Tuesday, March 7, 2023

AYU Majikan yang menikahi pembantunya @semprot by NTR_Hinellee

 AYU


Written by NTR_Hinellee


"BAB I : SEBUAH PERASAAN BARU"


"Ayu Sofia Filayeti"

Dikaruniai wajah rupawan, menikah di umur 23 tahun di bawah naungan suami yang taat agama dan mertua yang baik hati. Punya rumah sendiri, mobil dan motor sendiri, hidup berkecukupan meski hanya berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Wanita manapun pastinya mendambakan hidup sempurna yang kujalani sekarang. Ya, hidupku, pernikahanku, semuanya sempurna. Namun kesempurnaan yang kutempati sekarang bak fantasi monokrom bagiku.

Semua ini seolah tak nyata.

Semua ini hanyalah kepalsuan bagiku.

Namaku Ayu. Kemarin adalah hari peringatan tiga tahun pernikahan antara diriku dan Mas Rian, suamiku. Meski begitu, senyum hambarku tak sedikitpun menyiratkan rasa bahagia menyambut pergantian hari. Tiga tahun berlalu, namun hatiku masih mencari kepastian atas dirinya. Separuh diriku mengatakan aku mencintainya, namun separuh lagi masihlah ragu menerimanya—bagiku tidaklah mudah belajar mencintai seseorang lewat pernikahan yang telah diatur kedua orang tua kami, namun aku juga takut mengecewakan dia semisal kutolak lamarannya.

Hingga kini ... disinilah aku ... terjebak dalam fantasi indah ini.

Apa yang sebenarnya aku cari, aku tak tahu, aku tak mengerti. Yang aku tahu sekarang adalah hidupku yang kujalani sekarang bukanlah itu, aku yakin karena hatiku berontak memikirkannya.

“Ay, mikirin apa?” suara baritone Mas Rian menyadarkanku dari lamunanku, dia memeluk pinggangku dari belakang dan menaruh dagunya di bahuku.

“Ngga apa-apa, Mas,” jawabku singkat sembari memaksa tersenyum, kuaduk kopi yang tengah kucampur sebelum berbalik dan menyuguhkan padanya.

Selagi tangan kanannya menggenggam gelas, tangan kirinya menarik pinggulku dan mendaratkan ciuman kecil di dahiku. Aku tersenyum kecil sebelum mendorong dadanya pelan hingga kami berpisah.

“Mas, aku izin pakai motor. Hari ini aku mau ke butik Kak Lidya, lihat-lihat stok barang yang baru datang,” pintaku sambil terus memaksa senyumku padanya.

“Yasudah, Mas izinkan. Pulangnya jangan kesorean ya, Ay!” jawab Mas Rian seraya mengelus pelan kepalaku.

Satu hal yang mungkin kusuka dari Mas Rian. Dia tak terlalu mengekang keinginan istrinya. Meski dia sering mengantarku berbelanja, dia tak enggan melepasku sendiri disaat aku menginginkannya. Dia selalu percaya dan tak banyak bertanya apa saja yang istrinya lakukan di belakangnya.

Kurapikan sedikit khimarku yang kusut dan mengenakan kacamataku. Kuambil kunci motor di gantungan dekat kulkas dan bergegas menuju garasi tempat skuter matic Mas Rian.

“Mau saya antarkan, Non Ayu?” tanya Pak Danang, asisten rumah tangga keluargaku.

“Oh, ngga usah pak. Saya bisa sendiri. Tolong nanti kalau sudah selesai cuci mobilnya bantu belikan bahan makanan ya pak. Catatannya ada di Kulkas kayak biasa,” tolakku halus, diiringi anggukan beliau.

Keseharian ibu rumah tangga sepertiku tidaklah banyak, sebagian besar pekerjaanku di rumah dibantu Pak Danang, yang merangkap sebagai supir dan asisten rumah tangga kami. Awalnya aku sempat keberatan dengan ART laki-laki, namun Mas Rian selalu mencoba memberi pengertian padaku, mengingat umurnya juga masuk usia manula, sebatang kara tanpa sanak keluarga yang mengurusnya, dan kupikir-pikir nafsunya pun mungkin sudah tak ada sisanya lagi, jadi tak apa lah. Lagipula dengan adanya Pak Danang di rumah, aku lebih leluasa kalau mau plesiran kemana-mana pikirku.

*'KRING'*

Bel kecil di atas pintu butik berbunyi, di meja kasir nampak wanita yang begitu familiar di mataku tengah menghitung beberapa stok barang yang baru masuk untuk kemudian ditempatkan di display miliknya.

“Kak Lidya,” panggilku, menyadarkannya dari kesibukannya.

“Ehhh, Ayu. Tumben belum ditelpon udah datang duluan,” sambutnya sumringah seraya menyambut pelukanku.



"Lidya Eka Wulandari"

“Mau cuci mata kak, ngelihat baju baru datang. Bosen di rumah,” rengekku yang langsung disambut cubitan kecilnya di lenganku.

“Kamu tuh ya, ngga ada kerjaan ngeluh, nanti dikasih kerjaan ngeluh lagi, maunya apa coba. Kalau aku jadi kamu mah, baru berapa tahun nikah ya setia di rumah aja goyangin suami,” canda Kak Lidya.

“Padahal dulunya kan ya pas belum nikah sering ngajak clubbing juga,” balasku ketus.

“Itukan duluuuuuuuuu..... sebelum kakak nikah..... huuuhhhh.....” Dia kembali mencubit lenganku membuatku meringis kesakitan.

“Kamu nih ya bukannya bantuin kakak, datang malah nambah pikiran ruwet. Gih sana bantu display kek,” perintahnya, aku hanya memeletkan lidah dan lanjut membuka stok baju baru.

Berbeda denganku yang baru menikah beberapa tahun, kak Lidya sudah menjalani bahtera rumah tangga 11 tahun lamanya. Meski dari luar nampak muda, dia kini telah berusia 34 tahun. Sosok kak Lidya terus bermetamorfosa dipahat waktu, dari dulunya berpakaian serba ketat kini berpakaian longgar dan berhijab, dari yang dulunya sering mabuk-mabukan, sekarang sibuk menata jualan, kadang aku suka terkagum dibuatnya.

“Kak....”

“Hmmmhh....”

“Kak Lidya bahagia ya sekarang, padahal dulu kita sama-sama ngga bener. Pas udah bener, kakak bahagia, aku masih disitu-situ aja.”

“Ya luarnya aja bahagia, Yu. Dalamnya mah masih di situ-situ aja.”

Aku yang tengah menggantungkan salah satu pakaian di display pun melirik wajah datarnya sesaat. Raut muka itu nampak serius memandangi buku catatan masuk disaat tangannya yang lain sibuk dengan kalkulator. Dia berhenti dan menatapku balik, lalu tersenyum simpul.

“Kamu dulu diajakin ngerokok ngikut, diajakin mabok ngikut, pas diajakin main cowo-cowo sok jual mahal ngga mau ngikut. Eh giliran udah gede ngeluh-ngeluh ke aku bosen. Puber kok nanggung,” ejeknya seraya tertawa kecil.

Aku memutar bola mataku dan kembali menggantung pakaian muslimah lainnya di display. Selesai di sana, aku kembali ke meja kasir dan duduk di samping Kak Lidya. Kusandarkan daguku di meja sambil memainkan ponsel milikku.

“Kalau mau coba sensasi baru, download aplikasi yang itu aja tuh, yang biasa dipake mas-mas komplekan.”

“Apaan?” tanyaku.

“Itu tuh, yang aplikasi TV buat Live,” balasnya.

“Yang manaaaaa?” desahku.

“Heduhhh, sini sini!” Diambilnya ponselku dan diutak-atiknya beberapa saat sebelum kemudian diserahkannya kembali padaku.

“Apaan nih kak?” tanyaku, melihat sebuah aplikasi baru di ponselku bernama MOE TV.

“Nanti malem bukanya, di atas jam satu malem. Pake headset jangan lupa biar aman,” jawab Kak Lidya.

Kuhiraukan saja sarannya dan menyibukkan diri dengan membuka stok baju baru lagi, kami bercendikia ria soal masalah rumah tangga yang kadang silih berganti, tak lupa pula gosip-gosip artis terkini hingga waktu sore pun tiba.

“Duh, aku pulang dulu kak, nanti kalau ada gamis pesananku kemarin datang kabarin ya!” pintaku seraya pamit.

“Hati-hati di jalan!” balas kak Lidya setengah berteriak.

Kupacu kembali motor matic Mas Rian meninggalkan butik. Sebelum pulang kusempatkan membeli sekantung makanan kucing untuk Icha—kucing anggora kesayangan kami di rumah. Sesampainya di rumah, Pak Danang pun dengan sigap membukakan gerbang rumah agar motorku bisa masuk.

“Pak, itu motor di pel-pel gitu aja, ngga usah dicuci, ngga kotor-kotor amat kok.”

“Siap, Non.”

“Belanjaan tadi udah?”

“Sudah saya beli sesuai catatan, Non. Untuk ikan dan sayurnya seperti biasa saya cuci dan taruh di Kulkas dulu biar tetap segar.”

“Yasudah lah kalau begitu. Terima kasih banyak, pak.”

Aku berlalu mendapati suamiku—Mas Rian, tengah sibuk mengerjakan laporan di meja kerjanya. Aku mengecup pipi lelaki yang asik berkutat dengan laptopnya tersebut dan membuatnya tersadar.

“Udah pulang?” balasnya tanpa mengalihkan pandangan sedikitpun dari laptopnya.

“Aku masak bentar ya,” lanjutku.

Potongan demi potongan sayur kusisihkan di meja dapur, kulanjutkan dengan memarinase ikan yang sudah dibelikan Pak Danang untuk bersiap kugoreng.

Usai aku dan Mas Rian makan, kami bersantai di ruang keluarga seraya menonton televisi. Kusandarkan kepalaku di bahunya sebelum akhirnya terlelap dalam setiap detiknya.

Saat aku terbangun kudapati tubuhku sudah tergeletak di ranjang kami. Rupanya Mas Rian yang bela-belain mengangkat tubuhku sampai kemari. Kupandangi wajah lelapnya, lalu kucium dahinya dan bergerak menuruni ranjang menuju kamar mandi.

Kalau sudah ketiduran sore-sore, aku memang agak susah lagi tidur di malam hari, setelah membasuh tubuhku dan mengganti pakaianku dengan piyama tidur aku pun berjalan menuju dapur dan mencoba mengambil susu.

Baru beberapa teguk air susu itu melewati tenggorokanku, kudapati ponselku terpatri di atas meja dapur, aku lupa mengambil ponselku lagi setelah memasak buat Mas Rian.

Sesaat setelah ponselku kubuka, terlihat sebuah aplikasi di beranda ponselku yang kembali memicu ingatanku pada saran Kak Lidya.

Kulihat jam dapur menunjukkan pukul satu lewat limabelas menit, aku menengok kamar Pak Danang yang tak jauh dari dapur kelihatannya lampunya sudah mati.

Aku berjalan pelan kembali menuju ruang keluarga, bahkan sedikit berjinjit—berusaha agar tak ada sedikitpun suara yang bisa membangunkan Mas Rian dari tidurnya.

Kubuka aplikasi MOE TV itu dan mendaftarkan akunku menggunakan email biasa, setelah kupasang headset dan mengatur profil akunku, aku pun memulai live.

Ketika itu muncul wajah pria yang tampak cukup lusuh berkata halo padaku, aku terlanjur gugup langsung menekan tombol berhenti dan logout.

Aku mengambil masker di rak atas lemari untuk menutupi wajahku sebelum melanjutkan kembali membuka aplikasi tersebut.

Beberapa menit main ngga jelas, aku mulai memahami rupanya aplikasi ini seperti gabungan antara Tinder dan VideoCall pada umumnya, dimana kita bisa swap ke kiri untuk skip panggilan atau pun berbicara dengan orang asing. Kita juga bisa memilih untuk tidak berbicara dan hanya menggunakan fitur chat.

“Apasih gajelas banget Kak Lidya install aplikasi ginian. Sensasinya dimana coba?” gumamku sambil terus menggeser layar ponselku ke kiri.

Rata-rata isinya laki-laki, itupun dari sepuluh orang mungkin cuman satu yang bagus dipandang, sisanya wajah kuli, tukang, dan om-om mesum. Sebagian besar mencoba mengajakku ngobrol dengan gaya jametnya, namun sebelum memulai basa-basi sudah duluan kugeser ke kiri.

Aku menengadahkan kepalaku pada sandaran sofa, menatap langit-langit rumah. Bosan. Saat aku menggeser lagi layarku ke kiri, tiba-tiba bukan gambar wajah yang muncul melainkan gambar kaki pria yang kelihatannya sedang selimutan.

Mataku terhenti sejenak menatap nanar sebuah gundukan besar yang tersembunyi di balik selimut itu. Tangan pria itu bergerak mengelus gundukan besar itu yang seketika membuat darahku berdesir.

“Gede banget.” Tak sadar kukirimkan pesan chat padanya.

“Mbaknya mau lihat?” jawabnya lewat mikrofon, namun aku tak mampu menjawabnya.

Ditariknya selimutnya dan jantungku pun berdegup kencang saat melihat sebuah batang kejantanan pria mengacung tegak dengan gagahnya. Besar sekali, jauh lebih besar dari punya Mas Rian. Kulepas satu kancing piyama teratasku karena rasa gerah yang datang menghampiriku tiba-tiba.

“Temenin aku coli yuk, Mbak,” pintanya padaku yang masih tak bergeming sedikitpun.

Dia menaik-turunkan tangannya mengocok organ intim miliknya tanpa rasa malu sedikitpun di hadapanku. Aku menelan air liurku saat benda itu menegak sempurna di hadapan kamera. Tak sadar kudekatkan hidungku ke layar ponsel seolah ingin menaruhnya di depan mukaku dengan nafas memburu.

“Suka ngga?” tanyanya.

“Iya,” jawabku spontan dengan nada lirih.

“Gedean mana sama punya suamimu?”

“Gedean punya kamu.”

“Jilatin dong!”

“Slrrppphhhhh.....ahhhh.....gede bangettt......” desahku setengah berbisik.

Tangannya terus bergerak cepat hingga benda itu pun sedikit berubah kemerahan.

“Terushhh sayangg.... Dikit lagi....” lirihku yang sudah amat terangsang.

Batang itu pun berkedut beberapa kali di depan kamera dan menumpahkan cairan putih bak lahar yang terus menetes di atas perut pria itu.

Mataku menatap nanar adegan itu dan tanpa sadar aplikasinya pun kututup.

“Ahhhh shit!!!” umpatku yang kemudian membuka kembali aplikasi tersebut.

“Haiii cewe, kenalan dong, jangan sombong amat laa, sini dong sama abang,” ucap seorang pria jamet yang muncul di layar ponselku dengan rambut panjang berponi ala Andhika Kangen Band.

Saat itu pula kukeluarkan aplikasinya dan kulempar ponselku ke samping sofa.

“Sssshhhhh haahhhhhh .... hahhhhh .... hahhhhhhhhh ....”

Aku hanya bisa mendesah kecewa, dadaku naik turun dengan napas memburu, itu adalah kali pertama seseorang melakukan pelecehan seksual padaku. Sungguh aneh, bukannya merasa terhina aku justru menikmati prosesnya.

Kuremas sedikit dadaku dan menarik napas panjang. Saat tanganku bergerak menuju bawah perutku tak kusangka celanaku basah, sedikit lendir cinta keluar dari sela-sela lubang kenikmatanku. Adegan itu benar-benar memicu sesuatu dalam jiwaku dan memunculkan sebuah sensasi baru.

Sebuah rasa menyenangkan saat dilecehkan orang asing.



"Ayu Sofia Filayeti"

“Ay! Ayang! Kenapa, kok kusut gitu?” tanya Mas Rian.

“Ngga apa-apa mas, kemarin malam kebetulan pas susah tidur aja,” jawabku. Kuserahkan roti yang sudah kuolesi selai kacang pada Mas Rian yang kemudian dinikmatinya dengan lahap.

“Mas berangkat dulu yah. Kemungkinan malam ini lembur, jadi kalau mau masak ngga usah banyak-banyak. Soalnya mas makan malamnya di luar.”

“Iya mas, hati-hati di jalan.”

Kusambut dan kucium tangannya yang dibalasnya dengan kecupan manis di dahiku. Dari teras kupandangi Pak Danang yang menutup kembali pintu gerbang sebelum lanjut mengantarkan Mas Rian kerja menggunakan mobil—menyisakan aku sendirian di rumah kami.

Kusobek makanan kucing yang kubeli kemarin saat pulang dari butik kak Lidya dan kutuangkan ke mangkuk makanan kucing. Belum juga kupanggil, Icha—kucing kami, sudah lebih dahulu berlari mendekat ke arahku saat mendengar suara gemerincing makanan dan menggosokkan tubuhnya di kakiku.

“Meowwwww!!!”

“Sabar ya Caca, sebentar ya....” ucapku pelan.

Kuberalih menuju sofa dan menghidupkan televisi. Bosan sekali. Acara di saluran lokal hanyalah seputar lawakan infotainment ngga jelas yang disisipi dengan tawa tidak lulus penonton bayaran. Sementara acara dari saluran tv kabel berisikan film-film yang sebagian besar sudah kutonton.

Aku mendesah pelan. Rumah sudah dibersihkan Pak Danang sedari Subuh, cucian piring tak ada, cucian pakaian sudah dijemur, tanaman sudah disiram, harus kuakui meski sudah berusia senja beliau sangatlah ulet.

Kulirik ponselku sesaat. Detak jantungku terasa intens mengingat apa yang sudah kulihat tadi malam. Apalagi aku masih mengenakan jilbab dan piyamaku yang sama, minus celana dalam yang sudah kulepas karena basah. Aku celingukan, menengok kiri dan kanan. Kucoba lagi membuka aplikasi live TV itu sekadar buat membunuh rasa bosan. Tak lupa kukenakan masker agar tidak grogi seperti tadi malam.

'Kuskip lagi layar live itu.....
Lagi.....
Dan lagi.....'

Ya, di siang hari pun, isinya sebagian besar hanyalah bapak-bapak dan mas-mas jamet. Hingga limabelas menit lamanya tidak ada satu orang pun yang menarik minatku.

Aku menengadahkan kepalaku, apa benar ya harus malam-malam mainnya baru ketemu lagi yang kayak gitu.

Di tengah kebosananku, bisikan iblis terasa masuk dalam sanubariku. Kalau tak bisa kudapatkan, kenapa bukan mereka saja yang kubuat menunjukkannya padaku, pikirku.

Kucoba memberanikan diri memainkan kembali aplikasi itu, pikir-pikir kalau yang kucari anak kuliahan pasti dia merekamnya diam-diam pakai perekam layar, sebaiknya kupilih yang wajahnya agak gaptekan atau tua-tua.

Sesaat setelah aku menggeser layarku beberapa kali nampak seorang kuli bangunan bertelanjang dada dengan wajah 'ndeso' dan rada bloon memandangi layarku.

“Halo, neng!” ucapnya seraya melambai ke kamera.

Aku melambaikan tangan balik namun masih grogi ingin berbicara padanya, rasanya jantungku amat memburu karena baru pertama melakukannya.

“Siang-siang sendiri aja?” tanyanya.

“Iya pak, suami lagi kerja diantar sama supir, jadinya sendirian,” jawabku.

“Oh, namanya siapa neng?” tanyanya ramah

“A.....Ainun,” bohongku, lagipula sepenting apasih harus ngasih tahu nama asli segala.

“Kalau Bapak namanya Hadi. Biasalah kalau pas lagi istirahat kerja bapak suka tuh buka MOE TV ini, bisa kenalan sama orang-orang, ngobrol-ngobrol gitu,” celotehnya, aku hanya berdehem mengiyakan.

“Pak Hadi udah punya istri?”

“Waduh, bapak sih udah duda. Udah lama ditinggal istri tuh.”

“Dingin dong pak, kalo udah malem-malem,” godaku disambut tawa gaharnya.

“Ya mau gimana lagi, neng. Bapak mah kalau mau nikah lagi udah ngga punya biaya. Wong nanggung, hidup sendiri aja udah ngos-ngosan.”

“Kalau saya malah suka kepanasan pak, namanya punya suami mungkin ya,” lanjutku sambil membuka dua kancing piyama teratasku.

Jakun pria itu bergerak naik turun, melongo melihat belahan dadaku yang sedikit tersirat dibalik pakaianku.

“Duh neng, panas banget ya, baiknya dibuka aja neng biar ngga gerah,” godanya.

“Iyanih pak, panas-panas gini enaknya sih makan es krim pak, yang lolipop gitu loh bentuknya,” lanjutku sambil melepas lagi satu kancing piyamaku sehingga kini braku mulai nampak disusul dengan siluet dua gunung kembarku yang sontak membuat napas pria tua itu terdengar memburu.

Astaga, rasanya tegang sekali, jantungku berasa mau copot, rasanya seperti saklar di otakku baru saja terklik dari wanita baik-baik menjadi wanita binal yang mendambakan kejantanan pria lain.

Dia pun celingukan ke kiri dan kanan, selanjutnya kameranya nampak bergerak ke arah bangunan lain dan masuk ke sebuah ruangan kosong.

Kamera itu pun berganti dari kamera depan ke kamera belakang.

Napas Pak Hadi masih terdengar memburu, mataku melotot menatap layar, tangannya nampak menggosok-gosok selangkangannya dan tanpa ragu-ragu sedikitpun mengeluarkan batang kejantanan miliknya.

Napasku nyaris terhenti saat melihat batang itu mengacung sempurna namun masih tertutup kulup. Astaga, ternyata benda milik Pak Hadi itu belum disunat.

“Remas dong non Ainun, saya suka banget non.” Suaranya bergetar dia nampak terangsang juga dengan penampilanku.

Aku menelan air liurku dan terus menatap frame demi frame gerakan tangannya saat mengocok kejantanan miliknya. Ya ampun, kini kepala penisnya keluar sempurna dari kulupnya, darahku berdesir dan bulu-bulu tubuhku ikut merinding. Kali pertama aku melihat penis yang belum disunat, milik orang asing pula. Iblis bagaikan membimbing tanganku hingga melucuti pakaianku dan menyisakan beha dan jilbabku.

Saat dadaku kuremas, terdengar suara Pak Hadi melolong tertahan di ujung sana. Rasanya aku bagaikan bangun dari mimpi panjang dan kembali menuju kenyataan sempurna, seks virtual ini terasa lebih menegangkan dan menyenangkan ketimbang malam-malam hambar yang kulalui bersama Mas Rian.

“Buka non, bantu bapak keluar!” pintanya dengan suara berat dan napas menderu kencang.

Aku yang masih meremas-remas dadaku ragu akan permintaannya. Duh, masa iya sih kukasih gratisan tubuhku ini pada sosok kuli bangunan.

“Sebentar pak, saya punya solusi lain,” pintaku.

Aku setengah berlari menuju dapur dan mengambil sebuah timun berukuran sedang di dalam kulkas. Aku berlari kembali menuju ponselku dan bersimpuh di depannya.

“Apaan itu non?” tanyanya sedikit keheranan

“Bapak bayangin aja ya,” jawabku sedikit genit.

Kuangkat sedikit maskerku ke bagian hidung lalu kujilati timun itu seolah-olah tengah menjilati benda milik Pak Hadi, pria itu nampak melenguh di seberang sana seraya mempercepat kocokan tangannya.

“Mmmmhhhh …. Pakkkkk …. Ainun pengen diginiin ….” ucapku genit seraya mengoleskan timun yang berceceran air liurku di tengah payudaraku, membuat Pak Hadi sedikit meringis.

“Anjritttt …. Dasar lonte! Ditinggal suami malah ngelonte ama kuli. Dasar akhwat gatel!” balasnya dengan nada kasar.

Aku terkejut mendapati perkataan semacam itu. Separuh diriku merasa terhina, namun separuh lagi benar-benar terangsang saat direndahkan oleh orang yang status hidupnya notabene jauh dibawahku. Tak terasa timun itu kuturunkan menuju selangkanganku dan kutusuk-tusukkan dari luar celana piyamaku.

“Pengen dimasukin, pakkk!” rengekku manja dan Pak Hadi pun makin mempercepat kocokannya.

“Anjing, akhwat gatel bangsat. Gue entotin elu sampai mengap-mengap!” lenguhnya lagi sambil terus mengocok batang kejantanannya.

“Iyahh .… Terushh pakkk …. Terusssss …. Zinahi aku pakkkk …. Jadiin aku lacurmu ….”

Terus kurangsang lelaki itu hingga pejantanku pun melenguh panjang bersamaan dengan membludaknya air mani yang keluar dari penisnya. Benda besar itu berkedut-kedut lalu memuntahkan lahar putihnya untuk terakhir kalinya. Sedangkan aku hanya bisa memandanginya dengan wajah kemerahan, napasku masih berat tanpa sadar kukeluarkan aplikasi itu dan kuhempaskan ponselku ke samping sofa.

Kulepas behaku hingga kedua gunung kembarku pun keluar dari kekangannya selama ini. Kuelus lagi kedua buah dadaku dengan timun tadi membayangkan benda milik Pak Hadi lah yang saat ini tengah melakukannya.

“Ahhhhhnnnnn …. Pakkkkkk …. Aku pengen bangettttttt dientotin bapakkk ….” desahku tertahan.

“Kalau pengen dientot, mau jadi lacur bapak?”

Aku terengah-engah menatap kekosongan, membayangkan seolah Pak Hadi kini ada di sampingku dan mengucapkan hal serendah itu padaku. Aku mengangguk dan tersenyum. Kugerakkan timun itu menyusup ke dalam celana piyamaku tanda aku setuju bayangannya bergerak menodai tubuh alimku.

Selagi tangan kiriku meremas payudaraku, tangan kananku bergerilya mencoba menusukkan timun itu ke dalam lubang kenikmatanku.

“Sssshhhhh …. Duhhh gede banget pakkkkkk …. Gak bakal muatttttt ….” rengekku dalam kesunyian, sementara tanganku terus mencoba memasukkan timun itu lebih dalam.

Sayangnya baru dua atau tiga senti timun itu masuk, aku sudah mengap-mengap tak tahan. Bagaikan ikan yang dikeluarkan dari akuarium, aku menggelepar merasakan nikmat kala tanganku bergerak keluar masuk, membayangkan diriku yang begitu terhormat dilecehkan oleh seorang kuli bangunan.

“Akuuuuuu sampaiiii pakkkkkkkk …. Ahnnnnnnnn ….” teriakku sekeras mungkin, hingga seluruh sudut ruangan terasa bergema oleh kenikmatan yang saat ini menikam habis tubuhku.

Tak lagi aku peduli saat lendir cintaku membasahi celanaku dan meluber sebagian ke sofa tempatku memadu cinta bersama bayang-bayang Pak Hadi. Dadaku naik-turun dan tubuhku menggeliat merasakan kenikmatan dari fantasi terliar dan terhina yang ditanamkan Iblis dalam relung dadaku.

Namun, tak sempat berlama-lama aku menikmati puncak surga, terdengar suara mobil di depan dan suara pagar yang tengah didorong. Sial, Pak Danang pulang.

Aku bergegas mengambil pakaianku yang berserakan lalu menuju kamar utama—tempatku dan Mas Rian biasa memadu kisah dan kasih hambar kami.


;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;

BAB II : EKSPLORASI


Ayu Sofia Filayeti


Perasaan gugup, senang, dongkol, dan puas, bercampur aduk di dalam relung dadaku. Kuputar kunci kamarku dan kutarik sedikit knop pintu untuk memastikan bahwa pintunya terkunci sempurna sebelum melempar pakaianku ke rak cucian kotor dan berjalan menuju kamar mandi.

Beruntung dulu Mas Rian menuruti keinginanku buat renovasi agar bikin dua kamar mandi, satu kamar mandi utama dan satu lagi kamar mandi berukuran sedang yang menyatu dengan toilet. Biar pas lagi mager ngga usah naik turun tangga buat ke WC di bawah.

Aku yang sudah setengah bugil pun menanggalkan jilbab dan sisa pakaianku yang lain lalu melangkah ke kamar mandi—membasuh bekas-bekas seks virtualku bersama Pak Hadi.

Tanganku yang menyusuri lekuk-lekuk tubuhku sesekali bergetar saat menyentuh lembut selangkanganku. Kugosok pelan sabun pada bagian intimku dan mendesah lemah di bawah siraman shower.

Selesai dari kamar mandi, kukeringkan tubuhku dan rambutku, sebelum akhirnya mengenakan lagi gamis dan rok krem yang barusan kuambil dari dalam lemari. Lama waktu kuhabiskan untuk make-up demi menghilangkan jejak-jejak kebinalanku dan keluar lagi sebagai wanita syar'i yang bermartabat.

Saat aku menuruni tangga, nampak Pak Danang sudah selesai memasukkan mobil ke dalam garasi dan beliau pun melangkah masuk ke rumah.

"Pak, saya mau keluar dulu, pakai motor. Nanti kalau ada Mamang Sayur komplekan lewat, belikan daun bawang sama tomat ya, kemarin lupa nyetok." Kuserahkan selembar uang seratus ribu padanya, "Kembaliannya buat bapak makan aja sore sama malam, saya ngga masak malam ini, mungkin makan di luar."

"Baik, Non. Terima kasih banyak," ucapnya sambil membungkuk lalu berlalu melewatiku.

Namun, tak kusangka pria tua itu malah berhenti di dekat sofa lalu diam keheranan.

"Kenapa pak," tanyaku menyelidik.

"Oh, ngga ini Non. Ada timun di samping sofa," jawabnya menunjukkan sebuah timun yang dia temukan.

DEG!

Seketika jantungku berpacu cepat, sialan, aku lupa buang bekas tadi. Meski begitu aku berusaha sekuat tenaga agar air mukaku tidak sedikitpun berubah di hadapannya.

"Ngga tahu pak. Mungkin pas kemarin kali bapak buru-buru pas bawa belanjaan sayur terus jatoh. Udah kotor tuh pak, buang aja," perintahku.

Dia menggaruk kepalanya beberapa kali, "Baik Non. Saya buang dulu. Maaf Non."

Aku melengos keluar sesaat setelah Pak Danang memasukkan timun itu ke tempat sampah seolah tak terjadi apapun.

Dengan pikiran yang masih mumet kubiarkan saja arus jalan mau membawaku kemana, aku tak tahu apa yang saat ini kuinginkan, sensasi tegang ini adalah kali pertama aku merasakannya, bak lukisan hitam putih yang pertama kali menerima cat warna, hidupku serasa berubah menjadi sebuah petualangan. Sampai mana aku bisa melakukan hal ini tanpa ketahuan dan jika ketahuan hal apa saja yang akan menimpa wanita bermartabat sepertiku.

Letih rasanya aku melalui jalanan ini, saat kulihat sebuah Cafe di samping jalan aku pun reflek melambatkan lajuku dan berbelok.

Aku pun masuk dan memesan sebuah Red Velvet pada barista yang nampak seumuran denganku, lalu memilih sebuah tempat duduk di sudut meja.

Mataku melirik sekeliling, ada dua pemuda dan satu wanita yang kelihatannya sedang bersenda gurau jauh di meja dekat pintu, sementara satu lagi pria menyendiri dengan ponselnya di meja seberang kedua pemuda-pemudi itu.

"Silahkan, Mbak."

"Terima kasih."

Aku menyambut minuman itu dengan satu senyum manis, lalu kembali melihat sekeliling. Suasananya cukup cozy, tidak terlalu pengap, mungkin karena sedang jam sepi.

Kusandarkan daguku di punggung tanganku, sembari sesekali melirik sekitar. Tanganku mencari earphone dan masker di dalam tasku kemudian memasangnya.

Kuberanikan diri membuka aplikasi itu lagi di tengah-tengah publik.

Ya, seperti biasa, ngga bisa berharap wajah tampan nan rupawan yang pertama muncul di aplikasi MEO TV ini, kali ini nampak wajah anak SMA yang dekil penuh keringat sedang melongo menatap layar. Bodoh sekali pikirku, tanganku langsung bergerak menggeser layar ke kiri sebelum dia sempat mengatakan sepatah dua patah kata.

Kuli bangunan, skip.

Pekerja kantoran, skip.

Anak culun rumahan, skip.

Fuuuhhh~ Ya ampun, benar-benar tidak ada yang menarik minatku. Gelak tawa anak muda yang berada jauh di seberang meja menyadarkanku sesaat, sebelum kemudian kembali memainkan aplikasi live itu.

Bocah jamet, skip.

Om-om nyari simpanan, skip.

Bahkan ada yang nampak seperti pengamen, skip.

Ampun deh. Tanganku terus menscroll ke kiri sampai akhirnya kudapati sebuah layar kosong. Hanya ada paha dan kaki seorang pria berwarna coklat kehitaman muncul di layar.

Jemariku hampir melewatkan tontonan itu karena terlalu cepat menscroll.

"Nahhhh ini nihhh ...." teriak hatiku kegirangan, bak hewan buas yang telah lama menahan lapar lalu diberikan seonggok daging.

Kutarik pelan jariku ke kanan layar, batal skip, dan mencoba melihat apa kelanjutannya.

Pria itu diam, duduk tanpa suara, dia bahkan tampak ragu-ragu untuk bergerak.

Aku pun tak mampu untuk berbicara. Seolah-olah jika kukeluarkan suaraku sekarang, dia akan lari meninggalkanku.

Ampun, apasih yang kupikirkan. Kenapa aku malah ingin dilecehkan dengan cara seperti ini? Hawa nafsu dalam relung dadaku benar-benar menggebu, memompa darah panas ke seluruh tubuhku.

"Apaan tuh, buka dong!"

Aku malah memberanikan diri chat dia duluan, nafsuku sudah di ubun-ubun saat melihat siluet gundukan di selangkangannya. Duh, seorang wanita bergamis dan berjilbab syar'i yang berdiri dengan penuh martabat di depan orang-orang, saat ini tengah mengirim chat cabul agar dirinya dilecehkan.

Tangan keriputnya nampak ragu, namun perlahan tapi pasti bergerak menuju area selangkangannya.

Aku menelan air liurku, saat tangan itu terus menerus menggosok gundukan yang tersembunyi dari balik celana cargo miliknya.

"Keluarin dong!" chatku lagi, membuat tangannya terhenti.

Napasku perlahan berubah berat saat tangan itu bergerak membuka kancing celana cargo miliknya. Batang kejantanan berwarna coklat kehitaman itu pun menyembul keluar dari sarangnya.

"Slrph...." Reflek lidahku menyapu bibirku dan menggigit kecilnya menahan rangsangan yang kini ada di ponselku, beruntung masker menutupi wajahku sehingga sukar bagi orang lain melihat ekspresi sangeku saat ini.

Penis ini tidak sepanjang milik Pak Hadi namun diameternya nampak sedikit lebih lebar. Jika punya Pak Hadi kuperkirakan sekitar 16 senti, mungkin yang ini kisaran 15 atau 14,5 lah. Namun yang membuat api nafsu membara dalam kepalaku adalah keduanya sama-sama belum disunat.

