirna yang mulai mengeluarkan bahan pangan untuk dimasak. Lekas aku masuk kamar mandi dan mulai menyiram air. Aku tergolong orang yang mandi butuh waktu lama karena kadang-kadang terbawa melamun atau bisa sekalian buang air besar. Selebihnya sengaja menunda-nunda untuk keperluan tertentu seperti Mirna yang masih lama memasak, sedangkan aku sudah lapar, bahkan saat sedang malas ke kantor karena pekerjaan banyak.

"Paaa! papah! Ada Pak Yanto cariin kamu tuh!"

"Apa?!"

"Ada pak yanto kemari! Katanya papa yang nyuruh dia ke sini?!

"Iya! Dia mau anter berkas lamaran yang diperlukan. Kamu temenin dulu sana, Maa! Aku masih belum selesai!"

"Jangan lama-lama!"

"Iyaaa!"

Aku sengaja mengirim pesan, meminta Pak Yanto untuk datang lebih awal ketika aku memanfaatkan waktu mandi. Aku ingin mengetahui secara diam-diam obrolan apa yang terjadi apabila istriku bertemu berdua dengannya. Apalagi Mirna sedang memakai pakaian yang cukup erotis dipandang seorang laki-laki. Kalau Pak Yanto adalah pria normal semustinya ia birahi dengan penampilan Mirna yang belum berganti baju. Sembari menunda waktu, aku pura-pura sesekali menguyur air ke lubang tempat buang air besar, supaya Mirna bisa lebih lama berbicara dengan Pak Yanto. Lalu aku menguping dari dalam kamar.

Setelah 10 menit, aku melangkah pelan keluar kamar mandi. Pandangan clingak-clinguk mengamati kondisi dapur agar diriku tidak ketahuan sudah selesai membersihkan badan. Aku dapati di dapur kosong, hanya sekotak teh baru dikeluarkan dari dalam lemari tergeletak di dekat kompor. Kemudian aku tergesa-gesa masuk ke kamar dengan handuk membalut pinggang, tak sabar menyimak obrolan istriku dengan Pak Yanto di depan kamar.

"Wuuiiihhh, manis betul teh manisnya, semanis yang buat!"
"Hehehe"

"Jangan bilang begitu, enggak enak kalau didengar Mas Riko"

"Ah bukannya memang betul kamu manis? seharusnya kan dia senang istrinya dipuji, loh malah kamu yang takut suamimu kenapa-kenapa"

"Bukannya takut, tetapi tidak nyaman"

"Suami pencemburu?"

"Enggak"

"Terus? Bukannya selama ini kamu nyaman-nyaman saja kan saya puji kalau di warung Bu Aminah?"

"Ya beda, ini kan di rumahku"

"Hooooalaaaah"

Berdiri mengamati di balik tembok, aku berharap Mirna belum akan balik ke kamar. Sementara aku mulai mencium bau asap rokok. Pak Yanto menyulut sebatang rokoknya ditemani secangkir teh hangat yang disuguhi oleh Mirna. Walau mendengar percakapan mereka, aku tidak dapat melihat pergerakan mereka di luar sana.

"pinter betul kamu menyenangi suami, ya?"

"Heh? Maksudnya?"

"Susumu itu loh, bikin gemes saya, hehehe"

"Wussshh pak yanto, ngomongnya!"

"Kenapa lagi? Saya kan berkata sesuai dengan yang aku lihat, enggak bohong juga kan?"

"Iya, tapi...."

"Tetapi apa? Ooo ya terima kasih, berkat kamu sepertinya saya bakal diterima bekerja di tempat suami kamu"

"Enggak apa apa, yang penting bapak bisa sesekali kirim uang untuk keluarga di kampung, enggak sering nganggur ngelamun. Dengan uang itu juga kan nanti bisa ajak anak dan istri untuk tinggal di sini"

"Anak-anak sudah bekerja di sana, istri saja yang masih kerasan di kampung minta nafkah"

"Bukankah seharusnya bapak mulai mempertimbangkan tinggal bersama istri, supaya tidak merasa kesepian lagi"

"Sulit, semenjak melihat kamu, saya berat meninggalkan jakarta rasanya, hehehe"

"Apaan sih, bercandanya gak lucu"

"Hehehehe. Besok, jadi mau ditemani ke pasar untuk belanja?"

"Enggak, aku sudah titip ke Bu Aminah untuk beberapa bahan yang dia gak jual"

"Kalau begitu, besok kamu mau temani aku belanja?"

"Belanja apa?"

"Untuk istri dikirim ke kampung"

"Ajak saja siapa yang lain, pak. Jangan aku"

"Baiklah"
"Enggghh, andai dirimu bisa membelah diri jadi dua..."

"Loh kenapa? Mulai lagi deh"

"Hehehe, saya ingin dirimu yang satunya menemani saya di rumah, bonekanya pun tak apa apa"

"Ngaco kan... mana mungkin aku jadi dua"

"Ya kamu tetap satu, kalau dua tidak istimewa lagi"
"Kamu ini bener bener bikin gerah, Mirna, duh"

"Kumat? Masuk kulkas sana"

"Iyaa, hehehe"
"Awas! Awas! Ada binatang di situ", aku sontak sedikit panik, tetapi berusaha mengendalikan diri.

"Hiyaaa apaa?!"

"Oh hanya serangga"
"Plak plak plak"

"Sengaja banget ih, curi kesempatan pukul-pukul pantat aku"
"Sana-sana...."

"Memang betul kan ada serangga? Loh jangan ngambek"

"Duh mana sih Mas Riko, lama banget mandinya, aku mau ngecek dulu"

Mengetahui Mirna hendak mencariku, aku segera berpakaian dan pura-pura memilah-milah baju di lemari supaya ia tidak curiga bahwa daritadi aku menyimak obrolannya dengan Pak Yanto. Sampai di kamar, Mirna menyuruhku untuk segera menemui Pak Yanto karena dia ingin mandi, serta lekas memasak untuk makan malam. Aku mengamini ucapannya, lalu buru-buru mengenakan kaos dan celana pendek. Setelah menyisir rambut, barulah aku menjumpai calon karyawan baru di perusahaan tempatku bekerja.

Saling berjabat tangan, Pak Yanto membuka pembicaraan dengan menanyakan kepulanganku di sore hari. Ia juga bertanya seandai ia jadi bekerja di tempatku apakah jam pulangnya akan sama. Aku menjawabnya tak menentu karena bisa jadi aku lebih lama atau sebaliknya dia yang lebih lama. Hal itu hanya dapat ditentukan oleh kondisi di lapangan. Namun pada dasarnya kami mempunyai jatah jam kerja serupa. Kemudian Pak Yanto menyerahkan berkas yang kuminta, sembari aku membuka, kutanya apa saja pengalamannya. Yang jelas pasti dia sudah memenuhi klasifikasi. Aku yang tak suka basa-basi lantas mengucapkan kalau ia telah diterima bekerja sebagai karyawan gudang. Bukan main senangnya Pak Yanto sambil menyalamiku berkali-kali usai mendengar jawaban itu.

"Kapan saya boleh mulai bekerja, pak?"

"Senin besok ya..."

"Beres, boss!"

"Hahaha jangan panggil aku bos, aku bukan atasanmu, pak"

"Ya tetap, bapak kan yang membantukan saya mencari kerja hehee"

"Ah biasa itu, oh ya teh untuk saya mana ya" "sebentar, saya mau menengok ke dalam"

"Iya, silakan pak, silakan..."

Aku mengira ketika menyuguhkan secangkir teh, Mirna sudah sekaligus menghidangkannya untukku, ternyata hanya untuk Pak Yanto. Aku terpaksa membuatnya sendiri karena kuyakini Mirna sedang mandi. Sambil menyiapkan teh untuk diriku sendiri. Aku mengoceh keras-keras supaya Mirna mendengarkan bahwa aku bisa-bisanya tidak dihidangkan, seakan dilupakan. Kemudian ia keluar kamar mandi dalam belitan handuk dan menengok ke arahku, lalu meminta maaf. Aku sebetulnya memaklumi santai. Akan tetapi, aku merasa perlu ada balasan dari hal ini. Aku berniat mengusili Mirna.

Ketika Mirna masuk ke kamar, aku mengamati ia masih sibuk memilah milih bajunya dalam belitan handuk biru yang belum dilepas. Segera aku menjaga pintu kamarku agar sedikit terbuka. Teh hangat yang sudah siap diseduh aku tuntun ke depan. Aku perhatikan Pak Yanto sedang mengutak-atik ponselnya.

"Kenapa pak hapenya? Rusak?"

"Bukan, mau rusak mungkin lebih tepatnya"
"Hehehe"

"Ah sama saja itu"
"Maaf pak, apakah bisa bantu saya?"

"Bantu apa?"

"Bapak bilang tadi pernah jadi kuli bangunan ya?"

"Betul"

"Apakah bisa tolong cek pintu kamar mandi saya sebentar?"

"Oh boleh sekali. Di dalam pak, paling belakang dekat gudang dan dapur"

Aku mempersilakan Pak Yanto masuk, namun izin kepadanya untuk meminjam peralatan tukang ke tetangga sebelah. Padahal, sebetulnya aku hanya menunggu diam di luar. Aku berharap Pak Yanto menangkap celah kesempatan yang kuberikan untuknya, yakni mengintip istriku yang sedang berganti pakaian. Semoga ia cerdik dan jeli sehingga tidak ketahuan oleh Mirna. Aku menunggu kurang lebih 10 menit. Barulah ia keluar mencariku, karena mungkin tak kunjung datang aku menyusul. Dengan berpura-pura bingung aku mengatakan kepada Pak Yanto bahwa aku tak mendapati peralatan tukang untuk pekerjaan Pak Yanto membetulkan pintu.

"Pintunya masih bagus-bagus saja, mungkin ya hanya ganti engselnya saja"

"Oh begitu ya, baiklah nanti saya coba ke toko bangunan, tetapi mohon maaf ya Pak, jadi lama menunggu karena saya tak dapat peralatan tukangnya, tadi coba mampir ke tetangga sebelah, ternyata sedang tidak di rumah"

"Enggak apa-apa, santai saja Pak Riko, saya juga tidak kemana-mana, rumah saya masih di posisi yang lama"
"Hehehe"
"Berhubung sudah sore, saya boleh pamit dulu ya?"

"Sebentar-sebentar, saya mau titip sesuatu untuk dibawa pulang"

"Apa itu?"

Aku masuk ke dalam rumah, lalu berjalan menuju ke kamar. Aku lihat Mirna baru saja selesai berganti pakaian sedang rebahan santai di atas tempat tidur kami berdua. Dia bertanya kepadaku mengapa aku mengambil beberapa stel kemeja yang sudah jarang aku pakai. Aku bilang saja kepadanya untuk pakaian Pak Yanto bekerja nanti supaya sedikit rapi. Mirna pun tersenyum dengan kebaikan mulia yang sifatnya terselubung ini, karena setelah keluar kamar aku mencari plastik untuk membungkus pakaian dan celana yang akan kuberikan kepada Pak Yanto. Terselip kemudian tujuanku sesungguhnya, aku mencomot celana dalam dan BH Mirna yang berada di ember kotor. Aku tak peduli jorok atau kotornya. Yang penting pastinya ini akan jauh berharga untuk Pak Yanto.

"Aduh Pak, repot-repot sekali"

"Enggak aapa apa, ini juga baju jarang saya pakai, lebih berguna apabila orang lain memakainya"

"Wah terima kasih banyak Pak Riko sekali lagi, sudah dicarikan pekerjaan, diberikan baju lagi"
"Hehehe"

"Sudah, santai saja"

"Baik, saya pamit dulu kalau begitu"
"Salam untuk Ibu, cantik banget hari ini dia"
"Hehehe"

"Wahahahaha, sama sama, nanti disampaikan"

"Selamat Sore"

..............................................


====================

Maksud Terselubung</span>

Setelah cuma-cuma memberikan kemeja dan menyelipkan pakaian dalam kotor milik Mirna kepada Pak Yanto, aku mengira akan menerima pesan WA darinya yang mungkin terheran-heran.Namun, semalaman aku tunggu yang ada aku hanya ketiduran dan Mirna juga demikian, tak jadi melayani birahiku setelah aku bercerita perbincangan dengan Pak Yanto di rumah. Paginya, kembali aku menjalani rutinitas seperti biasa seolah-olah tidak terjadi apa apa kemarin sore. Mirna tak ada komentar, aku tak banyak bertanya. Begitu pula di tempat kerja, sesekali aku mengecek ponsel di depan komputer, menanti penasaran pesan dari Pak Yanto, tetapi tidak kunjung muncul. Apakah dia belum membuka isi pemberikanku sama sekali, ya?

Kemudian Aku mulai mempertimbangkan ingin menanyakan lebih dulu ke Pak Yanto, hanya saja nanti terkesan aku sengaja sekali merencanakannya. Ah, akan lebih baik Pak Yanto saja yang bertanya lebih dulu kepadaku. Aku coba kembali fokus menyelesaikan pekerjaan. Beberapa menit kemudian, justru Mirna yang menghubungiku.

"Iya halo sayang, ada apa? Tumben telepon sebelum jam istirahat nih"

"Iyaa Paa, aku mau tanya, kamu kasih kontak mama ke Pak Yanto kemarin ya?"

"Engg, enggak tuh, ada apa ya memangnya?"

"Emmm... enggak apa-apa. Soalnya mama bilang ke dia, mama gak punya hape"

"Mengapa bohong, Maa? Kan jelas kamu punya"

"Enggak kenapa sih, ya gak nyaman aja kalau orang asing yang minta"

"Loh kok Pak Yanto dibilang orang asing, bukannya justru dia beberapa kali cerita sama mama? Yang jelas bukan papa yang kasih loh ya"

"Iyaa, paa. Kamu nanti pulang kayak biasa kan? Biar aku tahu kapan harus belanja atau masak makan malam"

"Sepertinya normal"

"Semoga ya, oh ya papa ada lihat celana dalam dan BH mama gak? Kayaknya ada yang kurang nih"

JJJJEEEEEGGHHHHH

"Mmm.... wah papa gak tahu tuh, kan yang biasa nyuci kamu"

"Iya sih, ya. Yaudah aku cari lagi deh"
"Mungkin keselip di mana gitu"

"Iya, kamu kurang hati-hati"

"Udah dulu ya pa, mama tutup teleponnya. Cucian masih nunggu"

"Iya sayang, jangan lupa makan siang"

"Papa sayang juga..."

Aku terkejut ketika Mirna menanyakan pakaian dalamnya yang hilang di ember cucian. Ia pasti terbingung-bingung karena hampir tidak pernah hal itu terjadi. Andai dia tahu aku memberikannya kepada Pak Yanto. Barangkali ia sudah memarah-marahiku, bisa tidak diperkenankan masuk rumah. ADUH! KACAU! Seandainya Pak Yanto yang justru membocorkannya ke Mirna atau ke siapapun, bagaimana?! Aku bingung dan gelisah karena kekonyolan diri sendiri sekarang, sedangkan Pak Yanto belum menginformasikan apa-apa sampai saat ini. Jangan-jangan dia mungkin bisa saja suatu waktu nanti memberitahukannya ke Mirna langsung, bahwa akulah yang menyelipkannya. BAHAYA INI! Konsenterasiku pecah.

"Halo Pak Yanto, maaf, lagi sibukkah?"

"Enggak, ada apa toh Pak Riko? Sepertinya penting", tanya Pak Yanto, pasti ia menduga-duga karena aku tak pernah meneleponnya.

"Emmm, kemeja kemarin sudah dicoba?"

"Wah, malah belum saya sentuh sama sekali"
"Hahahaha"

"Huufffffhhh....", aku bisa bernafas lega.

"Ada apa ya?"

"Nanti sore boleh saya ambil lagi? ternyata saya salah kasih kemeja, itu kemeja punya rekan kerja saya"
"Hehe, maaf ya sebelumnya"

"Hoalaah, gak apa apa, ambil saja pak, saya juga ternyata masih ada simpenan kemeja pemberian anak, dulu"
"Kapan mau diambil?"

"Sepulang kerja, nanti saya mampir ke tempat bapak"
"Mmm.., jangan dibuka dulu isinya ya"

"Siap, siap, Pak Riko"
"Kalau saya antarkan langsung ke rumah bagaimana?"

"Waduwh!!! Jangan!! Jangan!!!"
"Biar saya saja nanti yang ambil, tidak perlu diantarkan"

"Baik, saya tunggu kedatangan pak riko"

<div style="text-align: center">=Y='
Menjelang Magrib, Rengga kelihatan gelebah menerima sekantong plastik yang kutitipkan padanya agar dibawa masuk ke dalam rumah, namun tidak boleh ketahuan Mirna, mamanya  Ia banyak bertanya isinya apa dan mengapa tidak membawa sendiri. Aku menuntut anakku untuk tidak berkomentar. Aku mengambil jalan aman ketimbang diriku yang membawa masuk dan ketahuan bahwa aku yang menyembunyikan pakaian dalam Mirna usai kuambil dari Pak Yanto beserta kemejanya. Untung saja juga Pak Yanto belum menguak isi titipan yang kuberikan. Aku bisa bernafas lega. Aku minta putraku menyimpan di kamarnya lebih dulu dan tidak boleh dibuka sampai kuambil setelah ganti baju.

"Mama sedang apa?"

"Ada tadi, kayaknya lagi mandi", jawab Rengga berdiri di depan pintu rumah.

"Oh sini, papa saja yang bawa"

"Ade ade aja dah si papa, sekarang malah dia yang bawa, tadi nyuruh aku, hadeeeh"

"Sudah sini...", jawabku mencatut plastik dari Rengga. Kemudian aku buru-buru masuk ke kamar selepas mencopot sepatu. "Mumpung Mirna lagi mandi, aku mesti pisahin dari kemeja ini". Aku lalu membawa 1 stel pakaian dalam Mirna ke tempat cucian, sialnya ember tempatku mengambil kemarin tidak ada.

"Sayaaaang! Ini pakaian dalam yang kamu maksudkan kah?!!", teriakku di depan kamar mandi.

"Iyaa?! Oh kamu udah pulang Paaa. Kemarikan pakaian dalamnya, aku mau cuci sekalian"

"Iyaa, kirain aku ini bersih, makanya aku taruh di tempat bajuku", ujarku cari selamat. Kemudian Mirna membuka pintu kamar mandi tanpa bicara sedikitpun, dan menyodorkan tangannya agar aku menyerahkan pakaian dalam yang kotor itu.  Setelah benar-benar diterima oleh Mirna, sekarang aku bisa betul betul tenang. "HUUUUUUHHHHHHH", Hampir saja aku melakukan sebuah kesalahan besar. Di sisi lain, aku merasa gagal mewujudkan fantasiku. Aku mesti memikirkan cara lainnya.

Selagi menunggu Mirna selesai mandi, aku berganti pakaian di kamar. Aku dapati ponsel Mirna berdering di bawah bantal. Aku abaikan, namun lambat laun terganggu juga pendengaranku. Aku menyomot ponsel Mirna dan memeriksa siapa yang menghubunginya, HHHMMM... ternyata telepon dari Pak Yanto. AHA! Ini sebab Mirna menanyakan kepadaku tadi siang, ternyata laki-laki itu sudah berani menjalin komunikasi awal dengan istriku. Anehnya, aku tak tahu bagaimana ia mendapatkan kontak Mirna. Yang jelas aku merasa mendapatkan titik terang kembali untuk mewujudkan fantasiku. Aku tidak tanggapi panggilan masuk Pak Yanto, melainkan aku mau mencari tahu ada percakapan apa antara ia dengan Mirna.

Pagi Hari Pukul 09.00

Pak Yanto: Siang, Mirna..
Mirna: Maaf, ini siapa?
Pak Yanto: Siapa lagi kalau bukan yang suka menyapamu kalau pagi, hehehe
Mirna: Pak Yanto?
Pak Yanto: <img class="smilie smilie--emoji" loading="lazy" alt="🤗" title="Hugging face    :hugging:" src="https://cdn.jsdelivr.net/gh/twitter/twemoji@14.0.2/assets/72x72/1f917.png" data-shortname=":hugging:" />
Mirna: bagaimana bisa dapat nomor aku?
Pak Yanto: hehe tentu bisa.
Mirna: pasti dari Mas Riko
Pak Yanto: bukan, saya dapat dari Bu Aminah hehehe
Mirna: ada keperluan apa?
Pak Yanto: besok bisa temani saya belanja?
Mirna: belanja apa? Tidak bisa yang lain?
Pak Yanto: Saya lebih dekat denganmu
Mirna: lihat besok ya pak, gak bisa janji.
Pak Yanto: iya, tidak masalah.
Mirna: apa yang mau dibelanjakan?
Pak Yanto: saya perlu perlengkapan dan pakaian kerja.
Mirna: bukannya Mas Riko sudah kasih?
Pak Yanto: ya, saya tetap tidak enak. Lagipula saya tidak miskin-miskin banget.

Siang Hari Pukul 11.00

Pak Yanto: Mirna, kalau siang masak apa?
Mirna: tergantung, kadang masak, kadang tidak.
Pak Yanto: wah Riko beruntung sekali ada istri yang senang hati memasak.
Mirna: Makanya, Pak Yanto ajak istri ke Jakarta, supaya ada yang masakin.
Pak Yanto: istri saya sudah kerasan sekali di kampung. Kalau soal masak-memasak ya saya menunggu ada yang berikan saja. Hehehe. Saya bukannya sudah cerita ke kamu?
Mirna: Berarti kalau makan sehari-hari, nunggu ada yang memasak juga?
Pak Yanto: enggak, kadang saya beli, tetapi lebih sering memasak sendiri. Hitung-hitung menghemat pengeluaran.
Mirna: kalau sekarang masak atau beli?
Pak Yanto: masak, goreng nasi dan telur dadar hehe. Kalau Mirna sendiri sekarang masak apa beli?
Mirna: kenapa?
Pak Yanto: kalau masak siapa tahu bisa dikirim kemari.
Mirna: masakanku tidak begitu enak pak
Pak Yanto: belum dicoba kok sudah bilang enggak enak. Hehehe
Mirna: beneran mau cobain?
Pak Yanto: boleh banget, apalagi yang memasak kamu
Mirna: kapan-kapan ya, karena lagi enggak masak.
Pak Yanto: hehehhe enggak masalah, kirain masak.

Sore hari Pukul 16.00

Pak Yanto: kalau saya chat kamu seperti ini, Riko enggak marah kan?
Mirna: mengapa harus marah?
Pak Yanto: suami pasti punya rasa cemburu kalau istrinya berkomunikasi dengan pria lain.
Mirna: oh enggak kok Pak.
Pak Yanto: Saya masih suka terbayang dulu itu.
Mirna: maksudnya terbayang apa?
Pak Yanto: tidak perlu dibahas, kamu tersinggung lagi nanti.
Mirna: Emmm... perkara aku pakai tanktop ke warung bu aminah itu kan? (Aku baru tahu kalau Mirna pernah hanya mengenakan tanktop saat berbelanja ke warung Bu Aminah)
Pak Yanto: Iya, hehehe
Mirna: payudaraku memang sudah begini ukurannya, jangan dibahas lagi.
Pak Yanto: saya saat itu tidak menyangka kamu akan tersinggung ketika saya bilang besar ukurannya. Menyesal sungguh menyesal. Untung kamu mau menerima permohonan maaf saya.
Mirna: iya, sudah tidak perlu dibahas lagi pak. Lagipula saat itu kita kan baru kenal. Aku juga tidak terlalu kenal bapak.
Pak Yanto: jadi sekarang sudah kenal ya? Hehehe
Mirna: iya, ngeres dan nakal.
Pak Yanto: ah masa saya seperti itu.
Mirna: coba dipikir
Pak Yanto: berarti tidak boleh nakal?
Mirna: boleh, asal tidak sering-sering.
Pak Yanto: nakalin kamu, boleh?
Mirna: mulai lagi kan.

Aku menggeleng-geleng membaca isi percakapan chat Mirna dengan Pak Yanto hari ini. Semakin penasaran selama bertemu langsung apa saja yang mereka bicarakan. Rasanya tidak mungkin hanya gombalan yang diutarakan Pak Yanto. Percakapan chat ini saja merinding membacanya. Di sisi lain, aku malah merasa semakin yakin kalau keduanya bisa dipersatukan dalam satu ranjang. Apakah aku sampaikan ke Mirna saja ya. Aku tawarkan ke istriku, mau ia tidur dengan Pak Yanto. Ah, aku ragu. Jangan-jangan jika aku berkata demikian malah membuat Mirna menjaga jarak dengan Pak Yanto. Aku tidak boleh gegabah. Aku harus membiarkan komunikasi di antara keduanya mengalir dulu. Aku juga sebetulnya ingin menanyakan ke istriku, tepatnya kapan ia mengenakan tanktop ke warung Bu Aminah. Namun, apakag itu justru akan membuat Mirna curiga bahwa aku telah memeriksa ponselnya? Sebaiknya jangan. Aku perlu hati-hati.

"Papa jorok ih..."

"Hah? Jorok kenapa? Baru selesai mandi udah bilang aku jorok aja"

"Iya, masa celana dalam mama dikenain sperma, papa onani pakai celana dalam mama ya?"

"Apa? Onani pakai celana dalam mama?"

"Iya bau spermanya kecium di celana dalam mama, tumbenan banget ih onani"

"Eh?", aku bingung harus jawab apa. Wah, jangan-jangan.......

"Ditanya malah diem. Yasudah giliran papa mandi sana..."

"Iyaa..."

Aku melongo tak percaya kalau dugaanku benar itu adalah sperma Pak Yanto yang diendus dan dikenai celana dalam Mirna. Pak Yanto telah berbohong kalau ia belum menyentuh pemberianku. Namun, apakah ia ada memberitahu ke orang lain, terutama Mirna ya? Ah buktinya Mirna malah mengira aku ya menyemprotkan mani ke celana dalamnya. Bagaimana mungkin. Aku saja menyusupkannya ke kemeja yang diberikan ke Pak Yanto, lebih baik aku mengiyakan saja daripada keluar seribu pertanyaan dari benak istriku.

Selesai mandi dan bersih-bersih, aku istirahat sejenak di depan teras rumah sembari menunggu azan Maghrib berkumandang. Kemudian Mirna menghampiriku sambil membawa cemilan pendamping. Kami berdua pun berdialog sederhana, membahas kuliah Rengga hingga aku besok mau dibawakan bekal atau tidak.

"Paa, kalau mama jadi nakal, kamu rela kah?"

"Nakal bagaimana yang kamu maksud?", tanyaku membatin girang.

"Misal ada laki-laki godain aku, terus aku tanggepin"

"Kamu mau selingkuh?"

"Eitss, bukan, bukan! Amit deh selingkuh"

"Lalu, apa dong namanya?", tanyaku terheran. "Memang ada yang sedang godain kamu?"

"Emmm, enggak, aku sepintas nanya aja"

"Wooh, nanya doang. Ya untuk apa aku jawab, kamu juga cuman nanya. Belum tentu akan atau mau mengalami"

"Ya sih", sahut Mirna memegang sekaligus melihat isi pesan yang masuk ke ponselnya. Sayangnya, aku tidak bisa melihat dari siapa pesan tersebut. Akibatnya, aku malah menyangka itu sambungan pesan rada mesra dari Pak Yanto sore tadi.

"Kok diam? Lagi balas chat siapa?"

"Eh ini, balas chat Frida"

"Oh Frida, temen kantormu dulu itu ya?"

"Iya paaah", jawab Mirna gugup. Setelah itu, kami kembali bercakap-cakap dengan obrolan yang normal kembali, seperti bicara masalah pendapatan dan pengeluaran rumah tangga dan uang kuliah Rengga.



====================

Di Balik Layar</span>

Malam hari setelah makan bersama, aku mengantuk sekali karena kekenyangan dan kelelahan bekerja seharian, tak dipungkiri banyak berkas yang mesti aku urus akhir-akhir ini di kantor. Ya sesekali aku masih bisa berkomunikasi dengan keluarga serta orang-orang di sekitarku, supaya kekeluargaan dan kerukunan tetap terjalin. Akan tetapi, malam itu aku betul-betul tidak bisa melayani birahi Mirna. Sedih. Seingatku saja ia berkata sedang kepengen, namun aku sedang payah sekali. Sehabis itu aku tak tahu apa yang mau dilakukannya.

"Kalau begitu, aku masturbasi saja ya?"

"Iya boleh, Maaa. Maaf yaa, ngantuk banget"

Sesayup-sayup penglihatanku yang kabur dijemput kantuk, tampak Mirna sedang mengangkang. Ujung sex toys bergetar, digesek-gesek ke klitoris vaginanya. Aku tak berdaya mendengar lenguh-desah suara istriku. Lelah badan terlanjur menguasai. Ah istriku, maafkan aku....

<div style="text-align: center">=Y='
"Aku ada kuliah pagi"

"Enggak bisa libur dulu hari ini?"

"Mana bisa..."
"Untuk apa juga buntutin Mama? Suka aneh si papa"

"Waduwh, susah juga papa teranginnya ke kamu"

"Kalau susah, gak perlu mestinya aku turutin permintaan papa"
"Enggak jelas.... "

"Kalau tidak bisa, ya sudah, papa enggak memaksa"

"Iya, maaf ya Paaah, aku masih ngantuk", ujar Rengga masih berguling di atas tempat tidur.

Dari riwayat chat percakapan Mirna dan Pak Yanto yang kubaca kemarin, hari ini mereka akan berbelanja ke pasar. Mirna mau menemani Pak Yanto berbelanja pakaian. Namun, masih belum terlihat akan jadi terlaksana atau tidak. Mirna juga tak memberitakukan bahwa ia mau jalan bersama Pak Yanto hari ini kepadaku. Apakah ia merahasiakannya dariku, suaminya? Belum tentu. Barangkali Mirna mengundurkan keinginan Pak Yanto, tetapi aku tidak tahu saja. Jalan satu-satunya supaya jelas ialah aku menanyakan ke Mirna langsung. Ia sedang menghidangkan sarapan pagi.

"Kamu hari ini di rumah kan, Maa?", tanyaku menjumpai Mirna di ruang makan. Ia masih mengenakan daster yang dipakainya tidur bersamaku semalam.

"Iyaa, ada apa?"

"Emmmm, jangan lupa telepon papa kayak biasa ya..."

"Pengen diteleponin tiap siang nih, ceritanya?"

"Boleh, hehehe"

"Yuk, sarapan dulu, paah"

"Wih enak banget nih nasi gorengnya!"

"Iyaa dong...."

Dari penuturan Mirna ketika aku bertanya, ia tak akan kemana-mana. Itu berarti ia tidak jadi menemani Pak Yanto pergi. Aku bisa tenang sekarang, menikmati sarapan pagi sebelum berangkat kerja. Sejujurnya aku malah ingin sekali Mirna menemani Pak Yanto ke pasar, hanya saja masalahnya aku tak bisa mengamati gerak-gerik mereka berdua. Siapa tahu Pak Yanto kembali menggombali istriku, apakah rela aku melewati momen itu? Ditambah kemarin sore Mirna melontar pertanyaan yang hampir tidak pernah diajukannya. BAGAIMANA KALAU IA MENJADI NAKAL? Aku tidak paham maksud pertanyaan Mirna. Apakah ada sangkut paut dengan Pak Yanto. Lalu bagaimana dengan jejak sperma di celana dalam Mirna? Ah, tidak salah lagi itu pasti sperma Pak Yanto. Kalau bukan, lantas siapa. Aku? Kurang kerjaan.

Kalau bisa ambil cuti atau izin hari ini, aku akan ambil. Aku mau memantau kegiatan Mirna seharian. Sayangnya, sedang banyak kerjaan. Untuk menepis prasangkaku yang terus muncul, aku perlu menelepon Pak Yanto, mengundangnya datang ke sini, ya boleh jadi ada keusilan yang akan diperbuatnya ulang.  Aku penasaran. Sebaliknya mungkin aku yang justru mengerjai Mirna pagi hari.

"Halo pak yanto?"

"Ya ada apa Pak Riko?"

"Enggak mengganggu kan?"

"Wah aman, sedang santai juga ini. Ada apa ya?"

"Kalau tidak keberatan, berkenan ke rumah sayakah pagi ini?"

"Siap. Ada keperluan apa? Mendadak sekali"

"Saya rencana mau ajak Pak Yanto ke tempat kerja hari ini. Jadi setidaknya sebelum hari Senin, Pak Yanto sudah tahu lokasi dan medan kerjanya seperti apa"

"Oke baik Pak Riko. Saya nurut saja"

"Saya tunggu ya, Pak Yanto gak ada acara kan?

"Enggak, luntang lantung begini mana punya acara, hehehe. Untuk pakaian yang mesti saya kenakan?"

"Kaos dan celana panjang saja dulu, yang penting rapi"

"Baik, baik...."

"Saya tunggu Pak Yanto, sekalian sarapan dulu di sini"

"Wah jadi repot-repot. Hehe. Ya sudah. Saya mau siap-siap, saya tutup dulu teleponnya"

"Oke"

Ketika aku menghubungi Pak Yanto, Mirna membisu tidak berkomentar. Ia konsenterasi mengunyah masakannya pagi ini. Kemudian ia tiba-tiba masuk ke kamar, mau mengambil ponselnya. Sebaliknya aku juga tak berbicara sedikitpun. Apakah kira-kira yang ada di benak Mirna, saat di luar dugaan aku memanggil Pak Yanto kemari? Aku tak mau menebak-nebak. Yang jelas sarapan yang dibuat Mirna cukup, bukan hanya untuk kami bertiga.

Di samping itu, aku menunggu apa kira-kira reaksi Pak Yanto memandangi Mirna yang dengan rambut hitam sebahunya dan daster berwarna biru mencolok, membungkus tubuh montok dan aduhai istriku ini. Tinggi Mirna adalah 166 cm, sedangkan Pak Yanto 174 cm. Pasangan yang sungguh ideal seandai mereka bercinta. Aku mau mereka berdua berbugil ria. Apakah mungkin? Semoga.

"Kok gak ada bilang-bilang sih mau ajak Pak Yanto sarapan pagi di sini?"

"Kurang ya sarapannya?"

"Bukan itu yang aku maksud, ya mendadak banget"

"Iya maaf aku lupa, semalam aku sudah berencana ajak Pak Yanto ke kantor, supaya dia tahu hari senin kerjanya seperti apa"
"Enggak masalahkan?"

"Enggak"

"Terima kasih sayang...", ucapku dalam hati tertawa geli karena istriku saja diam-diam berbalas dengan Pak Yanto tidak ada bilang.

"Aku mau ganti baju dulu"

"Iya, silakan", batal rencanaku memberi kesempatan Pak Yanto menatap tubuh Mirna hanya berbalut daster. Mirna jeda sejenak. Ia membawa hapenya masuk ke kamar seraya akan berganti pakaian. Aku tak kehabisan akal. Aku punya hal lain. Selama menunggu kehadiran Pak Yanto dan Mirna selesai ganti baju, giliranku untuk menikmati sarapan pagi, NYAMMM!! Memang pintar masak istriku, Mirna. Tak salah aku menikahinya. Namun, bukan hanya masakannya, aku punya hasrat tubuh Mirna bisa dinikmati oleh pria lain. Pal Yanto? Mengapa tidak. Ketika sedang enak mengunyah lahap nasi goreng dan telur dadar, sebuah chat WA masuk, dari Pak Yanto.

"Maaf betul Pak Riko, saya baru keingat banget, ternyata hari ini saya punya janji menemani teman saya, apakah bisa ditunda Jum&#039;at besok? Mohon maaf betul ini pak" (Jangan-jangan teman yang dimaksudnya adalah istriku)

"Ohh begitu, ya enggak masalah, silakan kalau memang sudah terlanjur janji. Kalau besok, bisa kok", jawabku kecewa.

"Terima kasih atas pengertiannya, Pak Riko"

"Iya, sama-sama", balasku pasrah.

Setelah perubahan demi perubahan yang tak karuan ini, mau tak mau aku harus memata-matai WA Mirna. Rencana apapun  yang akan disusun tak ada guna apabila perubahan demi perubahan terjadi. Aku harus menautkan perangkat akun WA Mirna agar bisa memantau percakapannya dengan Pak Yanto. Mudah-mudahan ia tidak menyadari. Oleh karena itu, Aku meninggalkan ruang makan sebentar, mengintip aktivitas istriku di kamar. Saat mengetahui Mirna di kamar mandi buang air kecil, aku buru-buru menautkan perangkat WA nya pada aplikasi yang terdapat pada ponselku.

BERHASIL!

<div style="text-align: center">=Y='
Pagi Pukul 06.20 WIB

Mirna: Pak Yanto ngapain ke sini?
Pak Yanto: Loh kamu tahu? mengapa tanya ke saya. Riko yang malah minta saya ke sana.
Mirna: Iya, batalin saja.
Pak Yanto: Mengapa dibatalkan? Saya juga bingung harus bilang apa, sudah bilang, iya bisa.
Mirna: Kalau gitu berarti enggak jadi belanja nih ya?
Pak Yanto: ya, enggak. Enggak tahu juga bagaimana membatalkannya. Terlanjur sudah ngomong, iya.
Mirna: bilang aja sudah janji dengan teman.
Pak Yanto: boleh boleh, saya turutin. kamu pengen banget jalan sama saya ya?
Mirna: kepedean iih. Ya udah terserah bapak. Aku enggak suka terima tamu saja pagi-pagi. Lagipula sarapannya juga enggak cukup. Mas Riko pun dadakan bilangnya kalau mau ajak Pak Yanto sarapan.
Pak Yanto: baiklah, saya batalkan saja berkunjung ke rumahmu, termasuk ikut suamimu ke kantor?
Mirna: Iya
Pak Yanto: tapi kamu tetep temenin saya kan?
Mirna: Iyyyyaaa paaakk.
Pak Yanto: <img class="smilie smilie--emoji" loading="lazy" alt="🤗" title="Hugging face    :hugging:" src="https://cdn.jsdelivr.net/gh/twitter/twemoji@14.0.2/assets/72x72/1f917.png" data-shortname=":hugging:" />

Pantas semua berubah haluan seketika. Mirna ke kamar bukan sekadar ganti pakaian, melainkan mengirim pesan ke Pak Yanto. Wah, wah, betul-betul istriku sudah menjalin kedekatan dengan laki-laki itu. Aku ikut senang, tetapi tidak bisa mengetahui lebih jauh di balik layar berbalas pesan tersebut. Pak Yanto lincah memodusi Mirna. Sebaliknya Mirna seolah-olah memberi jalan. Aku mau menyimak saja kalau seperti ini, akan ke mana akhirnya. Seru juga hehehe.

Di balik riwayat pesan Mirna dengan Pak Yanto. Pandanganku tertaut kepada riwayat percakapan Mirna dengan Firda, teman kerjanya dulu. Sebagian pesan lama sudah terhapus. Sepertinya Mirna rutin membersihkan percakapan dengan Firda sehingga aku tak terlalu paham arah pembicaraan mereka.

Kemarin Malam Pukul 22.15

Mirna: begitu saja kerjainnya?
Firda: namanya laki-laki hidung belang, ya pasti dikerjain seperti itu langsung nangkep umpan. Hehehe.
Mirna: sebenernya gue males banget nih harus sampai begitu.
Firda: anggap saja latihan memanas-manasi suami lo kalau dia selingkuh. Hahaha
Mirna: bukan selingkuh, otaknya keblinger! Masa pengen lihat aku digituin sama laki-laki lain.
Firda: hahahaha, kebanyakan nonton bokep tuh laki lo.
Mirna: iya bener banget. Emm... terus nanti apalagi yang gue mesti lakuin?
Firda: Lo pancing aja terus, sampai dia kepincut sama lo. Nah pas dia udah kebelet dan kelewatan, lo labrak deh. Biar dia baper hahahahahaha. Sekarang yang penting lo gas-rem itu laki-laki mau apa.
Mirna: wah gila, keren ide lo. Supaya dia gelisah sendiri sama otongnya. Puyeng, puyeng, deh.
Firda: cie yang lagi dimodusin Om-om
Mirna: ngawur, males banget.
Firda: siapa tahu otongnya gede, Mir. Hahaha. Lo sekarang bilangnya dia bakal kepincut, eh lonya nanti malah ikut-ikutan kepincut lagi. CAPE DEH! HAHAHA
Mirna: Amit-amit jangan sampailah...

Meskipun tidak memahami percakapan Mirna dan Firda aku menangkap maksud mereka. Dengan begini, aku bisa mengadakan serangan balasan. Maafkan aku ya sayang. Kamu sih sudah main api duluan, aku jeblosin sekalian aja sepertinya. Kendati telah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, aku berusaha mencari tahu apa yang hendak dilakukan istriku bersama Pak Yanto hari ini. Sayangnya, aku tidak bisa. AH SIALAN.

Setelah makan pagi, aku pamit berangkat kerja ke Mirna tanpa dia sadari bahwa sekarang aku bisa mengetahui komunikasi chatnya melalui pesan WA yang masuk-keluar, baik dari Pak Yanto atau Firda sekalipun. Melambaikan tangan dan melempar senyum, Aku mengendarai sepeda motorku penuh konsentrasi kendati sedikit tak rela Mirna menjalankan misinya yang tak kuketahui sama sekali yang akan dilakukan. Pekerjaan kantor sedang melimpah. Dari ponsel saja aku memantau. AH GELISAH.

Pagi Hari Pukul 10.00

Pak Yanto: Kamu di mana?
Mirna: Masih siap-siap
Pak Yanto: dandan yang cantik ya.
Mirna: ke pasar, ngapain juga dandan. Bapak di mana?
Pak Yanto: di depan rumah kamu. <img class="smilie smilie--emoji" loading="lazy" alt="🤗" title="Hugging face    :hugging:" src="https://cdn.jsdelivr.net/gh/twitter/twemoji@14.0.2/assets/72x72/1f917.png" data-shortname=":hugging:" />
Mirna: Gak perlu disamperin juga.
Pak Yanto: Gak apa. Saya kan yang minta tolong ditemenin.

Membaca pesan di atas, membuat konsenterasiku terhadap pekerjaan buyar. Pikiranku terhuyung-huyung, apakah yang akan dilakukan Mirna kepada Pak Yanto. Begitu pula Pak Yanto terhadap Mirna. Aku ingin mengetahui aktivitas dan pergerakan mereka berdua. AAAARGGHHH rasanya aku ingin tinggalkan kantor ini sebentar. Namun pekerjaan mencegatku pergi. YA TUHAN! AKU MESTI FOKUS! FOKUS! Aku berusaha menyimpan ponsel di laci meja dan menatap tajam layar komputer serta berkas-berkas di atas meja. KERJA! KERJA!

Sialnya malah ketika jam istirahat tiba, saat aku punya kesempatan memegang ponsel, tetap tak ada percakapan yang muncul pada akun WA Mirna. Bahkan Mirna menghubungiku juga tidak. Aduh, aku ingin menelepon Mirna, tetapi rasanya sungkan mengganggu &#039;kencan&#039; nya dengan Pak Yanto. Lebih baik, sampai di rumah saja aku tanyakan. Barangkali ada cerita yang akan disampaikan oleh Mirna. Ah, jam begitu lama berputar, PAYAH! GREGETAN!

<div style="text-align: center">=Y='
"Papa udah pulang, uncchhh suamiku cape pasti ya", sambut Mirna manis. Ia mencium tanganku saat aku selesai memarkirkan sepeda motor.

"Iyaa nih, tolong bikinin teh hangat dong"

"Boleh, kamu mandi, ganti baju, nanti sekalian makan malam ya"

"Iyaaaa, sayang", jawabku malas, lekas rebahan di bangku ruang tamu karena cape menerobos kemacetan Jakarta.

Ketika Mirna masuk ke dalam, ke dapur menyiapkan teh hangat, langkahku ke kamar terhenti oleh Rengga yang juga baru pulang. Ia berbisik pelan memintaku masuk ke kamarnya. Aku yang penasaran memaksa langkah mengikuti Rengga.

"Ada apa?", tanyaku memerhatikan Rengga menutup pintu kamarnya.

"Tadi pas mau berangkat kuliah, aku lihat mama pakai baju kaos putih agak menerawang. Gak biasanya loh paaah. Malah kaosnya ketat banget lagi"
"Aku sih ngira mau keluar rumah, rada rapi. Cuman ya bajunya aja"

"Ah yang bener kamu?"

"Iya, kaosnya ketat gitu, tahu sendiri kan mama bodinya seperti apa. ya karena menerawang ya agak kelihatan deh Mama pakai BH warna cokelat"
"Aku cuman mau laporan aja, tapi jangan sampai mama tahu kalau aku kasih tahu ke papa ya?"

"Tenang, terima kasih ya"
"Bawahannya mama pakai celana apa?"

"Celananya sih aman aja sih, celana panjang kain gitu, gak terlampau ketat kayak pakaiannya"

"Mmmm... ada lagi?"

"Udah sih itu aja, paaa"

"Oke, papa ke kamar dulu yaa", jawabku membuka pintu kamar Rengga perlahan-lahan.

Mendengar informasi dari Rengga, aku lekas mengecek akun WA Mirna karena sejak berusaha fokus dengan pekerjaan, aku betul-betul tak membuka akun WA istriku lagi, termasuk memantau pesan yang keluar-masuk.

Sore Hari Pukul 16.20

Pak Yanto: Sudah sampai rumah?
Mirna: Sudah, pak yanto sudah?
Pak Yanto: udah juga hehe. Kan kita pulang bareng.
Mirna: sudah tahu, pakai nanya ihh.
Pak Yanto: jadi mau dibelikan pakaian yang tadi? Hehehe
Mirna: belikan untuk istri bapak di kampung aja.
Pak Yanto: lebih cocok dipakai kamu.
Mirna: malu ah, masa belinya untuk bini orang.
Pak Yanto: ya gak apa apa. Anggap hadiah atau apa gitu.
Mirna: sudah dulu, aku mau beres-beres.
Pak Yanto: kamu seksi banget tadi
Mirna: kok bisa bilang begitu?
Pak Yanto: ada yang menerawang tapi bukan uang hehe
Mirna: ohhh, sengaja biar gak ada yang bolak balik nanya lagi.
Pak Yanto: hhhmm begitu.
Mirna: sudah dulu, aku mau beresin rumah.
Pak Yanto: kapan-kapan kita jalan lagi ya...

Membaca sekilas riwayat percakapan antara Istriku dan Pak Yanto, rasanya campur aduk. Di satu sisi aku tahu ini adalah kesengajaan Mirna yang mau menjebak Pak Yanto. Di sisi lain, aku cemburu bercampur amuk birahi yang ingin hubungan mereka lanjut di tempat tidur. Aku tak rela Pak Yanto diisengi dan dijebak begitu saja. Aku justru mau menyerang Mirna agar Pak Yanto mendapatkan apa yang mau dia dapatkan. Ah, bagaimana ya caranya.

Ketika mau menutup ponsel, tiba-tiba kuperhatikan pesan dari Mirna terkirim ke Pak Yanto.

Mirna: nanti malam jangan kirim gambar-gambar kayak gitu lagi ya pak


====================


Sebuah Pendekatan</span>

"Papa belum mandi?"

"Nanti, masih keringet..."

"Ganti baju aja dulu, cuci muka, kan habis dari luar"

"Iyaa, sayang", jawabku terduduk di depan sofa ruang tamu. Aku terus-menerus memandangi ponselku, menunggu-nunggu balasan Pak Yanto dari chat Mirna lewat WA barusan. Namun, belum dibaca sama sekali, hanya centang dua.

"Kamu ada apa, paah? Tumben pulang kantor udah lihatin hape aja"

"Ini lagi baca-baca berita, denger-denger harga sembako mau naik lagi"

"Aku denger juga begitu, semoga aja cuman isu yaa"

"Ya semoga, oh ya hari ini kamu enggak ada telepon aku loh Maa?

"Hehehe, maaf, mama tidur siang, Paah"

"Hmmm... gak biasanya kamu siang-siang tidur"

"Enggak tahu nih, ngantuk banget habis bersih-bersih rumah pagi tadi"

"Kamu belum sarapan kali"

"Kan sarapan bareng kamu"

"Oh ya, bener"

Mirna tidak mengakui hari ini ia keluar rumah. Dia sudah bisa berbohong kepadaku hanya karena ingin mengerjai orang. Dalam hati, aku hanya bisa berpesan kepada dia, AWAS KAMU KENA BATUNYA. Dari penampilan Mirna menyambutku, memang tidak terkesan ia baru dari luar. Pakaiannya pula tak seperti yang diceritakan Rengga. Tertutup, tidak ada kelihatan menerawang dari baju lengan panjang yang dipakainya. Kalau bentuk buah dadanya, ya akan selalu terlihat membulat mencolok apabila mengenakan kaos apapun, kecuali ia memakai gamis atau baju kurung. Ya itulah perawakan istriku yang bertubuh molek dengan lengan gempalnya. Aku melarangnya diet atau olahraga karena ingin kurus, karena bagiku tubuhnya sekarang sudah pas, sesuai selera nafsuku, menghibur mata dan menggairahkan. Orang lain pasti beranggapan demikian, contohnya Pak Yanto.

Aku tidak tahu kapan Pak Yanto mulai tertarik dengan Mirna. Barangkali semenjak sering bersua saat Mirna sedang bertandang ke rumah Bu Aminah untuk belanja sembako dan keperluan pangan keluarga kami. Intensitas itu yang menumbuhkan benih-benih nafsu di kepala Pak Yanto. Aku terledor selama ini membiarkan istriku dengan pakaian sederhana ala kadarnya belanja ke warung Bu Aminah. Sudah tahu istri cantik, bikin nafsu, kok bisa dikasih kesempatan laki-laki lain memandangnya. Memang Itu anugerah. Aku yang kelewat miring, ingin Pak Yanto meniduri istriku. Ingin threesome, ingin Mirna kejeblos lubang yang digalinya sendiri.

"Paaa, jangan ngelihatin hape terus dong"

"Iyaa, ini aku mau ambil handuk", ucapku beranjak dari sofa masuk ke kamar.

"Pakaiannya sudah aku siapin di atas tempat tidur"

"Terima kasih, sayang", jawabku pelan-pelan melepas kancing pakaian kerja yang kotor, memasuki kamar yang adem karena pendingin ruangan sudah menyala.

KRING
Ponselku berbunyi. Sebuah pesan dari Pak Yanto aku terima.

Sore Hari Pukul 17.45

Pak Yanto: Besok pagi saya ke tempat bapak jam berapa?

Aku menghadap cermin lemari, tidak berkenan langsung membalas pesan Pak Yanro, justru lekas mengecek akun WA Mirna. Barangkali ketika ia mengirim pesan kepadaku, Pak Yanto juga membalas pesan Mirna. Di luar sana Mirna juga tampak sedang aktif memegang ponsel.

Pak Yanto: gambar yang mana? Masa kirim gambar Kucing Kawin saja dilarang-larang. Kamu gak suka kucing? Hehehe
Mirna: bukan itu, ah males, pura-pura gak tahu.
Pak Yanto: iya, enggak akan kirim lagi. Saya kira karena kamu sudah masuk usia mateng, boleh-boleh aja membahasnya. Maaf ya...
Mirna: buah kali mateng.
Pak Yanto: enak dong kalau buah mateng. Tapi buah apa dulu nih.
Mirna: mangga, puas?
Pak Yanto: hehehe enggak, saya enggak suka mangga. Sukanya pepaya.
Mirna: kenapa gak beli sekalian aja tadi di pasar.
Pak Yanto: kelupaan, terlalu kebawa asyik pegangan tangan sama kamu tadi. Hehehe (WAH PAKAI ADA ACARA PEGANGAN TANGAN)
Mirna: Lain kali jangan yaaa, pak.
Pak Yanto: iya, kan sebentar aja tadi, lah terus pegangannya apa?
Mirna: pegang tembok aja. Tadi gak sebentar ih.
Pak Yanto: iya berasa sebentar menurut saya. Pengen lebih lama.
Mirna: Sudah dulu ya Pak, mau siapin makan malam.

Hhhmm... Sekarang Aku tahu harus bagaimana membalas pesan Pak Yanto. Aku lekas letakkan ponsel di bawah bantal tidurku. Aku memutuskan untuk mandi lebih dahulu, menenangkan pikiran agar tidak keliru mengambil sikap.

Kalau Mirna dan Firda bisa bersekongkol mengerjai orang lain, mengapa aku tidak. Aku perlu rekan untuk kolaborasi agar tidak kelimpungan sendirian. Aku sebetulnya ingin anakku, Rengga, membantuku memberi pelajaran kepada Mamanya. Akan tetapi, melihat respon Rengga yang tak menentu, kadang mau bergerak, kadang malas, aku pun sedikit ragu-ragu. Oleh karena itu, sepertinya aku perlu orang lain membantu kerjaku, menjebloskan Mirna.

"Halo, Mba Yanti, kabarny gimana?"

"Alhamdulillah baik, Ko. Kamu sendiri bagaimana?"

"Aku juga baik, Mba"

"Wah telepon gini kayaknya ada yang mau dikabarin ke aku nih. Tapi enggak apa kamu teleponan sama aku? Kamu gak lupa kan kalau Mirna selalu cemburu dengan kedekatan kita?"

"Enggak akan lupa kok. Tapi aman kok ini"

"Bagus deh, terus ada yang bisa kubantu?"

"Bisa kirimin video-video jadul Mba dulu gak?"

"Video jadul? maksud kamu?"

"Video yang mba pernah kirim ke aku, yang direkam sama suami Mba sendiri itu loh"

"Wahahahahahaha kamu inget aja yaah"

"Ya ingetlah. Hehehe Masih ada kan?"

"Masih, untuk apa? Kayaknya cuman ada beberapa"

"Ya aku mau ngajarin Mirna exhib gitu kayak Mba dan suami. Yang ada aja kirimin gapapa"

"Wah kamu ya, masih nakal belum berubah. Udah nikah loh, punya anak lagi"

"Pengen cari suasana baru aja, biar gak gitu-gitu aja berumah tangga. Hehehe"

"Tunggu ya, aku ke WA kamu"

"Siap"

Selesai mandi, aku langsung menelepon Mba Yanti, rekan kerjaku dulu. Karena harus mengikuti kerja suaminya, seorang manajer yang rutin dipindah-pindahkan, terpaksa pula ia hijrah dari kantorku. Kami berkawan sangat dekat sampai-sampai Mirna tak berkenan aku terlalu intens menghubungi Mba Yanti kalau tidak perlu. Namun, aku tetap bersikeras berhubungan dengannya. Akibatnya, Mirna terbakar api cemburu. Ia marah dan tegas memintaku menjauhi Mba Yanti. Kedekatanku dengan wanita yang kini telah berusia 44 tahun itu sebetulnya ibarat kakak dan adik, kendati Mbak Yanti punya bodi tidak kalah menggoda jika dibandingkan dengan Mirna.

Kepadanya aku sering berbagi cerita banyak hal, sampai ke urusan ranjang sekalipun, termasuk cerita Mba Yanti yang kerap membahagiakan suami lewat exhibnya di berbagai tempat. Ia pernah bersetubuh dengan sang suami di sebuah kolam renang hotel mewah di Bali. Bahkan Ia juga pernah mengenakan lingerie menemui driver ojek online mengantarkan makanan. Suaminya pula rutin menyimpan foto-foto seksi Mba Yanti. Lewat pengalamannya itu pula fantasiku terus berkembang, termasuk threesome dan cuckold. Sayangnya, Mba Yanti dan suami tidak berminat dengan fantasiku.

"Kamu habis telepon siapa?", tanya Mirna dengan nada menginterogasi, menemuiku di kamar. Kami berdiri berhadap-hadapan.

"Mba Yanti, cuman nanya kabar aja"

"Enggak ah, tadi aku denger kamu minta kirim video"
"Video apa?", aku memutuskan diam awalnya agar tidak timbul perlawanan lebih sengit dari Mirna. "Awas ya, jangan macem-macem, aku kan udah peringatin kamu dulu", ujar Mirna berubah judes dengan nada meninggi.

"Aku ingat, sayang, inget! Aku enggak akan macam-macam, tenang!"

"Mana aku bisa tenang, kamu hubungi Yanti itu lagi"
"Gak kapok-kapok ya kamu"

"Kalem, sayang, kalem dulu. Aku tadi hubungi Mba Yanti karena perlu video engghh itu....", ujarku kehabiskan kata.

"Video pose seksi dia bareng suaminya? Iya kan?!"

"Emmmh..."

"jawab, Mas! Jawab!", gertak Mirna, menuding ke arah wajahku.

"Iyaaa...."

"Kamu tuh bener-bener gak berubah, ya?!"
"Harus bagaimana sih supaya ngubah kamu jadi bener?!"

"....", aku ingin menyahut DENGAN KAMU MENURUTI KEMAUANKU. Akan tetapi, aku tidak mau emosi Mirna semakin meledak. Aku juga bisa saja mengelak balik dengan mengatakan Mirna juga di luar sepengetahuanku berbuat yang aneh-aneh yang bisa membahayakan dirinya sendiri. Namun, aku rela mengalah. Mirna pergi meninggalkan kamar, mematunglah diriku yang kemudian buru-buru sembunyikan ponsel agar istriku tidak merampas dan mencari tahu.

"Sudah terkirim yaaa"

"Beresss Mba Yanti, makasih banyak, salam untuk Mas Gilang"

<div style="text-align: center">=Y='
Malam hari pukul 21.45

Mirna: suami gue berhubungan lagi sama temen kerjanya dulu. Sebel banget deh.
Firda: Oh yang lo pernah ceritain dulu itu?
Mirna: iya.
Firda: hellooo mirnaa... apa kabar kalau suami lo tahu yang lo lakuin hari ini.
Mirna: beda kasus dong, say. Itu kan karena gue niatnya pengen kerjain orang.
Firda: ya beda tapi kalau suami lo tahu ulah lo gimana?
Mirna: tenang, semua terkendali.
Firda: Lo mau sampai kapan kerjain itu Om Yanto?
Mirna: gak usah pakai Om segala kali...
Firda: beda sama yang suka manggil BAPAK. cieee hihihi.
Mirna: udah ah. Terus gue mesti gimana?
Firda: gimana apanya dulu nih?
Mirna: masalah suami gue.
Firda: pantau aja dulu, kalau gelagatnya udah mencurigakan banget baru kita pikirin.
Mirna: huufff oke.
Firda: Lo sendiri mau sampai kapan ngerjain Itu si Yanto?
Mirna: Sampai dia ngomong nafsu sama gue lah...
Firda: wihh gila lo, Mirna. Kagak kasian apa sama orang tua.
Mirna: gak masalah, gue cuman pengen dia balik ketemu istrinya, nuntasin birahi sama istrinya.
Firda: tapi gak perlu sejauh itu juga kali cara lo.
Mirna: gapapa, gue mau bikin dia senang dulu.

Sungguh jauh sekali perbandingannya. Mirna dapat melakukan apa yang dia mau. Sebaliknya aku tenggelam dalam kebungkaman. Sampai kapankah aku harus bertahan dan tidak bereaksi cepat nan lugas dengan sikap Mirna. Meski di luar dugaan Mirna memarahiku, aku merasa semua masih dalam rencana. Hanya perlu sering memantau percakapan antara Mirna dan Firda, serta Pak Yanto. Naas, karena sedikit gegabah menghubungi Mba Yanti tak disertai alasan yang valid, imbasnya aku terpaksa tidur di luar kamar. Mirna tak mau tidur bersamaku malam ini. Aku ikhlas.

Rebahan di sofa sembari menonton televisi, aku menanti Mirna berbalas pesan malam ini. Lagipula aku tak sedang bersamanya sehingga dia bisa leluasa mengirim pesan kepada siapapun. Aku menunggu-nunggu.

Malam Hari Pukul 22.00

Pak Yanto: Mirna sudah tidur?
Mirna: belum, baru mau.
Pak Yanto: mau temani ngobrol?
Mirna: sebenarnya sudah ngantuk, mau ngobrolin apa, pak?
Pak Yanto: Saya agak gugup berangkat bersama Riko besok.
Mirna: besok hanya lihat-lihat, pak. Kerjanya kan mulai hari Senin.
Pak Yanto: ya tetap saja. Saya sudah hampir 5 tahun tidak bekerja secara formal seperti ini. Pastinya canggung.
Mirna: Pak Yanto ada menghubungi istri dan anak?
Pak Yanto: ada. Mengapa?
Mirna: coba diceritakan ke mereka, pastinya dikasih solusi.
Pak Yanto: jadinya kamu tidak bisa beri solusi? Ya enggak apa.
Mirna: bukan, maksudku tuh biasanya keluarga pemberi solusi terbaik, tempat nyaman untuk bercerita.
Pak Yanto: jam segini mereka di kampung sudah istirahat. Saya sudah cerita ke mereka. Jawabannya ialah mereka percaya saya.
Mirna: bagus dong.
Pak Yanto: Iya.
Mirna: Mmm... aku boleh tanya, pak?
Pak Yanto: silakan.
Mirna: Kalau suami yang kemauan aneh-aneh itu bagusnya dihukumi apa?
Pak Yanto: hoaalaah. Aneh bagaimana dulu ini? Tolong kasih contoh.
Mirna: Ya aneh, misalnya mau selingkuh, mau nikah lagi.
Pak Yanto: Oh itu, kalau masih bisa dibicarakan baik-baik, ya dibicarakan, karena yang namanya rumah tangga pasti ada perkara dan ujiannya. Lagipula masalah seperti harta dan perempuan, cobaan betul bagi tiap pasangan yang sudah menikah.
Mirna: iya sih, bener.
Pak Yanto: kamu sedang ada masalah dengan Riko?
Mirna: enggak, ini masalah temanku. Hoaaaheeem...
Pak Yanto: Owh. Kalau sudah mengantuk, tidur saja...
Mirna: belum kok. Pak Yanto lagi apa?
Pak Yanto: lagi berbaring. Kenapa?
Mirna: mau teleponan lagi gak?
Pak Yanto: beneran boleh? Gak enak sama suamimu.
Mirna: boleh.
Pak Yanto: masih pengen cerita lagi ya?
Mirna: iya, cape kalau ngetik.