Aku seorang akhwat yang suci, dilecehkan oleh penis yang belum disunat, benar-benar gila. Kenapa rasanya aku senang sekali direndahkan seperti ini? Rasanya alam bawah sadarku seperti sudah begitu lama menantikan diriku diperlakukan seperti ini.

Saat tangan itu berhenti mengocok, kepala kejantanannya pun keluar dari kulupnya dan menegak sempurna, nampak pria tua itu mendekatkan kameranya menyorot batang tegak sempurna itu bak menyiram minyak pada kobaran api nafsuku.

"Sssshhhhh .... hhaaahhhh ...." Aku mendesah sepelan mungkin, meski rasanya sudah ingin meronta-ronta minta dilecehkan lebih dari ini.

"Kocok terus sayang," pintaku via chat dan dia pun menurut lalu mulai mengocok pelan benda intim tersebut.

Tanpa sadar tanganku yang satu bergerak menuju dadaku, kuminimalisir semua gerakan tubuhku agar tak tampak mencurigakan dan lanjut meremas-remas pelan dadaku.

Meskipun pejantanku kali ini tak banyak bicara namun terdengar suaranya amat memburu di ujung sana, mencoba mencari puncak kenikmatan bermodalkan fotoku.

Kuperhatikan sekelilingku masih tampak begitu sibuk dengan diri mereka masing-masing. Tanganku bergerak perlahan melepas satu kancing atasku, dua, hingga tiga buah. Kusibak sedikit bajuku hingga menampilkan sekelebat belahan dadaku, tiga detik?ampun, hanya tiga detik namun waktu di sekitarku serasa melambat. Pejantanku di ujung sana melenguh keras melihat kenakalanku dari layar ponselnya sambil terus mempercepat kocokannya, membuat hatiku berbunga-bunga. Senang, dan bahagia rasanya, seolah-olah memiliki seorang budak pria yang bisa kupermainkan semauku.

Kukancing sempurna kembali pakaianku, saat dia melenguh panjang dan memuncratkan air mani ke tangan hingga celananya.

Selangkanganku terasa amat gatal, ingin rasanya cairan yang sudah keluar itu kuambil dan kumasukkan ke dalam tenggorokanku.

Ahhhh, sialan, Ayu, apasih yang kamu pikirkan? Kenapa kamu malah jadi binal begini? Ini bukan kamu, Yu! Ini jelas-jelas bukan kamu! Nuraniku berteriak keras mencoba melawan pikiran jorokku.

Benar, ketika aku dilecehkan seperti ini, sebuah perasaan baru muncul membentuk kepribadian baru. Mungkin inilah sebagian puber yang belum kualami saat masa kuliah dulu, sesuatu hal yang kulewatkan saat menolak tawaran kak Lidya.

Perasaan bahagia saat aku direndahkan ataupun saat aku merendahkan diriku sendiri.



Ayu Sofia Filayeti


Puas keluyuran kemana-kemana dan berbuat amoral secara sembunyi-sembunyi di tengah publik, aku pun beranjak pulang ke rumah.

Setibanya di depan gerbang, kuklakson motorku dua kali agar Pak Danang membukakan pintu. Namun lama kutunggu tak pula lelaki tua itu datang. Satu lagi klakson sedikit panjang baru akhirnya dari kejauhan kulihat dirinya terngopoh-ngopoh setengah berlari menuju gerbang.

"Maaf, Non. Saya tadi lagi nyuci di belakang, jadi ngga kedengeran. Saya kira Non Ayu hari ini keluarnya sampai malam," ucapnya dengan nada sesal.

"Ngga jadi pak, lagi ada pikiran aja kelamaan di luar," jawabku sambil memasukkan motorku menuju garasi.

"Masih ada cucian pak? Perasaan sudah semua?"

"Bukan, Non. Anu .... itu pakaian saya yang kotor."

"Ooohh."

Aku pun masuk ke rumah lalu duduk bersandar di sofa, kuhidupkan televisi dan lanjut membalas pesan WA dari Kak Lidya dan Mas Rian. Lama aku berkutat dengan ponselku hingga baru aku sadar Pak Danang kelihatannya masih mematung di depan pintu.

"Loh, Pak Danang? Ngapain bengong di situ? Nanti kesurupan saya ngga mau nolongin loh."

"E-Eh .... Engga Non. Saya tadi lupa yang mau dikerjakan apa. Anu, Non Ayu mau saya masakin? Kelihatannya Non belum makan habis dari luar."

"Oh iya nih, lupa tadi mau beli makanan, duh, masakin nasi goreng pak ya, ada 'kan masih bahan-bahannya."

"Masih ada, Non. Sebentar saya masakin dulu ya Non."

Entah mengapa hari ini Pak Danang terasa aneh di mataku. Suka melamun dan terlihat memandangiku lebih dari biasanya. Namun masih kutepis semua perasaan negatif itu dan mencoba beprasangka baik padanya.

"Apa dia mau ngutang ya?" pikirku, namanya orang susah mau minjam duit 'kan gelagatnya mirip-mirip semacam itu.

Aroma harum dari dapur tercium menandakan nasi goreng buatan Pak Danang sebentar lagi akan matang. Aku pun berjalan ke dapur menyiapkan beberapa piring, namun beliau lebih dulu mencegahku.

"Ngga usah Non, saya tadi udah makan."

"Loh terus gimana dong? Saya makan sendiri nih ceritanya?"

"Maaf, Non Ayu."

"Oh, yasudah lah kalau begitu."

Aku pun mengembalikan piring satunya dan menyisakan piringku seorag. Dengan telaten Pak Danang menyendokkan nasi goreng itu ke piringku lalu menyuguhkanku segelas air putih.

"Pelan-pelan makannya, Non Ayu. Masih Panas. Saya pamit dulu ya, Non. Mau ke Pos Ronda depan sebentar bareng Kang Dirman."

"Oh siap, jangan lama-lama ya pak. Saya sendirian nih di rumah, nanti kenapa-kenapa susah lagi mau minta tolong."

"Siap, Non."

Aku pun menyantap nasi goreng itu dengan lahap, lalu mendesah kecil, kadang pada saat seperti ini aku lebih ingin menjadi wanita karir ketimbang ibu rumah tangga. Keluar keluyuran, pulang ngga ada kerjaan.

Kutaruh bekas makanku di rak cucian piring. Sambil meneguk air putih aku berjalan ke sekitaran dapur melihat jemuran yang ada di halaman belakang.

Kelihatannya sebentar lagi mau hujan, mungkin sebaiknya kuambil saja pakaiannya sekarang.

Namun saat berjalan berkeliling jemuran mataku terpaku pada sebuah jemuran yang masih nampak baru. Sebuah celana cargo yang tampak begitu familiar di mataku terpampang basah di sana.

Lututku melemah, sesaat aku terperanjat saat melihat celana itu sama persis dengan celana pria asing yang kuajak bermasturbasi di cafe tadi.

Jantungku berdegup kencang, saat mengingat tangan Pak Danang yang menyuguhkan nasi goreng ke piringku, mengingatkanku dengan tangan yang sama dengan tangan pria itu.

"Ahh, ngga mungkin, pasti cuman kebetulan. Satu banding satu juta aku ketemu Pak Danang di aplikasi itu. Lagian 'kan yang main satu Indonesia, belum tentu kita bisa ketemu dalam satu server," lirihku mencoba menghibur diri.

Seketika itu pula kepalaku pusing, sebagian karena prasangka yang tidak-tidak, sebagian lagi mungkin karena kenyang.

Ingatanku kembali pada tatapan Pak Danang hari ini yang kelihatannya seperti ingin menyantap setiap lekuk-lekuk tubuhku.

"Ck, udah ngga usah dipikirin Yu. Cuman kebetulan kok. Pasti kebetulan," gumamku menghibur diri sendiri di depan televisi.

Rasa kantuk selepas makan pun datang menghampiriku, tanpa pikir panjang aku pun merebahkan kepalaku di sofa dan memejamkan mataku untuk menghilangkan sedikit pusing. Kubiarkan hingar bingar suara televisi sekedar untuk mengisi kesunyian rumah ini.

Gelap.
Hanya itulah perasaan yang kuingat.

Tak ada mimpi indah, ataupun mimpi buruk, hanya kekosongan.

Entah berapa lamanya kuhabiskan waktu.

Sayup-sayup suara pintu terbuka terdengar kembali, suara televisi masih terdengar tanda semua masih kutinggalkan sebagaimana mestinya.

Mataku mengintip Pak Danang baru saja datang lalu mengecilkan sedikit volume televisi. Aku lekas menutup mataku rapat-rapat kala dia berbalik ke arahku.

Hening.
Tak ada suara sedikitpun.

Namun aku yakin, dia masih berdiri di sana memandangiku yang terlelap lengkap dengan jilbab, gamis, dan rokku.

Apakah sebaiknya aku bangun sekarang?

Tetapi apa yang terjadi jika kudiamkan dia?

Apakah aku .... akan .....

Gara-gara keseringan main MOE TV, tiba-tiba jiwa binalku yang telah lama terkekang benar-benar ingin bereksplorasi. Apakah dia akan melakukannya? Apakah dia akan memerkosaku? Atau dia hanya meninggalkanku di sini.

"Non! Non Ayu! Bangun Non. Jangan tidur di sini, nanti masuk angin."

Dia menepuk pundakku beberapa kali namun kuhiraukan saja. Tubuhku benar-benar mendambakan sensasi apa lagi yang akan terjadi padaku jika ini kuteruskan lebih jauh.

"Non Ayu," panggilnya lembut seraya mengelus pipiku.

Ahhh, bulu kudukku merinding, ini adalah perdana kubiarkan lelaki lain menyentuh tubuhku selain Mas Rian.

Semakin kubiarkan, semakin pula pria tua ini menjadi-jadi, rupa-rupanya luarnya saja yang tua, nafsunya masih muda juga. Tangannya bergerilya dari pipi menuju kedua payudaraku yang masih terbungkus beha dan gamisku.

"Ahn," rintihku pelan terkejut saat tangan kasarnya meremas payudaraku. Tetapi rintihanku rupaya menumpulkan kenekatan Pak Danang sehingga lekas menarik tangannya.

Sialan, malah setengah jalan gini jadinya umpatku dalam hati.

"Pelan-pelan Mas Rian," ucapku pura-pura mengigau sehingga kini kurasakan lagi tangannya kembali menggerayangi tubuhku.

"Non .... hhhh .... udah lama banget bapak pengen kamu ...." bisiknya dengan napas berat.

Rupa-rupanya pria tua ini sudah lama mengincar tubuhku. Insting awalku yang sedari awal tidak menginginkan Pak Danang sebagai ART di rumah ini ternyata benar, kini kubiarkan predator ini tumbuh besar di rumahku dan siap untuk memangsa majikannya.

Tangannya terus meremas payudara kiriku, hingga kurasakan putingku pun mengeras. Keringat sedikit membanjiri wajahku karena panas tubuhku. Pria ini benar-benar berpengalaman, dia lanjut memilin putingku dari luar gamisku. Jika tidak kutahan tubuhku sudah melekuk dan meliuk-liuk saat ini. Namun terus kucoba untuk mengatur napasku agar tetap terlihat seperti orang yang pura-pura tidur.

"Ahhh, diluar doang kamu mah, Non. Kelihatannya alim, pake jilbab, gamis lebar, isinya juga lonte sangean, main MEO TV buat pamer bodi."

Aku terkejut sekaligus terangsang mendengar perkataan Pak Danang, ternyata memang benar takdir mempertemukan kami berdua dalam sebuah ikatan yang hina. Seketika itu pula jantungku berdegup kencang, dadaku naik turun tak beraturan, membayangkan aku sudah melihat batang kejantanan pembantuku ini sebelumnya, aku bahkan memperlihatkan sedikit dadaku padanya. Meski mengenakan masker, dia tetap mengenaliku yang notabene adalah majikannya sendiri.

Sial, tak terasa celana dalamku basah, aku menggeliat namun tangan itu tidak menyerah dan terus memilin putingku dari luar gamisku.

*CUP*

"Ahhhhhhh .... anjrittttt ...." teriakku dalam hati seraya menggigit bibir bawahku, Pak Danang mengecup putingku yang sudah mengeras dari luar gamisku, aku menggeliatkan wajahku ke samping mencoba menyembunyikan napasku yang amat memburu.

"Maasss...." gumamku, otakku ingin segera menghentikan semua ini dan menampar pria tua yang sudah merendahkanku ini, namun tubuhku menolak dan mendambakan apa lagi yang akan terjadi jika ini terus kubiarkan.

Lama kubiarkan dia menetek di luar bajuku, sampai akhirnya dia berhenti melakukannya dan meninggalkan tubuhku sendirian. Keringatku sudah membanjiri sekujur tubuhku, celana dalamku sudah dibasahi oleh lendir cintaku sendiri, namun aku masih belum juga mendapatkan kepuasan yang aku cari.

Kepalaku kembali menggeliat ke kiri mengisyaratkan bahwa aku masih ingin lagi dinodai olehnya.

*SREET*

Sayup-sayup kudengar suara retsleting terbuka, seketika itulah tubuhku dengan intens merespon predator ini akan melakukannya, jantungku serasa mau pecah—tegang saat merasakan sebuah benda hangat dengan berbau agak pesing menyentuh bibir bawahku.

Satu tangannya meremas payudara kananku, tangannya yang lain menelusup ke selangkanganku, sementara batang kejantanannya berada di depan mulutku.

Ahhhh, Mas Rian! Maafin aku, mas! Maafkan istrimu ini. Jujur aku ingin dilecehkan seperti ini, aku ingin direndahkan semacam ini, perlahan aku menyadari kodratku sebagai wanita seharusnya hanyalah menjadi alat pemuas bagi laki-laki. Namun aku malu mengakuinya, jilbabku, gamisku, seolah menjadi penghalang antara aku dengan kenikmatan tiada tara yang selama ini aku dambakan.

"Duhhh .... pengen banget rasanya disepong kamu Non. Memekmu rasanya pengen banget bapak kontolin pakai punya bapak .... shhhh ahhhhhh halusnya bibirmu Non Ayuuu .... uhhhh alus banget rasanya .... udah becek gini kamu nak .... kamu mimpi ngelonte ya? Dasar akhwat kardus. Lonte dikasih jilbab ya gini nih jadinya."

Wajahku terasa panas mendengar semua hinaan yang dia lontarkan padaku, namun tubuhku berteriak?terangsang berat saat kata-kata itu menghujami tubuhku. Ingin rasanya kubuka mulutku lebar-lebar dan kutelan bulat-bulat tongkat pejantanku ini, namun jika itu kulakukan semua sandiwara ini akan berakhir dan aku akan sepenuhnya kehilangan martabatku di depannya.

"Shhhh hahhh .... Non .... Saya izin mau jilatin lubang punya Non Ayu ...."

DEG!

Bak kena serangan jantung aku dibuatnya. Apakah dia selanjutnya akan memerkosaku di sini? Apakah dia tidak takut samasekali aku akan bangun kalau dia sampai melakukannya? Pria tua ini benar-benar hanya bermodalkan nekat.

Sayangnya, marahku hanya sebatas dalam hati saja, tubuhku sungguh menginginkan dia melakukannya. Jujur, seumur-umur kami menikah Mas Rian tidak pernah menjilati lubang milikku, dia bilang jijik dan tidak seharusnya melakukan itu, sehingga kadang ketika dia memaksaku untuk menyepong kontolnya aku pun menangguhkan alasan yang sama.

Lamunanku pun buyar saat tangan kasar itu bergerak masuk melalui bagian bawah rokku, dengan telaten Pak Danang menarik lepas celana dalamku perlahan, hingga mengeluarkannya dari pergelangan kakiku.

"Hmhhhhh ahhhhh .... harumnyaaaa bau memekmu, Non Ayu."

Bajingan, sempat-sempatnya orang ini mengendus celana dalamku, aku kan jadi makin terbakar dibuatnya.

Tangan itu menyingkap rokku hingga kurasakan kulit vaginaku terekspos jelas di hadapannya, dingin terkena sedikit angin dari AC.

Seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja, aku menunggu detik-detik Pak Danang menjilati bibir labia mayoraku.

"Akkkhhh ...." Tubuhku sedikit terangkat saat kurasakan napas dinginnya bersarang di selangkanganku.

Rasanya bagaikan ratusan kupu-kupu hinggap di atas perutku satu demi satu, terus menggelitik perutku, kenikmatan itulah yang kurasakan setiap kali lidahnya menyapu ruang ruang dalam lubang vaginaku.

Sial, kalau begini terus aku tak bisa lagi menahan lolongan kenikmatan akibat ulah Pak Danang. Kalau sampai aku bangun mampuslah sudah, hilanglah semua wibawaku selama ini di depannya.

"Masss Riannnhhhh ...." gumamku masih dengan sandiwaraku, berpura-pura bahwa semua yang dikerjakan Pak Danang saat ini hanyalah mimpi semata, dan bahwa di alam mimpi saat ini aku sedang bercinta dengan Mas Rian bukan Pak Danang.

Namun bukannya takut aku bangun saat mendengar suara desahanku, Pak Danang justru terasa semakin bersemangat memasukkan lidahnya sedalam mungkin ke dalam liang vaginaku, meski terpejam bola mataku rasanya berputar tegang ke atas meresapi semua kenikmatan yang saat ini tengah menerpa tubuhku.

Tubuhku menegang saat jilatannya sudah mulai membabi-buta, seolah-olah ratusan kupu-kupu yang tadinya hinggap di perutku terbang semua berhamburan ke angkasa.

Jiwaku meraung dengan keras mengekspresikan apa yang tidak bisa diucapkan oleh mulutku. Cairan kenikmatan mengalir deras melalui celah-celah vaginaku. Permainan lidah Pak Danang sukses mengantarku ke lantai pertama dari surga kenikmatan tiada tara.

"Masukin mas," lirihku yang masih memejamkan mata, mencoba memancing Pak Danang agar meneruskan perlakuannya padaku.

Kurasakan sebuah benda panas itu menempel di ujung lubang kenikmatanku, bulu kudukku merinding mengingat batang kontol yang tak bersunat itu sebentar lagi akan mendobrak masuk dalam lubang suci yang kujaga selama ini hanya untuk mahramku.

Maafin aku, Mas Rian. Aku ngga perlu kontol kamu. Aku perlu dia.

*BRTT BRRTT BRRTT BRRTT*

"Ssshhhh heduhhh, apaan sih."

Aku terdiam. Kudengar suara ponsel bergetar samar-samar. Batang panas yang sedari tadi bergesekan di depan vaginaku pun tiba-tiba hilang hawa keberadaannya.

"Siap Pak Rian, saya jemput sekarang juga, Pak."

Di momen krusial seperti ini, suamiku malah menelpon dan menghentikan semua eksplorasi seksualku pada Pak Danang. Aku mengigit bibir bawahku menahan ngilu. Dibiarkan terbakar di rumah ini sendirian dalam kubangan hawa nafsu.

Saat suara mobil menderu keluar rumah dan suara pagar rumah tertutup, aku masih menutupi wajahku dengan lengan, dan sedikit menangis. Kubiarkan lubang kenikmatanku terbuka di ruang bebas berharap mungkin ada sebuah keajaiban lain dimana Pak Danang kembali dan memerkosaku lagi. Memekku terus berkedut mengeluarkan cairan pelumas sementara pipiku basah—menangisi kepergian pejantanku.

Mas Rian.

Aku benci kamu, Mas.

;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;


BAB III : NURANI DAN BIRAHI


Lidya Eka Wulandari


Kak Lidya hanya diam saat mendengar semua ceritaku. Aku tak tahu harus berbuat apa saat ini, baik tubuhku maupun pikiranku benar-benar sudah tidak sejalur.

"Siniin hape kamu!"

"Kak Lid?"

"Siniin kataku!"

Dengan lemah kuserahkan ponselku padanya, Kak Lidya pun dengan cepat menyambar hapeku lalu mengutak-atiknya sebentar sebelum menyerahkannya kembali padaku.

Saat kubuka lagi ponselku benar saja, aplikasi TV itu sudah dihapus oleh Kak Lidya.

"Kamu tuh udah kelewat batas tahu ngga. Itu udah bukan have fun lagi, Yu. Kamu tuh udah nyaris diperkosa," omelnya.

"Ya aku juga maunya nolak, tapi gimana lagi kak udah nafsu. Satu tahun nikah aku dipaksa Mas Rian nonstop ikut kajian, tahun kedua nikah udah merasa terkekang di rumah, kalau mau keluar harus selalu bareng suami. Bayangin coba kalau Kak Lidya waktu itu ngga ngomong sama Mas Rian, bisa-bisa aku ngga bakal bisa lihat matahari lagi di luar rumah. Dia ngga pernah muasin aku di ranjang, ngga pernah mau ngertiin aku maunya gimana, ngga pernah mau peka, aku tuh capek pura-pura bahagia di depan Mas Rian kak, pura-pura jadi istri yang ideal ngikut dia maunya gimana," cecarku setengah terisak di depan Kak Lidya.

"Aku tuh ngga tahu sebenernya aku tuh cinta apa ngga sih sama Mas Rian," lanjutku merintih.

Kak Lidya menghela napas panjang seraya mengelus-elus bahuku. "Ya tapi jangan sampai gitu lagi lho. Aku ngomong gini ke kamu buat kebaikan kamu juga, Yu. Kalau kamu sampai masuk ke sana, mau baliknya lagi itu susah."

"Kak Lidya buktinya bisa," sanggahku.

Dia memandang lesu wajahku lalu berjalan menuju meja kasir, dibukanya laci dan dikeluarkannya satu pack rokok beserta korek. Aku sedikit terperangah, ternyata Kak Lidya diam-diam masih merokok.

"Ssshhhhh fuuuhhh .... aku pun masih belum berubah sampai sekarang, Yu. Kupikir kamu ngga bakal senekat itu .... aku salah ternyata ...." Dia kembali menghisap panjang batang cigar itu lalu mengembuskan asapnya ke arah display pakaian.

"Kamu jangan lagi ngikut-ngikut aku, fokus ama suamimu aja Yu," lanjutnya. Aku pun duduk pasrah, menundukkan kepalaku.

"Sekarang mesti gimana dong? Aku mesti bujuk Mas Rian buat pecat Pak Danang 'kah?"

"Bilang aja kamu maunya ART yang cewe."



Ayu Sofia Filayeti


Sepanjang jalan selepas meninggalkan butik Kak Lidya, aku hanya bisa melamun, cepat sekali sensasi baru itu datang merayapi tubuhku namun cepat juga dia harus pergi meninggalkan hidupku.

Kupandangi pangkalan becak dan ojek yang kulewati, terlihat bapak-bapak tukang becak dan mas-mas ojek berkumpul sambil ngopi di posnya. Pikiranku buyar membayangkan bagaimana jika saat ini juga aku singgah di depan mereka lalu mengangkat rokku dan melepaskan celana dalamku sebelum kemudian melemparkannya ke arah mereka. Kupertontonkan lubang surgawi ku sesaat baru kutinggal mereka pergi pas lagi sange-sangenya.

Duh, fantasiku menyeret hidupku menuju kehidupan yang lebih liar dari sekarang, namun nuraniku sebagai wanita muslimah yang bermartabat menepisnya jauh-jauh.

Kak Lidya benar, aku sudah kelewatan. Lebih dari ini aku akan terperosok lebih dalam lagi. Sebaiknya kita tidak usah bermain api lebih dari ini.

Sialan, lagipula apa salahnya sih berfantasi? Toh, aku ngga merugikan siapapun. Ini adalah kali pertama aku benar-benar merasa hidup, kalau berhenti sekarang aku bakal kembali ke hidupku yang membosankan seperti sebelumnya. Kalau harus memasang senyum palsu lagi lebih baik aku mati sekalian.

Jiwaku berkecamuk. Nurani dan birahi saling berbenturan satu sama lain. Perlakuan yang kuinginkan takkan pernah bisa kudapatkan di lingkungan yang agamis. Aku tidak butuh lelaki pecundang, aku butuh pejantan. Pria yang bisa mendominasiku, pria yang membuatku bertekuk lutut akan keperkasaannya, pria yang membuatku bersukarela menjadi budak hawa nafsunya.

Sesampainya di rumah, kutemukan Mas Rian tengah membaca Tafsir Hadis di ruang tamu. Aku menarik napas dalam sesaat lalu memasang wajah manisku di depannya.

"Mas," panggilku dan beralih duduk di sampingnya.

"Ay, udah pulang?" jawabnya sebelum sesaat kemudian mengalihkan lagi pandangannya ke buku.

"Mas ngga kerja?"

"Meetingnya di reschedule, Ay. Palingan besok pagi dikabarin lagi."

"Aku mau ngomong sesuatu, Mas."

"Iya ngomong aja, aku dengerin."

"Mas, aku .... aku pengennya Pak Danang diganti. Aku maunya ART yang cewe."

Mendengar ucapanku Mas Rian pun mengalihkan pandangannya dan menatap serius wajahku.

"Kenapa? Ada yang salah? Dia nyuri?"

"Bukan Mas. Aku udah ngga betah lagi sama dia."

Mustahil tentunya aku cerita hampir diperkosa oleh Pak Danang, kalau sampai Mas Rian gelap mata bisa-bisa dibunuhnya pria itu.

"Ay, kalau pembantunya cewe susah loh, mungkin kalau nyuci sama ngurus rumah dia bisa lah, tapi kalau nyupir, ngurus kebun, servis mobil, 'kan belum tentu. Sedangkan kamu tahu sendiri uangku sekarang cuman cukup buat gaji satu orang."

Aku mendesah, memalingkan wajahku darinya, sudah kuduga bakal begini jadinya.

"Kamu 'kan bisa nyupir sendiri mas, servis mobil sendiri, ngga harus dianterin segala macam," rengekku.

Mas Rian pun turun dari kursinya dan berjongkok di depanku sambil memegang tanganku. "Ay, nyari pembantu itu ngga sesimpel itu, kita harus cocok-cocokan lagi, sikap luarnya baik belum tentu dalamnya baik. Orangnya jujur tapi mulutnya ngga bisa dijaga ya sama aja musingin. Sabar dulu sebentar ya, nanti kalau udah ada uangnya mas usahain cari yang sesuai kamu mau."

"Udah Mas, udah. Aku ngga tahu harus ngomong apa lagi sama kamu," balasku yang berdiri bersamaan dengannya.

"Ayu!" panggilnya namun tak kugubris sedikitpun dan pergi menuju kamar.

Sekarang gimana, kalaupun mau memecat Pak Danang pun tidak bisa sekarang. Kalau mengaku pun belum tentu hasilnya baik, bahkan malah mungkin memperburuk keadaan. Aku menutupi wajahku dengan kedua telapak tanganku. Kenapa sih semua harus jadi seperti ini?

Suara pintu kamar yang terbuka membuatku mengangkat wajahku. Kulihat Mas Rian masuk ke kamar menyusulku dan aku hanya bisa menatap sendu wajahnya.

"Kamu sayang aku ngga sih, Mas?" tanyaku sedikit serak.

"Sayang, Ay. Aku sayang kamu. Maafin aku ya," jawabnya lalu mengecup pipi kiriku.

Kupegang kerah bajunya untuk sekadar merasakan napasnya di kulitku, kubiarkan sentuhan lembutnya merayapi bagian-bagian tubuhku. Pria itu mencium bibirku, kami bertukar kecupan dan air liur sampai aku memeluk erat lehernya, mencoba merengkuhnya, kucoba masukkan lidahku untuk menjelajahi setiap inci dari mulutnya. Mas Rian nampak kewalahan namun aku tak peduli, saat ini aku benar-benar menginginkan sentuhan seorang pria.

"Mhhhhh .... hahhhnnnn .... massssss ...." desahku saat melepaskan ciumanku darinya.

Kulepaskan satu persatu kancing kemejanya sementara Mas Rian meremas-remas dadaku dari luar sweaterku. Kucium dadanya yang terasa panas terus kujilati putingnya hingga pria itu pun mengaduh nikmat. Tak tahan dengan rangsanganku lantas didorongnya tubuhku ke ranjang dan dilepasnya habis seluruh kemejanya. Dengan buru-buru dia melepas retsleting celananya lalu menurunkan celana panjang itu ke lantai.

Didekatkannya penis mungilnya ke arah perutku yang membuat perutku terasa mual, meski begitu tak ingin kupasang raut wajah jijikku di hadapannya, kupegang benda itu dan kukocok perlahan sampai dia menegang, butuh waktu beberapa menit sampai akhirnya penis mungil itu bangun ke ukuran aslinya yang hanya mentok sepuluh senti panjangnya.

Mas Rian pun menggosok selangkanganku yang masih tertutupi rok dengan batang mungilnya yang sudah tegang, meski rasanya jijik dan kecewa namun dengan kerja kerasnya aku pun terangsang juga. Napasku terasa berat dan dadaku terasa sesak, keringat membasahi wajahku dan bagian sekitar jilbabku.

"Aku buka ya dek."

Bola mataku membesar, untuk sesaat bayangan Pak Danang muncul saat aku melihat Mas Rian. Hati kecilku berharap pria itulah yang menelanjangi tubuhku saat ini, bukannya Mas Rian. Berharap dialah yang mengucapkan kata-kata itu dan bukannya Mas Rian. Namun apa mau dikata, saat ini pria inilah yang memiliki hak utuh atas tubuhku, bukan Pak Danang.

Aku tersenyum kecut lalu menatap wajahnya, "Buka aja, ngga apa?"

Dengan semangat Mas Rian menarik lepas rokku lalu mengelus-elus lubang kenikmatan milikku yang masih tertutupi celana dalam. Belum selang dua menit dia mengelusku, dengan tak sabaran ditarik lepasnya lagi celana dalamku dan dilemparkannya ke sudut ruangan. Diarahkannya tongkat panas itu bersiap memasuki lubang surgawiku, aku meringis menahan sakit saat Mas Rian memasukkan miliknya ke dalam tubuhku, baru beberapa senti sudah kudorong balik tubuhnya untuk menjauh.

"Uhhhhhhh .... sakittttt .... sakittt mashhhh .... punya Ayu belum becek banget .... jilatin dulu mas .... jilatin punya Ayu ...." pintaku setengah memohon namun dia mendesah kecewa.

"Tahan bentar lah Ay, nanti lama-lama enak kok," balasnya kecut, namun saat dia mau memasukkan miliknya untuk yang kedua kali benda itu sudah lembek karena pemiliknya terlanjut bete.

"Duhhhhhh .... udah ahhhh .... sini biar aku aja ...." Aku bangun dari tidurku dan mendorong balik Mas Rian hingga duduk ke tepi ranjang.

Aku berjongkok di depan selangkangannya lalu mengocok pelan batang kejantanan miliknya, dengan hati meringis aku menciumi benda miliknya yang sontak membuat pemiliknya mengaduh keenakan. Terus kukocok dan kujilati batang kontol milik Mas Rian sampai akhirnya kutaruh kepalanya di depan bibirku dan kumasukkan ke mulutku.

"Ohhhhhhnnnnnnn .... duhhhhh enak banget Ayyyyy .... akhirnya kamuhhhhh uhhh shhhhhh mau nyepongin punyakuhhhhhh .... ohhhhhh ...." Dia mendesah bak kesetanan menikmati servis oralku.

Kupejamkan mataku, fantasi dalam diriku membawaku ke dalam alam alternatif dimana saat ini aku tengah mengoral milik Pak Danang. Seketika itu pula sebuah energi misterius terasa memenuhi lekuk-lekuk tubuhku. Muncul semangat dalam diriku saat berfantasi melakukannya dengan Pak Danang. Aku semakin semangat memasukkan kontol Mas Rian dalam-dalam dan memainkan lidahku untuk terus merangsang penis mungil itu.

"Ohhhhhnnn .... Ayyyyyy .... enak bangett Ayyyy .... enak bangettttt ...." teriak pemiliknya yang tanpa sadar mencengkram kepalaku yang masih berlapis jilbab dan memompanya--mulutku kini seolah mainan seks dibuatnya.

Aku hampir kehabisan napas namun tetap kupaksakan, sedikit ingus keluar dari hidungku akibat tangan kasarnya, yahhh benar, terus Pak Danang, terus zinahi mulut akhwat ini. Aku milikmu, Pak! Aku milikmu!

"Ayyyyy .... aku keluarrr ohhhhnnnnn ...." Didekapnya erat kepalaku dan ditekannya dengan kedua pahanya, bagaikan orang kerasukan setan Mas Rian tak sadar saat ini tengah mencekikku, aku suka, aku benar-benar menyukainya, sial mengapa malah bayangan Pak Danang yang muncul di saat seperti ini.

Kurasakan cairan muncrat membasahi tenggorokanku, kubiarkan terus batang itu berkedut menyemburkan sperma sampai aku nyaris pingsan, setelah beberapa kali berkedut dan kehabisan amunisi, cekikan Mas Rian pun melonggar lalu dilepaskannya diriku yang jatuh ke lantai dengan wajah kemerahan, aku meraup udara sebanyak mungkin seolah baru lolos dari maut, aku batuk beberapa kali dan memuntahkan sedikit air mani Mas Rian di lantai kamar kami.

Pria itu berbaring di ranjang dengan kaki menjuntai di pinggirannya, terengah-engah mencapai kepuasannya sendiri, dia lupa lubangku masih memerlukan pelayanan kontolnya yang menyedihkan itu untuk ikut sampai ke puncak surgawi.

Aku berdiri di hadapannya yang masih terengah-engah lalu memanggilnya mesra, "Mas, lihat Ayu deh."

Kulepas satu persatu kancing sweaterku dan menanggalkannya ke lantai, kuliuk-liukkan badanku dan menari bak penari erotis untuk menggoda priaku lagi. Tubuh putih Mas Rian memudar menjadi kulit coklat kehitaman Pak Danang, wajah tampannya berganti menjadi wajah lelaki tua yang sudah lama mendambakan seks dari bidadarinya. Itulah satu-satunya alasan mengapa aku masih tahan melakukan ini dengan Mas Rian, yakni fantasi terlarangku yang Kak Lidya coba kubur kembali setelah dibangkitkannya dengan cara yang tidak bertanggung jawab.

Kutanggalkan behaku dan memaparkan kedua dada indahku di hadapan Mas Rian, sementara jilbabku kubiarkan seperti adanya lalu mengerlingkan mataku dengan nakal padanya, Mas Rian menatap nanar dan mematung melihat aku meliuk-liuk binal mencoba menggodanya, penis mungilnya kembali membesar setiap kali tangan lentikku menyentuh dadaku sendiri dan memainkan puting merah mudaku.

Aku melangkah pelan lalu merayapi tubuhnya, kugesek-gesekkan dadaku di depan wajahnya hingga lelaki itu mendesah kesetanan, beberapa kali bibirnya mencoba meraih putingku namun kuloloskan ke atas dan ke bawah hingga membuatnya menggila.

"Afwan Abi, Umi izin mau masukin kontolnya ke memek Umi," bisikku pada telinganya, memparodikan seorang akhwat yang haus akan tusukan meriam suami ikhwannya. Sontak saja godaanku disambut napas berat dan desah tertahan Mas Rian.