Ternyata kemarin, Mirna bukan saja berbalas chat dengan Pak Yanto. Mereka pernah telepon-teleponan, entah apa yang dibicarakan sehingga aku sampai tidak mengetahui. Aku lantas tergesa-gesa bangkit dari sofa, hendak menguping pembicaraan istriku dengan Pak Yanto. Andai Mirna bisa mendengar percakapanku dengan Mba Yanti. Mengapa aku tidak. Sedihnya, aku baru menyadari bahwa pintu kamar terkunci. Mirna pun tampak berbicara pelan saat menghubungi Pak Yanto. ADUH AKU ****** BANGET. Itu Mirna bisa dengar karena suaraku saat menelepon Mba Yanti keras. Yah payah. Aku kehilangan momen penting ini.
Apakah aku merelakan Pak Yanto telepon dengan Mirna malam-malam tanpa dapat mengetahui isi pembicaraan keduanya? Jelas tidak. Cukup aku membiarkan kali ini.

TOK TOK TOK TOK

"Sayang..., sayang, buka pintunya dong"

TOK TOK TOK TOK

"Sayang... tolong buka pintunya!", panggilku memelas.

TREEEEETTTTTT

"Ada apa sih Mas? Ini kan udah malam. Aku udah hampir tertidur. Eh malah kamu bangunin", ucap Mirna tiba-tiba membuka pintu, dengan mata seperti pura-pura kuyu dan mulut menguap. Ia sudah mengenakan daster batik merah tanpa lengan. Ah, walau tak erotis model dasternya, tetap istriku menggairahkan apabila kancing satu per satu daster tersebut dilepas-kaitnya.

"Boleh aku tidur di dalam?"

"Enggak! malam ini kamu tidur di luar!"

"Kamu kok tega sih, biarin aku tidur di luar"

"Kan kamu di luar bisa chat-chatan sama si Yanti, bukannya habis CLBK?!"

"Wusshhh jangan gitu ngomongnya. Kamu masih aja mendebat soal itu"

"Gak ada yang mendebat, orang udah jelas kamu hubungi si Yanti lagi. Kan dulu aku udah bilang, kalau hubungi si Yanti lagi, konsekuensinya apa?"
"Udah ah, aku mau tidur lagi..."

BBBBRRRAAAAAAAAKKKKKK

Pintu ditutup rapat. Aku sudah tak punya celah dan kesempatan mendengar pembicaraan antara Pak Yanto dan Mirna. ADUH NASIB!. Alhasil, aku kembali ke sofa dan rebahan kembali. Pikiranku perlahan-lahan mulai terbang menggapai fantasi yang melampaui kenyataan. Aku membayang-bayangkan jangan-jangan di dalam kamar, Mirna dan Pak Yanto bersambut kata mesra, saling memuji, dan bercerita, atau juga.... AAAAH AKU CEMBURU. AKU INGIN TAHU! Aku berusaha memantau isi percakapan mereka, tetapi tidak sedang terjalin komunikasi. Aku pun berupaya menelepon Mirna, begitu juga Pak Yanto, namun yang tertera adalah

SEDANG BERADA DI PANGGILAN LAIN. Lalu....
NOMOR YANG ANDA TUJU SEDANG SIBUK, COBALAH BEBERAPA SAAT KEMBALI

PASRAH.

<div style="text-align: center">=Y='
"Paaah, bangun udah pagi"
"Paaahh....!".

"Eh iya?! Mama kamu mana?! Mama kamu?!"

"Busyet deh, udah dibangunin malah ngigau"
"Sadar paah, udah pagi. Gak kerja?"

"Iya, mama kamu mana?!"

"Mama lagi masak sarapan"

"Huffff, syukurlah..."

"Mimpi apaan sih, bangun-bangun, nanyain mama"

"Enggak, gak ada mimpi apa-apa"

"Lah itu, aku bangunin, tiba-tiba udah nanyain Mama aja"
"Yaudah buru bangun, biar papa mandi duluan, habis itu aku"

"Kamu aja dulu"

"Beneran?"

"Iyaaa..."

Astaga. Aku bermimpi buruk semalam. Aku bermimpi kalau Mirna dibawa lari oleh Pak Yanto. HADUH. Membayangkannya memang merangsang birahi, tetapi apakah aku rela Mirna tinggal bersama Pak Yanto? AH YA JELAS TIDAK. Aku kembali mengecek akun WA Mirna. Barangkali sudah muncul percakapan di antara keduanya, kendati mutlak aku tidak menyimak pembicaraan Mirna dan Pak Yanto semalam.

Pagi Hari Pukul 05.55

Pak Yanto: Seksi banget, jelas kamulah. Kok bisa Riko kepincut sama si Yanti sih. Kalau Saya jadi Riko ya tentu bakal milih kamu. Buat apa cari-cari perempuan sampingan, model Yanti lagi.
Mirna: Fotoku semalam jangan disebar ya, pak.
Pak Yanto: iya, buat temen mengantukku saja. Hehehe.
Mirna: dikira obat tidur kali ish.
Pak Yanto: kalau begitu, beneran aku belikan saja ya pakaian yang di pasar kemarin.
Mirna: ih gak ah, ngapain sih. Kurang kerjaan.
Pak Yanto: hehehe. Yaudah, Saya mau meluncur ke rumah kamu nih. Ada kan sarapan untuk saya?
Mirna: ada, nih sarapannya. (Mirna memfoto bubur kacang hijau yang dimasaknya)
Pak Yanto: Wah makin gak sabar segera menuju ke sana. Hehehe. Baik, saya siap-siap dulu jalan ke tempat kamu.
Mirna: awas jangan sampai ada ketinggalan.

Menyadari Pak Yanto segera datang kemari, karena aku akan berangkat ke kantor bersamanya, tanpa buang waktu dan penasaran, aku langsung masuk ke kamar mandi. Lagipula handuk sudah terpaut di sana. Aku berlomba dengan waktu karena mesti berangkat kerja pagi hari. Kurang dari 10 menit, Aku melesat mengguyur air ke sekujur tubuh dan menyabuninya. Aku tak memiliki kesempatan melamun sekarang. Barangkali sesaat itu saja ketika hendak menggosok gigi kemudian menghandukki badan.

Keluar dari kamar mandi, Aku menyapa istriku yang utuh belum mandi mengenakan daster batik merah yang dikenakannya semalam. Tampilannya kusam, rambut terjepit pengait. Mirna mengabaikan panggilanku. Ia tak menyahut balik, menengok juga tidak. Mirna ternyata masih ngambek. Ia tidak memanggilku sama sekali seolah-olah aku sudah hafal rutinias pagi, tak perlu dia. Mandi tinggal mandi, sarapan tinggal sarapan. Semoga pulang kerja nanti semuanya sudah membaik.

"Assalamualaikum!"

"Walaikumsalam, masuk pak! Pagarnya enggak dikunci kok. Maaf saya baru mau pakai baju dulu"
"Heheheh", tiba di dalam kamar, aku melongok ke arah luar, melalui jendela terlihat Pak Yanto sudah gagah mengenakan kaos biru tua berkerah dan celana bahan hitam. ia berjalan melampaui pagar, lalu duduk di bangku teras depan.

"Masuk saja pak, sarapan dulu"

"Hahaha bau-baunya sudah kecium sampai depan, bikin tambah lapar"

"Iya, Mirna sudah masak bubur kacang hijau, pak"

Kedatangan Pak Yanto ke rumah, mempercepat gerak-gerikku untuk berpakaian rapi. Aku menjumput sendiri pakaian dalam, kemeja, dan celana dari dalam lemari, biasanya Mirna yang mempersiapkan. Kemudian lekatkan di badan satu demi satu, tak lupa deodoran serta parfum agar wangi menyerbak penampilan. Mantap bercermin sambil menyisir, aku ancang-ancang keluar kamar, melangkahkan kaki dengan yakin.

"Maaf pak, udah sarapan duluan nih. Hehehe", ucap Pak Yanto sudah duduk di ruang makan rumahku.

"Enggak masalah, ayo tambah. Sampai kenyang"

"Kalau kenyang-kenyang mengantuk sampai sana nanti, hehehe"

"Daripada masuk angin, pak", aku menarik kursi, mengambil posisi duduk di tengah. Hhhmm...Mirna tak menghidangkan aku secangkir teh hangat di meja, pun menyendokki sepiring bubur kacang hijau. Malahan ia tak terlihat ketika kami sarapan. Tak sengaja aku justru melihat Mirna berjalan dari arah dapur menuju kamar. Dasternya basah-basahan, karena ia baru selesai mencuci peralatan memasak.

"Makannya yang banyak pak yanto, biar habis"
"Hehee", sapa Mirna berhenti sebentar.

"Iya, ini baru mau tambah malah, bu"
"Ibu kok gak ikut sarapan? Hayuk sini dulu sarapan. Yang masak kok malah gak makan"

"Iya, mau ganti baju dulu"

Mirna hanya menyapa Pak Yanto, aku seolah-olah tak ada dalam penglihatannya. Sabar, sabar, Riko. Akan indah pada waktunya nanti. Sarapan bersama, Pak Yanto bertanya kendaraan apa yang akan kami gunakan ke sana. Aku mengatakan dia akan kubonceng. Namun, ia menolak mentah, tak sopan katanya. Dia ngotot yang akan memboncengiku karena aku sudah baik padanya. Maka, tak bisa aku menolak permintaan itu. Kemudian ia menyampaikan bahwa nanti hari Senin, ia mau beli motor bebek bekas. Anaknya memberikan uang yang tak begitu banyak, sungkan kalau naik kendaraan umum. Apalagi berangkat bersamaku. Aku pun mengamini saja.

Di tengah obrolan, Mirna keluar dari kamar. Aku terkaget-kaget dengan perubahan penampilannya. Berasa SAMBER GLEDEK kendati firasatku ia belum mandi. Mirna muncul dengan rambut hitamnya yang terjurai sebahu. Celana training model hotpants warna biru tua, dipadu tanktop hitam yang membungkus buah dadanya agak terangkat sehingga kian menantang. WADUWH belum lagi TALI BH nya yang berwarna merah terkesan salip-menyalip dengan tali tanktop Mirna. Merinding dan bergetar batinku menatap Mirna sekarang. Ada apakah dengan kamu, sayang. Mengapa juga kamu malah duduk di samping Pak Yanto, bukannya aku. Ah apakah ada hubungannya dengan pembicaraan mereka semalam yang aku tidak ketahui. HHHHUUUUH mendadak suasana gerah.

"Pak Yanto kok makannya dikit banget, katanya banyak"

"Iya yang tadi sudah habis, ini baru nambah"

"Ayo tambah lagi dong. Sini aku tambahin", Mirna yang duduk di sebelah Pak Yanto awalnya hendak mengambil bubur kacang hijau untuk dirinya sendiri, malah mengoper ke Pak Yanto. Aku lirik mata Pak Yanto yang lekas mengarah ke ketiak Mirna yang bersih putih mulus tak berbulu. Hidungnya mengap-mengap mengendus, menangkap bau walau tak yakin aku bakal terhirup.

"Sudah, cukup, bu. jangan banyak-banyak, gak habis habis nanti, yang ada bisa terlambat ini"
"Hehehe"
"Ayo Pak Riko, jangan diem aja, ikut tambah"

"Iya, ini baru sesendok hehehe"

"Pelan-pelan aja, kan belum mulai kerja juga"

"Kan berangkatnya bareng aku", timpalku menjawab, namun Mirna tak mau bertatap muka dengan suaminya ini.

"Iyaa, Saya kan berangkat bareng bapak, bu. masak yang masukkin kerja dibikin datang terlambat"

"Yaudah terserah aja", jawab Mirna, entah sadar atau tidak, Pak Yanto terus memandanginya. Barangkali jika aku tinggal pergi, Pak Yanto sudah menyantap istriku sebagai sarapan tambahan. HUUUFFF Aku jadi birahi. Hanya sesekali Pak Yanto melirikku. Selebihnya belahan dada Mirna lebih menggiurkan tatapan mata mesum calon karyawan baru perusahaan tempatku bekerja ini.

"Ayo pak yanto buru dihabiskan"

"Siap, Pak"

"Bapak nanti pulangnya bisa duluan. Saya ongkosi"

"Gak perlu, Pak Riko. Saya ada simpanan uang cukup. Jangan terlalu belas kasihan ke saya"

"Ooh oke deh"

"Emmm... ibu kalau di rumah pakaian selalu seperti ini?", tanya Pak Yanto. Aku dan Mirna kebingungan siapa yang harus jawab.

"Iya, kenapa pak?"

"Ketahuan betah banget pasti Pak Riko di rumah inih"
"Hahahaha"

"Ah bapak bisa saja", timpalku sesekali menyuap bubur ke mulut. "Istri Pak Yanto pasti jauh lebih cantik"

"Duh lihat Ibu, bawaannya laper terus, saya"
"Hehe", terkekeh Pak Yanto memalingkan muka ke Mirna. Pasti kemaluan laki-lakinya di bawah sudah kegelisahan. Beberapa kali kuperhatikan ia membetulkan celana. Jakunnya juga naik turun, sedangkan tak sedang menelan.

"Aku mesti banyak sabar dan maklum, Pak. Punya badan begini hawanya bikin pikiran nambah. laki-laki lihatnya kotor terus. Pengen kecilin aja kayaknya"

"Upppsss, jangan, jangan bu. Bagus begini posturnya, gak usah diubah-ubah", ucap Mirna, tangannya berusaha menggaruk bagian belakang tubuhnya, tetapi tidak tergapai.

"Maaf, sini saya bantu"

"Boleh"

"Maaf ya bu, gak berani terlalu keras-keras, takut terkelupas kulitnya", Pak Yanto melirik bagian belakang badan istriku, entah ia benar menggaruk atau malah meraba-raba.

"Iya, gapapa"

"Maaf saya ke kamar mandi dulu"
"Ooo ya segera dihabiskan Pak, bentar lagi kita harus berangkat"

"Iyaaa siap, siap..."

Aku sengaja meninggalkan Pak Yanto dan Mirna di ruang makan berdua. Kali saja ada adegan atau percakapan menarik di antara keduanya yang tak boleh kulewatkan. Aku pura-pura ke kamar mandi. Padahal, bersembunyi di dapur sejenak, lalu diam-diam mengintip aktivitas di ruang makan. Gemetaran rasanya mengamati istri yang sedang mengenakan pakaian seksi dan laki-laki paruh baya bermata keranjang.

"Sengaja ya, pakai pakaian seperti ini?"

"Kalau ya?"

Tiba-tiba Pak Yanto berusaha lebih mendekat ke Mirna. Kursinya sedikit merapat, ia condongkan menghadap istriku yang masih menyantap sarapan. Belum ada pergerakan dari kedua tangannya yang mungkin saja dapat bergerak liar.

"Pulang dari tempat kerja Riko, mau jalan?"

"Enggak, cape. Baru kemarin, pak"

"Terkait obrolan kita semalam, bagaimana? Kamu setuju?

"Belum tahu"

"Kalau Riko bisa bermain mata dengan perempuan lain, kenapa kamu dan saya tidak?"
"Kamu cantik, sayang", Pak Yanto mencoba menggenggam tangan Mirna. Rambut istriku dikibasnya, tetapi Mirna urung menyambut.

"Maaf, pak"

"Iya tidak apa, barangkali kamu perlu waktu"

"Terima kasih tadi udah bantu aku cuci piring", Mirna tersenyum ke arah muka Pak Yanto.

"Ah itu biasa saya lakukan di rumah"

"Tapi jangan sering-sering"

"Mengapa?"

"Pak Yanto jadi ikut basah-basahan"

"Siapa yang gak mau basah-basahan sama kamu"
"Hehehehe"

"Kumat deh pikirannya"
"Udah jauh-jauh sana, kalau ketahuan Mas Riko bisa rame.."

Dari persembunyian, aku melihat titik terang yang semakin mendekat. Tinggal menunggu saja bagiku, mengeksekusi hubungan Mirna dan Pak Yanto. Kapankah tepatnya? Aku tidak mau hubungan mereka terjalin mulus tanpa lika-liku yang menggigit, terutama Mirna. Aku belum mengerjainya.

................................

====================

TEKAD YANG DIUJI</span>

Pagi Hari Pukul 08.25

Firda: masih untung gak diperkosa lo, Na. Keterlaluan banget lo ih segitunya.
Mirna: ya enggaklah, kan ada laki gue. Mikir-mikir juga kali kalau gak ada laki, penampilan seberani itu.
Firda: Laki lo gak ada komentar?
Mirna: bengong aja dia. Gue juga gak ada nanya dia karena kita sedang marahan.
Firda: Ya ampun. Marahan ma suami, yang disenengin malah om-om. Baper berat si om tuh pasti habis lihat lemak-lemak lo.
Mirna: haha iya dong. Gue bahkan mau diajak jalan lagi hihihi
Firda: cieileh... awas nanti lo ikut kebawa baper malahan hahaha.
Mirna: Sorry, gaklah...
Firda: habis ini rencana lo mau ngerjain seperti apa?"
Mirna: Gue masih bete ma laki gue. Apa minta bantuan Pak Yanto ya untuk bikin dia ngerasain apa yang gue rasain?
Firda: Jangan, Na. Lo main api ke orang, jangan kebablasan, nyamber ke lo sendiri susah nanti mademinnya.
Mirna: terus harus bagaimana dong?
Firda: kalau lo mau ngerjain Pak Yanto ya kerjain dia aja, gak perlu diikut-ikutin tuk bales dendam lo ke suami. Gue rasa lo bisa berdua ma suami selesain, Na.
Mirna: iya deh, tenkiu ya, say.
Firda: Sami-sami bep. Terus si Pak Yanto mau dikerjain bagaimana lagi sih?
Mirna: belum tahu. Semalam gue teleponan ma dia loh
Firda: wah Apaa?!!! Mirna! Ishhh... laki lo tahu dong.
Mirna: kayaknya sih enggak, dia sudah tidur.
Firda: apa yang lo omongin malem-malem sama om-om?
Mirna: awalnya sih nanya aktivitas keseharian, tetapi ujung merembet ke seks. Biasalah itu bapak-bapak mesum.
Firda: terus?
Mirna: minta gue foto close up mau tidur.
Firda: dikasih?
Mirna: iyaa, satu foto.
Firda: Aduh, lo ya...
Mirna: cuman satu, say. Itu aku juga minta dia jangan disebar-sebar.
Firda: bukan masalah 1 atau 2, tetapi ya untuk apa juga kasih foto ke dia. Jangan-jangan bener mulai seneng ya?
Mirna: najong ih, karena iseng aja kok. Siapa tahu dia tambah kebelet kan, apalagi ditambah sama pose penampilan gue hari ini.
Firda: gue jujur gak terlalu paham apa yang lo harepin dari semua yang lo lakuin ini, Na. endingnya akan bagaimana?
Mirna: Gue kan dah bilang ke elo, gue pengen Pak Yanto balik ke istrinya, temuin istrinya, lampiasin birahi ke istrinya.
Firda: ya untuk apa kalau cuman itu yang lo mau? Kan itu dia baik-baik aja hubungan dengan istrinya.
Mirna: ya enggak ada masalah, tapi dengan dia udah punya ketertarikan ke gue pas awal ketemu, serta ada maksud terselubung, mengapa enggak gue kerjain aja tipikal suami-suami kayak begitu? Iya kan?
Firda: apa kabar suami lo?
Mirna: tunggu gilirannya. Hihihi.

Tatkala menemani Pak Yanto keliling kantor, memasuki ruang demi ruang sampai ke tempatnya akan menumpahkan tenaga pada hari Senin besok, aku membuka ponsel dan mengamati percakapan Mirna dan Firda. Cukup kertelaluan yang dilakukan istriku. Membangkitkan birahi seorang laki-laki, namun tak ada maksud membantu untuk menuntaskannya. Tak ada yang salah jika seorang wanita mengenakan pakaian seksi, itu hak mereka. Kesengajaan mengerjai seseorang dengan cara seperti itu, barulah polemik yang menimbulkan kesan tak baik. Kalau diriku yang mengerjai? Sebetulnya juga tak pantas, namun aku mengena sesuai arah tujuan. Membangkitkan birahiku sekaligus menuntaskannya. Hahaha egois? Iya.

Di tempat kerja, Pak Yanto banyak bertanya perihal pekerjaan yang akan dilakukannya, baik kepadaku dan rekan-rekan yang akan bekerja sama dengannya nanti. Tak luput, peraturan di perusahaan serta ketentuan yang berlaku kuberitahukan kepadanya, seperti jam bekerja dan istirahat. Ihwal gaji tak ditanyakan karena ia ketara yakin perusahaan ini akan memperlakukannya secara manusiawi.

"Kalau tahu begini, aku langsung tanya Pak Riko saja dari kemarin-kemarin"

"Ya namanya rezeki siapa yang tahu sih Pak. Mungkin baru ini ketemunya"

"Hehehe iya bener, alhamdulillah"

"Perempuan di sini cantik-cantik ya", ujar Pak Yanto. Kami berdua sedang duduk mengamati ruangan kerjaku yang menyatu dengan seluruh karyawan lainnya dari berbagai posisi tanpa sekat, sehingga kami bisa saling mengawasi satu sama lain.

"Maklum pak, bagian dalam, kalau luar tidak ada sama sekali. Panas-panasan"
"Hahahaha"

"Namanya kuli, pasti lelaki", Pak Yanto mengamati satu per satu wanita yang ada di ruang tempat kerjaku.

"Itu yang pakai hijab namanya siapa?"

"Yang di sebelah sana itu"

"Iya yang mengenakan hijab biru"

"Itu namanya Rani, dia bagian staf administrasi", Rani adalah istri dari seorang karyawan swasta perusahaan periklanan. Usianya 33 tahun. Ia bersama suaminya tinggal kos di Jakarta karena keduanya pendatang.

"Ooo..."

"Ada apa ya? Pak Yanto kenal?"

"Bukan, bening menggemaskan orangnya..."

"Hahahahahahha"

"Kuat betul Pak Riko di sini ya, atau jangan-jangan ada satu yang menawan hati?"
"Heheheh"

"Wah saya, istri satu saja sudah jauh cukup banget, gak perlu cari baru"

"Mulut boleh bilang tidak perlu, hati siapa tahu"
"Hehe"

"Hahahahahah"

"Engggh... Saya percaya, percaya kok... Kalau punya istri seperti Ibu Mirna, untuk apa cari yang lain lagi. Paket lengkap dia"

"Makanan kali pak, paket lengkap"

"Hahaha, bukannya bisa dilahap juga", ceplos Pak Yanto terbahak.

"Dicelup! kalau lahap itu temennya pecel"

"Woalah itu lalap!"

Aku mendampingi Pak Yanto sampai pukul 10.00 pagi. Aku turut membantunya berkenalan dengan karyawan-karyawan di sini. Mereka terkesima dengan semangat dan gairah Pak Yanto kala pria seusianya barangkali sudah lamban atau malas-malasan. Kemudian ucapan selamat mengalir, paras senyum terumbar, berharap Pak Yanto dapat memberi kontribusi signifikan bagi perusahaan. Guyon terlontar, menyongsong Pak Yanto dari partner kerjanya  bagian gudang yang bersiap bahu-membahu angkat mengangkat. Ada yang sedikit ragu lantas meledek, ada yang yakin penuh, lalu memuji.

"Ini dia yang dicari-cari nih..."

"Masih kuat om? Sakit kita gak tanggung jawab yak? Hehehe"

"Asal jangan diadu otak saja, hehe", sahut Pak Yanto.

"Kalau adu otak, kita saling kalah-mengalah"
"Panco saja bagaimana?"

"Hayuk, Siapa takut...."

"Hohohohoyyyy uhuuuuyyy prrriit prittt", bagian gudang bergemuruh ketika Pak Yanto menyanggupi tantangan panco dari salah satu karyawan.

"Sudah, sudah, ini masih jam kerja, bapak-bapak..."
"Pak Yanto juga ke sini belum waktunya kerja, baru senin besok", teriak diriku.

"Hhhhuuuuuuuuuuuuu"

"Selamat datang di sini Pak Yanto, semoga betah-betah ya. Tentunya kehadiran bapak di sini pastinya akan sangat membantu kita".

"Sama-sama, saya juga mohon dibantu beradaptasi"

Setelah perkenalan dan kunjungan singkat ke perusahaan, Pak Yanto pamit. Padahal aku ingin mengajaknya makan siang bareng. Namun, dia sungkan karena lagi-lagi tak mau terlalu merepotkanku. Ditambah ia khawatir akan muncul pandangan sinis apabila kami terlalu dekat. Pak Yanto mau cara dan hasil bekerjanya dinilai murni. Alhasil, aku hanya memasukkan selembar merah ke saku celana pak yanto sebagai bekal pulang walau lagi-lagi ia menolak, tetapi aku tetap mendesak sampai mau diterima. Di samping itu, Aku mengatakan kepadanya apakah ia sibuk hari Sabtu besok karena aku mau mengajak Pak Yanto olahraga bersama.

"Hati-hati pak!!"

"Iyaaa!"

<div style="text-align: center">=Y='
Kemacetan sore hari merupakan hal lumrah yang sudah biasa kuhadapi. Enaknya bisa diresapi ketika sudah tiba di rumah. Mandi, makan malam lalu lekas istirahat. Lagipula, tak ada percakapan lanjutan dari istriku kepada Pak Yanto atau Firda. Aku beberapa kali memeriksa dari jam istirahat siang hingga sebelum beranjak meninggalkan kantor. Tak ada sahut-menyahut di akun WA milik Mirna. Aku bisa tenangkan pikiranku, tetapi tidak fantasiku yang terus bergejolak, hilang-timbul menuntut direalisasikan. Aku berupaya mengabaikan, justru bertambah rasa penasaran. Entah kapan titik terang itu benar-benar menjadi nyata di depanku.

Menginjakkan kaki di rumah, usai memarkirkan sepeda motor di perkarangan halaman. Aku duduk di bangku teras sembari melepas alas kaki. Sayangnya, kembali Mirna masih mempertahankan kekesalannya karena ulahku kemarin. Ia tak muncul menyambut kedatanganku. Aku pasrah menghela nafas lelah, barangkali dapat meringankan langkahku berjalan masuk.

"Isssh jangan pegang-pegang, kalau begini kapan aku masaknya"

"Masaknya nanti saja, saya lagi gemesh sama kamu"

"Bentar lagi Mas Riko, pulang.."
"Pak Yanto pulang giih..."

"Baru pengen temenin kamu masak, sudah disuruh pulang"
"Ayoo saya temenin"

"Temenin ya temenin aja, jangan ada acara pegang-pegang"

"Itu enggak sengaja. Hehehe"

"Gak sengaja tapi diseriusin"

"Bukan diseriusin, tapi keterusan"

"Sama ajaah ihh...."

"Kenapa gak pakai baju yang tadi?"

"Udah basah kena keringet"

"Loh, keringet habis ngapain?"

"Kan seharian di rumah, bersih-bersih, tidur siang"

"Eengggghhh..."

"Jangan macam-macam mikirnya..."

"Kamu loh yang bilang seperti itu"

"Kok aku, Pak Yanto dong"

"Tuh kan makin gemes saya, pengen meluk"

"Jangan! Inget istri!"

"Hehehhehehe, kalau gemes sama kamu lalu harus apa?"

"Ya enggak harus apa-apa"

"Kirimin foto seksi kamu"

"Udah kemarin malam, jangan meminta, memaksa, cukup!"

Kudengar suara sepasang pria dan wanita yang sudah tak asing bagiku. Makanya, aku sedikit menguping sambil duduk di teras. Suaranya terdengar dari jendela kamar. Barangkali pintu kamar terbuka. Aku bangkit, berjalan berubah mengendap-ngendap, mencari tahu siapakah yang sedang bercengkerama di dalam rumah. Salah satunya jelas Mirna, istriku. Satunya lagi. Aku seperti kenal betul dan belum lama bersua.. Sepasang suara itu berasal dari dapur. Aku tidak mau mengusik dua sejoli itu. Siapa tahu mereka sedang bermesra-mesraan sebagaimana percakapan keduanya.

"Wah Pak Riko sudah pulang, hehehe. Ini si ibu manggil saya katanya kompor di rumah tidak menyala, itu kenapa saya mampir ke sini"

AH KETAHUAN!
"Emmmm, sudah menyala?", tanyaku memerhatikan reaksi terkejut Pak Yanto. Ia yang mengenakan celana pendek hitam dan baju kutang putih mengambil langkah menjauh dan mendatangiku. Mirna tak terkejut sama sekali. Ia yang sudah tak berpenampilan sensual seperti pagi hari, tetap saja tak mengubah imej bodinya kendati mengenakan baju kaos lengan panjang dan rok selutut.

"Sudah, pak"

"Baguslah..."

"Karena sudah tertangani, Saya pamit dulu"

"Terima kasih ya Pak Yanto", sahutku kecewa karena gagal membiarkan Mirna dan Pak Yanto asyik berdua.

"Iyaaa..."

Tiba-tiba Mirna berteriak memanggil,"Paakk, jangan pulang dulu!"

"Ada apa lagi ya?"

"Kemari.....", panggil Mirna mengisyaratkan Pak Yanto agar kembali ke dapur. Aku mengekor Pak Yanto, mencari tahu ada masalah apalagi dengan Mirna.

"Minta tolong ambilin belanjaan saya ke Bu Aminah, pagi tadi aku udah titip ke dia untuk masak makan malam"
"Pak Yanto nanti temenin saya makan malam di sini, ya?"

"Enggak usah, Bu. Saya bisa belii sendiri"

"Makan di sini aja, saya lagi butuh temen. Emang Mas Riko aja yang punya temen ngobrol sampingan"
"Mau ya pak?"

"Hehehe", Pak Yanto terkekeh tampak bingung sambil mengamati wajahku yang hanya melongo tak memberi respon. Ia juga tak berani ambil keputusan, sekedar menurut.

"Ya sudah tolong segera ke sana Pak, keburu makin malam"

"Iya, baik"

Pak Yanto berangkat dengan segaris senyum, berbalik badan melewati parasku yang tak bisa dibacanya. Kemudian aku menghampiri Mirna, ingin berdamai dan membangun suasana enak dan harmonis seperti biasa.

"Kamu masih marah?"

"...."

"Aku bertanya dijawab dong, sayang. Mau sampai kapan kamu diem terus?"

"Sampai kamu enggak chat-chatan sama si Yanti itu...", jawab Mirna meninggalkan dapur.

"Itu kompor menyala, jangan ditinggal"

"Biar kebakaran aja sekalian, supaya kamu tahu panas perasaanku seperti apa"

"Hhmmmm...", Mirna masuk ke kamar. Aku mematikan kompor seraya mematung meresapi semua yang telah kulakukan. Setelah pekerjaan kantor selesai, aku menghadapi persoalan lagi di akhir pekan ini. Padahal, ingin istirahat dan bersantai. Situasi terjadi justru sebaliknya.

Aku menghindari berbantahan dengan istriku. Itu sudah berlangsung sejak kami menikah, bukankah pria lebih sering mengalah dan wanita selalu benar? Daripada konflik makin tambah gerah, aku tak mau menyangkal segala kekesalan Mirna kepadaku. Aku terpaksa menunggu reda hingga ia mau melunak dengan sendirinya.

Di ruang tamu, Aku menyandarkan diri ke sofa. Aku ragu-ragu masuk ke kamar karena ada kemungkinan Mirna menghindar lagi, sedangkan aku hanya mau berganti pakaian. Oleh karena itu, aku memutuskan bersandar dulu saja sembari menyingkirkan penat sesaat.

"Kamu mau ke mana?", tanyaku menatap Mirna yang tiba-tiba keluar dari kamar.

"Mau makan di luar, malas masak kalau ada kamu di rumah", jawabnya ketus.

"Sudah, biar aku yang di luar saja"

"Tuh kan mau kelayapan kan? Mau cari kesempatan..."

"Enggak, enggak ada maksudku begitu"

"Yaudah kamu di sini saja, tungguin rumah"

"Terus kamu mau ke mana?"

"Enggak perlu tahu. Anggap aku sedang meminta kamu pikirin janji yang dilanggar", jawab Mirna menggapit dompetnya, ia bergerak mengambil alas kaki di rak.

"Jangan pulang malam-malam sayang"

"Aku enggak seperti kamu! Gak usah sayang-sayangan dulu", sahut Mirna. Aku menjadi serba salah sekarang. Perlahan-lahan aku memandangi Mirna yang keluar lalu menjauhi rumah. Suara azan Maghrib melepas kepergian istriku. Apakah aku harus mengikutinya? Emmm. Tak bagus waktunya. Lebih baik aku masuk ke kamar sekarang. Lagipula bisa dengan leluasa, tak perlu mencemaskan Mirna mengeluh. Bisa mandi lalu segera istirahat atau beli makan malam untukku dan Rengga yang belum pulang. Namun, pikiran tetap berat.

Tatkala hendak menutup jendela kamar yang nyaris belum terkunci rapat, Pak Yanto justru muncul. Ia baru datang menenteng belanjaan yang dititip Mirna kepadanya untuk diambil dari Bu Aminah. Aku kira Mirna bertemu dengannya di tengah jalan. Ternyata tidak.

"Terima kasih Pak, maaf ya Mirna sedang keluar"

"Keluar ke mana?"

"Kurang tahu juga. Mungkin mau menunggu"

"Oh tidak usah, saya kasih ke Pak Riko saja, saya lebih baik pulang. Makan di rumah. Masa apa-apa saya menumpang dengan Pak Riko. Hehehe"

"Ya sudah bagaimana baiknya", ucapku yang sebelumnya sedang rebahan terpaksa menemui Pak Yanto di teras depan sekaligus menerima belanjaan Mirna darinya.

"Kalau tidak ada lagi, saya mohon pamit, pak"

"Mariii, silakan.. besok jangan lupa ya pak yanto"

"Saya usahain"

<div style="text-align: center">=Y='
Malam Hari Pukul 19.00

Pak Yanto: mengapa tidak jadi makan malam?
Mirna: tiba-tiba gak mood.
Pak Yanto: pasti kesal lagi dengan Riko ya?
Mirna: gak perlu tahu
Pak Yanto: hhhmm...
Mirna: belanjaan yang aku titip bagaimana?
Pak Yanto: saya kasihkan ke Riko.
Mirna: Pak Yanto makan malam bersama Riko?
Pak Yanto: ya enggak, katanya kamu enggak ada di rumah. Suruh nunggu. Mending pulang.
Mirna: oh enggak mau menunggu.
Pak Yanto: enggak ada pikiran seperti itu. Karena sudah malam, belum mandi, dan sudah bau apek. Ya lebih baik pulang.
Mirna: mengapa enggak balik lagi?
Pak Yanto: enggak ada kabar dari kamu. Saya mengira tidak jadi.
Mirna: besok bapak ada kegiatan?
Pak Yanto: ada. Menemani Riko olahraga. Kamu ikut kan?
Mirna: olahraga? Engghh....
Pak Yanto: semoga ikut. Supaya saya bersemangat hehe.
Mirna: olahraga masa karena aku.
Pak Yanto: enggak salah kan sebagai salah satu alasan.
Mirna: olahraga apa?
Pak Yanto: mungkin catur <img class="smilie smilie--emoji" loading="lazy" alt="🤗" title="Hugging face    :hugging:" src="https://cdn.jsdelivr.net/gh/twitter/twemoji@14.0.2/assets/72x72/1f917.png" data-shortname=":hugging:" />
Mirna: ya pasti aku enggak ikut.
Pak Yanto: Saya belum tahu.

Santap malamku ditemani Rengga yang sedang menanyakan kapan Mamanya pulang. Kami berdua memakan pecel ayam bersama kebetulan aku menitip ke Rengga yang berada dalam perjalanan pulang ke rumah.

"Mama pulang kok, agak malam"

"Mama lagi di mana?"

"Enggak kasih tahu"

"Kamu tanyain juga", ucapku penasaran.

"Emff... di rumah Tante Firda"

"Ooo... syukurlah"

"Ada apa Paaa? Papa dan mama lagi berantem?", tanya Rengga dengan raut heran.

"Enggak apa-apa cuman berantem kecil-kecilan, biasa orang tua. Kalau berantem begini, justru nantinya makin tambah sayang"

"Berantem kok malah bisa bikin tambah sayang, aneh", timpal Rengga berkelakar.
"Berantem itu malah bikin gaduh! Itu baru bener!"

"Terserah kamulah. Nanti kalau sudah menikah, kamu merasakannya sendiri"

"Belum punya pacar, sudah disebut menikah"

"Nanti!", sahutku sedikit jengkel.

Kemudian aku kaget Mirna meneleponku. Aku karut harus menjawabnya atau tidak. Kalau dijawab hanya lanjut mengeluh. Kalau tidak, ah sama saja. Aku modal yakin dan percaya, tak perlu risau.

"Ada apa sayang?"

"Mas, aku mau minta maaf sama kamu..."

"Emm...."

"Cuman aku minta untuk terakhir kali ini, jangan sekali lagi kamu berhubungan dalam  bentuk apapun dengan Mba Yanti"

"Iya"

"Karena kalau sekali lagi kedapatan, aku enggak main-main akan nuntut cerai dari kamu"

"Iya sayang, aku juga minta maaf", balasku berdegup-degup jantung. Namun, sedikit bertanya-tanya mengapa bisa mendadak begini Mirna meminta maaf. Apakah yang telah merasukinya?

"Sama satu lagi, aku minta untuk terakhir kalinya, buang jauh-jauh soal fantasi kamu ingin aku disetubuhi pria lain dan segala sesuatunya yang buruk terkait hubungan kita secara jasmani dan batin"
"Setuju?"

ADDDUUUUHHHH
"...."

"Halo Mas? Bagaimana? Setuju?"

"Iya, setuju"

"Aku harap kamu ingat dan catat betul apa yang aku barusan bilang. Semoga setelah ini hubungan kita lancar sehat dan tak ada kurang sesuatu apapun"

"Iyaa sayang. Aaaamiiin"
"Kamu, kapan pulang?"

"Aku masih di rumah Frida, aku mau nenangin diri dulu"

PUPUS SUDAH!

.........................................


====================

HARAPAN ITU SELALU ADA</span>

Kendati sudah bisa mengelus dada karena Mirna tidur bersamaku malam ini, kondisi di tempat tidur masih hening. Kami belum mengantuk, berbaring memeluk guling saling membelakangi, sedikit sekali interaksi. Mata berkelip-kelip menjemput ruyupnya. Aku telah berulang kali menguap, namun pikiran melambung kelam-kabut. Aku berusaha mencarikan jalan yang bisa mencairkan suasana, mungkin mengalirkan obrolan rileks pengantar tidur. Yang dicemaskan itu tidak sesuai dugaan. Keinginan bulat Mirna ialah agar aku diam dahulu, memberi kesempatan supaya introspeksi. Andai sudah banyak cakap mulut, mungkin aku dinilai tak merasa bersalah.

Mirna mengenakan daster payung bermotif batik, berwarna dasar hijau. Biasanya daster ini dikenakan saat ia sedang datang bulan. Benar-benar bertujuan agar aku tidak terangsang birahi sehingga ia tidak merasa berdosa. Namun, sepengetahuanku ini belum jadwalnya, terlihat gelagat Mirna saja yang sedang tidak mau &#039;disentuh&#039; di atas tempat tidur. Tak masalah, Aku menerima sikap Mirna malam ini yang mungkin sedang memulihkan perasaannya kepadaku. Pada akhirnya, karena kantuk tak datang jua, aku mengambil ponsel lagi yang terletak di sisi sebelah kiri bantalku.

Malam Hari Pukul 21.30

Firda: Inget lo ya, Na. Anak lo udah gede. Jangan berantemnya kayak zaman masih pacaran. Maksud gue pengen lo minta maaf duluan ke Riko itu supaya gak berlarut-larut karena enggak akan ada ujungnya. Sebetulnya ini problem bisa dibicarakan baik-baik, tetapi gaya lo masih begitu.
Mirna: iyaaaa... gue udah ngantuk. Besok lagi ya.
Firda: sama si Om-om itu juga, udahlah....
Mirna: itu beda soal yah.
Firda: bener kan, masih aja deh lo...
Mirna: sebelumnya tenkyu, saran lo ngebantu banget bikin gue tenang di rumah.
Firda: kalau bukan ke suami dan anak, lo mau kemana? (Orang tua Mirna sudah wafat)
Mirna: iya gue mengerti.

Hhmm...Aku sepatutnya berterima kasih ke Firda, di luar sangkaan, Ia membantu menyelaraskan kembali hubunganku dengan Mirna, walaupun suasana belum pulih seutuhnya. Entah bagaimana aku harus mengucapkannya. Mirna meminta maaf atas desakan Firda. Di sisi lain, denganku urusannya telah selesai, ternyata Mirna malah belum mau mengakhiri &#039;aksi&#039; nya mengerjai Pak Yanto. ADUH ISTRIKU!

"Sayang, minggu depan kita liburan, yuk. Kita sekeluarga kan sudah lama enggak rehat cari tempat yang sejuk, hitung-hitung hilangin penat"

"Aku mengantuk, Mas. Besok aja ya diomonginnya"

"Iya enggak apa apa, sayang"

"Besok, aku enggak masak ya"

"Iya enggak masalah"
"Oh ya, Aku mau olahraga bareng Pak Yanto besok"

"Lari?"

"Bukan, jalan santai saja"

"Enghh...."

"Enggak usah dibuatkan sarapan, kami nanti sarapan di tengah jalan", tuturku berbaring terlentang mengelus punggung Mirna.

"Emmmm...."

"Kalau kamu mau ikut boleh. Kalau enggak juga gak apa"

"Asal jangan jauh-jauh"

"Sekitar perumahan sini"

"Mmmm…Aku mau tanya dengan kamu", ujar Mirna berbicara denganku, ia kukuh memunggungi, tak berbalik menatap.

"tanya apa?"

"Misalkan aku mau ditiduri lelaki lain, bagaimana?"

DEGH
"Loh, mengapa tanya begitu?"

"Sudah, jawab aja", sahut Mirna. Aku sontak buntu harus menjawab apa. Dalam sanubari terdalam, aku tidak bisa bohong kalau masih memendam hasrat fantasiku, yakni Mirna disetubuhi oleh pria lain. Namun, aku ragu-ragu, takut ini adalah pertanyaan jebakan yang diutarakan Mirna kepadaku sehingga membuatku terpaku membisu, mencari jawaban yang tepat.

"Aku terserah kamu aja"

"Misalkan loh ya, seandai aku ditiduri oleh lelaki lain, ternyata aku malah keterusan"
"Kamu rela?"

"Ya pastinya enggak rela dong"

"Emmm...."

"Kalau...."

"Kalau apa?", tanya Mirna menyimak aku berbicara sepatah kata.

"Menurutku, kalau sesekali untuk suasana baru, boleh aja, menurutku loh ya. Jangan kamu justifikasi dulu"

"Kamu tahukan kalau perempuan itu perasa, yang menurutmu sebagai laki-laki bisa sesekali, belum tentu bagi perempuan"

"Hhhmm... iya"

"Misal, aku mau wujudin fantasi kamu, tapi aku maunya dengan Rizal, bagaimana? Tahu kan Rizal?", Mirna seketika menyebut nama Rizal, mantan pacarnya waktu kuliah dulu. Mirna pernah cerita kalau Rizal adalah mantan terindahnya yang meninggalkan kesan yang amat berarti ketika kuliah di salah satu kampus negeri di Jakarta. Mereka berhubungan kira-kira 5 tahun. Sayangnya hubungan Mirna dengan Rizal harus kandas karena Rizal mendapatkan pekerjaan di luar Pulau Jawa, tepatnya Sulawesi. Mirna tidak bisa meninggalkan orang tuanya kala itu. Akhirnya hubungan mereka berakhir tak bahagia. Barulah beberapa bulan kemudian, Mirna bertemu denganku. Kami diperkenalkan oleh seorang teman. Meskipun demikian, aku tetap tahu dan hafal nama lengkap Rizal karena antara aku dan Mirna saling terbuka terkait riwayat percintaan menjelang pernikahan, terutama yang paling berkesan.

"Ingat…"

"Bagaimana? Mau?"

"Enggak...", sahutku lekas menjawab. Aku sangat cemas apabila Mirna ditiduri oleh Rizal. Barangkali manis dan menggiurkan di awal. Lalu jika setelah melewati momen itu, Cinta Mereka Bersemi Kembali, bagaimana? Ah Enggak boleh. Jangan. Itu sama saja aku menggali lubang kuburku sendiri.

"Kamu mengerti kan maksudku?"

"Iya, sayang, iya"

"Ya udah, aku mau tidur dulu", ucap Mirna pamit tidur.

Setelah Mirna terlelap, aku menunggu giliranku, namun tak jua dijemput kantuk. Akhirnya aku justru melalang buana lewat ponselku di samping Mirna yang pelan-pelan pulas. Berangkat dari dialog dengan Mirna tadi, aku jadi kepengen tahu mengenai dampak yang ditimbulkan apabila aku mewujudkan fantasi cuckold-ku atau menyaksikan istri atau pasangan disetubuhi oleh pria lain. Berpindah dari laman ke laman dengan antusias, kemudian menonton konten video Youtube, mutlak benar ucapan Mirna bahwa yang memiliki fantasi pasangannya bersetubuh dengan orang lain, layak divonis ANEH atau GILA. Akibat yang ditimbulkan bermacam-macam. Namun yang aku cemaskan adalah pasangan kita terpaut serius dengan partner bersetubuhnya. CELAKA! Itu yang sangat aku tidak diinginkan. Aku maunya berlangsung sesaat saja untuk kesenangan, tidak perlu ada yang bermain perasaan pun &#039;main belakang&#039;. Kalau terjadi, MENGERIKAN! Bisa hancur rumah tangga yang sudah kubangun ini.

Aku seolah-olah tidak bisa menerima fakta yang baru kudapat seakan-akan menilainya tidak dapat teruji kebenarannya. Satu sisi aku mencemaskan dampak yang ditimbulkan dari fantasi cuckold. Sisi lainnya, tetap ingin fantasi tersebut terwujud. HUH KACAU DEH. Apa yang harus kulakukan. Mirna saja sudah menebar ancaman. Seandainya dia mau merealisasikannya pun tetap ancaman buatku, karena ia menginginkan dengan mantannya.

"Rasa-rasanya betul aku harus buang jauh-jauh fantasi itu"
"Buang Jauuuh....Jauuuhhh....!"
"Aku tak boleh menginginkannya lagi. TITIK!"
"TIDAK BOLEH TERJADI!"

<div style="text-align: center">=Y='
“Sepertinya saya yang salah kostum ini, aduh. Hehehe…”

“Bapak menyindir saya ya? Haha. Malah saya yang terlihat tua usianya daripada Pak Yanto”, ujarku keluar rumah mengenakan celana training panjang dan kaos berkerah abu-abu, sebaliknya Pak Yanto mengenakan celana training pendek yang mengikat kuat pinggangnya dan jersey pemain sepak bola dengan warna usang. Kelihatan pula keduanya menjepit tubuh pak yanto, seolah tak seperti celana dan jersey miliknya. Jersey itu sudah terlampau lama tidak dipakai sehingga menyusut dan kurang muat dikenakan.

Kami berdua menghirup udara pagi sebab Pukul 5 lewat seperempat setelah Sholat Subuh, Pak Yanto sudah menghampiri rumahku. Beruntung aku sudah siap-siap memakai sepatu. “Enggaklah, dari segi kostum saya memang tampak muda. Kalau muka, sudah selayaknya istirahat di rumah”

“Ya enggak dong, Pak. Supaya sehat, mau tua atau muda harus olahraga”

“Pak Riko biasa seperti ini?”

“Iya pak, kalau sedang semangat. Hehehe. Kalau masih ngantuk, ya tidur lagi”

“Hoalah, dikira rutin. Ibu enggak diajak?”

“Masih tidur. Saya sih sudah mengajak, tetapi tidak memaksakan”

Kami berdua berjalan menelusuri jalan perumahan yang masih diterangi lampu jalan serta rumah-rumah yang penghuninya mungkin baru membuka kelopak mata atau bahkan sudah ancang-ancang beraktivitas bagi mereka yang bekerja di hari Sabtu. Komplek perumahan kami yang terbilang cukup luas ini terdiri atas klaster-klaster tertutup, yang memiliki akses jalan satu-satunya berada di gerbang depan di setiap klasternya. Di sana pula selalu terdapat pos sekuriti sehingga keamanan terpantau 24 jam. Apabila ada orang luar masuk tentunya harus melapor lebih dulu dengan menitipkan kartu identitas.

Kendati per klaster tidak begitu luas, kami bisa keluar klaster untuk berolahraga. Apalagi komplek perumahan ini secara keseluruhan terbilang rimbun dengan pepohonan besar tumbuh di setiap jalannya. Ada pohon Nangka, Palem, Kelapa, bahkan pohon pisang dan kapuk yang sering dianggap angker. Selebihnya terdapat rumah-rumah kosong yang tak berpenghuni dan memprihatinkan tak terawat. Kalau siang hari, komplek perumahan sering dilalui hilir-mudik kendaraan online mengantar penumpang, paket, atau makanan karena paling depan gerbang utama komplek perumahan berdiri kokoh ruko-ruko dengan beragam merek dagang yang dijajakan.

"Kuat jalan berapa kilo Pak Yanto?"

"Kalau jalan, 7 kilo saya kira masih sanggup"

"Jangan kira-kira, pulang nanti jangan-jangan minta digendong. Hahaha"

"Enggak akan, bercandanya bisaan banget Pak Riko ini"

Selagi bercengkerama, melintas dari arah berlawanan sepasang perempuan rentang usia 25 tahun berlari pelan. Pak Yanto sudah mengamati dengan serius walau posisi mereka masih terbilang agak jauh. "Kalau ini yang dilihat, saya mau setiap pagi olahraga"

"Hahaha. Ini karena akhir pekan, Pak"
"Kalau hari biasa, sepi. Bukannya bapak juga minggu besok sudah mulai kerja?"

"Ah iya, ya. Aduh sia-sia sekali waktu bengongku selama ini"
"Terlalu sering bangun di atas jam 6 pagi"

"Menyesal ya? Hahaha"

"Betul, betul sekali"

Kedua perempuan itu akhirnya mendekat, mereka mengenakan leging ketat berwarna merah keunguan dan satunya berwarna coklat muda. Tak terbantahkan, sehingga bentuk bokong mungil nan seksi yang melenggang itu tersorot di hadapanku dan Pak Yanto. Begitu juga dengan payudara keduanya bergoncang dalam kaos yang basah di bagian dada karena keringat.

"Itu keduanya lari sadar apa enggak ya susunya gerak-gerak", sahut Pak Yanto ketika keduanya sudah menjauh.

"Masih gadis apa perawan itu pak?"

"Hahahaha, mana saya tahu, bukan orang tuanya"

"Ya kali yang berpengalaman lebih paham"

"Wuusshhh, mengada-ngada"

"Hehehehe"

"Masih cantik istrimu", timpal Pak Yanto dengan mata membeliak.

"Mengapa dengan istri saya? Sepertinya mereka berdua lebih muda dan cantik"

"Kamu suaminya jelas lebih tahu, mengapa malah bertanya ke saya? Hahahaha"

"Mirna kerap dapat pujian ataupun penilaian dari orang-orang, terutama kaum pria. Saya enggak munafik, kalo istri saya itu memang dari segi fisik tipe idaman seorang istri. Banyak yang mengakuinya. Nah, mungkin dari bapak ada, enggak apa apa"
"Saya santai mendengarkannya""

"Ah, rasanya tidak sopan mengomentari istri orang, lebih-lebih lagi istri dari Pak Riko yang sudah baik banget"

"Hahaha kami belum banyak kebaikannya, jangan terlalu mengelu-ngelukan"

"Iya Ibu Mirna tak kalah baiknya. Nyaris sempurna rohani dan jasmani, tak heran kalian berjodoh"

"Alhamdulillah..."

"Hehehe"
"Sayangnya, di zaman saya dulu belum ada perempuan seperti istri pak riko. Kalau sudah, pasti dia yang saya nikahi"

"Karena lebih cantik dari istri bapak yang sekarang?"

"Salah satunya itu, namun ada yang tidak dimiliki istri saya, yakni aura memikatnya"
"Daya tarik secara seksual"

"Emmmm, menggairahkan maksudnya?"

"Ya, kurang lebih demikian" Dari pembicaraan barusan dapat disimpulkan secara tidak langsung bahwa benar Pak Yanto telah kepincut dengan Mirna. Maka ia hanya perlu menunggu Mirna berhasil mengerjainya. Aku tidak tahu harus bagaimana, ruang gerakku seperti mati langkah, kecuali berani ambil risiko.

"Berarti bapak sepakat dengan pria lain yang pernah memberi tanggapan"

"Saya yakin Pak Riko ini tangguh dan jantan di ranjang"

Aku terkaget-kaget,"Waduh mengapa sekarang malah menyanjung saya"
"Hahahaha"

"Karena saya melihat sosok Istri pak riko ini tipikal yang bisa memuaskan lawan jenisnya"
"Pasti si jantannya ini pemegang kendali yang ulung"
"Kalau tidak, mana mungkin lahir anak bapak sekarang kan?"

"Iya, hehehe"

"Dari postur dan lekak-lekuk, wajah, saya harus jujur, istri Pak Riko gampang sekali menaikkan birahi kalau sudah naik arena"
"Saya melihat saja, langsung melotot mata! Maaf saya harus jujur ya, pak"

"Enggak apa Pak Yanto, saya asyik aja mendengarnya"

"Astaga! mengapa kita malah membahas istri Pak Riko!"
"Cukup! Cukup!"
"Kita fokus olahraga saja", ujar Pak Yanto mengusap muka. Ia tidak melanjutkan pembahasan mengenai Mirna yanh kurasa belum selesai. Akhirnya kita mengubah bahasan, yakni pekerjaan di kantor besok Senin.

Di sisi lain tak terasa aku dan Pak Yanto telah berjalan lebih dari satu kilometer. Entah kemudian mengapa semakin jauh kami berdua melangkah. Aku melihat wajah Pak Yanto mulai kelelahan. Berapa kali aku mengajaknya untuk rehat di pinggir jalan sembari minum sebentar atau bahkan sarapan. Ia bertekad jalan terus. Mungkin takut dikira lemah olehku. Akan tetapi, katanya ia mau cepat sampai rumah daripada harus menepi pinggir jalan lagi. Karena kerasan, mau tidak mau aku menurut.
Lalu Aku sedikit cemas kendati mengamini kebulatan tekad Pak Yanto sebab wajahnya berubah pucat yang mana olahraga justru seharusnya bertambah fresh, sebaliknya tidak begitu. Nafasnya engap-engap. Langkahnya mulai lunglai tak sekuat waktu awal berjalan. Keringat sudah tak mau kompromi. Basahlah badan Pak Yanto tak sebanding basah badanku. Alhasil, Aku ragu meneruskan olahraga berjalan yang tak santai lagi ini.

<div style="text-align: center">=Y='
"Kamu lagian sih ngapain jalan pagi jauh-jauh banget"

"Katanya kuat, ya aku ngikut aja. Padahal aku juga tadi sudah nyuruh istirahat dulu, tetapi tetep Pak Yantonya bersikeras gak mau berhenti"

"Sekarang kamu ambil minyak kayu putih di kamar", seru Mirna berjongkok di hadapan Pak Yanto yang kubaringkan di sofa.

"Iyaaa"

Sampai di rumahku dengan langkah menyeret-nyeret dan kubantu memapah, Pak Yanto pingsan tak sadarkan diri. Ia kubaringkan di sofa tempat aku biasa bersandar sore atau malam hari. Pagi yang mencekam, Aku gugup dan cemas terjadi sesuatu yang buruk terhadap Pak Yanto, seperti serangan jantung. Keringatnya dingin. Begitu juga dengan telapak tangannya. Namun ketika kuperiksa setibanya tadi. Jantung dan nadinya masih memberikan tanda kehidupan, kendati Pak Yanto belum juga siuman. Untungnya saja Mirna ada di rumah.

"Ketemu gak?!", teriak Mirna dari luar.

"Enggak, di meja rias enggak ada!"

"Coba di samping-samping tempat tidur, jatuh mungkin!"

"Sebentar...!"
"Enggak ada juga!"

"Ya sudah kamu ke sini!"

Aku kembali ke ruang tamu, mendapati Pak Yanto yang belum kunjung membuka kelopak matanya. Kemudian Mirna bertukar posisi denganku. Ia masuk ke dalam kamar mengecek persediaan minyak kayu putih yang disangkanya masih ada atau salah letak. Beberapa menit kemudian Mirna muncul kembali dengan hasil nihil, tetapi memberikan sejumlah uang kepadaku untuk membeli minyak kayu putih di warung terdekat.

"Enggak panggil ambulans saja?"

"Kalau menunggu ambulans kita enggak berbuat apa apa dulu sekarang, ya sama aja bohong, Mas"
"Sekarang kamu buru-buru beli minyak kayu putih di warung bu Aminah"

"Iyaaa"

Tanpa buang waktu, aku lepas landas ke tempat Bu Aminah sembari sangat menyesali mengajak Pak Yanto olahraga. Gelisah sekali suasana hati, khawatir hal buruk menimpanya. Saking gelisah, aku lupa menutup pagar rumah. Kalau sampai hal buruk itu terjadi, bagaimana aku mengabarkan ke keluarganya nanti. Apakah aku juga berpotensi masuk penjara? Ya amit-amit jangan. Kembali aku harus jalan pagi, hanya kini tak santai. Keringat membasahi kepanikanku. Orang-orang belum terlalu ramai yang keluar rumah. Sedihnya, kudapati di rumah Bu Aminah, warungnya tutup. Aku menyangka pemiliknya masih berada di balik selimut. Ternyata Bu Aminah sedang belanja di pasar. Aku tak tahu harus kemana lagi karena ini adalah warung satu-satunya di klaster perumahan ini. Memungkinkah aku mencari di klaster sebelah? Daripada pulang dengan tangan kosong. Aku mampir ke klaster sebelah. Sekuriti bertanya-tanya mengapa aku kalang kabut. Namun aku menjawab hanya sedang mencari warung. Aku tak mau suasana klaster berubah riuh ramai dan orang banyak tahu. Lolos dari sekuriti, namun hasil tetap sama saja, warung sebelah juga masih tutup. Aku pulang membawa keputusasaan dengan langkah lebih cepat dari berangkat. Aku tak mau berpikir macam-macam. Aku bukan pengecut.

Sesampainya di depan rumah, aku tergopoh-gopoh berjalan. Ambulans solusi terakhir yang akan kuambil.

"Astaga! Mirna!" gumamku terkejut. Aku menghentikan langkahku, mundur kemudian mengintip aktivitas yang dilakukan istriku. Sampai di rumah, aku melihat Pak Yanto yang belum sadar sudah ditanggalkan kaosnya oleh Mirna. Barangkali ini salah satu pertolongan pertama pada orang pingsan. Lagipula kuperhatikan kaos yang dikenakan Pak Yanto tergolong sempit sekali. Namun, satu hal lainnya tak normal. Tak lazim, yaitu untuk apa Mirna menyingkap celana Pak Yanto. ASTAGA ISTRIKU! Iya boleh dan silakan saja mengendurkan celana Pak Yanto, tetapi tak perlu hingga menyembulkan batang penisnya. YA TUHAN. Batang penis itu terkulai lunglai seperti tuannya, namun ukurannya tergolong panjang dan cukup besar dengan rambut lebat mengelilingi.

Mirna menyadari Pak Yanto belum sadar. Ia menatap batang penis Pak Yanto yang disingkap keluar dari celana dalam. Mirna memandangi dan menilik bentuk penis tersebut. Apakah ini pertanda awal Mirna tertarik dengan penis Pak Yanto? Sekarang Aku ingin istriku memegang penis berwarna cokelat itu. Mungkinkah dapat tegang selagi Pak Yanto pingsan? Yang terpenting adalah Ketertarikan awal. Lainnya bisa belakangan.
Berhenti sejenak, Mirna menengok-nengok, bingung mengapa aku belum juga hadir. Ia sudah menunggu kedatanganku. Aku menahan diri dahulu di luar, menanti aksi Mirna selanjutnya.

"Lumayan besar punya Pak Yanto, gimana saat tegang ya", tutur istriku salah satu tangannya berusaha menegakkan batang penis pria paruh baya tersebut seolah Mirna mau mengukur panjangnya.

"Ayo sayang pegangnya jangan tanggung-tanggung", aku membatin. Sulit memendam fantasiku. Ini seperti gerbang awal yang memberi isyarat telah semakin dekat.

Karena penasaran, tangan Mirna mengelus leher penis Pak Yanto, disangkanya bisa ereksi kendati tuannya pingsan. Memang sia-sia, tetapi aku terhibur dengan pemandangan ini. Berharap lama, justru hanya sebentar. Kemudian Mirna menghilang. Ia masuk ke kamarnya sejenak dan muncul kembali seraya membawa ponsel.

JEPRET JEPRET JEPRET
Mirna mengambil gambar bentuk penis Pak Yanto yang tengah tertidur, demikian tuannya.

Aku ingin lebih dari ini. Namun, tak memungkinkan karena keselamatan Pak Yanto lebih utama. Setidaknya aksi Mirna barusan pemantik suatu hari nanti, bahwa sangat mungkin Mirna ditiduri oleh laki-laki lain, yakni Pak Yanto.

"Enggak ada juga!"

"Yaudah kita panggil ambulans", tak berapa lama kemudian, aku menampakkan diri ketika Mirna sudah mengembalikan posisi semula celana Pak Yanto. Penis itu dikembalikan ke sarangnya.

...................................


====================

KEBUNTUAN JALAN</span>

"Alhamdulillah enggak apa-apa"
"Yang pasti harus tetap istirahat dulu, pak"

"Lantas senin besok bagaimana?", tanya Pak Yanto dengan raut khawatir. Ambulans dari rumah sakit terdekat yang meraung-raung masuk ke area klaster perumahan kami di pagi hari sehingga mengagetkan seantero warga. Mereka akhirnya tahu Pak Yanto pingsan karena sehabis olahraga. Mujur, Pak Yanto sadarkan diri setelah pertolongan pertama diberikan oleh petugas ambulans walaupun tetap diantar ke rumah sakit.

Menurut dokter yang menangani, Pak Yanto pingsan karena mengalami dehidrasi ringan, namun setelah pemeriksaan lebih lanjut, diketahui bahwa Pak Yanto memiliki riwayat penyakit jantung dan memiliki tekanan darah tinggi. Oleh karena itu, dokter menghendakki Pak Yanto untuk sementara dirawat sampai betul-betul kondisinya memungkinkan dipulangkan ke rumah. Leganya, seluruh pengobatan Pak Yanto ditanggung oleh BPJS sehingga aku tak mengeluarkan biaya sama sekali. Ini semua salahku. Lagipula seusia Pak Yanto tak perlu cape-cape berolahraga, yang penting optimalisasinya.

"Jangan khawatir, bapak tetap bekerja kok, sampai kesehatan betul-betul pulih, baru nanti masuk"
"Ini semua salah saya. Saya yang bertanggung jawab"

"Tidak bisa seperti itu"

"Sudah pak, saya yang punya ide untuk berolah raga"
"Apa salahnya bapak istirahat beberapa hari ke depan"

"Saya ini sudah terlampau banyak istirahat, mungkin ini penyebab utamanya jadi gampang sakit", tutur Pak Yanto sedikit terengah-engah.

"Betul kata Mas Riko, Pak Yanto sebaiknya istirahat dulu", sahut Mirna.

"Hhhhmmmm..."

"Sabar ya Pak Yanto, sekarang kita fokus ke kesehatan bapak"

"Baiklah, tapi jangan diberitahukan ke istri dan anak saya ya perihal ini. Saya tidak mau mereka jadi kepikiran"

"Iya, tenang. Sesak, Pak?"

"Sedikit"

"Berarti bener-bener harus fokus istirahat, jangan mikir yang macem-macem dulu"

"Baik, terima kasih ya Pak Riko"

"Iya, Ooh ya, Pak Yanto mau sarapan apa sekarang?", tanyaku. Aku dan Mirna berdiri memandang Pak Yanto yang tengah berbaring lemah sembari diinfus di ranjang tidur kamar inap pasien SERUNI. Sandaran kepalanya terangkat cukup tinggi sehingga Pak Yanto dalam posisi setengah duduk dan kaki menjulur lurus agar peredaran darahnya tetap lancar. Punggung telapak tangan sebelah kirinya tertancap jarum infus, tak banyak aktif bergerak, kecuali tangan kanannya perlu bantuan, seperti menggaruk bagian yang gatal. Kamar yang terletak di lantai 3 ini tergolong cukup nyaman. Ada pendingin ruangan, kamar mandi, westafel, dan televisi, kendati terdapat dua ranjang tempat tidur pasien.

Salah satunya yang berada di sisi sebelah kiri digunakan oleh Pak Yanto, di sebelah kanan belum ada yang mengisi sehingga tirai pembatas yang menengahi keduanya belum kuseret menutup. Kamar ini juga memiliki sepasang jendela kaca yang berbeda menghadap. Sisi sebelah kiri menghadap lorong yang menghubungkan setiap kamar. Sisi sebelah kanan menghadap ke arah sinar matahari datang, dari sebelah sini pula kita bisa melihat dari ketinggian suasana rumah sakit dan bangunan-bangunan di sekitarnya.

"Apapun yang mengenyangkan"

"Nasi uduk bagaimana?"

"Boleh"

"Tekanan darahnya tinggi, jangan makan nasi uduk", ucap Mirna.

"Emmmh bener, terus apa dong"

"Bubur ayam saja"

"Bagaimana pak?"

"Iya, bagaimana baiknya, saya nurut", jawab Pak Yanto sedang memegang dan mengamati hasil rekam jantungnya.

"Kamu sendiri, apa?", tanyaku ke Mirna.

"Terserah..."

"Nasi uduk, ya?"

"Iyaaa"

Setelah memastikan yang akan dibeli, aku mendorong pintu sekaligus pamit ke Mirna dan Pak Yanto. Aku tinggalkan mereka berdua, keluar dari kamar menuju area depan rumah sakit ini, konon banyak pedagang makanan berjualan. Selesai membelikan sarapan nanti, tugasku belum usai karena harus menebus resep obat Pak Yanto di apotek rumah sakit. Selebihnya aku bingung siapa yang akan menjaga Pak Yanto di rumah sakit, sedangkan dia tidak punya kerabat dekat di Jakarta. Pastinya, mau tidak mau aku dan Mirna. Aduh. Awalnya aku ingin menghubungi anak Pak Yanto, tetapi Pak Yanto keburu mencegah atau aku menghubungi Ketua RT saja untuk dicarikan solusinya.

Berada di area depan rumah sakit sambil membeli satu per satu sarapan, pikiran miringku mulai timbul lagi pada saat yang rasanya kurang pas. Apakah yang dilakukan Mirna berdua dengan Pak Yanto di kamar inap ya? Dalam kondisi berbaring lemah apakah mungkin Pak Yanto masih sempat-sempatnya menggoda istriku? Pura-pura? Ah tidak mungkin. Nanti aku akan lihat dengan mata kepala sendiri sehingga sekarang sengaja aku melama-lamakan diri berada di area pedagang berjualan. Kurang lebih 20 menit aku berada di sana disambi mengunyah jajanan ringan. Selanjutnya kembali...

"Bisa pak, sendiri?"

"Bisaa...", ujar Pak Yanto. Tangan sebelah kiri menenteng botol infusnya. Dengan pelan-pelan Pak Yanto beranjak turun dari ranjang dibantu oleh Mirna, istriku. Karena tak begitu yakin kuat, Mirna mendampingi Pak Yanto berjalan perlahan sampai depan pintu kamar mandi. Aku yang baru masuk ke kamar inap hanya melongo tak ada reaksi spontan untuk menolong, seolah-olah membiarkan sekaligus ‘menikmati’ sensasinya, terutama ketika tangan kanan Pak Yanto menggandeng pundak sebelah kanan Mirna. Awalnya aku mengira Mirna akan menuntun sampai kamar mandi, ternyata tidak. Haha. GILA! Orang sakit masih saja tuduhan pikiran ini menyimpang.

“Ini sarapannya…”

“Mas, siapa yang akan nungguin Pak Yanto di sini?”

“Itu juga yang aku sedang pikirin, kalau untuk malam ini kita dulu, bagaimana?”

“kamu maksudnya?”

“Iya”

“Kalau kamu mau, ya silakan”

“Ya deh”, jawabku pasrah.

“Terus selanjutnya bagaimana?”

“nanti aku mau tanyakan ke Pak RT mungkin ada solusinya”

“Kamu sih, pakai ngajakin orang tua olahraga, jadi repot sendiri kan…”, tutur Mirna dengan wajah cemberut.

“Sudahlah, jangan dibahas lagi, aku juga kan enggak tahu akan seperti ini.
“Aku mau tebus resepnya Pak Yanto dulu ya…”

“Sebentar, Pak Yanto tadi bilang, bisa minta tolong ke rumahnya untuk ambilkan baju ganti?”

“Ya boleh”

Kemudian pintu kamar mandi terbuka, Mirna dengan lekas menghampiri Pak Yanto, kembali pundak sebelah kanan istriku dirangkulnya. Aku penasaran apakah ada sebersit birahi kesenangan di benaknya? Karena Aku justru berpikir barangkali yang dilakukan Pak Yanto adalah curi-curi kesempatan. Ditambah istriku mengenakan kaos biru polos yang dipakainya di rumah, tak sempat berganti pakaian, hanya membawa jaket yang diletakkan di kursi tunggu pasien. Apakah Mirna sengaja atau tak sadar Pak Yanto pasti menyorot ke arah tubuh moleknya pun bagian dada yang mencolok terbungkus bra. Lalu apakah ia sengaja memegang pundak Mirna agar bisa meraba lengan gempal istriku?

Mungkin kondisi lemah Pak Yanto dianggap Mirna sepele dan tak akan mungkin berbuat macam-macam. Namun bagi aku suaminya seharusnya tak nyaman bodi gemulai istriku dipandangi dan disentuh gratisan. Aku sebetulnya mesti menggantikan posisi Mirna memapah Pak Yanto atau setidaknya meminta Mirna mengenakan jaketnya. Lagipula cukup dingin di kamar inap tempat Pak Yanto dirawat. Yang terjadi adalah aku tetap membiarkan Mirna dirangkul hingga Pak Yanto telah berbaring kembali di ranjang tempat tidur pun Mirna menyangkutkan botol infusnya pada tiang penyangga.

“Kalau enggak keberatan, tetapi kalau enggak bisa, enggak usah”

“Bisa kok pak, kira-kira apa saja yang mau dibawa?”

“Pakaian ganti, handuk, baju kemeja, celana, dan peralatan mandi”, ucap Pak Yanto menyebutnya satu per satu.

“Okee…”

“Ini kunci rumah saya”, setelah menerima kunci rumah Pak Yanto, aku bersiap-siap kembali keluar kamar untuk menebus resep dan pulang ke rumah, mengambil baju pak yanto serta baju gantiku untuk mendampingi Pak Yanto menginap malam ini di rumah sakit.

“Pak Yanto, buburnya mau makan sendiri apa disuapin?”, tanya Mirna. Aku terkejut mendengar tawaran dari Mirna untuk Pak Yanto.

“Kalau kamu mau nyuapin, boleh...”
“hehe…”

“Yaudah disuapin aja…”, ucap Mirna menarik keluar tatakan meja pada lemari besi mungil di sisi sebelah kanan. Ia meletakkan kotak Styrofoam berisi bubur ayam di sana. Sementara sarapanku dan Mirna ditaruh di atas lemari besi tersebut.

“Oke, aku berangkat dulu”

“Hati-hati, Mas”

"Iyaaa..."

Langkah yang semula mudah, mendadak berat ketika harus mengetahui Mirna akan menyuapi makan Pak Yanto. Badan ini seolah-olah mau berputar balik, menyaksikan bagaimana istriku menyuapi lelaki yang bukan suaminya. Apakah akan terjadi sesuatu di luar itu. Aku cemas bukan main, cemas melewatkan sesuatu yang pastinya berkaitan dengan fantasi selama ini. Namun apa alasanku masuk ke kamar kembali? Tidak rela? Sesuatu tertinggal? Apabila demikian, tentunya aku akan keluar kamar juga. Tidak bisa menyaksikan menit demi menit Mirna menyuapi Pak Yanto serta obrolan yang akan mengiringi keduanya bertatap muka. Buntu pikiranku, mengintip saja tak ada celah. Akhirnya terpaksa dengan rela aku meninggalkan adegan Mirna menyuapi Pak Yanto. Apa salahnya menyuapi orang sakit. Lagipula bukan hal yang aneh juga. Sekarang Aku harus menebus resep, lalu pulang ke rumah.

Dalam perjalanan pulang menggunakan ojek online, lagi dan lagi lamunan tersangkut di kamar inap Pak Yanto. Aku membayangi dialog apa saja yang sudah berlangsung. Ketika dihadapanku Pak Yanto berani menggandeng pundak Mirna, bagaimana ketika aku sedang tidak berada di sana? Aduh, tambah kacau pikiranku. Aku mau menelepon Mirna, namun entah apa yang ingin disampaikan rasanya pun sia-sia.

<div style="text-align: center">=Y='
"Terima kasih banyak ya Pak Riko, aduh saya bingung harus bilang apa lagi inih"
"Banyak sekali yang sudah dibantu sama bapak dan ibu, tetapi saya belum bisa kasih apa-apa"

"Justru bapak enggak perlu bilang terima kasih, ini memang salah satu bentuk tanggung jawab saya"

"Sudah Pak Riko, tolong jangan dipermasalahkan lagi, saya jadi ikut merasa bersalah kalau seperti itu"
"Semua sudah ketentuan Yang Di Atas"

"Bener Pak, Semoga bapak cepet sembuh ya"

"Ini pak, diminum obatnya", Mirna menyerahkan 3 butir obat yang telah kutebus untuk diminum oleh Pak Yanto.

"Iyaaa, tolong airnya juga"

Sabtu, Jam 12 siang aku sudah kembali ke kamar inap SERUNI. Setelah mandi membersihkan diri, aku membawa ransel berisi satu stel pakaian gantiku dan sekantong pakaian serta perlengkapan mandi milik Pak Yanto. Aku sempat menghubungi Pak Yanto ketika berada di rumahnya untuk menanyakan posisi kamar dan benda-benda yang kucari supaya lebih cepat dan tak perlu berlama-lama. Ia juga menunjukkannya tepat sehingga aku tak keliru mengaut. Setibanya di kamar inap, Mirna sedang duduk di kursi tunggu pasien, mengecek ponselnya. Sementara Pak Yanto tertidur memejamkan mata. Aku ingin sekali menanyakan apa saja yang mereka bicarakan dan lakukan selama aku di luar. Namun, itu bakal benar-benar terlihat aneh andai aku ajukan.

"Ada suster masuk?"

"Ada, ngecek tensi dan bilang kalau Pak Yanto jangan mondar mandir ke kamar kecil dulu"

"Mengapa?"

"Biar gak sesak, sementara pakai kateter dulu", jawab Mirna.

"Oohh, udah dikasih kateternya?"

"Sudah, ada di kamar mandi"

"Sebetulnya gak terlalu sesak"
"enggak nyaman saya kalau pakai kateter mau kencing doang", timpal Pak Yanto merebahkan badannya.

"Sementara nurut dulu ya pak, hehehe"

"Iya supaya saya cepet keluar dari sini"

"Nah bagus, begitu dong semangatnya, Pak Yanto! Hehe"

"Bukan semangat, lebih karena kesal dengan jarum infus ini"

"Pak, nanti malam yang nungguin bapak saya, ya?"

"Waduwh, enggak usah Pak Riko, enggak usah, pulang saja, besok pagi mau ke sini baru silakan"
"Tetapi kalau sampai menginap, enggak usah, jangan"

"Semalam aja kok"

"Mau semalam, mau dua malam, seminggu, saya mohon sekali, enggak usah"
"Cukup, cukup saya merepotkan bapak dan ibu", ujar Pak Yanto dengan nada tegas dan lugas.

Aku dan Mirna saling melirik,"yaudah deh"

"Lagipula kan ada suster, nanti saya minta tolong ke suster"

"Beneran nih?"

"Bener, lebih baik kalian di rumah, istirahat. Kalau enggak, malah kayak saya nanti, jangan sampai..."

Kemudian aku beranjak duduk di ranjang sebelah Pak Yanto, pegal dan lelah karena aku belum betul-betul istirahat setelah memastikan segala sesuatunya sudah tertangani. Karena penasaran bagaimana pembaringan orang sakit, aku rebahan di ranjang tersebut. Aku tinggikan sandaran kepalanya setara dengan ranjang Pak Yanto. Ah, sungguh menyesal tidak membawa bantal.  

"Istirahat saja di situ gak apa-apa, kecuali sudah ada yang mau mengisi"

"Iyaaa, hehehe"

"Mas, aku keluar sebentar ya..."

"Mau ke mana?"

"Hirup udara segar, daritadi kan aku terus yang di dalam"

"Oh silakan", jawabku memerhatikan Mirna keluar kamar.

Televisi yang belum menyala, lalu kuambil ambil remotnya untuk dihidupkan seraya memecah sunyi. Volume kutingkatkan, tak terlampau keras agar Pak Yanto tak terganggu. Aku memilah-milih chanel tak menentu mana yang kusuka karena cukup lama tidak menonton televisi di siang hari. Untung saja, Pak Yanto tak menonton. Barangkali ia pusing mana yang mau kutonton. Pada akhirnya aku letakkan remot televisi tersebut di lemari besi yang dekat dengan ranjang ini. Suasana semakin sejuk dan dingin. Lalu kantuk menguasai badan yang telah lelah semenjak pagi. Di sampingku, Pak Yanto sudah lebih dahulu terlelap akibat efek samping obat yang diminum. Aku pun lantas ikut menyusul entah berapa lama, sampai kusadari terbangun oleh suara percakapan Mirna dan Pak Yanto. Namun aku belum mau membuka mata.

"Udah ishhh, mau dimakan gak?"

"Mau, tapi pegang dulu"

"Kan udah tadi", ucap Mirna memegang sepiring nasi entah tak kulihat jelas lauk dan sayurnya apa.

"Masih kenceng ya susu kamu"

"Kalau enggak lagi sakit begini, mana mau aku tadi turutin"
"Itu juga bapak maksa-maksa mulu supaya sarapannya mau dimakan"

"Hehehe, terima kasih"
"Sekarang supaya makan siangnya juga dimakan, pegang lagi boleh?"

"Enggak..."

"Hhhmmm, yaudah gapapa. Sini biarkan aku makan sendiri"

"Supaya semangat, begini aja, bagaimana?"

ASTAGA APA YANG MERASUKI MIRNA. Dengan mata yang menyipit, aku melihat Mirna yang berdiri menjauh dari Pak Yanto menyingkap kaosnya dan memamerkan bra berwarna merah yang dia kenakan. Tampak jelas sudah bulat payudaranya dipandang oleh Pak Yanto yang mungkin jadi timbul selera makan.

"BLEH BLEH BLEH, benar dugaanku, memang besar ukuran susumu, hehehe. Akhirnya bisa melihat jelas yang menerawang kemarin"
"Kalau posisi seperti itu boleh kupegang?"

"Ngaco! Gak boleh!"

"Owwwhhhh"

"Mas Riko itu dulu suka banget dapat foto dari temennya yang Yanti itu posenya seperti ini"

WADUWH seakan batu menghantam kepalaku mendengar perkataan Mirna barusan, karena ia bicara apa adanya.

"Mana besar dengan susumu?"

"Aku kan udah pernah kasih lihat fotonya"

"Engghhh...masih gede punyamu, hehehe", tutur Pak Yanto mulai memasukkan sesuap nasi ke mulutnya.

"Sudah yaa..."

"Wah buru-buru sekali, masih pengen lihat"

"Cukup"

"Kamu sudah makan siang?", tanya Pak Yanto melupakan kekecewaannya.

"Sudah, tadi keluar sekalian makan siang"

"Hhhmmm..., eh iya perkara yang tadi maafkan"

"Enggak apa, pak. Mas Riko dulu juga begitu"

"Oh pernah seperti itu juga"

"Ya merhatiin foto sih", Mirna membuka pintu kamar mandi. "Tapi enggak kayak Pak Yanto juga, dikasih kateter bukannya untuk buang air kecil malah buang sperma, pakai dikasih lihat ke aku lagi, iihhh"

"Hehehe supaya kamu tahu kalau aku itu ngeluarinnya gara gara kamu"

"Makanya, jangan jauh-jauh dari istri"

"Bagaimana ukuran punya saya? Gede?"

"Enggak lihat, yeeee", sahut Mirna seolah-olah mau mengabaikan pertanyaan Pak Yanto, sedangkan aku tidak terlalu paham pembicaraan mereka berdua. Aku belum mau membuka kedua kelopak mataku hingga percakapan antara Pak Yanto dan Mirna benar-benar usai, pastinya mereka mengira aku masih tertidur.

"Kamu benar-benar enggak mau merasakan yang ngeluarin sperma tadi?"

"Makan pak, lagi makan omongannya begitu"

"Aku sekedar bertanya"

"Enggak mesti dijawabkan?"

"Maunya sih dijawab", timpal Pak Yanto. Aku menanti jawaban Mirna dengan suasana hati campur aduk.

"Terima kasih ya Pak baju tidurnya, semestinya enggak perlu", Mirna kembali menghindari pertanyaan dari Pak Yanto. Justru aku yang dikagetkan karena baru tahu Pak Yanto memberikan pakaian tidur untuk Mirna, entah yang mana dan di mana.

"Supaya suami kamu makin beringas di tempat tidur"

Mirna tidak menyahut balik kalimat yang diutarakan Pak Yanto. Ia menutup pintu kamar mandi, sepertinya istriku mau buang air kecil. Aku menunggu beberapa menit, namun nyatanya terlampau, lama barangkali ia buang air besar. Terpaksa aku sudahi kepura-puraan ini.

<div style="text-align: center">=Y='
Aku meninggalkan rumah sakit pukul 2 siang. Benar-benar lelah kami berdua menunggui Pak Yanto di rumah sakit. Bagaimana bila sudah ada yang mengisi ranjang di sebelahnya? Bisa jadi kami tak mau menengoknya lagi. Malam hari di rumah, aku dan Mirna sungguh melampiaskan rasa cape kami di tempat tidur. Jam 7 malam kami sudah rebahan dengan aktivitas masing-masing. Meskipun demikian, Mirna memamerkan pakaian tidurnya yang baru dibelikan Pak Yanto kepadaku.

<div style="text-align: center"><a href="https://imgbox.com/Ddq99og4" target="_blank" class="link link--external" rel="nofollow ugc noopener"><img src="https://thumbs2.imgbox.com/42/74/Ddq99og4_t.jpeg" data-url="https://thumbs2.imgbox.com/42/74/Ddq99og4_t.jpeg" class="bbImage " loading="lazy"
         style="" width="" height="" /></a>'
"Bagaimana paaah? Bagus?"

"Bagus, dari siapa?", tanyaku pura-pura tak tahu.

"Aku beli sendiri, masa bagus doang..."

"Iya kelihatan tambah seksi banget kamu"
"Pinter milihnya"

"Iyaa hehehe"
"Papah lagi kepengen gak?"

"Emmmmm... gimana yaa. Aku cape banget hari ini"
"Mama enggak cape?"

"Capee sih, yaudah kalau cape, kita istirahat aja"

"Beneran?"

"Iyaa", ujar Mirna.

Berbeda dari malam sebelumnya, kini kami tidur sudah berhadap-hadapan. Mirna bercerita mengenai hari ini, yaitu mengenai perawatan dokter dan suster di rumah sakit, obat yang diminum oleh Pak Yanto, makanan yang disajikan Rumah Sakit untuk Pak Yanto, dan pelayanan rumah sakit untuk pasien BPJS. Namun ia tidak bercerita mengenai percakapannya dengan Pak Yanto. Ketika aku tanyakan ia ngobrol apa saja dengan pria paruh baya itu Mirna hanya menjawab Pak Yanto benar-benar tidak mengetahui kalau memiliki riwayat penyakit jantung. Keluarganya yang ia ketahui memiliki riwayat darah tinggi dan kolesterol. Istrinya sendiri memiliki riwayat diabetes. Itu mengapa Pak Yanto sungkan kami menceritakan penyakit yang sedang diderita kepada keluarganya di kampung.

Selesai bercerita, kami sibuk dengan ponsel masing-masing. Aku pantau akun WA Mirna, tak ada ia berbalas pesan dengan Pak Yanto, kecuali Pak Yanto menanyakan apakah ia sudah tiba di rumah apa belum. Beberapa menit kemudian, Mirna justru mengirimkan foto ia sedang mengenakan daster yang dihadiahi Pak Yanto kepadanya.

Sabtu, Malam Hari Pukul 19.15

Pak Yanto: Wih, wih, baru saya mau tidur, disuguhi gambar bodimu, kantuk saya kabur
Mirna: Aku mau kasih lihat dasternya, bukan badanku, yeee.
Pak Yanto: Apa reaksi Riko? Langsung ditindih? Dipeluk? Dicium?
Mirna: Dipuji
Pak Yanto: Lalu?
Mirna: itu aja
Pak Yanto: tidak dipeluk-peluk, diraba-raba?
Mirna: cape katanya, kan seharian ngurusin bapak.
Pak Yanto: Waduwh ini semua salah saya. Maafkan...
Mirna: enggak apa apa. Enggak ada yang mesti disalahkan juga.
Pak Yanto: besok kamu ke sini?
Mirna: belum tahu.
Pak Yanto: pengen disuapin lagi <img class="smilie smilie--emoji" loading="lazy" alt="🤗" title="Hugging face    :hugging:" src="https://cdn.jsdelivr.net/gh/twitter/twemoji@14.0.2/assets/72x72/1f917.png" data-shortname=":hugging:" />
Mirna: ish ngarep. Istirahat Pak.
Pak Yanto: iya, tadi dokternya datang.
Mirna: bilang apa?
Pak Yanto: nanya keluarga saya di mana, saya bilang di kampung. Ditolong oleh tetangga. Kemudian kata dokter, saya enggak boleh aktivitas berat-berat dulu. Harus biasa makan sayur buah.
Mirna: Hhhmm, masih sesak?
Pak Yanto: sedikit
Mirna: pakai oksigen aja
Pak Yanto: saya tidak mau terbiasa memakai itu, nanti ke depan jadi sering menggunakan tabung oksigen untuk bernafas.
Mirna: buang airnya bisa kan?
Pak Yanto: enggak
Mirna: bisa minta tolong suster
Pak Yanto: nunggu kamu
Mirna: ckckckck

Percakapan itu kemudian tak berlanjut, namun Mirna masih sibuk memegang ponselnya.

"Mas, kamu beneran gak lagi kepengen?"

"Kamu lagi kepengen ya?", tanyaku mengantuk dan tak mendapat mood bercinta.

"He&#039;eh", Mirna mengangguk.

"Mmmm...aku bantu pakai seks toys, bagaimana?".

"Enggak usah, mending kamu tidur"

"Beneran gak mau?"

"Enggak", tutur Mirna dengan ekspresi kecewa. Kemudian ia berbalik badan, membelakangiku. Aku pun tak berdaya. Lagipula nafsu dan birahi tidak bisa diada-adakan muncul. Aku berusaha menyentuh Mirna, tetapi dia tidak merespon. Aku raba halus punggungnya, tetap sama saja. Kemudian aku berupaya mendekat, mencium tengkuk Mirna, ia menghindar. Rambutnya digeraikan ke belakang agar aku memahami bahwa tidak mau dilanjutkan. Mirna terlanjur kecewa dengan sikapku. Apalagi aku melakukan hal itu semata-mata karena ingin menuntaskan keinginan istriku, bukan sedang muncul murni dari dalam naluri. Mirna bertahan dengan sikap demikian.

Kemudian ia bangun berdiri memeriksa lemari, dicomotnya jaket yang dikenakan saat menjenguk Pak Yanto. Ia pasangkan di badannya yang mulai digigiti nyamuk. Tanpa ada omongan, Mirna tiba-tiba keluar dari kamar. Aku segan bertanya, mengira Mirna hanya kedinginan dan meminum air hangat. Namun, setengah jam kutunggu, ia tidak kembali. Aku menjadi gelisah.

Sabtu, Malam Hari Pukul 19.25

Mirna: Pak Yanto sudah istirahat?
Pak Yanto: baru mau, tadi ada kunjungan suster. Mengapa?
Mirna: aku mau ke sana.
Pak Yanto: mau ngapain malam-malam begini, tidak dicariin Riko.
Mirna: lagi bosen

Membaca percakapan chat barusan, aku mengetahui Mirna pergi ke mana. Akan tetapi, Aku galau harus menyusulnya atau tidak. Jika iya, apa yang bisa kulakukan kalau Mirna justru malah berbalik pulang lagi, terkesan aku dengannya sedang bertengkar. Aku tak mau Pak Yanto mengetahui hal itu. Dalam benakku, terlepas belum paham apa yang harus diperbuat, mau tak mau aku harus segera berganti pakaian untuk lekas menyusul Mirna.

Aku menembus gelapnya malam dengan membonceng driver ojek online, kendati dihujani gerimis. Aku tengok sekitarku di mana lalu lintas cukup padat tak kudapati Mirna menumpang kendaraan online atau kendaraan umum. Apakah ia sudah sampai lebih dulu? Aku tidak peduli. Sekarang yang penting tiba dulu di rumah sakit. Dengan tergopoh-gopoh dan nafas terengah-engah aku sampai di depan kamar inap SERUNI. Sayangnya, aku dicegah masuk karena jam besuk sudah habis. Walau aku telah mengaku sebagai keluarga yang menunggu, faktanya di kamar Pak Yanto sudah ada yang lebih dulu menjaga. Aku menduga dia adalah istriku.

"Sebentar aja kok, suster"
"Hanya kasih titipan"

"Bisa diminta yang bersangkutan ke depan Pak, untuk mengambilnya"

"Duh, tapi teleponnya gak diangkat"

"Baik, kami coba panggilkan"

"Eitss gak usah, gak usah", aku malah menghadang suster masuk ke kamar Pak Yanto.

"Loh mengapa?"

"Saya khawatir pasiennya sudah istirahat, ya sudah biarkan saja", aku mulai kehabisan akal.
"Engggh, tadi ada perempuan pakai jaket masuk lewat sini?"

"Ada, mengapa?"

"Kira kira masuk ke kamar yang mana ya?"

"Hehhee, maaf saya tidak memperhatikan"

ADUH, mendengar jawaban itu rasanya aku mau mendobrak masuk, masa bodoh tak tahu aturan karena suster terus menghambat. Masalahnya kalau membuat kegaduhan yang ada aku digebukki keamanan se-rumah sakit ini. Terpaksa aku menunggu di bangku depan SERUNI, berharap Mirna muncul menampakkan batang hidungnya. 30 menit kemudian.

"Kamu ngapain ke sini, Mas?", tanya Mirna mendadak muncul karena suster tak menuruti apa yang kubilang.

"Kamu sendiri ngapain di sini?"

"Aku bosen di rumah, daripada bingung mending jengukkin orang"

"Hhhmm ini sudah malam"

"Iya tahu... aku suruh pulang kan?"

"Hmmmm", Mirna tak mengelak. Ia mengamini perintahku. Namun karena dikuasai kekesalan, ia nyelonong pergi tak menunggu. Sebelum menyusul Mirna, aku berkenan menengok Pak Yanto supaya suster juga tak curiga dan lagipula ia sudah menolongku supaya bisa masuk ke kamar Pak Yanto. Tiba di kamar Pak Yanto dengan memberi ketukan, aku dipersilakan masuk.

"Eh Pak Riko, ayo masuk. Baru aja Ibu pergi"

"Hehehe iya bareng saya juga sebetulnya"

"Emmm, terus bapak kemana?

"Saya ada urusan sebentar, jadinya tidak berbarengan"
"Boleh menumpang kamar mandi?"

"Iya silakan"

Aku kebelet buang air kecil. Ketika menumpang kamar mandi pasien, aku awalnya takjub dengan kebersihannya. Namun, menganga ketika melihat celana dalam Mirna tergantung di belakang pintu.

ASTAGA KOK BISA!


====================

TERBONGKAR</span>

Tuntas buang air kecil, aku tercengang-cengang dengan celana dalam Mirna yang tertaut di belakang pintu kamar mandi. Bagaimana kronologisnya ia bisa berada di sana? Sangkaanku Mirna sengaja meninggalkan celana dalam berwarna biru muda itu, mana mungkin terlupakan. Kemudian apakah yang harus kulakukan terhadapnya? Membawanya pulang atau tetap dibiarkan di tempat? Aku sebenarnya ingin memungut celana dalam Mirna, tetapi aku mau tahu sejauh mana maksud Mirna meletakkannya di situ, teringat beberapa waktu yang lalu Pak Yanto sengaja menyemburkan spermanya, namun sampai saat ini Mirna belum menyadari. Celana dalam yang sedang tergantung tersebut, tak ada jejak misterius yang harus dicurigai. Hanya bulu-bulu halus yang tertinggal sehelai dua helai, baunya wangi bercampur asam khas aroma vagina istriku. Aku tiba-tiba tertawa sendiri. Apa iya Mirna datang ke sini sengaja meninggalkan celana dalamnya, lalu pergi dengan selangkangan terhembus oleh angin malam?

Lagipula Mirna tidak mungkin datang kemari sekedar melepaskan celana dalam. Jelas aneh. Dalam kondisi yang masih sebal karena maunya tak bisa kuturuti, pelampiasannya justru kabur dari rumah untuk menjenguk Pak Yanto. Bosan sih bosan. Pak Yanto yang sedang sakit, Dia bukanlah badut penghibur. Sialnya, aku sudah kehilangan momen, melewatkan percakapan atau peristiwa sekalipun yang terjadi di kamar inap Pak Yanto sedang dirawat. Aku tidak tahu harus bilang apa. Di sisi lain, Mirna pasti bertanya-tanya bagaimana aku bisa tahu dirinya di sini. Jawaban apa yang harus aku persiapkan?

“Sudah makan malam, pak?”

“alhamdulillah sudah, sedang terkantuk-kantuk ini”, ujar Pak Yanto dengan kelopak mata yang layuh, seolah-olah segan diajak bicara.

“Emmm, efek obat pasti”

“Ibu, kemana? Tadi ke saya kok bilangnya pamit pulang”

“Hah? Apa iya begitu?"

"Iyaa, benar"

"Coba saya hubungi dulu”, aku mengambil ponsel dari saku celana. Barangkali penampilanku ini salah satu penyebab suster tak berkenan mempersilakan masuk karena dari penampilan kurang meyakinkan mau menjenguk. Maklum, aku mengenakan kaos berkerah dan celana pendek, semula tujuannya hanya membuntuti Mirna, tak tahu bakal ada rencana menengok Pak Yanto malam hari. Ketika dihubungi, Mirna tak memberi jawaban. Ia mungkin sudah dalam perjalanan pulang. Lalu apa yang harus aku katakan kepada Pak Yanto?

“Bagaimana? Betulkan?”

“Sepertinya iya. Mirna kirim pesan ke saya dia sudah menunggu di luar. Kalau begitu, saya pamit dulu deh Pak”

“Iya, maaf banget juga ya Pak Riko, saya tidak bisa menemani ngobrol, sudah mengantuk berat”
“Enggak apa-apa, yang utama kesehatan bapak, selamat istirahat. Selamat Malam”

"Pak Riko! Satu hal lagi!"

"Iya, apa?", sahutku ketika hendak mendorong pintu.

"Malam minggu, mesra-mesraanlah, jangan hanya pergi ke rumah sakit"
"Hehe"

"Maklum, bukan anak muda lagi"

"Setidaknya Ibu jangan lupa dipeluk, pak"

"Hahaha, siap!"

Aku mendorong pintu kamar Pak Yanto, melangkahkan kaki sedikit lebih cepat, namun sempat mengumbar senyum kepada para suster yang sedang berjaga dan telah mengizinkanku masuk. Aku lalu keliling sebentar mencari-cari Mirna karena tak ada kejelasan dia sudah pulang atau belum. Padahal aku mengira ia akan menunggu setelah berpapasan dengannya di kamar SERUNI.

Akan tetapi, karena kedatanganku di luar dugaan, ia tampak memilih pulang karena tak mampu menyiapkan dalih seandai aku bertanya mengapa dia malam-malam ke rumah sakit untuk menjenguk Pak Yanto. Apakah hari ini kurang melelahkan baginya? Aku menelepon Rengga, meminta anakku mengecek apakah mamanya sudah tiba di rumah apa belum. Jawabannya ialah belum. Ah barangkali sedang dalam perjalanan pulang.

Sabtu Malam Hari Pukul 20.00

Pak Yanto: Kamu di mana? Haduh, sebetulnya lagi seneng-senengnya lihat kamu pakai daster yang kubelikan.
Mirna: bapak keterlaluan banget ih
Pak Yanto: saya sudah kebelet, kamu terlampau lama juga di kamar mandi.
Mirna: bukan itu, awas kalau diulang.
Pak Yanto: hanya penasaran, mana tahan juga hehe.
Mirna: dijaga mulutnya.
Pak Yanto: kamu basah-basah seharusnya di rumah pelukan dengan suami, bukannya ke sini, Mirna.
Mirna: itu basah habis disiram, kan buang air kecil.
Pak Yanto: bukan basah karena yang lain kan?
Mirna: bukan! Bapak juga udah dikasih tahu gak boleh bolak balik kamar mandi dulu.
Pak Yanto: kan pispotnya di dalam kamar mandi.
Mirna: eh iyaa...
Pak Yanto: bener kan? Saya enggak salah.
Mirna: terus kenapa juga buka celananya harus di depan aku?
Pak Yanto: Saya kan sudah bilang, saya kebelet. Kalau enggak kebelet mana mungkin saya harus turun dari ranjang tempat tidur. Saya memanggil pun kamu tidak mendengar.
Mirna: Enggak sabaran.
Pak Yanto: kebelet kencing mana bisa sabar, Mirna.
Mirna: Untung Mas Riko enggak tahu.
Pak Yanto: Kamu kemari bukan bersama Riko? Katanya Riko menunggu di luar.
Mirna: Iya di luar itu maksudnya di rumah. Tiba-tiba ke sini.
Pak Yanto: Howaalaah…
Mirna: Riko masih di sana?
Pak Yanto: Sudah pamit. Katanya mau menemui kamu. Kamu di mana?
Mirna: dalam perjalanan pulang ke rumah.
Pak Yanto: Hati-hati, padahal masih penasaran dengan yang basah itu. Hehe.
Mirna: Maaf ya Pak, cuman bisa segitu aja.
Pak Yanto: Melihat kamu bahagia dengan daster yang aku belikan, sudah cukup seneng, kalau dikasih lebih, ya masa ditolak? Hehehehe.
Mirna: Kalau mau dibelikan lagi boleh kok pak. Aku enggak akan nolak.
Pak Yanto: Bukan itu maksudku. Tuh kan, Kamu nih loh ya, makin menggemaskan. Seharusnya boleh tadi aku pijet pijet lenganmu yang makin berisi kelihatannya. Sama yang satu tadi itu hehe.
Mirna: Oh aku dibilang gemuk ceritanya nih.
Pak Yanto: Aku memang suka yang gemuk-gemuk hehe.
Mirna: sapi dong.
Pak Yanto: Kalau kamu sapinya, aku mau menghisap susunya langsung.
Mirna: jahat. Aku dibilang sapi.
Pak Yanto: Terima kasih sudah bantu minumin obat. Kamu ke sini betul-betul sengaja mau pamerin langsung di depan aku, Mirna?
Mirna: pamer bagaimana?
Pak Yanto: Dasternya kamu pakai langsung, terus ditunjukkin.
Mirna: enggak juga.
Pak Yanto: Lalu?
Mirna: karena lagi pengen ngobrol aja.
Pak Yanto: besok ke sini lagi, mau...
Mirna: semoga bisa. Ada yang kelupaan.
Pak Yanto: apa?
Mirna: celana dalam aku
Pak Yanto: saya mau simpan.
Mirna: jangan....

Berdasarkan percakapan lewat chat, ternyata Mirna kemari hendak menunjukkan penampilannya mengenakan daster yang dibelikan oleh Pak Yanto, sudah mulai berani istriku berpenampilan seksi secara langsung di hadapan orang lain yang bukan suaminya di luar rumah. Sayangnya, ia tidak mengetahui bahwa aku tahu ulah yang dia kerjakan. Penampilan seksi Mirna di depan Pak Yanto bisa jadi salah satu rencana istriku untuk mengerjai Pak Yanto yang belum beres ujungnya. Namun, satu hal yang belum kupaham apa yang dimaksud basah-basah itu. Mirna dan Pak Yanto sempat berada dalam satu kamar mandi. Apakah Pak Yanto melihat wilayah selangkangan Mirna? Sebaliknya Mirna demikian?

"Kamu di mana? Kok baru diangkat teleponnya?"

"Aku di jalan pulang"

"Kirain nungguin"

"Kamu kelamaan, aku sudah nungguin daritadi"

"Hhhhmmm...."

"Kamu tahu dari mana kalo aku ke rumah sakit?"

"Aku buntutin kamu dari belakang"

"Bohong, enggak mungkin"

"Iya seriusan"

"Mending jujur, daripada aku tahu sendiri"

Aku terperangkap oleh pertanyaan Mirna barusan, pengakuan terus terang bukan solusi jitu untuk saat ini. Bisa-bisa aku kehilangan akses untuk memantau Mirna dari akun WA. Apakah yang harus aku katakan padanya sekarang.

"Iya beneran, aku ikutin kamu pas kamu keluar dari rumah"

"Bohong..., jadinya enggak mau jujur?"

"Sudah jujur, bener, sumpah"

"Aku enggak percaya"

"Ya, silakan, tetapi itu faktanya, mau bagaimana?"

"Jawaban kamu persis saat aku tanya, masih berhubungan dengan Yanti? Kamu bilang enggak. Sudah pakai Sumpah, akhirnya ketahuan bohong"

"Kalau sekarang kan sudah enggak"

Seketika Mirna menutup telepon. Ia tampak tahu bahwa alasanku terlanjur mengada-ngada. Kemudian karena tak punya pilihan, aku segera memesan ojek online untuk pulang ke rumah usai mengetahui Mirna sudah tidak berada di rumah sakit. Dalam perjalanan pulang, aku termangu di atas kemudi driver ojek online, mengusut alasan masuk akal yang kiranya bisa diterima oleh istriku. Barangkali ia di rumah akan menanyakan kembali. Kalau tidak, ya syukur. Aku mau bilang “tahu dari Rengga”, nyatanya Mirna tidak memberitahu Rengga. Bertemu secara tidak sengaja pun mustahil dijadikan sebagai alasan. Aku akhirnya angkat tangan, terserah Mirna mau bersikap bagaimana atas sikapku yang memata-matai secara sembunyi.

Ke depan, aku harus lebih was-was dan tidak boleh reaktif menanggapi percakapan WA Mirna dengan orang lain. Jika sudah terpojok seperti ini, alasannya mesti jelas dan logis, bukan malah menyulitkan diri sendiri.
Sayangnya, ketika aku mengecek akun WA Mirna, mendadak semua telah buyar, kacau. Terlambat sungguh terlambat. Mirna telah mengetahui aksi spionaseku menggandakan perangkat akun WA nya, mungkin ia telah menyadari saat aku tiba-tiba dapat mengetahui keberadaannya begitu saja. Ditambah aku tidak mau berterus terang. Mirna bertambah penasaran sehingga ia mengecek seluruh aktivitas yang ada di perangkat ponselnya. Alhasil, sekarang aku tak dapat memata-matai percakapan Mirna lagi dengan siapapun karena akun WA Mirna sudah LOG OUT dari ponselku. Kini Aku harus bersiap diinterogasi oleh Mirna. Dia telah tahu semua.

“Sejak kapan kamu ngelakuin ini? Sejak kapan Mas?!”

“Yang seharusnya bertanya aku, bukan kamu”, jawabku yang bakal tahu suasana malam minggu akan berubah gaduh.

“Silakan, kamu mau tanya apa? Ayo tanya apa?!”

“Hhhmmm… kamu ngapain ke kamar inap Pak Yanto malam-malam begini? Dari pagi hingga siang, masih kurang?”

“Kamu enggak perlu tahu”

“Aku sudah tahu, kamu mau nunjukkin daster yang Pak Yanto beli buat kamu, ke orangnya langsung kan? Iya kan?”

“Kamu ini ya, keterlaluan banget. Enggak semua yang aku kerjain, kamu harus tahu, Mas!”

“Aku ini suami kamu, ya jelas harus tahulah”

“Terus ketika kamu dulu berbalas chat dengan Yanti itu aku gak harus tahu?! Kamu tutup-tutupin?! Kamu mengakunya mesti pas udah ketahuan sama aku?! Aku larang, terus kamu masih juga ngelakuin?!”

“Masalah itu kan sudah selesai. Jangan kamu bahas lagi”

“Buat kamu selesai. Buat aku enggak!”

“Lalu, Apa tujuan kamu ngerjain orang lain? Kamu ingin Pak Yanto bagaimana? Ingat Mirna, Laki-laki itu sudah pasti punya birahi dan nafsu, tetapi bukan berarti kamu harus mempermainkan mereka begitu. Kemudian terlepas dari keinginan kamu, disangka aku rela foto seksi atau diri kamu berpose seksi dilihat oleh
laki-laki lain? Enggak."

“Kalau kamu enggak rela foto seperti itu disebar ke orang lain, lalu mengapa kamu rela seandai aku disetubuhi laki-laki lain?! Coba kamu pikir itu, Mas! Dipikir!”

“......”, aku terdiam.

“Enggak, sama aja. Itu mainan seks toys kamu, kamu suruh aku nonton film porno yang ada adegan perempuan disetubuhi lebih dari satu orang, itu semua apa?! Mimpi?!”

“Masalah itu kan kemarin sudah selesai, aku janji turutin maunya kamu, Mirna”

“Sudah, Mas. Aku enggak mau berdebat dengan kamu”

“Enggak ada yang berdebat, aku mau meluruskan kamu”, ujarku sedang bertengkar dengan Mirna di kamar.

“Ketika aku luruskan, dulu kamu melanggarnya beberapa kali, apakah aku tidak boleh melakukan hal yang sama dengan yang kamu lakukan?”

“.....”, kembali aku terdiam.

“Sekarang aku mau istirahat. Jangan ganggu aku dulu"

"Enggg...iya", jawabku singkat, tak lekas banyak bicara lagi. Malam itu setelah Mirna melepas jaketnya, dari kamar mandi ia langsung rebahan memunggungiku. Aku pun melakukan hal yang sama. Tak ada yang bisa dilakukan karena memata-matai Mirna melalui akun chatnya sekarang sudah tidak bisa. Aku lelah, aku memilih tidur. Semoga esok sudah lebih baik.

<div style="text-align: center">=Y='
Minggu, Pukul 02.30 Dini hari.

Aku terbangun dalam kamar yang gelap tak seperti biasanya karena lampu ketika kami akan tidur dibiarkan menyala. Kuperhatikan jam menunjukkan pukul setengah 3 dini hari. Aku kadang jam segini terbangun dari mimpi buruk atau ingin buang air kecil. Barangkali sekarang karena suasana kamar yang gelap mengusik tidur nyenyakku. Di lain hal, Mirna awet terlelap, berbaring terlentang dengan ASTAGA SEX TOYS di dekatnya. Maafkan aku sayang, tetapi betul-betul semalam aku tidak memiliki hasrat bercinta dan menyentuhmu karena lelah seharian.

Diam-diam aku ambil ponsel Mirna yang berada di balik bantalnya. Jika sudah tertidur Mirna sulit diganggu, kecuali memang sengaja dibangunkan.

Sabtu, Malam hari pukul 23.30

Pak Yanto: lagi apa?
Mirna: mau tidur, tapi susah lelapnya.
Pak Yanto: kepikiran yang tadi ya? Hehehe
Mirna: enggak tuh, yee. Pak Yanto belum ngantuk, semustinya jam segini kan udah istirahat.
Pak Yanto: Saya kepikiran yang basah-basah tadi.
Mirna: ish masih aja dibahas. Itu juga kalau enggak bapak maksa-maksa mau ngelihat, enggak akan aku kasih lihat.
Pak Yanto: lalu kenapa dikasih lihat? Pengen kasih tahu lagi basah? Haha
Mirna: enggak! Mulutnya ya, lagi-lagi gak bisa dijaga.
Pak Yanto: maklum, jauh dari istri.
Mirna: udah dibilang istrinya suruh ikut ke Jakarta.
Pak Yanto: belum ada waktu.
Mirna: segera dicari.
Pak Yanto: pastinya.
Mirna: mau tanya, memang ada ya suami yang pengen lihat istrinya disetubuhi pria lain?
Pak Yanto: ya jelas ada.
Mirna: apa bagusnya?
Pak Yanto: mungkin loh ya, menambah gairah dia untuk bercinta dengan istrinya.
Mirna: kelainan? Istrinya memang tidak cukup menggairahkan? Tergantung wajah dan bodi istrinya juga kali.
Pak Yanto: tidak selalu. Mungkin untuk mengurangi rasa jenuh dalam urusan ranjang, yang namanya laki-laki fantasinya bermacam-macam.
Mirna: aneh banget.
Pak Yanto: yang jelas hal itu ada di sekitar kita.
Mirna: Pak Yanto sendiri punya fantasi?
Pak Yanto: punya.
Mirna: apa?
Pak Yanto: saya malu mengatakannya.
Mirna: bilang aja. Mengapa harus malu.
Pak Yanto: takut kamu marah.
Mirna: berkaitan dengan aku?
Pak Yanto: iyaa.
Mirna: bilang aja. Gapapa kok.
Pak Yanto: saya enggak berani.
Mirna: Hhhmmm....
(Jeda 10 menit)
Pak Yanto: maafkan saya (Pak Yanto mengirimkan foto celana dalam Mirna yang terkena basah oleh cairan spermanya)
Mirna: isshhhhhhh kok digituin sih, pak.
Pak Yanto: kamu bertanya tadi, itu jawabannya. Saya memiiki hasrat berhubungan badan dengan kamu, Mirna.
Mirna: inget istri, Pak.
Pak Yanto: tentu ingat. Tapi ada hal lain yang memberontak.
Mirna: maksudnya memberontak?
Pak Yanto: ini (Pak Yanto mengirimkan foto batang kemaluannya yang mengeras ke Mirna)
Mirna: mulai kumat lagi kan.
Pak Yanto: mau lihat yang basah basah tadi lagi sayangku.
Mirna: jangan ngomong begitu, aku blokir nih.
Pak Yanto: lihat sebentar saja, Mirna. Tolong, saya mohon.
Mirna: enggak.
Pak Yanto: tolong...
Mirna: enggak.
Pak Yanto: Ya sudah, saya enggak mau memaksa.
Mirna: Riko suka aneh kalau malam, kadang mengigaunya ngaco banget. Mau aku bangunin, gak tega.
Pak Yanto: mengigau seperti apa?
Mirna: suka nyebut yang namany Yanti itu.
Pak Yanto: Hmmm masih yang kesangkut mungkin.
Mirna: Itu kenapa aku kadang masih kesel dengan dia. Sama satu lagi..
Pak Yanto: apa?
Mirna: kemarin mengigau nama Pak Yanto masa? Hihihi (AKU SANGAT TERKEJUT, BETUL-BETUL BARU TAHU. Namun setahuku bukan Aku saja yang suka mengigau, Mirna pun demikian)
Pak Yanto: waduwh serem juga. Ada apa ya.
Mirna: Mana aku mengerti.
Pak Yanto: sudah ah saya mau tidur.
Mirna: buru-buru banget.
Pak Yanto: mengantuk....
Mirna: (mengirim foto ia mengenakan daster dengan posisi duduk di atas tempat tidur, kedua pahanya agak dibuka, sedikit terlihat area selangkangannya)
Pak Yanto: kirim lagi
Mirna: giliran dikasih ini, melek.
Pak Yanto: apa sih yang gak melek kalau lihatin kamu.
Mirna: bodo amat.
Pak Yanto: hahahahaha
Mirna: misalnya loh, misal nih ya.
Pak Yanto: misal apa?
Mirna: Riko kepengen Mirna ditidurin laki-laki lain, terus kalau laki-lakinya itu Pak Yanto, mau?
Pak Yanto: YA JELAS MAULAH. Celana dalamnya saja jadi sasaran apa lagi yang beneran hahaa. Jadi pertanyaanmu terkait suami yang pengen istrinya ditiduri laki-laki lain iti Riko?
Mirna: bukan ih, bukan....
Pak Yanto: hayo mengaku.
Mirna: sudah ah, mau tidur....

Aku tersenyum membaca chat percakapan Mirna dengan Pak Yanto. Gerbang fantasiku perlahan terbuka lebar. Apakah aku perlu ikut andil memuluskan jalannya atau aku tetap ambil jalan lain? Mirna, aku rela jika kamu mau Pak Yanto menikmati tubuhmu, tapi dia sedang sakit, sayang. Tunggu dia pulih dulu ya. Hehhe. Mumpung Mirna masih tertidur aku lanjut membaca percakapan chatnya dengan Firda.

Sabtu, Malam Hari Pukul 22.30

Firda: bete kenapa?
Mirna: gue lagi kepengen suami malah molor
Firda: ya bangunin dong.
Mirna: lagi ngambek juga gue sama dia.
Firda: ngambek kenapa lagi?
Mirna: ternyata selama ini dia tahu gue chat sama siapa aja. Gue baru ngeh WA gue diclonin.
Firda: Ya Ampun Mirna. Haaha. Lo sih, suka kelewatan.
Mirna: malesin banget tahuk.
Firda: berarti dia juga tahu chat lo sama Pak Yanto?
Mirna: iyaa
Firda: terus reaksinya gimana?
Mirna: ya jelas marah.
Firda: kalau gue jadi dia, ya gue juga marah.
Mirna: udah deh jangan bahas itu dulu, lagi baper, lagi butuh gak bisa ngapa-ngapain.
Firda: masturbasi aja udah
Mirna: malesin banget.
Firda: ajakin masturb bareng aja Om Yanto lo. Hahahaha
Mirna: ngomongnya gitu banget.
Firda: udah ah gue mau tidur.
Mirna: yah kan lo malah kabur. Padahal ada sesuatu yang mau gue sampein
Firda: (tidak membalas lagi)

Membaca riwayat percakapan Mirna membuat aku sulit melanjutkan tidur, kira-kira apa yang akan terjadi berikutnya. Aku mau menggandakan akun WA Mirna lagi, namun rasanya sulit pasti ia akan rutin mengecek perangkatnya tersambung dengan perangkat lain atau tidak. Sungguh tak mungkin memata-matai istriku kembali. Rencanaku selanjutnya adalah membulatkan tekad agar Mirna terbujuk rayuan Pak Yanto,  tetapi aku harus memastikan itu bukan bagian dari rencana Mirna menjebaknya. Di sisi lain, aku perlu menghadapi Mirna besok karena situasi hubungan kami sedang tidak baik-baik saja sejak ia menyadari aku menggandakan akun WA nya.

Ketika memegang ponsel Mirna pun, aku sempat melihat hasil jepretan Mirna ketika ia mengambil gambar penis Pak Yanto. Gambar itu masih tersimpan. Apakah benda tumpul itu lekas menjadi obsesi Mirna?

"Iya beneran basah, tapi jangan dipegang memek Mirna", Mirna mengigau. Aku sengaja tak membangun istriku, bukti bukan aku saja yang kadang mengigau.
.........................


====================

AKHIRNYA...</span>

"Apa sih Mas, jangan pegang-pegang, aku masih marah sama kamu..."

"Maafin aku sayang, pliiis. Tolong maafin aku"

"Kalau begini pasti karena ada maunya, udah ah. Aku mau tidur", Mirna yang mengenakan daster pemberian Pak Yanto menyingkirkan rabaan tanganku di lengannya. Bahkan Dia tak sudi menghadap ke arahku yang mau disambut manja. Sepanjang dini hari aku membaca percakapan chat Mirna dan Pak Yanto. Awalnya tak ada timbul reaksi apa-apa dalam diri ini. Namun, karena membacanya berulang-ulang, ditambah imajinasi mengawang-ngawang, mendadak birahiku mengemuka. Apalagi pagi hari kerap batang penisku ereksi, semakin keras melebur bersama imajinasi Mirna disetubuhi oleh Pak Yanto.

"Aku lagi kepengen banget sayang"

"Kamu selesaiin sendiri kan bisa, laki-laki bukannya udah mahir?"

"Tetep beda kalau dengan kamu"

"Semalam aku minta, kamu enggak kasih, giliran kamu kepengen, kamu bujuk-bujuk aku"
"Apa itu enggak egois?"

"Iyaa aku egois, maafin aku. Tapi kemarin aku kondisinya betul-betul sedang cape banget"
"Kamu kan lihat sendiri"

"Sekarang aku juga cape. Maaf ya", jawab Mirna memeluk gulingnya dengan erat. Ia bermaksud balas dendam. Pedih. Karena tergolong cukup lama tak menyentuh istriku, aku tidak mau nafsu ini terlampiaskan lewat onani. Aku kukuh mau menyetubuhi Mirna kendati birahi ini terdorong oleh imajinasi yang menyimpang.

"Sebentar aja yuk, sayang", aku coba mencumbu tengkuk Mirna seraya membelai pundak dan punggungnya.

"Enggak, mas, enggak!"

"Tolong sebentar, kebelet banget inih"

"Issshhhh, lepassssiiiin..."
"Inget aku dan kamu itu lagi bermasalah!"

Yang diungkapkan oleh Mirna kuabaikan. Gulingnya kuhempaskan. Aku mendekap tubuh molek Mirna, namun justru dielakkannya, Mirna menjauh, mewanti-wantiku agar tidak berupaya mendekat lagi. Menghela nafas sejenak, aku lalu menurunkan celana dan memperlihatkan penisku yang sungguh sedang benar-benar ereksi alias tegang. Aku elus benda tumpul berukuran 13 cm itu supaya tambah keras serta keluar urat-uratnya. Kemudian aku menyeret tangan Mirna untuk memegang, tetapi Mirna malah menarik kembali. Tak kehilangan asa, tanganku turun mengambil alih operasi. Ia siaga bergerilya menyelinap melalui arah bawah setelah kuyakini Mirna tidur tidak memakai celana dalam.

"Kamu apaaan sih?! Kan aku udah bilang, enggak mau! Jangan dipaksa!"

"Aaayuk sebentaran ajah"

"Enggaak, Aaaaaahhhh.... lepaasssin", dengan tenaga penuh, kuterkam, peluk, dan tanganku melakukan sebuah serangan kilat ke arah selangkangan Mirna. Perlawanan terjadi. Aku terus melancarkan serangan agar Mirna yang berusaha memberontak bisa segera dilumpuhkan. Penisku tegangku berdiri kokoh seolah-olah sang pemberi komando.

"Urrghhh, udah basah ini memek kamu. Yuk bentaran ajah, enggak lama-lama"

"Aaaaahh enggak mau, aku lagi kesel sama kamu, Mas"

"Kesel kenapa? Heh?", tanyaku sembari menciumi pipi Mirna, serta mencolek klitoris vaginanya.

"Lepaaasin, Mass, lepaaasin..."

"Kamu pegang ini nih, punyaku udah tegang banget, memek kamu juga lagian udah basah, yuk"

"Yaudaaah lepaaasiiin dulu, tapiiii...."

"Enggak mau..."

"Tuh kan egoiss", ujar Mirna, lekas ucapan membosankan berulang itu mendesakku segera mengakhiri serangan, menanti lobi yang akan dia utarakan. Kami lalu rebahan bersandingan, sama-sama kemaluan kami tak terbungkus sehelai benang pun. Saling membisu beberapa menit, Mirna lalu mengatakan,

"Kamu lupa? Aku sama kamu ini lagi bermasalah, berantem. Jangan karena nafsu, kamu berbaikkan sebentar, terus udah tuntas nanti kita ribut lagi"

"Aku mengerti, aku malah enggak mau masalah ini berlarut-larut"

"Yang bikin berlarut-larut itu kamu. Untuk apa kamu mata-matain aku? Saat aku curiga kamu dengan Yanti, bahkan sampai saat ini, gak ada aku berani-beraninya intip isi chat kamu. Selebihnya karena ketahuan aja"

"Iya aku mengaku salah, sangat salah. Tetapi kamu juga harus mengakui kalau kamu salah juga, sayang"

"Hhhhmmmm, iya aku memang salah, udah? Puas?"

"Belum"

"Apalagi?"

"Maksud kelakuan kamu ke Pak Yanto itu apa?"

"Kasih pelajaran"

"Ke Pak Yanto?"

"Bukan"

"Terus?"

"Ke Kamu"

"Maksud kamu? Enggak mengerti aku" tanyaku menyimak lebih dekat.

"Aku tuh heran denganmu, Mas. Enggak ada akhirnya kamu punya fantasi aku disetubuhin"

"Kemarin kan kita udah buat kesepakatan"

"Bener, tetapi aku tanya ke kamu, seberapa sering kamu mengutarakan niat pengen aku disetubuhin pria lain, lalu seberapa sering aku menolaknya?"

"Hemmmmmm...." aku membatin ingin menjawab sering.