"Masyaallah, Ayu," lirihnya lemah, kurasakan detak jantungnya amatlah cepat saat kutaruh tanganku di dadanya.

Batang panas yang masih berlumurkan liurku dan lendir sperma itu pun mengacung tegak bersiap melakukan penetrasi, kupegang batang Mas Rian lalu kutuntun ke dalam lubang surgawiku.

BLESS!

"Ahhhhnnnn .... shhhhh ...." Aku mendesah kecil saat benda panas itu kini berada di dalam tubuhku, meskipun kecil tapi suhu panas dari tubuhnya lumayan memberi kesan tersendiri bagiku.

Perlahan kunaik-turunkan tubuhku dengan tempo yang pelan, mencoba menikmati setiap detiknya, kubayangkan ekspresi Mas Rian adalah raut wajah Pak Danang yang saat ini tengah menikmati jepitan memekku. Sepertinya aku sudah gila, syaraf otakku sudah terputus sehingga sampai hati membayangkan saat ini tengah memuaskan seorang pembantu yang kasta hidupnya jauh lebih rendah daripada diriku.

Suara ranjang bergernyit memenuhi ruangan kamar kami, perlahan kupercepat goyanganku hingga Mas Rian melenguh kenikmatan.

"Ahhhhhhnnnn .... Ahhhhhhnnnsshhhhh .... Ohhhhnnnnnn binal banget kamu hari ini Yuuuu .... Ohhhnnnnnn ...."

Aku tersengal, capek rasanya mengejar kenikmatan hanya dengan satu posisi, terlebih saat ini aku yang mencarinya seorang diri, sementara pria ini hanya menguik-nguik bak kerbau. Jika aku tidak berfantasi saat ini tengah melakukannya dengan Pak Danang mana sudi aku main sama kamu, Mas.

"Terushhhh .... mashhhh .... dikit lagi masshhhhh .... ohhhhnnn Ayu dikit lagi sampee ...." desahku yang sudah mandi keringat, perlu jerih payah yang banyak sampai aku bisa sampai ke titik ini dengan kontol mungil milik Mas Rian.

Namun belum juga aku mencapai puncak kenikmatan, Mas Rian sudah memegang erat-erat pinggulku dan mengunci tubuhku selagi pinggulnya ditusukkannya ke atas. Aku terengah-engah dan mendesah kecewa saat kurasakan beberapa semburan hangat masuk membasahi rahimku. Mas Rian keluar lebih dahulu. Padahal andaikan dia menahannya sedikit saja lebih lama kami bisa keluar sama-sama. Aku menggigit bibir bawahku. Terus kupaksa memompa batang kejantanan milik Mas Rian namun penis kecil itu semakin lembek dan menjadi mungil kembali seperti ukuran aslinya sehingga terlepas sendirinya dari lubang kenikmatanku.

"Hhhh .... Hhhhhnn .... Hhhh ...." Mas Rian terengah-engah kehabisan tenaga.

Aku pun turun dari atas tubuh Mas Rian dan naik ke atas ranjang. Kupangku kepalanya dan kutempelkan sesekali dadaku di wajahnya. Mulut pria lemah itu pun bergerak mengulum putingnya dan menghisap-hisapnya.

"Shhnnnn .... Ahnn ...." desahku, meski sudah orgasme, jilatan dan hisapannya masih terasa cukup kuat.

Tanganku bergerak menuju selangkangan Mas Rian, beberapa kali sudah kukocok namun penis itu tak lagi membesar. Sebal rasanya, tanganku pun bergerak terus ke bawah menuju lubang anus suamiku, jariku bermain-main disana beberapa saat sebelum akhirnya kutusukkan jari telunjukku ke dalam sana.

"Akkkkhhhh ...." jerit Mas Rian namun tak berhenti sampai disitu jari tengahku kembali ku tusukkan sehingga kini ada dua jari di dalam sana.

"Ngilu Ayyyy ..... uhhhh ..... udahh Ayyy cukupphhh ...." jeritnya namun aku tak menggubrisnya. Saat ini dia terlalu lemah untuk memberikan perlawanan, dan aku benar-benar marah padanya.

Kumainkan jariku di dalam sana dan terus kutusukkan dalam-dalam. Kadang kugerakkan meliuk-liuk dan kadang kutekan ke atas menuju arah buah zakarnya. Pupil mata Mas Dani sampai hanya tersisa putihnya saja mendapat dera siksaan dariku. Namun brengseknya, ketika kusiksa seperti ini batang kejantanannya malah kembali menegang tanda dia menikmatinya.

"Gila kamu ya Mas, ngga waras ...." ucapku sinis sambil mencabut dua jariku dari dalam anusnya.

Kutangkap penisnya yang sudah menegang untuk kemudian kutunggangi kembali hingga pria itu menguik memohon ampun. Setiap kali dia orgasme lebih dulu aku melakukan hal yang sama berulang-ulang demi mengejar kenikmatan yang sama.

Hingga waktu sore tiba semenjak permainan seks kami, baru akhirnya kudapatkan orgasme yang sudah kucari-cari. Mas Rian menatap kosong ujung ruangan, bibirnya kering dan pecah-pecah akibat dehidrasi, dan spermanya berserakan di sepanjang kasur kami. Mulutnya terbuka dan tertutup secara konstan, lemas tak berdaya sampai tak mampu berkata apa-apa.

Aku yang sudah mencapai puncak pun, tubuhku bermandikan keringat dan jilbabku yang sudah basah pun akhirnya kulepas.

Aku pun berjalan menuju kepala Mas Rian. Dengan masing-masing dua jariku—kubuka lubang memekku lalu mengucurkan semua air mani yang ada di dalamnya ke wajah lemasnya, setelah semua terkuras habis air kencing pun ikut mengalir dan kuciprati wajah Mas Rian hingga basah seluruhnya.

Pria itu tak merespon apapun yang kulakukan sekarang padanya, dia hanya terbaring lemas dan tertidur, entah mungkin pingsan. Aku tidak peduli.

Aku pun turun dari ranjang dan melangkah masuk ke kamar mandi membersihkan tubuhku dari bekas percintaan kami.

Sengaja kulamakan kucuran air shower di kepalaku untuk mendinginkan otakku. Ini kali pertama aku benar-benar memaksa Mas Rian melebih batas biasanya. Dan aku terus menaiki benda mungil miliknya betapapun memuakkannya rasa seks itu.

Kemana aku melangkah sekarang, jika kuturuti nuraniku maka seks seperti itulah yang akan kurasakan selama sisa hidupku. Namun jika aku melangkah mengikuti birahiku tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi. Semua berpusat pada satu pertanyaan yang sama.

Bagaimana rasanya jika itu bukan suamiku?



Ayu Sofia Filayeti


Adzan Maghrib berkumandang di senja kala itu. Sementara aku selesai Shalat, Mas Rian masih terbaring di ranjang—tidur. Dia sempat bergerak sebentar untuk sekadar mandi dan ganti sprei, ternyata pria itu pun tak sanggup tidur dalam kubangannya sendiri.

Ini kali pertama aku melihat Mas Rian meninggalkan Shalat, biasanya dia yang selalu semangat mengajakku untuk Imaman bersama-sama. Bahkan pria alim sepertinya bisa kalah juga oleh hawa nafsu duniawi.

Kulepas mukenaku dan kuganti dengan gamis sutra yang spesial buat kukenakan di rumah, tak lupa kukenakan jilbab lebarku sebelum kemudian keluar kamar dan menuruni tangga.

Suasana rumah kali ini cukup asing, tidak biasanya ruang tamu gelap dan lampu luar belum dinyalakan Pak Danang, padahal senja sudah lewat. Kutekan saklar lampu sehingga ruang tamu dan ruang keluarga pun jadi terang benderang, begitu pula dengan teras depan rumah.

"Keluar kah dia?" tanyaku.

"Meooowwwww...."

Aku terkejut saat Icha—kucing kami datang mengelus-elus kakiku, bergegas aku mengambil pakan kucing di lemari lalu menuangkannya ke mangkuk makanan Icha.

"Caca .... duhh maafin mami ya sayang, lupa ngasih makan kamu sore ini," ucapku lembut disambut meongan setengah menggeram darinya.

Aku pun lanjut berjalan menuju dapur yang juga nampak masih gelap namun sayup-sayup kudengar cahaya dan suara di sana.

Saat aku melangkah ke sana nampak cahaya menyorot dari celah pintu kamar Pak Danang, semakin aku mendekat semakin jelas pula sayup-sayup suara tersebut.

Sedikit kuintip dari balik celah pintu itu, nampak punggung seseorang tengah melakukan sesuatu. Aku menutup mulutku, terkejut melihat Pak Danang menutupi mukanya dengan celana dalam wanita.

"I-Itu 'kan?" gumamku dalam hati.

Ya, benar, itu adalah celana dalamku yang dirampasnya saat aku sedang tidur di ruang tamu. Ternyata masih dia simpan bahkan dia pakai sebagai bahan onani.

"Mmmphhssshhhh .... ahhhhh .... Non Ayuuuuu .... bau memekmu ngangenin banget nonnn ...." desahnya sembari terus menghirup dalam-dalam aroma celana dalamku.

Kuremas sedikit dadaku, ternyata bukan hanya aku yang mendambakannya tapi dia pun mendambakan kehangatan tubuhku. Memori di malam itu kelihatannya masih lah menjadi dosa yang terindah bagi kami berdua.

Kugigit bibir bawahku, suhu tubuhku ikut menghangat menyantap suguhan adegan amoral di depan mataku saat ini. Pak Danang membuka celananya dan mengeluarkan batang kejantanannya lalu membalutnya dengan celana dalamku.

Aku mengigit jari melihat benda itu. Meski belum tegak sempurna namun ukurannya sudah melebihi milik Mas Rian di saat primanya.

"Ssshhhh ahhhhh .... shhhhh ahhhh Non Ayuuu .... shhhhh terus Non .... shhh terusss mainin punya bapakk ...." geramnya.

Bulu kudukku merinding mendengarnya, sesuatu dalam suaranya menghidupkan bibit nafsu dalam diriku, seolah minyak yang terus dituangkan kepada percikan api, awalnya kecil lalu tumbuh menjadi bara yang besar.

Kulup pada kepala penisnya membuatku tergiur, sesuatu yang biasa kutemui hanya pada anak kecil memberi efek yang berbeda saat kulihat pada sosok orang dewasa. Jantungku berdentum begitu keras, adrenalin dalam diriku terpompa melihat batang itu mulai bangun dan menegak sempurna.

Lututku terasa lemah, aku berusaha sekuat yang kubisa menahan untuk tidak menimbulkan suara, karena jika kulakukan maka pejantanku itu akan mengakhiri pertunjukannya segera. Ketika benda itu tegang sempurna, kepala penisnya keluar dari kulit khitannya, aku menelan air liurku memandangi betapa perkasanya tongkat pria yang selama ini menghabiskan waktu dekat denganku tersebut.

"Pak Danang," gumamku pelan, tangan kananku bergerak meremas-remas dadaku sendiri sementara tangan kiriku menyusup turun ke selangkanganku dan mengoles-oles vaginaku dari luar gamisku.

Dia pun mulai mengocok kontolnya yang sudah tegak sempurna menggunakan celana dalamku. Rasa gatal yang luar biasa muncul di area selangkanganku, aku menatap nanar benda milik Pak Danang dan terus berandai-andai jika saat ini benda itu tengah keluar masuk dalam tubuhku dan menghujami lubang surgawiku.

"Ohhhhhh .... Ohhhhhnnnnn .... Non Ayuuuu .... Non ...." panggilnya.

Setengah dari jiwaku membuatku berdiri seolah ingin menjawab panggilannya namun saat aku memegang knop pintu kamarnya setengah lagi menarik tubuhku.

"Kalau kamu sampai masuk ke sana, mau baliknya lagi itu susah."

Kata-kata Kak Lidya terus terngiang di kepalaku. Pintu kamar ini adalah perbatasan antara kehidupan lama dan kehidupan baruku. Titik aku berdiri bukanlah aplikasi live untuk video call seks, dimana aku bisa bermasturbasi sepuasnya bersama orang asing. Jika aku melewatinya tidak ada jalan kembali, baik tubuh dan jiwaku mungkin akan tenggelam seutuhnya menjadi pribadi yang baru.

Tanganku melemah dan kulepas knop pintu kamar itu seraya menunduk. Nyatanya aku tak cukup kuat untuk melakukannya, nyatanya aku tak cukup kuat untuk membuang hidupku untuk sekadar kepuasan seksual semata. Pada akhirnya—

"Ngapain nurutin saran dari orang yang juga hidupnya selama ini ngga bener."

—Hawa nafsuku berbicara di titik balik ini.

Kenapa aku harus menuruti saran Kak Lidya? Toh, selama ini dia juga ngga suci-suci amat. Buktinya dia masih ngerokok? Manatahu dia juga mabok dan main cowo lain di belakangku.

Tanganku menyentuh dinding pintu itu dan kubuka pelan, ketika aku melangkahkan kakiku masuk pria tua itu terkejut mendapatiku sedang berdiri di depannya.

"N-Non Aaayhuuuu ...." ucapnya mengerang setengah terkejut.

Dia menghadap tubuhku di saat hampir mencapai puncak kenikmatan. Seketika itu juga spermanya menyembur dengan kuat, begitu kuatnya sampai terciprat sebagian di wajah dan jilbabku.

Pak Danang panik dan bergegas mengambil tisu lalu mengelap spermanya dan memasukkan kembali batang kejantanannya ke dalam celananya.

"A-A-Ampun Non .... M-Maafkan bapak .... Bapak khilaf .... J-Jangan pecat bapak, Non ...." ucapnya dengan nada sesal sembari mengelap air maninya dari wajahku.

Suaranya terdengar begitu panik, bingung, dan penuh ketakutan. Padahal aku tak berbicara sepatah katapun, aku hanya diam di sana mematung dan membiarkan dia membersihkan wajahku.

Tak ada satupun suara yang keluar dari bibirku bahkan untuk sekadar menenangkan kecemasannya. Seolah-olah melompat dari kapal menuju air laut yang dalam, kubiarkan tubuhku tenggelam dengan sendirinya. Aku sudah melewati pintu itu, sekarang tak ada jalan kembali.

Kusentuh tangan tuanya yang gemetaran saat mengelap wajah dan gamisku dengan tisu, lalu kupegang sehingga dia pun terhenti.

"N-Non Ayu?" panggilnya.

Aku mendongkak menatap wajahnya, kupegangi tangannya dan kusentuhkan ke pipiku memberikan persetujuan padanya.

"Pak," balasku balik.

Tisu itu pun terjatuh ke lantai bersamaan dengannya yang memberanikan diri mengecup bibir manisku. Bau rokok kretek yang cukup menyengat dari mulutnya masuk ke dalam indra penciumanku, namun aku tak peduli, lidahnya begitu liar menari-nari dalam mulutku seolah ingin menghisap jiwaku keluar dari dalam ragaku. Tangan kekarnya dengan sigap meremas payudaraku dari luar gamisku sementara tangan satunya meremas-remas pantatku. Ketika aku ingin memundurkan kepalaku dia terus mendesaknya maju hingga tubuhku terlontar kebelakan dan membentur pintu kamarnya, pintu itu pun tertutup sempurna sehingga resmi sudah kuserahkan diriku pada predator yang selama ini mengintaiku.

"Udah lama bangethhh .... cuphhhh cupppphhhh .... saya pengen beginian sama Non Ayuu .... cuphhhhh ...." ucapnya di sela-sela ciumannya, namun aku tak menjawabnya, aku hanya diam memandanginya dengan wajah terangsang.

Puas dengan bibirku dia turun mengecupi payudaraku dari luar gamisku, digigit-gigit kecilnya putingku yang sontak membuatku mengerang tertahan. Tangannya pun tak tinggal diam meremas-remas bongkahan dadaku yang lain dan terus membenamkanku dalam kenikmatan.

"Ohhhhh .... Hohhhhnnnnn .... Ohhhhh ...." lenguhku menikmati kasarnya perlakuannya padaku.

Pak Danang pun lanjut berjongkok di hadapanku yang masih berdiri bersender pintu kamarnya, dia menelusup masuk ke dalam gamis sutraku dan mengincar lubang kenikmatanku.

Kuremas rambutnya dari balik bajuku saat merasakan embusan napasnya di area selangkanganku.

"Ohhhhkkkk ...." rintihku nikmat saat pria tua itu membenamkan wajahnya di memekku, mataku berubah lemah dan sayu saat dia menjilati lubang vagina dan klitorisku dengan membabi buta.

Kutekan lagi wajahnya ke area selangkanganku untuk merengkuh kenikmatan lebih kala lidah itu bergerak masuk di dalam lubangku.

"Ohhhhhh .... Ahnnnnnnn Ahhhhhhhhnnnnn .... Hooohhhhhnnnn .... Pak aku keluar pakkkk ...." rintihku sepelan mungkin sambil menepuk-nepuk bahu pejantanku.

Mataku terbelalak sesaat, kenikmatan yang susah payah kucari dari Mas Rian bisa semudah ini kudapatkan dari Pak Danang hanya dari permainan lidahnya saja. Kujepit kepalanya erat dengan kedua pahaku sebelum akhirnya melepaskan orgasmeku di wajahnya. Kini celana dalamku basah sempurna bukan hanya dari air liur Pak Danang namun juga lendir cintaku sendiri.

Pak Danang keluar dari bawah gamisku sehingga aku pun jatuh terduduk di lantai, terengah-engah.

Dia pun membuka kembali celananya dan mengeluarkan tongkat keperkasaannya di hadapan wajahku.

Ya, nampak kontras sekali batang coklat kehitaman dengan kulup itu ketika berhadapan dengan bibirku.

"Non," ucapnya singkat sambil memegangi kepalaku yang masih tertutup hijab.

Aku memahami apa yang pejantanku sekarang inginkan, kuciumi benda itu dan kuoleskan ke seluruh wajahku menikmati betapa hangatnya kejantanan itu saat menyentuh kulit suciku.

Tidak ada satupun laki-laki di luar sana yang mengira akhwat terhormat sepertiku mau mengoral kontol pembantu semacam Pak Danang, namun dibalik gamis dan jilbabku ternyata selama ini hawa nafsu yang buas tersembunyi dengan rapat, menunggu datangnya hari ketika aku dilecehkan, direndahkan, dan diperlakukan hanya sebagai alat pemuas semata.

"Ohhhnnnn .... Shhhhh .... Mantap Non Ayu .... Saya suka Nonnn ...." lenguh Pak Danang saat bibirku terbuka dan mengulum kepala penis miliknya. Belum beberapa saat di dalam mulutku, benda itu sudah mulai menegang dan membesar sehingga menusuk masuk ke dalam tenggorokanku.

"Hoooqqqqq .... Uhk uhk ...." Aku mendorong paha Pak Danang agar memberiku ruang buat bernapas, saat keluar dari mulutku tongkat keperkasaannya pun menegang sempurna ditandai dengan ujung kepalanya terbebas dari kulupnya.

Tubuhku yang kini membara terbakar birahi menatap nanar batang penis itu, sungguh begitu besar, ketika tegang sempurna tanganku nyaris tidak cukup untuk menangkupnya.

Kumasukkan lagi benda itu ke dalam mulutku namun hanya muat sepertiga dari bagian atasnya saja, kubuka lebar-lebar rahangku agar gigiku tidak menyakiti pejantan kesayanganku ini, sementara itu satu tanganku mencoba menutupi gap yang tidak bisa kucapai sepenuhnya dengan mulutku dan mengocok batangnya.

"Ohhhhhnnnn .... lonte bangsatttt .... dasar akhwat sangeannhhh .... ngga puas sama kontol suami malah nyari kontol orangg .... Di luar jilbaban dalamnya lontheeee .... ohhhnnnn anjingggg ...." hinanya saat aku mulai mengoralnya, bukan malah merasa terhina aku malah semakin semangat memberikan servis terbaikku saat Pak Danang menghina martabatku.

Semakin aku mengoralnya, semakin semangat pula dia menusukkan kejantanannya padaku. Cukup lama adegan intim ini terjadi sampai kurasa rahangku mungkin akan lepas, namun bukannya berhenti dia malah menekankan kontolnya lebih dalam menusuk masuk kerongkonganku. Aku menepuk-nepuk pahanya bahkan mencoba mendorong tubuhnya namun Pak Danang tak mempedulikannya. Ketika tenggorokanku terisi penuh hingga bibirku sampai menyentuh pangkal batang penisnya, dia menembakkan air mani bertubi-tubi ke dalam sana, air mata keluar membasahi pipiku menahan rasa mual dan muntah dari rasa sperma pejantanku ini belum lagi bau pesing dari rambut kemaluannya.

Setelah puas, ditarik lepasnya kejantanannya dari mulutku dan lanjut menembakkan sisa-sisa spermanya di bagian atas jilbabku.

"Uhk uhk .... hoqqqqq .... uhkkkkk uhk uhkkkk ...." Aku terbatuk-batuk dengan mata berkaca-kaca memandanginya yang berdiri tegak di depanku.

Diangkatnya tubuhku yang lemah dan dibawanya ke atas ranjangnya.

Aku mengangkat kedua tanganku dan membantunya melepas gamisku. Dibalik sutra itu terpampang bra yang masih mengekang kedua dada ranumku. Pak Danang mencoba melepasnya namun dia sedikit kesulitan dengan pengaitnya, kubantu pria itu melepaskan sisa-sisa kain di tubuhku yang kemudian disambut dengan sambaran ganasnya.

"Cppphhhh .... cpphhhhh .... cuphhhhhh ...." Mulutnya berkecipak dengan air liurnya saat mengulum erat putingku.

"Sssshhhhh .... Hhhhhnnnn .... Ohhhhnnnnnnnnn Pakkkkkhhhh ...." erangku saat tubuhku dihujaninya dengan kenikmatan tiada tara.

Begitu lama dia menyusu hingga berpindah dari payudara kiri ke kanan sementara tangannya yang lain meremas dan memilin putingku. Aku melenguh nikmat merangkul kenikmatan yang selama ini kucari, kenikmatan yang tidak bisa kudapatkan dari malam-malamku bersama Mas Rian, sebuah kenikmatan dari hewan buas yang kastanya jauh di bawahku.

Puas dengan dadaku dia menatap wajahku yang sayu lalu memegang pipiku.

"Non Ayu .... saya suka sama Non. Saya sayang sama Non," panggilnya membuat hatiku berbunga-bunga.

"Saya juga suka sama Pak Danang," jawabku.

Didorongnya bahuku hingga jatuh ke ranjangnya lalu dilepaskannya kain yang menutupi selangkanganku sehingga lubang surgawiku terpampang sempurna di hadapannya. Kini satu-satunya kain yang menempel di tubuhku hanyalah jilbabku saja.

"Non, kita nikah yuk," ucapnya sambil menggesekkan batang kejantanannya di bibir vaginaku.

"Hnggghhh .... ngga .... ngga mau pakkkk ...." balasku lemah, membuatnya berhenti menggesek lubang becekku.

"Ayu ngga mau jadi istri bapak .... Ayu maunya jadi lonte bapak ...." lanjutku sambil tersenyum.

Nampak raut wajah Pak Danang berubah saat mendengar jawabanku. Tangan kanannya bergerak mencekik leherku sementara tangan kirinya menuntun batangnya yang tegak sempurna menuju lubang surgawiku.

"Dasar akhwat lonte!" ucapnya seraya menusukkan batangnya masuk memenuhi vaginaku.

Ucapan itu adalah titik penanda bahwa hidup baruku sekarang dimulai. Aku telah resmi menjadi alat pemuas nafsunya.

Aku meringis saat benda panas itu baru memasuki gerbang awalku, dengan cepat batang panas itu memenuhi setiap inci dari lubang memekku, membuatku menengadahkan kepalaku, namun ketika kontol milik Pak Danang sudah masuk setengahnya aku merasakan sebuah kenikmatan baru muncul. Sensasi seksual yang sesungguhnya merayapi setiap lekuk tubuhku. Saat aku mengira sudah masuk seluruhnya batang itu terus merayap masuk dan membuatku setengah panik, sampai mana dia mau memasukkannya pikirku, tetapi saat ujung penisnya menyentuh bibir rahimku rasanya otakku meleleh seketika. Apakah seks bisa memunculkan kenikmatan ini hanya dengan satu tusukan? Dia bahkan belum menggoyangkan pinggulnya namun aku sudah meraih orgasme keduaku.

"Saya mulai ya, Non." Dia menarik kembali penisnya sehingga jiwaku serasa dihisap habis olehnya.

BLES!

"Ohhhnnnnnnnnn...." tanganku reflek mengambil bantal dan meneriakkan lenguhanku sekeras-kerasnya saat merasakan tusukan dari Pak Danang. Separuh diriku rupanya masih peduli kalau-kalau Mas Rian bisa masuk ke kamar ini dan memergoki perbuatan kami kapan saja.

PLOK! PLOK! PLOK! PLOK!

Hempasan demi hempasan dilepaskannya ke dalam tubuhku, setiap kali kepala penisnya menyentuh titik di bibir rahimku setiap kali pula aku serasa dibawa ke langit ke tujuh dan dihempaskan lagi ke bumi, lagi berulang kali.

"Ohhnnnnn .... Hohnnnn sempit banget Non Ayuuuu .... Memek syar'i memang paling mantepphhhh .... lonte anjingggg ...." racaunya tak karuan.

"Terushh pakkk .... ohhh terus pakkkkhhh .... aku lontemu pakkkk .... aku lontemuhhh ohhhhnnnn ...." balasku menikmati setiap tusukannya.

"Pecun jancukkk .... lepas jilbabmu ini terus ngelacur di jalan sannnahhhh .... akhwat lacur akhwat lacur ...." ucapnya geram sambil menusukkan lebih dalam lagi kontolnya dalam tubuhku, membuatku menguik kesetanan.

Kami terus berpacu di ranjang itu hingga tubuh tuanya menegang.

"Aku mau keluar jancukkkk .... memek akhwat memang terbaikhhh ohhhnnnn ...."

"Saya juga pakhhhh .... saya juga mau nyampehhhhh .... terushh pakkk tusuk terus memek akhwat inihhhh ...."

"Ahhhh jiiinggggg .... ohhhhnnnnnnnn ...."

Pak Danang memegangi pinggulku dan menembakkan air maninya beberapa kali ke dalam rahimku bersamaan dengan lendir cintaku yang juga keluar membasahi batang keperkasaannya.

Ditariknya lepas batang kejantanannya dari lubang vaginaku membuat cairan cinta kami mengalir keluar beberapa kali seiring dengan kedutan alat intimku.

Sekarang aku paham mengapa orang-orang susah kembali ke jalan yang benar setelah berzinah. Manusia mana yang bisa menolak kenikmatan semacam ini.

Pak Danang mencium bibirku sementara satu tangannya, mengorek-ngorek liang vaginaku, membuatku merintih nikmat. Dikoreknya cairan cinta kami berdua lalu didekatkannya jari yang yang penuh dengan lendir ke bibirku.

Aku pun menurut dan menjilati habis semua lendir cinta kami yang menempel di tangannya.

Pria tua itu pun bergerak mengangkangi wajahku dan menyodorkan kontolnya di hadapan wajahku.

Luar biasa, meskipun sudah orgasme, batang Pak Danang masih tampak tegang sempurna dan belum menunjukkan tanda-tanda lelah sedikitpun, aku penasaran perlu berapa kali pejantanku ini orgasme sampai dia kehabisan tenaga.

Ditengah lamunanku tiba-tiba kontol perkasa itu bergerak menampar pipiku, sebagian lendirnya pun mengenai hijab sutraku. Aku tersadar akan keinginannya dan mulai membersihkan kejantanannya dari sisa-sisa percintaan kami.

Mas Rian,
Kak Lidya,

Maafin aku.
Ayu yang selama ini selalu bersama kalian udah ngga ada.

Sekarang aku sudah jadi milik Pak Danang.

Kupegangi kontol besar milik Pak Danang lalu kutaruh di samping pipi dan jilbabku.

"Paaakkk .... Ayu mau lagi," panggilku mesra yang disambut dengan senyuman lebar dari pejantanku.


;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;

BAB IV : TITIK TERENDAH


Ayu Sofia Filayeti


Kupakai kembali gamisku yang dipenuhi dengan noda sperma dan dengan langkah sedikit tertatih aku berjalan keluar kamar sambil menenteng bra dan celana dalam milikku yang juga bernasib sama. Dalamanku tak bisa kupakai lagi namun aku juga tak cukup gila untuk keluar kamar ini dengan keadaan tanpa busana.

"Non."

Tangan kasar itu merengkuh tubuhku dari belakang, menghentikanku di daun pintu. Diciumnya leher bagian belakangku dan diremasnya dadaku yang kini tak dihalangi apapun lagi selain kain sutra gamisku.

"Besok lagi, pak." Aku mencoba melepaskan diri dengan meyakinkan pejantanku bahwa ini bukanlah yang terakhir, namun tangan itu seolah tak ingin membiarkanku pergi.

Dia terus menghirup aroma keringat yang mengalir deras di leherku seolah itu adalah narkoba pribadinya. Aku mendengus lemah mencoba melepaskan diri, di tengah perlawananku tak sengaja tangan kananku menyentuh selangkangannya dan benda hangat itu sudah kembali menegak sempurna. Bahkan setelah berjam-jam dia menyetubuhiku, batang penis ini masih berdiri tangguh memperlihatkan keperkasaannya.

"Udah pakkhhh .... nanti Mas Rian bangunnhh ...." lanjutku hingga pria itu pun melonggarkan pelukannya.

Aku berbalik sebentar menghadapnya lalu mendongkakkan kepalaku, "Istirahat dulu sayang."

Pria tua itu pun menyambar bibirku saat mendengar ucapan genitku sehingga kami bertukar ciuman terakhir dengan penuh gairah. Selagi menciumku tangannya tak mau berhenti meremas bongkahan pantatku seolah tak rela aku pergi meninggalkan dirinya.

Kudorong dadanya dan melepas ciuman kami sehingga saliva antara aku dan dirinya sesaat membentuk benang yang mehubungkan antara bibirku dan bibir tuanya.

"Kita lanjut besok sayang," balasnya, membuatku jatuh hati pada suaranya.

Suara decakan jarum jam di dapur menunjukkan pukul sebelas lewat tigapuluh tujuh menit. Nyaris enam jam lamanya aku di dalam sana, tanpa mempedulikan Mas Rian bisa kapan saja mendobrak pintu masuk kami dan memergoki aku tengah bercinta dengan Pak Danang. Tetapi birahiku sudah kepalang tanggung mengalahkan akal sehatku sendiri sehingga rasa takutku sirna selama aku bersama Pak Danang.

"Sssshhhh .... uhhhhh ...." desahku.

Rasa ngilu bersarang di selangkangku. Bisa kurasakan cairan mani Pak Danang yang sebelumnya memenuhi rahimku kini meluber keluar dan mengaliri pahaku. Selagi aku berjalan menuju ruang tamu, cairan putih itu terus menetes di lantai melalui gamisku.

Apakah kata orang-orang jika melihat akhwat sepertiku berjalan melewati mereka dengan keadaan seperti ini. Sudah jadi apa aku sekarang. Pikiran-pikiran itu datang dan pergi di tengah aku menaiki tangga menuju kamarku dan Mas Rian.

Kubuka pintu kamarku dan melihat Mas Rian masih berkutat di atas ranjang dalam selimutnya. Kutanggalkan semua pakaianku dan jilbabku yang sudah acak-acakan lalu kucampakkan di lantai sebelum kemudian masuk ke kamar mandi kamar kami.

Kubasuh seluruh tubuhku di sana sambil menikmati guyuran air shower.

"Ssshhhh duuhhhh...." Aku meringis sambil melebarkan bibir vaginaku dan mengorek-ngorek cairan di dalamnya.

Kukencangkan otot perutku dan kudorong keluar semua sisa-sisa lendir percintaanku hingga bersih tak bersisa. Kugosok tubuhku dengan sabun dan kulapisi lagi dengan cairan sampo untuk menghilangkan aroma-aroma tidak sedap dari kulitku.

Keluar dari kamar mandi, kukeringkan tubuh dan rambutku lalu kuambil sepasang pakaian dalam di lemari dan mengenakannya. Sengaja kupilih celana panjang agak longgar dan pakaian tidur dengan jenis tunik muslimah agar kiranya bisa sedikit bernapas malam ini.

Selagi kusisir rambutku di depan cermin, tak sengaja pandanganku jatuh pada kalender kecil di samping meja riasku. Nampak sebuah tanda melingkar merah pada tanggal yang temponya jatuh pada lusa terpampang di sana.

Aku pun mengambil ponselku dan mencoba membuat pesanan. Saat pesan itu kukirim baru kuteringat waktu sudah hampir mencapai pertengahan malam. Yah sudahlah, besok pagi-pagi kucoba telepon langsung saja tokonya, siapa tahu masih sempat.

Kurebahkan tubuhku di samping Mas Rian. Tak perlu waktu lama sebelum aku akhirnya ikut terlelap bersama dirinya. Nampaknya aku sudah mencapai batasanku juga.

Arus waktu terasa begitu singkat namun berlalu menghayutkan kami berdua dengan begitu cepat. Suara alarm dari ponsel Mas Rian yang berbunyi berkali-kali pun tak lagi bisa kuhiraukan.

Padahal rasanya baru sesaat yang lalu aku memejamkan mata namun waktu berlalu begitu cepat di alam tidurku, suara dzikir dan kajian rutih di waktu Subuh sudah terdengar masuk menyeruak dari jendela.

"Mas, bangun mas! Mas Rian .... bangun .... udah Subuh," panggilku sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya.

Kuambil ponselnya dan kubawa mendekat, pria itu pun terpaksa membuka matanya saat mendengar bunyi alarm hapenya sengaja kubiarkan berada di dekat wajahnya.

Masih nampak warna kemerah-merahan di bola matanya dan dengan raut muka sedikit kesal dia mematikan alarm ponselnya. Beberapa detik dia utak-atik hapenya sebelum air mukanya berubah menjadi segar dan panik. Dia bergegas turun dari ranjang kami, namun karena baru bangun dan masih pusing dia justru jatuh tersungkur ke lantai karena kehilangan keseimbangan.

"Mas! Mas Rian! Ada apa mas?" tanyaku panik.

"Meeting yang kemarin di-reschedule, Ay, di Hotel Andalusia—Kota B. Tadi malam baru masuk pemberitahuannya suruh kumpul di bandara jam sembilan buat check-in penerbangan," jawabnya sambil memaksa berdiri dan lari ke kamar mandi.

"Tiketnya segala macam gimana mas?" tanyaku.

"Udah dipesanin orang kantor, suruh kumpul di sana dulu," jawab Mas Rian setengah berteriak di dalam kamar mandi.

Kota B? Jaraknya cukup jauh dari kota tempatku dan Mas Rian sekarang. Kalau mau sampai bandara jam sembilan berarti harus dari pagi-pagi sekali dong berangkatnya.

"Wudhu dulu Ay cepet, kita Subuhan dulu. Kamu kenapa ngga bangunin aku sih tadi malam, jadinya kan malah buru-buru gini pagi-pagi," gerutunya sambil mengelap tubuhnya dengan handuk.