"Kemudian kamu intip chat aku itu sudah berapa lama? Selama itu kamu tahu aku berbalas chat dengan Pak Yanto, berapa lama kamu mendiamkannya?"
"Apa jangan-jangan kamu sudah berfantasi aku disetubuhin Pak Yanto? Iya?"
"Buktinya kamu enggak ada menegur aku"

<img class="smilie smilie--emoji" loading="lazy" alt="⚡" title="High voltage    :zap:" src="https://cdn.jsdelivr.net/gh/twitter/twemoji@14.0.2/assets/72x72/26a1.png" data-shortname=":zap:" />DDDDDDUUUUAAAAARRRRRR<img class="smilie smilie--emoji" loading="lazy" alt="⚡" title="High voltage    :zap:" src="https://cdn.jsdelivr.net/gh/twitter/twemoji@14.0.2/assets/72x72/26a1.png" data-shortname=":zap:" />

"Enggak"

"Bohong, jujur Mas. Ayo jujur...."
"Seharusnya ketika kita buat kesepakatan itu kamu jujur masalah ini"

Kejujuran yang dipinta oleh Mirna seperti buah simalakama bagiku. Dimakan salah, tidak dimakan salah. Perjanjian yang aku sepakati dengan Mirna tempo hari bahwa aku tidak akan berfantasi macam-macam lagi ternyata telah menjeratku secara tidak sadar. AH BODOH! Bisa-bisanya aku menyetujui perjanjian itu, lupa kalau aku sedang menikmati fantasi percakapan chat Mirna dan Pak Yanto. Kendati Mirna juga salah, dalih itu justru digunakan olehnya untuk menjeratku. Ia membalikkan keadaan. Mirna memang salah berniat mengerjai Pak Yanto. Aku lebih salah lagi karena telah melanggar perjanjian yang baru diucap karena ketahuan juga telah manautkan perangkat WA dan mengintip isi percakapannya. Hal itu dianggap Mirna sebuah pembiaran yang terlampau lama. Suami yang benar semustinya ketika istrinya menyimpang lantas ditegur. Aku malah membuang-buang waktu, berfantasi pula. ADUUH GOBLOGH!

Jika sesuai dengan isi pernjanjian yang kami sepekati, maka Mirna berhak menuntut cerai dariku. Pasrah, pasrah.....

"Ayo dijawab, Mas...."

"Iya, aku berfantasi kamu disetubuhi oleh Pak Yanto. Maafkan, maafkan aku untuk ke sekian kali, tapi itulah aku yang sangat-sangat sulit untuk berhenti berfantasi tentang kamu", jawabku tertunduk lesu.

"Huuuffff...."

"Sekarang apapun keputusan kamu, aku rela, Mirna. Anggap itu hukuman buat aku, suami kamu, yang mungkin setelah hukuman itu, aku bukan lagi suami kamu...."

"Aku bingung harus bagaimana lagi"

"Kamu cukup menjalankan apa yang sudah kita sepakati, sayang. Barangkali itu jalan keluar yang bisa membantu kamu lolos dari fantasi aku. Aku akan hornati keputusan kamu", pemegang komando sudah lunglai tak bergairah. Ia lemas, kekokohannya hanyut dalam pikiran.

"Serius kamu siap cerai?"

"Kalau memang itu sudah keputusan bulat kamu, ya mau tidak mau aku harus siap. Konsekuensi dari kebodohanku.

"Hmmmmm...apa yang bisa bikin kamu berubah lebih baik sih Mas?", rengek Mirna.
Aku hanya bisa mematung, tak mempunyai kekuatan membela diri. Pertanyaan Mirna terakhir tidak mampu kujawab. Seandainya fantasi itu nyata secara fisik, mungkin sudah kubunuh dia sehingga tak hilang-muncul. Mentari di luar sinarnya sudah sampai di kamar kami berdua yang muram karena dibelit masalah yang sama tak berkesudahan. Rasanya hidupku jalan di tempat. Di situ lagi, di situ lagi.

Aku yang sedang kacau balau ini kemudian terbengong-bengong dengan tangan Mirna yang mencengkeram batang penisku yang sebenarnya mulai tersungkur lemas. Mirna mengurut urat-urat yang hampir terjunam sehingga mencuat ke permukaan. Penisku kembali kokoh.

"Aku isep ya...."

"Iya sayang, pelen-pelen ajah"

"Hemmpphhhhh....."

Aku tidak peduli apapun yang ada di benak Mirna sekarang. Yang terpenting aku ingin beban nafsu ini segera tuntas, tidak mengganjal lagi.

"Oorrhhhh, enaak, terusss"

"Hhhmmmmppph", sambil bibirnya mengulum naik-turun, tangan Mirna merenyuk lembut kantong kemihku, seolah-olah ia ingin spermaku segera terdorong keluar, bertambahlah memacu naik syahwatku. Kemudian ia berhenti sebentar, menjilati leher penis sebelum akhirnya kembali melahapnya lagi.

"Slerrrrrffhhh... hhhmmmppph"

"Pinter banget kamuh, Orrhhh, enaaak"

Aku tak mau melenggang menjemput nikmat sendiri. Seks Toys yang masih tergeletak di dekat bantal Mirna kuraih. Aku meminta Mirna menjilati seks toys yang ukurannya sedikit lebih besar dari ukuran penisku saat ereksi ini. Mirna menurut. Dalam pegangan tanganku, Mirna merangkak menghampiri. Ia mengemut seks toys tersebut sembari kedua matanya menatapku. Imajinasiku mulai melayang, kubayangkan itu adalah penis Pak Yanto yang sedang dilahap Mirna. Alhasil, Memuncaklah birahiku.

"Hhhhmmmmpppph"

"Gede ya sayang, kontolnya?"

"He&#039;eh", Mirna hanya mengangguk karena sedang mengulum batang seks toys yang kutuntun maju-mundur di bibir Mirna. Tubuhnya kudorong rebahan di tempat tidur tanpa harus mencabut batang seks toys yang sedang diemutnya. Aku singkap bagian bawah daster istriku, memeriksa vaginanya yang ingin kembali kuserang. Tanpa banyak bicara, jari tanganku mendarat di klitoris Mirna, disentuh lembut pelan-pelan agar Mirna bisa menikmati permainan jariku. Pinggangnya kemudian berguncang sedikit karena aku terkadang mempercepat alunan gerak jari yang tengah mengacak-ngacak vagina Mirna.

"Udah basah banget ini memek kamu"

"Aaaaaahhhhh", desah Mirna seketika batang seks toys itu sengaja kucabut.

"Banjir sayang"

"Aaaaaahhh"

Aku memberikan kesempatan Mirna menghela nafas. Kedua pahanya dalam kondisi terbuka usai kupacu ia untuk meraih orgasmenya. Kini aku bersiap untuk aksi selanjutnya.

"Sayang, batang seks toysnya aku masukin vagina kamu ya? Terus kamu isep penis aku"

"Mas, kalau aku sampai beneran berimajinasi disetubuhi bukan dengan kamu, beneran enggak apa-apa? Kamu beneran sudah yakin?"

"Yang penting kamu dapat kepuasan lebih, sayang. Aku mau kamu merasakan itu", jawabku dalam keadaan dikuasai hawa nafsu.

Mirna lalu terdiam. Ia mengamati batang seks toys yang sebentar lagi kumasukkan ke dalam vaginanya. Sementara aku juga sudah bersiap memasukkan batang penisku ke mulut Mirna. Alangkah aku tiba-tiba terkejut. Mirna justru merebut seks toys tersebut dan memintaku fokus saja dengan penisku sendiri. Mirna yang akan mengambil alih memasukkan batang seks toys ke area vaginanya sendiri. Aku bisa konsenterasi dengan penisku yang rasanya tak lama lagi memyemburkan sperma.

"Pelen-pelen Mas"

"Iya, kubantu...", ujarku tetap membantu Mirna menuntun ujung batang seks yang menyerupai kepala penis asli.

"Aaaaaaahhhhh....."

"Enaaakk?"

"Lumayan, enggak terasa hangat saja dan kurang keras", jawab Mirna.

"Ooohhhh, becek lagi memek kamu"

"Aaaaahhhh"

"Bantu kocokkin aja sayang", pintaku. Membimbing salah satu tangan Mirna mengocok batang penisku yang sudah tegang maksimal.

CLOOP CLOOOP CLOOOP

"Ohhh enaaak, tangan kamu betul-betul lihai ngocokin kontol aku, terus sayang"

"Aaaaahhh, beneran gak apa mas kalau memek aku dikontolin pria lain?"

"Kalau kamu mau gak apa, oooorghhh"

"Kalau lebih enak dari kamu bagaimana?"

"Enggak masalah, biar memek kamu gak bosen, urghhhh"

"Aaaahhh mas, tolong bantu cepetiin"

"Kamu juga yah"

Mirna memohon kepadaku agar batang seks toys yang menancap di vaginanya digerakkan lebih cepat. Vaginanya siap menyongsong orgasme medua, sebaliknya aku bersiaga memuntahkan lahar sperma karena birahiku mencapai puncak klimaksnya setelah mendengarkan respon dari Mirna yang tampaknya mulai bersedia Vaginanya dicicipi oleh penis laki-laki lain. Fantasiku bermain kembali, lebih gila dari biasanya, berpadu dengan kocokan tangan Mirna yang semakin gila dam cepat, mendorong urat kemaluanku agar spermaku menjalar keluar. Aku pun tak kalah, batang seks toys yang mengangkangi Mirna mulai basah sekujurnya. Mirna megap-megap, orgasme kami sudah di ambang pintu.

"Aaaaaaahhhhh, aku mau keluar, masssss"

"Aku juga sayang"

"Aaaaaaaaahhhhhhhh......"

CROTT CROTTT CROOOTTT CROOOOTT

Spermaku tumpah di badan Mirna yang bergoncang hebat. Kami berdua pun terlentang lemas dalam keadaan membisu kurang lebih setengah jam. Selanjutnya Mirna beranjak dari tempat tidur, keluar menuju kamar mandi. Aku masih mengantuk, namun hati gelisah karena belum menjawab pertanyaan istriku.

Ketika hendak ancang-ancang untuk rebahan lagi, teringat janjiku ke Pak RT. Aku sedang malas sebetulnya, namun aku tak mau melanggar janji kembali ke orang lain pula. Apakah memang diriku ini ditakdirkan ingkar? Ditakdirkan sebagai seseorang yang tak bisa dipegang omongannya? Arrghhh. Aku paksakan diriku yang betul-betul sedang malas, berdiri untuk segera membersihkan diri. Aku telah berjanji mengenalkan Wawan kepada Pak Yanto. Aku mengikuti arah angin berhembus.

<div style="text-align: center">=Y='
"Pagi-pagi Pak Riko sudah menjenguk saya saja, habis olahraga?"

"Enggak juga, kebetulan saya mau kenalin ke Pak Yanto, ini Wawan. Dia yang akan menemani Pak Yanto di sini besok"
"Jadi kalo hari Senin perlu bantu apa-apa, Wawan yang akan membantu bapak"

"Waduwh, Enggak perlu, enggak perlu sampai seperti itu loh"
"Saya masih sanggup sendiri. Seumuran Wawan ini lebih baik cari kerja, bukan malah menunggu kakek tua di sini"

"Sambil menunggu panggilan kerja... Wawan bisa membantu Pak Yanto loh. Ini gratis, RT yang menanggung"

"Enggak usah, enggak usah, urusan pribadi masa pakai uang warga"
"Sebaiknya jangan Pak Riko"
"Saya enggak mau!"

"Hhhmmmmm....", aku menatap muka Wawan yang keruh dan pesimis. Ia kehilangan kepercayaan diri.

"Wan, lebih baik kamu bantu ibukmu di rumah sana, bukan di sini. Supaya pahalamu banyak!"

"Saya hanya menurut perintah Pak RT saja kemari", sahut Wawan.

Kehadiran Wawan mendapat penentangan dari Pak Yanto. Ia merasa benar sanggup melalui perawatan seorang diri. Padahal, tetap perlu ada orang yang menuntunnya ke kamar mandi atau kalau ada resep yang perlu ditebus di luar rumah sakit, mana mungkin minta tolong suster. Lagipula tidak akan merepotkan orang banyak karena tugas Wawan menunggu Pak Yanto akan diberi upah. Alhasil, kini Wawan gagal untuk mendapatkan uang saku. Wajahnya memang tak berkesan murung. Malahan senang akan kembali di rumah, bisa rebahan sambil menanti panggilan kerja daripada menunggu Pak Yanto dengan upah yang sedikit.

"Ibu tidak ikut kemari?", tanya Pak Yanto mungkin tidak mengetahui apa yang terjadi di rumah antara aku dan Mirna, istriku. Sebaliknya aku mengetahui percakapan terselubungnya dengan Mirna belakangan.

"kayaknya nanti menyusul. Aku sudah bilang ke dia mau ke sini", jawabku memerhatikan jam di dinding.

"Hahaha pasti kalian habis tempur semalam"

"Hehehe"

"Kalau tidak ada lagi yang mesti dilakukan, apa saya boleh pulang?"

"Loh, baru datang kamu, sudah mau pulang saja, Wan. Jangan ngambek begitu lah. Hahaha", gurau Pak Yanto.

"Ya saya mau ngapain lagi. Bengong doang saya di sini"

"Nanti kamu tolong ambilkan hasil rontgen saya saja, kamu tanya ke suster, apakah sudah ada hasilnya?"

"Sekarang??"

"Belum, nanti, kalau sudah diberitahu"

"Oooo......"

"Kamu sudah sarapan?", tanyaku.

"Belum, Om"

"Ini kamu sarapan dulu nih, cari di luar sana. Di depan banyak yang jualan"

"Aha, begini dari tadi aturan"

"Jangan jauh-jauh! Takutnya hasil rontgennya sudah keluar"

Wawan lalu keluar dari kamar inap Pak Yanto dengan raut campur aduk, antara kesal dan sumarah. Semua mungkin tidak sesuai dengan perkiraan manis dia. Demikian Aku uring-uringan karena telah menawarkan pekerjaan menunggu Pak Yanto kepadanya, namun yang terjadi justru mengingkari harapan Wawan. Beruntung, Pak Yanto mulanya menolak ditemani Wawan, namun barusan ia malah mencoba mengandalkan pemuda itu mengambilkan hasil rontgen. Wawan keluar kamar inap Pak Yanto dengan langkah mantap, melambat kemudian. Ia sedang menentukan ke arah mana harus berjalan agar tidak tersasar.

"Bagaimana kondisi badan, Pak? Sudah enakan?"

"Sedikit lebih baik dari kemarin. Namun sesak ini rasanya tidak hilang-hilang. Sedikit dicoba masuk ke kamar mandi, masih saja terengah-engah"
"Semoga hasil rontgen nanti bagus"

"Aaamiin. Emmmm... berarti ya jangan terlampau banyak bergerak dulu. Mengapa tidak pakai oksigen saja, Pak?"

"Oh, tidak terima kasih, jadi kebiasaan nanti"
"Kalau kepepet sekali, ya saya tinggal panggil suster", ujar Pak Yanto dari posisi bersandar berupaya duduk normal. Aku membantunya.

"Oh iya ada belnya kan ya"

"Ya, betul. Saya juga udah minta tolong ini agar buru-buru dicabut, tetapi belum boleh", gerutu Pak Yanto memperlihatkan tangannya yang tertusuk jarum infus.

"Sabar dulu Pak, kalau sudah semakin membaik pasti dicabut"
"Enggg...belum ganti pakaian"

"Nanti lagi, kemarin sore sudah dibantu suster"
"sore kemarin itu saya ditawari mau mandi air anget apa dingin, saya jawab air anget. Tetapi ternyata hanya dielap-elap. Hoalah Yang namanya mandi ya badan kena guyur air, bukan dipoles-poles. Manalagi tidak pakai sabun"

"Hahahaha namanya juga sedang dirawat di rumah sakit. Mesti banyak maklum"

Aku berangkat ke rumah sakit kala Mirna sedang mandi. Semenjak peristiwa pagi hari tadi Kami nyaris tidak ada interaksi karena jawaban atas pertanyaannya pula belum kujawab. Setidaknya siap kusongsong apapun keputusan Mirna atas pelanggaran perjanjian. Kalaupun harus berpisah, mengapa tidak mencari pasangan baru. Barangkali bisa mendapatkan yang lebih seksi dan menggairahkan ketimbang Mirna. Yang tentunya berkenan mau mewujudkan fantasi-fantasiku. Terkait pertanyaan Pak Yanto kemana Mirna. Aku mengatakan kepadanya bahwa Mirna akan menyusul. Hal itu juga hanya asal ceplos saja. Lagipula bukankah Mirna pasti akan datang ke sini, melanjutkan misinya yang terbilang ngawur. Masa iya karena aku.

Pak Yanto mencoba rebahan. Ia jenuh hanya dapat beraktivitas monoton. Televisi dihidupkan, menampilkan sebuah tayangan menarik atau tidak, sekedar pemecah sunyi. Ponselnya tak digenggam. Kedua matanya panas. Aku ingin mengajak bicara, namun ia malah memejamkan mata. Aku menduga efek samping obatnya mulai kambuhan. Selagi demikian, aku mencari-cari celana dalam Mirna yang menjadi sasaran birahi Pak Yanto. Aku masuk ke kamar mandi dan melirik ke belakang pintu. Celana dalam itu tak ada. Baru kelihatan saat aku memeriksa tumpukan pakaian kotor milik Pak Yanto yang berada di dekat westafel. Aku sembunyi-sembunyi mencomot ketika Pak Yanto lengah. Ia memejamkan mata, sedangkan aku pura-pura mencari benda yang terjatuh. Setelah berhasil meraihnya, kemudian aku masuk ke kamar mandi untuk mengecek. Sperma Pak Yanto telah membekas celana dalam istriku, tampak benih laki-laki itu mengering dengan sendirinya.

"Pak Riko kalau mau keluar, silakan. Saya mau istirahat sebentar"

"Iya. Pak Yanto silakan. Saya juga mau cari kopi dulu, sekalian nemuin Wawan, takutnya dia kesasar atau malah langsung pulang"

"Terima kasih", jawab Pak Yanto. Masih pagi, ia sudah menguap lebar.

Karena ada isyarat mempersilakan, aku keluar dari kamar inap Pak Yanto. Kedua mata lantas memandang suster-suster atau dokter muda yang mondar-mandir mengurusi atau mengantarkan pasien untuk menjalani pemeriksaan. Pak Yanto kiranya sudah mengalami, tinggal menunggu hasil saja. Terlihat tenang dan tak mencemaskan sesuatu, Pak Yanto masih santai-santai  walaupun penyakit yang dideritanya tergolong mematikan.

Aku berjalan menelusuri lorong, berharap bisa berpapasan dengan Wawan. Kami bisa minum menghangatkan badan seraya bertukar cerita. Siapa tahu Wawan bisa bekerja di kantorku, menggantikan Pak Yanto yang besar kemungkinan tak jadi bekerja karena kurang memenuhi alasan/syarat kesehatan.

"Kemana dia ya? Masa pulang", tuturku sudah berada di area depan rumah sakit, mengamati satu demi satu wajah diselingi oleh beberapa kendaraan yang keluar-masuk rumah sakit. Oleh karena hampir tak bertemu, aku memutuskan minum kopi hangat di seberang rumah sakit yang kebetulan terdapat warung kopi. Di sana aku menghabiskan waktu mengobrol dengan beberapa orang yang sejatinya adalah keluarga pasien yang kedapatan menjaga. 30 Menit kemudian Wawan meneleponku.

"Maaf Pak lagi di mana ya?"

"Yang ada saya tanya kamu ke mana?"

"Owh, maaf nih pak saya sedang berada di apotek luar nih, disuruh tebus obat sama Pak Yanto, tapi ternyata obatnya kosong, lantas bagaimana?"

"Kamu bukannya cari makan?"

"Iya, udah balik kamar lagi tadi, terus Pak Yanto nyodorin resep untuk ditebus di luar rumah sakit"

"Kamu telepon saja Pak Yanto"

"Itu masalahnya, sudah saya telepon berulang kali, tetapi tidak diangkat. Tolong bantu ditanyakan ya pak, mohon maaf banget ini, jadi malah saya merepotkan"

"Enggak apa-apa, nanti kalau sudah ada kabar saya telepon kembali. Pantau ponselnya terus ya"

"Siap Pak"

Aku lekas pamit dengan teman-teman mengobrol di warung kopi karena telepon dari Wawan barusan. Aku tidak punya pilihan kecuali menemui Pak Yanto langsung karena dalam perjalanan menuju ke kamarnya Pak Yanto tetap tidak mengangkat teleponnya ketika dihubungi. Aku pun panik, segera mempercepat langkah. Dalam bayangan burukku, Pak Yanto memaksa turun dari ranjang untuk berjalan menuju kamar mandi, lalu ia terjatuh di sana. ADUH AMIT AMIT JANGAN SAMPAI. Aku berdoa sepanjang jalan agar hal itu tidak terjadi. Setibanya di kamar, aku tak menemukan Pak Yanto sedang tiduran di tempat tidurnya. Firasatku bertambah buruk. Batinku mendadak sangat gelisah. Segalanya jadi tertuju ke kamar mandi. Ketika aku akan buru-buru mengeceknya, terdengar suara pria dan wanita berada di sana.

"Ayo pak buruan keluar, bapakkan gak boleh lama-lama di kamar mandi. Katanya pengen ganti baju aja, tetapi malah jadi begini"

"Makanya kamu buru-buru kasih lihat susu kamu dulu dong. Hehe.
"Enggak adil kan saya nunjukkin burung saya, tetapi kamu gak ada nunjukkin sama sekali"

"Enggak mau, enggak!"

"Enggak apa kalau enggak mau nunjukkin yang basah-basah kemarin, tetapi susu kamu saja, gak perlu dibuka semuanya, saya hanya mau lihat BH yang kamu pakai. Hehehe"

"Enggak, aaahh"

"Yauda dipilih, mau saya yang pegang, atau kamu pegang burung saya?"

"Enggak mau dua-duanya"

Momen yang aku nanti-nantikan akhirnya datang juga. Aku lantas memasang telinga lebar-lebar, namun sedikit disayangkan tak mampu melihat Mirna dan Pak Yanto yang sedang berduaan di dalam kamar mandi. Tak apalah. Yang terpenting ini adalah momen mendebarkan yang tidak boleh dilewatkan. AKHIRNYA.......



====================

Karena Uang</span>

"Bagaimana Pak, apa harus cari di apotek lain?"

"Kalau bisa ya kamu cari lagi di apotek lain"

"Seandai masih kosong?"

"Ya kamu balik"

"Langsung pulang ke rumah?"

"Ke sini dulu lah..., resepnya masa kamu bawa pulang"

"Eh iya, maaf"

Aku terpaksa keluar dari kamar inap Pak Yanto karena Wawan berulang kali menelepon, menanti jawaban dariku terkait resep obat yang harus ditebus. Chat WA yang bertubi timpa-menimpa darinya juga luput aku monitor karena terlanjur hanyut menguping aktivitas Pak Yanto dan Mirna di kamar mandi. Sebetulnya telepon dari Wawan barusan ingin kuabaikan, namun masalah kesehatan orang lain bukan hal remeh. Aku tidak mau menjadi penyebab sakit Pak Yanto bertambah parah, justru ingin dia segera lekas sembuh, bugar, dan bertenaga kembali. Menyadari ada yang tak boleh dilewatkan, aku tergesa-gesak masuk ke kamar Pak Yanto. Satu atau dua suster yang sedang berjalan melirik penuh tanda tanya, karena langkahku yang agak buru-buru ini mengetap-ngetap. Aku mengumbar senyum kecut. Semoga Mirna dan Pak Yanto belum keluar dari dalam kamar mandi.

"Aaaaahh... udah, buruan cepetan keluar dari sini, pak"

"Enggak mau, sebelum kamu milih"

"Enggak"
"Ayo buruan keluar issshh, tuh darahnya naik di selang infus"

"Biarin, kalau perlu sampai ngucur"

"Udah dong pak, aku mohon. Tolong ngertiin aku, kalau gak bisa pilih mana pun"

"Kamu juga harus bisa ngertiin saya, kalau saya pengen kamu punya pilihan".

"Aku teriak aja yaaa?"

"Silakan teriak, teriak sekenceng-kencengnya. Kalau perlu sampai saya digebukin di sini juga"

"Ngeselin banget sih"

"Ayo Mirna, kamu bisa kok memilihnya. Hehehe"
"Keburu Riko ke sini"

"Emmmhh.. Enggak!"

"Sebentaran aja kok"

"Enggak mau..."

"Lima menit"

"Enggak......"

"Hhhhmm karena saya baik, saat pegang, kamu berhitung dari 1 sampai 100"

"Tetep enggak mau"

"Itu enggak ada dua menit loh"
"60 detik aja?"

"Enggak ih...."

Aku sungguh sangat menyesali hanya bisa mendengarkan percakapan mereka berdua tanpa tahu yang akan mereka lakukan. Juga bagaimana cara berpakaian Mirna, pun seberapa dekat jarak mereka di dalam kamar mandi. Kemudian rengekan penolakan yang mengalir seharusnya adalah melodi menyedihkan bagiku untuk segera membebaskannya, bukan alunan merdu yang merangsang birahi agar ia dibiarkan sampai Pak Yanto melakukan aksi yang lebih menggila. Aku harus tetap mengawasi keadaan di luar sana jangan sampai mengusik aktivitas Pak Yanto dan istriku. Kalau perlu jika ada suster yang akan berkunjung, aku minta mereka berkunjung ke kamar yang lain dulu atau di jam yang lain. Dokter? Aku tidak berharap ada kunjungan dokter sekarang, di samping harus kuketahui hasil rontgen Pak Yanto.

Aku menyimak serius percakapan istriku dan Pak Yanto, mencerna bahwa Mirna telah dibujuk-bujuk memegang batang kemaluan Pak Yanto dengan beberapa ketentuan yang berlangsung singkat. Di dalam kini mereka tengah berberes. Mirna tentu membantu Pak Yanto mengganti pakaiannya, menyematkan dengan cermat agar pakaian bisa terpakai di badan, kendati selang infus sedikit menyulitkan. Aku tidak mendengar percakapan lagi di antara mereka, kecuali sekedar instruksi bagaimana mengenakan pakaian saat terhalau selang infus.

"Isshhh...kenapa jadi meluk-meluk"

"Supaya kamu tambah jelas melihatnya, ayo pegang.."

"Enggak ahhh"

"Kamu lihat ke sini"
"Iniiii lihat, sudah keras sekali"

"Boooodddooo"
"Enggak mau bilang apapun", sahut Mirna.

"Engghh....Hehehe ya sudah gapapa"

"Isshhhhh jangan cium-cium"

"Kamu harum"

"Udaahhhh pak, udah kelamaan kita di kamar mandi, kalau ada suster yang datang, gimana?"

"Ayo bantu ganti baju dulu"

"Makanya dari tadi", gerutu Mirna.

"Kamu enggak tahu Ini tambah keras begini gara gara kamu loh"

"Enggak peduli"

"Kamu itu nafsuin banget, Mirna"

"Ishhh jangan dicium-cium"

"Saya suka harumnya"

"Ya gak perlu dicium"

"Harum itu kan perlu dicium, kalau enggak, mana tahu baunya harum atau enggak"

"Itu diendus, bukan cium pipi"

"Oooh dienduss, saya salah dong yah hehehe"
"Mau dibeliin daster lagi?"

"Enggak usah, mending dikirim uangnya ke kampung sana"

"Hhhmmmm"

"Mau pakai sarung apa celana?"

"Sarung saja"

"Ini pakai sendiri...."

"Beneran enggak mau pegang?", tanya Pak Yanto, menolak kalah.

"..."
"Udaaah? Puasss?"

"Urghhhhhh, enaakkk, tolong kocokkin"

"Enggak, udah yuk, keluar"

"Satu lagi"

"Enggaaaakk,,,, aaaahhhhhhhh", tiba-tiba menjerit.

"Urghhhh masih kenceng susu kamu"

"Paaak, nanti keburu ada suster masuk"

"Iyaaa, kamu tolong pegang burung saya lagi, nanti selesai"

"Aaaaahhhh..."

Setelah percakapan itu, Istriku dan Pak Yanto bergegas keluar, namun sebelumnya aku sudah meloloskan diri dari kamar inap Pak Yanto seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Aku awalnya mengira Pak Yanto dan Mirna akan melakukan lebih dari itu di kamar mandi, ternyata tidak. Aku berjalan ke arah luar sejauh-jauhnya supaya tidak terkesan jejak keberadaanku di sana. Kalau harus menunggu sejenak pun lalu masuk kembali tidaklah ideal. Aku memutuskan kembali ke warung kopi, memberikan kesempatan bagi Mirna dan Pak Yanto yang barangkali akan melakukan hal yang lebih. Segelas teh tawar hangat menemani renunganku terhadap peristiwa yang terjadi di dalam kamar mandi kamar inap Pak Yanto. Kalau Pak Yanto sudah senekat itu sikapnya kepada istriku, kira-kira kapan ia berani ambil keputusan meniduri Mirna. Apakah menunggu Mirna memberi celah? Atau sebaliknya aku yang memberinya celah.

Beberapa keluarga pasien yang duduk merokok di warung kopi tiba-tiba bertanya kepadaku, sudah berapa lama di sini? Sakit apa? Sisanya mereka bercerita tentang penyakit yang diderita keluarganya dan keluhan terhadap pelayanan rumah sakit.

"Mas, kamu di mana?", tanya Mirna menelepon.

"Aku lagi ngopi di seberang rumah sakit. Kamu sudah sampai?"

"Sudah nih. Oke. Aku ke sana ya"

"Iya, sama minta tolong... engg..."

"Minta tolong apa?", tanyaku penasaran dengan kalimat Mirna yang terputus.

"Minta tolong beliin aku sarapan ya. Aku belum makan"

"Kamu mau sarapan apa?"

"Apa aja yang ada di situ"

"Bubur ayam, mau?"

"Boleh, oooh ya tadi ada suster ke sini"

"ada dokternya?"

"Ada"

"Wah ada perkembangan apa?", tanyaku sedikit cemas kalau suster yang melihatku tadi menceritakan bahwa aku barusan masuk ke kamar Pak Yanto.

"Tekanan darahnya sudah turun, kalau sesak sih katanya gara-gara parunya ada cairan, terus diminta sering-sering konsumsi sayuran dan buah"

"Enghh..."

"sudah diminta jangan merokok lagi"

"Bener tuh. Hasil rontgennya?"

"Jantungnya masih bengkak, perkiraan perlu dua hingga tiga hari perawatan lagi sampai benar-benar diperbolehkan pulang"

"Baguslah, setidaknya di rumah sakit Pak Yanto tertangani dengan baik, pengawasan 24 jam"

Setelah Mirna menelepon, aku lekas membelikan bubur ayam untuknya. Aku hampir sedikit bingung ketika akan membelikan sarapan bubur ayam untuk Mirna, apakah Pak Yanto turut dibelikan atau tidak. Namun setahuku pihak rumah sakit pasti telah memberikan sarapan untuk para pasiennya, apalagi sekelas Pak Yanto yang merupakan pasien BPJS Kelas I. Lagipula mana mungkin jam segini dia belum sarapan, tentunya sebelum menelan obat, ia sudah isi perutnya.

Aku memeriksa ponsel. Wawan belum memberi kabar lagi, apakah ini mengisyaratkan bahwa ia berhasil menebus resep obat Pak Yanto? Atau justru sebaliknya ia lekas pulang karena sudah merencanakannya dari awal. Aku berharap tekadnya tak habis kendati Pak Yanto tidak berkenan ia yang menunggu selama dirawat. Karena kalau tidak siapa lagi? Sangat tidak mungkin seorang pasien sedang dirawat dibiarkan sendiri tanpa keluarga sekalipun atau orang lain. Suster tak selamanya

"Sampai jam berapa?"

"Baru banget nyampe", jawab Mirna yang mutlak berbohong.

"Ini sarapan kamu, makan dulu"

"Kamu belum makan?", tanya Pak Yanto dengan wajah sumringah sudah berada di atas tempat tidurnya. Darah yang muncul di selang infus seperti yang diutarakan Mirna tampak sudah diatasi oleh suster yang berkunjung.

"Belum, bangun-bangun langsung mandi, terus siap-siap ke sini"

"Pantes cantiknya gak ketolong, hehe"

"Gombalnya bisaan banget Pak Yanto", sahutku dalam hati. Mirna hanya melepas senyum. Ia duduk di kursi sebelah Pak Yanto berbaring mengenakan kemeja lengan pendek beserta sarung.

"Ketemu di mana Pak Riko, perempuan semanis Ibu?", tanya Pak Yanto melirik ke Mirna yang mulai menyantap buburnya.

"Wahahahah, bapak mau cari bini lagi memangnya?"

"Bukan, jelas bukan, sekedar ingin tahu"

"Namanya sudah berjodoh bisa bertemu di mana saja"

"Syukur betul ya"

"Begitulah...."

"Pak Yanto mau nyicipin buburnya?", tanya Mirna.

"Habiskan saja"

"Mirna suapin, enggak mau nih?"

"Hmmmm, boleh hehehe...."

<div style="text-align: center"><a href="https://imgbox.com/Aty79ygn" target="_blank" class="link link--external" rel="nofollow ugc noopener"><img src="https://thumbs2.imgbox.com/fd/ef/Aty79ygn_t.jpg" data-url="https://thumbs2.imgbox.com/fd/ef/Aty79ygn_t.jpg" class="bbImage " loading="lazy"
         style="" width="" height="" /></a>
Mirna Outfit'
Aku akhirnya mengetahui pakaian yang dikenakan Mirna saat bertandang ke rumah sakit, termasuk saat ia dicegat oleh Pak Yanto di dalam kamar mandi. Sejujurnya tak ada kesan yang terlalu mencolok dari cara berpakaian Mirna. Ia memakai kemeja lengan panjang berwarna hijau dan celana legging abu-abu yang sedikit mengencangkan postur bokongnya. Karena pikiran terlanjur mesum, kuat dugaan Pak Yanto bayangan imajinasinya lain. Ditambah beberapa hal telah dilaluinya bersama istriku, baik luring maupun daring. Pak Yanto tak betah lama-lama sekadar memandang Mirna. Ia seakan ingin menyentuh, menjamah, atau meniduri istriku. Mirna pula seolah-olah memberi angin segar. Sementara aku merasa tak punya sikap sebagai laki-laki yang merupakan suami sah dari Mirna.

"Enghhh makannya belepotan tuh"

"Tolong bersihkan"

"Mmmm..."
"Ishhh kenapa diemut juga jari Mirna, jorok"

"Jari kamu manis, hehehe", ujar Pak Yanto ketika jari-jari istriku dengan rela membersihkan bibirnya yang belepotan makan bubur, ia justru curi-curi mengemut jari telunjuk Mirna.

"Itu jari telunjuk, kok manis"

Pak Yanto yang sebetulnya sudah sarapan tiba-tiba Mirna rela berbagi bubur ayam yang sedang disantapnya kepada laki-laki tersebut. Sebaliknya aku yang membeli tidak dihiraukan. Mirna berdiri menyuapi Pak Yanto, memasukan sesendok bubur ke mulut Pak Yanto yang menganga tak diberi aba-aba. Karena takut ada yang terjatuh, Pak Yanto sontak merangkul pinggang Mirna agar lebih mendekat kepadanya. Pikirku tumbuh mengembang kiranya mungkin seperti ini Pak Yanto memeluk pinggang Mirna di kamar mandi. Ketika berbalik badan, Aku amati salah satu tangan Pak Yanto secara sembunyi-sembunyi meraba bokong istriku. Mirna menyuapi sambil berjalan tak nyaman sehingga hanya sepintas Pak Yanto menggerayangi.

"Bagaimana pak kata dokter terkait hasil rontgennya?"

"Ah bikin saya tambah pusing saja, banyak larangan, harus ini, harus itulah..."

"Hehehe, diikutin saja dulu, supaya jarum infus bisa cepat dilepas"

"Yah mau bagaimana, tidak punya pilihan"

"Masih mau?", tanya Mirna. Ia berdiri dan sedikit melangkah

"Boleh", jawab Pak Yanto kembali membuka mulutnya."Aaaaaaammmmmpphhh"

"Masih laper ya pak?"

"Lihat ibu bawaannya laper terus, hehehe"

"Ckckckckck"

"Wawan tak ada kabar?", tanya Pak Yanto menatapku.

"Dia sedang cari apotek yang menyediakan obatnya, beberapa kehabisan"

"Pantas lama"

"Mas apa aku boleh besok ke sini?", tanya Mirna menyodorkan sebuah pertanyaan yang mengguncang batin.

"Besok, ada Wawan yang jaga"

"Ya enggak apa, aku mampir saja, enggak akan lama-lama juga, daripada bosen kelamaan di rumah"

"Emmmm"

"Kehadiran ibu di sini lumayan banyak membantu loh Pak", timpal Pak Yanto, jauh berbeda reaksinya ketika aku memperkenalkan Wawan.

"Ya terserah kamu, asalkan kewajiban di rumah gak terlupakan ya?"

"Iya tenang, mas. semua tetap akan terpantau"

"Bagus kalau begitu. Oh yaa itu kamu jalan kok kayak orang kebelet, gelisah banget, ada apa? Mau haid? Perut kamu sakit? Gatel?

"Masa sih? Gak tahu juga"

"Iyaaa, tanya deh Pak Yanto", Pak Yanto hanya terkekeh.

"Yaudah aku ke kamar mandi dulu"

Setelah selesai memakan buburnya, Mirna meminum sebotol air yang dia bawa dari rumah. Kemudian ia masuk ke kamar mandi untuk buang air kecil. Pak Yanto yang semula menyaksikan televisi, mengambil ponselnya di balik bantal. Entah siapa yang dia hubungi. Aku mengajak bicara Pak Yanto dijawab sesingkat-singkat. Ia fokus dengan ponselnya. Kemudian pintu kamar terbuka, Wawan telah kembali dengan obat yang telah ditebus. Pak Yanto lantas meminta Wawan menyerahkannya ke suster.

"Alhamdulillah dapat juga ya..."

"Enggak sia-sia ternyata disuruh, patuh dan lincah sekali anak itu", puji Pak Yanto.

"Hahaha, sudah yakin kan?"

"Boleh-boleh, saya besok dengan senang hati mempersilakan Wawan menunggu saya di sini", tutur Pak Yanto melegakan batin dan benakku.

"Akhirnya....", walau sudah bisa menarik nafas panjang, aku terbingung-bingung dengan Mirna yang belum juga keluar dari kamar mandi. Ah, dia mungkin benar sakit perut ingin buang air besar.

<div style="text-align: center">=Y='
Minggu Malam hari, Pukul 22.00

Aku perlu memastikan Mirna benar-benar sudah tertidur karena aku ingin memeriksa isi ponselnya, terutama pesan yang masuk di akun WA Mirna hari ini. Sayangnya aku hampir ketahuan karena Mirna ternyata belum sepenuhnya tertidur. Ia bertanya maksudku yang hendak mengambil ponselnya di balik bantal. Untung saja karena kantuk yang luar biasa, Mirna meminjamkannya kepadaku. Setelah pulang dari rumah sakit siang hari, kami berdua sibuk kerja bakti membereskan rumah. Uniknya, interaksi aku dan Mirna di rumah sungguh berbeda ketika di depan Pak Yanto. Di rumah seolah-olah Mirna masih memendam rasa kesal denganku, namun di rumah sakit ia terkesan sudah memaafkan. Aku tidak mau membahasnya, khawatir hal itu makin meruncing. Ada baiknya dibiarkan selama Mirna masih menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai seorang istri.

Minggu Siang hari pukul 14.00

Pak Yanto: <img class="smilie smilie--emoji" loading="lazy" alt="😁" title="Beaming face with smiling eyes    :grin:" src="https://cdn.jsdelivr.net/gh/twitter/twemoji@14.0.2/assets/72x72/1f601.png" data-shortname=":grin:" />
Mirna: udah seneng? Puas?
Pak Yanto: belum dong.
Mirna: mau apalagi?
Pak Yanto: Riko gak tahu kan kamu tadi pakai celana dalam yang kena sperma saya?
Mirna: enggak
Pak Yanto: hehehe, sudah dicuci? Masih dipakai?
Mirna: udah dong jelas.
Pak Yanto: buru-buru banget
Mirna: FOTO (Mengirimkan foto selangkangannya yang masih mengenakan celana dalam yang sudah terkena sperma Pak Yanto)
Pak Yanto: hehehe, mantap
Mirna: seneng?
Pak Yanto: <img class="smilie smilie--emoji" loading="lazy" alt="😋" title="Face savoring food    :yum:" src="https://cdn.jsdelivr.net/gh/twitter/twemoji@14.0.2/assets/72x72/1f60b.png" data-shortname=":yum:" /><img class="smilie smilie--emoji" loading="lazy" alt="🥰" title="Smiling face with hearts    :smiling_face_with_3_hearts:" src="https://cdn.jsdelivr.net/gh/twitter/twemoji@14.0.2/assets/72x72/1f970.png" data-shortname=":smiling_face_with_3_hearts:" />
Pak Yanto: besok jadi ke sini?
Mirna: belum tahu, kenapa?
Pak Yanto: kangen
Mirna: ishhh apaan sih. Kangenin istri sama anak di kampung. Kok malah aku.
Pak Yanto: hehehe maaf.
Mirna: yang namanya Wawan masih di situ?
Pak Yanto: masih, pengennya kamu yang di sini.
Mirna: ngapain, cape.
Pak Yanto: ya sudah istirahat.

Minggu, Sore Hari Pukul 17.00

Pak Yanto: kangen megang susu kamu.
Mirna: minta tolong beliin susu di minimarket saja sama Wawan.
Pak Yanto: enggak suka, beda banget.
Mirna: apa bedanya?
Pak Yanto: ukurannya, kemasannya, isinya...
Mirna: memang udah pernah lihat isinya?
Pak Yanto: kan tadi kamu kasih lihat.
Mirna: masih pakai tanktop tuh.
Pak Yanto: mau dibeliin?
Mirna: enggak perlu. Jangan kirim-kirim lagi.
Pak Yanto: iya, sama satu lagi yang belum.
Mirna: belum apa?
Pak Yanto: ngerasain susu kamu. Hehehe
Mirna: ngaco ish.
Pak Yanto: FOTO (Mengirimnkan gambar batang penisnya yang berdiri tegak di balik sarung)
Mirna: udah aku langsung hapus, yeee. (Faktanya di galeri ponsel Mirna, gambar itu tetap tersimpan)

Minggu Sore Hari Pukul 18.00

Firda: bagaimana kabar law? Masih berantem sama suami?
Mirna: enggak, cuman diem-dieman aja.
Firda: ya enggak apa, bangun komunikasi pelan-pelan.
Mirna: lagi mau nurutin maunya Riko
Firda: maunya apa?
Mirna: dia mau gue ditidurin orang lain
Firda: ishhh ngaco, yang beneran?
Mirna: beneran.
Firda: terus lo mau?
Mirna: belum tahu
Firda: ya janganlah
Mirna: dari dulu dia nuntutnya itu terus, ya mungkin sekalinya gue turutin dia enggak akan nuntut-nuntut lagi.
Firda: yang ada sekali lo turutin, nanti nuntut-nuntut terus.
Mirna: sekali-kali kasih pelajaran ke suami
Firda: heh? Maksudnya?

Tak paham maksud Mirna mengapa melakukan ini semua. Apakah ia benar-benar sudah horni dengan Pak Yanto. Aku khawatir ingin mengatakan kepadanya blak-blakan, "apakah kamu mau ditiduri Pak Yanto?" Malah akan berbalik seperti yang sudah-sudah kemarin. Atau jangan-jangan dia hanya sekedar memancingku sebagai bagian dari pelampiasan dendamnya. Mata pisau bisa saja mengarah kepadaku yang berakibat Mirna marah dan ngambek lagi. Ini saja dia sudah jarang berinteraksi di rumah. Aku meletakkan posisi ponsel Mirna ke semula. Wawan bertugas besok, seharusnya tak perlu Mirna menjenguk ke rumah sakit lagi. Aku sungguh tidak mengerti apa yang direncanakan di benaknya.

Lebih baik sekarang aku tidur, karena esok sudah kembali bekerja.

<div style="text-align: center">=Y='
"Wan, istri saya ada datang ke sana?", tanyaku ke Wawan melalui sambungan telepon.

"Belum pak"

"Kamu lagi di mana ini?"

"Cari makan"

"Emmmh...."
"Kalau ada istri saya datang kabari ya?"

"Siap Pak Riko"

Mendapat jawaban itu dari Wawan, aku langsung menelepon Mirna. Aku menyangka ia akan berangkat ke rumah sakit pagi hari setelah aku berangkat kerja, namun tengah hari begini dia belum juga berangkat. Lama sekali Mirna menjawab teleponku.

"Halo, kamu lagi di mana?"

"Di rumah"

"Jadi ke rumah sakit"

"Enggak"

"Mmm... kenapa?"

"Males aja"

"Aku nanti pulang seperti biasa ya"

"Hati-hati Mas"

"Iya sayang", sejak pagi aku sudah mencemaskan kepergian Mirna ke rumah sakit. Bukan karena takut Mirna diapa-apakan oleh Pak Yanto, melainkan aku khawatir tak mendapatkan momen percakapan di antara keduanya. Namun keresahanku akhirnya hilang karena mengetahui Mirna tidak jadi berangkat ke rumah sakit. Aku bisa bekerja dengan tenang dan fokus. Lagipula Wawan siap melaporkan seandai Mirna datang ke rumah sakit. Untuk pertama kalinya semenjak memata-matai hubungan istriku dengan Pak Yanto, aku bisa bekerja dengan konsenterasi. Sebelumnya aku seolah-olah berfantasi kiranya apa yang dilakukan istriku ketika bertemu Pak Yanto tanpa kehadiranku.

Sore harinya, aku yang letih tiba di rumah sudah disambut oleh Mirna yang sedang mencuci pakaian. Pikirku ia baru mencuci celana dalam yang dikotori sperma Pak Yanto hari ini. Hampir tidak ada yang mencurigakan, interaksi mulai terbangun. Mirna mulai tersenyum memanggilku untuk makan malam, bahkan tidur malam pun kami sempat bercerita hal-hal yang lucu. Di samping itu Mirna menanyakan kepadaku perkembangan terbaru dari Pak Yanto. Sayangnya aku lupa menanyakan ke Wawan yang pastinya malam hari sudah pulang. Malam ketika Mirna tertidur tak ada percakapan antara Pak Yanto dan dirinya. Percakapan yang ada adalah yang kubaca kemarin. Aku heran apa yang terjadi dengan Mirna dan Pak Yanto mengapa mereka tiba-tiba berhenti berkomunikasi ya?

"Kamu hari ini mau kemana?", tanyaku melihat kalender hari ini ialah Selasa.

"Enggak ke mana-mana, beresin rumah"

"Emmmm... enggak belanja?"

"Lagi males masak", ucap Mirna sedang mempersiapkan pakaian kerjaku di pagi hari.

"Ya terserah kamu deh"

"Kamu pulang seperti biasa?"

"Iya, akhir-akhir ini enggak ada lembur kok"

"Hhhmmmm..."

"Rengga hari ini kuliahkan?"

"Kuliah, ya belakangan nginep di tempat kos temannya"

"Enggak apa apa, asalkan positif kita dukung", jawabku.

Sama seperti hari kemarin, semua berjalan enteng. Wawan masih rutin dan setia menunggu Pak Yanto. Mirna memilih tinggal di rumah. Aku tidak perlu merisaukan sesuatu apapun. Paling-paling adalah komunikasi Mirna dan Pak Yanto yang terputus begitu saja. Aku penasaran apakah yang melatarbelakangi keduanya tidak berbalas pesan lagi. Apakah karena Mirna sudah khilaf? Kapok? Atau karena sikap Pak Yanto selama ini yang kurang ditanggapi serius oleh Mirna sehingga ia marah dan kecewa? Belum kutemukan jawabannya. Yang jelas aku sudah tidak mendapati rasa penasaran, namun fantasiku menangis karena tidak ada lagi interaksi nyeleneh istriku dengan Pak Yanto. Malam ketika Mirna tertidur pun juga demikian saat aku diam-diam membaca isi pesan WA Mirna. Tidak ada riwayat chat dan telepon istriku dengan Pak Yanto. Apakah semua ini benar-benar sudah berakhir? Aku tak perlu lagi membayangkan istriku disetubuhi oleh Pak Yanto? Atau fantasi yang lain saja?

***

Keesokan Harinya...

"Halo Pak Riko, bagaimana kabarnya?"

"Alhamdulillah baik pak Yanto, bapak gimana kondisinya sudah segerankah sekarang?"

"Wahahahaha iya nih"
"Pak Riko sudah tidak pernah jenguk saya lagi nih hehehe", ledek Pak Yanto seolah-olah menyindirku yang betul-betul sedang dihajar oleh pekerjaan.

"Hehhe maaf ya Pak, sedang diuber kerjaan terus inih saya"

"Enggak masalah, itu sudah kewajiban Pak Riko. Kalau Pak Riko ninggalin kerjaan karena saya, saya yang kena dosanya"

"Wah enggak begitulah... Pak Yanto kondisi masih sesak?"

"Alhamdulillah sudah berkurang jauh"

"Saya turut bahagia, Pak. Akhirnya... Sudah boleh pulang dong hari ini?"

"Belum, sepertinya besok".

"Ada Wawan di situ Pak?"

"Sedang keluar..."

"Engggg...."

"Ada yang mau disampaikan?"

"Nanti saya sampaikan sendiri saja"

"Oh baik, kalau begitu, Selamat bekerja Pak, saya menunggu giliran saya yang sudah semangat dan tak sabar"

"Hahahahahahaa, Semoga Pak Yanto besok sudah pulang yaaa"

"Aaaamiiin"

Telepon dari Pak Yanto barusan mendatangkan perasaan tidak enak kepadaku. Pak Yanto dirawat di Rumah Sakit karena ulahku yang menjenguk kalau ada keperluan saja. Alhasil, aku niatkan sepulang kantor mampir ke rumah sakit untuk menengok keadaannya. Awalnya aku bermaksud mengajak Mirna, tetapi aku gamang Mirna akan timbul pikiran lain. Lagipula mereka berdua sudah tidak lagi berkomunikasi. Aku juga belum tahu sampai saat ini penyebabnya.  Meskipun demikian, aku tetap harus melaporkan kepulangan terlambatku ini kepada istriku.

Ketika aku telepon, Mirna tidak mengangkat. Ia memintaku untuk menyampaikan lewat chat WA dulu. Kemudian ketika aku utarakan, dia membacanya langsung, lalu membalas "Iya, enggak apa-apa. Pulangnya hati-hati". Jawaban yang telah memperkenankan itu lantas kuanggap sebuah izin resmi dari Mirna untuk pulang terlambat.

Rabu, Siang Hari Pukul 14.00

Aku: Wan, masih menunggu Pak Yanto?
Wawan: masih Pak.
Aku: wah enggak salah pilih Pak RT ya..
Wawan: kalau bukan karena uang, sudah saya tolak, pak. Semua murni karena uang hehe.
Aku: hahahaha. kamu sekarang sedang bersama Pak Yanto?
Wawan: enggak, saya lagi ngopi. Kalau ada pak yanto ngebel, baru saya meluncur ke sana.
Aku: oowwhh, enak betul.
Wawan: bosenin juga pak. Hehehe. Tapi saya sudah sedikit tenang. Pak Yanto bentar lagi lepas infus.
Aku: hahahah, ngedumel mulu ya?
Wawan: betul. Kalau bertemu suster itu melulu yang disampaikannya.
Aku: maklum, orang tua, suka banyak ngeluhnya.
Wawan: Saya sudah ngomong dengan Pak RT katanya saya cukup sampai hari ini saja.
Aku: lah, memang besok Pak Yanto sudah pasti pulang.
Wawan: dokternya sih bilang kalau besok tensi dan hasil tes darah yang keluar bagus, ya boleh pulang.
Aku: terakhir bagaimana?
Wawan: hasil rontgen hari ini sudah membaik jantungnya. Tensi juga sudah normal. Tinggal hasil tes darah.
Aku: Hhmmm. Nanti sore sepulang kantor saya mau ke sana.
Wawan: jam berapa pak?
Aku: wah palingan kamu sudah pulang. Sekitar habis Maghrib.
Wawan: silakan saja Pak Riko. Apa saya tungguin?
Aku: enggak usah, kamu langsung pulang istirahat.
Wawan: siap, baik pak sudah dulu ya, kuota saya gak banyak inih hehehe.
Aku: hahahaha, terima kasih banyak ya Wan.
Wawan: Sama-sama.


====================

Karena Suami</span>

"Wah ini mah semustinya sudah pulang hari ini"

"Hahahaha, ayuk makan dulu"

"Silakan, pak, silakan..."
"Saya gampang"

"Wawan sudah buru-buru ingin pulang, kalau bukan karena belum terima upah dari RT, saya tahan dulu anak itu di sini"

"Enghhh belum"

"Iya, setiap kali ke sini saya kasih uang ngopi, rokok, dan makan, mana tega lihat yang banyak bantu gak diisi perutnya"

"Hehehe", aku merasa tersindir karena Pak Yanto keluar uang juga untuk Wawan, seharusnya tidak perlu.

"Kita makan, masa yang nungguin enggak makan.."

"Bener, pak"

"Yang malah terjadi adalah kita sembuh, dia yang sakit. Seusia saya sakit-sakitan, wajar, seusia Wawan masih muda, belum dapat kerja loh, bagaimana masa depannya?"

"Hehehe iya bener juga pak"

"Ooh yaa, apakah Pak Riko enggak bisa memasukkan Wawan ke tempat bapak sebagaimana saya?"

"Bisa aja sih, pak. Tapi apa Wawan, mau?"

"Daripada lama menganggur, enggak usah gengsi-gengsi. Tolong dibantu Pak Riko, kasihan"

"Baik, nanti coba saya hubungin Wawan"

"Kalau saya sendiri kapan mulai bisa bekerja?"

"Bapak siapnya kapan?"

"Emmmm... mulai Senin minggu depan, bagaimana?"

"Boleh..."

Pak Yanto sedang mengunyah makan malam ketika aku sambangi di kamar inapnya. Ia terlihat lebih segar dan tak lagi pucat layu wajahnya. Geraknya pun sudah gesit, mengambil makan dan meminum sendiri, pun turun dari ranjang untuk mencuci tangan dan ke kamar mandi. Sayangnya, ia masih menangisi infus yang belum dilepas, kemana-mana harus ditenteng. Nafsu makan sudah ada, mengapa infus ini masih menjerat dan menyusahkannya, kembali Pak Yanto nenggerutu. Aku juga mengiyakan dan memberitahukan bahwa kemungkinan baru besok dicabut jarum infus dari punggung tangan Pak Yanto. Di samping itu, Pak Yanto mengatakan bahwa  dokter menyarankan kepadanya agar setelah pulang nanti ia beristirahat dan jangan melakukan aktivitas yang berat-berat dulu. Namun, Pak Yanto bersikeras dia sudah pulih dan sehat. Keluhan di badan juga tak ada yanh dirasa. Kalaupun dilarang aktivitas berat sementara, itu mengapa ia menunda bekerja di tempatku sampai minggu depan.

"Saya mau nanya sesuatu boleh, Pak Riko?"

"Silakan Pak"

"Tapi tolong jangan dianggap macam-macam dulu, ya. Sekedar bertanya saja loh ini"

"Iya, enggak masalah"

"Emmm... jadi begini, ibu kemarin ada bercerita soal bapak ke saya. Katanya bapak itu suka ngebayangin yang aneh-aneh. Salah satunya ada mengenai saya, betul?"

"Engghh, maksudnya bagaimana ya?"

"Emmm.. iya, bapak katanya punya imajinasi, eits bukan, fantasi... fantasi ibu main bersama saya. Itu apakah benar?"

"Hahahaha, main apa? bulutangkis? Pingpong? Engga ada istri saya bercerita begitu"

"Maininin bini orang, bukan itu loh..."

"Lalu, apa?", tanyaku penasaran.

"Mirna pernah cerita kalau Pak Riko ini punya fantasi istrinya berhubungan badan dengan pria lain, apa benar?"

"Ah enggak, kata siapa? Enggak ada saya ngomong begitu. Mana rela seorang suami, istrinya tercintanya bermesraan dengan pria lain, apalagi sampai berhubungan seks", jawabku membela harga diri yang sebetulnya sudah terkoyak.

"Kok beda dengan yang diceritakan ibu ya"

"Mungkin Pak Yanto salah tangkep, yang dimaksud Mirna mungkin orang lain, bukan saya. Masa iya saya punya fantasi dia berhubungan seks dengan orang lain, yang bener aja"

"Mmmm....."

"Mirna ceritanya kapan pak?"

"Sudah lama"
"Sebetulnya Saya mau nanya ini ke Pak Riko juga udah lama, namun saya segan, takut dianggap mau macam-macam", terang Pak Yanto memegang ponselnya seolah mencari-cari sesuatu. Jantungku berdebar-debar mendengarkan pertanyaan yang diajukan oleh Pak Yanto. Bahkan Aku tidak mengira Mirna bisa-bisanya menceritakan perihal fantasiku kepada lelaki paruh baya ini. Sesuatu yang nyaris luput dari percakapan WA Mirna sekalipun. Tiba di rumah nanti, aku akan menanyakannya langsung ke istriku. Apa maksud di balik ia mengutarakan perihal fantasiku ke Pak Yanto. Memang betul fantasiku demikian. Namun ketika Pak Yanto mengetahui dan menanyankannya langsung kepadaku, aku merasa agak terhina.

Aku justru ingin bertanya balik apa maksud Pak Yanto menanyakan hal seperti itu kepadaku, tetapi aku menahan diri karena belum mendapatkan kejelasan dari Mirna. Pak Yanto sendiri jadi terlihat bingung. Kemudian ia meminta tolong kepadaku mengambilkan kantong plastik di dalam kamar mandi. Katanya kantong plastik itu berwarna hitam dan tergantung di belakang pintu. Aku lekas membantu karena kendati sudah pulih, kasihan juga Pak Yanto kepayahan berjalan ke kamar mandi. Setelah berhasil kuambil, kuberikan kepadanya yang sedang duduk di atas ranjang perawatan.

"Kalau ini Pak Riko masih ingat?", tanya Pak Yanto mengeluarkan sehelai celana dalam wanita, sepertinya aku kenal.

ASTAGA CELANA DALAM YANG AKU SELIPKAN DULU ITU!

"Dapat dari mana Pak?"

"Hasil pancingan. Hahahahaha, bukanlah"
"Yang jelas Pak Riko ingat gak dengan celana dalam ini?"

"Eenggh... yang mana yah"

"Aaagh, Pak Riko ini pura-pura lupa. Celana ini kan terselip dalam baju yang bapak kasihkan ke saya"

"Wah iya kah?"

"Hahahaha, saya sudah bertanya ke Ibu loh, pak. Tolong jangan dibantah lagi"
"Hehehe"

<img class="smilie smilie--emoji" loading="lazy" alt="⚡" title="High voltage    :zap:" src="https://cdn.jsdelivr.net/gh/twitter/twemoji@14.0.2/assets/72x72/26a1.png" data-shortname=":zap:" />JEBRET<img class="smilie smilie--emoji" loading="lazy" alt="⚡" title="High voltage    :zap:" src="https://cdn.jsdelivr.net/gh/twitter/twemoji@14.0.2/assets/72x72/26a1.png" data-shortname=":zap:" />

Di luar dugaan, baik Mirna dan Pak Yanto ternyata sudah menyadari perihal celana dalam yang kuselipkan dalam sebungkus kantong berisikan pakaian kerja untuk Pak Yanto. Alamak! Jurus bantahan apalagi yang bisa aku kerahkan untuk menyangkal tuduhan Pak Yanto. Celana dalam Mirna yang berwarna biru muda dipamerkannya ke hadapanku. Tampak beluwek, lusuh, dan kusam. Dari bentuknya menyembul kesan lama tidak pernah dicuci dan tidak tersentuh detergen pun pengharum. Bukan itu saja kemudian Pak Yanto turut mengeluarkan BH Mirna yang kuselipkan bersamaan dengan celana dalam tadi. BH berwarna biru muda itu tak menonjolkan kelusuhan dan kekarutan, hanya beberapa bagian tertekuk.

"Jangan diam dong Pak, enggak sedang kena serangan jantung kayak saya kan ini?"
"Hahaa"

"Hhhmmmm... saya bingung harus ngomong apa", jawabku memalingkan muka, memandang ke arah jendela.

"Enggak perlu bingung, Pak Riko hanya perlu mengaku saja. Enggak akan ada masalah apabila Pak Riko jujur ke saya. Saya menganggapnya manusiawilah"

"Ya apa adanya memang seperti itu, Pak Yanto"
"Saya enggak tahu harus bilang apa. Justru malu"

"Mengapa harus malu, malu itu kalau Pak Riko nyolong celana dalam saya. Malu itu Pak Riko enggak pakai celana di depan saya"
"Hahaha", tawa Pak Yanto sedikit menggugahku tersenyum.