"Yah kamunya aja yang susah dibangunin. Udah kucoba bangunin kok," kilahku yang bergantian masuk ke kamar mandi lalu mengambil air wudhu.

Selepas berwudhu kukenakan mukenaku melapisi bajuku yang sekarang dan menunaikan Shalat bersama Mas Rian. Sengaja dipilihnya surah-surah yang pendek agar kami cepat selesai. Bahkan setelah salam pun dia langsung berdoa tanpa berdzikir Subuh lebih dahulu lalu menyelesaikan ibadah kami.

Dia memasukkan laptop dan berkas-berkas lain ke dalam tasnya, sementara aku menyetrika kemeja dan celana miliknya. Selesai dengan itu kukenakan lagi khimarku dan keluar mengikutinya menuruni tangga.

Di lantai bawah terlihat Pak Danang tengah sibuk mengepel lantai rumah kami sementara Mas Rian datang dengan terburu-buru.

"Hati-hati pak, lantainya masih licin," ucap Pak Danang.

"Pak Danang, mobil udah siap?" potong Mas Rian.

"Masih dipanaskan pak di luar."

"Bapak ngga usah ganti baju, pakai gini aja, anterin saya ke bandara sekarang supaya saya bisa sambil bikin powerpoint di mobil."

"Baik, pak."

Pak Danang pun menaruh pelnya kembali di dapur lalu permisi melangkah keluar, membuka pagar. Sekilas mata kami bertemu namun aku bergegas mengalihkan pandanganku kembali pada Mas Rian.

"Lama ya, Mas?" tanyaku.

"Kemungkinan lusa baru pulang, Ay. Sehari aja kok di sana, kamu jangan lupa Shalat ya," jawabnya seraya mencium keningku.

Ketika mobil itu sudah keluar Pak Danang membukakan pintu untuk Mas Rian dan menutup kembali pagar sebelum pergi meninggalkanku yang masih termanggu di teras.

Kukeluarkan ponselku dan kutelepon salah satu toko kue langgananku.

"Permisi kak, mau pesan kue buat tanggal 17 nanti, kira-kira bisa ngga? Model sama kartu ucapannya tadi pagi sudah saya kirim," panggilku.

"Oh baik kak reservasi atas nama siapa kak?"

"Atas nama Ayu Sofia Filayeti."

"Baik, kak. Rencana mau diambil jam berapa?"

"Kurang tahu sih, mungkin sekitaran siang-siang gitu, nunggu suami saya pulang dari luar kota."

"Kalau pukul sebelas sampai setengah satu itu masih tutup kak, soalnya pegawainya keluar istirahat dan shalat dzuhur. Kalau kakak mau diatas jam segitu sih."

"Oh yasudah, saya ambil jam dua siang, lusa nanti ya."

"Baik kak."

Kututup panggilanku dan masuk kembali ke dalam rumah. Kupandangi potrait diriku dan Mas Rian dalam figura besar menggantung di ruang keluarga. Siluet senyumku terpatri indah seraya memegangi tangan Mas Rian dalam bingkai foto itu. Mungkin saat itu aku bermimpi akan bahagia bersamanya.

Apakah aku bahagia sekarang?

Apa kurangnya Mas Rian?

Mungkin banyak wanita di luar sana yang rela mengantri demi bersanding di foto itu bersama suamiku.

Mungkin aku masih kurang bersyukur.

Tapi apakah benar ini semua salahku? Mengapa? Mengapa aku tidak bisa bahagia? Seberapa banyakpun senyuman dan kasih sayang yang kucurahkan padanya, tetap saja rasa kosong di dadaku menghantui setiap tidurku.

Bimbang.

Mengapa rasa bimbang ini muncul. Padahal aku sudah sejauh ini. Betapapun bencinya aku pada Mas Rian, separuh hatiku masih berharap dia mengerti diriku. Separuh jiwaku berharap dia bisa mengisi kekosongan dalam dadaku—membantuku menemukan apa yang selama ini aku dambakan sebagai sosok wanita. Bukan sekadar mencekokiku dengan materi agama namun memperlakukan aku layaknya seorang wanita.

Tak terasa bulir air mata jatuh membasahi pipiku.

"Maafin Ayu, Mas ...." ucapku sedikit terisak, aku menyesal .... aku menyesal rasanya sudah jatuh ke kubangan nafsu ini.

Kucoba hibur diriku dengan melakukan pekerjaan rumah yang ditinggalkan Pak Danang. Kulanjutkan mengepel rumah, membersihkan teras dan pekarangan, mencuci piring, lalu lanjut mencuci pakaian kotor.

Sedikit demi sedikit lara di hatiku memudar, merasakan bahwa aku juga seorang manusia yang layak dapat kesempatan kedua.

Tetapi Iblis belum juga menyerah padaku.

Di tengah penyesalanku, pandangan mataku tertuju pada kamar Pak Danang yang berada di bagian Dapur. Memoar tadi malam kembali tersaji dalam benakku. Setiap kali jiwaku berteriak mundur, setiap kali pula kakiku melangkah menuju kamar itu. Otakku terus beralasan bahwa aku hanya ingin membersihkan kamarnya, namun hatiku mendambakan kembali memutar waktu menuju malam itu. Ya, malam dimana aku menuruti hawa nafsuku dan melemparkan tubuhku ke hewan buas yang selama ini menanti tubuhku sebagai santapannya.

Kubuka pintu kamar itu dan kudapati hampir semuanya sudah bersih, namun aroma kental persetubuhan kami masih tercium di seluruh sudut ruangan.

Spreinya memang rapi, tapi itu adalah sprei tadi malam yang hanya dia balik bagian bawahnya, noda cairan cintaku berceceran masih menempel lekat di sana.

Tidak ada pakaian yang berserakan di lantai, namun semua pakaian kotornya dia taruh di keranjang yang ada di bawah ranjangnya. Kutarik keluar keranjang itu dan mendapati pakaian yang Pak Danang kenakan tadi malam.

Ketika tanganku menyentuh celana pendek berjenis kargo itu perasaan hangat dan meletup-letup muncul di dadaku. Mengingat betapa perkasanya lelakiku tadi malam saat menusuk liang senggamaku tanpa ampun, berapa kalipun aku memohon padanya untuk berhenti sebanyak itu juga dia terus datang dan menjejalkan kembali batang perkasanya ke dalam lubang vaginaku.

"Hmmmphhhssshhh .... Hahhh ...." Kuhirup dalam-dalam aroma selangkangannya yang masih menempel di celana itu sambil meremas sedikit buah dadaku.

Hilang sudah rasa maluku pada jilbabku dan statusku sebagai istri orang, penyesalanku bagaikan rebusan air—betapapun banyak isinya namun jika terus terbakar dia akan menguap habis tak bersisa.

"Shhhhh ohhhhhnnnn .... Pak Danangggg .... Sshhh Pakkk .... Pak Dananghhh Mmphhhsshh ...." racauku sambil terus menghirup aroma tubuhnya dari celananya, sementara tanganku yang satu lagi bergerak mengelus-elus celana dalamku.

Tak ada yang bakal menyangka akhwat sepertiku akan memiliki syahwat dan fantasi sekotor ini. Sucinya penampilanku, balutan hijab yang menaungiku, di akhir hari takkan bisa sepenuhnya menyembunyikan lautan birahi dalam tubuhku.

Saat aku tengah menenggelamkan diriku dalam kenikmatan terlarang, Iblis kembali membukakan pintu maksiat di hadapanku.

Ya suara mobil terdengar di depan rumah kala pagi bergeser menjelang siang. Tubuhku merespon dengan menaruh celana itu kembali ke dalam keranjang dan berjalan keluar kamar.

Setiap langkah yang kuambil menuju pintu depan bak langkah seorang Napi menuju tiang eksekusi. Dentuman demi dentuman jantungku berdebar seolah ingin memecahkan tubuhku dari dalam.

Ketika pintu itu terbuka, kutemukan pria tua itu berdiri di depanku dan menatap wajahku penuh arti, kudongkakkan wajahku menatap balik pejantanku itu dan disentuhnya lembut pipiku. Jari jempolnya berjalan menuju bibirku dan menyeruak masuk, membuat hatiku bersorak agar aku menjilati jarinya.

Ya benar, betapa kontrasnya seorang akhwat syar'i sepertiku kini tengah menjilati seorang pria tua yang umurnya mungkin sudah seperti ayahku sendiri, bahkan hanya berprofesi sebagai seorang pembantu.

"Bapak Rian besok baru pulang. Jadi seharian ini saya terpaksa menggantikan tugas bapak buat jadi kepala rumah tangga di sini, Non Ayu," ucapnya tegas, yang lantas membuatku seolah kecil di hadapannya.

Ditariknya jari jempolnya dari mulutku lalu tangannya bergerak menekan bahuku. Kuatnya tekanan Pak Danang, membuatku jatuh berlutut di hadapannya.

"Jadi selama satu hari ini saya adalah majikan Non Ayu, dan Non Ayu adalah budak saya."

Aku terperanjat mendengar kata-kata itu.
Harusnya aku sudah harus memperhitungkan akan terjadi hal seperti ini di kemudian hari saat aku menyerahkan tubuhku padanya. Meski begitu merasakannya langsung hal itu terjadi dan membayangkannya adalah dua sensasi yang berbeda.

Aku sudah tahu bahwa ketika aku kehilangan martabatku, maka aku juga kehilangan kendali atas dirinya.



Ayu Sofia Filayeti



"Cuppphhhhh .... Cphhhhhhhh .... Cuphhhhhhhh Cphhh Cphhhh .... Slrpphhhh .... Hhhhh ...."

Dia berlutut dengan kaki kirinya, mencium bibirku dengan membabi-buta. Lidahnya menyeruak masuk dalam mulutku lalu merayapi setiap sisi dari gigiku. Dipancingnya lidahku untuk bertarung dengan lidahnya hingga saat aku tergerak dia menghisap balik lidahku.

Kini keadaan berbalik, hisapannya membuat lidahku yang masuk ke dalam mulutnya, meski tak begitu berpengalaman aku mencoba meniru apa yang dia lakukan padaku. Kusapu lidahku pada bagian langit-langit mulutnya dan sesekali menautkan lidahku pada lidahnya.

"Sllrpphhhhh .... Slrrphhhhhhhhh .... Mhhh ...." ucapku setengah mendesah saat lidah kami saling bertaut dan mulut saling menghisap bibir masing-masing.

Air liurku dan air liur Pak Danang bercampur menjadi satu memenuhi mulut kami berdua, sebagian terpaksa kutelan agar tidak tersedak, sementara sebagian lagi meluber keluar membasahi jilbabku dan menetes hingga membasahi jilbabku.

Bau mulutnya yang tak sedap ataupun rasa air liurnya yang sedikit bercampur aroma tar tak lagi menggangguku. Malah aku semakin bersemangat untuk mempersembahkan ciumanku buatnya.

Di sela-sela ciuman kami, tangan kanannya bergerilya masuk, menyusupi baju tunikku, dengan kasar dia remas buah dadaku yang masih ditahan oleh bra milikku.

"Sslrpphhh .... Sllrpphhh .... Ahhhhnnn .... Cpphhh .... Uhhh Ahhhnnn Pakh .... Cpphhhh ...." Aku mendesah tak karuan berusaha melepas ciumanku karena tangannya kini berhasil menelusup ke balik bra milikku dan memilin-milin putingku. Namun ketika aku memundurkan kepalaku dia malah mendesaknya hingga kami berdua pun jatuh di lantai dimabuk kecupan demi kecupan penuh nafsu ini.

Aku melenguh saat tangannya yang lain masuk melewati celana panjangku dan memutar jarinya di dinding vaginaku yang masih tertutup celana dalamku.

Tubuhku pun merespon dengan mengeluarkan lendir cinta seolah ingin memberi pelumas buat jari-jari nakalnya—berharap jari itu akan menyeruak masuk melewati kain tipis itu.

Dan benar saja, merasa celana dalamku mulai basah dan basah, jari itu menyelip masuk melalui lipatan pahaku lurus menuju lubang senggama milikku.

"Ohhhhhhhnnnnn .... Hoohhhhnnn .... Pakkk ...." Aku mendorong wajahnya, melepas ciuman pria itu, sehingga Pak Danang pun mulai memfokuskan dua jarinya keluar masuk dalam lubang surgawiku.




CLK CLK CLK CLK CLK

Suara kocokan tangannya bergema dalam celanaku, setiap kali jarinya menyentuh sebuah titik asing di dalam sana rasanya seperti tubuhku disentrum ratusan volt listrik hingga otakku terasa meleleh.

"Ohhhhkkkkk .... Ohhnnnn .... Hghhhhhh uhhhhh .... Dikit lagi pakkkk .... Dikit lagi Ayu keluarrr .... Ohhhhnnn ...." Tubuhku menggelinjang hebat menikmati permainan jarinya.

Namun bukannya mempercepat gerakannya, Pak Danang justru menurunkan tempo kocokannya menjadi semakin pelan dan pelan sampai akhirnya berhenti, mendiamkan jari-jemarinya di dalam lubangku.

Aku meringis tertahan. Hampir saja mencapai puncak tapi sudah kembali tergelincir masuk dalam kubangan nafsu. Rasa gatal pada lubangku berubah menjadi perasaan panas, gagalnya orgasme membuat perasaan ingin kencingku menguat.

"Paak Ayu mau pipisss .... Ayu mau pipis bentar pakkk ...." Aku berusaha bangkit namun Pak Danang menahanku, membekapku dengan begitu kuatnya.

Kakiku bergetar hebat, aku tak mampu bertahan lagi, kedua lututku pun saling bertemu sebelum akhirnya air kencing mengucur deras membasahi celana dan sebagian bajuku.




Air pesing itu mengalir membasahi lantai sementara aku hanya bisa menatap sendu. Ini kali pertama aku kencing di celana, belum lagi kulakukan di hadapan orang yang bukan mahramku.

Aku menggeliat dalam pelukan Pak Danang. Ditariknya keluar dua jarinya dari dalam vaginaku kemudian diarahkannya ke mulutku.

Aku menggeleng namun jari itu terus memaksa untuk memasuki bibirku. Semakin aku menolak semakin dia mengasariku, hingga akhirnya aku menyerah membiarkan mulutku membasuh jari-jari Pak Danang. Rasanya asin dan kecut karena lendirku bercampur dengan air kencingku sendiri.

"Non akhwat pecun, seharian ini Non Ayu bakal saya jadiin pemuas nafsu saya. Saya jamin mulai besok Non Ayu ngga bakal bisa balik lagi ke kontol Mas Rian. Selama sisa hidup Non, saya pastikan Non Ayu bakal jadi budak kontol saya," bisik Pak Danang di samping telingaku sambil mengelapkan jari-jari tangannya menggunakan jilbabku.

"P-P-Pak," ucapku lemah bergetar takut mendengar suaranya.

"Jangan panggil saya bapak, Non. Khusus hari ini, Non Ayu mesti manggil saya tuan!" perintahnya sambil mengangkat daguku dengan tangannya.

"Paham?"

"Paham .... tuan ...." lanjutku lemah lalu ditariknya aku berdiri.

"Buka celanamu!" perintahnya.

Kakiku yang masih bergetar cukup kesulitan menopang tubuhku, namun perasaan takjub, lemah, rendah, dan kalah dalam diriku seolah memaksaku untuk mematuhi suaranya. Begitu kuatnya perasaanku yang bahagia ketika dihina dan direndahkan oleh orang sepertinya membuatku rela membuang semua harga diriku di depannya.

Kutarik lepas celana panjangku menyisakan celana dalamku yang basah dimana cairan kencingku membuat sedikit gambaran vaginaku terlihat. Beruntung pakaian tunikku panjangnya sepinggul sehingga sedikit banyak aku bisa menutupi belahan pantatku.



Pantat Ayu


"Sekarang masakin tuanmu ini makanan! Tuanmu ini lapar habis kerja," perintahnya lagi.

"Baik .... tuan," jawabku lemah sebelum kemudian berjalan tertatih menuju dapur.

Entah apa yang kupikirkan sekarang, tubuhku menurut sekali pada suaranya, hawa nafsuku tanpa protes mengiyakan semua perintahnya, karena semakin aku menurutinya semakin pula tubuhku terasa terbakar dibuatnya.

Sebuah sensasi yang tak pernah kurasakan selama hidup di lingkungan agamis. Aurat yang selalu kujaga di balik pakaian tebal dan longgarku kini terpampang jelas di hadapan pria yang bukan mahromku ini. Mulut yang biasa kupakai untuk melantunkan ayat suci kini kupakai untuk memuaskan pejantan demi sesuap air mani. Liang senggama yang hanya boleh disentuh suami, kini dipakai sesukanya tanpa permisi.

Namun aku menyukainya.

Aku suka figurku yang dilihat orang alim di luar namun liar di dalam. Bibit suka yang terus tumbuh semenjak aku dilecehkan pria di aplikasi live, kini telah menjadi pohon besar dengan buah maksiat paling sedap yang pernah kurasakan.

PLAKKKK!!!

"Auhhhhhhh .... sakit tuannnn ...." jeritku saat sedang memotong ayam dan meremas jeruk nipis.

"Lonte!" bisiknya singkat di telingaku membuat darahku berdesir mendengarnya.

Selagi aku memotong-motong bawang bombay, tangan Pak Danang melalar menuju pantatku. Kuangkat kakiku saat ditarik lepasnya celana dalamku sehingga kini separuh bagian bawahku sudah telanjang sempurna, kain yang tersisa untuk menutupi kulitku saat ini hanyalah baju tunik, jilbab, dan bra yang menutupi dadaku.

"Nungging, Non. Saya mau ngerasain tempikmu!" bisiknya lagi.

"T-Tapi tuan, Ayu lagi masak, nanti—"

"Kamu mau kukasih kontol lagi apa ngga?" balasnya lagi dengan kasar membuatku menggigit bibir bawahku. Aku mau. Aku mau menghisap benda itu. Aku mau batang perkasa itu mengobrak-abrik liang senggamaku seperti kemarin malam. Sayangnya semua itu hanya bisa kudapatkan dengan menuruti semua perintahnya dan merendahkan lagi diriku di hadapannya.

Kutunggingkan pinggulku ke belakang sementara melanjutkan memotong bawang, saat kulakukan itu dia tertawa remeh memandangku.

"Nanti sering-sering ikut kajian ya Non Ayu! Kajian ngentot! Belajar sama akhwat yang lain biar pinter ngelontenya," hinanya lagi.

Jujur telingaku panas mendengarnya, tetapi liang senggamaku jauh lebih panas dan tubuhku justru merespon positif meski Pak Danang sudah merendahkan martabatku sebagai muslimah serendah-rendahnya.

"Oooqqqq .... Ohhhhhnnnnn .... Huuhhhhh ...." Aku mendesah tak berdaya saat kurasakan lidah kasar Pak Danang menyeruak masuk ke dalam vaginaku.

"Sllrrrphhhhhhh .... Shhhhh Slrppphhhhhh Haahhhhhh .... Memang beda rasanya memek akhwat yang alim-alim gini .... lebih terawat .... Sssllrpphhhh ckkkkk ckkkkkk ...." racau Pak Danang di tengah jilatannya pada liang senggamaku.

Rasanya semakin tidak fokus, aku menutup mulutku menahan kalut, jika memotong sekarang bisa-bisa keiris tangan sendiri. Tubuhku melebur didera kenikmatan terlarang ini. Mengapa perasaan ini haram dalam agama, padahal rasanya nikmat sekali, tidak terasa salah sedikitpun, pikirku dalam kekalutan.

Nuraniku tak lagi bersuara, semakin dalam lidahnya bermain di sana semakin pula birahiku menggema di seluruh jiwa. Saat aku sedikit menegang tiba-tiba Pak Danang menghentikan jilatannya membuatku bisa memotong bawang kembali.

Kali ini kurasakan sebuah benda hangat menusuk-nusuk di belakang pantatku, rupanya Pak Danang tengah mengoleskan batangnya yang sudah tegang di bibir vaginaku. Mataku mendelik ke atas sesekali mengimpresikan kenikmatan akan permainannya, saat kurasa batang itu akan masuk namun tiba-tiba ditariknya, saat kepalanya sudah masuk ke gerbang kenikmatanku tiba-tiba dikeluarkannya lagi, Kucoba lanjut menumis bumbu sambil menggigit bibir bawahku menanggung rasa frustrasi itu.

"Masukin pakkkhhhhh," ucapku tanpa sadar namun gesekan kepala hangat pada bibir vaginaku pun terhenti.

"Berani ya kamu merintah majikan!" jawabnya dengan nada rendah namun menyiratkan rasa kesal di dalamnya.

PLAKKKK!!!!

"Ahnnnnn!!!"

PLAKKKKK!!!

"Ahnnnnnnnnn!!!"

PLAKKK!!! PLAKKK!!! PLAKKK!!!

"Ohoqqqq....."

Aku jatuh berlutut saat pantatku diberi tamparan keras olehnya, rasanya benar-benar panas, kurasa saat ini pantatku benar-benar memerah dibuatnya. Rasa takut dan terangsang bercampur jadi satu saat dia memperlakukanku dengan amat kasar.

"Lain kali panggilnya pakai tuan ya Non Ayu," ucapnya lembut seraya duduk di kursi yang biasanya ditempati oleh Mas Rian di meja makan.

Aku berdiri kembali menahan rangsangan yang mendera tubuhku. Rasanya dia sudah bukan seperti Pak Danang yang kukenal lagi. Meski masih memanggilku dengan sopan namun tingkah pria itu menunjukkan kebuasannya tanda sudah mendapatkan hak penuh atas tubuhku.

Memakan waktu cukup lama sampai ayam kecap buatanku matang. Aku kemudian menyendokkan nasi ke piring Pak Danang seperti yang kulakukan pada Mas Rian. Kusuguhkan hidangan itu di depannya lalu duduk di sampingnya.

"Non Ayu sayang, yang namanya budak itu duduknya di bawah, ngga setara sama majikan," sindirnya.

Aku pun dengan sendu duduk di lantai tepat di bawah meja makan. Dinginnya keramik serasa menjadi obat bagi pantatku yang sebelumnya sempat diberi tanda tangan oleh Pak Danang.

Belum cukup sampai di situ, penderitaanku berlanjut saat pria tua itu meloloskan celananya sehingga kini dia duduk dengan telanjang.

"Non, daripada bengong di situ mending sini sepongin bapak," perintahnya. Aku pun menurut dan merangkak mendekat menuju selangkangannya.

Bau tidak sedap menyeruak masuk ke dalam hidungku, aroma keringat basah dan pesing tercium dari lipatan pahanya.

Tanganku melingkari batang kejantanannya lalu kukocok naik turun benda itu sementara lidahku menari-nari dari pangkal batangnya sampai kepala penisnya yang masih tertutup kulup—mencoba merangsang pejantanku ini.

"Clkk .... Clkkkk Clkkkk Clkkkk .... Slurpphh ...." Terus kujilati kontol milik Pak Danang sampai pria itu mendesis sesekali di tengah santapan makanannya.

Kukecup buah zakarnya dan kupercepat kocokanku pada batangnya saat merasakan organ intimnya mulai memanas dan mengeras sehingga kini tegak sempurna.

"Ohhhnnnnnn Hohhhhhhhhhhhh ...." lenguh Pak Danang.

Bibirku bergerak ke puncak penisnya dan mendorong sebagian kulupnya menggunakan mulutku sehingga pemiliknya pun mengerang nikmat dibuatku. Mendengar desahan pejantanku itu membuatku semakin bersemangat untuk memberikan servis terbaikku padanya, seolah-olah aku kini sedang melacur padanya.

Kumasukkan perlahan kepala penis itu ke dalam tenggorokanku, terus kudorong dengan amat pelan sampai setengahnya dan dengan mata berair kupaksakan masuk hingga sampai kerongkonganku. Butuh waktu dan usaha sampai akhirnya bibirku mencapai pangkal penisnya yang ditumbuhi dengan bulu-bulu lebat.





"Hooqqqloqqq .... Oqllokkkkk .... Hoqllloqq .... Oqqqqqhhhh Oqqqhhhhh Oqhhh ...." Air mata mengalir membasahi pipiku saat menaik turunkan wajahku untuk mendeepthroat Pak Danang.

"Ohhhh .... shhh ohhhh .... Hohhhhhhhh .... Shhhhh mantap kali sepongan akhwat syar'i .... tanda bakti sama tuannyahh ...." racau Pak Danang sambil menekan-nekan jilbabku, dicengkramnya ujung kiri dan kanan jilbabku sebelum kemudian dipompanya mulutku dengan begitu beringas.

Hingga rahangku terasa ingin lepas karena tak sanggup lagi membuka lebih lebar, dia pun menekan kepalaku dalam-dalam sampai ke pangkal batangnya dan memeluk jilbabku menggunakan kedua pahanya.

"Hoooqqqqq .... Hooqqqqqqq ...." Aku berteriak tertahan menerima semburan demi semburan air mani di dalam tenggorokanku, mataku memanas, dan sebagian dari air mani Pak Danang mengalir keluar melewati lubang hidungku.

"Ahhhhnnnnnnnn .... puasssshhhhhh ...." lenguh Pak Danang lalu melepasku, aku pun menarik keluar mulutku dan jatuh terkapar di lantai.

"Uhkkkk ... Uhk uhk uhkkkkk .... Hoqqqq .... Hoqqqqq ...." Aku kesulitan bernapas dan begitu mual setelah diperlakukan seperti itu.

"Kalau sampai muntah saya suruh Non telanjang di luar pagar sana," kata Pak Danang yang melanjutkan menyantap sisa makanannya.

Mendengar ucapan itu mentalku jatuh juga, kupaksa menelan kembali sperma Pak Danang yang sudah mau keluar dari tenggoranku. Kusapu ingusku yang juga bercampur dengan air maninya kemudian naik ke atas kursi.

"Tuannnn .... pengennn ...." ucapku dengan nafsu yang sudah di ubun-ubun.

Pak Danang membuka bajuku lalu mencaplok dada kiriku yang masih berlapiskan bra. Sebagian kecap di mulutnya menempel di bra milikku sementara tangannya yang masih belepotan nasi dimasukkannya ke dada kanan lalu meremas dan memilinnya.

"Uhhhhhhh .... Heuhhhhhhh enakk tuannnnnhh .... Enakkkkk ...." desahku sambil menggesek-gesekkan liang senggamaku pada batangnya yang sudah tegang.




Saat kepalanya ingin kemasukkan, Pak Danang menggesernya ke atas sehingga hanya gesekan yang terjadi. Saat sudah masuk kepalanya, dia keluarkan lagi dari dalam sana sehingga gagal, begitu terus menerus sampai aku mendesah sebal dibuatnya.

"Udah sange tuannnn ...." ucapku sebal padanya, setengah menangis.


"Ngga boleh Non, bukan mahrom," godanya yang sontak membuatku kesal.

Yang bisa kulakukan sekarang hanyalah menggesek-gesekkan bibir vaginaku pada kejantanannya yang hangat tanpa diperbolehkan memasukkannya oleh Pak Danang.

Setengah menangis aku menangkup wajah pejantanku itu dengan kedua dadaku, berusaha sekeras yang kubisa untuk merangsangnya.

Saking lamanya petting yang kami lakukan, adzan dzuhur pun berkumandang sehingga Pak Danang pun mendorongku turun dari kursi.

"Shalat dulu Non. Biar nanti lanjut ngewenya," ucap Pak Danang.

"Ngewe dulu tuannnhhh .... bentarrrrr aja .... waktunya masih lama ...." balasku memelas. Aku sudah sange berat dibuatnya.

"Non itu budak saya, kalau ngga mau nurut kata-kata saya ya udah, pakai kontol Mas Rian aja sana," balas Pak Danang sinis.

Setengah menangis aku memasuki kamar mandi utama yang ada di lantai bawah. Kulepas jilbab dan sisa pakaianku, sebelum kemudian masuk membasuh tubuhku—mandi besar.

Selesai di sana aku pun berwudhu dan keluar menuju kamar tanpa mengenakan busana apapun. Pak Danang yang sudah berada di ruang keluarga hanya tersenyum melihat tingkah ngambekku dan menghidupkan televisi untuk menonton.

Kukenakan mukenaku dan kutunaikan ibadah meski hatiku tidak khusyu. Setelah salam, aku pun langsung melepas kembali mukenaku dan keluar dari kamar tanpa dzikir ataupun doa lain.

Tanpa sehelai benang pun yang menutupi tubuhku aku berjalan menuruni tangga. Kulihat Pak Danang memandangiku tanpa berkedip sedikitpun kagum akan keindahan lekuk lekuk tubuhku.

Aku datang menghampirinya dan duduk mengangkang di pahanya, lalu menyodorkan dadaku ke arahnya.

"Udah ibadahnya?" tanyanya sambil mencupang payudara kiriku.

"Udah," jawabku sedikit merajuk.

"Kalau udah makan dulu, tadi ada nasi sama sarden udah bapak siapin," lanjutnya.

SRAK!

Aku termanggu melihat kakinya menggeser mangkuk makanan Icha—kucing kami, yang berisikan nasi dan sarden dan telah dicampur aduk menggunakan tangan.

"M-M-Maksudnya apa tuan?" tanyaku gemetaran.

"Ya makan! Udah disiapin loh, Non. Saya bukan majikan kayak Non yang ngga pernah nyiapin makan buat pembantu. Budak saya ya saya kasih makan pakai masakan buatan tangan saya sendiri," jawabnya tegas.

Aku tertunduk lesu dan turun dari pahanya.

"Nungging makannya dan jangan pakai tangan!" perintahnya, membuatku terperanjat mendengarnya. Serendah inikah aku ingin dibuatnya? Aku meneteskan air mata, bukan karena aku malu tapi karena birahi dalam tubuhku malah terasa meletup-letup bersemangat ingin menjalankan perintahnya.

Aku menungging dan mulai memakan nasi sarden itu langsung menggunakan mulutku. Tentu tidak sulit karena nasi itu sudah dilumat-lumat oleh tangan Pak Danang, dan tulang sarden pun bisa langsung ditelan karena lembek.

Selagi aku makan, kulihat Pak Danang tengah bermasturbasi menggunakan jilbab yang kupakai tadi. Ya Tuhan, sudah jadi apa aku yang sekarang, kujatuhkan semua yang ada di diriku hingga serendah ini hanya demi hawa nafsu duniawiku. Namun parahnya, memekku terasa amat gatal saat melihat adegan itu terjadi di hadapan mataku.

"Ohhhhh .... Ohhhhnnnn .... Ohhhnnnnnnnkkkkkk ...." Pak Danang nampak melenguh dan menyemburkan spermanya di jilbab yang kupakai, setelah puas menodainya dilemparkannya kembali ke arahku.

"Pakai," ucapnya singkat.

"T-Tapi tuan ...." balasku lemah.

"PAKAI!" perintahnya lagi dengan nada sedikit membentak, membuatku berdehem kecil.

Kupakai lagi jilbabku yang sempat dijadikannya bahan masturbasi sebelum melanjutkan kembali santapanku.
Sedikit air maninya yang menempel di jilbabku menetes ke mangkuk makananku. Awalnya aku ragu tapi melihat pandangannya kuteruskan untuk menyantap habis makanan yang sudah disiapkan pejantanku padaku.

"Merangkak sini!" perintahnya lagi kuseka nasi yang belepotan di bibirku sebelum kemudian merangkak menuju Pak Danang.

"Balik!" lanjutnya, aku pun berbalik menghadap televisi dan naik ke pangkuannya.

Dipeluknya tubuhku dan diciumnya leherku. Kedua tangannya menangkup dadaku yang ranum sambil memilin-milin putingku. Aku yang sudah horni berat hanya bisa menggesek-gesekkan liang senggamaku pada batang kejantanannya yang perkasa, menunggu persetujuan dari Pak Danang untuk memasukkannya.

Namun berapa lamapun aku mencoba merangsangnya, pria itu sungguh tak bergeming. Malah aku yang semakin horni meminta dia memasuki tubuhku.

"Angkat tangannya, Non!" perintah Pak Danang lagi, dengan cepat aku mematuhinya.

Diremas-remasnya dadaku lalu kepalanya bergerak menjilati ketiakku.

"Ahhhhnnnnn gelihhhh tuannnnhhh .... Ahhhshhh ...." dengusku menahan rasa geli dan nikmat yang ditimbulkan oleh setiap jilatannya.

Kedua jari kirinya memutar di bibir vaginaku, membuatku mendesah tak karuan. Dijilatnya ketiakku kiri dan kanan sebelum kami bertukar ciuman sesaat. Dilepasnya pagutannya dan aku pun mendesah kesetanan kala jarinya terus bermain di selangkanganku.

"Iyaahhhh terus tuanhhhh .... terusshhhhh .... dikit lagi tuannhhhhh ...." teriakku.

Tetapi dia kembali menghentikan permainan tangannya disaat tubuhku tengah dibakar api birahi. Dadaku naik turun, napasku tak beraturan. Yang kubisa hanya mendesah kecewa dengan badan berapi-api.

Tiga jam lebih lamanya kami melakukan petting sampai posisi berasa terbalik, kini aku yang lebih ingin memerkosa Pak Danang ketimbang lelaki itu yang ingin memasukiku. Baik aku dan dirinya sudah bermandikan keringat, kupegangi pundaknya dan kucoba lagi masukkan ujung batang kontolnya ke dalam lubang memekku yang sudah banjir. Namun, dia selalu menggerakkannya sehingga susah memasukkannya dan membuatku putus asa.

Suara toa Masjid berseru menunjukkan waktu Ashar namun hasratku masih menggebu-gebu.

"Shalat dulu Non sana!" perintahnya.

Aku duduk tersandar di dadanya—putus asa—rasanya lemah sekali untuk berdiri namun kukuatkan mentalku lalu kembali melangkah ke kamar mandi dan membasuh tubuhku. Aku menuju ke kamar dan kembali menunaikan Shalat dengan jantung berdegup kencang dan hati yang begitu pahit.

Selesai menunaikan ibadah, aku kembali turun dengan masih mengenakan mukena, lalu berdiri di hadapan Pak Danang yang masih duduk di depan televisi dengan kontol yang mengacung tegak dengan begitu perkasanya.

Aku pun berlutut dan sujud di hadapannya dengan sedikit terisak.

"Pakkkkk kontolin memek Ayuuu pakkkkk .... Ayu udah ngga tahan lagi .... Istrimu, budakmu, atau lontemu, terserah mau bapak jadikan apa .... yang penting entot Ayu sekarangg ...." ucapku dalam sujudku setengah menangis.

Pak Danang pun tertawa gahar sebelum akhirnya berdiri dan mendekat ke arahku.

"Jilatin Non!" perintah Pak Danang, aku pun lekas bangun dari sujudku dan dengan semangat menjilati batang kontol milik Pak Danang. Kujilati pangkalnya sampai pucuknya seperti es krim, lalu kumasukkan kepala kontolnya ke dalam tenggorokanku.

"Ssssshhhhhh .... Ohhhhhh manteppp noonnnnnn .... Enakkk bangettthhhh ...." erangnya sambil terus menekan kepalaku yang masih berbalutkan mukena dalam-dalam.

Aku terus memaksa memasukkan seluruh kontol ya ke dalam tenggorokanku, meskipun air mata meleleh karena hampir muntah dibuatnya, meski napasku terasa sesak, namun semua rela kukorbankan untuk merasakan kembali kenikmatan yang kurasakan seperti malam itu.

"Hoooqqqq .... Hoqloqqqqqq .... Hoqloqqq oqqqqqhhhh ...." Suara mulutku dan air liurku berdecakan saat mengoral batang besar milik Pak Danang.

"Ahhhhh segarnyaaaahhhh ...." lenguh Pak Danang yang kemudian melepaskan mulutku sebelum mencapai puncak kenikmatan dan duduk kembali di sofa sambil merentangkan tangannya.

"Coba dong joget Non. Kayak cewe-cewe akhwat di TikTok gitu loh yang ketat-ketat pakaiannya. Bapak pengen ngelihat tanyangan langsung akhwat yang pengen ngelonte gimana."

Aku pun mencari lagu-lagu erotis yang biasa kutemukan di TikTok menggunakan ponselku lalu kemudian bergoyang mengikuti irama, kugerakkan pinggulku berputar dan meremas sedikit bagian dadaku sebelum mengerlingkan mataku di depannya. Kugigit bibir bawahku sambil mengulum ibu jariku sendiri lalu kugerakkan pinggulku maju mundur. Kusingkap sedikit demi sedikit mukenaku lalu menampakkan paha putihku terus sembari melangkah menuju pejantanku. Kemudian kutarik lagi mukenaku hingga nampak liang senggama milikku lalu bergoyang sedekat mungkin pada wajahnya.

Saat tangan kanan Pak Danang mengocok kontolnya yang amat tegang, tangan kirinya menangkup pantatku dan mendekatkan bibir vaginaku ke mukanya.

"Ahhhhnnnnn Yeshhhhhh .... Uhhhhh ...." Aku mengerang nikmat merasakan jilatan demi jilatan yang dihantarkannya menambah becek lubang memekku.

"Yuk, sini naik!" perintah Pak Danang yang membuat hatiku berbunga-bunga mendengarnya.

Kali ini Pak Danang memperbolehkanku untuk memegangi kepala penisnya agar bisa melakukan penetrasi ke dalam lubang surgawiku.

Ketika kepalanya masuk, aku meringis dan menarik napas panjang, rasanya seperti tubuhku tengah memasukkan pipa yang panas ke dalam lubang vaginaku sendiri. Mustahil benda sebesar ini masuk jika tidak dibantu oleh cairanku dan liur Pak Danang di lubang senggama milikku.

Separuh masuk dan aku sudah melolong nikmat, aku orgasme ringan dan merasa sedikit lemah buat meneruskan. Tetapi Pak Danang dengan keras menarik pinggulku lagi ke bawah hingga bibir vaginaku hampir mencapai pangkal kejantanannya.

BLESS!

Satu hentakan darinya membuatku jatuh tersungkur memeluknya. Perasaan nikmat di malam itu kembali membuaiku tepat saat kepala kejantanan miliknya mencium bibir rahimku.

"Sssshhhh .... Ahhhnnnnn .... Bentar dulu tuannhhhhh .... Bentarrrr ...." Selagi aku memohon pada Pak Danang untuk menyesuaikan diri terlebih dahulu pada penisnya, dia sudah mendorong tubuhku ke atas.

Meski batang itu sudah masuk ke lubangku beberapa kali, namun aku masih perlu menyesuaikan diri dengan bentuknya. Tetapi tanpa rasa kasihan Pak Danang melepaskan pegangan tangannya sehingga aku yang masih lemah pun tak bertenaga untuk menopang berat badanku sendiri.

BLESSSH!

"Ohhhhhnnnnnnnnn!!!!!" Aku melolong panjang saat batangnya kembali mencium bibir rahimku, bola mataku terputar ke belakang saat menerima sengatan listrik yang serasa dialirkan dari vaginaku menuju otakku.

Dilakukannya berkali-kali hingga aku pun melolong panjang dan mencapai puncak kenikmatan.

PLOPH!

Terdengar suara penisnya yang basah saat melepaskan batang itu dari bibir vaginaku, aku mengeluh ngilu sebelum jatuh menggantung di sofa. Kurasakan lendir cintaku mengalir melewati bibir vaginaku dan membasahi sebagian dari mukena milikku.

Pak Danang berdiri dan kembali memposisikan kepala penisnya di depan vaginaku, kali ini dia mencoba melakukan penetrasi dari arah belakang.

"B-Bentar pakhhh Ayu masihhhhh ohhhhhhhhokkkkk ...." Aku mengaduh tak berdaya saat batang itu kembali melesak masuk memenuhi dinding memekku.

Dipompanya dengan kencang tanpa mempedulikan eranganku yang menggema di seluruh ruangan. Selagi kedua tangannya meremas payudaraku sebagai pegangan, pinggulnya menghempas pantatku tanpa ampun hingga suaraku menipis dan makin sulit untuk berteriak.

PLOK! PLOK! PLOK! PLOK! PLOK!
PLOK! PLOK! PLOK! PLOK! PLOK!
PLOK! PLOK! PLOK! PLOK! PLOK!

"Ahhhhhh Ahhhhnnnnn Ahhhhnnnnmmmpunnnn Tuannnhhhh Ammmpunhhhhh ...." Aku mendesah tak berdaya dan orgasme untuk yang pertama kalinya. Tubuhku menegang membasahi penisnya namun dia hanya menghiraukannya, pantatku terus dihempaskannya dengan tusukan mautnya dan tiap kali batang panas itu menggesek dinding liang senggamaku, tiap kali batang itu mencium bibir rahimku, otakku terasa meleleh karena tak sanggup menahan nikmatnya.





CPLAK! CPLAK! CPLAK! CPLAK!

Suaranya pinggul dan pantat beradu memenuhi ruangan, vaginaku yang sudah banjir menimbulkan suara kecipak tiap kali Pak Danang memompa batang kejantanannya.

Dilambatkannya goyangannya dan digantinya posisiku dengan posisi menyilang. Diangkatnya satu kakiku ke bahunya lalu ditusukkannya kembali ke dalam liang senggamaku.

"Ohhhhnnnn .... Ohhhnnnnn .... Sshhh Haahhnnnnnn ...." Alisku terangkat menahan kenikmatan yang bersarang di liang senggamaku dengan keringat mengucur deras membasahi bagian wajah dan sebagian mukenaku.

"Hoshhhh .... Hoshhhhh .... Saya mau keluar Nonnn ...." lenguh Pak Danang yang mempercepat genjotannya.

"Di dalam tuannhhhhh .... Di dalammmm ajahhhh ...." balasku berteriak.

"Hohhnnnnnnnnn Ahhhhhhhhhshhhhhhhh!!!!!"

Erangan kami menggema di seluruh bagian rumah ini. Semburan hangat dari lahar putihnya bisa kurasakan mengucur di seluruh bagian dinding lubang surgawiku dan membuat rasa hangat muncul di perutku.

Aku meringis menahan sakit saat Pak Danang melepas kontolnya dari memekku. Aku pun jatuh terbaring di sofa dengan mukena yang dipenuhi dengan noda sperma.

"Hhh ... hhh ... hhh ... Kita mandi dulu, Non. Baru habis itu lanjut lagi," ucap Pak Danang, namun aku tak mampu lagi membalasnya, mataku menatap sayu batang perkasa miliknya yang tak juga roboh meski sudah keluar beberapa kali hari ini.

Diselipkannya tangan di lipatan kakiku kemudian digendongnya tubuhku menuju kamar mandi, aku hanya membisu membiarkan semua perlakuannya padaku. Lembut ataupun kasar, sakit ataupun nikmat, tubuhku sudah jatuh ke pelukannya.

Tanpa melepaskan mukenaku, Pak Danang menyemprotkan air shower di sekujur tubuhku. Pakaian putihku pun berubah menjadi terang dan menampakkan payudara serta liang vaginaku. Dengan semangat dia menyabuni tubuhnya dan tubuhku sambil sesekali mencupang dada ranumku dari luar mukena basahku. Lagipula lelaki mana yang tidak tergiur dengan tubuh akhwat alim seperti ini. Wanita yang dari luar tampak seperti ikut pengajian rutin namun di dalamnya penuh dengan kebobrokan.

Air mataku mengalir namun disembunyikan dengan rapi oleh gemericik air shower. Saat berada di titik terendah, kudengar nuraniku berbisik, menaruh harap pada Mas Rian agar bisa menarikku keluar dari kubangan nafsu ini. Jauh di lubuk hatiku aku masih berharap ada sedikit bagian dari Mas Rian yang membuatku jatuh hati kembali padanya.

Sayangnya bisikan itu tak cukup kuat bergema dalam jiwaku, suaranya memudar saat Pak Danang mengangkat tubuh lemahku ke pinggir bak mandi dan memposisikan kembali batang penisnya di depan lubang senggamaku.

"Ahhhhhhhnnnnn .... Paaaaakhhhhhh!!!!" Aku melenguh panjang sambil mencengkram kuat punggung Pak Danang.

CPLAK! CPLAK! CPLAK! CPLAK!
CPLAK! CPLAK! CPLAK! CPLAK!

Suara gempuran pejantanku kini bergaung di seluruh ruangan kamar mandi. Sesekali dia meringis merasakan jepitan erat dari lubang milikku.

"Ahhnnnn mantaphhh Non Ayuuuhhhhh .... Akhwat lontehh tapi rasa perawannnnhhhh .... Ssshhhh hohhhhh ...." Dia merem-melek menikmatinya, dengan penis sebesar itu vagina macam apapun akan terasa mencengkram miliknya pikirku.

"Ohhhhnnnnn .... Saya keluar pakhhhhhhh .... Ohhhhh ...." Tubuhku menegang lalu bergetar beberapa kali diiringi dengan kedutan dari memekku yang membantu melicinkan gempuran pejantanku.

Meski aku sudah lemas tak berdaya, Pak Danang tanpa ampun terus menggerus dinding memekku dengan batang kejantanannya.

"Uhhhhhh .... Saya keluarhhh Non Ayuhhhhhh .... Non Ayuhhhh pecun bangsatttt .... Akhwat anjingggghhhh ...." teriaknya sambil mendorong jauh-jauh batang penisnya ke dalam tubuhku, mataku terbelalak sesaat dikala benda itu membentur dinding rahimku dan mengguyurnya dengan mani sebelum kemudian menarik lepas batangnya secara paksa.

PLOPH!

Diturunkannya tubuhku dan dijatuhkannya ke lantai keramik, rupanya sebagian muncratannya masih sengaja ditahannya sebelum kemudian disemburkannya ke wajahku beberapa kali.

Aku menatap kosong batang kejantanannya. Orang ini, dia bukan ingin menyantap tubuhku, dia ingin menghancurkanku berkeping-keping.

Pak Danang meangkat daguku hingga kami bertukar pandangan. Diratakannya sperma miliknya di wajahku sebelum kemudian diciumnya bibirku, dimainkannya lidahku sesaat, sebelum kemudian dilepasnya kecupannya.

Tiba-tiba batang kejantanannya mengucurkan air hangat ke arah wajahku. Air seninya membasahi wajahku dengan begitu derasnya hingga baluran sperma itu bersih sempurna dari wajahku.

Aku terkapar di lantai kamar mandi—nyaris pingsan—sementara dia mengencingi tubuhku yang masih dilapisi mukena basah.
Kurasa tekanan berat dari seks ini benar-benar tidak sanggup ditanggung badanku. Setelah berjam-jam tersiksa dengan foreplay tubuhku dihantam dengan seks yang begitu brutal.

Mataku tertutup dan kurasa aku sudah kehilangan kesadaran atas apa yang terjadi selanjutnya.




Ayu Sofia Filayeti



Aku terbangun di kamarku dan Mas Rian. Meski telanjang, tubuhku berlapiskan selimut kami dengan rapi. Sayup-sayup kudengar suara dzikir orang dari luar jendela, kulihat jam dinding menunjukkan pukul tujuh lewat dua puluh menit masuk waktu Isya.

Aku merebahkan kembali kepalaku di ranjang. Memejamkan mataku. Namun sayangnya saat aku mengira mimpi ini sudah berakhir, pintu kamar kami terbuka dan Pak Danang yang sudah bertelanjang bulat masuk sambil meminum sebotol air.

"Udah bangun, Non. Yuk, lanjut lagi," ucapnya sambil mengocok batang kejantanannya di hadapanku.

Jantungku berdegup kencang—takut dan terangsang di saat yang bersamaan—namun mau lari pun mustahil, tenagaku belum terkumpul sepenuhnya, aku bagaikan mangsa empuk di hadapan predator buas.

Ditariknya kepalaku ke pinggir ranjang dan dipaksanya mendekat ke arah selangkangannya. Kubuka perlahan mulutku namun Pak Danang langsung menyodokkan kepala penisnya hingga melesak masuk dalam tenggorokanku.

"Hoqqqqq .... Oqqqqq .... Oqqqqqqqqhhh .... Hoqqqqqq ...." Air mataku kembali keluar disertai dengan ingus dari lubang hidungku saat dia dengan brutalnya menggunakan kepalaku yang ada di pinggir ranjang seolah itu hanyalah boneka seks baginya.

Ditariknya dengan kasar selimutku dan ditepuknya kedua pahaku agar mengangkang mempertontonkan vaginaku. Dimainkannya kedua jarinya di sana hingga membuatku melenguh, tanpa sadar rahangku melonggar sehingga gigiku pun mengenai batang kejantanan miliknya.

"Duhhhhh sakittthhh .... gimana sih Non ...." ucapnya kesal lalu menarik keluar batang penisnya. Aku pun terbatuk beberapa kali dan nyaris muntah.







"Yang bener dong nyepongnya, udah jadi lonte main masih kayak perawan aja!" lanjutnya kasar sembari menampar-nampar wajahku dengan kontol miliknya.

Perasaan hina itu membakar kembali birahi dalam dadaku, sayangnya nafsu tidak sesuai dengan kemampuan dari tubuhku. Sehingga betapapun aku ingin bergerak memuaskannya, aku hanya mampu memandanginya dengan tatapan horni.

"Balik Non! Nungging!" perintahnya, aku menurut dan dengan lemah membalikkan tubuhku lalu menunggingkan pantatku ke arahnya.

Ditariknya pantatku mendekat ke pinggir ranjang lalu dihujamkannya kontol miliknya masuk ke dalam memekku.

Mataku terbelalak merasakan benda hangat itu tidak lagi datang dengan baik-baik, melainkan dengan penuh paksaan tanpa memikirkan perasaanku. Sayangnya saat sebuah titik dalam tubuhku berhasil disentuhnya, arus kenikmatan mengalir deras memenuhi relung dadaku dan mendobrak masuk dalam kepalaku.

"Uhhhhh .... Huuuhhhhhnnnnn .... Ohhhhh ...." Aku mendesah tak karuan menikmati gempuran di bagian vaginaku sebelum akhirnya menjatuhkan kepalaku di ranjang.

Ya, di ranjang ini, tempatku dan Mas Rian memadu kasih, kini sedang kupakai untuk memuaskan hasrat seksualku bersama lelaki yang bukan mahromku. Dosa ini begitu nikmat, tak bisa kubayangkan bagaimana caranya orang berhenti dari kenikmatan ini. Bahkan Kak Lidya sekalipun mengakui dia tak bisa pergi dari kehidupan lamanya. Sekarang aku mengerti kata-katanya.

"Ohhhhnnnnn .... saya keluar Nonnnnnnhhhhh .... lonte anjinggggghhhhh ...." Pak Danang memeluk erat pantatku lalu melepaskan semua cairannya hingga membasahi rahimku.

"Hhhhh .... Hhhhhh .... Hhhh .... saya narik napas bentar Non. Baru habis ini kita lanjut lagi ya," ucapnya seraya menampar pelan pantatku dan mencabut kontolnya dari lubang memekku.







Aku hanya menatap kosong lemari riasku, yang di atasnya terpampang foto kecil saat aku memeluk tubuh Mas Rian—foto keluarga tercinta kami.

Kurengkuh kenikmatan sebanyak mungkin di hari ini dan tenggelam semakin jauh dalam kubangan birahiku.

Dosa yang kulakukan hari ini tentu akan dibalas di lain hari.

Karena tahukah kalian ....

Bahwa setiap dari perbuatan tentunya selalu memiliki sebuah konsekuensi.

.
.
.

MAS RIAN : 7 PANGGILAN TAK TERJAWAB

KAK LIDYA : 3 PANGGILAN TAK TERJAWAB


;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;


BAB V : KONSEKUENSI


Ayu Sofia Filayeti


Aku berkedip beberapa kali, membuka mataku. Begitu sunyi sehingga suara dentingan jam di kamar terdengar jelas di ruangan ini.

Kufokuskan pandanganku menatap jam menunjukkan pukul setengah empat pagi.

"Duhhhh," ringisku merasakan ngilu di liang vaginaku.

Rasanya seluruh badanku pegal-pegal. Lagi-lagi aku dibuatnya pingsan saat bercinta.

Aku bangun dari pembaringanku dan menyingkap selimutku. Kudapati Pak Danang ternyata ikut tertidur di sampingku dengan keadaan tengkurap. Baik aku dan dirinya sama-sama tak berbusana.

Aku pun menuruni kasur dan menyisir rambutku yang berantakan, kupandangi tubuhku di cermin yang memantulkan bayangan bekas cupangan pejantanku pada leher dan dadaku.

Kuambil ponselku dan kudapati beberapa panggilan tak terjawab dari Mas Rian dan Kak Lidya. Ya ampun, seharian ini aku baru sadar kalau benar-benar tidak memegang ponsel samasekali. Harus bilang apa ya nanti sama Mas Rian pikirku gundah.

Kubawa ponselku ke ranjang dan kumasukkan kembali tubuh polosku ke dalam selimut. Kulihat pesan-pesan masuk di WhatsApp milikku, Mas Rian mengirimkan banyak sekali pesan menanyakan aku di mana serta mengapa tidak mengangkat telepon begitupula dengan Kak Lidya.

DRTTTTT!!!

Aku terkejut, di tengah-tengah diriku yang tengah mengecek pesan, tiba-tiba videocall dari Mas Rian pun masuk, aku yang reflek mengangkatnya pun sedikit panik mengingat keadaan tubuhku sekarang serta Pak Danang yang masih tidur di sampingku.

"Ay, kok ngga diangkat, daritadi kemana aja?"

"A-A-Anu mas .... tadi Ayu sibuk bersih-bersih rumah, terus lupa naruh hape di mana .... jadinya ngga keangkat teleponnya. Em eh ini baru aja ketemu mas," bohongku.

Dia terdiam di ujung telepon memandangiku dengan datar, "Oh."

"J-Jangan marah, Mas. Ayu teledor. Maafin Ayu, Mas," lanjutku tersenyum kecut.

"Aku sampai nelpon Lidya loh, katanya dia ngga sama kamu. Kukira kamu kenapa-kenapa," ucapnya.

"Maaf Mas, Ayu minta maaf," balasku penuh sesal.

Maaf udah bohong ke kamu Mas.
Maaf udah selingkuhin kamu Mas.
Maafin Ayu yang udah ngga suci lagi, teriak hatiku berulang-ulang.

Saat api birahi dalam tubuhku sedang padam, saat itulah akal sehat dan nuraniku bisa kudengar bicara. Menetes air mataku saat memandangi wajah suamiku serta apa yang sudah kulakukan padanya.

"Cepat pulang Masss, Ayu kangen sama Mas," ucapku serak, menahan tangis.

"Udah Ay, udah, jangan nangis lagi, besok aku pulang kok," jawabnya menenangkanku.

Aku pun berhasil meredam isakan tangisku. Lalu kembali menaruh senyum padanya. Sekali lagi, sekali lagi saja aku ingin memberikan kesempatan pada Mas Rian. Bawa aku pergi dari semua kegilaan ini mas, sudah terlalu jauh aku tenggelam, tarik aku kembali ke permukaan.

"Ya udah, mandi dulu sana, bentar lagi Subuh lo Ay, siap-siap Shalat."

"Iya mas."

Dikala telepon itu sudah mati, kututupi mataku dengan tangan kiriku menahan agar aku tak menangis lagi selagi tangan kananku yang masih memegang ponsel menjuntai ke pinggir ranjang lalu menjatuhkan benda itu ke lantai.

Aku pun melangkah menuju kamar mandi dan membasuh tubuhku, kusandarkan dahiku ke keramik seraya menggosok sekujur tubuhku yang sudah begitu kotor.

Sudah jadi apa aku ini?
Kemana akal sehatku selama ini?
Mengapa aku melakukan hal ini semacam ini?

Aku tersadar kembali setelah syahwatku diperas habis oleh Pak Danang. Penyesalanku kembali. Nuraniku terus meyakinkanku bahwa meskipun orientasi seksualku tidak normal, aku masihlah manusia yang berhak mencintai dan dicintai.

Mulai kusadari apa yang kurasakan dari Pak Danang bukanlah cinta dan kasih sayang, melainkan hawa nafsu semata. Kami adalah dua orang yang dipertemukan benang takdir di waktu yang salah.

Selesai mandi, kukeringkan tubuhku menggunakan handuk kemudian membuka lemari—memasang pakaian dalamku dan piyama tidur—lalu mengambil mukena dan peralatan shalat lainnya.

Kuhamparkan sajadah dan menangisi diriku sendiri. Andaikan saja aku bertemu pria yang tepat sedari awal mungkin aku tidak akan jatuh ke jurang hina seperti ini.

Tuhan, bantulah aku kembali.

Hangatnya mentari perlahan menelisik masuk dari jendela-jendela rumahku, selepas Shalat Subuh, kuhabiskan waktuku berdizikir di ruang tamu sambil menyesali semua perbuatanku. Sesekali kupakai ujung khimarku untuk mengelap ingusku. Di tengah penyesalanku, sayup-sayup kudengar suara langkah kaki terdengar menuruni tangga.

Pria itu berjalan dengan telanjang dada, satu-satunya kain yang menutupi tubuhnya saat ini hanyalah celana boxer pendek, dari celana itu gundukan besar di selangkangannya terlihat membayang.

"Non Ayu," ucapnya mencoba menyentuhku namun aku berdiri menepisnya.

"Udah pak, cukup!" balasku.

Pria tua itu terperangah sejenak dipegangnya kedua bahuku dan dia berusaha memelukku, namun aku mendorong keras dadanya dan mundur ke daun pintu.

"Udah Non, ngga usah ngelawan, bapak ngga ada di rumah buat bantuin Non," kata Pak Danang yang terus berusaha menciumku.

"Kalau Ayu bilang udah ya udah, Pak! Kalau bapak ganggu Ayu terus, Ayu bakal teriak keras-keras biar bapak dipukuli warga!" ancamku sambil membuka knop pintu.

Gertak sambalku membuat pria itu sedikit berpikir juga. Saat kalian berhadapan dengan Serigala, lari bukanlah solusi, namun berteriak dan membuat diri kalian lebih besar darinya tentu akan membuatnya mundur perlahan. Sama seperti yang kulakukan sekarang—hanya bermodalkan nekat, kulawan serigala lapar di hadapanku yang sangat bernafsu ingin menyantap tubuhku.

"M-Maaf, Non," ucapnya mundur perlahan.

"Mending sekarang bapak bersihin rumah sana, cuci mobil atau cuci piring, masih untung ngga saya aduin ke Mas Rian, bapak kira kalau bapak di luar sana bisa tahan berapa bulan? Hidup sehari-hari masih digaji suami saya jangan ngelunjak!" balasku setengah berteriak.

Pria itu pun menunduk malu lalu pamit dari hadapanku. Sementara aku duduk kembali seraya memijit kepalaku yang terasa pusing. Rasanya seperti bangun di pagi hari selepas mabuk-mabukan semalaman.

Pagi berlalu siang, aku masih duduk termanggu dalam hati yang bimbang. Mustahil rasanya kembali setelah aku mengkhianati Mas Rian, mustahil rasanya suci setelah sekujur tubuhku telah ternodai, lagipula mengapa baru sekarang? Mengapa setelah jatuh ke lubang nafsu aku baru sadar apa yang jiwa hampa ini inginkan?

Aku ingin dicintai.

Bukan sekadar kepuasan di ranjang namun kebahagiaan yang hakiki. Menurut kalian apakah terlalu egois jika aku minta keduanya? Apakah aku hanya bisa hidup bersama mereka dan hanya memiliki satu perasaan saja?

Jika saja Mas Rian mau mencoba, aku siap memberinya kesempatan lagi. Mas, tolong, kali ini gapai aku! Aku sudah tenggelam terlalu jauh, rintihku dalam hati.

"Permisi bu, saya mau jemput Mas Rian dulu di Bandara," ucap Pak Danang padaku yang masih duduk di ruang tamu.

"Ya," jawabku pendek, dia pun berlalu mengeluarkan mobil, menutup pagar, dan meninggalkanku seorang diri.

Kuambil ponselku lalu menelpon toko kue pesananku.

"Toko Kue Afikah, ada yang bisa dibantu?"

"Permisi, pesanan atas nama Ayu Sofia Filayeti udah bisa diambil hari ini?" tanyaku.
8
"Sebentar kak, saya cek dulu ...."

"Permisi kak, pesanan atas nama kak Ayu sudah bisa diambil kak. Disarankan sebelum pukul sebelas kak, soalnya petugasnya keluar istirahat."

"Kalau saya ambil habis Dzuhur aja bisa?"

"Bisa kak."

"Baik, terima kasih."

"Sama-sama, kak Ayu."

Setelah waktu Dzuhur selesai, kupacu motor matic Mas Rian menuju toko kue. Saat aku sampai di sana toko masih tutup karena petugas yang keluar masih belum kembali, beberapa lama menunggu sebagian pegawai datang dan mengambilkan pesananku.

Setibanya di rumah kudapati mobil Mas Rian sudah berada di depan. Kuhiraukan Pak Danang yang tengah sibuk mengelap mobil dan lurus menuju pintu depan. Kutarik napas panjang di depan pintu sambil membawa kue pesanan ke dalam. Kulihat Mas Rian duduk di ruang tamu dengan ekspresi yang tidak biasa.

"Mas Rian," panggilku, kucoba ambil tangannya ingin menciumnya namun dia hanya diam.

"Ada yang ingin aku omongin, Ay." Suaranya terdengar begitu berat kala dirinya berdiri dari kursinya.

"Ada apa mas? Apa ngga bisa sambil duduk ngomongnya?" tanyaku sedikit bergetar memandangnya.

"Kamu ngga merasa, udah ngelakuin kesalahan sama aku, Ay?" tanyanya, aku hanya diam—bimbang—apa maksud perkataannya ini?

"Aku ngga ngerti, Mas?"

"Lihat aku dan jawab. Kamu ngerasa melakukan kesalahan apa ngga?" potongnya.

"Ya aku ngga ngerti Mas, salahku tuh dimana?" jawabku serak, hatiku bergetar saat merasakan sesuatu terjadi pada Mas Rian.

"Kamu pikir aku ngga tahu, apa yang kamu perbuat sama Pak Danang di rumah? Selama ini aku diam, tapi semakin lama kubiarin semakin aku gerah sama kalian berdua?" lanjutnya.

Duniaku seolah berguncang, hatiku tak karuan saat mendengar perbuatanku sudah diketahui oleh Mas Rian.

"Kamu tahu darimana?" tanyaku balik—meringis menahan pedih di hatiku.

Pria itu diam tak menjawab.

"Mas, sekarang kamu yang jawab dan lihat aku. Siapa yang ngasih tahu kamu?" tanyaku lagi dengan suara serak.

"Ngga penting aku tahu dari siapa, yang pasti aku kecewa sama kamu. Kenapa Ay? Aku udah ngasih segalanya buat kamu, mulai dari aku ngga lagi maksa kamu ikut kajian rutin, aku ngga maksa kamu mau keluar harus didampingin, aku ngga pernah nuntut kamu harus kerja nyari duit. Semua sudah aku kasih, tapi kenapa kamu segampang itu ngebuang semuanya?" cecarnya tanpa ampun.

"Kamu pikir aku bahagia sama kamu? Kamu ngga pernah ngertiin aku, boro-boro ngertiin muasin aku pakai modal kontol aja kamu ngga mampu. Kapan kamu terakhir kali bahagiain aku mas? Kapan kamu pernah ngajak aku jalan ngemall atau nonton? Kapan kamu pernah ngajak aku liburan? Kapan kamu pernah beliin sesuatu hadiah ke aku? Kapan kamu pernah ingat ulang tahun aku? Kapan mas?" balasku balik setengah menangis.

Kami berdua terdiam, hanya isakan tangisku yang begitu serak mengisi senyapnya ruang tamu kala ini.

"Aku tuh berusaha, Mas. Betapapun aku muaknya hidup sama kamu, aku bersabar nunggu kamu berubah. Tapi kenapa malah gini...." Kusodorkan kotak kue yang kupesan padanya.

Dibukanya kotak itu dan didapatinya sebuah kue tart tiramisu kesukaannya bertuliskan ucapan selamat tahun. Raut wajahnya tiba-tiba berubah penuh rasa bersalah. Tangannya bergetar lalu menaruh pelan kotak itu di atas meja.

"Ay." Dipegangnya tanganku namun lekas kutepis.

Aku pun berjalan keluar rumah selagi Mas Rian masih terpaku dalam diamnya.

Kudapati Pak Danang telah selesai mengelap mobil. Aku pun berjalan ke arahnya.

"Bawa aku jalan pak!" perintahku.

"Tapi Non, kata bapak...." Dia diam tak meneruskan melihat diriku yang marah menatapnya dengan berkaca-kaca.

"Mau bapak yang bawa, atau aku bawa motor sendiri? Biar nabrak, nabrak sekalian!" ucapku setengah berteriak, dia pun diam lalu membuka pagar. Aku masuk ke mobil dan duduk di belakang Pak Danang, lalu kami pun berjalan perlahan meninggalkan rumah.

"Ay! Ayu, tunggu!" rupanya Mas Rian sudah sadar dari lamunannya, dan berusaha mengejarku.

"Non, bapak?"

"Udah jalan aja!" hardikku padanya, Pak Danang pun tak bersuara dan menginjak gas, meninggalkan Mas Rian jauh di belakang.

"Kemana Non?" tanya Pak Danang.

"Ke Butik," jawabku singkat, enggan rasanya hatiku ingin berinteraksi dengannya setelah hubungan terlarang kami diketahui oleh Mas Rian.

"Baik, Non," jawabnya singkat.

Meski amarahku terasa meledak-ledak namun semuanya kuredam dalam dadaku. Hanya ada satu orang yang tahu hubunganku dengan Pak Danang. Tentunya Mas Rian tidak akan tahu aku selingkuh kecuali orang itu memberitahunya.

Setibanya aku di sana, kudapati wanita itu tengah tertawa sambil melayani pelanggan butiknya. Dia tertawa bahagia, sementara aku terluka karena olahnya.


Lidya Eka Wulandari


*KRING*

Kubuka paksa pintu butik itu, lalu menghambur ke arahnya. Emosi yang sudah kutahan rasanya terlepas begitu saja.

"Ayu?" ucapnya heran melihatku masuk

"Kak Lidya, kok tega banget sih ngaduin aku sama Mas Rian. Kenapa sih kakak sampai sejauh itu ikut campur urusan rumah tanggaku?" cecarku padanya, kuhiraukan pelanggan butiknya yang tadinya sedang bercengkrama bersamanya.

"Nanti besok aja ya diambil lagi pesanannya," ucap Kak Lidya pada pelanggannya, memberi kode agar wanita itu segera pulang.

Ketika dia melangkah keluar dari butik, air mukanya pun berubah kesal melihatku.

"Apa-apaan sih Yu, harus di depan pelanggan toko aku ya kamu marahnya? Kelewatan tahu ngga!" bentaknya balik.

"Kakak yang kelewatan! Rumah tangga aku sama Mas Rian jadi di ujung tanduk gara-gara Kak Lidya!" balasku.

"Gara-gara aku? Kamu yang selingkuhin dia, aku yang disalahin?"

"Ya kakak ngga berhak ikut campur urusan rumah tangga aku! Mau aku selingkuh, mau aku main sama pembantu, mau aku ngentot sama anak jalanan, itu urusan aku, Kak Lidya ngga ada hak sampai ngadu-ngadu ke Mas Rian."

"Kapan aku ngga pernah ikut campur urusan rumah tangga kamu, Yu? Kapan? Setiap kamu ada masalah sama Rian, aku yang harus nyelesainnya. Setiap kamu ada keluhan soal Rian, aku yang dengerinnya. Kamu tuh ngga tahu terima kasih ya!" balasnya setengah berteriak.

"Ya tapi ngga sampai gini juga kak. Sekarang gimana? Kak Lidya tanggung jawab la, rumah tangga aku berantakan gara-gara kakak!" erangku balik dengan suara serak dan menangis di depannya.

"Salahku? Orientasi seks kamu yang ngga normal itu salahku?"

"Yang ngajarin ngga bener awalnya siapa? Yang bikin aku jadi berfantasi aneh-aneh sama orang-orang kampungan siapa? Kak Lidya!!" balasku sambil terengah-engah.

Dia memalingkan wajahnya dariku sesaat, "Ya aku akui. Aku udah ngasih saran yang ngga bener ke kamu."

"Ini salah Kak Lidya!! Pokoknya kalau sampai aku cerai ini salah kakak!!" teriakku seraya menampar lemah pipinya. Dia bergeming sesaat lalu menatap wajahku dengan pandangan tak percaya. Aku menatapnya balik dengan berurai air mata sebelum berbalik dan meninggalkan butiknya.



Ayu Sofia Filayeti


Aku menjatuhkan keningku pada jendela mobil memandangi gerimis yang turun di jalanan luar. Beberapa kali telepon Mas Rian masuk namun hanya kudiamkan. Dari kaca supir sesekali mataku dan mata Pak Danang bertukar sebelum kembali kuarahkan pandanganku ke luar.

"Selanjutnya mau kemana, Non?" tanya Pak Danang.

"Jalan aja terus!" balasku ketus.

Kunikmati jalannya lingkaran kota yang kini tengah diguyur hujan deras, pemandangan gedung-gedung pencakar langit, mobil dan motor yang silih berganti. Pikiranku kosong, dadaku tak lagi terasa hampa namun pedih menusuk. Mungkin ini karma. Ketika aku mengkhianati Mas Rian, aku ditusuk sahabatku sendiri dari belakang. Tak kukira akhirnya bakal seperti ini, konsekuensi dari dosa-dosaku bersama Pak Danang dibayar kontan oleh Tuhan saat itu juga.

Tiba-tiba mobil berhenti di sebuah jalanan yang cukup sepi, bagian kota yang ini adalah area perkantoran serta rumah jabatan kepala daerah setempat, sehingga ketika jam segini area-area ini memang amat sepi.

"Kenapa berhenti di sini, Pak?" tanyaku sedikit heran.

"Kalau mau nangis-nangis aja dulu Non, di sini. Biar nanti pas pulang ke rumah bisa plong," jawabnya.