"Bener sih. Hehe"

"Kalo boleh tahu, mengapa bisa muncul fantasi seperti itu Pak Riko, di mana-mana punya istri cantik ya sepatutnya dijaga, disayang. Bukan sebaliknya malah dibayangkan dia berhubungan badan dengan orang lain, apalagi pengen hal itu benar-benar terjadi, kan kasihan ibu"

"Enggh...", aku hanya bisa membisu ketika Pak Yanto seolah-olah sedang menasehati.

"Kecuali kalau dari ibunya benar-benar mau, ya silakan. Masa dipaksa-paksa.."
"Heehehe..."

"Mirna sudah cerita apa?"

"Enggak cerita banyak, dia hanya menggerutu fantasi Pak Riko itu benar-benar mengganggu dia"

"Hhhmmm..."

"Saya dengan Mirna enggak terlalu dekat, namun kadang ia suka cerita ke saya, maklum kan suka ketemu di warung bu Aminah"
"Hehe"

"Owhh..."

Celana dalam dan BH milik istriku dimasukkan kembali ke dalam plastik. Aku heran bagaimana bisa keduanya ada di tangan Pak Yanto. Apakah Mirna telah memberikannya usai mengetahui itu sengaja kuselipkan dan ternodai sperma Pak Yanto? Atau hanya sekadar kepeluan saja karena semua yang barusan berlangsung ini sudah direncanakan oleh Pak Yanto dan Mirna. Seharusnya istriku berada di sini juga agar aku bisa menginterogasi bukan hanya disindir-sindir oleh Pak Yanto. Aku hendak menghubungi Mirna apakah dia tahu yang sedang Pak Yanto bicarakan kepadaku malam ini. Kalau iya, aku mau menyuruhnya segera ke rumah sakit. Tidak adil rasanya aku &#039;didakwa&#039; tanpa bisa bertanya balik, apa saja yang sudah diceritakan oleh Mirna kepada Pak Yanto. Sebaliknya Pak Yanto mengutarakan setengah-setengah.

Ketika aku hubungi, Mirna mengatakan dia sedang menuju ke sana. Pak Yanto barusan menghubungi. Mereka berarti sudah merencanakan. Aku tak menyangka ini bakal terjadi.

"Tenang Pak Riko. Ibu sedang menuju ke sini. Sabar..."

"Boleh giliran saya yang bertanya?"

"Silakan", jawab Pak Yanto membetulkan posisi duduk sembari mengulurkan sarung.

"Pakaian dalam Mirna mengapa bisa ada di Pak Yanto?"

"Sudah bau, dia jadi malas mencucinya. Pak Riko sih enggak mau mengaku"
"Hahaha"

"Saya juga tahu sejauh apa hubungan Pak Yanto dengan Mirna"

"Iya, lewat chat di hape kan?", Pak Yanto lekas menyela pembicaraan. "Ada yang Pak Riko enggak tahu, misalkan Mirna ada cerita ke saya perihal fantasi bapak. Belum yang diomongi secara langsung"

"Termasuk pakaian dalam yang dibelikan dan Mirna memakai celana dalam yang bekas kena sperma Pak Yanto?"

"Betul"

"Berarti semua itu kan Pak Yanto nafsu dengan istri saya"

"Lah siapa yang mau nolak kalau dikasih yang manis-manis, gratis pula"
"Hehehe"

"Waduwh ini berarti jangan-jangan Pak Yanto udah ngapa-ngapain istri saya nih", ujarku dengan nada naik.

"Wahahahahaha belum, belum..."
"Jangan berpikir terlampau jauh Pak Riko. Saya gak sekurang ajar itu"

"Gak kurang ajar bagaimana, celana dalam istri saya aja jadi bahan onani"

"Yang ngasih kan bapak duluan. Hahahaha. Yang punya fantasi macem-macem juga"
"Hahahahah. Saya pria normal loh pak, ya pastinya akan begitu"

"Ya benar, semua mulainya dariku"

Pak Yanto melanjutkan ceritanya bahwa ia bisa tahu banyak karena sedikit aneh dengan Mirna yang makin ke sini seolah-olah sedang menggodanya. Mulai dari cara berpakaian kemudian meladeninya berbicara yang berbau mesum. Salah satunya di chat yang pernah kubaca. Alhasil Pak Yanto menanyakan maksud semua yang Mirna lakukan, ternyata ia sedang menguji sejauh apa ketertarikan Pak Yanto kepadanya. Ketertarikan itu juga disangkutpautkan sejauh mana suaminya berfantasi. Faktanya semua terbukti. Pak Yanto juga mengatakan dia betul-betul belum melakukan hal melampaui batas dengan Mirna. Kalaupun ada ya meraba-raba. Mirna melihat dan memegang penisnya. Sebaliknya Pak Yanto pernah menyentuh selangkangan Mirna, namun hanya sebentar, entah berapa lama ukuran sebentar itu.

Kagetnya lagi, ternyata dua hari belakangan Mirna berkunjung kemari. Istriku berbohong. Kemudian aku lekas bertanya apa yang mereka berdua lakukan. Pak Yanto menjawab pada dasarnya kehadiran Mirna di sini cukup banyak membantu, dibanding Wawan yang hanya bisa disuruh-suruh keluar. Pak Yanto berterima kasih kepadaku. Di luar itu semua, Mirna dan Pak Yanto berbicara banyak hal, terutama adalah mengenai fantasiku ini solusinya apa. Kalaupun ada yang lain-lain, seperti Pak Yanto meraba-raba bokong Mirna dan mereka berpegangan tangan.

"Nah ini orangnya datang!"
"Sini kamu...."

"Apa sih, datang-datang udah diseret-seret", gerutu Mirna yang baru tiba mencopot jaketnya, tampak ia mengenakan blus tanpa lengan berwarna biru tua dan bawahan celana kulot abu-abu.

"Hehehe, ada yang sudah enggak sabaran", terkekeh Pak Yanto.

"Kamu cerita apa aja ke Pak Yanto? Kok bisa fantasi suaminya diceritain ke orang lain"

"Ya bisa aja, sebetulnya aku gak mau, tapi karena suka berulang-ulang, sampai kebawa mimpi, siapa yang gak cape dengerinnya, celana dalamku sampai jadi korban"

"Kan enggak mesti diceritain juga"

"Aku pusing Mas, nahan beban maunya kamu itu. Ditambah kamu chat aneh-aneh dengan Yanti. Ditegur, diulangin lagi"
"Barangkali kalau yang kasih tahu cowok juga kamu jadi sadar gitu loh. Kamu kambuhan"

"Enggak mesti begitu juga, Mirna, duh"

"Terus, solusinya bagaimana? Besok-besok kamu begitu lagi. Aku yakin", tanya Mirna menyeret kursi di sebelah Pak Yanto. Ia duduk menatap ke arah mukaku dengan raut kesal. Salah satu siku tangannya menopang ke ranjang Pak Yanto. Kemudian tangan Pak Yanto yang tak tertusuk jarum infus entah sengaja atau tidak memegang punggung tangan Mirna. Birahiku mulai menanjak.

"Bagaimana yaaa"

"Apa harus beneran aku dan Pak Yanto berhubungan seks? Tapi dengan catatan hanya sekali ya, habis itu enggak ada lagi", ucap Mirna menatap wajah Pak Yanto, lalu menengok ke arahku. Sontak aku gemeteran dengan pertanyaan Mirna. Bola panas itu muncul kembali. Semuanya bergantung kepadaku.

"Kalau sudah, selanjutnya apa? Saya bingung kok ada orang pengen lihat istrinya berhubungan seks dengan orang lain?", tanya Pak Yanto.

"Kebanyakan nonton film porno, akhirnya onani palingan", jawab Mirna. Aku masih berdiri mematung, memperhatikan istriku bersanding dengan Pak Yanto, mempertanyakan ketidaklaziman fantasiku.

"Itu pakaian dalam kamu kok bisa di situ?"

"Yaiyalah, udah bau, kamu coba cium sendiri sini bau pejunya Pak Yanto nih, mas"

"Hahahaha", sambut Pak Yanto dengan tertawa.

Kemudian Mirna mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan ia memiliki akun wikipedia yang tersambung dengan wikipedia Pak Yanto. Bahkan wikipedia Pak Yanto ada karena arahan dari Mirna. Ia yang memberitahukan ke Pak Yanto bahwa selama ini aku mengintip isi percakapan keduanya. Mereka pun hilang komunikasi di WA ternyata mengalihkannya via wikipedia karena Mirna mengatahui diam-diam aku memegang ponselnya. Ia menduga pasti aku lagi dan lagi mengintip isi chatnya kendati sudah ketahuan perbuatanku menggandakan akun WA Mirna. Bagi Mirna, sikapku yang diam seribu bahasa dan penasaran disangka-sangka timbul fantasi seksual yang dicemaskannya tersebut. Malahan sebelumnya terlihat jelas ketika kami sedang berhubungan suami istri, Mirna melontarkan pertanyaan apakah aku menyetujui dirinya berhubungan seks dengan Pak Yanto. Jawabanku menyulut tambah terang benderang.

Setelah Mirna membeberkan, giliranku bertanya balik, mengenai semua yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, termasuk saat aku menyelidik dan menguping ia bersama Pak Yanto di kamar mandi, serta ketika Pak Yanto dan Mirna berbalas pesan WA yang mengandung unsur &#039;seks&#039; sekalipun. Mengapa juga ia berbohong jika dua hari sebelumnya ia datang ke rumah sakit di luar pengetahuanku.

"Aku berhasil godain Pak Yanto, Mas. Bukannya kamu seharusnya seneng?", tanya Mirna menoleh ke Pak Yanto, lalu menatapku. "Pak Yanto juga menyambut baik apa yang udah kulakukan, iya kan pak?"

"Iya. Hehehe"

"Kita udah ngapain aja?"

"Saya udah mijetin kamu, kamu juga mijet saya. Udah mau pegang, anu saya. Saya juga walau sebentar sudah megang wilayah sensitif kamu. Apalagi yaa?"

"Tuh kan kelupaan, kotorin pakaian dalam aku, pegang-pegang pantat, peluk-peluk", sahut Mirna melirik tersenyum, disusul cubitannya ke lengan Pak Yanto.

"Oh ya, hahahhaa"

"Tapi, kita enggak pernah lebih dari itu"

"Loh kenapa?", tanyaku tak percaya, namun cukup terkejut.

"Bagi saya, enggak perlu sampai berhubungan seks, mungkin ada cara lain", timpal Pak Yanto. "Yang penting fantasi Pak Riko tuntas. Saya juga masih menjaga perasaan istri. Jangan sampai selingkuhlah, walau ya harus diakui ibu Mirna cantik, siapa yang enggak terpikat"

"Bagaimana?"

"Hhmmm iya kali yaa....", aku kehabisan kata-kata. Mirna dan Pak Yanto masih saling bergenggaman tangan, memancing-mancing gairahku agar terbakar membara. Sambil berpikir menemukan jawaban yang pantas, aku izin ke kamar mandi untuk buang air kecil. Di sisi lain, tidak dapat disangkal, semua yang mereka ceritakan perlahan membumbui fantasiku selama ini yang mulanya imajinasi sekarang mendekati realisasi. Semua bergantung aku mau mengatakan ya atau tidak. Mirna sudah mau berhubungan seks dengan Pak Yanto, namun Pak Yanto berpendapat mungkin ada jalan lain menuntaskan fantasiku daripada harus berhubungan seks. Ia masih menghargaiku sebagai suami sah dari Mirna.

"Kamu kalau aku begini pasti fantasinya kumat", keluar dari kamar mandi, Mirna menatapku seraya mempeloroti celana kuletnya. Dicopot sekalian celana dalam bersih berwarna krem, diganti dengan celana dalamnya yang telah kotor, berasal dari plastik, jelas telah meninggalkan banyak jejak sperma Pak Yanto.

"Waduwwh, urghhh, sampai begitu, kotor banget itu loh", sahut Pak Yanto geleng-geleng.

"Gimana mas?", tanya Mirna, sambil berdiri, ia memperlihatkan paha dan selangkangan yang ditumbuhi bulu-bulu halus sudah terbungkus oleh celana dalam kotor tadi.
"Vaginaku pasti ikut kebauan, kamu senengkan?"

"Enghh...", aku menelan ludah, merinding memandang Mirna yang seberani itu di hadapanku dan Pak Yanto. Benarlah sudah ucapannya. Ia membiarkan Pak Yanto menatap area sensitif yang semustinya hanya boleh dilihat olehku selagi berganti celana. Sontak Pak Yanto menarik tangan Mirna agar berdiri tetap di dekatnya.

"Ah iya, barangkali kalau dipanas-panasi seperti ini bisa bikin Pak Riko tuntas, bu. bagaimana pak? Tak ada komentar?"

"Emmm... kamu beneran yakin ngelakuin ini semua?"

"Sudah seperti ini masa gak yakin, apa kurang?", tanya Mirna menuntun tangan kanan Pak Yanto yang leluasa bebas, merangkul pinggangnya. Lalu Pak Yanto tak ada aba-aba mencium pundak dan lengan, lalu pipi istriku.

"Menggemaskan kamu"

Ketika istriku sudah mengizinkan pria lain menyentuhnya, aku belum bisa memberi komentar seolah-olah ini fantasi yang terwujud dalam mimpi yang barangkali aku tetap sulit percaya. Padahal, Pak Yanto sudah sumringah. Andai tangan kirinya yang terdekam oleh infus sudah dibebaskan, Dia akan lebih merajalela. Ditambah Mirna sudah memutuskan duduk di pinggir ranjang tempat tidur. Pak Yanto menurunkan penghalang yang menyekat mereka untuk lebih dekat. Kini istriku sepenuhnya dalam dekapan Pak Yanto yang bersila mengenakan sarung. Tangannya tak melepas sekalipun rangkulannya di pinggang seakan istriku sudah terjerat.

"Kamu ngomong dong mas, keburu Pak Yanto inisiatif sendiri inih"
"Kelihatan udah gak sabaran tuh"

"Lihat ketek kamu, boleh?", tanya Pak Yanto memijat-mijat lengan Mirna.

"Enggak jijik?"

"Kamu saja enggak jijik memakai celana dalam yang sudah kotor karena ulah saya, mengapa saya harus jijik"

"Mas? Gimana?", tanya Mirna menatap bingung ke arahku. Aku termangu sejenak, lalu mengangguk pelan. "He&#039;eh"

Mirna mengangkat lengannya kirinya pelan-pelan, sedangkan Pak Yanto sudah tidak sabar, baik hidung dan bibirnya menyeruduk ketiak Mirna. Setengah terangkat tampak mulusnya ketiak istriku bagai daratan lapang yang mengundang mata untuk melihatnya lama, namun memunculkan efek birahi seandai lawan jenis yang mengamatinya dari dekat. Pak Yanto dalam posisi menguntungkan tersebut. Ia pandangi sebentar sebelum pada akhirnya tanpa mengutarakan sepatah kata, mukanya menyambangi ketiak Mirna. Istriku sempat menghindar karena ragu atau geli, tetapi tangan Pak Yanto memegang kendali tubuh istriku, sia-sia pengelakannya. Pak Yanto berhasil mengendus dan menciumi area ketiak Mirna.

"Aaaaahhhhs geliii", ucap Mirna lekas menurunkan lengannya.

"Ayoo angkat lagii..."

"Enggghh, iya....."

"Emmmmfffhhhhh"

"Aaaaihhhhhh", sahut Mirna menahan rasa geli ketika Pak Yanto membaui dan menciumi area ketiaknya. Sesekali tangan Pak Yanto turun meraba-raba paha Mirna.

"Harum, gurih, sleeeeffhhh"

"Aaaaissshhh, jangan dijilatin", ucap Mirna tiba-tiba menurun lengannya.

"Hehehe"

"Gimana? Seneng aku digituin kan?"

"Iii..yaa seneng" sahutku sedikit ragu. Kemudian Mirna mendorong kursi tunggu yang tadi didudukinya, agar ditempati olehku. Aku pun duduk mencermati apa yang akan dilakukan oleh Pak Yanto dan Mirna selanjutnya. Sementara batang penisku di balik celana lambat laun mengeras apabila mengingat hal barusan yang dilakukan oleh Pak Yanto terhadap Mirna. Keduanya ancang-ancang kembali. Mirna turun dari tepi ranjang. Ia berdiri berbalik badan, memperlihatkan bokong bulatnya yang terkemas celana dalam yang telah dikotori oleh benih Pak Yanto. Lalu tak segan-segan Pak Yanto merenyuk-renyuk bongkahan pantat istriku, sekali dua kali tamparan mendarat di sana.

Plak... plak.... plaaak.....

"Aduuuhhh, mas kamu tega aku diginiin?"

Plaaakk....plaaaakk...

"Aaauhhh...."

"Maaf pantat bagus ibu jadi merah sedikit, hehehe", jawab Pak Yanto terkekeh usai menggampar pantat istriku. Kemudian ia meremas-remas lagi. Mirna mengaduh karena Pak Yanto tidak rela istriku dilepaskan begitu saja. Malahan kedua jarinya nekat menyentuh liang vagina istriku yang masih mengenakan daleman. Mirna melonjak histeris. Pak Yanto tak ada bilang-bilang mau mencolok liang vaginanya.

"Aaaaaaaahhhh, jangaaaan, aaaaaahhh"

"Uuufhhhhhh"

"Jangan di situ, Pak"

"Enggak apa, cuman sebentar, nanggung ini"

"Aaaaaaaahhhhhhh.....", Mirna berhenti,  menepis tangan Pak Yanto yang bermain-main dengan pantat serta vaginanya. Akan tetapi, Pak Yanto tetap memaksakan agar kedua jarinya mencolok klitoris Mirna.

"Ufffhhh......"

"Udaaahhh... ahhhh"

Aku yakin vagina istriku sudah mengeluarkan cairan. Itu mengapa Pak Yanto ngotot menyentuhnya. Kemudian Mirna berbalik badan seperti semula. Ia tak memandangiku, justru menatap Pak Yanto bulat-bulat. Dengan satu dorongan tangan didekaplah istriku sehingga wajah Pak Yanto tepat bersemuka dengan lehernya. Mirna menengok ke arahku ketika Pak Yanto memancungkan bibirnya lalu mencumbu istriku yang berusaha tidak bergejolak. Pak Yanto tak membiarkan itu terjadi. Ia menjulurkan lidahnya dan membasahi jenjang leher Mirna. Lalu Pak Yanto mengendurkan sarungnya, menguak batang penis yang sudah berdiri gagah. Pria dengan perut agak tambun itu meminta Mirna memegangnya.

"Ayo dipegang"

"Aaaaaahhh", desah Mirna. Permintaan itu datang bersamaan ketika ia sedang dicumbu Pak Yanto. Aku hanya melongo memerhatikan batang kemaluan Pak Yanto yang berwarna cokelat dengan bulu-bulu yang serampangan tumbuh dengan kepala kuncup kegelapan. Apa yang terjadi jika alat vital tersebut masuk ke dalam vagina Mirna. Apakah itu akan berlangsung sebentar lagi?

"Ayo pegang, kamu bisa"

"Aaaaissshhhh"

"Ummmmfhhhh"

"Bagaimana reaksimu, mas. Tolong jangan diem ajaah!", teriak Mirna kesal sembari Pak Yanto tetap mencumbunya.
"Aaaaaahhh"

Memandangi yang dilakukan Mirna dan Pak Yanto, aku sangat terkesan. Fantasi itu telah mendekati kenyataan. Astaga penisku yang sudah tegang ini apakah hanya dibiarkan begini saja. Nafsuku menggelora. Aku ingin menumpahkan sperma, rasanya tak kuat lama-lama memandangi Mirna yang sedang menikmati kehangatan bersama Pak Yanto. Kalaupun ingin ikut bergabung, khawatir mengusik kekhusyukkan keduanya. Pak Yanto mulai membuka kutang yang menempel di badan. Mirna hanya menatap kalut. Sebelum pada akhirnya ia kembali dirangkul. Aku memantau aktivitas mereka sambil mengawasi keadaan di luar jangan sampai mengusik perseteruan birahi yang sedang serunya berlangsung.

"Aku enggak mau ngelanjutin kalau Mas Riko gak mengizinkan, gak ada komentar pula", ucap Mirna ke Pak Yanto.

"Bagaimana Pak?"

"Emmmhhh, ya teruskan, aku jadi makin nafsu ngelihat kamu begini"
"Aku berharap kamu juga menikmatinya"

"Boleh aku kocokkin itu Mas?", Mirna menunjuk ke arah batang penis Pak Yanto yang telah menunggu digenggam oleh Mirna.

"Boleh banget, kalau kamu mau"

"Orhhhhhh, akhirnyaaaa", Pak Yanto melenguh ketika Mirna lantas mencengkeram batang penisnya.

"Hhhhhhhh....."

"Eemmmmmffhhhhh"

"Huuuhhh....", Mirna mengocok batang penis Pak Yanto pelan-pelan tanpa melihat posisi genggaman tangannya. Yang jelas aku mengira dia bisa merasakan keras dan menonjolnya urat kemaluan Pak Yanto, mungkin juga hangatnya kemaluan itu saat sedang ereksi maksimal.

"Oooohhh enakkk, lama tak merasakan ini"

"Hhhuh...."

"Nanti mau gantian?", tanya Pak Yanto di telinga Mirna.

"Hhhuhhh gak usaah"

"Bagaimana Pak Riko? Cukup begini saja?"
"Pinter sekali ibu mengocok kontol saya"
"Hhmmffhhh... sepertinya saya gak akan bertahan lama, kalau enak seperti ini"

Mirna mendadak berhenti. Ia meloloskan blus tanpa lengan yang dikenakan. Ia jatuhkan di lantai, tersisa BH berwarna coklat muda mengatup bukit kembarnya yang berukuran 34D. Kemudian ia meminta Pak Yanto merangkulnya lagi. Tangannya kembali bekerja mengocok penis Pak Yanto. Dengan pemandangan baru, kepala Pak Yanto, menghampiri bagian dada Mirna. Ditatapnya tajam sepasang payudara istriku, berikut belahan dadanya. Aku yakin penuh Pak Yanto mengincarnya tersirat dari cara ia memandang. Diendus aroma yang berkeliaran di sekitar bagian dada Mirna. Lidahnya dengan berani menjilati belahan dada istriku.

"Aaaihhhh...."

"Betul-betul gede susumu, yaa"

"Huuuuhhhh", Mirna masih mengocok penis Pak Yanto, semakin terkuak urat-urat kemaluannya.

"Pak Riko, boleh saya lihat susunya Ibu?"

Pertanyaan barusan membuat Aku terbungkam. Aku ingin menjawab mau, namun entah bagaimana dengan Mirna. Aku merasa tidak boleh gegabah menjawab.

"Dibuka saja Pak, yang namanya Yanti dulu pernah kirim gambar payudaranya ke Mas Riko, anggap Pak Yanto lebih beruntung bisa melihat langsung", ujar Mirna.

"Ah yang bener inih? Hehehe"

"Bener, buruan Pak!"

"Pak?", tanya Pak Yanto menoleh ke arahku karena ragu, sementara aku hanya mengangguk. Mendapat kepastian dari aku dan Mirna, Pak Yanto lekas melepas pengait BH Mirna. Setelah terjungkal jatuh, tercengang Pak Yanto menatap kedua puting payudara istriku yang berwarna cokelat. Mirna menoleh ke wajah Pak Yanto.

"Bagaimana? Enggak penasaran lagi kan?"

"Enggak, tapi ada satu"

"Apa?"

Pertanyaan Mirna barusan dijawab Pak Yanto dengan memegang kedua bukit kembar yang indah milik istriku. Putingnya menyembul pentil yang sungguh menantang bagi yang berada tepat di depannya.

"Sleeeeeerffhhhh"

"Aaaaiiiihhhh"

"Cccyyyooooopppph"

"Aaaaaaaaaahhhh"

Diawali dengan jilatan secara berulang, bibir Pak Yanto dengan cekat melahap puting susu istriku. Mirna sontak melonjak. Ia mendesah panjang tertahan. Hal itu diulangi Pak Yanto berulang kali sehingga Mirna perlahan tenggelam dalam kenikmatan yang luar biasa. Kegelisahan pun juga melanda diriku. Penisku tidak bisa dibiarkan ereksi maksimal begitu saja. Aku ingin melepaskan sembari memandangi Mirna berseteru birahi dengan Pak Yanto. Apakah aku harus mengeluarkan penisku juga, tetapi nanti tidak ada yang berjaga dan mengawasi. ADUH! Mirna terus mengocok batang penis Pak Yanto, sedangkan Pak Yanto asyik melahap buah dada Mirna bergantian. Hal itu tidak bertahan lama karena Mirna kelelahan berdiri. Aku bergeser pindah, mempersilakannya duduk.

Mirna memerhatikan wajahku yang kosong seolah-olah masih menantikan kelanjutan adegan antara dirinya dengan Pak Yanto. Aku juga tak mengucap satu kalimat pun, sekadar menyaksikan Mirna sedang mengelap puting susunya yang basah terkena air liur Pak Yanto.
Malam memasuki babak baru.

"Cukup sampai di sini saja ya Mas?"

"Itu Pak Yanto beneran beneran begitu aja?", tanyaku memerhatikan batang penis Pak Yanto masih kokoh berdiri kendati ia sedang rebahan santai.

"Beneran harus berhubungan seks? Sekarang juga? Yakin?"

"Enggak usah, enggak usah, Bu", timpal Pak Yanto.

"Terus?"

"Seperti tadi saja lagi, saya bentar lagi keluar ini"

"Beneran?"

"Iyaaa"

Setelah beristirahat beberapa menit dan minum segelas air, Mirna dan Pak Yanto bersiap mengakhiri aktivitas mereka. Namun, sepertinya hanya Pak Yanto saja. Mirna berdiri di dekat Pak Yanto yang sudah membetulkan posisinya seperti awal sebelum jeda. Mereka berdua saling beradu pandangan, meyakinkan diri lagi untuk menuntaskan gairah. Kemudian tiba-tiba, mereka saling berpagut bibir. Berciuman mesra sehingga birahiku konak entah bagaimana menyelesaikannya nanti. Pagutan bibit itu kudengar diakhiri dengan ucapan Pak Yanto. Aku pun ikut birahi.

"Kalau saya sudah pulih, nanti baru saya masukkin"
"Hehe"

"...", Mirna membisu sembari mencengkeram kembali batang penis Pak Yanto.

"Oooohhhh, boleh saya hisap susunya lagi kan?"

"Hhhuhhh iyaaah"

"Slerrreeppphhh, cyoooppphhh"

"Aaaaaiiihhh"

Mirna mengurut batang penis Pak Yanto yang segera menemui titik akhirnya. Ia urut maju mundur dengan lambat laun semakin mempercepat tempo, sehingga urat-urat penis itu makin menegang. Pak Yanto gerah, tubuhnya mulai kepanasan. Ia menuntut Mirna mengocok lebih cepat.

"Huuhhh...."

"Oohhhhh dikit lagi, lebih cepaaaat"

"Huuuh iyaaah"

"Aaarghhhh enaaaak"

CROT CROT CROT

Akibatnya batang penisnya memberontak hebat, meletuslah lahar benih-benih dari penis Pak Yanto yang meluncur deras mengenai ranjang tempat tidur beserta spreinya. Pak Yanto rebah. Mirna termenung duduk. Selanjutnya ia mengelap seluruh sperma Pak Yanto dengan celana dalam kotor yang sedang dikenakan. Ia copot, elap, dan memakainya kembali. Jika tadi hanya kena baunya, sekarang vagina Mirna bersentuhan basah dengan sperma Pak Yanto.

Aku yang berdiri menyaksikan gamam harus berbuat apa. LagipulaPenisku yang masih kokoh berdiri juga belum tahu mesti diapakan. Selesai mengenakan pakaian, Mirna bertanya kepadaku.

"Bagaimana mas? Puas?


====================

Perdamaian</span>

Berboncengan menerjang malam kelabu, aku dan Mirna menatap jalanan yang berdesak-desak kendaraan. Kebisingan tidak mendorong kami mengeluarkan satu kalimat pun, kecuali pertanyaan Mirna terakhir kepadaku, "Apakah aku puas dengan semua yang telah dilakukannya?" Aku belum menjawab. Yang terbenak adalah wajah lelah Pak Yanto serta sekedar ucapannya agar kami hati-hati di jalan. Kemudian hutang budiku kepada celana dalam Mirna yang telah banyak berkorban.

Aku tidak tahu apakah akan membahasnya di rumah dengan Mirna karena aku tidak mau segala yang keluar dari mulutku nanti tidak mengakhiri &#039;peperangan&#039;. Mirna sudah melakukan hal yang mungkin tidak pernah diimpikannya, demi sang suami yang punya fantasi tak karuan. Apakah aku sudah merasakan kepuasan, kendati Mirna belum berhubungan seksual dengan Pak Yanto? Aku perlu memikirkannya matang-matang supaya tidak timbul masalah di kemudian hari. Lagipula aku penyebab ini semua. Aku harus bisa memahami keputusan yang telah diambil oleh Mirna. Dia adalah istriku. Aku adalah suaminya. Kami telah memiliki seorang anak yang tumbuh dewasa.

Itikad baikku yang ditunjukkan kepada Mirna tetap dibalasnya, barangkali ia telah lama menyimpan dendam kesumat karena Yanti dulu. Selanjutnya aku berharap tidak perlu ada lagi balas-membalas. Kami harus menjalani kehidupan rumah tangga sebaik-baiknya. Adapun fantasiku yang sedang mereda karena telah melihat Mirna beradegan dengan Pak Yanto, bisa-bisa saja muncul. Aku harus menemukan jalan keluarnya. Di sisi lain, batang penisku masih mengeras, belum menyemburkan sperma berisi adegan-adegan yang telah dilakoni istriku dan Pak Yanto. Ini bisa menjadi pemicu kalau tidak diselesaikan. Aku harus melakukan sesuatu malam ini, menemukan jalan damai, mendapatkan ketenangan.

"Kamu mandi dulu atau aku?", tanya Mirna kepadaku sesampainya di rumah. Ia melangkah menuju kamar kami berdua, tak sempat menengok ke arahku, melintas buru-buru seolah sudah ingin mencopot celana dalamnya.

"Kamu dulu saja"

"Pertanyaan aku mau dijawab kapan?"

"Emmm, sehabis mandi"

"Kamu mandi duluan, aku belakangan", ucap Mirna.

"Bukannya kamu?"

"Supaya kamu buruan jawab pertanyaan tadi"

"Hhmmmm, di kamar nanti kan bisa, sehabis kamu dan aku mandi"

"Bener loh ya?"

"Iya, bener"

Berhenti sebentar, Mirna lalu masuk ke kamar untuk mengambil handuk dan bergegas membersihkan diri. Aku duduk di sofa ruang tamu, merenung apa yang harus aku jawab dari pertanyaan Mirna. Ia sudah menagih jawaban, sedangkan aku merasa belum mampu menjawab. Mengingat-ngingat kata demi kata, kalimat demi kalimat, serta tingkah yang terjadi di kamar rawat inap Pak Yanto, aku menyusun jawaban. Solusi yang ditawarkan Pak Yanto adalah yang terbaik kukira. Lagipula tidakkah cukup menyaksikan tubuh istri dicicipi sedemikian rupa oleh pria lain? Kalau sampai Pak Yanto memasukkan batang penisnya ke vagina Mirna bukankah bisa menjadi bumerang seandai Mirna merasakan jauh lebih nikmat ketimbang milikku? Aku mendadak cemas. Keinginan meluap-luap Mirna disetubuhi oleh Pak Yanto hampir terjadi dan bisa terjadi. Akan tetapi, apakah dampaknya selain kepuasan fantasi sesaatku? Haruskah berlanjut? Bagaimana jika Mirna atau Pak Yanto ke depan jadi saling menaruh hati? Selesai.

Jangan karena fantasi gila ini aku dibutakan banyak hal. Lagipula Mirna melakukan semua sedikit terpaksa, bukan sukarela dengan senang hati menuruti kemauanku. Kalau diteruskan, berbahaya sepertinya. Aku tidak hanya memikirkan jawaban Mirna, melainkan juga bagaimana nasib Pak Yanto, semustinya aku katakan kepada dia di rumah sakit bahwa tidak memungkinkan baginya bekerja dengan kondisi demikian sekalipun pulih dan sehat. Karena tidak mau mengecewakan seseorang yang sedang bersemamgat, aku kesampingkan hal itu. Yang paling mungkin bisa diwujudkan adalah Wawan yang menggantikan posisi Pak Yanto. Apakah kedua belah pihak berkenan? Entahlah.

Rabu, Malam Hari Pukul 20.00

Aku: Wan, katanya kamu lagi butuh kerjaan, ya?
Wawan: jelas banget, Pak. Kalau bukan karena kerjaan, mana mungkin saya nungguin Pak Yanto di rumah sakit kali.
Aku: pendidikan terakhir kamu apa?
Wawan: Sarjana Menganggur
Aku: hahaha kamu kuliah jurusan?
Wawan: ilmu pertanian, pak.
Aku: waduwh. Kok bisa kuliah jurusan ilmu pertanian mau kerja kantoran?
Wawan: hehehe waktu kuliah dulu yang penting dapat negeri
Aku: ooh begitu. Saya ada lowongan untuk kamu, tetapi bagian gudang gapapa?
Wawan: apapun enggak masalah yang penting kerjanya dibayarkan, pak?
Aku: iya dibayar.
Wawan: boleh, saya mau ambil. Yang penting ada penghasilan.
Aku: nanti saya kabarin lagi.
Wawan: siap, menunggu.
Aku: saya mau tanya sesuatu ke kamu, Wan.
Wawan: apa tuh, pak?
Aku: kamu dikasih apa aja sama Pak Yanto?
Wawan: wah banyak banget, baik sekali dia. Bikin saya betah nungguin. Hehe
Aku: upah dari RT belum diterima?
Wawan: katanya besok.
Aku: oooh yaudah. Terima kasih banyak sebelumnya ya Wan.
Wawan: sama-sama Pak, alhamdulillah ada terima masuk saku. Hehehe.
Aku: saya yang seharusnya berterima kasih. Kalah enggak ada kamu, saya enggak tahu harus minta tolong ke siapa.

Aku memutuskan masuk ke dalam kamar karena Mirna masih belum selesai mandi. Padahal aku berharap jika ia keluar nanti bisa langsung mengambil handuk darinya, lalu lekas bergantian membersihkan diri. Di kamar aku melihat ponsel Mirna tergeletak di atas meja riasnya. Aku ingin memeriksa dan mengintip percakapan Mirna dan Pak Yanto yang ada di Tele&#039;gram di mana aku terkecoh. Namun, karena Mirna sudah terlanjur mandi, daripada tepergok memata-matai, lebih baik aku menunggu cerita darinya saja.

"Ini giliran kamu"

"Dengan kondisi begitu kayaknya Pak Yanto enggak memungkinkan untuk kerja di tempatku"

"Ya tinggal bilang aja, kenapa ngomong sama aku"

"Cuman mau kamu kasih tahu kamu, kan kamu yang kemarin minta tolong cariin pekerjaan untuk dia"

"Emmmmm...", gumam Mirna mengeringkan rambut dengan kain yang dicomot dari dalam lemari.

"Aku usahakan ada pekerjaan lain untuknya, mungkin bagian persuratan"

"Kalau memang enggak bisa, jangan dipaksakan, Mas. Kamu pusing sendiri jadinya"

"Enggaklah, nolong orang kok pusing. Kalau enggak ada ya aku tinggal bilang enggak ada, beres"

Mirna mengangguk, lalu beralih ke pertanyaan lain.
"Mas, udah enggak ada fantasi macem-macem lagi kan, kamu?"

"Aku jawab sehabis mandi, boleh?"

"Sekarang"

"Mengapa kamu perlu jawaban itu?"

"Kalau memang masih ada fantasi, itu berarti kamu belum puas, enggak ada jalan lain lagi, berarti mau enggak mau aku harus berhubungan seksual dengan Pak Yanto"

"Cukup"

"Cukup apa?"

"Ya cukup, aku jelaskan sehabis mandi, bolehkan aku mandi dulu?"

"Iyaa, buruan"

Aku keluar kamar, menghimpun kalimat demi kalimat dalam benakk. Aku sudah mendapatkan jawaban yang pas untuk istriku. Pada dasarnya, Mirna dan Pak Yanto tidak perlu sampai berhubungan badan. Ada cara lain melampiaskannya, terlebih batang penisku yang &#039;ngaceng&#039; akibat adegan yang terjadi di kamar rawat inap Pak Yanto sudah terpacu untuk merenggangkan otot-ototnya kembali. Aku tidak mau membiarkan hal ini terlampau lama. Diselesaikan di kamar mandi? Tentu tidak. Ada istri, ya bersama istri. Di dalam kamar mandi, tidak kujumpai celana dalam yang dikenakan Mirna. Dia pastinya sudah memasukkan ke tempat cucian atau bisa saja dibuang. Entah sudah berapa kali celana dalam Mirna ditumpahkan sperma Pak Yanto sehingga baunya menyengat, meski Mirna tetap memakainya demi diriku.

Tanpa berlama-lama, aku membuka seluruh pakaian yang sudah menyerap keringat dari ujung kepala hingga kaki. Selanjutnya kuguyur air sebanyak mungkin hingga badan dan kepala benar-benar terasa segar serta penat lenyap tak bersisa.

"Sudah mandinya?"

"Sudah"

"buruan dijelasin"

"Enggak makan malam dulu?"

"Jelasin dulu"

"Iya, sabar. Baru juga ini handukkan"

"Sambil jelasin"

"Sebentar", jawabku sembari menggantung handuk, menatap Mirna duduk di atas tempat tidur mengenakan daster kembang tanpa lengan berwarna biru.

"Di sini jelasinnya", ucap Mirna menuntutku rebahan Aku yang belum mengenakan baju, baru mengganti celana pendek lekas naik ke atas tempat tidur. Dengan tarikan nafas, aku bersiap mengutarakan penjelasan &#039;cukup&#039; ke hadapan Mirna.

"Setelah aku jelasin semua, nanti aku boleh tanya dan minta penjelasan kamu juga, ya?"

"Iyaa"

"Baik, aku tuh merasa udah cukup, sangat cukup sekali setelah apa yang kamu lakuin hari ini di rumah sakit. Bagi aku, enggak perlu kamu dan Pak Yanto sampai harus berhubungan seks. Kenapa? Aku yang awalnya sangat kepengen kamu berhubungan seks dengan Pak Yanto lantas tiba-tiba berubah pikiran. Aku jadi sangat cemas kamu nantinya malah akan selingkuh dengan Pak Yanto seperti yang dulu kamu pernah katakan ke aku. Yang aku pengen, belum tentu semua baik untuk kamu"

"Beneran cukup? Entar palingan kamu kumat lagi. Kamu orangnya suka kambuhan, Mas. Aku susah percaya"

"Aku sudah puas, beneran. Enggak berminat dan enggak kepengen kamu berhubungan seks dengan pak yanto ataupun dengan pria lainnya"

"Enggak yakin", ujar Mirna melengoskan muka.

"Apa yang bisa bikin kamu yakin?&#039;

"Susah"

"Jangan begitu"

"Kalau aku bisa yakin dengan kamu, enggak perlu aku bertingkah sejauh itu dengan Pak Yanto"

"Terserah kamu deh sekarang, intinya aku sudah puas dan enggak ada menginginkan kamu sampai berhubungan seks dengan Pak Yanto. Titik. Mau percaya atau enggak? Itu hak kamu"

"Kalau enggak terbukti?"

"Kamu boleh angkat kaki dari rumah ini"

"Hhhhmmm...."

"Kalau terbukti?!", tanyaku memegang dagu dan menyorot kedua mata Mirna.

"Aku akan turutin apa yang kamu mau, sekalipun kamu masih menginginkan aku berhubungan seks dengan Pak Yanto"

"Ngaco! Asal bicara kamu!"

"Itu beneran!"

"Sudah, kini giliran aku yang bertanya", ujarku rebahan menatap langit-langit kamar, kemudian melirik Mirna."Apa yang sudah Pak Yanto lakukan ke kamu yang aku enggak tahu?"

Aku sengaja bertanya demikian karena agar Mirna menguak segala sesuatu yang dia masih sembunyikan dariku, termasuk yang dilakukan Pak Yanto terhadapnya selama aku di kantor atau saat aku tidak mengetahuinya.  Sebaliknya Mirna terhadap Pak Yanto juga. Jawaban yang paling dinanti-nantikan adalah apakah Pak Yanto benar-benar belum bersenggama dengan Mirna atau justru sudah. Di sisi lain, barangkali Pak Yanto pernah melakukan sesuatu yang bersifat godaan seksual terhadap Mirna secara langsung dan tidak langsung, baik memegangnya, menyentuhnya, atau mengirimkan pesan mesum.

"Enggak ada"

"Pasti ada, enggak mungkin enggak ada!", timpalku sedikit menaikkan intonasi bicara.

"Hhhmmm...dia pernah meraba kedua buah dadaku saat kemarin dijenguk"

"Kacau kamu, maksud kamu supaya apa? Bukan itu berarti kamu yang memulai?"

"Enggak akan ada yang memulai kalau enggak ada pemicunya", ucap Mirna menggerutu dengan nada menyindir.

"Ya sudah, terus apalagi?"

"Itu aja, lainnya pegang-pegang pantat, kirim pesan mesum, pernah cium pipiku"

"Keterlaluan juga ya, ternyata sudah dikasih &#039;cemilan kecil&#039; sama kamu sebelum dikasih yang &#039;berat&#039; hari ini"

"Kamu berfantasi aku kasih &#039;makan beratnya&#039;, kan?"

"Sudah enggak! Cukup!"

Kemudian aku merampas ponsel Mirna yang berada digenggamannya. Aku bertanya yang disembunyikan di ponsel ini apa saja. Aku pun memaksa Mirna membuka akun tele&#039;gramnya. Aku ingin diperlihatkan percakapannya dengan Pak Yanto belakangan hari, termasuk sekarang. Setelah ditunjukkan, aku memperoleh informasi bahwa dari percakapan Mirna dan Pak Yanto,  Mirna adalah sang sutradara di balik kejadian hari ini. Ia adalah yang menyusun rangkaian agar Pak Yanto memiliki hasrat seksual kepadanya supaya di kemudian hari bisa digunakan sebagai alat mengetes diriku yang dia sudah sadari secara penuh memiliki fantasi menyimpang. Selain itu, terungkap Mirna menaruh dendam kepadaku yang pernah menjalani hubungan dekat nan istimewa dengan Mba Yanti. Padahal, bagiku itu adalah ibarat hubungan kakak dan adik biasa. Dia yang terburu-buru salah menilai.

Yang mengejutkan adalah Pak Yanto baru mengirimkan pesan tele&#039;gram kepadanya. Mirna belum membalas. Istriku masih menganggap dirinya benar karena hal ini tidak akan pernah terjadi seandai aku tak pernah memiliki fantasi menyimpang.

Rabu Malam Hari Pukul 20.30

Pak Yanto: sudah sampai rumah?
Pak Yanto: akhirnya yah, bisa merasakan nikmat susumu, hehehe. Yahud.
Pak Yanto: kapan-kapan boleh merasakannya lagi?

"Enggak dibalas? Ayo dibalas saja. Pengen lihat gimana cara kamu bales chatnya Pak Yanto, nih...", kulempar ponsel Mirna ke dirinya langsung yang masih di sampingku.

"Nanti aja"

"Nunggu aku tidur?"

"Kalau dulu kamu bisa chat si Yanti ketika aku tidur, aku boleh dong?"

"Jadi aku boleh chat sama Yanti lagi?"

"Silakan, kalau mau kamu begitu, aku juga akan teruskan dengan Pak Yanto"

"Silakan! Jangan kamu menyesal aja, kamu terlanjur lanjut dengan Pak Yanto, tetapi faktanya aku dengan Yanti emang temen biasa aja, mau seperti itu?!"

"Enggak...."

"Sudahlah, enggak perlu kamu mikir macem-macem lagi soal aku dengan Yanti. Aku pun merasa cukup dengan semua ini. Kapan rumah tangga kita bisa lurus lurus kayak dulu lagi?! Aku mohon Mirna sudah, cukup hal ini. Jangan diteruskan lagi! Aku enggak tahu harus bagaimana meminta maaf kamu?! Supaya kamu percaya. Supaya kamu yakin. Pada dasarnya aku juga udah bertekad enggak akan aneh-aneh lagi, beneran Mirna, bener!", jawabku dengan nada tinggi sambil merengek-rengek, menitikkan sedikit demi sedikit air mata penyesalan. Aku menundukkan muka di hadapan istriku agar dia berhenti menyahut, memojokkan diriku yang mutlak sepenuhnya bersalah.

"Aku sudah puas, cukup dengan semua ini... aku malu, aku muak dengan semua fantasiku... aku minta maaf"

Malam itu aku tumpahkan segala penyesalan beriringan dengan kucuran air mata. Aku berharap Mirna benar-benar mau memaafkanku, terlepas aku lebih dulu memaafkan semua yang telah dilakukannya. Pada akhirnya kami bersepakat mengakhiri persoalan ini. Aku dan Mirna akan membuka lembaran baru dalam kehidupan rumah tangga. Dia menginginkan aku yang tidak berfantasi ngawur. Dia hanya ingin aku ketika bercinta serta segala sesuatunya, tidak ada yang lain. Aku juga memohon hal yang sama ke Mirna. Dia menyanggupi dan memaafkan segala kesalahanku. Aku berjanji teguh tidak mengulangi dan tidak memunculkan polemik di kemudian hari.

Satu hal tersisa &#039;menyimpang&#039; malam itu yang masih disanggupi oleh Mirna adalah kami bercinta, berhubungan intim karena aku masih dalam keadaan tanggung usai menyimak yang dilakukan Mirna dan Pak Yanto. Hubungan intim itu terasa berbeda, aku menganggapnya pertama dan terakhir. Pelunasan dari yang terjadi hari ini.

"Ini yang terakhir kali ya"

"Yaa, terakhir"

"Janji?"

"Janji, kamu juga?"

"Emmmmm janji, oke, aku percaya"

"Janji bahwa kita berdua enggak boleh berfantasi atau bertingkah laku macem-macem lagi. Jika ada salah satu yang melanggar atau menyeleweng, berhak ditegur sekalipun keras, bagaimana? Sepakat?"

"Sepakat?"

"Tapi, Aku boleh memohon satu hal terakhir sebelumnya"

"Apa?"

"Aku ingin bercinta", jawabku terbata-bata.

"Boleh"

"Karena kejadian hari ini masih menyangkut, mau kan kamu bercinta dengan aku, tapi kamu seolah menganggapku Pak Yanto?"

"Hhhmm...katanya kamu mau berubah? Aku jadi ragu lagi", Mirna memalingkan badan.

"Iyaaa, enggak apa-apa, kalau kamu menolak", jawabku menghela nafas.

Mirna tiba-tiba mencolekku. Ketika aku menoleh, ia mencium bibirku. Kami menutup malam dengan bercinta, mengharmonikan hubungan yang beberapa hari belakangan renggang. Aku mencumbui Mirna sebagai istriku. Mirna menganggapku juga dalam bayang-bayang, kendati di penghujung birahi yang mencapai puncak. Aku menuntut Mirna menganggapku sebagai Pak Yanto agar fantasi ini benar-benar segera keluar dari dalam pikiranku. Aku tidak mau tertekan terus menerus. Mirna mau mengerti.

"Aaaahhhh, Pak Yantoo, aku mau keluarrr, dikit lagi, ayukk"

"Orghhhh, sesek kontolku masuk memekmu, sayang", ucapku menyaru jadi Pak Yanto. Aku meminta Mirna ketika bercinta malam itu menganggapku seolah-olah adalah Pak Yanto.

"Aaaahhh, masih sempit yah memek Mirna?"

"Masiiihhhhhh...."

"Aaaaaahhhhh, Paaakkk, Mirna mau keluaaar"

"Aku juga sayaaangggg..... Arghhhhhh"

"Aaaaaaahhhh....."

"Arghhhhh enaaaak"

CROOT CROTT CROTT CROOOT

<div style="text-align: center">=Y='
"Hati-hati yaa Pah"

"Alhamdulillah sudah dipanggil papa lagi"

"Hihihi, seneng?"

"Seneng banget dong, apalagi sampai dibawain bekel"

"Kamu nanti pulang jam berapa?"

"Pulang kayak biasa kok"

"Hati-hati di jalan"

"Iyaaa", jawabku mulai mengerek sepeda motor ke arah pintu pagar.

Akhirnya aku meraih semua ketenangan yang aku cari selama ini, terlepas dari fantasi yang hilang-timbul mengusik kehidupan rumah tanggaku. Dia sedang surut. Fantasi ini tidak boleh mendatangi pikiranku lagi. Aku harus membuang jauh-jauh karena aku tak berkenan Mirna terbiasa &#039;menyerang&#039; dan aku suka menuntut. Alangkah memang lebih baik sekarang aku berdamai dengan pikiranku bahwa berfantasi istri berhubungan seksual dengan orang lain yang bukan suaminya ialah mutlak salah. Tidak boleh ada lagi ide semacam itu muncul dalam benakku. Tidak boleh. Harus tutup buku. Aku dan Mirna sudah bertekad bulat bahwa kami ingin meluruskan jalan yang kami telah lalui selama ini. Bukankah kehidupan rumah tangga yang harmonis itu sudah ideal? Kalau bosan, bukan menambahnya dengan perkara, tetapi dengan hal-hal baik. Kalau dimunculkan perkara, pada akhirnya akan muncul perkara.

Pamit dengan istriku untuk berangkat kerja, tidak ada kekhawatiran Mirna akan melanggar janjinya. Apalagi kami berdua saling mengawasi ponsel masing-masing. Aku dipersilakan memata-mata isi percakapan chat Mirna. Sebaliknya Mirna boleh memata-matai percakapan chatku, baik WA, tele&#039;gram, dsb. Hal itu adalah permulaan bagi kami membangun kepercayaan yang telah memudar. Kami harus terbuka satu sama lain.

...................................


====================


Babak Baru</span>

"Solusinya ya satu itu, rasanya enggak mungkin juga sudah penyakitan begitu kerja model begini"

"Ada benernya, lalu harus bagaimana?"

"Digantiin saja dengan yang muda, katanya ada yang perlu lowongan kan? Dia saja yang gantikan"

"Pak Yanto lantas dioper ke mana?"

"Suruh tidur pak! Istirahat di rumah! Kelonan sama bini! Hahahahaha.", seorang karyawan menyahut pembicaraanku dengan Jajang.

"Wuuushhhh, lanjut kerja!"

"Aku juga meragukan. Awalnya dikira baik-baik saja, beliau sehat, ternyata ada riwayat jantung"

"Mau tanggung jawab kalau ada karyawan mati di tempat kerja?"

"Siapa mau?"

"Dirimu lah..."

"Asal sekali mulutmu bicara, Jang!"

"Hahahahaha"
"Terserah saja, saran aku jelas itu!"

"Hhhhmmmm"

Menjelang jam istirahat, aku berdiskusi singkat dengan Jajang seorang sahabat sekaligus karyawan di perusahaan ini yang menjabat sebagai Kepala Divisi Gudang. Dalam usia 40 tahun, Jajang sudah berumah tangga. Istri dan anak-anaknya tinggal di daerah Depok sehingga ia tergolong &#039;paling disiplin&#039; tiba di kantor yang letaknya di daerah Bekasi ini. Sampai-sampai ia jarang pulang ke rumah karena terlampau jauh jarak yang harus ditempuh. Jajang memegang tanggung jawab penuh pengawasan dan operasional gudang. Dia mengetahui jumlah pasti berapa yang akan didistribusikan keluar, serta barang-barang yang dinilai layak untuk didistribusikan. Alhasil, tanggung jawabnya cukup besar. Oleh karena itu, aku meminta pendapat Jajang apakah Pak Yanto pantas bekerja di bagiannya dengan kondisi riwayat penyakit Jantung. Dengan tekanan bekerja yang cukup berat, Jajang malahan menganjurkan Pak Yanto dipindahkan ke divisi lain saja. Ia meminta tenaga yang lebih muda dan bersemangat ketimbang orang tua.

Aku tidak memperoleh jawaban dan tak mau menanggung risiko jika Pak Yanto harus menanggung derita penyakitnya. Paling realistis adalah Wawan. Akan tetapi, aku takut menyinggung perasaan Pak Yanto. Dia yang menawarkan pekerjaan ke Wawan, tetapi malah dia yang gugur. Aduh. Aku harus bilang bagaimana ya.

PPPRRRRIIIIIWWWWWITTTTT!!!
Rani, Pak!
Suit Suit Suit!

Tiba-tiba beberapa karyawan saling melempar siulan ketika Rani sekedar lewat.

"Hooyyyy! Fokus kerja!"

"Hahahahaha"

"Ada apa? Kenapa harus bersiul?", tanyaku kepada para anak buah Jajang. Sebetulnya bukan hal yang baru kalau Rani menjadi primadona di kantor kami. Apalagi sampai disiul-siul.

"Ada yang lagi modusin bini orang, Pak"
"Aahaaaaay"
"Hahahahahahaha"

"Serius?! Siapa? Bos kalian ini?!", tanyaku sambil menunjuk ke Jajang.

"Sudah, sudah, jangan didengerin.."

"Hahahahahahah", tawa mereka menimpali pertanyaanku seolah-olah enggan menjawab, namun menyiratkan sesuatu.

"Sudah berapa lama?!"

"Balik ke tempatmu sana, hush, hush, hush"
"Di kantor itu bekerja, bukan tempat menggosip"

"Sudah lama Pak! Uhuy!"

"Diem-diem kamu ya, Jang. Aku enggak sangka loh", ujarku didesak-desak Jajang untuk segera pergi.

Aku dan Jajang adalah salah dua karyawan lama di kantor ini yang telah bekerja lebih dari 15 tahun. Kami dulu pernah berada dalam satu divisi yang sama, yaitu produksi. Namun karena Jajang memperoleh kenaikan jenjang karier, ia mendapatkan promosi jabatan yakni Kepala Divisi Gudang. Sementara aku digeser ke bagian pemasaran. Kami tidak berkomunikasi secara dekat lagi semenjak perpindahan tersebut. Akan tetapi kami tetap sapa-menyapa apabila bertemu, diselingi guyon mencairkan suasana yang beku karena hubungan bekerja yang tak seakrab dulu.

<div style="text-align: center"><a href="https://imgbox.com/wBrgg0WR" target="_blank" class="link link--external" rel="nofollow ugc noopener"><img src="https://thumbs2.imgbox.com/d3/08/wBrgg0WR_t.jpeg" data-url="https://thumbs2.imgbox.com/d3/08/wBrgg0WR_t.jpeg" class="bbImage " loading="lazy"
         style="" width="" height="" /></a>
Jajang'
Jajang memiliki tinggi badan yang melampauiku, lebih gagah, dengan postur gempal nan atletis, sebanding dengan porsi makanan yang masuk ke tubuhnya. Kalau sudah makan, Jajang jagonya. Ia biasa menjatah dua piring nasi penuh dengan dua lauk sekaligus ke dalam perut. Ia makan dua kali sehari, namun betul-betul sampai kenyang serta dibarengi tenaga yang terkuras karena bekerja. Keseharian berpanas-panasan, sering terjun ke lapangan, kulitnya terpanggang cokelat dengan bintil-bintil di lengan. Ia tidak peduli dengan perawatan muka atau badan demi mencari nafkah untuk keluarganya. Rambut cepak berjambul yang tersarung handuk kecil berwarna merah menutupi kepalanya. Jajang tidak memberikan ruang banyak bagi keringat untuk mengusik fokusnya bekerja. Ia seka keringat yang jatuh di dekat telinga. Badan sudah basah, kemeja yang berbau asam itu telah dicopoti dua kancing bagian atasnya. Jajang duduk di bangku tepat di bawah kipas angin.

"Sudah makan siang dulu sanaah.."

"Ayo aku traktir, sudah lama kita tidak makan bersama"

"Pasti kamu mau menyelidikiku kan? Aku sudah hafal gayamu. Selalu ingin tahu urusan orang"

"Hahahahha"

"Tidak ada untungnya buat kamu yang tidak pernah merasakan LDR"

"LDR?! Kamu yang LDR? Apa Rani?! Hahaha"

"Ah sama saja dengan ya lain", ucap Jajang menyalakan sebatang rokok. Kami berdua bercengkerama di halaman luar, duduk di bangku kayu panjang sembari disambut senyum penjaja warung indomie yang menjual kopi, teh, dan rokok.

"Aku hanya ingin tahu benar atau tidak kata mereka"

"Kalau benar apa untungnya? Salah pun apa?"

"Ingat istri dan anakmu di rumah", tegurku berlagak bijak memberi nasehat kepada salah seorang teman baik.

"Arghh jangan ceramah di sini, salah alamat. Mengapa kamu malah ceramahi aku?"

"Sekedar ngingetin"

"Mestinya mereka yang kamu ingatkan, tukang Gosip!!"

"Hahahahaahah"

"Jadi tidak mau makan bareng nih?"

"Tidak usah, mentahannya saja"

"Ah kamu ini, tidak pernah berubah", kelakarku meninju lengan Jajang.

"Mirna bagaimana kabarnya?"

"Baik, lebih baik dari keluargamu di sana", ucapku akhirnya terpaksa tidak makan siang, melainkan menemani Jajang duduk di warung.

"Istrimu cantik, anakmu penurut, tentunya pantas lebih baik"
"Ada yang lebih dirindukan, ketimbang kepala keluarga yang dituntut pulang membawa uang"

"Rani?"

"Ah kamu ini, yang ditanya Rani lagi, Rani lagi. Kamu yang naksir jangan-jangan?"

"Mana mungkin, istriku juara!"

"Sombong!"

"Hahahahahah", semakin Jajang menghindar, semakin aku penasaran dengan yang dia sembunyikan.

<div style="text-align: center"><a href="https://imgbox.com/ZVanBa4N" target="_blank" class="link link--external" rel="nofollow ugc noopener"><img src="https://thumbs2.imgbox.com/c3/fa/ZVanBa4N_t.jpg" data-url="https://thumbs2.imgbox.com/c3/fa/ZVanBa4N_t.jpg" class="bbImage " loading="lazy"
         style="" width="" height="" /></a>
Rani'
Rani adalah staf administrasi kantor kami. Dia adalah seorang istri yang merantau demi suami dan putranya di kampung halaman. Rani berusia 33 tahun. Dia tinggal kos dekat dengan perusahaan. Banyak laki-laki, baik yang sudah berkeluarga atau yang lajang berusaha mendekati Rani, memanfaatkan kesepian perempuan itu yang harus rela melakoni hubungan jarak jauh dengan suaminya. Rani bekerja di kantor kami sudah 3 tahun. Selama itu ia dengan sabar menjalani hubungan LDR dengan suaminya. Ketika aku pernah bertanya, mengapa suaminya tidak diajak kemari saja, konon jawabannya ialah suaminya mempunyai usaha warung serta anak semata wayang mereka berdua yang berusia 4 tahun belum bisa ditinggal sendiri.

Dibanding Mirna, Rani memiliki postur badan lebih pendek, yakni 160 cm. Tubuhnya juga tergolong tidak terlampau gemuk, lekuk-lekuk tubuhnya menumpuk lemak yang terbilang kencang sehingga dibilang kurus pun tidak juga. Bokongnya lebih mungil daripada bokong Mirna, barangkali suaminya di kampung bisa mengendong istrinya dengan amat mudah. Yang mencolok apabila di kantor adalah postur bulat payudaranya sehingga Rani kerap menggunakan rompi rajut untuk membentengi gunung kembarnya agar tidak terlalu tertangkap di benak atau tatapan pria genit, nakal, dan bengal.

"Jang, kemari sebentar!"

"Ada apa?! aku sedang ngaso!", ketika diteriaki dari depan perusahaan, Jajang lantas berdiri.

"Kau dipanggil itu sama HRD!"

"Ada urusan apa?!"

"Mana tahu, buruan!"

"Nanti saja!"

"Penting!

"Haduh, tidak bisa lihat orang sedang istirahat apah ini", gerutu Jajang membanting sebungkus rokoknya di atas meja, hampir mengenai ponselnya sendiri. Karena sudah terlanjur mengasap, Ia mematikan sejenak puntung rokok di asbak.

"Datangi sebentar..."

"Titip dulu"

"Ada masalah?"

"Gosip murahan"

"Hahahaha, Roni?"

"Terserah kaulah!"

"Beres!"

Jajang pergi meninggalkan warung. Langkahnya pantang kecut menghadapi masalah, walau harus berhadapan dengan bos sekalipun. Nilai-nilai yang dianggapnya benar pasti akan diperjuangkan keras, kendati harus berbantah-bantahan dan adu pendapat sengit. Ia pernah terdengar ribut dengan bos atau rekan kerja lainnya, suara percakapan mereka yang seolah-olah sedang berlomba-lomba melengking terdengar oleh kami yang sedang serius bekerja. Kalau bukan karyawan yang paling diandalkan, barangkali kontrak kerjanya sudah diputus. Aku menghening menanti kehadirannya lagi. Penjaja warung memanggil-manggil, menawarkan semangkuk indomie atau segelas kopi panas. Aku menampik, memegang ponsel Jajang jauh lebih menggiurkan. Tanganku gemetaran ingin mencari tahu kebenaran pasti mengenai dugaan asmara terselubung antara Jajang dan Rani. Aku melihat mereka berduaan justru tak pernah. Entah dari mana prasangka-prasangka itu muncul. Apakah anak buahnya pernah memergoki mereka berdua di luar jam kerja? Aku ingin menanyakan satu per satu, tetapi khawatir mereka mengadukan ke Jajang terkait rasa penasaran ini. Beberapa kali ponsel Jajang kusentuh seraya menatap awas ada yang melihat. Apalagi kemunculan Jajang yang mendadak tidak diharapkan sementara.