Mendengar ucapannya aku pun menggigit bibir bawahku lalu menutupi wajahku dengan kedua telapak tanganku. Sakit sekali. Jantungku berasa diremas karena semua masalah ini datang dengan amat spontan.

Air hujan semakin deras mengguyur aspal ibukota ini. Di tengah suara kerasnya membentur atap mobil aku berteriak senyaring-nyaringnya mengeluarkan semua perasaan sedih dan kesalku. Aku meraung sejadi-jadinya menangisi hidupku sekarang. Mengapa saat aku mencoba kembali, saat aku mencoba memperbaiki segalanya, semua malah jadi seperti ini.

Derasnya hujan perlahan berubah menjadi gerimis kecil, hingga akhirnya reda sepenuhnya. Wajahku kembali terjatuh di dinding kaca mobil—melamun—sampai gerimis pun reda, menyisakan suara mobil dan motor yang sesekali lalu lalang di jalan sepi ini.

Pak Danang keluar dari mobil dan merokok sebentar. Dibiarkannya aku menikmati ketenangan sendiri di mobil untuk menghilangkan rasa kalutku. Kupejamkan mataku, mengistirahatkannya, dan menguatkan kembali diriku.

Ya, kalian benar, setelah semua yang kulakukan ke Mas Rian, aku pantas mendapatkannya.

Pintu terbuka dan Pak Danang masuk lalu duduk di sampingku. Aku terbangun dari sandaranku lalu menundukkan kepalaku. Kurasakan tangan kekarnya mengelus lembut pundak kananku, mencoba menguatkanku. Setiap kali dia mengelusnya aku merasa semakin lemah, saat ini aku benar-benar memerlukan sandaran, rasa marah, kesal, kalut, dan sedih bercampur jadi satu di dalam tubuhku. Rasanya kepalaku ingin pecah saat menanggungnya.

Ditariknya pelan diriku ke pundaknya hingga akhirnya aku memejamkan mataku di sana.

"Sabar Non. Pasti bisa," ucapnya singkat.

Geram rasanya aku mendengar suara lelaki itu. Mengapa aku tak bisa membencinya bahkan setelah aku berusaha sekuat yang kubisa. Mengapa di saat seperti ini malah dia yang menjadi tempatku bersandar. Aku tak tahu lagi harus berbuat apa. Aku sudah memberi kesempatan pada Mas Rian dan lelaki itu mengecewakanku.

"Pak," panggilku lemah, menatap wajahnya. Diciumnya keningku mesra sebelum kemudian melumat bibirku.

Kami pun bertukar ciuman, lembut di awal namun berubah makin kasar seiring berjalannya waktu. Air mataku sedikit menetes di sela-sela ciuman kami. Aku benci Pak Danang, tapi aku memerlukannya. Aku perlu kepuasan darinya untuk melarikan diri dari semua masalah ini. Bercinta dengannya bukanlah solusi, namun birahi membantuku melupakan sekilas masalahku.

Tubuhku menghangat, kecupan demi kecupannya di bibirku memancingku untuk naik ke atas pangkuan supirku dan mencumbunya lebih dalam.

Tangan kanannya bergerak mengelus punggungku, sementara tangan kirinya menekan jilbabku agar kepalaku tak lari dari lumatannya.

"Cppphhhh .... Cphhhhhhh Cphhh Cphhhhh .... Mmhhhh .... Haaah ...." Air liur kami bertaut bak benang basah saat kulepaskan ciumanku darinya.

Mulutnya bergerak menuju dadaku yang masih dibungkus pakaian kaftan muslimahku—menciumnya, mengulumnya, bahkan memilinnya menggunakan giginya selagi tangannya yang satu meremas-remas dadaku yang lain.

"Ngggghhhhhh .... Sshhhh Mmmhhhhhhn Pakkhhhh ...." Aku meringis mengigit bibir bawahku menahan nikmat sementara tanganku yang lain meremas kepalanya agar meneruskan permainannya dari luar bajuku.

Setelah puas membasahi pakaianku dengan air liurnya, diangkatnya tanganku dan ditarik lepasnya pakaianku—menyisakan bra dan celana dalamku. Dengan kasar dijatuhkannya aku di bawah kakinya sebelum kemudian menurunkan celananya.

Kupegang batang kejantanannya, kukecup, kuciumi dan kujilati beberapa kali sambil mengocoknya. Selagi kunaik-turunkan tanganku di batang penisnya, mulutku menjelajah ke bagian bawah pangkal batangnya, kumasukkan buah zakarnya ke dalam mulutku dan kuhisap kuat-kuat.

"Uhhhhhhhh .... enak kali Nonnnnnnn .... Heduhhhh ...." jeritnya menggelinjang beberapa kali merasakan hisapan dariku.

Lama kelamaan batang itu pun menegak perkasa. Kumasukkan ujung kepala penisnya dalam mulutku lalu kudorong lagi kulup penisnya menggunakan bibirku agar kepalanya keluar sempurna—membuat pemiliknya mengaduh merasakan nikmat.

Mulai kuoral batang besarnya dan memberikan servis terbaikku buatnya. Air liurku bercucuran saat melapisi kepala penis itu dan bisa kurasakan sebagian dari cairan precumnya masuk dalam indera perasaku.

"Slrpphhhhh .... Slrppphhhh Slrphhhhh ...." Kujilati dengan penuh semangat kepala penisnya dan sesekali kumasukkan ke dalam mulutku.

"Ohhhhh .... Shhhh Hohhhhh Non Ayuhhhh .... Hohhh Nonnnn ...." jeritnya nikmat sambil menekan jilbabku perlahan agar mendeepthroat batang kejantanannya.

Kuat sekali tekanannya pada bagian belakang kepalaku sampai aku tak punya pilihan lain selain memasukkan batang besar itu semakin dalam menuju kerongkonganku. Dipeganginya kepalaku lalu dipompanya mulutku dengan brutal.

"Hoqloooqq .... Oqloqqq Oqloqqq Oqloqqqq .... Oqqq Oqqq Oqqqqkhhh Uhk Uhkkk ...." Kutepis paksa tangannya sehingga aku pun berhasil melepaskan diri dari pria itu dan bernapas lega setelah batuk beberapa kali.

"Lepas behanya, Non!" perintahnya dan aku pun menarik pengait bra milikku sehingga dadaku menyembul keluar dengan amat menantang.

Dicubitnya kedua putingku kemudian dipilinnya hingga aku mengaduh ngilu. Ditariknya ke arah batang kejantanannya lalu diselipkannya benda hangat itu diantara kedua dadaku.

Aku pun paham dan langsung menjepit benda miliknya dengan kedua payudaraku lalu menaikk-turunkannya.

"Duhhhhhh mulus bangett jepitan toket akhwat .... ohhhh shhhhh hahhhhhh ...." Pak Danang melenguh nikmat merasakan jepitan payudaraku, membuatku makin semangat untuk mengocoknya.

"Terushhh nonnnn terushhhh ahhhhh akhwat anjingggg .... ahhhhhhhh hahhhh ...." Dia mendesah keras sebelum kemudian menyemburkan air maninya di bagian payudaraku.




Cairan lengket itu mengalir membasahi buah dadaku bahkan sebagian kecil muncrat pada pipiku. Pak Danang mengatur napasnya yang ngos-ngosan sambil memakai ujung jilbabku untuk mengelap air mani yang belepotan pada batang kejantanannya.

Aku yang sudah horni berat memandangi batang kontol Pak Danang yang mengacung tegak di depan wajahku. Aku pun berinisiatif bangun lalu melepas celana dalamku dan memegangi kepala kejantanannya. Kuarahkan ke pintu masuk liang senggamaku lalu kuturunkan perlahan pinggulku hingga bisa kurasakan benda itu memenuhi ruang vaginaku.

"Nggghhhhhhhh hah hah ssshhh uhhhhh ...." Aku menahan ngilu saat benda besar itu menerobos masuk ke dalam tubuhku.

"Terushh nonnn, ohhhh .... lagihhh dikit lagihhhh ...." Pak Danang menekan pinggulku ke bawah hingga seluruh batang kejantanannya pun melesak masuk. Aku terbelalak sesaat sebelum jatuh bergelayut di wajahnya, dikulumnya putingku sambil menunggu aku beradaptasi dengan bentuk kontolnya yang saat ini tengah menekan bibir rahimku.

Napasku berubah panjang pendek sebelum akhirnya mulai menaik-turunkan tubuhku di atasnya.

PLOK! PLOK! PLOK! PLOK!

Hentakan lembut di awal membawaku sampai ke nirwana. Rasanya semua pikiran kalut dalam kepalaku hilang digantikan rasa nikmat tiada tara. Batang perkasanya bak obat pereda nyeri bagiku kini.

"Ohhnnn Ohhhhhhhnnn Ahhnnn Hahnnn Hahnnnn Ssshh Huhhhh." Aku meringis nikmat tiap kali pantatku menubruk pahanya. Setiap hentakan pinggulku membuat penisnya menusuk titik ternikmat dalam lubang vaginaku yang membawaku terbang setiap kalinya.

"Terusshhh Nonnnn .... terushhhh .... ohhhh lonte babii .... akhwat pecunnhhhh .... yah terus bangsat ...." teriaknya kasar sampai ikut menyodokkan pinggulnya ke atas.

"Ayu mau keluar pakkhhh .... Ayu mau keluarrr .... Akhwat lontemu ini mau keluar pakhhhhhh ...." erangku yang sedikit mencengkram kedua bahunya.

"Ohhhhhhhh sama Nonnnn .... Terushhhh dikit lagi Nonnnn .... Dikit lagiiiii ...." erang Pak Danang balik.

Dan tubuh kami berdua pun menegang, punggungku meliuk, dadaku membusung, dan aku bergetar saat mencapai puncak orgasmeku dibarengi dengan semburan demi semburan hangat yang membasahi rahimku. Ditariknya keluar batang kejantanannya sehingga cairan kami pun menetes membasahi kursi mobil.




"Sssshhhhhh ..... Ahhhnnn ....." Aku meringis saat benda besar itu keluar meninggalkan liang senggamaku sebelum kemudian jatuh dalam dekapannya.

Dielusnya kepalaku beberapa kali sebelum kemudian diciumnya puncak jilbabku. Aku memejamkan mataku dalam pelukannya merengkuh nikmat-nikmat saat orgasme bersamanya.

Pak Danang pun bangkit sementara aku duduk mengangkang di kursi mobil. Dadaku kembang kempis, dan mataku setengah terbuka, bukan hanya mentalku yang sudah dikuras habis namun sekarang fisikku juga tak ada tenaga lagi.

"Non, saya pinjem hapenya ya," pinta Pak Danang namun aku tak mampu menjawabnya, aku hanya memandangi batang kontolnya yang masih berdiri tegak dengan tatapan sayu—bahkan setelah semua yang kami lakukan pria ini masih punya tenaga yang membahan bakari libidonya.

Cahaya flash dari kamera beberapa kali berkedip di sekujur tubuhku, kurasa Pak Danang kini tengah mengambil beberapa gambar dari tubuh bugilku. Jilbabku yang awut-awutan dan berlumuran air mani, wajah horniku disertai dengan cairan yang keluar dari celah vaginaku, semua foto itu terekam jelas dalam gambar digital yang diambilnya menggunakan ponselku.

"Coba Non, bersihin kontol saya," pintanya seraya mendekatkan kepala kejantanannya menuju bibirku.

Aku dengan lemah membuka bibirku lalu menghisap dan menjilati sisa-sisa sperma di batang kontolnya. Sementara tangannya yang satu memegangi batang perkasanya, satu lagi masih memegangi ponsel milikku?kurasa kali ini dia tengah merekam videoku yang tengah mengoral benda miliknya.

Tanpa sepengetahuanku dia meneruskan foto dan video itu ke WA Mas Rian, yang menjadi titik awal berubahnya sikap Mas Rian kepadaku.

Sayangnya aku kini tak peduli lagi dengan apa yang Mas Rian pikirkan tentangku. Rasanya dadaku terlalu sakit saat berharap dia mungkin mampu menolongku keluar dari jurang kenikmatan ini.

Pada akhirnya dia tetaplah seorang pecundang di mataku.

;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;


BAB VI : AFFAIR


Ayu Sofia Filayeti


Canggung.

Pesan yang dikirim Pak Danang ke Mas Rian baru kuketahui setibanya aku di rumah. Fitur hapus pesan pun sudah hilang otomatis semenjak foto dan video yang dikirim itu sudah dibaca penerimanya.

Di sisa hari itu hingga besok paginya aku dan Mas Rian tak berbicara sepatah kata pun. Kami bahkan pisah ranjang saat ini, dimana aku tidur sendirian di kamar kami sementara Mas Rian tidur di sofa ruang keluarga.

Saat aku menyiapkan makanan pagi ini, nampak Mas Rian sudah lebih dahulu bersiap untuk berangkat kerja.

"Makan dulu Mas," pintaku namun wajahnya begitu datar, dia tak menggubris ucapanku lalu pergi membawa mobilnya sendiri. Kali ini tanpa diantar oleh Pak Danang.

Aku menutup wajahku, bingung dan sedih, apa statusku sekarang, dia terlihat benci padaku namun dia juga tak menggugat cerai diriku. Kemarahannya tampak diredamnya di dalam dada dan tidak dilampiaskannya padaku.

Baik aku dan Pak Danang kini sibuk membereskan seisi rumah. Selagi aku mencuci piring dan pakaian, Pak Danang mencuci motor dan juga menyiram tanaman di pekarangan. Aku masih marah padanya yang mengirimkan foto vulgar itu pada Mas Rian, sayangnya betapapun marahnya aku pada Pak Danang, aku tak bisa mengubah apa yang sudah terjadi. Mungkin ini sudah karmaku.

Hari demi hari silih berganti, seminggu berlalu, bahkan sebulan telah berlalu, namun situasi kami masihlah sama, aku dan dia tidaklah keluar dari zona abu-abu ini. Masing-masing dari kami tidak berkonfrontasi satu sama lain, menanyakan apa yang kami berdua inginkan. Hari-hari yang kulalui kini bukan hanya terasa kosong namun juga menyesakkan.

Suatu malam di bulan Juli kala itu kudengar suara mobil menderu keras di depan rumah, bergegas aku berlari menuruni tangga menuju pintu depan, saat itu kudapati Mas Rian pulang kerja dengan keadaan terhuyung-huyung.

"Astagfirullah, Mas. Kamu kenapa?" ucapku khawatir sambil mencoba membopongnya namun dia hanya menjawabku dengan gumaman, tercium bau alkohol di mulut dan seluruh tubuhnya.

Kunaikkan tubuhnya ke sofa kemudian kulonggarkan dasinya agar memberinya sedikit ruang buat bernapas. Kuseka air mata dan ingusku melihat keadaannya. Dia begitu hancur dan semua adalah salahku. Aku tersadar ponselnya tercecer di lantai saat aku berusaha menaikkan tubuhnya ke sofa tadi, kuambil dan kubuka pesan-pesan WhatsApp-nya yang rata-rata berisikan kegiatan kantoran. Tidak ada satupun pesan dari perempuan lain ataupun wanita simpanan di hapenya, kotak masuknya memperlihatkan betapa setianya dia menjaga hatinya meski aku telah berulang kali mengkhianatinya.

Pesan terbaru adalah ajakan dari bos dan rekan-rekan kerjanya untuk merayakan hari jadi perusahaan, kurasa di sanalah dia mabuk-mabukan. Selama ini tawaran itu selalu ditolak oleh Mas Rian, tampaknya ini adalah kali pertama dia menerimanya. Kuambilkan bantal dan selimut sebelum kemudian kucium kening suamiku yang tertidur lelap di sofa dalam keadaan mabuk.

Sekembalinya aku ke kamar, aku berbaring dengan sedikit terisak, rasanya kesunyian ini membunuhku secara perlahan. Apa yang harus kulakukan sekarang? Sudah lebih dari sebulan namun tidak ada solusi atas semua masalah ini. Beberapa kali kucoba hubungi Kak Lidya namun panggilanku terus ditolak, kurasa nomorku sudah diblok olehnya. Aku bahkan mendatangi butik beberapa kali namun selalu tutup. Setiap hari aku selalu meringis di ranjangku, sendirian menanggung luka.

Tuhan, mengapa tidak kau cabut saja nyawaku? Apakah mati terlalu mudah? Apakah kau ingin aku hidup dan terus menderita sebagai bayaran ketimbang mati dan mengakhiri semuanya? Aku menangis sesengukan memeluk bantal, meredam semua rintihanku di dalam sana.

Selagi aku meringis, suara pintu kamarku terbuka datang memecah kesunyian. Aku mengalihkan pandanganku ke pintu dan mendapati Pak Danang masuk dan melangkah ke arahku.

"Pak," ucapku dengan suara serak.

"Non Ayu," jawabnya singkat.

Dia datang mendekat lalu memeluk tubuhku, aku pun membalas pelukannya dan menangis sesengukan di dadanya. Mengapa? Mengapa lagi-lagi malah pria ini yang datang di saat aku memerlukan sandaran dan perhatian. Pria yang salah selalu muncul di waktu yang tepat. Aku benci semua ini, tapi aku tak bisa merubahnya, yang kubisa hanyalah menanggung luka dan bertahan sekuat yang kubisa.

Dikecupnya dahi dan pipiku sebelum kemudian melumat bibirku. Tangannya dengan ulet menyelip ke dalam pakaianku lalu meremas-remas dadaku dan memilin putingku. Aku mengerang nikmat saat dia melepaskan ciumannya dari bibirku dan mencaplok dada kananku dari luar gamisku, dihisapnya kuat-kuat sampai aku mengaduh baru dihentikannya permainan mulutnya. Tangan kasarnya menarik lepas bra milikku hingga pengaitnya pun putus, dilemparkannya ke lantai selagi lidahnya bermain di puting kananku.

"Slllrphhhhhh .... Cuphhhhhh .... Cuphhh Cuppphhhhh Cpppphhhh ...." Suara mulutnya berdecak dengan penuh semangat sementara aku melentingkan punggungku dan mendesah tak karuan.

Didorongnya tubuhku ke ranjang dengan begitu kasar sementara dia melucuti pakaiannya, sementar dadaku naik turun dengan napas tak beraturan memandanginya yang sudah bernapsu ingin melahapku.

Pak Danang menarik lepas celanaku hingga kini menyisakan celana dalam putihku. Diendusnya selangkanganku sebelum kemudian menciumi dan menghisap bagian bibir vaginaku dari luar celana dalamku.

"Ngghhhhhhh ... Hahhhhnnnnnn .... Huhhhhhhhh ...." Aku mendesah kesetanan sambil meremas erat kain sprei ranjangku. Kenikmatan yang diberikan Pak Danang sedikit demi sedikit menambal lubang kesepian dalam relung dadaku. Penyesalan berganti birahi dan tangisan berganti erangan kenikmatan.

Kedua pahaku mengapit erat kepalanya di bawah sana. Kedua tanganku meremas-remas rambut belakangnya sambil melentingkan pinggulku ke atas. Jilatan demi jilatan Pak Danang yang sesekali menelusupkan lidahnya masuk ke dalam lubang senggamaku membuatku kehilangan kendali atas tubuhku.

"Slrrrphhhhhh .... Shhhhh uhhhhh Non Ayuuu .... Rasa memekmu ini loh ngangenin bangett .... Bikin sange malam-malam bapak ...." ucapnya di sela-sela jilatannya pada organ intimku.

Aku yang mendengarnya pun makin bergairah, aku semakin semangat ingin menunjukkan kebinalanku di hadapannya. Aku pun mengumpulkan kekuatanku dan bangkit lalu berusaha memelorotkan celana bokser miliknya hingga batang perkasa itu pun menyembul keluar.

Kupegangi batang miliknya lalu kukecup bagian kepalanya yang masih tersembunyi oleh kulupnya. Kumasukkan kepalanya ke dalam mulutku sementara tangan kananku mengocok bagian batangnya.

"Ohhhhnnnnn .... Mantap Nonnnn .... Akhwat memang beda servisnya .... Huhhhhhhh Ohhh Shhh Ohhhh Hhh Hohhhhhhh .... Mmhhhhh ...." Dia merem melek menikmati servisan mulutku hingga kedua tangannya pun bergerak mendorong belakang jilbabku dan mulai memompa mulutku.

"Hoqqqqqqq ...." Mataku berkaca-kaca saat benda itu menegang di dalam mulutku, batang kejantanannya membesar memaksa rahangku membuka lebih lebar sementara dia terus menusuk masuk dalam kerongkonganku.

PLOK! PLOK! PLOK! PLOK!
PLOK! PLOK! PLOK! PLOK!

"Oqqqqqq .... Oqqqqqqq .... Oqqqq Oqqq Oqqqq Oqqq ...." Aku tak mampu melawan hempasan pinggulnya di wajahku, terasa daging empuk itu keluar masuk dengan leluasa di dalam tenggorokanku. Sesekali dia menekannya dalam-dalam hingga bibirku menyentuh pangkal penisnya dan aku hampir kehabisan napas.

"Fwahhhhhhh!!!" Aku menarik paksa kepalaku saat nyaris pingsan di buatnya, aku jatuh terengah-engah di atas ranjang memandangi batang miliknya kini telah menegak sempurna.

Pak Danang bergerak maju menduduki dadaku dan mengangkangi wajahku, dikocoknya batang besar itu di hadapan mataku lalu dieluskannya sesekali ke wajahku.

"Non Ayu, kelihatannya Non sama Mas Rian udah jarang shalat sekarang. Daripada Non Ayu ibadah sendirian, mending ganti ngewe lima waktu sama kontol saya," ucapnya dengan nada mengejek sambil membaluri wajahku menggunakan air liurku yang menempel pekat di batangnya.

"Bentar Non sebelum ngewe, Non ambil air wudhu dulu," ucapnya yang kemudian berdiri sambil mengocok batangnya.

SRRRRRRHHH!!!

Air kencing itu keluar membasahi wajahku, mengenai sebagian hijabku, dan bahkan membasahi gamis dan sprei tempat tidurku. Aku memejamkan mata merasakan betapa nikmatnya dihinakan seperti sekarang yang sontak menghidupkan api birahi yang sempat meredup dalam dadaku.

Setelah puas mengencingi tubuhku, Pak Danang menarik tubuh bagian bawahku ke pinggir ranjang. Ditarik lepasnya celana dalamku hingga terpampanglah vaginaku yang mulus tanpa bulu di hadapan wajahnya. Dimainkannya kepala penisnya keluar masuk di pintu memekku dan membuatku mendesah tak karuan.

"Hnggghhhhh .... Ohhqqqq Pakkkkkhhhh!!!!" Aku meringis dengan mata sedikit terbelalak saat merasakan benda itu menegang sempurna dan mendobrak masuk ke dalam liang senggamaku. Separuh dari kepala penisnya yang masuk sudah membuat tubuhku kelojotan. Ditariknya pelan lalu didorongnya lagi hingga aku pun mengaduh nikmat. Satu tarikan lagi lalu dengan sekali hentakan--

BLES!

"Ahhhhakkkk .... Hahhhnnnn Enak Pakkkkhhh ...." rintihku keras.

PLOK! PLOK! PLOK! PLOK!
PLOK! PLOK! PLOK! PLOK!
PLOK! PLOK! PLOK! PLOK!

Pak Danang mulai menggempur liang senggamaku hingga desahanku menggema di seluruh sudut kamar. Dengan hijab dan gamis yang basah dimana kini bayang-bayang payudaraku terlihat dibaliknya kami bercinta dengan penuh gairah di atas ranjang yang setiap malamnya biasa kuhabiskan bersama suami sahku. Begitu kontras kulit coklat dari pinggulnya ketika menghentak pantat putihku, dua insan yang begitu jauh berbeda kasta kini tengah beradu asmara dengan begitu liarnya.

"Hohhhnnnn .... Ohnnnn terus pakkkk .... Terusshhhhh .... Zinahi Ayu Pakkkk!!! Zinahi Ayuuuu!!! Aku lontemu pakkkk .... Aku lacurmuuhhh ohhhhhnnnnn ...." Aku berteriak tak karuan saat dia semakin semangat menusuk memekku saat aku mendesah nakal padanya.

"Ssshhhh .... Shhhnnnnn Hohhhh Akhwat Anjingggg .... Udah lama bangettthhhh aku pengen memekmu inihhhhhhh .... Tiap hariiii pengen ngentotin kamuhhhh .... Ohhh jepitan ukhti alim memang enak bangetttthhhhhh ...." Pak Danang mendesah keras dan bermandikan keringat saat tengah menggenjotku.

"A-Ayu keluar pakkkhhhh .... iyahh terus pakkkhhhh .... ohhhnnnn lontemu ini nyampe pakkkkkk ohhhhhnnnnnnnnnn ...." Aku meraung keras dan mengangkat tubuhku saat kurasakan orgasme pertamaku berhasil kucapai, aku pun terkulai lemah membiarkan pejantanku yang masih belum mencapai kenikmatannya menggenjotku dengan keras.

"Balik Non!" perintahnya singkat, aku yang masih lemah tak bisa merespon kata-katanya sehingga dia pun mencabut batang kejantanannya dari dalam tubuhku.

"Uhhhhhnnnn hahhh ..." Aku meringis saat benda itu ditarik paksa dan tubuhku dibaliknya sementara kedua kakiku masih menjuntai di pinggir ranjang.

PLAK!

"Ohhnn sakiittt!!" jeritku saat satu tamparan disarangkannya di pantatku, terasa perih dan nikmat di saat yang bersamaan.

Lagi kurasakan dia tengah mencoba melakukan penetrasi kepadaku. Saat kurasakan bagian kepala penisnya sudah memasuki bagian permukaan, tubuhku menegang memberikan respon takut pada keperkasaannya. Dipeganginya kedua lenganku dari belakang agar aku tidak bergerak menjauh lalu didorongnya paksa benda miliknya masuk sedikit demi sedikit hingga terbenam seluruhnya di dalam liang senggamaku.

"Ngggghhhhhhhh .... ohhhhhhhh ...." Aku menganga lebar merasakan benda itu memenuhi setiap sudut dari ruang surgawiku.

"Sempit banget memeknya Nonnnnnnhhhh .... Berasa ngentotin perawannhhhhh ...." ringis Pak Danang yang kemudian melepas lenganku dan bergerak menangkap kedua payudaraku.

Dengan pelan dimaju-mundurkannya tubuhnya sambil meremas-remas kedua dadaku. Aku menggelengkan kepalaku dengan gelisah di ranjang ketika sedang dijejali nafsu bertubi-tubi oleh Pak Danang. Remasan demi remasan tangannya berubah lembut dan kadang kembali menjadi kasar membuatku semakin dimabuk birahi.

"Ngghhhhhh aduuhhhhh pakkkkkkk .... Gatelll bangetttttt rasanyaaaahhhh .... Garuk terus pakkkk .... Garuk terus memek lontemuh inihhhhhh ...." lenguhku didera nikmat dari genjotan pinggul Pak Danang.

Pak Danang melepas remasan tangannya di dadaku dan mencengkram pinggulku lalu menguatkan hentakannya saat mendengar desahan nakalku. Batang kejantanannya dengan membabi-buta menghujami dinding rahimku membuat kembang api serasa bertebaran di dalam otakku. Mataku berkunang-kunang dan pasrah saat disetubuhi oleh pria yang bukan mahromku ini. Nafasku tersengal-sengal dilanda rasa nikmat dan sakit yang silih berganti dan.

"Akhwat anjinggggg .... Suami di rumah malah ngewe sama pembantuuu .... Gatel banget kamu yahhhh .... Hehhhhh .... Gatel bangettttt memekmu inihhhhh sama kontol kafir macam punyakuhhhh ...." ucapnya geram sambil menyodok dalam-dalam batang kejantanan miliknya dalam liang senggamaku.

"Ohhhhh iyah pakkkk Ayu pengen ngelonteehhhh .... Ayu pengen dipejuhin sama kontol ngga disunat kayak bapakkkhhhh .... Garuk memek Ayu pakkkk .... Ohhnnnn garuk terus memek Ayuhhhhh ...." balasku yang juga kesetanan didera hentakan demi hentakan pinggulnya.

Terlupakan sudah norma-norma agama saat sodokan demi sodokan Pak Danang terus menekan bibir rahimku. Orgasme demi orgasme kuraih namun tusukannya tak kunjung henti menghujamiku. Tubuhku terbakar hebat dilanda gairah tiada ujung darinya. Seolah-olah aku sudah dicerai Mas Rian dan kini menjadi istri sahnya, aku memberikan segala kenikmatan yang bisa ditawarkan tubuh alimku padanya.

"Hahhhhhhh .... Hahhhhhnnnnnn .... Hahhhhh Hhhhhhh ...." Pak Danang tersengal-sengal dan memelankan dorongan pinggulnya lalu menarik keluar batang perkasanya dari liang vaginaku. Kakiku terlalu lemah buat berdiri dan jatuh berlutut sementara sebagian tubuhku terkapar di ranjang.

Dibantunya melepaskan gamis dan hijabku yang sudah sangat basah hingga kini tak tersisa sehelai kainpun di tubuhku yang menutupi lekuk-lekuk auratku.

"Yu, Non. Ikut saya sebentar," ucap Pak Danang.

Diangkatnya tubuhku yang masih lemas karena orgasme lalu dibawanya keluar kamar.

"Mau ngapain, Pak? Ada Mas Rian di bawah," desisku panik namun aku tak bisa berbuat banyak karena terlampau lemah saat ini.

Kami berdua sampai di bawah tepatnya di dekat suamiku, Mas Rian yang tengah tertidur pulas akibat mabuk. Tanpa mengenakan busana sehelai pun kami berdua berpagutan tepat di depannya.

"Mmhhhhh Pakkkk .... Jangan di sini! Nanti Mas Rian bangun," desahku berdesis takut.

"Udah percaya aja sama saya, Non. Bapak kayaknya baru pertama kali mabuk. Saya jamin, bapak ngga bakal sadar kita di sini, paling juga besok siang baru bangun," lanjut Pak Danang sambil mengecup kembali bibirku.

Kuangkat kedua tanganku dan menggapai bahu Pak Danang yang berdiri di belakangku. Selagi memagut bibirku kedua tangan Pak Danang mengelus ketiak halusku dan melingkar--meremas kedua buah dadaku.

Ya Tuhan, apa yang sedang kulakukan?

Aku tengah berzinah dengan pria lain di hadapan suamiku sendiri. Mengapa? Mengapa bukan perasaan sesal yang muncul di dadaku melainkan birahi yang semakin berkobar. Setiap lekuk-lekuk tubuhku tak luput dari jamahan tangan kasar Pak Danang. Jari jemarinya bermain di bibir vaginaku lalu merangsang liang senggamaku, aku mengerang tertahan namun dibisukan dengan cepat oleh ciuman mautnya. Tangannya yang lain memilin putingku yang sudah amat tegang menantang. Andaikan Mas Rian bangun dan melihat keadaanku sekarang, mungkin dia sudah kena serangan jantung melihat betapa binalnya istrinya dijatuhkan oleh pembantunya sendiri.

"Ngghhhhhh .... Pakkk .... Masukin ...." pintaku manja namun Pak Danang hanya terkekeh mendengarnya.

"Waduh saya ngga berani Non, ada yang punya di depan. Mending Non minta izin dulu sama Pak Rian biar kita sama-sama enak mainnya," ejek Pak Danang, aku pun mendengus kesal saat kembali di permainkan olehnya.

"Mas .... Ayu mau minta izin zinah sama Pak Danang .... Izinin Ayu, ya Mas .... Kontol Mas udah ngga bisa lagi muasin Ayu .... Ayu perlunya punya Pak Danang .... Izinin Pak Danang ya Mas," bisikku di dekat Mas Rian sebelum kemudian aku ditunggingkan Pak Danang di hadapannya.

"Nah gitu 'kan enak, Non. Kalau udah diizinin sama suami 'kan udah ngga takut dosa lagi. Ngewenya 'kan bisa lebih berkah," hina Pak Danang lagi, sambil melesakkan batang kejantanannya masuk ke dalam vaginaku yang sudah banjir.

"Ohhhhkkkkkk ...." Aku mengaduh merasakan benda itu kembali memenuhi lubang surgawiku, rasanya semua nilai-nilai agama sudah terbuang habis dikuras birahiku.

Dengan semangat Pak Danang menggenjot kembali pantatku. Aku maju mundur di hadapan wajah Mas Rian. Tubuhku amat terangsang disuguhi aktivitas seksual yang amat memacu adrenalin. Suamiku bisa bangun kapan saja dan memergoki kami, namun yang lebih membuatku terangsang adalah apa jadinya jika Mas Rian malah mengizinkanku ngentot dengan Pak Danang. Bayangkan saat ini dia bangun dari tidurnya dan membiarkan kami berdua memacu kenikmatan sementara dia mengocok kontol mungilnya yang menyedihkan.

"Ohhhnnn .... Uhhhhhhh .... Hoshhhhh hoshhhhh .... Memek istrimu ini memang paling top, Pak Rian .... Euhhhhh emhhhhh memek akhwat yang berpendidikan agama memang beda sama memek memek ibu ibu panti pijat yang murahan .... Hohhhhh Ohhhhh ...." erang Pak Danang di hadapan Mas Rian.

"Massshhhhh .... Maafin Ayu, Masshhhhh .... Maafin Ayuu .... Ayu udah jadi lonte Pak Danang .... Ayu udah jadi budak seks Pak Danang .... Tapi Ayu ngga pengen dicerai Masshh .... Restuin kami berdua, Masss .... Ayu pengen Mas tetap nafkahin lahirnya Ayu sementara Pak Danang jadi pengganti Mas di ranjang .... Ohhhhh iyah pakkk disituuhhh ohhhhnnnnn ...." Aku mendesah tak karuan saat Pak Danang menusuk sebuah titik di dalam vaginaku yang jika ditekan ratusan kenikmatan mengalir bak jutaan volt listrik menuju kepalaku.

Pak Danang pun mengangkat tubuhku, sambil berdiri kami melanjutkan persetubuhan kami di hadapan Mas Rian yang tidur dengan pulasnya. Aku yang mengangkang lebar terus menerima tusukan tanpa ampun dari Pak Danang. Tubuh kami bergetar susul menyusul dalam memacu kenikmatan sampai akhirnya pejantanku melenguh dan sedikit kehilangan keseimbangan.

"Uhhhh dikit lagi Nonnnn .... Ohhhh dikit lagi saya sampeee ...." erang Pak Danang.

"Samaahhhh .... terushh Pakkk .... Sirami memek lontemu inih pakai pejuh .... Hamili aku pakkkkk .... Aku pengen anak bapakkk ...." balasku yang ikut terbawa suasana.

Pak Danang pun mendekatkan kelamin kami berdua ke arah wajah Mas Rian, saat kurasakan gelombang orgasme memuncak datang mendera tubuhku disertai dengan semburan demi semburan cairan hangat Pak Danang di dalam rahimku, otot-otot vaginaku terasa amat lemas, terlalu lemah untuk menjepit menahan semua air mani itu di dalam tubuhku, sehingga ketika Pak Danang menarik lepas batang penisnya, sperma kami berdua menetes di wajah lelap Mas Rian.

Dijatuhkan Pak Danang tubuhku yang lemas di dekat suamiku, hingga aku pun bersimpuh lemah di sampingnya. Kutatap sendu wajah Mas Rian lalu kujilati cairan cinta kami yang meleleh di pipinya hingga bibirnya. Belum sempat lama aku memandangi wajah Mas Rian, Pak Danang sudah kembali menarik tubuhku dan menyetubuhinya di seluruh sudut ruang keluarga. Air mani berceceran di lantai dan meja, kami memadu kasih dengan begitu liar menghiraukan suami sahku sedang berada di hadapan kami.

Ketika suara toa Masjid berbunyi saat itulah aku tersadar bahwa waktu sudah menunjukkan pukul empat pagi. Aku terkapar di lantai dengan keadaan tengkurap, vaginaku terasa ngilu sesekali berkedut mengeluarkan cairan-cairan sperma dari Pak Danang sementara pria itu bersadar di dinding dengan nafas tersengal-sengal. Ditamparnya keras pantatku yang membuatku tersadar dari pikiran kosongku lalu menoleh ke arahnya.

"Sini bersihin punya saya, Non!" perintahnya namun aku tak mampu bergerak lagi, rasanya semua otot-otot tubuhku begitu keram.

Pak Danang pun berinisiatif berdiri lalu membalik tubuhku. Dikangkanginya wajahku lalu disodorkannya batang basah miliknya ke arah wajahku.

Tanganku pun menggapai batang perkasa miliknya lalu membersihkannya dari sisa-sisa cairan cintaku. Tangan Pak Danang pun memilin putingku sesekali, yang membuatku melenguh nikmat serta makin semangat menjilati batang kontol miliknya. Rasa bahagia dan terangsang melebur menjadi satu ketika aku melaksanakan tugasku sebagai pelacur pribadi Pak Danang.




"Shalat dulu bu, sana. Biar ngelontenya lebih berkah," perintah Pak Danang.

Aku bangkit dengan lemah menuruti keinginan pejantanku. Aku berjalan menuju kamarku dengan keadaan bugil sementara lendir cinta terus mengalir menuju pahaku dan jatuh menetesi anak tangga. Kubersihkan tubuhku dan kukuras semua sisa sperma yang ada di dalam liang vaginaku hingga bersih tak bersisa. Kukeringkan tubuhku dan kupakai kembali piyama tidur sebelum kemudian mengenakan mukenaku dan menghamparkan sajadahku.

Selesai Shalat, aku yang masih mengenakan mukena menuruni kembali tangga menuju pejantanku sambil membawakan sisa-sisa pakaiannya yang berceceran di lantai kamarku.

"Pak, ini pakaiannya," ujarku seraya menyerahkannya pada Pak Danang.

"Udah selesai ibadahnya? Yuk habis ini ikut saya Non," lanjut Pak Danang sambil mengenakan pakaiannya lagi.

"Mau kemana, pak?" tanyaku keheranan.

"Saya sering lihat Pak Rian baca buku yang judulnya 'Dahsyatnya Sedekah Subuh' itu lho. Jadi saya tertarik mau nyoba, siapa tahu saya dapat hidayah ya 'kan?" jawabnya lagi.

Kuikuti langkahnya menuju garasi, dia pun melepas mukenaku berikut seluruh sisa pakaianku yang lain hingga aku kini telanjang bulat. Aku masih keheranan melihat apa yang sebenarnya ingin dia lakukan padaku namun aku masih setia menjalankan perintahnya karena baik tubuh dan jiwaku kini sudah dimilikinya seutuhnya.

"Pasang masker dulu Non, baru pasang lagi mukenanya," perintah Pak Danang lagi.

Kusambut masker di tangannya dan kukenakan lagi mukenaku. Meski kain ini cukup panjang menutupi sekujur tubuhku namun dibaliknya aku tak mengenakan sehelai benang pun. Aku bergidik sekaligus terangsang dibuatnya.

"Saya mau keliling sedekahin Non sama kenalan-kenalan akrab saya. Saya mau berbagi berkah sama mereka yang membutuhkan kehangatan," ujar Pak Danang, aku pun terperanjat mendengarnya.

"T-T-Tapi pak, kalau ketahuan gimana? Sa-Saya takut diperkosa, Pak," rintihku lemah.

"Ngga bakalan. Ada saya yang jagain. Pokoknya Non ngga perlu takut, ngga bakalan ada yang nyangka kalau cewe yang saya bawa itu Non. Masih gelap ini Non, asalkan masker Non ngga kebuka, Non ngga bakal ketahuan," jawabnya meyakinkanku.

"T-Tapi Pak?"

"Non kalau memeknya masih mau dikasih nafkah sama kontol saya ya nurut. Akhwat lonte aja masih sok jaim. Kikir banget sama memeknya, masih banyak orang di luar sana yang membutuhkan, Non," omel Pak Danang, aku pun diam tak menjawab.

Diikatnya sebuah tali karet ban yang dia temukan di gudang garasi pada leherku. Diambilnya sebuah gelas teh yang cukup besar yang biasa dipakai para tukang buat minum lalu ditariknya aku keluar.

Hawa dingin merayapi kaki dan pahaku karena dibalik mukenaku saat ini aku tidak mengenakan apapun. Jalanan komplek di kala Subuh cukup gelap dan sepi, beberapa kali aku menghindari lampu jalan agar tetap bersembunyi di gelapnya trotoar agar tidak ketahuan.

Rasa panas merayapi tubuhku, sebuah sensasi tegang bercampur dengan birahi dan rasa ingin tahu memenuhi sekujur tubuhku. Sebuah sensasi nikmat yang baru muncul dalam relung dadaku hasil didikan Pak Danang.

Dari kejauhan kulihat seorang laki-laki yang mengenakan sarung tengah berjalan sendirian, sambil memegangi senter dia nampak mengantuk dan berjalan lunglai.

"Kang Dirman," panggil Pak Danang.

"Oi, Nang. Ngapain subuh-subuh?" tanya pria bernama Dirman itu menatap kami dengan keheranan.

"Jalan-jalan pagi kang, buat kesehatan. Habis pulang ngeronda, kang?"

"Iya Nang. Si Mamat sama Samsul udah pulang duluan, aku yang terakhir ronda nih sampai jam enam nanti."

Pria itu nampak memandangiku yang berdiri di kegelapan dengan tatapan heran, mengenakan mukena dengan masker namun leherku diikat oleh Pak Danang memakai tali karet ban.

"Siapa Nang? Kok diiket?" tanyanya keheranan.

"Ini kang, peliharaanku. Sengaja kubawa keluar pagi-pagi buat sedekah mata," jawab Pak Danang.

Matanya jelalatan melihat tubuhku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Meski berada di tempat gelap, lekuk-lekuk tubuhku tercetak jelas di balik mukenaku. Belum lagi bayangan payudaraku yang tegang nampak mencuat, tentunya dia pun meneguk air liur melihatku.

"Peliharaan maksudnya gimana, Nang?" tanyanya lagi heran.

"Ini cewe aslinya lonte Kang Dirman, cuman aku pakaikan mukena aja. Kalo Kang Dirman mau coli bisa, saya sedekahin khusus buat Akang. Asal jangan digrepe-grepe aja ya, kang?" jawab Pak Danang lagi.

Pria itu meneguk air liurnya menatapku. Aku menundukkan kepalaku takut wajahku dikenalinya.

"Kalau aku minta kocokin dia bisa, Nang?" tanya pria itu lagi.

"Oh boleh kang, silahkan. Dicoba dulu kang servisnya, jangan malu-malu!" jawab Pak Danang mempersilahkan.

Dia pun mendekat ke arahku lalu aku pun bergegas berlutut di hadapannya, meski sudah di tempat gelap aku masih takut wajahku dikenali olehnya.

"Non, saya semaleman ini ngeronda, akhirnya ngga dapet jatah dari Istri. Bantuin saya ya, Non," pintanya, aku pun mengangguk lalu mengelus sarung miliknya dan menarik lepasnya, memperlihatkan batang milik Kang Dirman yang nampak masih kecil membungkus dalam kantungnya.

Selagi Pak Danang berjaga di sekitar, aku mengocok pelan batang milik Kang Dirman.

"Ssshhh uhhhh alus banget tanganmu Non, udah lama jadi lonte?" tanya Kang Dirman namun aku hanya diam tak menjawab, selain karena rasanya amat hina dikatakan pelacur aku juga takut suaraku diketahuinya.

"Uhhhh mantep kocokannya, Nang. Berapaan ini, Nang?" tanya Kang Dirman.

"Gratis pak, namanya sedekah. Dia sukanya ngga bayar pakai duit pak, tapi pakai peju. Nanti kalau udah keluarin di sini ya pak," pinta Pak Danang seraya menyerahkan gelas teh ukuran besar itu pada Kang Dirman.

Betapa panasnya wajahku dikatakan seperti itu, namun tubuhku juga merespon dengan nafsu yang membara. Kepercepat kocokan tanganku membuat pemilik batang itu mengaduh nikmat.

"Kayaknya aku ngga bisa keluar Nang. Boleh kuintip sikit toket lontemu ini, biar bisa tegang dikit Nang," pinta Kang Dirman.

"Oh boleh pak silahkan. Asal jangan dipegang-pegang ya, Pak." Pak Danang menatap tajam diriku lalu aku pun dengan lemah menarik mukenaku ke atas hingga payudaraku pun terlihat olehnya.

"Aaahssshuuuu .... ngga pake beha ternyata .... lonteee lonteee .... kalo mau sarapan peju nanti ke rumah bapak aja. Kalau tahu ada cewe semulus kamu yang cuman mau peju, ngga bakal bapak ngabisin duit ke pijat Bu Wati sana," ucapnya sambil mengocok batang kejantanannya di hadapanku.

Wajahnya memerah dan tubuhnya menegang, disemprotkannya cairan maninya ke dalam gelas beberapa kali sebelum kemudian disemprotkannya sebagian ke payudaraku.

"Huuhhhh .... Jadi seger lagi aku Nang .... Makasih banyak ya Nang," ucap Pak Dirman yang kemudian menaikkan kembali sarungnya dan berjalan seolah tak terjadi apa-apa.

Aku dan Pak Danang lanjut berjalan kembali di tengah dingin dan gelapnya pagi. Kami mendapati seorang tukang nasi goreng tengah pulang mendorong gerobaknya.

"Ehh Kang Danang, tumben Kang keluar pagi-pagi," sapanya.

"Mau bagi-bagi rezeki nih Kang Asep. Gimana kang? Habis dagangannya?" tanya Pak Danang.

"Yahh lagi seret nih rezekinya hari ini Kang. Udah keliling-keliling dari jam sepuluh malem sampai pagi buta gini, masih belum habis juga. Kang Danang mau sisanya? Biar saya masakin aja, gratis mah buat Kang Danang. Hitung-hitung sedekah," jawab Kang Asep.

"Boleh deh kang," pinta Pak Danang.

Kami pun duduk di kursi plastik yang disediakan Kang Asep sambil menunggu nasi goreng. Perutku tak sadar berbunyi saat mencium aroma nasi goreng yang dimasak Kang Asep.

Kang Asep nampak memandang heran diriku yang duduk di kegelapan, menghindari cahaya lampu jalan.

"Itu teh saha kang, kok lehernya diiket?" tanya Kang Asep setengah berbisik.

"Ini nih perek saya kang, sengaja saya ajakin jalan-jalan mau saya bagikan jasanya ke yang membutuhkan," jawab Pak Danang membuat telingaku panas mendengarnya.

"Mau dimasakin juga ngga?" tawar Kang Asep.

"Ngga usah kang, dia ngga makan nasi, dia makannya peju," jawab Pak Danang yang disambut tawa remeh dari Kang Asep.

"Pake mukena, kirain teh ahli ibadah, eh ternyata ahli maksiat. Ada-ada aja ya kang, akhir zaman," lanjut Kang Asep sambil menyerahkan sepiring nasi goreng pada Pak Danang.

"Kang Asep mau nyoba? Saya sedekahin khusus buat Akang. Nanti pejuhin aja di gelas sini buat bayarnya," balas Pak Danang sambil menyerahkan sebuah gelas yang tadi berisi sedikit air mani dari Pak Dirman.

Pria itu nampak gelisah dan jelalatan memandangi tubuhku. Air mani dari Pak Dirman sebelumnya sedikit membasahi bagian dadaku sehingga nampak putingku sedikit menerawang dari balik pakaianku.

"Boleh deh Kang. Saya permisi nyicip sedikit ya, kang," lanjut Kang Asep.

Dia pun mendekat ke arah tubuhku yang bersembunyi di kegelapan bayang-bayang pohon. Dia lalu membungkuk di depanku dan menyingkap mukena milikku. Dia terkejut mendapati bagian tubuh bawahku tidak mengenakan apa-apa.

"Oalah, akhwat lonte akhwat lonte. Ngga pake sempak pagi-pagi, minta dikentot memang .... Slrpphhhhhh slrpphhhhh cphhhh ...." Dia dengan semangat menjilati liang vaginaku yang terpampang bebas di hadapannya.

"Shhhhhh huhhhhhh ...." Aku mendesah tertahan sambil menutup mulutku merasakan kecupan dan jilatannya di selangkanganku, pahaku reflek bergerak mengapit kepalanya sementara tanganku menekan-nekan rambutnya.

"Slrpphhhhh Slrrrphhhh .... Huhhh memek akhwat memang beda mah .... Penasaran pengen ngentotin kamu, dek ...." ucapnya sekeluarnya kepalanya dari bawah mukenaku.

"Jangan atuh kang, memeknya mah cuman punya saya. Kalo Akang mau, Akang boleh minta sepongin, tapi keluar tetap di dalam gelas ya kang," pinta Pak Danang membuatku menatap lemas dirinya. Ingin ku melawan namun jika sampai ditarik paksanya maskerku. Akan ketahuan identitas dan wajahku di sini.

"Yuk Non. Denger 'kan kata tuanmu itu. Sepongin punya A'a sini," perintang Kang Asep.

Aku pun menunduk di hadapan selangkangan Kang Asep. Pria itu buru-buru mengeluarkan burungnya dari dalam celananya. Bau khas aroma selangkangan pria masuk ke dalam hidungku membuatku nyaris ingin muntah, namun aku berusaha sekuat mungkin buat menahannya.

Kuangkat maskerku menutupi mataku dan kuciumi batang kejantanannya yang hangat. Kuhisap-hisap kecil bagian pangkalnya sampai dia pun mendesah nikmat.

"Uhhhhhh enak banget Kang .... servisannya dah macam artis film porno .... Sshhhhh ...." Kang Asep mendesis menikmati hangatnya rongga mulutku di tengah udara subuh yang dingin.

QLOQ! QLOQ! QLOQ! QLOQ!

Suara seponganku sedikit banyak memecah kesunyian jalan. Sementara Pak Danang menyantap nikmat nasi goreng, aku sibuk dengan sosis batang yang rasanya agak asin-asin ini.

Kupercepat kocokan mulutku sambil kumasukkan dalam-dalam kontolnya hingga masuk tenggorokanku.

"Uhhhh .... Ohhhhnnnn .... Shhhhhh ...." desahnya.

"Gimana Kang, lonte saya?" tanya Pak Danang di sela makannya.

"Mantaphh kanggg .... Ohhhh rasanyaahhh uhhhh .... Punya saya dihisap-hisap ohhhnnn iyahhh lidahnya dekk terushhh .... Ohhhh ...." Dia bergetar dan melepaskan kontolnya dari mulutku lalu memuncratkan peju miliknya beberapa kali di dalam gelas.

Kurasakan tangannya memegangi pipiku dan mendekatkan ujung kepala penisnya pada bibirku. Aku pun reflek membuka mulutku menerima semburan air maninya.




"Ohhhh .... Ohhhh .... Mimpi apa aku semalam .... Dapat isepan ukhti binal macam gini ...." rintih Kang Asep sambil menyodokkan kembali kontolnya ke dalam mulutku meminta dibersihkan setelah puas mengeluarkan sisa-sisa cairannya.

"Kalau udah dikasih peju bilang apa, Non?" tanya Pak Danang.

Aku yang sudah amat horni pun menurunkan maskerku dan menatap mata Kang Asep dengan penuh gairah, "Terima kasih udah dipejuin, kang."

Pria itu menelan air liur melihatku, buru-buru dia mengambil tisu gulung dan mengelap sisa-sisa air liurku pada batangnya sambil memasukkan kembali burungnya ke dalam sangkarnya.

"Makasih banyak loh kang, saya jadi semangat lagi jualannya besok," ucap Kang Asep sumringah.

"Sama-sama kang, moga rezekinya lancar ya kang," sahut Pak Danang.

"Aaamiin," balas Kang Asep yang kemudian pergi meninggalkan kami.

Pagi pun berlanjut, dengan diriku yang melayani nafsu nafsu kenalan Pak Danang di sepanjang jalan, bahkan kami sempat menyantroni gelandangan hanya untuk mendapatkan kucuran air mani. Gelas teh itu pun terus berisi, dari setengahnya hingga hampir sampai tiga perempat gelas. Semuanya adalah air mani dari pria-pria yang kulayani di pagi hari ini.

Langit mulai membiru, aku pun bergegas pulang bersama Pak Danang takut matahari menampakkan sosokku lebih jelas lagi.

Dengan pakaian berlumur bercak-bercak peju dan air kencing, aku duduk kecapaian di kursi teras rumah sambil memegangi gelas peju hasil sedekah subuhku hari ini.

"Nah sekarang Non minum peju mereka. Habiskan satu gelas ini Non!" perintahnya membuat duniaku runtuh mendengarnya.

"T-Tapi pak?"

"Udah Non, ngga usah ngelawan saya. Saya tahu aslinya Non itu suka diginiin. Dicoba dulu Non biar hidup Non terbiasa buat jadi pemuas nafsu saya!" potongnya.

Benar. Jujur aku penasaran bagaimana rasa sekumpulan peju ini. Rasa birahi yang membakar pun begitu pekat di tubuhku saat aku disuguhkan oleh pembantuku sendiri di jalan-jalan bak pelacur murahan dan hanya diberi bayaran dengan air mani.

Kuteguk pelan gelas penuh air mani itu namun tak sampai habis aku sudah menggeleng mual ingin muntah.

"Lengket banget pak. Ayu mau muntah," ucapku dengan mata berkaca-kaca, suaraku sedikit serak karena sebagian cairan asing itu masih bersarang di dinding tenggorokanku.

"Haduh, lacur nyusahin banget!" Pak Danang masuk ke dalam rumah dan keluar sesaat kemudian dengan membawa sendok dan lakban.

Dikencinginya sedikit gelas teh penuh peju itu lalu diaduknya menggunakan sendok sehingga kini cairan itu sedikit mengencer. Disodorkannya lagi padaku yang membuatku hampir menangis menerimanya.

"Pak," ucapku memelas namun tanpa ampun dia menatap nanar diriku, memaksaku menurutinya.

Kupejamkan mataku dan kupaksa minum cairan hina itu. Kuhiraukan rasanya yang bercampur baur dan kuteruskan masuk ke dalam tenggorokanku. Sayangnya baunya yang membuatku tak tahan sehingga ketika baru menghabiskan setengah gelas, aku sudah batuk-batuk dan ingin muntah.

"Ingat Non, kalau sampai muntah, Non saya telanjangin di sini. Biar jadi tontonan warga pagi-pagi," ancam Pak Danang.

Aku pun menelan lagi muntahanku dan membuka mulutku, memperlihatkan isinya yang sudah kosong pada Pak Danang.

Saat disodorkannya lagi aku menggeleng tak mampu. Hingga dia pun kesal dan mengangkat bagian bawah mukenaku. Aku terpaksa mengangkang dibuatnya sebelum kemudian dibukanya lubang vaginaku dan diguyurkannya perlahan semua peju dalam gelas itu kembali ke dalam lubang senggamaku.

"Paakkkk," ucapku lemas, namun birahiku malah makin memuncak saat air hina nan dingin itu menyentuh bagian dalam tubuhku.

Bisa kurasakan cairan lengket itu mengalir memenuhi setiap sudut vaginaku. Sebagian yang melumer keluar dimasukkan kembali oleh Pak Danang menggunakan jarinya hingga gelas itu pun kosong kembali. Dibukanya lakban lalu diplesternya lubang senggamaku hingga cairan itu tidak mengalir keluar lagi

Aku yang sudah terkapar lemas karena syok dan terangsang atas perbuatannya hanya bisa mendiamkannya. Begitu jauh aku jatuh hingga sehina ini. Aku sendiri tak mampu berkata apa-apa.

"Nah sip. Saya mandi duluan Non. Nanti klo udah selesai dzikir paginya, masuk aja ke rumah susul saya di kamar," perintahnya. Aku hanya diam di kursi memandangi pekarangan dengan tatapan kosong.

Sudah jadi apa aku yang sekarang, pikirku.



Ayu Sofia Filayeti


Tiga bulan telah berlalu semenjak terakhir kali aku bicara dengan Mas Rian. Selama tiga bulan kami tidak saling bicara seperti dulu lagi, selama tiga bulan statusku tidak jelas apakah masih dia anggap istrinya atau bukan, dan selama tiga bulan itu pula aku dan Pak Danang selingkuh di rumah tanpa sepengetahuannya. Kadang kami memadu cinta kala dia pergi bekerja, kadang saat dia tidur di sofa, bahkan saat dia makan di meja makan pun aku menyempatkan quicky sex bersama pejantanku di dalam kamar mandi.

Tubuhku mulai berubah, selalu menuruti apa yang diinginkan oleh Pak Danang. Suaranya bak perintah yang wajib kujalankan dan dosa besar apabila kutinggalkan. Saat muslimah lain beribadah lima kali sehari, aku malah ngentot bersamanya lima kali sehari. Seolah kini Pak Danang adalah suami baruku dan Mas Rian hanya sekadar dompet bulananku. Seolah dia adalah imamku dan Mas Rian hanyalah marbot masjid yang bertugas membersihkan sisa-sisa kekacauan kami.

Namun, hal yang masih mengganjal di hati kecilku adalah mengapa Mas Rian masih bertahan? Dia sudah mengetahui aku selingkuh dengan Pak Danang, pria itu bahkan menerima bukti fisik aku bercinta dengan Pak Danang, mengapa sampai saat ini dia belum menceraikanku? Mengapa dia bisa melalui malam-malamnya tanpa diriku?

Aku berusaha meminta jawaban dari Kak Lidya namun aku tak bisa menghubunginya. Beberapa kali ketelepon namun panggilanku dibloknya, beberapa kali kukunjungi butiknya namun tak kunjung buka. Aku berhenti di depan rumahnya, takut, ketika ingin masuk aku teringat saat itu pernah menampar wajahnya. Kalaupun datang ke sana mungkinkah suaminya menyambutku dengan sukacita? Mana mungkin, pikirku.

Seolah ingin menampar keras wajahku, Tuhan pun berbaik hati memberikan jawaban pertanyaanku.

Malam itu dia kembali pulang dalam keadaan mabuk. Ini adalah kali kedua dia menyetir ugal-ugalan dalam keadaan mabuk. Aku membopongnya lemah dan menjatuhkan tubuhnya di kursi, tas kerjanya pun jatuh membuat benda di dalamnya berserakan ke lantai.

"Hufftt uhh ...." Aku mengangkat sisa kedua kakinya ke atas sofa sebelum kemudian merapikan barang-barang kerjanya yang berserakan di lantai.

Saat aku memasukkan pulpen dan file kerja ke dalam tasnya tak sengaja kutemukan sebuah ponsel kecil berwarna hitam di sana.

Kuambil ponsel itu dan kuperhatikan baik-baik. Benda ini bukan benda baru, dari goresan di casing belakangnya menampakkan benda ini relatif sudah lama.

Ponsel itu tidak dikunci sehingga aku mudah mengaksesnya. Tidak banyak aplikasi yang ada di dalamnya. Bahkan game sekalipun tidak ada. Nampaknya ponsel ini khusus dipakai untuk bertukar pesan saja.

Saat kubuka aplikasi WhatsApp yang ada di dalamnya, betapa terguncangnya aku saat mendapati banyak sekali pesan-pesan erotis dari beragam wanita. Mulai dari anak-anak abg kuliahan sampai wanita panggilan, semua pesan itu berjejer di sana.

Air mataku menetes melihat pesan-pesan erotis yang dikirimkan Mas Rian pada mereka, begitupula sebaliknya, foto foto nakal wanita-wanita itu bertebaran di kotak masuk pesannya.

Begitu banyak uang yang diam-diam dia habiskan di belakangku yang membuat hati terasa pilu. Inilah alasan mengapa aku tak menemukan satu pesan selingkuh pun di ponselnya, karena dia punya dua ponsel dimana satu dipakainya khusus untuk nafsu binatangnya.

Sakit sekali,
Sakit sekali rasanya.

Cemburu membakar dadaku dan amarah memuncak sampai ke ujung kepalaku. Namun jika aku memarahinya sekarang, jika aku mendampratnya, sama saja aku wanita yang munafik baginya.

Aku pun selingkuh, bahkan bukan dengan lelaki yang rupawan melainkan pria kasta bawah semacam Pak Danang. Tetapi aku baru kali ini merasakan sakitnya diselingkuhi.

Ulu hatiku terasa sesak melihat daftar telepon dengan wanita lain hingga sampai berjam-jam saat dia di kantor. Sialan kamu, mas. Bener-bener bajingan kamu Mas Rian. Aku disuruh rajin ibadah tapi kamunya malah gini, suami macam apa kamu ini?

PING!

Ditengah pikiranku yang kalut, nampak satu pesan masuk ke WhatsApp milik Mas Rian. Seorang wanita dengan nama kontak "Sayang". Kini tengah mengirim pesan mesra padanya.

Sayang:
Besok jam delapan malam. Best Western. Jangan telat!


Api cemburu membakar hatiku saat membaca pesan masuk itu. Tidak tahukah wanita ini kalau Mas Rian sudah punya istri? Kubuka profil foto wanita itu namun tidak terpajang fotonya, hanya ada foto bibir dan dagunya yang tengah memasang ekspresi menggoda.

Kuredam emosiku dan kukembalikan ponsel itu ke tempatnya. Rasanya ingin kutelepon wanita pelacur itu malam ini juga dan memarahinya habis-habisan. Sayangnya malam ini aku memutuskan untuk berdamai dengan hatiku sendiri.

Kusimpan semua api amarahku untuk kulepaskan sejadi-jadinya besok saat memergoki Mas Rian yang tengah selingkuh di belakangku.

Aku tahu hotelnya, yang tersisa hanya nomor kamarnya. Perlu kesabaran buat menyusun segalanya agar kiranya tak berantakan. Sudah terlalu lama kami berdua diam dengan masalah ini, momen ini akan kupakai buat berkonfrontasi dengannya.

Keesokan harinya Mas Rian nampak bangun kesiangan dan sedikit panik, dari dapur aku menyiapkan makanan sambil mencuri pandang padanya. Pria itu nampak merogoh tas kerjanya lalu menaruh kedua tangannya di dalam sana. Nampaknya dia sedang sembunyi-sembunyi membalas pesan pelacur murahan itu.

Aku mengalihkan pandanganku kembali ke sayur terong yang kini ada di atas tatanan lalu memotongnya dengan kasar. Apakah pelayananku padanya tidak sebanding dengan servis pelacur murahan yang kisaran harganya paling tujuh ratus ribu sampai sejuta. Marah dan cemburu mengaduk-aduk relung dadaku tapi kuteruskan beraktivitas senormal mungkin di hadapannya.

Maghrib pun tiba di hari itu. Saat dia tengah masuk dan mandi di kamar mandi utama. Diam-diam aku mengambil ponsel tersembunyinya dalam tas lalu membuka kembali pesannya. Dan kulihat pesan yang dia dapat dari wanita itu masuk sepuluh menit yang lalu.

Sayang:
Udah kubooking tadi di Traveloka.


Rian:
Otw


Sayang:
Udah check-in nih. 310 ya.


Aku diam dan menarik napas dalam-dalam. Aku tahu Hotel Best Western itu di jalan mana, dan sekarang aku tahu nomor kamarnya. Tinggal menangkap basah dia yang sedang bergumul dengan wanita lain. Kukembalikan lagi ponselnya seolah tak terjadi apapun. Lalu aku beralih ke sofa dan duduk di depan televisi.

Keluar dari kamar mandi dia berjalan mengacuhkanku, turun dari kamar dia sudah memakai kemeja lengkap beserta dasi.

"Ada kerjaan mendadak. Berangkat dulu," ucapnya tanpa menunggu persetujuan dariku.

"Mmn," jawabku singkat berusaha menahan sekuat mungkin emosiku, begitu natural rasanya kebohongannya dan diucapkan dengan penuh percaya diri.

Limabelas menit seperginya dia, aku pun keluar menggunakan motor, menuju hotel yang kurasa jadi tempat tujuannya malam ini.

Setibanya di sana aku pun menaiki lift menuju lantai tiga berusaha mencari kamarnya. Sialnya setibanya aku di sana, pintu menuju kamar tamu terpisah lorongnya dan untuk mengaksesnya memerlukan kartu kamar.

"Ck!" Aku mengaduh kecewa. Lagipula untuk ukuran Hotel berbintang pastinya ada hal-hal semacam ini.

"Permisi bu, ada yang bisa saya bantu?"

Aku menoleh, ternyata ada petugas hotel yang lewat dan melihat raut wajah kesalku. Sontak saja aku melampiaskan emosiku padanya.

"Ini loh Mas, kartu kamar saya itu ketinggalan di dalam," ucapku kesal.

Melihat raut wajahku yang tampak serius dia pun kelihatan sedikit panik juga. "B-Baik bu. Boleh saya tahu nomor kamarnya berapa?"

"Kamar 310," dengusku.

"Sebentar bu, saya ambilkan cadangannya. Bisa ikut ke lobi sebentar?"

Aku duduk di sofa lobi melihat petugas itu menghubungi rekannya di meja administrasi sambil menunjuk ke arahku. Mereka tampak berdiskusi sebentar sebelum temannya menyerahkan kartu padanya.

"Silahkan bu, ini kunci kamarnya."

Kuambil kartu itu tanpa mengucapkan sepatah katapun dan kembali ke lift. Kuscan kartu tamu di lorong hingga akses lorong kamar pun kudapat. Aku berjalan cepat melihat nomor demi nomor sampai tiba di ruangan paling ujung dengan penanda kamar bertuliskan 310.

Ku-scan kartu kamar untuk membuka pintu lalu kudorong, rupanya pintu itu dikunci lagi dari dalam sehingga aku tak bisa masuk sepenuhnya, hanya bisa memandangi sedikit bayangan kamar dari luar.

"Mas Rian! Buka Mas!" Aku menggedor-gedor pintu dengan keras, rasanya emosi dalam darahku sudah merembes sedikit keluar.

Kudengar suara langkah kaki mendekat dengan tenang menuju pintu. Saat pintu itu terbuka, aku terperangah dengan sosok yang kutemui di sana. Mataku menatap tak percaya wanita yang tengah mengenakan gaun malam itu berdiri di hadapanku tanpa rasa takut sedikitpun.

"Ayu?" ucapnya singkat.



Lidya Eka Wulandari


Aku tak mampu berkata-kata dan hanya bisa menatap wajahnya dengan tatapan tak percaya. Dari semua wajah pelacur murah yang kubayangkan, malah wanita ini yang berdiri di hadapanku sekarang.

"Kamu ngapain di sini?" tanya Kak Lidya heran.

Tak ada suara, namun air mataku menetes membasahi pipiku disebabkan tak sanggup berkata-kata melihatnya.

"Dasar lacur!" ucapku penuh amarah, ya hanya dua kata itu yang mampu melompat keluar dari lidahku akibat emosiku begitu meledak-ledak melihatnya.

Dia diam menatapku, dia lalu membuka pintunya dan bersender di dinding lalu menatapku datar.

"Kamu tidur sama pembantu kamu sendiri waktu suami kamu ada di rumah. Kalau aku lacur, kamu itu apa?" tanyanya, membuatku tambah murka.

"Kenapa kak? Kenapa harus sama Mas Rian?" balasku berurai air mata.

"Menurut kamu aku lagi ngapain? Hah? Kamu pikir kenapa kalian ngga cerai sampai detik ini? Kamu pikir berkat siapa? Aku yang tanggung jawab atas semua masalah kamu. Ngga ada terima kasihnya sama sekali," ucapnya dengan nada tenang namun menusuk.

Kata-katanya membuatku lemah di hadapannya. Harusnya saat ini aku yang berada di posisi marah, aku yang berada di posisi kuat. Dia bahkan tak perlu berteriak, namun dengan mudahnya dia membalik keadaan sehingga kini aku yang terasa kecil di depannya.

"Kamu apakan suamiku, kak?" panggilku lemah setengah menangis.

"Kamu mau lihat? Boleh. Biar kamu tahu kulit asli suamimu itu selama ini kayak gimana?" Kak Lidya berjalan membelakangiku dan tubuhku pun seolah ditarik oleh sihirnya dan masuk ke kamar.

Saat masuk kudapati Mas Rian tengah terikat di ranjang dengan mengenakan penutup mata dan mulutnya disumpal gag ball. Penisnya yang mungil diikat di bagian buah zakarnya dan sebuah vibrator ditaruh di bawahnya, membuat lelakiku mendesah tak karuan.

"Shaafa .... Yangh hatanggh .... Hid ...."
(Siapa yang datang, Lid?)
ucapnya di tengah sumpalan mulutnya.

"Temen aku. Katanya mau lihat kamu udah sampai mana progressnya," jawab Kak Lidya sambil mengecup dahi suamiku.

Aku menatap tak percaya adegan di hadapanku saat ini. Wanita yang biasa kulihat berjilbab selama beberapa tahun terakhir kembali ke dirinya yang dulu. Sosok itu adalah sosok Kak Lidya yang kulihat semasa kuliah, wanita nakal yang mampu mendominasi setiap pria di dekatnya.

Aku duduk di kursi dalam kamar memandangi suamiku yang tengah dikerjai oleh Kak Lidya. Dibakar api cemburu namun hanya bisa diam tak mampu berbuat apa-apa, dan hanya pasrah melihat pejantanku jatuh dalam pelukan wanita lain.

Kak Lidya yang masih mengenakan gaun malam pun menarik lepas celana dalam hitamnya, lalu menaruhnya di wajah Mas Rian, lelaki itu dengan semangat mengendus kain penutup lubang kewanitaan Kak Lidya sambil menikmati getaran vibrator pada buah zakarnya.

"Enak Yan? Baunya?" tanya Kak Lidya menggoda.

"Emhnakk .... Mmphhshhhhh .... Hmmmmhhsshh ...." jawab Mas Rian sambil terus menghirup dalam-dalam aroma benda itu.

Aku menggigit bibir bawahku menahan malu melihat betapa pecundangnya lelakiku di buatnya. Hampir dari segala aspek Kak Lidya menang atasku, mulai dari wajah sampai pengalaman di ranjang, dia tak bisa disamakan dengan lacur manapun. Malah kini aku yang seolah-olah pelacur murahan di hadapannya.