Siang Hari Pukul 11.11  

Jajang: Enggak usah didengerin, mereka kumpulan orang-orang sirik.
Rani: tapinya chat-chat Mas semalam udah dihapuskan?
Jajang: sudah, tenang. Sebetulnya kalau enggak dihapus juga enggak akan ada masalah.
Rani: Aku takut ada yang baca. Istri Mas enggak tahu soal ini?
Jajang: Tahu. Sebatas teman.
Rani: tolong hapus-hapusin dong foto-fotoku yang kemarin-kemarin.
Jajang: Sudah dihapus, kok kamu enggak percayaan.
Rani: Ya khawatir kesebar ke mana mana, Mas Jajang doang kan yang tahu?
Jajang: Iya cuman aku.
Rani: pulang kantor mau langsung balik?
Jajang: aku menginap
Rani: enggak kangen dengan istri sama anak?
Jajang: kangen, tapi seminggu sekali itu paling memungkinkan. Dipaksa setiap hari, bisa habis ongkos, lelah di jalan juga
Rani: Emmm…
Jajang: suami kamu bagaimana? Sudah ada jawaban?
Rani: lagi males bahas dia.
Jajang: anakmu sendiri sudah mulai terapi bicara kan?
Rani: sudah, ibuku yang menemani.
Jajang: keterlaluan yah, lanjut bekerja dulu. Ingat jangan didengerin omongan orang-orang di sini.
Rani: Mas sih, kan aku udah bilang, jalannya seharusnya malam, jangan sore-sore, kepergokkan?
Jajang: Hanya satu orang yang tahu, sudah kujewer mulutnya
Rani: udah terlanjur kesebar.
Jajang: Santai yaaa, aku yang urus.
Rani: Aku takut dipecat, Mas.
Jajang:  Siapa berani?

Aku buru-buru meletakkan ponsel Jajang jauh-jauh karena mendengar percakapan rusuh Jajang dengan bagian HRD. Kegaduhan itu mengundang perhatian satpam dari halaman depan perusahaan. Ia tergopoh-gopoh masuk ke dalam. Beberapa karyawan yang berada di luar saling memandang, menebak-nebak sendiri kehebohan yang sedang terjadi. Penjaja warung turut bertanya menduga dengan versinya. Ia tampak lebih hafal bahwa kegaduhan lazimnya timbul ketika Jajang beradu mulut dengan siapapun yang mengajak pertikaian pendapat, ditambah kondisi sedang memanas membahas sesuatu. Aku tersulut untuk mengetahui pokok permasalahannya. Ponsel dan bungkusan rokok Jajang lekas kubawa, setumpuk pertanyaan menggenap di kepala.

“Kalau menuduh buktinya harus jelas! Tunjukkan! Mana?!”

“tenang dulu Pak Jajang, kita enggak menuduh, hanya bertanya baik-baik”, Alex, karyawan muda bagian HRD meminta Jajang untuk duduk, namun kekesalan Jajang meledak.

“sama saja! Kalian bertanya itu dasarnya apa?! Kalau belum punya dasar atau bukti, tidak seharusnya kalian mempertanyakan itu ke saya. Paham?!”, tutur Jajang sambil menunjuk-nunjuk.

“kami paham, coba bapak simak baik-baik apa yang kami tanyakan, kami sekedar bertanya dengan baik-baik, yang diceritakan teman-teman itu benar atau tidak? Kalau tidak, kami akan bantu meluruskan”

“Kalau benar?! Kalian mau pecat?! Ayo silakan pecat! Saya tidak takut! Rezeki itu bukan hanya di sini!”

“Tidak ada yang mau memecat, kami hanya menjalankan peraturan Pak. Kami mendapat informasi, langsung kami verifikasi”

“Seumur-umur saya bekerja di sini, tidak pernah ada HRD memdebat masalah sepele macam ini. Saya mengerti peraturan harus ditegakkan, tetapi kalian bertindak jangan berdasarkan asumsi, harus punya dasar! Bukti!”

“Ya sudah Pak Jajang, sekarang bapak duduk dulu, kami sama sekali tidak ada bermaksud menuduh apalagi niatan memecat bapak”

“Muka-muka seperti kalian ini perlu belajar banyak lagi, bagaimana cara memperlakukan karyawan dan menegakkan aturan”
“Saya tidak mau berlama-lama di sini, saya lapar”
“Saya harap tidak ada pembicaraan lebih lanjut, kecuali kalian sudah ada bukti, nah silakan panggil saya kembali”

Jajang keluar membanting pintu. Aku terkejut, memupuskan keinginan melempar pertanyaan ke Jajang karena batinnya sedang berapi-api. Raut muka memerah, nafas menderu-deru. Aku mengikuti langkah gegas yang bergerak menuju warung makan terdekat. Di sana aku menikmati makanan yang kulahap seraya menanti Jajang yang melontarkan kalimat lebih awal. Aku mengumpan dengan memberikan ponsel dan sebungkus rokok miliknya selesai makan. Akan tetapi tidak ada yang terutarakan.

Apakah ia begitu pusing memikirkan masalah yang dicurigai HRD? Seandai aku tadi sempat mengambil potongan percakapan WA yang ada ponsel Jajang serta menunjukkannya, mungkin HRD mempunyai alasan yang kuat untuk membungkam Jajang. Namun aku bukan seorang teman yang menusuk dari belakang. Aku hanya sedih mengapa ia sembunyi-sembunyi menautkan hati pada seorang wanita sesama rekan kerja. Padahal dalam perusahaan ini jelas-jelas dilarang keras antar sesama karyawan menjalin cinta. Kalau selingkuh?

<div style="text-align: center">=Y='
"Kamu hari ini ngapain aja?", tanyaku duduk memegang ponsel sembari memandangi Mirna, istriku.

"Nyuci, bersih-bersih rumah, masak, tidur, sama nonton televisi"

"Rengga ada di rumah?"

"Ada, baru pulang dia"

"Perasaan aku kuliah dulu enggak terlalu sering nginep di rumah temen"

"Beda zaman, Paaah", jawab Mirna keluar mengenakan daster, namun jaket menghangatkan dan melindunginya dari percikan air hujan.

"Masa sih? Sama aja ah"

"Beda, Rengga juga kuliahnya di Depok"
"Papa kan di Jakarta aja, enggak ke mana-mana"

"Siapa bilang, aku pernah mendaki Gunung Semeru loh"

"Bukan itu maksudku, ish nyebelin"

"Hehehe"

Sepulang kerja aku makan malam bersama Mirna. Sayangnya, Rengga tidak ikut bersama kami. Ia sedang sibuk mengerjakan tugas kuliahnya. Katanya menyusul, tetapi tidak menghampiri juga, sedangkan kami menunggu. Aku tidak mengganggap masalah. Anak itu telah beranjak dewasa, semustinya sudah bisa bertanggung jawab atas keputusannya sendiri. Setelah menyantap sambal goreng ati dan ayam goreng yang dimasak oleh Mirna, aku duduk santai di halaman depan, menyaksikan hujan turun deras gemericiknya membasahi taman depan rumah. Mirna menemaniku, membawakan secangkir teh panas dan sepiring kecil biskuit. Kami mendinginkan suasana dengan sejuknya udara beriringan dengan hujan yang terus turun membasahi pepohonan. Sederhana, bahagia.

Aku bercengkerama mengenai kejadian hari ini. Satu yang aku syukuri, aku dengan Mirna seumur hidup tidak pernah mengalami hubungan jarak jauh. Kalau pun harus, pasti seminggu berselang aku akan meminta Mirna tinggal bersamaku. Mana mungkin aku rela meninggalkan istri seperti Mirna hanyut dalam kesepian. Aku di dekatnya saja Pak Yanto yang notabene penyakitan tergiur mendekat. Ah, sudahlah, itu masa lalu. Lagipula karena ulahku juga.

"Suaminya ada main kali mas?"

"Aku enggak tahu, denger dari orang kantor, suaminya betahan di kampung"

"Warungnya itu toko atau gimana? Aku yakin lebih besar penghasilan istrinya, kecuali warungnya itu bener-bener laris"

"Ya kita prasangka baik saja"

"Aku kasihan sama anaknya, kok tega masih sekecil itu udah jauh dari ibunya"
"Aku rasa anaknya lambat bicara juga karena bapaknya gak ngurusin, banyakan ngurusin warung jangan-jangan"

"Kalau kata Jajang sih begitu, yang urus anaknya malah ibunya dia sendiri"

"Kok bisa sih dibetah-betahin tinggal sama suami seperti itu?"

"Kalau aku begitu, kamu betah?"

"Enggak!"

"Hahahaha, ya sudahlah, namanya juga jalan hidup orang, kita gak usah ikut campur"
"Nyimak ceritanya ajah"

"Kamu ya, laki tapi demen dengerin gosip"

"Aku kebetulan denger, yang gaduh kan Jajang, ya terpaksa nimbrung"

"Alesan banget si Papah", ucap Mirna, mengambil biskuit yang nyaris belum kusentuh.

Malam Hari Pukul 20.15

Aku: Alhamdulillah sudah pulang ke rumah ya Pak, maaf nih belum ada kesempatan nengokkin, besok pagi mungkin sambil berangkat ke kantor.
Pak Yanto: iya hehehe, lebih nyaman rebahan di rumah sendiri. Kasurnya empuk, lebih seneng lagi gak ada jarum nusuk di tangan, hahaha.
Aku: sudah dicabut infusnya hari ini? Saya kira bakal terus di rumah.
Pak Yanto: ya enggaklah, kalau masih dicantolin, aku cabut sendiri sajah
Aku: serem banget. Oh ya Pak, hhmmm (Aku bingung bagaimana mengungkapkan perihal lamaran kerja Pak Yanto, yang semustinya diterima, jadi dibatalkan karena dia memiliki riwayat penyakit jantung)
Pak Yanto: iya ada apa?
Aku: Pak Yanto punya kemampuan atau kompetensi lain gak, selain kerja ngangkat-ngangkat?
Pak Yanto: yang enggak pakai mikir Pak Riko, hehehe.
Aku: oh gitu hahaha.
Pak Yanto: memangnya ada apa?
Aku: gini pak, kan bapak baru sembuh, saya kira bapak jangan langsung kerja angkat-mengangkat, takutnya kumat.
Pak Yanto: Emmhh...
Aku: yang ringan-ringan dulu
Pak Yanto: untuk Wawan apakah sudah diusahakan?
Aku: sudah Pak. Alhamdulillah. Dia akan bekerja di divisi yang sama dengan bapak, hanya saja bapak kan belum pulih betul, ya Wawan akan bekerja duluan.
Pak Yanto: buat saya enggak ada masalah, yang masih muda dikasih kesempatan, daripada terlalu lama menganggur di rumah.
Aku: Semoga cepat pulih Pak Yanto
Pak Yanto: iya terima kasih doanya.

"Pak Yanto enggak ada nyinggung soal kemarin kan?", tanya Mirna mengintip balas-membalas chat antara aku dengan Pak Yanto.

"Kenapa? Mau dibahas?"

"Jangan"

"Pak Yanto ada chat kamu?"

"Kan kamu bisa cek sendiri di hape, bukannya dah ahli?"

"Enggak ada sih", jawabku tidak melihat aktivitas Mirna berselancar di media sosial mana pun

"Aku enggak akan ngelanggar janji kayak kamu", tuding Mirna.

"Kali ini aku akan memegangnya sungguh-sungguh"

"Aaamiiin"

"Enggak coba dibalas aja? Dicandaain", ucapku tersenyum.

"Enggak ah, nanti aku maksud bercanda, kamunya malah berfantasi"

"Hahahaha, yaudah enggak usah"
"Bagaimana ya ini?"

"Ya jangan dipaksakan, kalau enggak ada, Mas. Bukan rezekinya Pak Yanto juga"

"Hhhmmm, bagaimana bilangnya?"

"Ya apa adanya", ujar Mirna menatapku.

"Baiklah, besok aku bilang apa adanya"

Hujan yang turun semakin lebat mengusir kami untuk masuk ke dalam. Jalanan depan perumahan kuyup, nyaris tak ada yang lewat kecuali para penghuni yang baru pulang kerja. Tukang nasi goreng yang biasa berkeliling meneduh di pos satpam gerbang depan klaster. Angin bertiup kencang, meruntuhkan dedaunan yang mulai berserakan di jalan. Pintu rumah kututup dan kunci rapat-rapat. Mirna mencopot jaketnya dan masuk ke kamar mandi. Ponselnya ditinggal di atas meja ruang tamu. Anehnya, aku tidak sepenasaran ketika masih berfantasi. Aku merasa sudah leluasa mengawasi gerak-gerik istriku karena dia juga sudah mengizinkan selama aku tidak melanggar perjanjian.

Akan tetapi beberapa menit kemudian Pak Yanto menghubungi Mirna melalui sambungan telepon biasa. Aku ingin mengangkatnya takut dikira aku yang justru menghubungi Pak Yanto. Lebih baik abaikan saja. Lagipula baik aku dan Mirna telah terikat perjanjian.

"Pak Yanto, telepon kamu ada apa?"

"Enggak tahu tuh, kenapa kamu enggak jawab?"

"Takut kamu kira aku yang nelepon dia"

"Aku kan sudah percaya sama kamu Mas, enggak perlu takut selama kamu benar"

"Yaudah nanti kalau dia telepon lagi, aku angkat deh"

Setelah ditunggu-tunggu hingga aku sudah berbaring di kamar, malah Pak Yanto tak ada menelepon kembali. Aku pikir dia salah tekan. Aku periksa seluruh saluran media sosial Mirna juga tak ada pesan yang masuk pun pesan biasa yang tercantum di ponsel. Riwayat panggilan juga demikian. Pada akhirnya aku memutuskan tidur menyusul Mirna yang sudah pulas.

<span style="font-size: 18px">Keesokan Pagi...</span>

"Mau ditemenin?"

"Kamu mesti siap-siap berangkat kerja, Paah"

"Terus kamu sendirian?", tanyaku baru bangun tidur, menengok Mirna yang sudah mencuci muka dan berganti pakaian. Ia mengenakan celana kain batik dan kaos berkerah warna abu-abu gelap.

"Bareng Bu Aminah"

"Supaya enggak digangguin Pak Yanto ya, makanya belanjanya langsung di pasar?"

"Enggak juga yeee"

"Hahahaha, yaudah hati-hati ya, awas dompetmu ketinggalan"

Ketika Mirna berangkat ke pasar pukul 5 pagi lewat 15 menit, aku belum memutuskan beranjak dari tempat tidur. Tubuh ini masih ingin bergontai di ranjang. Kantuk belum hilang. Aku ingin menyelesaikannya. Lagipula aku biasa bangun pukul 5 pagi lewat 30 menit.
Astaga! Aku harus bangun lebih awal karena mau mampir ke rumah Pak Yanto! Karena rasa malas yang luar biasa, maksud baik tersebut luntur seketika. Di samping itu, yang seharusnya bangun tepat waktu, justru terlewat. Aku terbangun ketika Mirna sudah pulang membereskan dapur. Ia mengeluarkan barang belanjaannya.

"Kamu baru bangun?"

"Iyaa, ngantuk banget", jawabku membawa handuk berjalan menuju kamar mandi.

"Buruan mandi, Paah. Ini sudah jam berapa?"

"Ini baru mau"

"Tadi aku ketemu Pak Yanto di jalan"

"Hah? Terus? Ada ngomong apa?", langkahku terhenti.

"Nanya aja, kamu masih berfantasi gak? Aku jawab enggak"

"Henghh..."

"Dikira dia akan lanjut"

"Hhhmmm ternyata dia ngarep"

"Bukannya kamu?", tanya Mirna menggelitik.

"Dulu, sekarang enggak"

"Buruan mandi, Mas", desak Mirna.

"Iyaaaaa sayang"

Aku tidak menyangka setelah Mirna berhasil memacunya klimaks, Pak Yanto menagih yang lain. Bukan menagih, lebih tepatnya menanyakan kembali apakah aku masih hilang-timbul fantasinya? Beruntung sudah. Tidak terbersit sekalipun di benakku hari ini keinginan Mirna berhubungan seks dengan pria lain. Aku sedang penasaran dengan hubungan Jajang dan Rani sejauh mana mereka akan berlayar dan sembunyi-sembunyi. Ditambah keduanya sedang berjauhan dengan pasangan masing-masing. Apakah mereka yakin menempuh jalan perselingkuhan?

Belum membasuh dengan sabun, Mirna memanggil-manggilku, namun Aku tidak berkenan keluar kamar mandi karena belum sepenuhnya selesai membersihkan diri. Ketika aku berusaha membuka pintu sedikit dan mengintip keluar, Mirna mengatakan kepadaku bahwa Wawan mencari. Aku minta Mirna menyampaikan ke Wawan untuk menunggu sebentar. Aku akan menemuinya setelah selesai mandi.

"Ada apa pagi-pagi ke sini ya, Wan?", tanyaku dengan pakaian seadanya.

"mau nanya perihal lamaran saya pak, kata Pak Yanto, bapak mau membantu mencarikan pekerjaan untuk saya?"

"Ohh soal itu, saya belum bisa menjelaskan pasti kamu bakal diterima atau enggak, nanti saya informasikan lebih jelasnya kalau sudah dapat info"
"Yang suruh kamu ke sini siapa?"

"Inisiatif sendiri pak, hehehe"

"Ohhh ya sudah saya masuk ke dalam lagi ya, sebab buru-buru ini"

"Silakan pak, saya juga sekalian mau pamit"

Berbicara tidak ada 10 menit, aku kaget dengan kehadiran Wawan yang tidak direncanakan. Aku mengenakan pakaian tidur sehabis mandi untuk menemui Wawan. Untungnya cepat selesai. Menengok ke arah jam dinding, aku sudah diburu waktu. Aku melesat masuk ke kamar. Di dalam kamar, aku mendapati Mirna mengenakan daster yang tak pernah aku memberikan apalagi membelikannya.hh
<div style="text-align: center">
<a href="https://imgbox.com/FoJwbnMp" target="_blank" class="link link--external" rel="nofollow ugc noopener"><img src="https://thumbs2.imgbox.com/19/08/FoJwbnMp_t.jpeg" data-url="https://thumbs2.imgbox.com/19/08/FoJwbnMp_t.jpeg" class="bbImage " loading="lazy"
         style="" width="" height="" /></a>'
"Dikasih daster lagi sama Pak Yanto", ujar Mirna sembari bercermin, memperlihatkannya kepadaku

"Dititip ke Wawan?"

"Iya", Mirna mengangguk dengan raut wajah keruh. Aku tidak dapat memberi banyak komentar karena sudah diuber-uber waktu berangkat kerja.
..........................

====================

SEJOLI</span>

Sekilas hubungan Jajang dan Rani tidak seharusnya menimbulkan prasangka. Mereka berinteraksi sebagaimana rekan kerja lainnya.  Tidak pernah kelihatan makan bersama, tidak berduaan saat jam istirahat, atau gelagat bermesraan saat jam kerja. Mereka justru berkomunikasi murni karena pekerjaan. Lagipula tidak terkesan tampak akrab seperti yang diperkirakan rekan-rekan, kecuali anggapannya berasal dari seorang karyawan yang pernah memergoki mereka jalan berdua.   Ditambah yang aku tangkap dari percakapan chat antara Jajang dengan Rani. Sayangnya, aku tidak berkenan membocorkan karena akan memperuncing suasana.

Jajang juga tidak pernah membicarakannya di kantor sejak pertentangannya dengan bagian HRD. Ledek-ledekan dan sindir-menyindir menghilang akibat kegaduhan tersebut. Anak buahnya membungkam diri, meyakini bahwa yang dinyatakan Jajang benar walau sebagian tetap yakin, memilih menutup mulut tidak ingin kegaduhan berulang. Mereka tidak punya bukti, hanya kesaksian seseorang yang tak pernah memggembar-gemborkan. Kehebohan disebabkan oleh mereka yang senang melempar candaan, tak mengira itu merupakan gosip yang memanas-manasi.

Di sisi lain, teman-teman Rani tak tahu menahu kedekatan Jajang dengan Rani. Mereka justru mendapatkan informasi dari isu yang dihembuskan para anak buah Jajang. Tak heran, Jajang yang menjadi sasaran.

"Kosannya sepertinya nggak jauh dari kantor kok Pak"

"Kamu pernah ke sana?", tanyaku bersua dengan anak buah Jajang di tempat parkir.

"Belum, tapi aku tahu mereka sering ketemuan di mana"

"di mana?"

"Mall XXX"

"Nanti bisa temani?"

"Mau langsung pulang pak, khawatir kena macet. Pak Jajang juga lembur"

"Ooh iya"

"Mendung juga pak", jawabnya menunjuk langit.

"Mall XXX kan luas, di mananya?"

"Itu yang saya enggak tahu, namanya kadang suka lihat, ngacak atuh"

"Susah ini, kalau enggak tahu detail tempat ketemuannya mereka"

"Maaf pak, saya pamit pulang duluan ya"

"Iyaa silakan"

Karena rasa keingintahuan yang begitu kuat, aku mengundurkan waktu kepulangan. Aku kembalikan posisi motor ke semula dan berjalan menuju ke ruangan kerja Jajang. Ia lembur hari ini. Aku berharap ada yang bisa dikulik dari hubungan terselubung Jajang dan Rani.

"Belum pulang?"

"Belum"

"Ada apa? tumben kemari?"

"Ponselmu bagus, Jang. Aku bermaksud ganti hape"

"Hape lama ini kamu bilang bagus?! mencurigakan..."
"Sudah katakan apa maksudmu ke sini..."

"Pengen ngobrol-ngobrol aja. Sudah lama kan kita tidak ngobrol sepulang kerja?"

"Tapi aku masih banyak kerjaan, lebih baik kamu yang pulang, binimu sudah menunggu"

"Bisa diatur"

"Jangan ganggu aku dulu", ucap Jajang sedang memeriksa berkas-berkas.

Ketika aku hendak duduk di ruangannya, tiba-tiba sebuah panggilan telepon masuk, ternyata dari Mirna, istriku. Ia mengabarkan bahwa Pak Yanto barusan menghubunginya dan menyebut mau ke rumah malam nanti. Mirna juga mengatakan Pak Yanto sebetulnya sudah memberitahukanku via WA, namun belum ada tanggapan. Aku periksa ponselku, chat dari Pak Yanto telah diterimaku 15 menit yang lalu, tetapi karena sedang fokus permasalahan Jajang membuatku lengah tak menyadari. Terpaksa aku harus kembali ke tempat parkir karena Jajang pula tidak menyambut hangat kehadiranku di ruangan kerjanya.

"Mau kemana?"

"Pulang, kamu kan sedang tidak bisa diganggu"

"Hhhmmm, kemari dulu"

"Kenapa?", tanyaku hampir membuka pintu ruang kerjanya.

"Duduk dulu..."

"Aneh, tadi katanya tidak bisa diganggu"

"Ya duduk dulu, sini...", ucap Jajang mendesak.

"Enggak usah"

"Kamu ke sini karena masih penasaran hubunganku dengan Rani kan?", tanya Jajang tersenyum.

"Enggak"

"Bohong! Mengaku sajalah..."

"Untuk apa?"

"Yang mestinya tanya begitu, jelas aku, bukan kamu!", tuding Jajang.
"Tidak ada kesibukan lain selain mencampuri urusan orang lain?"

"Memang bukan urusanku, sudah?!", jawabku tegas dan bergegas keluar ruangan.

"Heyy! Riko!! Tunggu!"

Aku telah menyia-nyiakan waktu kembali ke ruangan kerja, sedangkan Jajang mempertahankan sikapnya. Aku tidak seharusnya mengurusi lagi masalah itu. Jajang mulai merasa aku terlalu ingin tahu. Aku sebaiknya sembunyi-sembunyi saja, barangkali akan terungkap dengan sendirinya. Lagipula hubungan Jajang dan Rani betul sudah terjalin, tidak ada seseorang yang pintar menutup bangkai, kecuali akan tercium juga. Ditambah sudah ada yang melihat, besar kemungkinan akan ada yang melihat lagi. Jajang sudah pasti bersiap menanggung risiko terlepas ia masih bisa tenang hari ini. Demikian Rani tak selamanya bisa berlindung pada Jajang.

Satpam kantor menyapa, mengira ada yang tertinggal sehingga aku keluar-masuk. Aku melepas senyum tak memberikan jawaban karena terlanjur kesal dengan sikap Jajang.

Sore Hari Pukul 17.40

Aku: iya boleh pak, kira-kira jam berapa?
Pak Yanto: setengah 8 malam, Pak Riko sedang tidak sibukkan?
Aku: oh enggak. Kalau sudah di rumah, saya enggak mengurus kantor.
Pak Yanto: Saya mau ngobrol santai saja nanti.
Aku: silakan, Pak Yanto sudah pulih betul, belum?
Pak Yanto: belum, tetapi saya bisa stres kalau lama-lama di rumah terus. Mana harus mengurus diri sendiri.
Aku: bener juga ya, dibikin rileks saja Pak. Apalagi Pak Yanto sudah pulang, tinggal rutin kontrol dan mulai hidup sehat.
Pak Yanto: bener banget Pak Riko, tapi apa boleh buat saya hidup masih bergantung dengan kiriman anak, makan apa adanya.
Aku: sayur-sayuran, tempe-tahu jauh lebih sehat daripada beli-beli di warung, belum tentu terjaga kebersihannya.
Pak Yanto: jadi malu saya dinasehati. Hehehe
Aku: enggak masalah justru saya pengen Pak Yanto sehat.
Pak Yanto: terima kasih. maaf Pak Riko, ibu apa sudah terima daster pemberian saya?
Aku: sudah, wah terima kasih banyak ya Pak. [Dalam hati aku masih heran mengapa ia masih berani membelikan daster untuk Mirna]
Pak Yanto: alhamdulillah, supaya Pak Riko tambah betah di rumah, panas terussss hahahaha.
Aku: ah bisa saja Pak Yanto. Hehehe. Maaf, disambung nanti ya Pak, saya masih di kantor ini, persiapan pulang.
Pak Yanto: baik, baik, kita lanjutkan nanti malam.

<div style="text-align: center">=Y='
"Kamu lagi ngapain?", tanya Mirna rebahan di atas tempat tidur menemaniku bersama gemuruh di langit yang terus berdentuman, sementara kami belum makan malam karena menunggu kedatangan Pak Yanto.

"Ini balesin chatnya Jajang"

"Masih masalah kemarin?"

"Bukan, Jajang lagi pusing dengan pekerjaan yang makan banyak waktunya. Karena kalau tuntas semua pekerjaan, dia pengen pulang ke rumahnya, dia sudah beberapa hari menginap di kantor", jawabku berkenan merahasiakan chat dengan Jajang malam ini.

Malam Hari Pukul 19.10

Jajang: itu apa adanya aku ceritakan semua ke kamu. Rani merasa perlu teman bercerita selama di Jakarta. Dia kan enggak punya kerabat di sini.
Aku: jangan terlalu dekat juga, Jang. Aku khawatir Rani malah menganggapmu beda nanti, apalagi dia sedang problem dengan suaminya [Jajang tidak bercerita secara utuh kepadaku, sedangkan hubungannya sudah melebihi pertemanan biasa dengan Rani, dari chat yang pernah aku baca lewat ponsel Jajang]
Jajang: kamu tidak perlu merisaukan itu, Ko. Aku tahu posisiku sebagai seorang suami. Juga Rani sebagai seorang istri.
Aku: kamu sering jalan berdua dengannya?
Jajang: iya, namun tidak sering, sekedar menemani Rani yang kadang perlu teman bicara.
Aku: ya sudah, aku percaya denganmu. Pesanku cuman satu, karyawan di kantor itu banyak, mereka mengenalmu. Jadi bersikaplah sebagaimana mestinya.
Jajang: tentu. Istrimu sedang apa?
Aku: FOTO [Diam-diam memotret Mirna yang tengah berbaring di sampingku memegang ponselnya]
Jajang: Sengaja? Hahaha. Laki-laki tulen mana pun akan tertarik dengan istrimu, Ko. Kamu tidak tahu aku masih di kantor?
Aku: Lalu masalahnya apa?
Jajang: aku tidak bisa mengirim foto istriku.
Aku: hahahaha. Tidak perlu, kamu kirimkan saja foto Rani?
Jajang: FOTO [Tak main-main, Jajang sungguhan mengirimkan pose seksi Rani berdiri menghadap cermin hanya mengenakan bra dan celana dalam berwarna cokelat ketika berada di kamar kosnya] mana seksi dengan Mirna?
Aku: Istrikulah Jang hahahah
Jajang: soal selera ini, hehehe
Aku: sudah sejauh itu ternyata hubungan kalian, biasa di matamu berbeda dengan biasa di mata orang-orang, terutama aku, ya? Haha
Jajang: Itu dia sengaja mengirimkan.
Aku: mana mungkin kalau kau tidak merayunya hahaha.
Jajang: Lain kali aku cerita lagi, aku mau istirahat dulu. Kamu temanilah istrimu.

Percakapanku dengan Jajang tidak boleh sampai Mirna tahu, terutama foto Rani yang dikirimkannya kepadaku. Foto tersebut aku simpan dalam FOLDER AMAN yang terkunci dan tersembunyi agar aman dari jangkauan Mirna. Untung saja, Mirna sedang serius memerhatikan aplikasi belanja daring. Yang menyangkut di benakku adalah mengapa Mirna mengenakan daster pemberian Pak Yanto. Apakah dia sengaja ingin menunjukkan itu saat Pak Yanto kemari? Aku enggan menyimpan pertanyaan yang membentang di kepala. Salah persepsi dapat menimbulkan masalah antara aku dan Mirna seperti sebelumnya. Lebih baik aku utarakan langsung.

"Kamu sengaja pakai daster itu?"

"Iyaa, sudah dikasih masa enggak dipakai di depan yang ngasih?", tanya Mirna dengan segaris senyum serta tatapan genit ke arahku.

"Emmmhhh, cie yang pengen digodain"

"Hihihihi, digodain kamu dong, Paaah"

"Aku atau yang mau datang?", kelakarku meledek Mirna dengan busana daster tanpa lengan, ditambah bagian dadanya tampak rendah, tersembul BH berwarna hitam. Belum pula bagian bawah, tersingkap sedikit saja terpampang kedua paha mulus Mirna. Entah bagaimana celana dalamnya.

"Ya kamu ihh, awas kumat"

"Hehehehe...Kita makan malam apa?", tanyaku setiba di rumah tadi tidak melihat pergerakan Mirna mempersiapkan makan malam.

"Puasa dulu aja kali yaa"

"Mana bisa sayang, aku lapar"

"Aku pegel banget hari ini, siang aja tadi beli. Kayaknya beli aja gapapa ya?"

"Bagaimana enaknya kamu aja deh", jawabku mengamati jam di dinding.

"Kamu mau makan apa? Nasi goreng? Pecel ayam?"

"Enghhhh, apa nunggu Pak Yanto aja biar sekalian kita beliin?"

"Ya terserah"

Aku turun dari ranjang, tak lama lagi Pak Yanto akan tiba di rumahku. Aku akan menerimanya di bangku depan seperti biasa. Namun aku dan Mirna belum mengisi perut. Makanan ringan untuk disuguhkan juga tidak ada. Kulkas kehabisan stok cadangan makanan. Aku maklumi karena Mirna pegal-pegal sehingga belum dapat keluar rumah. Aku berencana ke minimarket terdekat yang berada di komplek perumahan ini. Kalau terhimpit waktu mau tidak mau mencarinya di warung terdekat. Atau aku cukup menghidangkan secangkir kopi saja? Siapa tahu Pak Yanto sudah makan.

Aku tinggalkan ponselku yang perlu dicas. Kemudian aku meminta uang ke Mirna untuk membelikan  makan malam di depan komplek perumahan kami. Masih ada cukup waktu sambil menunggu kedatangan Pak Yanto ke sini. Mirna awalnya menawarkan memesan via online saja. Sayangnya aku tidak mau karena biasanya butuh waktu lebih memesan makanan lewat aplikasi online, belum biaya tambahannya. Setelah aku terima uang yang dikeluarkan Mirna dari dompetnya, aku segera meluncur ke bagian depan kompleks kami, baik pagi atau malam banyak pedagang berjejer membuka tempat makan kaki lima. Mirna memesan soto ayam. Aku berencana membeli pecel ayam, sedangkan Rengga kutemui di kamarnya mengatakan terserah. Tersisa Pak Yanto yang aku telah kabarkan melalui ponsel, tetapi belum datang jawaban.

"Mau ikut?"

"Ikut, kalau di rumah takutnya malah aku sendiri lagi yang nyambut Pak Yanto", ucap Mirna cemberut.

"Hehehe. Yaudah buruan, pakai jaket aja"

"Beneran?"

"Iyaaa", setelah mengambil kunci motor, aku keluar dari kamar menuju halaman depan. Aku nyalakan mesin motor seraya menunggu Mirna yang lumayan lama menyusul.

"Sudah bilang ke Rengga titip rumah?"

"Sudah, Paaah", jawab Mirna mengenakan jaket parasut berwarna hitam dengan garis hijau melengkung di bagian kerah. Jaket itu kebesaran sehingga hampir menutupi seluruh tubuh Mirna walau sedikit tampak bagian bawah dasternya yang terjurai-jurai.

"Yaudah yuk, udah mendung nih"

"Iyaaa"

Kami pun berangkat usai Mirna yang menggenggam ponselnya menutup pagar. Angin berhembus cukup kencang, menyembur udara dingin yang menusuk. Akan tetapi, Motor yang baru melaju kurang dari 1 km harus berhenti karena kami bertemu Pak Yanto di tengah jalan. Ia berjalan kaki mengenakan kaos berkerah berwarna biru gelap dan celana kain panjang berwarna hitam.

"Pak, mau makan apa? Kita mau beli makan malam dulu"

"Silakan, saya mah gampang, ikut saja, yang penting yang aman buat saya"

"Soto ayam?"

"Nah itu, bolehlah"

"Yaudah kami jalan dulu, di rumah ada Rengga kok Pak"

"Iyaaaa, hati-hati".

Sesampainya di warung penjual nasi goreng langganan, pembelinya ramai berkumpul, bahkan sudah duduk-duduk. Ada yang makan di tempat. Ada pula yang memesan untuk dibawa pulang. Kami ragu untuk membeli di sana. Lalu lanjut berjalan lagi mencari penjual nasi goreng yang tidak terlalu penuh pembeli, setidaknya masih tergolong masuk rekomendasi. Sambil mencari aku mengingatkan Mirna agar tidak bermain ponsel saat di atas kendaraan bermotor, mencegah adanya kejahatan terselubung yang tentunya tidak dapat diduga-duga. Mirna mau mengerti. Ia menyimpan ponselnya sejenak.

Kami akhirnya menemukan penjual nasi goreng lainnya yang tergolong sepi di dekat penjual soto ayam langganan, lalu lekas segera memesan 2 bungkus nasi goreng. Mirna bergeser tidak jauh dari tempat tersebut untuk memesan soto ayam.

"Duh udah mulai gerimis"

"Yuk, naik, sebelum hujannya deres", ucapku menemani Mirna di depan warung penjual soto ayam. Tiga bungkus nasi goreng yang telah dipesan sudah diambil olehku. Semuanya selesai dalam waktu 15 menit. Aku langsung menggeber sepeda motor kendati di tengah jalan terpaksa diguyur hujan deras. Aku dan Mirna sedikit kebasahan setibanya di rumah.

"Ini payungnyaaa!", sahut Pak Yanto menggunakan payung yang telah disiapkan, membukakan pintu pagar untuk kami. Padahal Mirna sudah turun dari motor. Aku buru-buru mengarahkan motor ke halaman rumah, sedangkan berlarian sambil dipayungi oleh Pak Yanto.

"Hahaha kebasahan"

"Enggak apa, cuman sedikit kok ini Pak Riko"

"Santai Pak Yanto, yuk masuk pak, di luar becek", pintaku masuk ke dalam rumah. Di dalam kulihat Mirna keluar dari kamarnya setelah melepaskan jaket. Ia tergesa-gesa menaruh piring dan sendok, serta gelas termasuk teko air minumnya.

"Iyaaa"

Saat Mirna sedang sibuk, aku memutuskan berganti pakaian. Aku mengenakan kaos oblong berwarna putih dan celana pendek berwarna biru gelap. Ketika hendak membuka pintu kamar, Mirna memanggil-manggil namaku dengan suara panik. Aku lekas keluar mendapati Pak Yanto tersungkur memegang bagian dada di dapur. Mirna bersusah payah memapahnya. Aku yang turut terkejut sedikit heran dan kesal sekali dengan Rengga yang tidak menjawab teriakan mendadak mamanya. Ia terkesan lalai serta kurang peka.

"Tidak apa-apa, cuman sedikit sakitnya kok, sudah lepaskan", ucap Pak Yanto dengan terengah-engah.

"Ayo saya tuntun ke sofa"

"Iyah"

"Pelen-pelen Pah", ucap Mirna yang masih syok.

"Iya, tadi kejadiannya bagaimana?"

"Pak Yanto tadi coba bantuin aku nyiapin buah, minum, piring mangkuk aja"

"Emmmmmh...."

"Cuman masuk angin ini barangkali"

"Masuk angin gak begini juga kali pak", jawabku mulai dihantui kepanikan, trauma masa lalu mencegat pikiran seraya memandang wajah lemah Pak Yanto bersandar di sofa. Alhasil, Aku meminta Mirna menunggu Pak Yanto sebentar karena aku hendak menghubungi ambulans terdekat. Aduh belum ada beberapa hari pulang masa Pak Yanto masuk rumah sakit karena aku lagi. Pusing. Aku mengambil ponsel lalu keluar kamar.

"Sudah Pak Riko, jangan panggil ambulans, cukup. Saya tidak mau tangan ini tertusuk jarum infus lagi"

"Tapi kondisinya ini darurat loh, pak, jangan main-main"

"Sudah lebih baik, sudah, jangan", ucap Pak Yanto memohon. "Mari kita makan malam"

"Sudah di sini dulu, pak. Jangan banyak bergerak"

Aku mengambilkan makanan yang sudah dibeli kemudian meletakkannya di atas meja yang terletak di hadapan sofa. Berikutnya mangkuk dan piring. Karena terlihat lemah, Mirna inisiatif membantu menyediakan makanan untuk Pak Yanto. Lagipula makanan yang mereka makan sama, yakni Soto Ayam. Aku yang tak sanggup menahan rasa lapar karena telah menunda-nundanya bersamaan makan malamnya dengan Pak Yanto. Mirna membantu menyuapi Pak Yanto yang ternyata belum minum obat. Mirna menumpahkan sebagian kuah soto ke mangkuk yang telah diisi nasi bercampur bihun dan taoge serta suiran ayam. Ketika makanan sudah bisa dimakan karena panasnya tak lagi melukai mulut, sesendok nasi yang terendam kuah bersama ayam dan bihun yang bertumpuk masuk ke mulut Pak Yanto. Ia mengunyah perlahan-lahan.

Nasi Goreng yang kusantap tak habis kendati cara memakannya telah buru-buru. Itu karena nasinya terlalu banyak. Perutku kembung. Aku tak heran mengapa nasi goreng yang bukan langgananku tersebut riuh-ramai dipenuhi pembeli, karena jumlah nasi yang berlebih diberikan.

"Ibu makan sekalian juga aja"

"Sehabis Pak Yanto, bapak aja belum habis"

"Hehehe, maaf ya bu jadi merepotkan. Sini, kini giliran ibu yang makan. Biar ini saya habiskan sendiri", tutur Pak Yanto mengambil mangkuk yang dipegang Mirna.

"Bener nih?"

"Bener"

"Mmmmmm....", gumam Mirna menatapku.

Pak Yanto menghabiskan makan malamnya seorang diri. Kemudian Mirna yang belum ingin makan meminta tolong kepadaku agar dipijat sedikit punggungnya. Aku yang tak memiliki kemampuan memijat pun sungkan lantas menolak. Ini bukan hal baru. Beberapa kali Mirna meminta tolong ingin dipijat pastinya aku akan selalu  mengelak. Akan tetapi, kali ini terlihat berbeda.

"Mau saya yang pijat, bu?"

"Emang Pak Yanto bisa?", tanya Mirna dengan raut tidak percaya.

"Sedikit, tetapi setidaknya sedikit membantu"

"Jangan deh, kondisi bapak gak bagus"

"Enggak apa apa Bu, sebentar mungkin bisa sedikit meringankan"

"Hehehehe gak usah", ucap Mirna melempar senyum, sedikit menghindar karena tangan Pak Yanto berusaha menjangkau punggungnya.

"Iya pak gak usah. Alangkah lebih baik sekarang bapak rebahan, istirahat sambil nunggu minum.obat", jawabku. "Oh ya, obatnya dibawa?"

"Hehe enggak apa Pak Riko, saya minum di rumah saja"

"Mau saya ambilkan?"

"Enggak usah, di luar juga sedang hujan gerimis", ucap Pak Yanto, aku sadari bahwa ia sesekali melirik ke arah istriku yang mengenakan daster baru yang dibelikannya. Makan malam yang diselesaikan dengan cara berbeda oleh aku dan Pak Yanto memasuki obrolan meskipun Pak Yanto dalam keadaan terlihat lunglai selagi bersandar di sofa. Kemudian Mirna membereskan sisa makan malam kami dan membawanya ke dapur. Selanjutnya giliran Mirna mengenyangkan perut di ruang makan.

Obrolan demi obrolan aku diskusikan dengan santai bersama Pak Yanto, termasuk perihal Wawan yang aku kabari dia sudah diterima bekerja. Betapa bahagianya Pak Yanto malam itu. Sayangnya, aku belum bisa memberitahukan secara jujur perihal Pak Yanto sendiri yang tidak mendapatkan formasi sesuai dengan kapasitas dan kebutuhan dirinya. Situasi sedang buruk. Semakin buruk karena di luar hujan turun lebat. Aku terpaksa mengeluarkan semua isi bahasan sampai menunggu kabar baik dari langit.

"Saya antarkan pulang ya pak? Bagaimana? Atau saya ambilkan obatnya?", tanyaku melihat jam menunjukkan pukul 9 malam.

"Hujan reda tidak lama lagi, sabar"

"Tapi Pak Yanto belum minum obat, saya takut malah kenapa-kenapa"

"Hehehe. Sudah jangan cemas Pak, sudah lebih baik sekarang, habis makan malam hilang nyerinya, ditambah ngobrol santai dengan bapak"
"Benar ilang sudah anginnya", ucap Pak Yanto memposisikan duduk tegak.

"Enghhh, alhamdulillah, bisa tenang saya"

Tiba-tiba ponselku berbunyi. Aku buru-buru memeriksa karena tak lazim jam segini ada yang menelepon, ternyata dari Jajang. Karena penasaran, barangkali Jajang ingin melanjutkan obrolan singkatnya, Aku pamit sebentar ke Pak Yanto untuk ke depan rumah, menerima panggilan telepon Jajang. Gemuruh yang terus berdegar-degar menyuruhku masuk ke dalam kamar agar suara Jajang terdengar jelas. Lagipula di dalam kamar Mirna tidak akan tahu apa yang akan kami bahas. Di sisi lain, Mirna yang baru selesai mencuci piring bertanya siapa yang menelepon. Aku katakan benar-benar bahwa itu adalah Jajang tanpa harus menyebut masalah apa yang mau disampaikan.

"Ada apa menelepon malam-malam?"

"Mau dilanjut tidak ceritanya? Sibuk ya?"

"Enggghh... sebentar", aku perlu memastikan pintu tertutup rapat dan suaraku tidak terdengar keluar. "Oke silakan, Jang"

"Kamu tahu aku di mana?"

"Kantorlah.."

"Bukan! Aku di tempat kos Rani. Hahaha", Jajang terbahak-bahak.

"Sudah kuduga kan, kau benaran ada macem-macem dengan Rani"

"Eits jangam berprasangka buruk dulu, aku bukan di kamar kos Rani, tetapi di tempat kos Rani, kebetulan tempat kos ini menerima laki-laki atau perempuan"

"Maksudmu kos di situ apa? Lebih baik uangnya kau kirim buat anakmu, Jang!", sahutku kesal.

"Aku perlu kamar ber-AC dan kasur yang empuk"

"Buang-buang uang!"

"Bukan uangmu!", balas Jajang.

"Terus telepon aku kenapa?"

"Kamu bukannya ingin sekali tahu hubungan aku dengan Rani? Heh?"
"Ini salah satu jawabannya"

"Hati-hati kau, Jang. Kalau dipecat bukan kau saja, tetapi Rani juga"

"Aku tak akan dipecat, kecuali kamu penyebabnya"

"Ah sudahlah, percuma bicara denganmu"

"Kau selalu bilang percuma, tetapi tetap dicari tahu juga. Hahahaha"

"Ah diem kau!", aku matikan sambungan telepon dari Jajang. Dia pengecut. Aku ingin mendengarkan langsung sembari bertatap muka, ia malah menghindar. Beraninya hanya lewat telepon. Payah. Meskipun aku harus akui ucapannya bahwa betul aku ingin selalu tahu. Ah iya, aku meninggalkan Pak Yanto di luar sana. Aku terlampau serius mengurusi Jajang yang bikin penasaran, sedangkan Pak Yanto di luar sana yang benar-benar karena ulah perbuatanku cenderung kuabaikan.  Hmmm. Namun, ternyata bukan panggilan Jajang yang membuatku terkejut, melainkan...

"Aaaaauhhhhhh"

"Cyooopppphhhh"

"Udaaaaahh, cukup pak, keburu Mas Riko keluar, ahssss"

Ketika baru kubuka pintu kamar sedikit, kudapati Mirna duduk di sofa sedikit membelakangi. Tali daster beserta BH sebelah kiri turun. Puting payudara istriku sedang dilahap oleh bibir Pak Yanto. Gemuruh di luar sana yang kuhindari tadi terasa baru menyambar sekarang<img class="smilie smilie--emoji" loading="lazy" alt="⚡" title="High voltage    :zap:" src="https://cdn.jsdelivr.net/gh/twitter/twemoji@14.0.2/assets/72x72/26a1.png" data-shortname=":zap:" />️DUAAAAAAAR<img class="smilie smilie--emoji" loading="lazy" alt="⚡" title="High voltage    :zap:" src="https://cdn.jsdelivr.net/gh/twitter/twemoji@14.0.2/assets/72x72/26a1.png" data-shortname=":zap:" />️ Siapakah kalau begini yang melanggar perjanjian. Aku? Mirna? Aku benar-benar bingung. Fantasi yang telah terkubur itu lambat laun muncul, bangkit bersamaan dengan tegangnya batang penisku memerhatikan adegan Mirna dan Pak Yanto di bawah hujan yang mulai reda, namun gemuruh masih menggelegar.

"Kamu jangan lupa sayang, burungku belum masuk sarangmu hehehe"

"Enggak perlu ishhhh"

"Hhhmmmmmffffhhh"

"Pura-pura sakit yaa tadi? Hmmmfhhh", tanya Mirna, tetapi bibirnya keburu disambar bibir Pak Yanto.

"Aku cupang lehermu!"

"Aaaaaahhhh jangan!!!!

"Cyuuuuuuupppppphhhh!"

"Aaaaaaaiiiiihhhhhhhhhh"

............................


====================

MELEPAS BIRAHI</span>

"Yang satu lagi belum..."

"Udah, enggak usah, ishhh", gerutu Mirna, berdiri menyingkir dari sofa, mengeataskan tali BH berikut tali dasternya. Pak Yanto mendongak, wajahnya dikelumuni birahi dengan nafas masih mencungap.

"Lalu aku gimana?"

"Enggak gimana-gimana"

"Tolong kocokin seperti di rumah sakit", ujar Pak Yanto memegang tangan istriku, tetapi langsung dielak.

"Enggak, udah! cukup!"

"Tolonglah, gak enak banget begini"

"Selesain sendiri, gak mau tahu!"

"Mirna, tolonglah, keras banget inih..", ereksi batang penis Pak Yanto menyembul dari balik celana panjang bahan yang dikenakannya. Kemudian resleting celana hendak ditarik, "Ini kamu lihat..."

"Enggak, udah!", sahut Mirna memalingkan badan sekaligus meninggalkan Pak Yanto yang lekas menggugurkan niat memperlihatkan penisnya yang sedang ereksi.

Aku mematung, menutup rapat-rapat pintu secara pelan, selesai mengintip yang dilakukan Pak Yanto terhadap Istriku, Mirna. Apakah reaksi yang harus kumunculkan usai keluar dari sini? Apakah harus mempertentangkan Pak Yanto? Berkelahi? Apakah aku harus pura-pura tidak tahu? Atau jangan-jangan Mirna sedang berupaya mengujiku lagi. Ah, tidak mungkin Mirna mengujiku lagi. Kalau iya, pasti ia membiarkan lanjut Pak Yanto menjamahnya. Lagipula kesepakatan kami berdua adalah siapa yang melanggar janji. Aku merasa tak melanggar apapun. Yang kutahu sedang menerima telepon.

Kalau Mirna, jelas iya! Aku meyakini Pak Yanto yang berkeinginan lebih setelah Mirna beberapa kali mengerjainya, ditambah Mirna beberapa hari yang lalu membantunya klimaks di hadapanku yang masih tergila-gila dengan fantasi istri disetubuhi pria lain. Bagi Mirna, mungkin sederhananya masalahku sudah selesai. Namun bagi Pak Yanto yang telah dilibatkan, rumitnya adalah dia mempunyai harapan lain yang harus dibereskan. Itu adalah bola panas yang digulirkan oleh istriku sendiri, kini menggelinding balik ke arahnya. Haruskah aku tolong?

Fokus perhatianku kepada Jajang dan Rani benar-benar menyamarkan fantasi selama ini. Aku sudah tidak terbersit sama sekali tentang Mirna disetubuhi oleh pria lain. Itu sangat membantu. Aku justru penasaran sejauh mana hubungan Jajang dan Rani terjalin sembunyi-sembunyi, bahkan Jajang rela menelepon malam-malam hanya sekedar memanas-manasi kendati aku tetap meladeni. Pasti Jajang bukan sekedar bermaksud tinggal kos di tempat yang sama dengan Rani. Dia memiliki tujuan lain.

Hanya saja, Aku semakin tidak mengerti dengan diriku sendiri. Kemaluanku mengeras seketika melihat puting payudara Mirna dinikmati oleh Pak Yanto. Apakah fantasi yang telah terkubur tersebut sekedar terpendam bukan hilang selamanya? Di sisi lain apakah keingintahuanku terkait hubungan Jajang dan Rani hanyalah sebuah pelarian? Aku tidak boleh bertahan lama di kamar. Bagaimanapun Aku harus keluar.

"Telepon dari siapa Pak?"

"Temen kantor, biasa, kalau ada yang kelupaan disampaikan di kantor, kasih tahunya lewat telepon"

"Enghhh....."

"Obatnya jadi bagaimana? Bapak mesti minum, apalagi kondisinya seperti ini", ucapku mengamati Pak Yanto rebahan lunglai, tampak sangat berbeda ketika dirinya bersemangat menjamah Mirna. "Apa mau saya ambilkan?"

"Oh enggak usah Pak Riko, enggak usah, di luar juga masih hujan"

"Saya ambilkan saja Pak, ya? Ada payung inih"

"Jangan, saya enggak mau merepotkan"

"Enggak ada ngerepotin kok, untuk kesehatan Pak Yanto"

"Sudah, jangan Pak Riko, lebih baik saya yang pulang. Saya sudah banyak merepotkan bapak. Saya ke sini juga karena keinginan saya yang keras kepala tidak mau melihat kondisi badan", balas Pak Yanto bersikukuh.

"Saya pun juga jadi enggak enak ngajak ngobrolnya loh Pak"

"Ya ngobrol tinggal ngomong, hehehe"

"Hhhmmmm"

"Wawan mulai Senin besok bekerjanya ya?", tanya Pak Yanto mengawali pertanyaan agar aku percaya kondisinya benar-benar membaik.

"Yaa betul, Pak"

"Kalau saya tidak usah terlalu dipikirkan. Yang muda dan sehat lebih perlu daripada yang sudah bangkotan berpenyakitan seperti saya ini"

"Ya enggak begitu juga dong", jawabku curi-curi menengok ke dapur karena Mirna tak kembali menemaniku. Apakah dia menghindar setelah Pak Yanto melecehkannya.

"Rezeki mah ada saja"

"Hehehehe, pastinya. Intinya bapak harus betul-betul sehat dulu, supaya tenaganya maksimal"

"Harusss!"

"Ohh ya, Pak RT apa sudah nengokkin bapak? Kemarin itu dia sebetulnya mau menjenguk bilangnya ke saya"

"Sudah menjenguk kok di rumah sakit, saya belum cerita ya? Wawan yang mengantarkan"

"Ooo..."

"Mas, aku pamit tidur duluan ya", tutur Mirna menyahut sambil berjalan dengan kaki bersimbah bulir-bulir air. Salah satu tangannya menempelkan sesuatu di leher sebelah kiri.

"Masih sore ini Bu. Hehehe", Pak Yanto menimpali.

"Cape banget pak saya hari ini, perasaan ingin tiduran saja di kamar"

"Hooo, ya enggak apa apa, hehehe. Silakan..."

"Yaudah", jawabku setengah heran karena Mirna buru-buru ingin istirahat. Ia hendak masuk ke kamar. "Bentar itu kenapa tangan kamu pegangin leher terus?"

"Eh ini? Tadi digigit nyamuk, aku garuk-garuk terus jadi luka"
"Hehehe"

"Emmmhh...", Aku hanya menggumam saat Mirna mengelabuiku, sedangkan aku tahu bahwa cupangan Pak Yanto telah berbekas di lehernya.

Aku menemani Pak Yanto bercengkerama sepanjang malam hingga hujan benar-benar memberi jalan baginya pulang ke rumah tanpa harus kuberi payung. Yang kami obrolkan mulanya adalah mengenai perkembangan kesehatan Pak Yanto dan pola makan yang sedang dijalaninya setelah pulang dari rumah sakit. Berbekal uang pemberian sang anak, Pak Yanto sebetulnya hendak meminta bantuan Bu Aminah memasak untuknya, namun Bu Aminah belum memiliki waktu senggang sehingga Pak Yanto tetap membeli makanan di luar. Ia hanya mampu memilah-milah makanan yang sekiranya aman dan sehat untuk dikonsumsi, serta sayuran yang kadang jarang didapat, kecuali sayuran berkuah santan atau tumis. Makanan yang bersifat digoreng pun ia sudah mengurangi, kecuali yang berbahan lemak nabati seperti tempe dan tahu yang dibeli bukan di penjual gorengan. Buah-buahan seperti pisang dan pepaya dikonsumsinya setiap sebelum atau sesudah makan dengan porsi yang kecil. Ia juga sudah tidak mengopi.

Sebelum pamit meninggalkan rumahku, Pak Yanto memohon izin menggunakan kamar mandi. Ia hendak buang air besar. Langkah perlahannya menuju kamar mandi kudampingi agar tidak terjadi sesuatu yang diinginkan. Selagi menunggu Pak Yanto selesai buang hajat. Aku intip Mirna sedang rebahan memeluk guling sembari memerhatikan ponselnya di kamar. Kuperhatikan bekas cupangan Pak Yanto yang masih dipegangi, tetapi telah diberi plester seolah-olah itu adalah luka tergores.

"Sudah pak?"

"Hufff,,, legaa", ujar Pak Yanto memegangi perut. "Hehehe sudah, bersih ya kamar mandinya?"

"Iyaa, ada pawangnya"

"Hahahaha si ibu bener-bener rajin ya"

"Bisa-bisa diomelin kalau rumah kotor dikit aja pak, anak saya paling sering ditegur"

"Hhhoooohh serem juga, pantes Pak Riko kesannya rapi terus soal penampilan"

"Manut istri, Hehehe", jawabku yang sebetulnya hendak menutup pintu kamar mandi, tiba-tiba Pak Yanto malah mencegahku masuk. Ia telah salah mengira.

"Maaf, jangan masuk dulu Pak Riko, supaya uap baunya keluar dulu. Hehehe"
"Saya takut bapak nanti kebauan di dalam"

"Hhhhmm gitu yaa, baiklah"

Pak Yanto berjalan ke arah pintu keluar. Aku tawarkan mengantarnya menggunakan sepeda motor hingga depan rumah. Pak Yanto tidak menolak kali ini. Ia menerima dengan senang hati. Dalam perjalanan kami berbicara mengenai udara yang sejuk setelah hujan serta daerah perumahan di sekitar kami yang kadang dirundung banjir.

Kembali ke rumah, Aku membantu membereskan ruang depan dari serpihan-serpihan sisa makan malam. Aku menyapu lantai sembari menengok Mirna yang keluar dari dalam kamar. Kukira dia sudah tertidur pulas, ternyata belum. Ia sedang duduk asyik dengan ponselnya di sofa depan. Aku tanya sedang apa, dia mengatakan sedang browsing aplikasi belanja daring. Katanya ia mau membeli sandal baru untuk berpergian. Aku mempersilakan kalau memang ada uangnya. Mirna mengangguk-ngangguk. Kemudian Mirna meminta izin kepadaku bahwa besok dia mau masak-memasak dengan Bu Aminah di rumah. Aku tak mempermasalahkannya demi kebahagiaan istri. Perihal luka di leher yang sebetulnya bekas cupangan Pak Yanto tidak mau aku bahas. Aku hafal Mirna kalau sudah diajak membahas sesuatu berlarut-larut akan keluar emosinya. Aku perlu mencari momen yang tepat melabrak istriku sembari menyelidiki dan mengumpulkan bukti sedikit demi sedikit agar ia terpojok serta tak bisa berkelit.

Setelah seisi rumah bersih lantainya, barulah aku ke kamar untuk beristirahat. Mirna masih duduk di sofa depan. Ia belum menyusul.

Malam Hari Pukul 21.35

Jajang: besok mau mampir?
Aku: aku tidak mau ikut campur.
Jajang: kali ini aku serius
Aku: serius juga aku tidak akan ke tempatmu, Jang. Kamu sedang cari masalah.
Jajang: masalah buatku apa masalah buatmu? Aku merasa bahagia saja, tidak ada yang dipermasalahkan. Yang pusing kan kamu, dan manusia-manusia HRD itu.

Aku tidak terpancing membalas chat Jajang karena ia sengaja berniat memprovokasiku yang mau beristirahat. Lagipula aku sudah mengantuk. Aku ingin tidur walau Mirna belum berada di samping. Biarlah dia asyik dengan belanja daringnya seolah-olah itu terapi relaksasi untuk istriku yang lelah hari ini. Kalau sudah mengantuk, dia pasti akan menyusul juga.

"Paaah, udah ngantuk yah?"

"Iya nih, kenapa?", tanyaku dengan kedua mata ruyup-ruyup.

"Aku mendadak kepengen"

"Kepengen apa?"

"Tolong isepin dong pahhh, kenceng banget puting nenen aku", tutur Mirna menyingkap bagian sebelah kiri payudaranya. Putingnya mencuap, dikeluarkan dari BH yang sudah dilonggarkan. Karena sudah mengantuk berat, aku hanya meraba-rabanya.

"Aaaahh, ayuk dong paah, tolong isepin"

"Kamu main sendiri dulu yah, ngantuk banget nih"

"Beneran gak apa apa aku main sendiri lagi?"

"Gapapa"

"Yaudah papa tidur deh", balas Mirna menggerutu. Setelah itu aku tidak tahu apa yang terjadi lagi.

Dini Hari.....................

Aku terbangun untuk buang air kecil. Jam dinding telah menunjukkan pukul 2 pagi. Aku mengucek mata sebelah kiri. Mirna entah sudah pulas di sampingku. Alhasil, Aku turun dari ranjang perlahan-lahan, tidak ingin mengusik lelapnya. Sambil mengusap-ngusap muka dan membersihkan belek di pinggir mata, aku lalu membuka pintu kamar.

"Waduh, ini anak baru makan malam kemana aja?"

"Hahahaha, baru bangun Paah, habis nugas", jawab Rengga mengunyah makan malam sembari melihat ponselnya di ruang makan.

"Kuliah kamu aman?"

"Aman kok"

"Nginep mulu akhir-akhir ini, ngapain?", tanyaku mendapat kesempatan berdialog antara Ayah dan anak.

"Aku kan ikut organisasi di kampus, kalau dipaksa pulang bakal malem banget"

"Kuliahmu masih tetep jalan kan?"

"Terkendali, Pah. Jangan khawatir"

"Awas nilaimu amburadul. Kuliah lama-lama IP jeblok juga mau ngapain"

"IP-ku bagus kok, di atas 3,5"

"Jangan bohong malam-malam"

"Beneran, besok aku kasih lihat"

"Ya lihatin biar papa percaya", sahutku berjalan masuk ke kamar mandi. "Yaudah selesein makan kamu, terus lanjut tidur lagi. Besok kuliah kan?"

"Iya, ada kuliah pagi"

"Berangkat jam berapa?"

"Enghhh... setengah tujuh!"

Kamar mandi menebar aroma wangi jeruk yang berasal dari pembersih lantai. Aku tak tega mengacaukannya dengan aroma bau pesing yang terkuar dari air kencingku yang memancur banyak. Wangi jeruk tersebut barangkali menghilangkan bau busuk yang ditimbulkan oleh Pak Yanto sehabis buang air besar. Namun siapa yang membersihkan lantai beraroma jeruk ini. Aku kira Mirna karena ia belum tertidur saat aku sudah mengantuk berat. Setidaknya berkat pembersih lantai beraroma jeruk, bau yang ditimbulkan oleh air seniku tidak tercium setelah diguyur banyak air, kendati aroma bau jeruknya turut berkurang..

"Yang kasih pewangi kamar mandi, kamu?"

"Iyaa"

"Ooh"

"Ada yang aneh Pah?", tanya Rengga sedang mengakhiri makan malamnya dengan meminum segelas air.

"Enggak sih, sebelum dikasih pewangi, kamar mandinya emang bau?"

"Enggak"

"Terus ngapain kamu kasih pewangi?"

"Mama yang nyuruh karena aku mau pipis"

"Jadi mama kamu baru tidur?"

"Enggak tahu juga pah, tadi jam 1-an pas aku bangun mama ikut kebangun juga kalo gak salah yah"

"Ennnghh..."

"Ada apa Paah? Bikin orang penasaran", ucap Rengga membawa piringnya ke dapur.

"Enggak ada apa-apa, yaudah kamu tidur lagi sana. Papa mau balik ke kamar"

Aku termenung dengan pernyataan putraku yang menerangkan bahwa Mirna yang telah menyuruhnya menyiram dengan pembersih lantai kamar mandi sehingga kamar mandi menguar aroma jeruk. Anehnya, menurut Rengga, sebelum diberi pewangi, tidak ada bau yang muncul terendus oleh hidungnya. Rengga melakukan itu karena mamanya menyuruhnya memberi pewangi. Lalu tujuan memberi pewangi itu apa? Sementara bau busuk yang dimaksud oleh Pak Yanto itu kemana? Apakah hilang terbawa oleh angin yang berhembus selama aku tertidur? Aneh. Aku berpikir sejenak bahwa ada sesuatu yang janggal. Saat akan naik ke tempat tidur, terlebih dulu aku mengambil ponsel Mirna secara diam-diam dari sebelah kanan bantalnya. Aku periksa seluruh media sosial dan saluran komunikasi Mirna. Namun tidak ada yang mencurigakan. Tidak ada percakapan antara dia dengan Firda atau dia dengan Pak Yanto. Hhhmmm. Atau aku saja yang merasa aneh, ya? Galeri? Juga tidak.

Kemudian aku memeriksa riwayat halaman pencarian Mirna. Awalnya tertera pencarian terakhir istriku ialah model sepatu dan sandal baru. Pencarian terakhir tercatat pada tanggal dini hari ini. Lalu aku periksa pencarian sebelumnya lagi, masih dengan tema yang sama, yaitu sepatu dan sandal. Karena masih belum puas, aku memeriksa keseluruhan isi ponsel Mirna selagi orangnya tertidur. Aku temukan dalam satu folder berisikan beberapa video porno berdurasi singkat. Ada yang kurang dari 1 menit, adapula yang 8 menit. Video porno itu didominasi oleh unduhan dari situs lokal yang memunculkan para pemain lokal, kendati ada beberapa video pelakunya adalah orang Asia dan Eropa. Dari mana Mirna memperoleh video-video ini? Rasa-rasanya aku tidak pernah mengunduh dan memberinya. Apakah Mirna mengunduhnya sendiri? Hhhmmm.

Aku sulit menerima dengan logis kejanggalan ini. Kantuk lagi pun susah dijemput. Alhasil, aku mencoba mengunduh aplikasi yang dapat memonitor pesan yang telah terhapus secara sengaja di ponsel Mirna. Aplikasi itu aku akan sembunyikan baik notifikasi hingga logonya dari layar depan. Ketika aku selesai mengunduh dan menyetel aplikasi tersebut. Ada chat WA dari Pak Yanto dini hari begini.
ASTAGA. Yang dikirimkannya ke istriku pun tak main-main. Sebuah FOTO yang menampilkan PENIS PAK YANTO YANG SEDANG MENGACUNG TEGAK KE ATAS DENGAN KANTONG KEMIH TERGANTUNG dikelilingi rambut halus hitam nan ikal yang mencuar ke segala arah bak singa jantan.

PAK YANTO: JADI SUSAH TIDUR &#039;DIA&#039;. KAPAN DIA DAPAT JATAH DARIMU SAYANG?

AKU TERBUNGKAM SERIBU BAHASA. APAKAH INI WAKTU YANG TEPAT MENGGUGAT JANJI ANTARA AKU DAN MIRNA? KIRANYA JUGA APA ALASAN YANG AKAN MIRNA BERIKAN SAAT AKU MEMPERLIHATKAN CHAT BARUSAN?

JEPRET

Akhirnya Aku bisa letakkan ponsel Mirna tanpa rasa penasaran Pak Yanto akan mengirimkan chat lagi. Namun rekaman chat yang baru masuk itu aku hapus dulu jejaknya setelah berhasil kuoper ke ponselku agar Mirna tak mengetahui bahwa aku yang telah membacanya. Aku tidak boleh gegabah. Aku mesti sabar dulu seraya mengumpulkan semua bukti yang kuharap bisa membungkam istriku sehingga ia tak mampu membela diri lagi.

Pagi Hari..................

"Apa jadi Bu Aminah masak-masak bareng kamu hari ini?"

"Jadi, Papa mau dimasakkin apa?", tanya Mirna mempersiapkan pakaian kerjaku berupa kemeja biru bergaris putih dengan celana hitam. Kami terlibat pembicaraan di kamar saat aku selesai mandi.

"Terserah kamu sayang, apapun pasti akan kumakan kok"

"Bener loh yah"

"Iyaaaa"

"Sarapan udah siap yaa"

"Kamu mau ke mana?", tanyaku memandang Mirna melepas dasternya kemudian mengenakan kaos berkerah ketat berwarna biru muda dan celana training pendek hitam.

"Ke pasar sama Bu Aminah"

"Serius pakaiannya begitu?"

"Iya, sekali-kali paah, bikin kamu cemburu"

"Ganti deh"

"Enggak, gini aja"

"Eemmmm sengaja yah?", balasku menggeleng-geleng heran. "Awas nanti malah aku dituduh-tuduh gak ada usaha larang kamu ganti baju, padahal udah kasih tahu loh ya..."

"Enggak akan"

"Beneran yakin itu? Tumben... Gak takut ada yang colek-colek. Godain...?"

"Tenang, gak akan, kan ada bu aminah"

"Dia jago silat?"

"Ishh bukan, Setidaknya ada yang nemenin, maksudnya gitu loh mas"

"Hhhhmm begitu"

Mirna keluar menuju ke kamar mandi. Aku lekas mengambil kesempatan memegang ponselnya siapa tahu sudah ada beberapa chat yang dihapus oleh istriku.

Pagi Hari Pukul 05.57

Pak Yanto: kamu masih pakai?
Pak Yanto: urghh untung semalam Riko gak masuk kamar mandi. anget gak?
Pak Yanto: tetep enggak puas, sayang. Sampai kapan begini terus?
Pak Yanto: kurang puas dengan chat seks semalam. Pengen yang beneran. Oh y bukannya katanya rutin kamu hapus-hapusin?
Pak Yanto: pengen dapat jatah dari kamu...
Pak Yanto: jatah apa yah...
Pak Yanto: hehhee jatah ditemenin tidur ma kamu, Mirna
Pak Yanto: kenapa gak? Nyusu ma kamu dulunya gak boleh sekarang dah dua kali. Hehehehe
Pak Yanto: Jangan dong sayang
Pak Yanto: eh iya maaf. Hehehe. Khilaf. Desah kayak semalam lagi aja gimana.
Pak Yanto: emmm yaudah gak usah.
Pak Yanto: mau banget. Boleh peluk pinggang kamu lagi?
Pak Yanto: supaya gak ada yang gangguin, biar kita dikira suami istri.
Pak Yanto: iya kayak kemarin.
Pak Yanto: yaudah terserah kamu.
Pak Yanto: aku tunggu di tempat bu aminah.

JEPRET

Mirna betul-betul sudah terlanjur kelewatan. Aku kira akan masturbasi sendirian sebagaimana biasanya, melainkan masturbasi bersama Pak Yanto. Kurang ajar! Aku sudah sangat tidak peduli niatnya bagaimana entah bermaksud mengerjai Pak Yanto atau bukan, yang jelas aku mau membuat perhitungan dengan istriku apakah arti ini semua chat Pak Yanto yang telah masuk kemudian dihapus. Sekarang Aku memiliki peluang untuk membusungkan dada tinggi-tinggi  di hadapan istriku, dengan tegas menunjukkan diri bahwa aku adalah suami yang pantas dihargai dan dihormati martabatnya. Karena keadaan sudah berbalik, aku bisa leluasa menghukumi Mirna karena telah melanggar janji. Menjatuhkan TALAK bahkan CERAI sangatlah mungkin terjadi. Namun aku masih menahan-nahan diri demi mengumpulkan satu per satu bukti, termasuk potongan percakapan chat yang telah dihapus oleh Mirna.

"Mass, aku ke pasar dulu ya"

"Ya, kamu hati-hati di jalan, ini mau ke rumah bu aminah?

"Iya, ditungguin di sana"

"Sekali-kali bu aminahnya suruh ke sini"

"Kasian dong Mas, masa orang tua nyamperin yang muda"

"Baiklah, berdua aja, gak bertiga?"

"Heh? Maksud kamu?"

"Kali aku diajak", aku menyindir.

"Beneran mau ikut? Kan kamu harus ke kantor. Nanti telat loh"

"Emmm, eh iya bener, gak bakal sempet ikut", jawabku usai menengok jam dinding.

"Yaudah aku berangkat duluan ya", ucap Mirna, sembari mengambil ponsel, ia memungut kantong belanja dari bilik lemari, kemudian ia pamit pergi.

"Hati-hati say"

Aku hendak mengikuti langkah perjalanan istriku agaknya benar ke pasar berdua atau tidak. Namun situasi sangat meragukan, dilema dengan aku harus berangkat kerja. Apakah aku mengambil izin tidak masuk kerja hari ini hanya untuk mencari tahu apa yang dilakukan Mirna di pasar bersama Bu Aminah dan Pak Yanto? Agak konyol.

"Jangan ditutup"

"Kok belum berangkat Pah?", tanya Rengga keluar dari kamarnya mengenakan kemeja flanel dan celana khaky, ia hendak berangkat kuliah.

"Papa masuk siang hari ini"

"Kenapa?"

"Ada yang mau diurus", aku mengeluarkan kunci motor dan memberikannya ke Rengga.

"Ini beneran aku boleh pakai?"

"Enggak nginep kan?"

"Enggak, Sore udah keluar dari kampus malah"

"Yaudah bawa"

"Hahahahah beliin motor dong pah"

"Dikasih pinjem makai, malah mintanya yang lain"

"Hehe"

"Kamu kalau sudah dibeliin motor, papa yakin keluyuran ke mana-mana. Gak dikasih aja, pulang malam terus"

"Namanya juga anak laki-laki"

"Yaudah berangkat sana", Rengga lantas mencium tanganku. Ia berjalan ke arah halaman depan. Sebelum masuk ke kamar Rengga, aku memindahkan sekaligus menyembunyikan terlebih dulu barang-barang yang biasa aku bawa pergi bekerja. Tak lupa menghubungi pihak kantor bahwa aku hari ini berkenan ambil cuti sehari.

Di dalam kamar Rengga yang sudah kukunci, aku rebahan sejenak di tempat tidur putraku, rasa-rasanya sungguh nyaman yang namanya libur kendati sehari sekedar memata-matai aktivitas Mirna di rumah. Aku tak ada niat sama sekali menguntitnya ke pasar. Alangkah lebih baik mengetahui keseharian istriku. Apakah betul seharian di rumah terus? Apakah ia benar memasak? Apakah ia benar lelah bersih-bersih rumah? Bukan tidak percaya. Siapa tahu hari ini ada aktivitas lain. Ya, memasak bersama Bu Aminah. Akankah aku nanti menunjukkan diri? Belum tahu. Aku membuka ponsel, menonton Youtube lalu memgantuk lagi. Memang enak melanjutkan tidur di pagi hari.

TOK TOK TOK.....

"Rengga! rengga! kamu enggak kuliah sayang?!

Suara Mirna dan ketukan pintu menyadarkanku yang terlelap di depan ponsel yang menyala. Untung saja suara yang keluar dari youtube menyala otomatis ini volumenya sudah aku kecilkan sehingga Mirna tidak akan mendengar dari luar. Akan tetapi, aku menghadapi problem Mirna mengira Rengga belum berangkat kuliah. Mengapa bisa ya? Aku terheran-heran. Aduh! Kacau! kalau sampai ia menghubungi Rengga. Barangkali putraku ini hampir tidak pernah mengunci kamarnya ketika meninggalkan rumah. Oleh karena itu, Mirna mengira Rengga masih di kamar. Aduh, apa yang harus kuperbuat sekarang. Aku harus tetap tenang. Aku tidak boleh ketahuan berada di sini. Sebaiknya aku menghubungi Rengga lebih dulu sebelum Mirna mengetahui bahwa aku yang berada di dalam.

Pagi Hari Pukul 07.45

Rengga: lagi ngapain sih kamar aku pakai dikunci-kunci segala.
Aku: papa takut kemalingan. Lagian kamu juga laptop ditinggal kan? Kenapa enggak dibawa?
Rengga: hari ini kan aku bilang cuman sampai sore pah. Gak banyak catatan atau presentasi yang mesti dibuat pakai laptop. Ngeberatin juga.
Aku: emmmhh... kunci papa bawa.
Rengga: papa pulang malem.
Aku: selalu lebih cepet dari kamu.
Rengga: heheeheh [Aku tahu kebiasaan Rengga. Ia selalu mengatakan pulang sore, faktanya akan malam-malam juga tiba di rumah karena pasti mampir ke tempat temannya]

Setelah mengamankan situasi, aku tidak mendengar suara Mirna mengetuk pintu dan memanggil nama anak kami berdua. Aku penasaran apakah dia sudah mulai aktivitas memasaknya atau cenderung beristirahat. Aku coba tanyakan lewat ponsel saja. Akan tetapi, aku tunggu sekitar lima menit tidak ada jawaban. Apa jangan-jangan dia justru sedang keluar rumah. Aku mau tidak mau harus membuka pintu pelan-pelan, mengintip pergerakan di luar sana, siapa tahu istriku mondar mandir melintas di depan kamar Rengga yang bersebelahan dengan ruang makan keluarga. Usai yakin lengang, tak ada suara langkah kaki. Aku berusaha keluar dari kamar Rengga hendak mengendap-ngendap memeriksa. Baru pintu terbuka lebar sedikit, kembali suara Mirna terdengar, aku segera tutup pintu buru-buru secara perlahan, tak menimbulkan bunyi. Suaranya tidak sendiri, ada suara lainnya, yakni suara pria yang sudah akrab telingaku mendengar.

"Ngapain ke sini? Duduknya di luar aja kenapa sih?"

"Aku ke sini mau ikut masak-masak"

"Yaudah duduknya di luar dulu pak", ujar Mirna mendesak Pak Yanto duduk di luar bukan duduk di sofa ruang tamu.

"Di luar ngobrol berdua malah jadi fitnah, mau ada gosip macem-macem dari tetangga?"

"Ngapain juga ke sini, Bu Aminah juga masih di rumahnya. Aturan nunggu bu aminah dulu"

"Kalau bisa lebih cepat, kenapa harus nunggu yang lama?", tanya Pak Yanto sudah duduk di sofa. Seperti dugaanku, Mereka pergi bertiga. Pak Yanto ikut pergi menemani. Ia mengenakan kemeja lengan pendek dan celana panjang bahan hitam yang sepertinya sama dengan yang digunakan semalam. Mirna masih menggunakan kaos ketat yang digunakannya pergi ke pasar pun celana pendeknya tak ada niat diganti, sedangkan kedua mata Pak Yanto sudah jelalatan memandangi tubuh istriku.

"Pulang dulu pak, sana"

"Bu aminah bentar lagi nyampe, untuk apa pulang"

"Eh iya makasih dah mau nganterin ke pasar lagi, hehe. Tapi, musti rapi gitu ya kalau ke pasar? Kan bisa pakai kaos kerah gak mesti kemeja"

"Kamunya sudah cantik-cantik seperti ini, masa aku yang ngawal gak tampil gagah. Hahaha", ujar Pak Yanto tergelak.

"Hhhmmm gaya-gayaan betul ih", tersipu Mirna. "Pak Yanto udah sarapan?"

"Sudah jangan repot-repot, aku sudah sarapan sebelum minum obat tadi"

"Emmm, kalau gitu mau minum apa?"

"Sudahlah Mirna, kamu enggak usah repot, aku ke sini mau memasak bareng kamu. Bukan mau bertamu"

"Oh ya, yaa hehehe. Ke mana ya Bu Aminah kok belum nongol-nongol", ujar Mirna memeriksa ponselnya. Kemudian ia berjalan masuk ke kamar seraya fokus menatap ponsel, tak sadar kedua mata nakal Pak Yanto melirik ke arah bokong Mirna. Dalam kondisi pintu terbuka, aku tidak tahu apa yang sedang Mirna lakukan di sana. Kemudian ia berpindah ke dapur, menenteng celana dalam kotor lalu ditunjukkan di depan muka Pak Yanto. Anehnya, Pak Yanto yang seharusnya marah atau terkejut malah senyam-senyum. Ini mungkin berkaitan dengan chat yang dihapus Mirna.

"Cuciiin...."

"Heheheh... mau sampai kapan begini terus?", tanya Pak Yanto mencengkeram celana dalam Mirna, lalu Mirna melepaskannya begitu saja, membiarkan Pak Yanto mengamati detail, tepatnya di titik selangkangan istriku. Lalu hidungnya mengendus-ngendus menciumi bau yang teruap. "Masih kecium bau memekmu yang harum, hehehe"

"Ihhhh gak jijik?"

"Kamu juga enggaj jijik kemarin pakai yang ada pejuku masih anget angetnya? Heehe"

"Hhhmm jangan dibahas"

"Mirnaa...", Pak Yanto duduk bergeser lebih dekat dengan istriku.

"Apaa?"

"Mau sampai kapan kita begini terus?"

"Pak Yanto ajak istrinya makanya kemari", jawab Mirna menatap Pak Yanto.

"Kalau aku udah ajak istriku?"

"Ya enggak gimana gimana"

Pak Yanto melihat plester menempel di bagian leher Mirna. "Diplester ya bekas yang kemarin?"

"Iyaa, lagian udah tahu dibilang jangan, tetep aja dilakuin"

"Hehehe maaf", ujar Pak Yanto membetulkan rambut Mirna yang menempel di bahu. Dia mengurai seraya menatap wajah Mirna. Entah mengapa Mirna diam saja, semustinya ia langsung menepuk tangan Pak Yanto.

"Aku sebetulnya takut Pak"

"Takut kenapa?"

"Enghhhhh....", Mirna merundukkan muka.

"Ayo ceritakan, dipendem nanti malah jadi penyakit"

"Emmm takut Mas Riko tahu semuanya. Awalnya kan memang kita sepakat mau bantu Mas Riko keluar dari fantasi aneh-anehnya, tapi jadi keterusan ginih. Apalagi aku punya janji sama Mas Riko......"

"Janji apa?"

"Kalau ada salah satu dari kita nyeleweng, salah satunya boleh menggugat cerai"

"Hhhhmm masalah itu...", Pak Yanto memegang dagu Mirna, mengangkatnya hingga mereka bertatapan. Mereka sudah duduk saling mendekat seolah-olah lupa status masing-masing. Aku terheran-heran dengan pemandangan ini. Niat dan Rencana yang telah disusun oleh Mirna bermaksud untuk membantuku lepas dari fantasi yang tidak keruan malah berakibat Pak yanto dan Mirna terjerumus birahi yang sungguhan. Ini sama saja terapi menyembuhkan dengan efek samping munculnya penyakit lain. HADUH.

"Kamu jangan khawatir, aku kan udah pernah bilang tidak ada sama sekali niatku dari dalam merebut kamu dari suamimu. Aku tetap mencintai istriku, Mirna. Dan kamu, semustinya juga tetap mencintai suamimu", lanjut Pak Yanto.

"Terus nanti reaksi Mas Riko kalau tahu itu bagaimana?"

"Aku yang akan menjelaskannya di depan Riko", ucap Pak Yanto memegang tangan istriku, menatap raut cemasnya.

"Yakin?"

"Iyaaa"

"Mau ngomong apa?"

"Nanti kamu lihat sendiri"

"Ngomong dulu di sini", desak Mirna

"Aku akan bilang kalau hubungan kita ini sekedar penguat hubungan rumah tangga masing-masing, anggap kita benar-benar mewujudkan fantasi suamimu, Mirna"

"Loh kok begitu? Sama aja bohong dong?"

"Daripada suamimu cari perlarian dari fantasinya? Atau malah cari pelampiasan yang lain? berfantasi yang lain-lain lagi?"

"Hhhhhmmm, bener sih, tapi yakin bapak mau bakal ngomong begitu? Kalau Mas Riko enggak sependapat?"

"Yakin, aku yakin sekali"

Mendengar pernyataan Pak Yanto, mendadak kepalaku pusing. Aku berbalik badan. Menghela nafas berulang-ulang. Apakah benar aku akan mengiyakan ucapan Pak Yanto yang nantinya akan dikatakan olehnya langsung di hadapanku? Aku memejamkan mata. Ini sama saja kemarin menuntut diriku agar merobohkan fantasi yang kini sudah menjadi puing-puing. Kemudian Pak Yanto dan Mirna berencana mendirikannya ulang. Apakah aku rela? Mirna disetubuhi oleh Pak Yanto kini bukan isapan jempol atau angan-angan yang menduga-duga. Ia mendekati nyata. Terlambat, ya terlambat. Salah? Salah untuk sesuatu yang terwujud belakangan? Bukankah dalam hidup kita pernah berharap, namun tidak terwujud. Namun belakangan hari justru kesampaian?

Kalau sudah begini, apakah aku harus mengelak dari harapan yang dulu aku sangat mendambakannya. Aku bingung, merasa dipermainkan, tetapi benar-benar tidak ada yang sengaja mempermainkan. Aku tidak bisa menyalahkan Mirna atau Pak Yanto. Kalaupun harus ada yang disalahkan, ya justru diriku ini. Hubungan Mirna dan Pak Yanto tidak akan pernah ada kalau fantasiku yang aneh-aneh ini tidak ada. Terus Aku harus bagaimana?

"Udah bisa senyum sekarang?"

"He&#039;eh"

"Bu aminah mana ya kok belum datang-datang?"

"Katanya dia mau anter cucunya dulu ke puskesmas", jawab Mirna menunjukkan chat dari bu aminah ke Pak Yanto.

"Wah kok begitu, lah terus ini gimana?"

"Ishhh jangan pegang-pegang", ucap Mirna karena Pak Yanto memegang lengannya.

"Oh ya mangap-mangap"

"Hehhe Maaf, bukan mangap"

"Terus gak boleh pegang-pegang ya?"

"Engghhh, pegang yang lain aja", Mirna kemudian melolosman kaos yang dikenakan. Kaos berkeringat itu dijatuhkan ke lantai. Pak Yanto terkekeh. Sepasang BH berwarna merah yang membungkus payudara Mirna terpampang di hadapannya. Mirna menggerai rambut ke belakang agar Pak Yanto bisa melihat jelas. Tak memberi komentar, Pak Yanto menyusul Mirna. Ia membuka kancing kemejanya yang pengap karena sedikit kekecilan. Ia jatuhkan, menimpa kaos mirna. Istriku memandang tubuh pak yanto. Badan gembul itu memiliki sepasang lengan yang berotot. Keringat membasahi leher Pak Yanto. Berikutnya kutang putih yang melekat disingkap lepas dari badan. Mirna dan Pak Yanto saling melihat tubuh mereka masing-masing.

"Pak Yanto ngapain buka baju?"

"Kamu kenapa gak dibuka BH-nya?"

"Hihihi", Mirna tersenyum. "Bukain dong"

"Hehehehe", Pak Yanto kegirangan mendengar instruksi dari Mirna. Ia yang sudah tak sabar hendak memeluk istriku. Namun ia malah menggerayangi payudara Mirna.

"Kenapa gak dibuka?"

"Hhhhmmmmffhhhhh", pertanyaan Mirna dijawab oleh pagutan bibir Pak Yanto di bibir Mirna. Mereka berciuman, beradu lidah, dan berpelukan. "Hhhmmmmfffhhh". Kedua tangan Pak Yanto kemudian menyingkap kedua Cup BH Mirna. Ia gerayangi puting susu istriku seraya mencumbu.

"Aaaahhhh"

"Ummmmhhhhh..."

"Paaakk, tolong isepin tete aku yang kemarin belum diisep"

"Urgh, kenapa?", tanya Pak Yanto kedua mata menyorot ke payudara istriku.

"Keraasss banget pentilnya"

"Urghhh,, cyooooppppphhhhh, srupppptttt"

"Aaaaaaaaaauuuuhhhh"

Tubuh Mirna mengambung, mata terpejam. Pak Yanto asyik menyusu padanya. Salah satu tangan Pak Yanto meraba-raba puting mirna yang menganggur. Ia pilin pelan-pelan nan lembut sebelum pada akhirnya puting itu giliran disambar bibir gelap Pak Yanto. Lidahnya menjulur, membasahi seluruh permukaan puting susu Mirna dengan ludahnya. Mirna sungguh menikmati tanpa perlawanan.

"Sleerrffhhh"

"Aaaaiiihh"

Pak Yanto lalu mencumbu leher Mirna kembali. Sekarang betul-betul ia lepaskan pengait BH Mirna. Tak tanggung-tanggung, celana pendeknya pun turut dipeloroti. Mirna sempat sungkan, namun atas dorongan nafsu birahi Pak Yanto mengabaikan permintaan istriku. Ia lekas mempeloroti hingga celana pendek itu terhempas ke bagian sebelah kanan sofa. Mirna memalingkan badan ke samping, merapatkan kedua pahanya. Barangkali ia malu karena kali pertama nyaris telanjang di depan pria lain yang bukan suaminya. Pak Yanto tidak membabi-buta. Ia berdiri melepaskan celana panjangnya dan menggeletakkan celana dalam di atas celana bahan yang bertumpuk dengan kemejanya. Mirna pura-pura buang muka, sedangkan ia sembunyi-sembunyi melirik ke arah kokohnya batang kemaluan Pak Yanto.

"Mirna gak dimasukkin"

"Iyaaa, gapapa, kocokin kayak kemarin saja", ucap Pak Yanto menghampiri tubuh Mirna yang rebahan di sofa.

"Mana, sinihh", jawab Mirna setelah kekhawatirannya pupus takut disetubuhi, Ia memegang penis Pak Yanto. Sebagaimana kejadian di rumah sakit. Ia kocok maju-mundur penis tersebut dengan pelan dan teratur sehingga Pak Yanto lambat laun melenguh nikmat, seraya berdiri memandang Mirna yang duduk mengurut batang penis yang hampir tiap hari ngaceng apabila teringat atau bertemu Mirna.

"Ooorghhh enakkk"

"keras banget ya kalau udah tegang"

"Iyaaah, bikin sange melulu kamu"

"Gak bisa bayangin yang lain, artis atau model, kan banyak yang seksi?", tanya Mirna sembari tetap mengocok penis Pak Yanto.

"Mikirinnya kamu, kok bayangin yang lain"

"Atau nonton video porno, yang bapak share ke aku kan bisa?"

"Urghhhh tetep aja yang aku bayangin dalam video itu aku berhubungan seks dengan kamu, Mirna"

"Hhhhmmmm....."

Aku menyangka itu merupakan segmen Pak Yanto mengakhiri nafsu birahinya, serupa yang dilakukan mereka berdua di rumah sakit. Pak Yanto memaksa tubuh Mirna rebahan di sofa. Mirna sontak terkejut. Dia mengira Pak Yanto akan menyetubuhinya, melainkan ia hanya menindih tubuh istriku. Tubuh mereka kini berpautan, mencolok perbedaan warna kulit Pak Yanto yang gelap dan Mirna yang terang dari bongkahan pantat Pak Yanto dan kedua paha mulus istriku yang terkangkang. Tersisip pula batang penis Pak Yanto di belahan vagina istriku yang terhalang celana dalam. Aku tak bisa melihatnya lagi. Yang terpandang ialah Mereka berdua berciuman mesra lalu saling bercumbu.

"Hhhmmmffffhhh"

"Aaaaaaahhhhhh"

"Hangat tubuhmu, Mirna", ucap Pak Yanto bersemuka dengan istriku

"Iyaaaah"

"Urghhhh...", Mirna tampak pasrah tubuhnya ditimpa Pak Yanto. Kemudian Pak Yanto berusaha bangun. Ia memandangi celana dalam Mirna. Ia tertarik melihat isinya, namun Mirna mencegah Pak Yanto mencopot, kendati Lelaku paruh baya tersebut sudah memohon.

"Aku kocokin lagi aja ya?"

"Iseeppin mau?", tanya Pak Yanto. Keduanya duduk berhadapan.

"Tapi habis itu udahan ya? bu Aminah udah dalam perjalanan ke sini."

"Bagaimana maunya kamu saja"

Memenuhi permintaan Pak Yanto, Mirna mencengkeram bulat-bulat penis tersebut. Ia kocok-kocok terlebih dulu, maju-mundur sehingga Pak Yanto mengaduh merem-melek. Selanjutnya Mirna ciumi kepala penis Pak Yanto, disentuh kantong kemihnya. Ia mainkan. Kemudian Mmenjulurkan lidah untuk membasahi kemaluan yang masih mengeras itu. Dia jilati, baru kemudian mengemutnya.

"Hhhmmmmmpphhhhh"

"Sesuai bayanganku, enak kalo kamu yang ngemut kontolku, oughhh"

"Hhhhhmmmmppphhhh"

"Ougghhhh, terusss"

"Hhhhhmmmppphhh aaaaahhh"

"Hhhhmmffffffhhh", ketika Mirna berhenti sejenak mengulum. Mereka berdua sempat berciuman sebelum lanjut lagi Mirna mengemut penis Pak Yanto. Lelaki itu terus mengeluh nikmat seakan ini rumahnya. Ia tuntun kepala mirna naik turun bahkan disambi meremas-remas pantat Mirna. Ia elus badan istriku, belai-belai rambutnya. Entah Mirna masih ingat aku atau tidak.

"Oooughhhh dikit lagi, terusss"

"Hhhhmmmmppppphh"

"Ouughhhhh..Fantasi Riko itu mungkin benar, tubuhmu kalau disaksikan bersetubuh dengan laki-laki lain bikin birahi, tetapi buatku tetaplah birahi yang sesungguhnya kita seperti ini", ujar Pak Yanto.

"Hhhhhmmmmppphhh"

"Ooughhhhhhh dikit lagi, dikit lagiii", pantat Pak Yanto terangkat ke atas. Ia hampir mencapai klimaksnya.

"Hhhhmmmmppphhh hmmmppphhh"

"Ooorghhhh lebih cepat, aku sudah tidak kuat, Mirnaaa"

"Hhhhhhhmmmmmpppphh"

CROOOOTTTTTTTT CROOOOOTTTTT

Beberapa kali hentakan, penis itu menyodok-nyodok mulut istriku. Robohlah tubuh Pak Yanto. Kepala dan badannya lekas ambruk. Mirna melongo, membuka mulut, ditumpahkan sperma Pak Yanto di telapak tangannya. Pak Yanto terkekeh. Mirna tersenyum. Keduanya pun berpelukan lagi.

Setelah meyakini tidak ada aktivitas lanjut dari keduanya. Aku membaringkan tubuhku di tempat tidur Rengga. Aku berusaha mengingat-ngingat yang dilakukan oleh Mirna dan Pak Yanto. Apakah aku harus rela merestuinya seandai Pak Yanto ingin menyetubuhi istriku? Aku galau, menghukumi Mirna pun juga. Bagaimana selanjutnya hubungan rumah tangga kami? Astaga penisku ngaceng. Rasanya aku ingin adegan Mirna dan Pak Yanto diulang.

MAMPUS


====================

KHILAF</span>

"Hmmmmfffhhhh"

"Udah ih, kapan masaknya kalau begini? Bu Aminah udah mau nyampe tuh"

"Hehehe", terkekeh Pak Yanto memangku Mirna di sofa. Kendati Pak Yanto sudah meraih kepuasannya ia belum puas memeluk dan mencium Mirna.

"Sudaah, cukupp"

"Memekmu basaah, bener gak mau diapa-apain?"

"Iya, cukup, enggak usah ngapa-ngapain"

"Masukkin yuk", pinta Pak Yanto mengelus-ngelus paha Mirna.

"Enggak! Udah lemes gitu apa yang mau dimasukkin?"

"Ya enggak sekarang, lain kali..."

"Udah ah", ujar Mirna. Ia bangkit berdiri. Namun tangan Pak Yanto menariknya terduduk. Pak Yanto kembali mencium bibir Mirna.

"Hhmmmmmmmffhhh...."

"Isshhh udaahhh"

Entah sampai kapan aku bertahan di kamar anakku, Rengga. Sementara Bu Aminah yang belum juga menunjukkan batang hidung hanya memberi kesempatan bagi Pak Yanto lebih leluasa. Penis Pak Yanto sudah takluk. Sangat memungkinkan kembali garang apabila istriku dan Pak Yanto dibiarkan kelamaan berdua. Lihat geliat Pak Yanto seolah-olah tidak berkenan Mirna berpakaian, dari tadi terus menyentuh dan membujuk rayu. Aku bersembunyi, mendekam dalam kebimbangan. Peluang emas melabrak Mirna tersedia di depan mata, namun aku justru menikmati permainan antara istriku dan Pak Yanto. Gumam batin berbicara "Nanti Dulu, Nanti Dulu, Nanti dulu". Sebaliknya pengunduran akan mengurangi kesempatan menyudutkan Mirna yang hampir selalu memenangi perang kata. Akan tetapi, kaki kiri dan kanan seakan-akan memiliki beda arah jalan.

"Mana harga dirimu, ******!", bisik batin mengompori. "Binimu itu bukan ladang milik laki-laki tua tengik itu! Kamu yang semustinya yang menggarap! Masih waras kau?! Hey! Binimu itu! Tolol!"

"Jangan dulu! Entar dulu! Susah payah kau berharap, bodoh! Ini peluang emas kau lihat binimu enak-enak dengan pria lain, coy! Mau kau sia-siakan?! Pasang matamu lebar-lebar! Melek!"

Jakun naik-turun, irama jantung berdegub cepat, menyongsong siang keringat mengucur setetes demi setetes karena pengapnya kamar Rengga. Sumpeklah pikiran. Aku kegerahan ingin keluar dari kamar ini walau agak berkeras hati untuk bertahan. Aku perlu menentukan sikap yang tegas dan lugas sebagai seorang suami yang sah dari Mirna. Aku tidak boleh lembek hanya karena nafsu belaka. Aku memiliki kehormatan dan harga diri yang harus dijunjung dan dijaga, bukan dipreteli sendiri. Lagipula ini kesempatan menunjukkan diri siapa aku supaya Mirna tidak lagi merendahkan, berkelit bahwa dialah yang benar. Kalau bukan sekarang, masihkah ada kesempatan di depan? Belum tentu. Atau malah kehilangan akibat mengulur-ngulur. Ayolah!

"Aaaahhhh udaaah!!", desah Mirna. Pak Yanto mendorong, menelungkupkan tubuh istriku di sofa. Ia memeloroti paksa celana dalam istriku, meski Mirna telah berusaha merenggut dan mengelak.

"Belum! Aku ingin cium bau memekmu, sayang! Hehehehehe"

"Eitssss jangan! Enggak bolehh!",

"Udah diaaam! Grrrrmmmmh!", Pak Yanto beringasan, meremas-remas bongkahan pantat Mirna.

"Aaaaiiiiiihhhh! Enggggaaak!"

"Apaa susahnya diam?! Sebentar saja!", desak Pak Yanto ngotor.

"Aaaaihhhhh Aaakuuu teriak nih?!! Supaya orang-orang pada dengerrr semua?!!!""

"Gggrmmmmhh!"

"Aaaaaaaahhhhhhh!! Engggaaakkk!!!!", jerit Mirna keras, menghentak Pak Yanto agar lekas berhenti. Begitu pula hati sanubariku sebagai seorang suami tersambar menyahut, ITU TOLONG ISTRIMU ******!! JANGAN PLANGA PLONGO! KAU PENGECUT??!! SUDAH PENGECUT, ******??!! KAMU LAKI!!
Segera AKU MEMANTAPKAN HATI, BULAT TEKAD, dan MEMBERANIKAN NYALI BAHWA AKU PUNYA HARGA DIRI DAN MARTABAT. RUMAH TANGGAKU HARUS KOKOH. FANTASI BOLEH, SETIDAKNYA KAMU MESTI TUNJUKKAN HARGA DIRIMU SEBAGAI SUAMI. AKU BUKA DAN BANTING PINTU, MENAMPAKKAN DIRI GAGAH DI HADAPAN PAK YANTO DAN MIRNA. MEREKA TERKAGET-KAGET! TERCENGANG! BUBAR!

"Ampun Pak Riko!! Ampun! Maaaf!! Saya bisa jelaskan!"

"HEY ANJING TUA! Seharusnya sudah kubikin kau MAMPUS kemarin!!", gertakku keras dengan nada menggelegar, lantang penuh amarah, menukik, menghantam mental Pak Yanto yang berubah ciut serta luluh lantak dipenuhi rasa bersalah. PERCUMA! AKU TEMPELENG KEPALANYA. DIA TERUS SAJA MENUNDUK.

PPPPLLLAAAAAAKKK!!

"Saya bisa jelaskan semua ini Pak Riko! Ampun! Maaf Pak! Maaf!", Pak Yanto berlutut merengek, hingga bersujud-sujud mengemis maaf.

"Mirna!!! Kemari kamu!! Jangan mengurung diri di kamar!! Mirna!! Hoy Mirna!!", meledak murka.

Kegaduhan di dalam rumah ternyata mengundang tetangga-tetangga berkerumun di depan. Pak Yanto semakin kecut. Raut mukanya kisut, khawatir ditangkap warga lalu diarak bugil.  Namun Aku tidak berharap massa yang mengadili. Ini perkara antara aku dan Pak Yanto.

"Ini bukan sepenuhnya salah saya pak! Ampun!! Ampuun Pak Riko!! Tolong lindungi saya! Saya takut diamuk warga paakkk!!!

"TENANG! AKU TIDAK AKAN SAMPAI HATI MENGIZINKAN WARGA MENGHUKUMI DAN MEMUKULI KAU! KAU BUKAN MALING!"

"Ampunn! amppun Pak! Tolong lindungi saya! Tolong!"

"SUDAH JANGAN TERUS BILANG AMPUN! KAU JELAS SALAH! AKU AKAN POTONG TITIT KAU!  PAHAAMM??!"

"Jangaan Pak!!! Ampun! Jangan!!!"

"Sudah diam dulu di sini!! Jangan banyak omong! Semakin banyak omong, warga semakin penasaran ingin masuk"

Aku menghampiri kamar, langkah mengentap memburu, aku menggedor-gedor pintu agar Mirna keluar, bukannya malah mengurung diri dan menangis. Kupanggil-panggil dia tak menyahut, sekedar tangis yang merajalela karena tak bisa lagi berkelit dan membela diri. Padahal aku sudah ingin membeberkan dan mendebat Mirna seandai dia masih membantah karena semua sudah terang dan jelas. MAIN API!

DOORR DOOORR DOOORR

"MIRNA BUKA PINTUNYA! MIRNA!! BUKA PINTU!! BUKAA!!! KELUAR KAMU!!! HEY MIRNA!!"

DDOORRR DOOORRR DOOORR

"MIRNA! BUKA PINTU!"

Mirna hanya menangis sejadinya. Aku memberinya kesempatan merenung dan kiranya mempersiapkan alasan untuk disampaikan ke hadapanku. Sekarang aku mau mengurus Pak Yanto.

"PAKAI BAJUUU!!"

"Ampun pak!!"

"Sudah cukup bilang ampun. Pakai bajunya!! Kubawa kau menghadap RT dan RW!"

"Saya mau diapakan?!"

"BIAR MEREKA BERDUA YANG POTONG TITIT KAU!"

Aku membuka pintu depan sembari menunggu Pak Yanto berpakaian. Aku hendak menghadap Pak RT yang telah menunggu dan berkali-kali mengucap salam. Di belakangnya beberapa warga di antaranya ibu-ibu dan bapak-bapak saling bercengkerama satu sama lain. Salah satu di antara mereka ada Bu Aminah. Pak RT bertanya kiranya ada masalah dan ribut apa karena sampai terdengar keluar, baik dialog hingga jerit perempuan. Aku bilang ke Pak RT agar warga diredakan dan ditenangkan terlebih dulu karena ini masalah aib rumah tangga serta Aku ingin menutupinya agar tidak terumbar keluar. Pak RT dapat memaklumi. Kemudian ia mendatangi kerumunan warga yang sudah tak sabar mendapatkan informasi peristiwa apa yang sebenarnya terjadi. Akan tetapi, Pak RT sekedar menerangkan kepada warga bahwa ini adalah masalah rumah tangga biasa, sebaiknya tidak perlu heboh dan kembali pulang ke rumah masing-masing.

Setelah kerumunan warga membubarkan diri, aku mengajak Pak RT masuk sambil menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di dalam rumah. Pak Yanto terduduk menunduk. Aku minta ia diam agar Pak RT tahu duduk persoalannya sehingga dapat ketemu solusi paling bijak atas permasalahan ini.

"Hoalah Pak Yanto, inget umur pak..."
"Kemarin juga baru sakit, seharusnya dibanyakin ibadah, malah manjain burung"

"Yaa maaf, sebetulnya bukan karena salah saya seorang saja, Pak RT. Saya terpancing rayuan ibu Mirna"

"Tapi Mirna tidak sampai ngajak adu kelamin, hey! DASAR OTAK TITIT!!", bentakku ke Pak Yanto.

"Mulanya kan dari fantasi Pak Riko"

"LAMA-LAMA KUHAJAR KAU!"

"Sabar Pak Riko, Sabar" ucap Pak RT menahan-nahan.

Seandai tidak ada hukum pidana dan dosa sudah kuhajar ini orang. Selanjutnya aku menerangkan ke Pak RT bahwa Pak Yanto yang keterusan dan tidak bisa mengendalikan diri. Aku menolak Mirna disalahkan di hadapan mereka berdua, kendati sejatinya aku tetap mengakui dalam hati secara pribadi bahwa Mirna turut bersalah. Aku akan selesaikan berdua dengannya karena perlu dikulik dalam-dalam, sedangkan Mirna masih mengurung diri.

"Ampun Pak! Maaf! Ampun! Jangan bawa saya ke polisi! Saya tidak mau mati di dalam penjara"

"Bagaimana Pak Riko? Cukup? Saya serahkan semua ke Pak Riko. Saya di sini hanya menengahi"

PPPPUUUNNNCCCHHHHH BRRRRRUUGGGH
Satu kepalan keras tangan melayang ke pipi Pak Yanto. Aku meninjunya dengan sekuat tenaga, mengumpulkan seluruh ledakan amarah dan melepaskannya lewat tinjuan tersebut. LEBAM dan BERDARAH. Pak Yanto terhuyung mengaduh-ngaduh sakit.

"Sudah Pak! Sudah! Jangan emosi lagi...", ucap Pak RT.

"Aduh! Ampun Pak Riko! Ampun! Sakittt bener ini pak!"

"MAMPUS!"
"KAU PERGI DARI PERUMAHAN INI! PULANG KE KAMPUNG SANA! SUPAYA KUMPUL DENGAN ISTRI DAN ANAK! KALAU PERLU ISTRI DAN ANAKNYA TAHU KELAKUAN BAPAKNYA INI DI JAKARTA! BUKANNYA CARI DUIT, TAPI MALAH CARI LUBANG MEMEK!

PUUNNNNNCCCHHHH BRRRUGHHHHHH
Bogem mentah nan keras kembali menghantam pipi Pak Yanto, kini yang sebelahnya.

"Addddduuuuh sakittttt Pak!! Bengap saya!", jawab Pak Yanto memegang pipinya.

DARIPADA JANTUNG KAU KUBIKIN BENGAP?!!

"Baikkk saya akan pergi dari sini... ampun... jangan pukul lagi... sakiit...".

"Sudah, cukup, Pak Riko! Cukup! Jangan emosi", ujar Pak RT berupaya meredam emosiku.

<div style="text-align: center">=Y='
Pak RT menemani dan mengantarkan pulang Pak Yanto ke rumahnya. Kami telah mendapatkan jalan penyelesaian bahwa kasus ini tidak perlu dilaporkan ke Polisi. Aku hanya ingin Pak Yanto angkat kaki dari rumahnya serta jangan pernah kembali ke perumahan ini, menghubungi, dan bertemu Mirna selamanya. Ada ketahuan melanggar, aku tidak segan-segan melaporkan ia ke pihak yang berwajib. Selesai urusan dengan Pak Yanto, kini giliran Mirna. Ia masih menangis sesengguk-sengguk, meratapi yang baru saja terjadi, sedangkan Aku sedang mendinginkan pikiran sejenak, tak berniat membikin isi rumah gaduh. Aku mempersilakan Mirna merenung. Pria sejati bukan yang mengamuk-ngamuk dan berlaku kasar kepada perempuan. Aku ingin berbicara empat mata dengan Mirna, sampai ia benar-benar siap.

Akan tetapi, aku tunggu baik-baik, ia malah tidak keluar kamar. Aku mengelola kesabaranku.

"Mirna! Buka pintunya... mau sampai kapan kamu di dalam?!"

"....."

"Buka pintunya!", teriakku. Mirna tidak menggubris. Alhasil, tidak ada pilihan, aku harus benar-benar menunggu Mirna menenangkan dirinya. Aku terpaksa menghabiskan waktu sendirian. Kembali ke kantor menjadi enggan dan rumit apabila kondisi begini. Aku duduk bersandar di sofa menonton konten musik di Youtube seraya menghibur diri, sampai kantuk datang tak diundang. Nyaris tertidur, tiba-tiba ada suara perempuan mengucap salam di depan rumah.

"Assalamuaikum! Assalamualaikum!"

"Walaikumsalam Bu...", jawabku menghampiri Bu Aminah di depan pagar.

"Tadi ada apa Pak Riko kedengerannya ribut-ribut di dalam? Saya ke sini bolak-balik situasinya masih sama"

"Hehehe biasa bu, masalah rumah tangga, sekarang sudah beres kok. Ada apa ya bu kemari?"

"Emmmhhh... iya katanya ibu hari ini kan mau ditemani masak-masak jadi apa enggak ya? Saya sudah hubungi lewat WA tidak dijawab", tanya Bu Aminah. Aku awalnya ingin bilang tidak, namun aku ingin menanyakan ke Mirna dulu barangkali bisa memancing Mirna keluar dari kamar.

"Tunggu sebentar ya bu, saya panggilkan Mirnanya. Ayo Bu Aminah silakan masuk, kelamaan berdiri pegel juga"

"Baikkk....", jawab Bu Aminah. Setelah aku bukakan pagar, ia berjalan mengikuti.

Aku mengantarkan bu aminah sampai ruang tamu."Ayo silakan duduk dulu..."

"Iya terima kasih Pak Riko..."

Aku kembali berdiri di depan pintu kamar Mirna, memanggil istriku agar mau keluar dari dalam kamarnya. Aku menaruh harapan Mirna membukakan pintu,

"Bilang saja tidak jadi! Aku cape!"

"Kamu temui dulu Bu Aminahnya, dia di depan itu", balasku. Selanjutnya Mirna membungkam lagi kendati aku terus membujuknya keluar.

"Maaf ya Bu, sepertinya tidak jadi. Kata Mirna, dia sedang cape"

"Oh baiklah, enggak apa-apa, paling tidak saya dapat informasi. Hehehe"

"Hhhmmm kalau boleh tahu, pagi tadi ibu belanja bareng Mirna?"

"Betul"

"Itu berdua saja?", tanyaku penasaran.

"Enggak, ada Pak Yanto nemenin"

"Oooo.... sudah berapa sering itu?"

"Siapa? Maksudnya?"

"Iya, ibu, Mirna, dan Pak Yanto jalan bareng"

"Baru dua kali...", jawab Bu Aminah tidak terbebani pertanyaan interogatifku.

"Enggak ada yang aneh kan?"

"Aneh seperti apa? Normal-normal saja kok Pak. Yang namanya belanja ya belanja"

"Hehehe iyaa yah"

"Baik, saya pamit, berarti masak-masaknya tidak jadi"

"Maaf ya Bu Aminah, terima kasih banyak sebelumnya, lain kali jadi kok ", ucapku mengantar Bu Aminah ke halaman depan. Sesudahnya aku duduk bersandar kembali di sofa mengulang aktivitas sembari menunggu Mirna melunak karena aku ingin bicara empat mata dengannya, tentunya tanpa emosi dengan kepala dingin.

Menjelang Siang Pukul 10.30

Wawan: terima kasih banyak Pak Riko. Akhirnya saya bisa bekerja setelah lama menganggur, bakal bisa punya uang sendiri. Bahagiain bapak sama ibu.
Aku: ya alhamdulillah. Rajin-rajin dan disiplin ya nanti, Wan.
Wawan: siap Pak. pakaiannya kemeja celana bahan gitu pak?
Aku: bawa kaos ganti kalau mau. Kamu nanti kan berkeringat.
Wawan: oh yaa, kalau boleh tahu pak, atasan saya nanti orangnya bagaimana ya?
Aku: hahahaha belum kerja sudah nanya bosnya.
Wawan: hehehe deg-degan, siapa tahu ada hal-hal yang perlu saya perhatikan dari tipikal karakter bos saya nanti"
Aku: kamu intinya mesti rajin, disiplin, jangan lamban. Bos kamu nanti namanya Pak Jajang. Dia orangnya pengen serba cepet, tuntas.
Wawan: engghh, galak pak?
Aku: galak? Hahaha kalau kamu baik ya dia baik.
Wawan: kok saya mendengar ada keraguan dari jawaban bapak yah.
Aku: santai, Wan. Setiap pekerjaan ada tantangannya. Jangan lupa berkawan juga.
Wawan: itu mah paham pak hehehe.

Beberapa hari ke depan Wawan sudah mulai bekerja. Tidak disangka, mulanya itu pekerjaan untuk Pak Yanto, ternyata rezekinya untuk Wawan. Dia sangat antusias segera bekerja karena selama ini ia menghabiskan hari melamun dan berharap panggilan datang kepadanya. Zaman semakin sengit dan kompetitif pemuda seperti Wawan pastinya ingin segera bekerja demi membahagiakan orang tua juga hidup mandiri. Selama ini ia bekerja pontang panting memelas belas kasih. Meski yang didapat dari bekerja serabutan &#039;nguli&#039; tak menentu, baginya uang adalah kehidupan, sumber kebahagiaan. Apalagi sekarang memperoleh gaji yang jelas. Wajahnya tak murung semenjak mendapatkan pekerjaan.

<div style="text-align: center">=Y='
"Kamu mau ke mana?! Kita mesti ngomong!"

"Aku mau pulang ke rumah orang tuaku mas! Jangan tahan aku!", jawab Mirna. Aku terbangun dia sudah keluar kamar menenteng koper serta mengenakan jaket dan celana jeans.

"Loh ini masalah belum selesai kamu sudah mau pergi, apa kata ibumu seandai tahu yang kamu lakukan hari ini?! Heh?!"

"Terserah kamu Mas, yang jelas aku begitu gara-gara kamu juga", tuduh Mirna terisak-isak. Kami sedang bertengkar.

"Kenapa jadi aku?! Kita kan sudah buat perjanjian, aku sudah tidak berfantasi macam-macam, di mana salahku?! Di mana?!"

"Kamu kira aku bisa melewati semua ini dengan mudah?! Psikis aku sudah terlanjur kena Mas! Mentalku sudah kena! Dulu aku itu perempuan normal, namun semenjak kamu hujani aku dengan fantasi-fantasi gilamu, aku sudah tidak normal lagi, mental dan psikisku hancur! Hancur!"

"Alasan kamu! Psikis kena itu ke Psikiater bukannya malah &#039;wenak-wenak&#039; sampai ngisep kontol begitu, kurang parah apa?! Kamu sadar?! Kalau sadar kamu semestinya ngomong jujur, bukan malah diam-diam, ngeluh belakangan. Lagipula sebelumnya kita sudah pernah bicara seperti ini, kenapa saat itu tidak sekalian kamu bilang?!"

"Sulit aku bilangnya Mas, sulitt!!!!", Mirna menumpahkan air matanya. Ia lemas dan memutuskan duduk di sofa sembari menangis memegang dahi. "Iyaaa....Aku mengaku salah, mengaku salah melakukan itu semua, karena aku merasa tertekan, terpojok, tidak memiliki pilihan, Mas"
"Aku minta maaf, aku menyesal, aku merasa gagal menjadi istrimu. Biarkan aku pulang ke tempat ibuku sekarang, aku merasa sudah tidak pantas tinggal di sini bersama kamu, tolong biarkan aku pergi"

Pengakuan Mirna barusan menggerus amarahku yang konsisten berusaha menepis apabila Mirna terus merasa benar. Aku sudah mengetahui semuanya dan bukti-bukti bisa diperlihatkan jika Mirna belum berhenti mengelak. Akan tetapi, karena sudah terpojok, Mirna hanya mampu menangis melepas air mata penyesalan. Dia mengaku secara jujur melakukan itu semua dengan Pak Yanto secara sadar penuh disebabkan hasutan fantasiku selama ini yang berhasil merasuk alam bawah sadarnya. Aku meyakini bahwa Mirna butuh perjuangan keluar dari hal tersebut. Ditambah aku bukan sekali dua kali memberi sugesti negatif ke Mirna, itu hampir tiap kali aku lakukan agar Mirna mau menuruti kemauanku yakni disetubuhi pria lain. Meskipun fantasi itu sudah surut, segalanya sudah terlanjur basah. Mirna hampir selalu bisa menolak, tetapi penolakannya itu menyisakan persoalan mental yang aku tidak memahaminya.

Bagiku mungkin fantasi sudah larut menguap, tetapi bagi Mirna ada &#039;sampah&#039; pikiran yang harus dimuntahkan. Sampah pikiran itu menumpuk menjadi masalah yang mengendap sehingga kacau pikirannya. Kita kaum pria barangkali menikmati sesuatu mengedepankan logika, namun perempuan sejatinya hampir melibatkan emosi atau perasaan. Aku mengabaikan poin tersebut. Betapa egoisnya aku sebagai seorang suami. Maafkan Aku Mirna, maafkan aku sayang, aku suamimu terlalu egois, terlalu bodoh. Masalah ini tidak remeh. Mudah dilupakan bagiku, melainkan tidak bagi Mirna. Ia perlu dibantu keluar dari proses sulit ini.

"Maafkan aku sayang, aku yang salah, aku yang lupa diri"
"Sudah jangan menangis lagi. Ini semua salahku"
"Aku akan bantu kamu keluar dari masalah ini. Aku tidak akan membiarkan berjuang sendirian", ucapku duduk memeluk Mirna. Aku belai rambut dan cium ubun-ubun kepalanya. Mirna tak bisa menanggapi. Ia hanya dapat menangis sejadinya dalam dekapan eratku.

"Maafkan aku juga, mas"

"Iya, tapi salahku jauh lebih banyak. Kamu jangan pergi ya..."

"Iyaa, enggak. Tapi aku malu, aku berhak dihukum, bukannya kita sudah bikin janji??"

"Pssssssttttt, sudah, enggak perlu ada dihukum-hukum, kamu salah ya aku salah juga, semustinya karena kita berdua sama-sama salah justru jadi semakin saling sayang-menyayangi. Kalau dihukum karena salah seperti ini, bukannya sayang tapi benci"

"Terima kasih ya, Mas"

"Iyaa, sudah jangan menangis lagi"

....................................

Semenjak saat itu aku menata ulang kehidupan rumah tanggaku dengan Mirna. Aku menemaninya berobat ke psikiater, keluar dari situasi sulit yang disebabkan oleh ulahku. Di sisi lain, Mirna sudah mengenakan hijab ketika keluar rumah. Aku mendukungnya karena dulu akulah yang menyebabkan Mirna melepas hijab. Sekarang ia sudah mengenakan hijabnya kembali sehingga ke luar rumah jika berbelanja tidak ada yang perlu aku risaukan. Bagian tubuh dan auratnya tak mencolok. Fantasiku juga tak hilang-muncul lagi. Aku sepenuhnya normal menjalankan hubungan suami-istri dengan Mirna. Pak Yanto sudah tidak menghuni rumahnya lagi semenjak aku memperingatinya keras. Dia sudah pulang kampung berkumpul bersama istri dan anaknya. Rumah itu kini kosong, kendati masih rumah Pak Yanto, semua terasa tinggal kenangan. Aku tersenyum betapa bahagia akhir-akhir ini hidup tanpa fantasi gila dan jorok, kecuali angan-angan menonton film porno masih kulakoni. Biarlah fantasi tetap menjadi fantasi, tidak menjadi realita yang belum tentu kita sanggup menghadapi dan menjalaninya.............

Sekarang aku bukan berteman dengan Pak Yanto lagi, melainkan Wawan yang bisa menjadi karib di tempat kerja dan di rumah. Bahkan ia menjadi mata-mataku karena dia merupakan anak buah Jajang. Dari Wawan justru aku mendapatkan kabar bahwa Jajang benar menyimpan niat dan maksud terselubung tinggal satu tempat kos dengan Rani. Mirna yang mengetahui hal itu mengatakan bahwa Jajang sedang melakukan pendekatan iblis, tujuannya tidak lain, tidak bukan adalah SELANGKANGAN. Aku tertawa terbahak-bahak.

6 Bulan Kemudian........

Aku: Pak Yanto bagaimana kabarnya?
Pak Yanto: alhamdulillah sehat. Maaf ini siapa?


====================

PENGHUJUNG KISAH</span>

Beberapa bulan rumah tanggaku dengan Mirna membaik, tak ada kecurigaan di antara kami yang sudah saling terbuka mengenai sesuatu, baik mengenai pekerjaanku di kantor hingga Jajang dan Rani. Selama itu pula aku menemani Mirna berobat ke Psikiater memulihkan psikis dan mentalnya. Ia menjalani beberapa terapi, baik kognitif hingga pengobatan. Kunjungan rutin ke psikiater selama sebulan sekali, sedangkan pengobatan ia minum dua butir obat yang diresepkan dan diminum 2x sehari.

Perlahan-lahan banyak perubahan dalam diri Mirna. Keluar rumah ia sudah mengenakan kerudung yang menutupi bagian dadanya, meskipun pakaian masih belum berbaju kurung. Beberapa gamis ia beli untuk dikenakan saat mengikuti pengajian ibu-ibu komplek di masjid terdekat. Aku mensyukuri itu, kendati ibadahnya masih bolong-bolong. Mirna lebih ceria dan bahagia dari biasanya. Ketika berbicara denganku, kami sudah jarang bertengkar kata mengenai sesuatu. Ia lebih kalem dan menurut. Tidurnya pun lebih awal dari biasanya, lebih pulas dan nyenyak, sehingga beranjak bangun  pagi lebih awal untuk sholat Subuh kemudian berolah raga. Sungguh berbeda denganku yang masih begini-begini saja. Aku masih menonton film porno, kadang bersama Mirna yang belum konsisten, untuk sekedar memanaskan hubungan di atas tempat tidur kami.

Di sisi lain, ketika Mirna sudah membaik, kami berdua kerap mentertawakan masa lalu, menjadikannya bahasan sebagai obrolan menjelang tidur. Aku pula jadi tahu apa saja yang dilakukan Pak Yanto selagi mendekati Mirna dan Bu Aminah yang salah kaprah.

"Kamu makanya enggak semua omongan orang itu mesti didengerin"

"Aku tuh kan cape tiap waktu kamu ngomong itu-itu mulu, mas. Kadang butuh temen untuk ungkapin isi hati kita"

"Iyaaa, paham sih"

"Bu Aminah bilang ke kamu dibikin santai aja, eh Pak Yantonya gak pernah santai. Hahahahahahah"

"Isshhh kamu, dieemm, baper tahu"

"Hehehhehe, terus kamu dideketin gimana sama Pak Yanto?"

"Ya dirayu-rayu, digombalin. Aku sih paham banget arahnya akan gimana. Aku merasa dia juga bisa bantuin aku, ya aku dengerin yang dia bilang"

"Hubungan Pura-pura tapi serius? Gitu? Hahahah"

"Pernah suatu waktu dia ngomong ke aku, seandai dia dapat kesempatan nidurin aku beneran gimana, apa aku mau? Ya aku jawab enggak mau"

"Loh terus kok bisa hampir kejadian?"

"Semenjak kejadian di rumah sakit itu dia jadi semakin agresif ke aku Mas. Suka teleponin aku pas kamu di kantor, awalnya sih ngomong biasa nanya lagi apa, apa Mas Riko sudah lebih baik, akhirnya dia nanya-nanya bagaimana ukuran penis dia, mau ngisepin lagi gak, dia bilang susu aku kesukaan dia banget bentuknya"

"Wew! Terus kenapa kamu tanggepin?"

"Enghhhh.... akunya jadi ikut keseret arus", ucap Mirna malu-malu.

"Keseret apa udah tenggelem? Hahaha"

"Tenggelem, puas?"

"Hahahahahha. Emmmhh, sekarang ceritain apa aja yang aku gak tahu selama kamu berhubungan dengan Pak Yanto"

"Emmmmhhh... apa yah?"

"Yang inget aja, masa gak ada"

"Kadang Pak Yanto itu pinter, suka nanya-nanya gitu soal aku ke Bu Aminah, yang ke pasar itu kan aku cuman kasih tahu Bu Aminah. Terus Bu Aminah kasih tahu ke Pak Yanto"

"Waaah jangan-jangan Bu Aminah itu satu komplotan juga"

"Enggg, enggak sih Mas, dia kan ngiranya Pak Yanto itu cuman genit aja, ya dia tanggepin. Cuman dia gak tahu kalau hubungan aku dengan Pak Yanto sudah sejauh itu"

"Terus apalagi?"

"Megang-megang dan cubitin pantat aku pas jalan ke pasar bareng bu aminah, diem-diem sih, bu aminah gak tahu"

"Terus?"

"Emmmhh...chat seks dan telepon seks palingan"

"Gak nyangka beneran yah aku sama kamu, Itu kamu bayangin beneran?"

"Iyaaa"

"Bayangin dientot Pak Yanto?"

"Iiiiyyyyaaaaaaaaahhhhh....."

"Ckckckck"

"Pak Yanto juga pernah hampir mainin memek aku pas nemenin dia ke kamar mandi"

"Hhhhmmm"

"Terus dia ngomong sewaktu-waktu kontolnya pasti bener-bener bisa ngerasain memek aku"

"Gitu? Waduwh aturan kubikin babak belur sekalian dia tahu begitu"

Pembicaraan yang semula penuh lucu-lucuan malah membangkitkan birahiku. Padahal, sejujurnya masalah ini tidak seharusnya diungkit-ungkit lagi. Yang Mirna sampaikan justru memacuku berimajinasi. Sial. Aku membayangkan semua yang Mirna katakan. Entah apa kabarnya Pak Yanto hari ini. Apakah ia bersama istrinya mentertawakannya samahalnya aku dengan Mirna? Atau dia betul-betul sudah melupakan karena aku sudah memberinya bogem mentah yang meninggalkan bekas menyedihkan di kedua pipinya? Aku masih menyimpan kontak Pak Yanto dan tidak menyentuhnya sama sekali saat Mirna dalam proses pemulihan. Lambat laun setelah Mirna melalui masa sulit itu. Aku terpancing ingin menanyakan kabar karena di balik kesalahannya, tetap aku juga merasa bersalah karena telah menggunakan kekerasan untuk melampiaskan kekesalan.

Mirna sendiri selama pemulihannya satu yang meninggalkan bekas adalah sesekali aku mengizinkannya masturbasi. Dia ingin masturbasi membayangi Pak Yanto menidurinya. Bagi Mirna, hal itu adalah momen yang tidak pernah dia alami bahkan hampir mengalami sehingga sangat mengusik mental dan psikisnya. Mirna sulit melupakan bagaimana Pak Yanto menggerayangi dan menghisap payudaranya. Mirna juga sering terbayang bagaimana ia membantu penis Pak Yanto klimaks serta ditambah spermanya yang masih hangat menempel di celana dalam untuk lekas dipakai Mirna. Bayangan cumbuan dan ciuman panas Pak Yanto pula ikut sulit dilupakan. Ia berat mengabaikan, kecuali berdamai dengan masa lalu.

Bahkan selama masa terapi ia pernah melontarkan pertanyaan yang aku tidak tahu antara guyon atau serius. Ia menanyakan bagaimana jika sebaiknya fantasiku itu direalisasikan saja karena ia benar-benar mau disetubuhi oleh Pak Yanto. Aku mengganggapnya main-main. Lagipula saat Mirna melontarkan pertanyaan aku masih sedikit menyimpan rasa kesal apabila mendengar nama Pak Yanto, ditambah kekhawatiranku apabila itu terjadi Mirna malah semakin parah secara mental dan psikologis. Seiring berjalan waktu aku hanya dapat berdamai dengan masa lalu. Bagi kami berdua, Pak Yanto punya ruang tersendiri untuk dikenang terlepas dari perilaku dan sifatnya.

"Pak Yanto apa kabarnya ya?"

"Ciee yang kangen Pak Yanto", ledek Mirna.

"Ah kayak kamu gak kangen aja, pakai pura-pura"

"Enggak yeee"

"Enggak tapi suka ngungkit-ngungkit. Apakah dia masih sehat ya?"

"Coba tanyain Mas"

"Tuh kan, kenapa gak kamu tanya sendiri aja"

"Males ah, takut keterusan kaya dulu", ungkap Mirna. "Apalagi kamu udah nonjok dia, aku makin gak enak aja"

"Enaknya yang lain yah? Hehehe"

"Idddihhh apaan sih mas", Mirna tersenyum.

Aku pun lekas mengambil ponsel dan lekas mengirimkan pesan menanyakan kabar ke Pak Yanto. Sayangnya karena sudah malam, barangkali Pak Yanto sudah tertidur pesan itu hanya tercentang dua alias belum dibaca. Aku meletakkan ponselku kembali, namun Mirna mencegahnya. Ia merampas ponselku dan membuka folder video. Dibukanya rekaman video Jajang berhubungan badan dengan Rani. Video itu aku dapatkan dari Wawan karena keuletan dan ketekunannya dalam bekerja, Jajang sangat terkagum dan menaruh kepercayaan yang besar kepada Wawan. Oleh karena itu, bos dan anak buah tersebut memiliki kedekatan yang istimewa sehingga aku banyak mendapatkan informasi hubungan terselubung Jajang dan Rani. Sayangnya aku tidak mau mencampuri urusan orang lain, sedangkan urusanku dengan Mirna belum beres. Yang kudapat dari Wawan di antaranya adalah video porno hubungan seks Jajang dan Rani.

Menurut Wawan, Rani bisa jatuh kepelukan Jajang karena kesepiannya selama ini ia tumpahkan dan ceritakan ke Jajang. Parahnya lagi, Jajang sudah satu tempat kos dengan Rani sehingga mereka berdua saling bertukar cerita isi hati sebagai sesama pasangan yang menjalin hubungan jarak jauh. Hubungan merek berdua pun kian intens. Uniknya di tempat kerja, mereka pintar menutupi itu semua, tampak tidak terjadi apa-apa. Mereka profesional. Padahal, menurut Wawan mendapatkan cerita dari Jajang, Jajang sudah beberapa kali menyetubuhi Rani. Niat yang diawali pura-pura menjelma menjadi malaikat lalu diakhiri dengan kesurupan iblis. Jajang sudah meraih apa yang dia mau. Tercermin dalam video yang terekam. Kini aku sedang menyaksikannya bersama Mirna. Dalam video berdurasi 5 menit itu tergambarkan Rani dan Jajang dalam posisi doggystyle.

"Aaaaauuuhhh, enaaakk, terusss", desah Rani dalam posisi menungging.

"Urghhhh... Urghhh...."

"Kamu gak akan pindah dari sini kan?"

"Urghhh, gak, mana mungkin, di sini aku bisa ngentot kamu terus sayang"
"Hhhhmmmfffffhhh", dalam posisi yang sama Jajang merangkul leher Rani. Tubuh keduanya lantas bersentuhan. Mereka berciuman mesra sembari Jajang tetaap menghajar vagina Rani.

"Hhmmmmmfffhh"

"Urghhhhh...."

"Aaahhhh lepas kondomnya dong, yang"

"Urghhh nanti kamu hamil", lenguh Jajang menyahut Rani.

"Aaahhh kamu gak pengen hamili aku?"

"Urghhhhhhhhh!"

"Aaaaaaaaaaauhhhhhhh!"

Jajang semakin beringas menyodok-nyodok vagina Rani. Aku yang berpandangan dengan Mirna sambil menonton video, menggeleng-geleng tersenyum. Kami menutup video berdurasi singkat tersebut kendati belum selesai. Aku lalu letakkan ponsel di atas meja. Kami berdua berbaring menunggu kantuk. Beberapa menit kemudian. Aku pun lekas menghadap Mirna dan bertanya,

"Kamu mau kayak itu?"

"Sama Jajang?! Ogah! Jangan Ngaco lagi deh kamu!"

"Bukan!"

"Lalu?"

"Kalau sama Pak Yanto?", tanyaku. Mirna memalingkan badan, tak berkenan menjawab.

"Loh kok diem. Aku kan nanya aja karena daripada kamu suka terbayang-bayang. Bilang gak, tapi kebayang terus. Kalau beneram enggak, yaudah gak usah. Jangan terlalu dianggep serius"

"..... kalau aku beneran mau, kamu gak akan marah kan?"

"Ini ngomongnya beneran apa lucu-lucuan?", tanyaku tak yakin.

"Bener! Aku beneran kali ini! Kan kamu tahu sendiri kalau aku masih suka kebayang"

"Hhhmm...cemburu, iya. Marah sih emmmmmhh,,,, asalkan enggak serius sampai kamu kebawa baper loh ya gara gara masalah aku waktu itu. Sudahlah kamu fokus ke terapi kamu, sayang", jawabku.

"Kamu beneran gak mau fantasi kamu itu jadi terwujud?"

"Mmmmm... enggak... berat..."

"Tttt...tapiii, aku bener kepengen loh Mass", ucap Mirna pelan. "Aku suka kebayang terusss"

"Makanya kamu fokus aja sama terapi kamu, gak usah mikir macem-macem"

"Hhhmm... iya deh..."

Kegalauan Mirna turut menimpaku juga. Sejujurnya aku ingin Mirna segera lepas dari bayangan masa lalu dengan Pak Yanto. Ditambah hari ini dia secara sadar menginginkan Pak Yanto menyetubuhinya, sebuah pernyataan yang membebani pikiranku. Aku sebetulnya sudah tidak terlalu berfantasi Mirna disetubuhi oleh pria lain. Namun kalau ia sudah menginginkan Pak Yanto? Lalu apakah ada jaminan Mirna tidak semakin parah secara mentalnya? Sementara ia masih membayangi laki-laki paruh baya itu terus. Aku terlampau lelah memahami.

Aku harus bisa keluar dari kepelikan yang berlarut-larut ini. Kehidupan rumah tanggaku sejujurnya sudah tenteram dan nyaman, tersisa satu hal, yakni Mirna masih kerap membayangi Pak Yanto. Semakin ingin, semakin sukar untuk dilupakan. Padahal aku sudah memberi aktivitas sampingan bagi Mirna agar ia memiliki kesibukan lain, seperti memasak dengan Bu Aminah, aktif dengan ibu-ibu perumahan, serta bisnis kecil-kecilan, ternyata tidak mempan. Adakah yang terlewatkan dalam pengobatan. Hipnoterapi? Sudah. Lalu apalagi? Betul-betul pusing kepalaku sejadi-jadinya. Aku mengurut kening.

"Kalau aku kabulin kamu beneran gak macem-macem kan?"

"Beneran...", aku teringat sesuatu agar bisa menjamin keduanya tidak terjalin hubungan yang tidak berkesudahan.

"Oke, aku usahain, demi kamu, demi aku juga yang pernah berfantasi"

"Beneran Mas?!"

"Bener!"

"Hhhmmm, kamu terus nanti bilang Pak Yantonya bagaimana?"

"Sama dengan aku bilang ke kamu, hanya cukup sekali, pertama dan terakhir, selebihnya nanti ada penjelasan lain dariku supaya Pak Yanto jangan sampai baper", ujarku menatap langit-langit kamar.

"Hhhmmm iyaa deh Mas"

"Kok iya deh? Iya apa?", tanyaku bingung.

"Iya mau", sahut Mirna.

"Mauuu apaaa?"

"Kebiasaan ah kamu", gerutu Mirna tak mau membalas.

"Hahaahha, aku coba ya, takutnya Pak Yanto sudah tobat, kita kan enggak tahu. Hehehe. Siapa tahu juga sudah meninggal..."
"Lagian kamu juga udah pakai hijab..."

"Kok kamunya ngomongnya seperti itu"

"Apa salahnya berandai-andai?"

Berbeda dengan sebelumnya, aku berharap ini jalan yang terbaik untuk semua pihak. Mirna yang masih &#039;tanggung&#039; semoga dengan realisasi ini akan sedikit harapan mengobati mental psikisnya yang tertekan penasaran karena Pak Yanto. Dulu ia tercemplung hubungan dengan Pak Yanto karena pelarian dari masalahku yang berujung kepada kebablasan. Sekarang setelah beberapa bulan lamanya dan masalah sudah hampir beres, aku berharap pertemuan dengan Pak Yanto sekedar menyelesaikan apa yang belum selesai. Aku hanya bisa percaya hal itu terlepas dari hal buruknya. Aku meyakini Pak Yanto juga masih memendam hasrat dengan istriku, terlepas aku juga ingin tahu bagaimana perkembangan terbaru kesehatannya selama di kampung. Demikian aku, alangkah fantasi itu benar-benar terkubur dengan realisasi agar mengecilkan kemungkinan ia bangkit suatu hari nanti dengan fantasi-fantasi yang lain. Aku menarik banyak pelajaran dari masa lalu.

Ketika Mirna sudah tertidur. Aku membuka pesan WA Pak Yanto yang baru dibalasnya. Aku memikirkan kata demi kata serta kalimat-kalimat yang tersusun agar tidak terjadi salah paham karena Pak Yanto tentunya memiliki trauma tersendiri juga.

Malam Hari Pukul 22.30

Aku: Assalamualaikum Pak Yanto bagaimana kabarnya?
Pak Yanto: walaikumsalam. alhamdulillah sehat. Maaf ini siapa?
Aku: masa lupa dengan saya pak.
Pak Yanto: Maaf, HP sudah lama ganti, banyak nomor hilang.
Aku: Ohhhh. Saya Riko, bapak masih ingat?
Pak Yanto: .... [Hanya membaca]
Aku: Saya Riko Pak yang tinggal di Perumahan XXX, kan bapak tinggal di situ juga, ingat?
Pak Yanto: Ingat, Ada apa Pak Riko? bukankah urusan bapak dengan saya sudah selesai? Saya tidak ingin diganggu-ganggu lagi, baik dengan bapak ataupun ibu.
Aku: Owwwhh. Saya hanya ingin menanyakan kabar saja pak, masa iya enggak boleh.
Pak Yanto: kan sudah saya jawab.
Aku: apakah kita bisa ketemu pak? Ada hal yang ingin saya sampaikan.
Pak Yanto: masalah apalagi Pak? Pekerjaan dari bapak saya pun tak dapat, terus ini mau apalagi?
Aku: [Aku membisu. Seperti dugaanku, Pak Yanto pasti memendam masa lalu kelam sehingga ia malas menanggapi chat dariku]

Aku tidak mau memohon. Jika Pak Yanto bersikap seperti tadi, berarti memang dia sudah tidak ingin dikontak lagi. Semua benar-benar telah kembali ke awal di mana tidak ada jalinan kontak antara aku dan Pak Yanto begitu juga sebaliknya. Untuk apa menghubungi orang yang tidak mau dihubungi? Sia-sia. Lebih baik aku menyusul Mirna tidur.

Keesokan Pagi....

"Bagaimana Mas, ada balasan  dari Pak Yanto?"

"Ada. Kamu baca aja sendiri aja"

"Enggak mau ya?"

"Pada dasarnya dia sudah enggak mau dihubungi lagi", ucapku menemani Mirna sarapan pagi.

"Hhhhmmm berarti batal dong ya"

"Ya batal, males banget aku memohon-mohon"

"Iyaa gak perlu sampai kamu memohon, kalo dianya aja enggak respon"

"Kamu jangan kirim pesan ke dia ya, supaya dia kontakannya dengan aku aja"

"Enggak akan mas", jawab Mirna menyendokki sarapanku.

"Rengga mana? Gak ikut sarapan dengan kita?"

"Tidur"

"Aduh, kebiasaan banget itu"

"Apa gak kita ke kampungnya Pak Yanto aja, Mas?"

"Aduh mau ngapain, males banget aku, itu sama aja memohon-mohon, makan biaya pula"

"Iyaaa sihh"

Sembari sarapan, aku membicarakan tentang balasan chat Pak Yanto semalam. Aku sejujurnya kecewa berat seolah-olah Pak Yanto jual mahal. Aku mendambakan jawaban yang baik, yang masih menganggapku sebagai tetangganya. Apa boleh buat jejak masa lalu begitu menyilukan Pak Yanto. Luka lebam menyayat hatinya yang mungkin sudah tergandrung-gandrungi oleh istriku, namun aku tumbangkan hingga ke akarnya. Apakah Pak Yanto menyisihkan dendam? Rasanya tidak. Sakit hati, iya. Apakah aku perlu membujuknya agar realisasi atas fantasiku kesampaian? Mungkin tidak. Akan tetapi, satu-satunya harapan yang ada hanyalah Pak Yanto. Sudah tidak mungkin membuka ruang lagi untuk pria lain karena justru akan memicu luka baru yang sangat tidak aku inginkan. Lagipula Mirna sudah mengatakan dan mengiyakan apa yang aku katakan. Adapun Pak Yanto menolak bukan karena dia jual mahal, melainkan dia belum mendengarkan yang ingin aku sampaikan kepadanya. Kalau sudah, aku percaya diri bahwa Pak Yanto akan berbunga-bunga, menyesali telah menepi sapaan pertamaku setelah beberapa bulan lamanya.

Kemudian bagaimana agar Pak Yanto mau mendengarkan? Aku tidak mau Mirna yang menghubungi, cemas terjadi sangkut paut yang kedua kali. Aku menghindari hal itu. Di sisi lain, ada hal yang ingin aku sampaikan seandai Pak Yanto menginginkan persetubuhan itu terjadi, yaitu tidak boleh ada keterkaitan sangkut paut antara dia dengan Mirna selanjutnya. Hubungan yang terjalin nanti harus murni birahi yang dulu gagal tersalurkan. Selesai, ya sudah, berakhir. Tidak ada yang kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya. Baik Pak Yanto dan Mirna harus memaksimalkan kesempatan yang aku berikan. Penekanan keras lebih akan kutitik beratkan kepada Pak Yanto.

"Maaf ini dengan siapa?"

"Saya Riko, Mas. Bapaknya ada?", tanyaku ternyata yang menjawab telepon adalah putra Pak Yanto.

"Bapaknya sedang keluar nemenin ibu, dari siapa?"

"Dari Riko tetangganya di perumahan XXX"

"Oooh, barangkali ada pesan yang mau dititip?"

"Kalau boleh tahu kondisi bapak di kampung bagaimana?"

"Sehat kok Mas, sehat, alhamdulillah. Sering olahraga ringan di sini, pola makannya beda dengan yang dulu, sekarang dia ada suka makanan yang bergizi dan sehat. Bapak ada pernah sakit selama di Jakarta ya?"

"Emmmhh, ya Mas, kurang makan-makanan sehat aja kok setahu saya"

"Bapak ada banyak cerita kalau Pak Riko ini banyak nolong dia, terutama saat dia sakit, terima kasih banyak ya Pak Riko, maaf kalau bapak saya banyak merepotkan"

"Oh enggak kok, enggak", jawabku terheran-heran. Entah Pak Yanto cerita juga tidak perihal aku pernah meninjunya. Rasanya tidak, karena begitu ramah sambutan anak Pak Yanto.

"Maaf, ada yang mau disampaikankah, pak? Kalau tidak, izin saya menutup teleponnya karena ada yang mau saya kerjakan.

"Enghhh, bilang saja telepon dari saya, ada kabar baik untuknya"

"Kabar baik apa yang dimaksud ya Pak?"

"Sampaikan saja dulu ke bapaknya ya karena dari kemarin bapak kurang berkenan menjawab chat dari saya"

"Oooh baik Pak Riko segera saya sampaikan"

"Terima kasih Mas", balasku lega.

"Eh iya satu lagi Mas, sampai lupa"

"Apa?"

"Bapak sembahyangnya sekarang sudah rajin, saya sampai heran, kenapa bisa mendadak berubah, karena bapak dulu tergolong lalai urusan sholat, sedangkan umur tidak muda lagi"

"Hooooo..... baguslah...", gumamku, "jangan-jangan beneran sudah tobat".

Selesai sarapan aku menelepon Pak Yanto diam-diam tanpa sepengetahuan Mirna, mungkin dia mau menjawab daripada berbalas chat. Akan tetapi justru anaknya yang mengangkat telepon dariku. Aku menaruh yakin pada pesan yang kutitip. Semoga Pak Yanto menelepon balik, setidaknya menjawab pesanku.

"Habis telepon siapa? Kok belum berangkat?", tanya Mirna menjumpaiku di halaman depan.

"Pak Yanto"

"Diangkat? Apa katanya?"

"Anaknya yang mengangkat. Pak Yanto sedang antar istrinya"

"Ooo, yaudah kamu segera ke kantor Mas, udah jam berapa ini"

"Iyaa, aku berangkat dulu yaaaa", ucapku mencium kening Mirna, dibalas ia mencium tanganku.

<div style="text-align: center">=Y='
"Maaf Pak, bapak ada ngomong apa ke Pak Yanto?", tanya Wawan seraya mengaduk nasi dan ikan cuek goreng beserta kuah sayur.

"Maksudnya? Emang Pak Yanto hubungin kamu?"

"Iya, jam 10 pagi tadi dia nanya ke saya lewat WA, apa bener ada lowongan kerja buat dia?"

"Eemmhhhhhh pasti dikiranya itu..", ujarku tersenyum di hadapan Wawan saat jam istirahat. Kami makan siang bersama.

"Itu apa pak?"

"Kamu sering kontak-kontakan sama Pak Yanto, ya?"

"Jarang-jarang, sekalinya kontak, nanya ada pekerjaan untuk dia gak, dia suka nanya lowongan kerjaan. Gak betah dia lama-lama di kampung, kena omel istri mulu. Di Jakarta, banyakan ngalor ngidul, salah juga"

"Kok bisa kena omel istrinya?", tanyaku penasaran sambil mengunyah.

"Istrinya pengen dia bantu-bantu jualan"

"Emang istrinya dagang apa?"

"Jajanan pasar, pak"

"Terus kamu ada infoin kerjaan ke dia?", seingatku susah mencari pekerjaan untuk seseorang yang notabene memiliki riwayat penyakit jantung.

"Enggak, bapak tahu sendiri, nih orang udah penyakitan"

"Nah! Udah berapa lama kami deket dengan Pak Yanto?"

"Sejak disuruh jagain dia sakit Pak", sahut Wawan.

"Emmmm... terus dia ngomong apa ke kamu tadi pagi? Telepon atau WA?"

"WA, dia bilang katanya Pak Riko kasih kabar baik ke dia lewat telepon, sayangnya waktu itu dia lagi nemenin istrinya jualan, ya anaknya yang angkat"

"Kamu jawab apa?"

"Ya aku jawab, tanya Pak Riko langsung malah kenapa tanya aku, begitu...."

"Kemudian?"

"Dia gak jawab lagi"

Pak Yanto mencermati pesan yang kutitip kepada anaknya. Aku mengira ia akan mengabaikan. Informasi dari Wawan sangat berguna bahwa Pak Yanto jenuh selama berada di kampung. Ia hendak kembali ke Jakarta semata-mata menjauh dari istrinya, ingin mendapatkan pekerjaan atau jangan-jangan sekedar bermalas-malasan. Di lain hal, ini sebuah celah bagiku supaya Pak Yanto mau mendengarkan apa yang ingin katakan kepadanya. Aku tidak ingin menghubunginya lewat telepon lagi atau berbalas chat karena akan mudah baginya memasabodohkan. Kalau bertemu langsung, ia dapat menyimak secara keseluruhan, tidak sepotong-potong. Lagipula ada yang ingin aku tekankan kepadanya, terlepas dari hasrat Mirna dan fantasiku. Aku juga ingin memastikan Pak Yanto masih seperti dulu atau tidak. Caranya? Aku memiliki ide yang sangat bagus dan menarik. Aku meminta Wawan bilang ya ada pekerjaan kepada Pak Yanto, tetapi dia harus datang ke Jakarta.

"Ada, terus pekerjaannya apa Pak?"

"Bilang saja ada, yang penting dia ke Jakarta dulu"

"Disuruh bapak?"

"Jangan! Tetep seolah-olah kamu yang meminta dia datang ke Jakarta, bilang kalau ada bos kamu yang ingin bertemu Pak Yanto menyangkut pekerjaan yang ditawarkan"

"Kalau Pak Yanto desak-desak saya, kasih tahu pekerjaannya dulu, gimana?"

"Kamu tinggal jawab, pekerjaannya apa hanya bos kamu yang tahu, bagaimana mau yakin kasih pekerjaan, sedangkan bos kamu ini belum kenal sama Pak Yanto"

"Sekarang?"

"Nanti malam saja"

"Kalau boleh tahu pekerjaannya apa?"

"Rahasia, cuman &#039;Bosnya Yang Tahu&#039; pekerjaan apa yang ditawarkan", jawabku merahasiakan rencana ke Wawan.

"Bosnya itu Pak Jajang? Bapak? Atau siapa?"

"Bosnya ya Bos, kamu gak perlu tahu", padahal bosnya ya aku sendiri yang ingin bertemu langsung dengan Pak Yanto di Jakarta.

"Oke deh, yuk makan dulu Pak. Keburu diberakin lalat nih", timpal Wawan.

Siang Hari Pukul 12.30

Aku: lagi apa?
Mirna: habis makan siang. Kenapa Mas?
Aku: Minggu depan liburan yuk?
Mirna: asyik dong Mas. liburan ke mana?
Aku: maunya kamu?
Mirna: Loh kok malah nanya aku sih.
Aku: hehehe, ke Puncak mau? Aku ditawarin nginep di Villanya temen aku di daerah Puncak tadi.
Mirna: mau banget Mas. Kapan?
Aku: Minggu depan.
Mirna: serius? Berapa hari?
Aku: seriuslah masa aku main-main, 2 hari cukup? Sabtu-Minggu?
Mirna: kalau berangkat Jum&#039;at sore bagaimana? Supaya puas liburannya.
Aku: boleh, yang penting dari pagi kamunya udah siap-siap.
Mirna: baik Mas. Rengga diajak gak?
Aku: ajak ajaa. Daripada dia bosen di rumah atau nginep di tempat kosan temennya.
Mirna: Aku sampain pas dia sampai rumah.
Aku: ya sudah aku tutup ya teleponnya. Mau lanjut kerja lagi.
Mirna: kamu pulang jam berapa?
Aku: kayak biasa.
Mirna: hati-hati sayang....

Wawan yang masih menemaniku makan siang memberi tahuku sesuatu yang cukup mengegerkan bahwa hubungan Jajang dengan Rani sudah terendus oleh istrinya Jajang. Aku yang terkejut mendengar kabar itu lalu meminta Wawan bercerita lebih menyeluruh. Jajang beberapa hari terakhir pulang ke rumah, tidak menginap di tempat kosnya karena istrinya diam-diam menyelidiki serta mendapatkan kabar bahwa Jajang bukan menginap di kantor, melainkan ngekos. Tambah curiganya, istri Jajang dihembuskan gosip lama yang dianginkan kembali oleh beberapa karyawan yang tidak suka dengannya. Akibatnya, Jajang dicegah untuk menginap di kantor sementara waktu. Istrinya kerap menelepon pihak HRD atau sekuriti apakah Jajang betul pulang telat dan menginap di kantor. Mata-mata sudah di mana-mana. Ruang gerak Jajang menyempit.

Kondisi demikian tidak bisa dimaklumi oleh Rani yang merasa kesepiannya selama ini telah terisi oleh kehadiran Jajang. Rani ngotot menuntut perhatian dari Jajang karena perempuan itu sudah beberapa kali ditiduri olehnya. Sedihnya, Jajang sedang tidak bisa dihubungi. Istrinya sudah menutup akses Rani untuk mengontak Jajang, begitu sebaliknya. Kondisi terpojok itu membikin Rani tertekan. Pada akhirnya hari ini mereka berdua diam-diam menghilang.

"Menurut kamu mereka berdua kemana, Wan?"

"Ya ke kosannya Rani, Pak. Itu kan kosan campuran cowok-cewek satu tempat kos"

"Waduwwhhh, gituan?"

"Iyaaah, ngentot Pak. Hahahahahaha"

"Pssssssssttt hati-hati! jangan asal bicara!"

"Kalau bener?"

"Kalau enggak?"

"Bapak mau bertaruh apa?", tanya Wawan menghabiskam makanannya lalu menyalakan sebatang rokok.

"Bukannya mata-mata istri Jajang di sini banyak?"

"Kalau udah kebelet, persetanlah mata-mata, yang penting asoy, bisa ngecrot"
"Hahahahahahahah", kelakar Jajang membuatku tertawa.

"Sudahlah kita gak usah ikut campur"

"Bener, lurus-lurus saja, tetapi beneran gak mau coba ngecek ke kosan mereka pak?"

Aku melihat jam di ponsel,"deket dari sini?"

"Ya deket, masih ada waktu kok. Gimana? Kalau mau aku anter"

"Kok kamu bisa tahu?", tanyaku ganjil.

"Bos Jajang pernah bilang ke aku, kalau mau lihat orang wik wik wik, dateng ke alamat ini, awalnya aku masa bodoh, karena kepengen tahu maksudnya apa, eh ternyata Bos Jajang lagi indehoy sama Rani"

"Kapan itu?"

"Sebulan yang lalu"

"Hhhhmmm... terus gimana? Jadi?", Wawan beranjak berdiri seraya membayar menu makan siang ke penjaja.

"Sebentaran aja kali ya?"

"GASSS!!"

Dengan menggunakan sepeda motor Wawan, aku meluncur ke tempat kos Rani dan Jajang yang berada tidak jauh dari kantor. Aku melewati jalan raya yang sesak di siang hari. Kami meluncur masuk ke sebuah gang yang juga dapat diakses oleh mobil. Gang tersebut ramai, banyak anak-anak yang sudah tiba di rumah berseliweran sehabis pulang sekolah. Gang ini juga acap dijadikan jalan alternatif atau jalan tembua kalau jalan utama menimbulkan kemacetan panjang. Aku dan Wawan tidak sedang mencari jalan tembus. Aku bermaksud mengecek apakah betul yang dibilang Wawan bahwa menghilangnya Rani dan Jajang di jam istirahat karena mereka sedang berpacu birahi. Awalnya tidak terlalu ingin tahu, karena terkadang menyaksikan video porno antara Rani dan Jajang. Aku pun penasaran jika melihatnya secara langsung. Jajang pula rela bertaruh jika benar.

Sesampainya di depan bangunan berlantai tiga yang tampak sepi, Wawan memarkirkan motornya di depan bangunan yang tak memiliki parkir khusus tamu atau penghuni kos. Malahan dari kejauhan, tukang parkir minimarket menyahut bahwa parkirnya berada di minimarket tersebut. Wawan menyahut balik bahwa kami hanya akan sebentar di situ. Wawan masuk tak mengucap salam dan membuka pagar seolah-olah dialah pemilik kosnya. Aku tercengang. Kata Wawan, ngekos di sini mahal sehingga sepi yang mau menghuni. Kendati harganya tinggi, fasilitasnya lumayan ada kamar yang memiliki khusus AC sekaligus kamar mandi, termasuk WIFI. Kurang laris karena letaknya tidak berada di lingkungan yang rapi, terkesan ramai. Bentuk Bangunan luarnya juga terkesan bangunan tua dengan cat-cat yang sudah rompal serta puing-puing berjatuhan.

Wawan menuntunku menaiki tangga besi yang mengitar, mengantarkanku tiba di lantai 3. Ada beberapa kamar dalam satu baris lantai. Aku menyangka ada 5-6 kamar. Setiap kamar di depannya ada sepasang kursi tunggu, tak ada jendela karena semuanya memakai fasilitas pendingin ruangan. Kami pula bukan ingin duduk-duduk berdialog di sana. Wawan berjalan perlahan. Aku membuntutinya hingga di deret kamar nomor 4, di mana terdapat rak sepatu, namun aku tidak mendapati sepasang sepatu Jajang.

"Ini ngintipnya di mana?", tanyaku mengecilkan volume suara. "Beneran ini kamarnya?"

"Bener, gak bisa diintip pak"

"Loh terus? Ngapain kita ke sini?"

"Coba deketin telinga bapak ke pintu...", pinta Jajang dengan suara lirih.

Aku yang sangsi mengikuti instruksi Wawan, kulekatkan telingaku dengan pintu kamar kos ini, tidak terlalu menempel, setidaknya bisa meraba suara yang berasal dari dalam.

"Aaaaauhhhhh, terusss, ooohhh"

"Urghhhh, crott di dalam ya sayang..."

"Jangan Mass lagi subur akuh, ohhhhh"

"Terus gimana, udah terlanjur enak inihhh"

"Lagian kamu tadi disuruh beli kondom dulu gak mau...."

"Urgghhhh udhhh lanjut duluuu"

"Aaaaaaaaaahhh, becek bangettt"

Walau tidak terlampau jelas. Aku bisa pastikan 100 persen itu merupakan suara Jajang dan Rani. Suara itu membikin aku berfantasi seraya teringat video mereka berdua. Apakah persetubuhan Mirna dengan Pak Yanto juga akan demikian? Tak kalah seru? Ah sial. Aku mulai berkhayal-khayal.

"Bagaimana Pak? Kedengeran?"

"Denger"

"Mantap!"

"Bisa direkam?"

"Kan cuman suara, pak"

"Waktu itu kamu???"

"Dari Pak Jajang langsung..."

"Ohhh iyaaa, lupa"

<div style="text-align: center">=Y='
Malam Hari Pukul 19.30

Aku: Apa jawabannya?
Wawan: Pak Yanto mau, tapi siapa yang mau ongkosin?
Aku: aduh, gak punya duit dia?
Wawan: katanya bos, ya dia minta diongkosin ke Jakarta.
Aku: duh aduh-aduh, ya sudah, bilang ke dia. Pakai uang dia dulu, nanti diganti sampai di Jakarta
Wawan: siap Pak.
Aku: tapi dia beneran mau?
Wawan: bener Pak. Dia lagi butuh duit juga. Bokek di kampung.
Aku: hhhmmm...
Wawan: dia nanyain nih Pak, nanti ketemuannya di mana? Di kantor kita?
Aku: bukan
Wawan: Lah? Di mana? Bosnya siapa sih? Kantornya bukan perusahaan kita?
Aku: bukan, ada deh, bilang aja dia disuruh datang ke alamat ini Jalan Raya XXXXXX
Wawan: Cipanas, Puncak pak? Itu lamaran jadi penjaga villa apa tukang sewa villa? Hahahahahahah
Aku: hahahaha kamu bisa aja. Ya saya mana tahu. Suruh aja dia datang ke sini.
Wawan: baik, saya nurut. Yang mau kerja kan Pak Yanto, saya cuman bantuin.
Aku: Jajang dan Rani gimana?
Wawan: belum ada kabar lagi pak, intinya Pak Jajang pulang ke rumahnya hari ini.
Aku: Ooohh....
Wawan: Pak, ini Pak Yanto gak paham caranya ke sana bagaimana.
Aku: aduh, bener-bener deh ini orang.
Wawan: lagian jauh-jauh amat Pak nemuin bosnya. Enggak bisa di Jakarta aja?
Aku: Ya udah bilang ke dia ketemu di Restoran XXX bisa?
Wawan: sebentar....
Aku: kabarin kalau udah dibalas.
Wawan: bisa pak. Kapan?
Aku: kalau Minggu ini, kira-kira hari apa?
Wawan: enghhhh... 2 hari ke depan dia sampai di Jakarta.
Aku: Passss!!!
Wawan: Apanya yang pas pak?
Aku: pas banget saya mau liburan, jadi gak perlu urus Pak Yanto lagi.
Wawan: Dua hari lagi bapakkan masih kerja. Kok libur?
Aku: besoknya udah Sabtu, Wan,... bisa akhir pekan...
Wawan: hahahahahahaha Pak Yanto nanya, bosnya ini siapa sih, saya musti jawab apa?
Aku: jawab aja, nanti ketemu sendiri di Resto.

"Gimana Mas?", tanya Mirna duduk bersamaku di sofa.

"Beres, kamunya yakin dah siap banget?"

"Siap gak siap sih"

"Emmm jawabnya kok begitu, aku batalin aja deh"

"Hehehehe, bingung jawab apa", ujar Mirna canggung.

"Kalau gak yakin, mumpung belum terlanjur, ya aku batalin. Aku ngatur ini semua kan demi kamu. Demi kita juga"

"Boleh ketemu sama Pak Yantonya dulu?"

"Nanti kita ketemu Pak Yanto sebelum berangkat"

"Maksudnya? Kita berangkat bareng Pak Yanto?"

"Iyaaa, dia gak ada yang mau anterin. Rengga juga gak bisa ikut. Tenang kamu gak akan sendirian kok. Hahaha aku temenin kamu sampai di kasur sekalipun"

"Beneran?"

"Bener! Percaya sama aku!", supaya meredam grogi Mirna. Aku berencana akan menemani Mirna saat bersama Pak Yanto baik di luar, maupun di dalam kamar. Tidak seperti sebelumnya hanya mengintip-intip.

"Bisa tenang deh aku, gak bisa gak satu mobil ya Mas?"

"Hhhmmmm kayaknya enggak, aku usahain deh"

"Semoga ya..."

"Kamu rencana bawa baju apa?", tanyaku menerka-nerka.

"Daster kuning yang dulu dibeli Pak Yanto sama lingerie yang dulu pernah kamu beliin, bagaimana?"

"Bagusss"

"Aku tetep pakai hijab?"

"Pakai aja", jawabku tak mengatur-ngatur.

"Berarti sekarang kita tinggal nunggu hari H aja ya?"

"Iya sayang"

"Kamu bakal bilang apa ke Pak yanto?"

"Serahin semua ke aku...", ucapku menenangkan Mirna seraya menonton televisi bersama.

"Pak Yanto beneran tobat, Mas?"

"Aku kurang tahu, apa salahnya? Siapa tahu karena dia punya penyakit jantung"

"Hhhmmmm...."

Malam Hari Pukul 20.00

Aku: Kamu yang anterin, Wan. Gimana? Ada duitnya kok.
Wawan: yang bener nih Pak.
Aku: rekening kamu kirim....
Wawan: ini baru rezeki, mantap!

<div style="text-align: center">=Y='Hari H Pukul 22.00

Suasana malam komplek Villa di Cipanas ini sangat dingin. Aku keluar sambil cari makan malam menelusuri tiap bangunan Villa yang beberapa sudah diisi. Lampu kerlap-kerlip warna-warni yang menghiasi tamannya memberi kesan aku beruntung sekali bisa menyewa villa ini dari uang tabunganku yang melimpah ruah. Aku menengok ke kiri kanan jalan, menyeberang, mendatangi warung bakso sambil memeluk diriku sendiri yang mengenakan jaket. Cukup lelah perjalanan malam ini. Pulang dari kantor, sampai rumah, aku lekas mengemudikan motor, membonceng Mirna hingga di Villa Cipanas ini. Beberapa kali kami berhenti untuk rehat dan menunggu hujan reda seraya minum dan makan cemilan seadanya. Lalu melaju lagi hingga akhirnya sampai juga. Segera berganti pakaian dan istirahat sebentar di bangunan Villa yang memiliki dua lantai, aku bergegas keluar karena perut sudah lapar. Di samping itu, aku menunggu kedatangan Pak Yanto yang ternyata diantar oleh orang lain suruhan Wawan.

Menurut Wawan, Orang tersebut tidak perlu diberi uang lagi, cukup uang tip apabila rela mengeluarkan. Masalahnya yang mengeluarkan uang tip bukan aku, tentunya Pak Yanto yang aku tidak tahu sudah sampai di mana. Sambil menunggu di warung bakso, aku menengok sekitar pepohonan hijau yang gelap disinari cahaya lampu. Beberapa mobil melintas dibuntuti oleh kendaraan bermotor. Kendaraan masih padat. Semuanya hendak liburan, bukan aku saja. Aku tidak perlu meresahkan Pak Yanto tersasar karena Wawan menjamin kedatangannya. Di sisi lain, jalanan masih ramai, besar kemungkinan Pak Yanto berada di dalam perjalanan kemari.

Setelah membayar, aku menenteng satu plastik berwarna merah berisi dua bungkus bakso dengan campuran mie, bihun, tauge, serta saus sambalnya. Aku terburu-buru menyeberang jalan karena perut sudah mengemis-ngemis keroncongan. Melewati portal gapura villa, di pos keamanan, sekuriti terlihat sedang meladeni seseorang yang menanyakan alamat. Orang itu mengenakan jaket tebal dan celana bahan biru kehitaman, dalamannya kaos berkerah warna hijau dongker. Ia menggunakan sepatu hitam, menenteng ransel di belakang.

"Pak Yanto?!"

"Loh ngapain kamu di sini?!", terbengong-bengong Pak Yanto memandangiku. Aku memerhatikan masih ada sisa lebam di kedua pipi keriputnya yang pernah kuhajar.

"Ayo masuk dulu..."

"Enggak, saya mau menemui seseorang. Bukan kamu"

"Sini Pak, ikut dulu, saya tahu kok bapak mau menemui seseorang", ujarku menarik tangan Pak Yanto secara paksa seraya mengumbar senyum ke pihak sekuriti.

"Jangan sok tahu. Tolong lepaskan saya. Mau apalagi kamu?!"

"Ikut dulu sini pak. Sudah jauh-jauh kok malah mau pergi"

"Saya mau menemui seseorang!"

"Iyaa, bapak dapat infonya dari Wawan kan?! Wawan itu saya yang nginfoin, paham?!", gertakku karena dia berusaha membantah.

"Kamu mau apakan saya lagi? Belum cukup menghajar kedua pipi saya ini? Kamu mau bikin saya mampus di sini? Iya?!", Pak Yanto serba panik. Dia merasa dikelabui dan ingin segera pergi.

"Enggak ada saya bilang begitu, ayo ikut dulu. Saya ke sini niatnya bagus loh, mau ajak Pak Yanto liburan. Saya nanti yang ganti duitnya juga"

"Pak Riko mau apa?! Tolong bilang!", serunya ketakutan sambil berhenti mengikuti jejak langkahku karena tangannya kuseret.

"Saya mau Pak Yanto ikut saya. Ini sebentar lagi nyampe", aku menaikki beberapa anak tangga, bangunan villa yang kutempati tepat di atasnya."Sudah jauh-jauh kok malah mau pulang".

Aku memaksa Pak Yanto berjalan terus walau tergopoh-gopoh, hingga masuk ke perkarangan, lalu kugembok pagar. Ia semakin ketakutan dan hendak dibebaskan. Padahal aku tidak bermaksud jahat padanya. Kemudian Pak Yanto pasrah melihat-lihat seisi bangunan Villa, mengikuti jejak dan mauku kemana dia akan diantarkan. Barangkali ia menduga aku sedang akan mempertemukannya dengan bos yang dimaksud dalam percakapan antara Wawan dan Pak Yanto. Dalam bingungnya Pak Yanto kemudian memandangi ruang tamu di mana ia memutuskan duduk di sana. Aku lekas duduk menemani Pak Yanto. Uniknya, bukan menjawab salam selamat datang dariku, ia justru menanyakan lagi bos yang dimaksud akan memberinya pekerjaan. Aku tersenyum.

"Yang akan memberikan pekerjaan ke bapak itu saya. Bapak lupa meski pekerjaan bapak udah jatuh ke tangan Wawan, saya kan bilang kalau Pak Yanto sudah sehat dan pulih, akan saya carikan"

"Tahu dari mana kamu saya sudah sehat?"

"Anak Pak Yanto sendiri", timpalku.

"Wuuhhh lain kali harus aku sembunyikan ponsel kalau di rumah. Pekerjaan apa yang mau Pak Riko berikan ke saya?", tanya Pak Yanto dengan muka masam. Ia tidak seperti yang aku kenal. "Tolong segera dijawab, jangan bertele-tele"

"Sabar Pak Yanto, saya ajak Pak yanto ke sini bukan sekedar kasih tahu soal pekerjaan, tapi pengen ajak Pak Yanto liburan"

"Setelah melakukan semua ini kepadaku, kamu mau ajak aku liburan?!", Pak Yanto kesal. Ia menunjuk kedua pipinya.

"Tenang dulu Pak Yanto, tenang..."

"Mana saya bisa tenang, saya merasa ditipu"

Aku mendadak murka dengan Pak Yanto karena ia menjadi banyak omong
"Bisa diam Pak Yanto?! Atau masalah dulu saya ungkit lagi?! Bagaimana?! Bisa tenang?!"

"Iyaaaa... apa sebetulnya mau Pak Riko? Belum cukup?! Belum selesai masalah kita?!"

"Belum"

"Apalagi masalahnya? Apa perlu saya dipenjara?"

"Tenangkan diri dulu Pak, biarkan saya cerita"

Di hadapan pak Yanto aku ceritakan duduk perkara mengapa ia aku undang kemari. Di sisi lain aku terangkan kepadanya terlebih dahulu peristiwa apa saja yang tidak diketahui olehnya, terutama masalah psikis dan mental Mirna. Aku jelaskan apa yang terjadi dengan  Mirna dan pengobatan yang telah dijalani. Tak kusangkal, kuceritakan juga bahwa Mirna masih memendam hasrat disetubuhi oleh Pak Yanto karena itu membekas di benaknya. Mendengar cerita itu, Pak Yanto mengemukakan sepulangnya ke kampung dia merasa benar-benar bersalah. Hanya saja dia tidak terima dengan perbuatanku menghajarnya seolah-olah disalahkan secara sepihak. Padahal semua itu dilakoni melalui rangkaian tahapan yang panjang, mulai dari Mirna yang menjerat dan merayunya kemudian aku yang menginginkan fantasi cukup sampai level oral. Pak Yanto mengaku bersalah sedalam-dalamnya, tetapi dia kurang bisa menerima atas yang telah kulakukan. Pada akhirnya titik temu kami adalah saling memafkan dan berdamai dengan semua yang telah terjadi. Kalau dibiarkan, ya selamanya akan menjadi emosi sesaat. Aku juga benar-benar mengakui menghajar Pak yanto murni pelampiasan emosi yang semustinya tidak perlu dilakukan.

Setelah titik temu itu berhasil didapat, suasana cair. Pak Yanto seperti yang dulu kukenal. Ceplas-ceplos. Kami tertawa terbahak bersama. Pada saat bersamaan itu pula kuutarakan maksud sebenarnya aku mengundangnya kemari. Ia terkaget dan sulit untuk mempercayai.

"Kali ini serius apa main-main? Entar saya dikerjain lagi. Dihajar lagi sama Pak Riko. Hahahahaha"

"Kali ini enggak akan kok Pak, asalkan dengan catatan loh ya"

"Catatan apa? Perlu buku catatan?"

"Hahaha bukan. Maksudnya dengan catatan kali ini jangan sembunyi-sembunyi seperti kemarin, saya gak suka"

"Loh kenapa waktu itu gak langsung bilang?"

"Ya kan waktu itu bapak juga di belakang saya diem-diem ada api sama Mirna"

"Oh ya, yaa bener juga... maaf, maaf"

"Terus bagaimana, bapak menyanggupi?", tanyaku antusias.

"Ya sanggup, harus malah, cinta saya cuman untuk istri saya kok. Sama Ibu cuman murni nafsu aja. Ibu juga semustinya cintanya sama Pak Riko, pun Pak Riko juga demikian"

"Akhirnyaaa... jadi???"

"Yaaa jadi dong hahabaha", kami tergelak bersama. Saat situasi santai itu Mirna keluar menghidangkan cemilan dan secangkir kopi hangat. Ia mengenakan kerudung biru dongker, rok panjang, serta kaos lengan panjang melekat di tubuhnya. Pak Yanto terpukau dengan penampilan baru Mirna. Aku sudah menceritakan di tengah obrolan. Ia memuji Mirna dengan penampilan yang sekarang. Hanya saja Pak yanto menganjurkan agar Mirna dibelikan baju kurung agar tidak terlalu mencolok sepasang payudaranya di tempat umum. Penampilan tertutup Mirna ini dapat mencegah mata-mata nakal memandang sebagaimana Pak Yanto yang telah menjadi korban.

"Eh ada Pak Yanto... gimana kabarnya?"

"Sehat, ibu bagaimana? Uhh udah pakai kerudung yaaa"

"Iya nih Pak", jawab Mirna duduk di samping Pak Yanto. Aku lekas menyahut tertawa.

"Kok kamu duduknya di situ, di sebelahku dong..."

"Oh ya Mas, hehehe", Mirna bergeser.

"Ibu seriusan bener mau?"

"Mau apa?", tanya Mirna pura-pura tidak tahu menatapku dan Pak Yanto. "Ayo diminum dulu dong Pak tehnya"

"Hehehe iyaa, kok teh sih, saya sukanya susu"

"Astaga Pak yanto, biasanya bukan ngopi?"

"Kalau di depan istri Pak Riko, saya sukanya susu"
"Hahahahahaha", kami terbahak bersama.

"Pak Yanto sudah makan?"

"Belum", Pak yanto meminum secangkir teh hangat bikinan Mirna,"saya mau ganti baju dulu. Kamar saya di mana ya? Jangan-jangan saya tidur di luar ya?"

"Gak kok Pak, mana tega sih saya", jawabku beranjak berdiri diikuti Pak Yanto dan Mirna. Kami bertiga menuju sebuah kamar di lantai 2, di sana Pak Yanto akan tidur. Seiring menaiki tangga aku melihat pantat Mirna diraba-raba oleh Pak Yanto. Aku tidak mempermasahkannya selama masih ada di dalam pengawasanku, kendati Mirna mengelak, namun Pak Yanto terus mengejarnya.

"Masss, dipegang-pegang teruss, gapapa?", gerutu Mirna.

"Gapapa, kan aku masih di depan kamu, selama kamu gak terselubung, jujur, semuanya udah aku atur. Aku udah ngomong ke Pak Yanto kok"

"Tuh bener kan? Hehehe"

"Aaaaiiihhh", Mirna pasrah tangan Pak Yanto meraba bongkahan bokongnya. Mereka bersandingan berjalan sampai di depan kamar Pak Yanto.

"Kamu temenin Pak Yanto dulu ya, bantuin dia taruh baju-bajunya"

"Kamu mau ke mana?"

"Aku mau ngecek pintu dan jendela udah terkunci apa belum. Nanti aku kan ke sini lagi"

"Hhhhmmm...", angguk Mirna dirangkul Pak Yanto masuk ke kamar. Aku lekas buru-buru turun ke bawah, memastikan semua pintu dan jendela terkunci agar keamanan villa terjamin. Sebelum menyusul Mirna dan Pak Yanto pula aku mematikan televisi serta memberitahukan ke Wawan bahwa Pak Yanto telah sampai di tempat tujuan. Kemudian aku bergerak cepat ke lantai 2. Aku buka pintu di mana Pak yanto akan menghuni kamar tersebut beberapa hari ke depan. Ketika pintu kudorong, Mirna sudah berbaring di atas tempat tidur. Ia masih mengenakan kerudung dan kaosnya, sedangkan rok dan celana dalamnya sudah terjuntai di lantai. Kedua pahanya mengangkang. Kepala Pak Yanto berada di tengah-tengahnya. Mirna merem-melek. Pak Yanto sedang mengoral kemaluan Mirna.

Lidah pria paruh baya itu tak berhenti menjilati klitoris Mirna. Liurnya bercampur dengan cairan kemaluan istriku yang melumer sedikit demi sedikit.

"Aaaahhhhhhhh"

"Maaf ya pak riko, dari dulu saya udah gak tahan pengen jilatin bagian ini"
"Ssslllerrrrrfhhhh"

"Aaaaaaihhhhhh", desah Mirna menjamah kepala Pak Yanto.

"Iyaa lanjut saja Pak yanto", jawabku menghampiri Mirna. "Gimana sayang, enak?"

"Aaaahhhh enaaakkkk massss"

Balasan Mirna aku jawab dengan ciuman di bibirnya. "Hhhhhmmmmmmffffhhh"

Aku ikut bergabung dengan Pak yanto meraih kesenangan kami sebagai sesama pejantan. Aku copoti kerudung Mirna hingga terjatuh ke sisi tempat tidur. Kemudian aku mempeloroti seluruh bagian bawah tubuhku yang berbalut kain tak bersisa. Benda tumpul milikku yang lantas mengacung keras, Aku arahkan ke mulut Mirna. Ia menganga dan melahapnya. Mirna diserang dari dua penjuru.

"Ooohhh nikmatnyaa mulutmu sayang", lenguhku memandangi Pak Yanto masih sibuk mengoral vagina Mirna. "Bagaimana Pak?"

"Udah banjir banget iniihhh, apakah udah boleh saya entot ini?", Pak Yanto.menurunkan celana panjang beserta celana dalamnya, terjatuh. Ia loloskan kedua kakinya. Kini ada satu batang penis lagi yang mengacung tegak menjulang sedang menganggur. Batang penis berwarna cokelat dengan kepala agak gelap itu sudah tak sabar masuk ke sarang Mirna, setelah sekian lama harus menunggu dengan sabar dan kesal.

"Jangan dulu pak, hehe, udah gak tahan ya?"

"Iyaa, kebelet banget saya"

"Ooorhhhhh", aku masih menikmati kuluman bibir Mirna di batang penisku.

"Kalau saya gesekkin dulu aja gapapa?"

"Silakan Pak Yanto"

Pak Yanto yang sudah setengah telanjang, meletakkan kepala penisnya di liang senggama Mirna. Di antara rambut kemaluan yang saling bertemu, Kuncup kepala penis Pak Yanto seolah-olah ingin menerebos masuk, tetapi masih dicegah oleh tuannya sehingga ia hanya menyundut-nyundut di ambang pintu. Mirna merespon dengan mengulum penisku lebih beringas.

"Hhhhhmmmmppphhh"

"Ohhhhhhhhh, makin ngaceng akuhh"

"Urghhh lihat Pak Riko, memeknya kembang kempis begini, hehe"

"Udah gak sabar pengen dientot itu, hahaha"

"Udah boleh nih?", tanya Pak Yanto sudah kebelet.

"Sebentar....", aku menarik batang penisku dari mulut Mirna. Basahlah sekujurnya. Aku lalu menjauh sejenak dengan kemaluan yang masih tegak. Aku perhatikan ada bangku yang telah tersedia untukku menyaksikan adegan ranjang mirna dan Pak Yanto. Adegan yang dulu sekedar fantasi kini tengah berlangsung. Aku lantas mundur dan terduduk diam. Mirna berbaring bersiap berpacu nafsu dengan Pak Yanto. Pak Yanto pun tergesa-gesa melepas seluruh pakaiannya hingga Mirna turut dibantu melepaskan kaos lengan panjang beserta BH yang membungkus kedua gunung kembar. Mereka berdua telah telanjang bulat. Mirna mengulum beberapa menit penis Pak Yanto dengan maksud agar basah sehingga bisa dengan mudah melakukan penetrasi ke vaginanya.

Aku mengira saat itu mereka akan segera melangsungkan hubungan badan, namun tidak. Pak Yanto turun dari ranjang seraya menarik tangan Mirna untuk mengikutinya. Pak Yanto menarik kursi di sebelahku. Ia duduk di sana dan meminta Mirna segera duduk dipangkuannya.

"Izin ya Pak Riko, hehehe", Pak Yanto memoncongkan batang penisnya yang sudah tidak tahan ingin menikmati vagina istriku.

"Masssss?", tatap Mirna memohon izin seraya mengusap bibir vaginanya.

"Iyaaa, buruan sayang, udah gak tahan itu. Hehhe"

Mirna menaiki Pak Yanto, kedua pahanya terbuka lebar. Celah vaginanya ia perlihatkan agar Pak Yanto bisa mengarahkan moncong penisnya masuk ke dalam. Mirna berusaha membantu. Kedua pahanya ia buka lebih lebar lagi agar batang penis Pak Yanto bisa terdorong masuk secara pelan-pelan. Tiba-tiba tubuh Mirna bergetar disambut suara kemenangan Pak Yanto.

"Aaaaaaaaahhhhhhhh"

"Urrrgghhhhhh akhirnyaaa, bisa ngentot kamu juga"

"Hhhmmmmmmfffffhh", keduanya berpagut bibir sembari Pak Yanto memukul-mukul bokong istriku.

PLAK PLAK PLAK PLAK.

"Urghhhhh....."

"Gimana Pak Yanto?", tanyaku dengan penis bertambah keras menyaksikan istriku sedang disetubuhi Pak Yanto.

"Enaaaaaaakk, jossssss banget Pak Rikooo!"

"Aadddduuuhhh aaaaaaaaihhh", tubuh Mirna melonjak-lonjak. Dari bawah penis pak yanto ekstra bekerja mengenjot tubuh Mirna yang mulai berkeringat. Aku mendekati tubuh Mirna. Aku pegangi kedua buah dada istriku lalu mengarahkannya ke bibir Pak Yanto. Disergap. Mirna meraih kenikmatan luar biasa.

"Pak Yanto itu suka nenen kamu, dikasih dong..."

"Cyoooopppppphhhh"

"Aaaaaaaaauuuuhhhhh"

"Bagaimana sayang?", tanyaku mengamati kepala Mirna mendongak merem-melek saat bibir Pak Yanto bergantian mencicipi kedua puting susunya.

"Aaaaaiiih iyaaa, pak yanto doyan nenen akuuh"
"Enaaaaakkk aaaahhh"

"Urghhhhh....."

"Aaaaaahhhhhhh"

Pak Yanto mencumbu seluruh jenjang leher Mirna. Mereka saling merangkul, mandi keringat bersama. Beberapa menit kemudian, tubuh keduanya mulai bergerak lebih cepat. Pak Yanto mengeluarkan seluruh tenaganya untuk memompa penis yang masih terbenam dalam vagina Mirna. Tubuh istriku pun bergoncang. Dia betul-betul menikmati bercinta dengan Pak Yanto.

"Urghhhhh crottt dalam yaaa?"

"Masss? Gimana? Aaaaaaahhh"

"Gapapa kamu kan lagi gak subur", jawabku dengan penis tak sabar menikmati aksi Mirna selanjutnya.

"Aaaaaaahhhh"

"Gimana boleh crott di dalam?"

"Bolehhhhh aaaaahhhhh"

"Urghhhhh bener bener mantep binimu Pak Rikooo, izin nyemprotiin pejuu"

"Aaaaaaaaiiihhh aku mmm...maaau keluaaarrr"

"Iyaaaaa, aku jugaaa Mirnaaa, urggghhh siap siap kena crotttt peju ya..."

"Aaaaaaaaaaaahhhhhhh iyaaaaaa, aaahhhh Mirnaaa keluaaaarrr aiiiihhhhh"

"Urghhhhhhhhh rasakan inihhhhh urghhhhh"

CRRROOOTTT CROOOOTTT CROOOOTTTT

...........................

Setelah persetubuhan itu, hari-hari di Villa Cipanas kami jalani selayaknya liburan keluarga. Malamnya aku menikmati tubuh Mirna bersama Pak Yanto. Kami mandi bersama dan berulang kali rahim Mirna tersiram benihku dan benih Pak Yanto. Tidak ada yang perlu dicemaskan. Mirna sedang tidak subur. Liburan itu benar-benar sangat berarti buat aku, Mirna, dan Pak Yanto. Kami mendapatkan sesuai versi dan maunya kami masing-masing.

Sepulang dari Cipanas, kehidupan telah normal kembali. Pak Yanto aku beri modal dagang di kampung. Sementara Mirna bisa hidup normal seutuhnya tidak terbebani secara psikis dan mental. Ia sudah plong. Aku lega. Tidak ada lagi aku merasa berhutang. Wawan sudah mendapat pekerjaan, Mirna lepas beban, Pak Yanto tak lagi ngacengan, Aku? Giliran Aku menjalani pengobatan di psikiater. Ternyata fantasi ini harus diobati tidak bisa dialihkan, dibiarkan, dipendam, karena kalau tidak, jadi bencana lagi.

"Mas, jangan lupa minum obat yaaa", ucap Mirna mengingatkan sebelum berangkat ke pengajian.

"Iya sayang, Aku lebih tenang setelah menjalani pengobatan dan konsultasi.... fantasi itu akhirnya telah hilang selamanya".......

"Alhamdulillah...."

"Coba dari dulu aku berobat......"

TAMAT.