Kak Lidya berdiri dan mengangkangi kepala Mas Rian, diangkatnya sedikit gaun malamnya memperlihatkan vagina indahnya yang begitu terawat di hadapanku lalu diturunkannya perlahan ke arah wajah Mas Rian.

Batinku berteriak meraung-raung dibakar api cemburu melihat suamiku tengah dipermainkan orang, namun tanganku malah bergerak menyusup dalam celanaku dan merangsang vaginaku sendiri lewat luar celana dalamku sambil menonton adegan live di depan mataku. Berminggu-minggu Pak Danang sudah merusakku sehingga baik pikiran dan tubuh utamaku sudah tidak sinkron lagi. Kini hanya seks, seks, dan seks yang ada dalam kepalaku.

Kak Lidya tidak langsung menindih wajah Mas Rian dengan selangkangannya, dia hanya menaruh vaginanya sedekat mungkin dengan hidung Mas Rian. Saat pria itu mencoba menaikkan wajahnya ke arah vagina Kak Lidya wanita itu dengan cepat menaikkan tubuhnya, saat kepala Mas Rian turun segera didekatkannya lagi, dilakukannya berulang-ulang hingga lelakiku melenguh keras dan mengaduh baru kemudian ditekannya selangkangannya pada wajah Mas Rin.

"Ahhhh .... Shhhh hehhhh ...." desahnya nikmat sambil tersenyum tipis, digesek-gesekkannya lubang vaginanya pada wajah Mas Rian seolah itu adalah tisu toilet pribadinya sementara tangannya yang satu menekan-nekan batang mungil milik Mas Rian pada vibrator.

"Mhhhhhh .... Hemmmhhhhh ..... Mmphhsh ...." Mas Rian yang berada dalam tindihan Kak Lidya mengeram tertahan, penis mungilnya pun mulai menegang saat dirangsang dengan cara seperti itu.

Sementara aku kesal sekali dibuatnya, aku meraba-raba tubuhku sendiri yang sudah horni sambil menikmati adegan suamiku disiksa oleh Kak Lidya, api cemburu membakar sudut hatiku karena selama malam-malam yang kulalui tak pernah Mas Rian menjilati vaginaku, dia selalu mengaku jijik untuk melakukannya, namun kini dia tengah menjilati lubang senggama Kak Lidya bak hewan kelaparan, dengan kondisi yang amat memalukan pula.

"Nggghhhh .... Ahhhh bagusshhh .... Bagus Yanhh .... Terushhhh yaaaahhhh di situuu ...." lenguh Kak Lidya yang kini tersenyum puas sambil memandangiku, wajahku begitu panas dibuatnya, bukan hanya harga diri Mas Rian namun aku juga direndahkan olehnya.

Tatapan yang menyiratkan bahwa kami berdua sekalipun tak lebih baik darinya.

Aku melepas celanaku dan mengangkangkan kakiku di kursi. Kujilat jariku lalu kemainkan vaginaku sambil menikmati pemandangan di hadapanku. Penis Mas Rian tampak begitu merah, hingga satu kecupan bibir Kak Lidya pada bagian batangnya membuat benda itu meledakkan air maninya hingga terciprat kemana-mana.

Kak Lidya mengangkat selangkangannya dan Mas Rian pun tersengal-sengal menghirup napas sebanyak-banyaknya.

Kak Lidya berbalik dan meludahi mulut Mas Rian yang masih disumpal gag ball. Jakun suamiku bergerak naik turun meminum air liurnya karena mulutnya tidak bisa mengatup saat ini, maka menelan adalah satu-satunya pilihan. Setelah puas memberi minum suamiku dengan air liur. Kak Lidya pun melepas gag ball yang menutupi mulut Mas Rian lalu melemparnya ke samping.

"Temenku mau bersihin peju kamu boleh ya Rian," bisiknya di samping telinga suamiku.

"Boleh," jawabnya namun pipinya segera ditampar keras oleh Kak Lidya.

"Kok gitu jawabnya, bukannya udah diajarin cara jawab yang bener?" tanya Kak Lidya.

"S-Silahkan, Nyonya...." jawab Mas Rian lemas, dan Kak Lidya pun mencubit putingnya membuatnya mengaduh nikmat.

Kak Lidya memandangku dengan remeh, aku yang setengah menangis pun berjalan dari kursi menuju selangkangan Mas Rian. Kusingkirkan vibrator itu lalu kujilati hingga bersih semua peju yang keluar membasahi batang penisnya. Kukocok-kocok perlahan batang yang mulai mengecil itu lalu kuciumi bagian kepalanya hingga Mas Rian melenguh keenakan.

"Udah, udah, nanti khilaf lagi. Sana, kamu main sendiri aja," perintah Kak Lidya padaku, aku pun melangkah lunglai kembali ke kursi dan merangsang vaginaku kembali dengan jariku.

Kak Lidya mengeluarkan sebuah mainan seksual dari laci kamar hotel. Sebuah penis namun dua arah, benda itu yang sering kulihat di majalah porno biasa disebut dengan strap-on.

Dia lalu melangkah menjejalkan penis mainan itu ke dalam mulut Mas Rian, lalu mengangkangi Mas Rian.

Mataku tak berkedip sedikitpun menyaksikan adegan itu. Mulut Mas Rian kini tengah dijadikannya bagaikan mainan seks yang bisa dia gunakan semaunya untuk merengkuh kenikmatan duniawi.

Tak pernah kubayangkan wanita yang memutuskan untuk berhijab dan kembali ke jalan yang benar memiliki sisi liar semacam ini.

"Ohhhhhh .... Yeshhhhhh ...." Kak Lidya mengerang nikmat lalu mulai memompa mulut Mas Rian yang kini tengah dicekoki Dildo.

Aku dengan bodohnya bermasturbasi menggunakan adegan itu. Kumasukkan dua jariku ke dalam vaginaku sambil mengocok lubang senggamaku sendiri menikmati adegan Kak Lidya yang begitu liarnya memacu mulut suamiku. Tanpa ampun dipompanya, menghiraukan Mas Rian yang sedang tersedak bahkan mungkin tercekik karena ulahnya, yang penting dia bisa mendapatkan kenikmatan yang dia cari.

"Ohhh .... Shhh Ohhhhnnnn Aku keluarrrhhhhh .... Yessshhhhh .... Ohhh ...." Ditekannya dalam-dalam mainan itu hingga masuk sepenuhnya ke liang vaginanya sampai bibir Mas Rian pun kini mencium permukaan lubang surgawinya.

Aku mempercepat kocokanku mecoba ikut orgasme berbarengan dengan Kak Lidya, liurku menetes tanpa sadar menikmati panasnya adegan yang tersaji di hadapanku saat ini.

Tubuh Kak Lidya menegang, punggungnya sedikit melenting dan meraih orgasme pertamanya. Diangkatnya kembali tubuhnya hingga terlepas dari Dildo itu yang menyebabkan sedikit lendir cintanya jatuh ke wajah Mas Rian.

Aku tersengal-sengal, saat kutarik keluar jariku, lendir cintaku sendiri mengalir membasahi selangkanganku.




Kak Lidya menarik lepas Dildo itu dari mulut Mas Rian, membuat suamiku batuk beberapa kali mendapat perlakuan kasar olehnya. Tidak cukup sampai disitu, didorongnya suamiku dengan kakinya hingga jatuh ke bawah kasur lalu dia pindah duduk di samping kasur memandanginya yang mengaduh kesakitan.

Jantungku berdegup kencang dan darahku berdesir hebat, andaikata Mas Rian menarik penutup matanya sekarang dia akan melihat istrinya tengah bermasturbasi di hadapannya. Namun lelaki pecundang itu tetap setia pada Kak Lidya, saat Kak Lidya menarik kepalanya mendekat kembali ke selangkangannya untuk membersihkan bekas-bekas percintaannya, dia menurut saja bahkan menjilati liang senggama Kak Lidya dengan penuh sukacita.

Lelaki bangsat, teriakku dalam hati.

Imam yang sering mengajakku ke jalan yang benar, nyatanya sama hinanya dengan diriku. Dia bahkan merendahkan dirinya di hadapan wanita lain dengan sukarela.

Kak Lidya memandangiku dengan pandangan remeh, aku hanya mampu meremas dadaku sendiri yang tersembunyi di balik khimarku sementara lelakiku kini tengah menjilati selangkangannya.

Rasa sesak dan sakit di ulu hati berkumpul membakar jiwaku. Aku marah namun aku juga terangsang diperlakukan sehina ini. Betapa memalukannya lelakiku dibuatnya, dan betapa mudahnya dia membalas semua perbuatanku padanya.

Aku meneteskan air mata sambil mengocok terus lubang senggamaku dengan dua jariku. Kak Lidya pun sedikit iba melihatku lalu mendorong kepala Mas Rian.

"Sekarang kamu bantu temenku sampai keluar!" perintah Kak Lidya.

"Siap, Nyonya," jawab pria itu patuh.

Dia merangkak berbalik menuju suara masturbasiku dan aku pun bergegas menangkap kepalanya, kunikmati setiap gerakan lidahnya di dalam lubang vaginaku hingga aku meregang beberapa kali.

"Sshhhhhhh .... Mmhhhhh .... Hhhhhhh ...." Aku menahan desahanku sekuat yang kubisa. Aku takut Mas Rian berhenti menjilati lubang milikku jika dia tahu saat ini yang ada di hadapannya adalah istrinya.

Aku melenguh nikmat dalam dekapan tanganku sendiri membuat Kak Lidya tertawa.

Kak Lidya pun melangkah menuju kami berdua. Dikangkanginya Mas Rian yang masih sibuk menjilati liang vaginaku lalu dia duduk di atas punggung suamiku. Ditariknya diriku ke arahnya lalu dipagutnya bibirku.

"Mmmhhhh .... Hmmhhhhh ...." Aku terkejut dibuatnya, ciuman Kak Lidya terasa begitu liar, lidahnya menaut dan menghisap lidahku membuatku melayang sementara lidah di bawah sana juga ikut menggila mencolek klitorisku.

"Slrphhhhhh .... Cphhhhhhh .... Cphhhhhh .... Slrphhhh Mhhhhh ...." Aku mendesah di sela-sela ciumanku saat Kak Lidya meremas kedua payudaraku yang masih tersembunyi di balik khimarku.

Diserangnya bagian bawah daguku lalu dicupangnya leherku, membuatku mengaduh nikmat. Kurengkuh tubuh halusnya dan kupeluk erat sambil meringis.

"Maafin aku, kak!" rintihku serak.

"Kalau mau dimaafin, harus dihukum dulu," ucap Kak Lidya yang kemudian melepaskan cupangannya dari leherku.

"Iya kak, hukum aja, ngga apa-apa," balasku lemah dia pun tersenyum penuh kemenangan.

Ditariknya kembali Mas Rian dari selangkanganku, dan dibawanya lagi ke atas ranjang. Sementara itu, dia mengambil tali dari dalam laci dan mengikat kedua tangan dan kakiku di kursi, lalu menyalakan vibrator yang tadi sempat kusingkirkan.

"M-Mau diapain kak, a-aku mau diapain?" tanyaku panik sambil menatap nanar dirinya.

"Tahan sampai aku bilang kamu boleh lepas, baru aku maafin," perintahnya.

"Nggghhhhhh ahhhhhhhhnnn ...." Aku melolong cukup keras saat benda itu diletakkan di bawah selangkanganku. Aku mengangkat pinggulku agar getarannya tidak mengenai bibir vaginaku dan bertahan sekuat yang kubisa.

Sementara Kak Lidya tampak menusukkan Dildo Strapon tadi ke dalam lubang senggamanya dan melenguh, sebelum kemudian melumurinya dengan pelumas, diarahkannya pada bagian anus suamiku dan didorongnya perlahan.

"Ohhhhnnnn .... Ohhhnnn Enak Nyahhh .... Ahhnnn Enakkhhh ...." rintihnya.

Aku menatap jijik suamiku yang kini menikmati saat anusnya dipenetrasi oleh batang Dildo. Namun saat pinggulku terasa melemah aku kembali duduk di vibrator itu hingga mengaduh nikmat. Terpaksa dengan amat horni kutahan perasaanku agar tidak disiksa oleh getaran pada selangkanganku.

Kak Lidya dengan semangat menggenjot Mas Rian, sementara tubuhku panas dingin melihat adegan itu. Mas Rian yang melenguh keenakan dengan penis mungilnya yang bergelayut dengan begitu lemah. Keringat membasahi pakaianku, bisa kurasakan lututku melemah seiring berjalannya waktu.

"Ceritain sama temen aku Rianhhh .... Ohhh .... Waktu kamu dikirimin video seks sama pembantu kamu .... Waktu kamu lihat istri kamu lagi dientot orang lain .... Hhhhhh .... Apa yang kamu lakuin?!" desah Kak Lidya di tengah genjotannya.

"S-Saya .... Ehhhh .... Saya ngocok Nyonyahhhh .... Uhhhh .... Saya coli pake video seks merekahhh ...." rintih Mas Rian, yang membuat duniaku runtuh mendengarnya.

Apa-apaan kamu mas? Apa yang kamu omongin?

"Terushhhh kenapa ngga kamu cerai istri kamu, Riann? Hehhh? Kenapa ngga kamu ceraiiii?" erang Kak Lidya lagi sambil mempercepat genjotannya.

"Saya sukahhh istri saya dihajar kontol orangggg .... Ohhhh berkat nyonyah .... Hhh hhhh hhhh uhhhh .... Saya sadarrr kodrat saya cuman buat nyari duit .... Hhh saya lebih suka lihat istri saya .... Ohhhh main sama laki-laki lain daripada sama saya ...." lenguh Mas Rian.

Aku menangis melihat ternyata selama ini suamiku dilatih diam-diam oleh Kak Lidya menjadi sosok yang tidak normal. Lututku pun lemas dan akhirnya pinggulku jatuh kembali pada getaran vibrator di bawah selangkanganku. Aku tergolek lemas tak bedaya merasakan kenikmatan dari getaran pada lubang vaginaku serta disuguhi dengan adegan pemerkosaan suamiku oleh sahabatku sendiri.

Aku orgasme dalam keadaan shock berat bahkan aku kencing di tempat dudukku sendiri, melihat betapa hinanya suamiku sekarang diperlakukannya.

"Ohhhhhhh .... Terushhh Nyahhhh .... Dikit lagi Nyahhh ...." teriak Mas Rian yang kelihatannya akan mencapai puncak orgasmenya di tengah genjotan Kak Lidya pada anusnya.

Detik itu pula Kak Lidya menarik penutup mata Mas Rian, saat lelaki itu menoleh ke samping didapatinya aku yang terikat di kursi dengan tatapan kosong dan berurai air mata dengan kondisi selangkangan banjir disebabkan tekanan vibrator.

"Ayuhhhhh .... kenapa kamu disinihhhhhh .... Ohhhhh ...." Mas Rian pun orgasme dengan keadaan shock mendapati istrinya berada di sampingnya.

Tubuhnya melenting tak berdaya lalu menyemprotkan air maninya secara membabi buta, sebelum akhirnya lemas dan berangsur-angsur pingsan.

Kak Lidya menarik lepas Dildo itu dari anus Mas Rian. Dia berjalan ke arahku lalu melepas ikatan pada tangan dan kakiku lalu menjambak hijabku hingga aku jatuh ke lantai.

Diangkatnya wajahku lalu ditatapnya penuh senyum kemenangan, "Hutangku udah lunas, kalian ngga jadi cerai 'kan?"

Ya, aku dan Mas Rian memang tidak bercerai. Namun kami berdua kini sama-sama jatuh ke lubang hina tak berdasar ini.

Kak Lidya mencabut Dildo pada lubang senggama miliknya lalu memakai kepalaku untuk membersihkan vaginanya. Aku menurut menjilati lubang Kak Lidya sambil menikmati elusan-elusan lembutnya pada puncak kepalaku.

"Udah kubilang dari awal Yu, sekali kamu masuk bakalan susah keluarnya. Aku udah ingetin tapi kamu ngga mau dengerin aku," ucapnya.

Ya, nafsuku terlalu besar untuk mendengar saran darinya. Selagi aku menjilati sisa-sisa lendir pada liang senggamanya, jari-jariku menggosok lubang vaginaku sendiri, terangsang atas perbuatannya.

Baik aku dan suamiku, kami telah memiliki pemilik kami masing-masing.

;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;


Darimana aku harus mengawalinya?

Ya, ingatanku di malam itu perlahan muncul.
Delapan .... tidak, mungkin sepuluh tahun yang lalu.

Lucu, tapi semua kisah ini sungguh berawal dari sebatang rokok.

Lagi-lagi malam ini tidak berlalu sebagaimana mestinya. Sudah berapa wanita panggilan yang kupakai buat petualangan seksualku namun tak pernah berhasil. Tua, muda, murah, mahal, tetap tak kudapat perasaan yang kucari dari mereka semua.

Saat aku berjalan keluar dari hotel dini hari kala itu, aku berhenti di samping lampu parkir mencoba menghidupkan rokok milikku. Sialnya korek yang kupakai saat itu macet. Aku pun hanya bisa menengadahkan kepalaku ke atas dengan rokok yang masih berada di bibirku lalu melempar korek milikku ke dalam tong sampah.

"Nih!"

Aku menoleh ke dalam kegelapan, remang-remang kulihat seorang wanita yang tengah merokok menyodorkan korek miliknya padaku.

"Makasih," jawabku singkat dan menghidupkan rokokku sebelum mengembalikan korek itu pada pemiliknya.

Kami berdua merokok dalam diam, berdampingan dimana aku berdiri di bawah cahaya lampu sementara dia di balik kegelapan. Remang-remang cahaya memperlihatkan sedikit wajah manisnya, rambut pendek dan kacamata membuat aura elegan seolah memancar dari dalam dirinya.

"Sendirian?" tanyaku.

"Iya, nunggu jemputan," jawabnya.

"Oh, emang mau kemana?"

"Ke Jalan Patimura, Perumahan Ciputra."

Cukup jauh juga jaraknya dari sini, pikirku. Di pagi buta seperti ini apakah masih ada Grab yang beroperasi?

"Grab ya?" tanyaku membuka kembali pembicaraan kami.

"Ngga .... ssshhhh fuuhhh .... dijemput temen ...." jawabnya singkat sambil mengembuskan asap rokoknya. Sepanjang pembicaraannya, wanita itu tak sedikitpun menoleh ke arahku.

Kuputuskan untuk mendampinginya sebentar, setidaknya sampai rokokku habis. Namun, belum lima menit dia sudah gelisah dan menelpon seseorang menggunakan ponselnya. Aku memandangi raut wajahnya yang tadi tenang berubah sedikit cemas.

"Aku pulang ke Jalan Diponegoro, masih searah. Mau ikut?" tanyaku sambil mengeluarkan kunci mobilku.

Dia memandangku sesaat lalu menarik satu hisapan terakhir dari rokoknya. "Yuk!"

Satu jawaban singkatnya yang menyetujui ajakanku membuatku sedikit terkejut. Ada apa dengan gadis ini pikirku, tidak terlihat sedikitpun rasa takut dalam dirinya saat memasuki mobil pria asing yang belum tentu mengantarnya sampai rumah. Bagaimana jika yang berdiri di sampingnya saat ini bukan aku, apakah dia masih akan memberikan jawaban yang sama?

"Sssshhhh fuuhhh .... Adrian, panggil aja Rian." Aku menghisap habis rokokku lalu mengulurkan tangan berkenalan padanya.

"Lidya," jawabnya singkat dan menjabat tanganku.


BAB VII : JURNAL RIAN


Lidya Eka Wulandari


Sepanjang jalan kami tak bicara sepatah katapun. Dengan suasana traffic yang tidak terlalu ramai aku bisa sedikit tancap gas menuju tempat Lidya.

Suasana perumahan itu cukup sunyi, ada beberapa jalan yang rusak namun sebagian besarnya sudah diaspal.

"Nanti belok kiri pas di depan tiang listrik sana, blok ke dua," ucap Lidya memecah keheningan.

"Siap, bos," jawabku singkat, dia hanya terkekeh kecil lalu mengalihkan kembali pandangannya ke luar jendela.

Aku pun berhenti di depan rumahnya. Lampu teras masih gelap, kelihatannya tidak ada orang di rumah.

"Mampir dulu," ucapnya singkat, dia pun turun dari mobilku dan membuka pagar rumahnya. Lalu jalan terus membuka pintunya.

"E-Eh?" pikirku, aku bingung, sesaat setelah dia masuk ke rumah dan menghidupkan lampu terasnya, dia tak kembali lagi ke luar. Lima menit aku menunggunya namun tak kunjung juga datang.

Aku pun memajukan mobilku dan masuk ke dalam rumahnya. Kututup kembali pagar, lalu kukunci mobilku.

TOK! TOK!

Kuketuk rumahnya dan wanita itu pun datang membuka pintu, yang ternyata tidak dikunci.

"Loh, masih di luar?" tanyanya.

Ceroboh sekali perempuan ini, pikirku. Pagar ditinggalkannya terbuka, pintu tidak dikunci, belum lagi mengundang laki-laki masuk ke rumahnya, kalau kami ditangkap basah warga dalam keadaan seperti ini, bagaimana nantinya?

"Permisi," ucapku saat memasuki rumah itu. Kututup pintunya lalu kukunci.

Kulihat dia tengah sibuk mengambil beberapa benda yang berserakan di lantai. Nampaknya wanita ini tinggal sendirian pikirku.

"Kamu ngga takut gitu, ngajak orang yang baru dikenal masuk rumah? Kalau tiba-tiba aku penjahat, gimana?" tanyaku heran.

"Oh, kamu penjahat 'kah?" tanya Lidya balik.

"Ya, bukan sih."

"Kalau gitu ya udah."

Aku mengernyitkan dahiku. Jawaban macam apa itu? Dia tampak percaya diri sekali. Entah mengapa sesuatu dalam dirinya terasa unik sekali, berbeda dari semua wanita yang pernah kutemui.

"Lagi ngga ada apa-apa, mau minum?" tawarnya, sambil membawa sebundle kaleng pilsener dan kacang kulit.

"Lid, aku kayaknya ...."

"Mau pulang jam segini? Besok pagi aja sekalian. Pulang sekarang nanti dibegal di jalan baru tahu rasa." Dia membuka kaleng pilsener itu lalu meneguknya sambil memutar CD musik.

Aku pun melepaskan jaketku dan duduk di lantai di bawah sofa. Meski terlihat dingin di awal namun Lidya cukup menyenangkan diajak bicara. Baik itu masalah sosial ataupun asmara, dia selalu nyambung dengan topik obrolanku.

"Terus itu kerjanya ngapain?" tanyanya saat kami berbicara soal pekerjaanku.

"Ya, nawarin orang bikin akun di perusahaan kita gitu, buat trading. Nanti dari setiap keuntungan trading itu kita dapat persenannya," jawabku.

"Kek tukang tipu," sahutnya, aku pun tertawa mendengarnya.

"Bukan la, ini 'kan forex ya, beda la sama yang abal-abal itu. Kalau forex tuh 'kan produk bentuknya kek dagang juga, kalo ...."

"Ah, udah-udah, ngga ngerti juga dijelasin panjang-panjang," potongnya, kami pun meneguk lagi bir itu dan diam.

"Tadi nunggu jemputan siapa? Pacar?" tanyaku, dia diam memandangi kaleng pilsener.

"Iya," jawabnya singkat.

Raut wajahnya berubah sendu, menandakan topik ini bukan topik yang bagus. Sepertinya dia sedang ada masalah dengan orang itu, pikirku. Aku pun bergegas mengganti ke topik lain.

"Lagunya .... bagus ya ...." ucapku, dia tertawa remeh lalu menyandarkan pipinya di lututnya sambil memandangiku....memberikan satu senyuman manis padaku.

[ Press 'Listen in Browser' ]


Cantik sekali, ucapku dalam hati.

Rasanya tubuhku begitu panas, entah karena pengaruh alkohol atau karena aku terpikat keelokan wajahnya.

Instrumen musik dari pemutar CD itu terasa begitu lembut, suara penyanyinya terdengar amat merdu di telingaku. Pandangan Lidya menyiratkan seolah dia memerlukan aku di sini malam ini. Mungkin hanya perasaanku, mungkin dia hanya ingin berterima kasih karena aku sudah mengantarnya, tapi .... dia tidak mengusirku bukan.

Aku pun mendekatinya hingga Lidya mengangkat kepalanya. Ditengah pengaruh bir aku menuju wajahnya dan mencium bibirnya, tidak seharusnya aku melakukan ini, jika dia teriak di sini habis sudah perkara, karena terlalu berani dan terlalu bodoh itu memang beda tipis.

Tapi dia tak melakukannya.

Lidya hanya memejamkan matanya diam, menikmati kecupan bibirku padanya. Kami berpagutan, hanya bibir, tanpa saling menggelayutkan tangan ke leher masing-masing. Begitu emosional rasanya hatiku dibuatnya, musik dari pemutar CD kala itu bersama dengan seorang wanita di tengah kesendiriannya.

Aku tidur di sofa dengan bantal dan selimut yang dia berikan hingga lagu itu tak terasa telah berakhir disertai dengan pagi yang perlahan muncul.

Semenjak itu, aku dan Lidya mulai sering bertukar pesan. Tak jarang kami makan siang atau dinner saat kerjaanku sedang luang. Sesekali kami berdua juga clubbing bersama dan pulang dalam keadaan mabuk berat.

Apa hubungan kami saat ini?

Entahlah. Lidya tak putus dengan pacarnya. Tetapi dia juga jarang memberitahukan kehidupan pribadinya padaku. Aku tak terlalu mempermasalahkannya.

Mungkin hanya teman, lebih dari itu, betapapun aku menginginkannya sepertinya mustahil. Dia bukan tipe wanita yang tunduk pada pria lain, dia begitu mandiri dan kuat. Namun aku tahu jauh di dalam hatinya, Lidya merasa amat kesepian dengan hidupnya.

Sudah tak terhitung berapa kali aku menginap di rumah Lidya. Tetangga kelihatannya tak begitu ambil pusing. Jarang interaksi sosial terlihat di komplek ini, masing-masing dari mereka kelihatannya sibuk dengan urusan masing-masing. Lalu pacar Lidya? Aku juga tak mengerti, kelihatannya pria itu tidak pernah mampir setiap aku kemari. Lidya juga nampaknya tak pernah bilang pada pacarnya kalau aku menginap.

"Ngga ada makanan gitu buat di rumah?" tanyaku, melihat kulkas miliknya, isinya hanya bir, minuman bersoda, juga kacang dan coklat, hanya ada telur dan bawang bombay yang merupakan bahan makanan di dalam lemari pendingin itu.

Kubuka penyimpanan beras miliknya, terlihat berasnya sudah berdebu dan ada beberapa kutu di sana. Perlu berkali-kali aku membasuhnya hingga kutu-kutu dan debu beras itu bersih sepenuhnya, selesai dengan itu kumasukkan beras yang sudah kucuci ke dalam rice cooker lalu kumasak.

Sambil menunggu nasi matang, aku mengambil semua telur di dalam kulkas, memecahkannya, dan mengaduknya dalam mangkuk. Kucek lemari dapur, ada garam yang kelihatannya sudah mengkristal di dalam wadahnya akibat jarang dipakai. Kucek tanggal kadaluarsa sachet merica dan penyedap rasa yang kutemukan, nampaknya masih bisa dipakai.

Saat nasi di rice cooker matang kukeluarkan dan kudinginkan sesaat, selagi aku mengiris bawang bombay. Setelah semua bahan selesai aku pun memasak nasi goreng yang biasa kubuat sendiri di rumah kala aku malas keluar.

Lidya datang ke dapur mengambil satu kaleng bir lalu membukanya di sampingku.

"Bisa masak ternyata?" ucapnya sambil meneguk bir itu sedikit.

"Iyalah, sama-sama hidup sendiri mah harus bisa ginian," balasku.

"Cocok jadi suami rumah tangga," lanjutnya sedikit tertawa, aku pun tersenyum balik lalu menyentil dahinya, membuat wanita itu mengaduh.

Aku meminum sekaleng bir lagi memandanginya yang menyantap masakanku dengan cukup lahap.

"Enak masakannya," ucapnya.

"Iyalah, 'kan bikinan suami rumah tangga," balasku tertawa remeh.

"Becanda aja, Yan. Jangan dimasukin ke hati .... urghh .... ehm ...." Dia bersendawa sebentar sebelum lanjut makan.

Tidak menggambarkan sosok wanita pada umumnya, pikirku.

Malam itu kami merokok dan ngobrol panjang lebar lagi. Kaleng demi kaleng minuman beralkohol kami tenggak hingga sama-sama mabuk berat, dari situ obrolan sudah mulai berubah sedikit intim.

"Pacar kok ngga marah aku ke rumah, Lid?" tanyaku dengan wajah panas.

"Dia .... Ngajakin nikah .... Aku ngga mau .... Dia marah .... Kita marah .... Aku salah apa coba, Yan?" ucapnya sepotong demi sepotong sambil mencengkeram kerah kemejaku, bau alkohol dari mulutnya menyeruak masuk dalam indra penciumanku.

"Ya 'kan bagus nikah. Masa .... uhhh .... pacaran mulu," jawabku menahan pusing.

"Ya 'kan aku belum siap .... Nikah .... Aku masih mau hepi-hepi .... Ngga boleh apa aku nikmatin masa muda dulu?" Dia tampak menangis, kurasa Lidya berubah emosional karena mabuk.

"Udah, udah, jangan nangis," balasku sambil membantu melepas kacamatanya dan menghapus air mata dari kedua pipinya.

Dia memandangku manja saat jariku perlahan menyentuh bibirnya. Tiba-tiba dipagutnya bibirku dengan begitu agresif, yang sontak kubalas dengan nafsu yang sama.

Kami berdiri, tanpa melepas ciuman kami, Lidya menarikku menuju kamarnya. Dihempaskannya tubuhku ke dinding kamar lalu diciumnya dengan ganas, kedua tangannya melonggarkan kancing demi kancing kemejaku lalu menariknya lepas.

"Shhhhh .... Ahhhhnnn .... Liddd ...." Aku mendesah nikmat saat ciumannya turun ke putingku dan memainkan lidahnya di sana.

"Berisik, Yan! Jangan keras-keras kalo mau kukasih enak," ucap Lidya ketus, membuatku bergidik mendengarnya.

Suaranya bak menstimulasi suatu perasaan asing dalam diriku. Aku pun mencoba meremas dadanya dari luar pakaiannya namun dengan kasar dia menepis tanganku.

"Jangan pegang-pegang ah, jijik aku!" ucapnya kasar.

Darahku berdesir mendengar kata-kata kasarnya. Rasanya aku terangsang dengan perbuatannya yang begitu mendominasi diriku. Meski sama-sama mabuk namun dia seolah jauh lebih kuat dariku.

"Sssshhhnnn .... Emhhhh .... Hhhhh Hhhhh Uhhhhh ...." Aku menggeliat keenakan saat dia menghisap kuat puting kananku dan memelintir keras puting kiriku dengan jemarinya, rasa sakit dan horni begitu bergejolak dalam dadaku.

Didorongnya aku ke ranjang, lalu ditarik lepasnya celana dan celana dalamku. Aku sudah tak mengenakan sehelai benang pun di hadapannya sementara wanita itu masih berpakaian lengkap.

Dia merangkak ke belakangku dan duduk memeluk punggungku. Lidahnya menjilati leherku, tangannya memainkan kedua putingku, sementara kedua kakinya mengapit batang kejantananku dan mengocoknya.

"Ssshhhh .... Uhhhhhhh ...." Rangsangannya pada tubuhku membuat pikiranku melayang, ketika batang kejantananku tegang kakinya dengan cepat menekannya keras, membuatku mengaduh kesakitan dan membuat benda milikku kendur kembali, saat penisku mengecil dia melanjutkan merangsang tubuhku lagi berulang-ulang hingga aku menggila.

"Aahhh .... Ahhhh .... Aku mau keluar Lid," rintihku lemas, namun dia lekas melonggarkan jepitan kakinya pada batang kejantananku dan membuatku gagal orgasme.

Aku tersengal-sengal saat kedua tangannya tampak keras mencekik leherku....menahan agar aku tidak orgasme. Kutepuk beberapa kali lengannya hingga Lidya pun melonggarkan dekapannya.

Lidya pun berdiri di atas ranjang lalu melepaskan celana dan celana dalamnya. Dalam minimnya cahaya aku melihat bayang-bayang vaginanya yang tampak begitu indah.

Dia mengelus-elus penisku menggunakan kakinya, membuatku bergidik ngilu namun juga horni di saat yang bersamaan. Saat batang kejantananku menegak sempurna tangannya bergerak membimbingnya menuju liang senggamanya.

"Ssshhhhh .... uuhhhhh ...." Dia meringis sesaat setelah benda milikku mencoba melakukan penetrasi, dan melenguh nikmat saat akhirnya milikku masuk sepenuhnya ke dalam sana.

Dia menunggangi tubuhku dengan penuh gairah, goyangan pinggulnya ketika menghentakkan pantatnya padaku membuatku mabuk kepayang. Ketika tanganku ingin menyentuh tubuhnya dia menampar keras wajahku, membuatku hilang akal.

"Ohhhhh .... Ohhhnnnnn .... Liddd .... Liddd ...." ringisku saat didera nikmat oleh jepitan liang vaginanya.

Semakin semangat dia memompa tubuhku hingga akhirnya tubuh Lidya menegang menjemput orgasmenya. "Nggghhhhh hahhhhhhhhnnn!!!!"

Dada kami berdua naik turun tersengal-sengal disebabkan persetubuhan kami berdua. Lidya berdiri melepaskan batang milikku darinya.

"L-Lid .... a-aku belum keluar ...." ucapku lemas.

"Coli aja sana. Aku males. Udah sana ah tidur di bawah ranjang kek, di sofa kek, jangan di sini!" balasnya ketus.

Aku yang masih lemas pun turun dari ranjang sambil membawa satu buah bantal. Kukocok batang kejantanan sambil membayangkan kemolekan tubuh Lidya. Ini kali pertama aku mendapat perlakuan seperti ini, namun entah mengapa aku juga tak bisa memaksanya atau mungkin alam bawah sadarku mensugesti diriku sendiri dan mengatakan bahwa aku tak bisa menekannya.

Kukocok terus batang milikku namun susah sekali rasanya keluar. Tubuhku sudah bermandikan keringat namun tanda-tanda orgasme belum juga kudapat.

"Liddd .... Ohhhnnn ngga bisa juga Liddd .... Hhh hhhh hhhh ...." Aku mendesah sambil tersengal-sengal di lantai.

SREK!

Salah satu kaki Lidya tiba-tiba bergerak menjuntai ke pinggir ranjang. Ditekan-tekannya dadaku lalu kakinya pun menjalar menuju wajahku hingga diinjaknya tanpa ampun.

Jantungku berdegup kencang, kilatan birahi muncul bahkan hanya dari aroma kaki Lidya. Batang kejantananku kembali menegang hingga kukocok dengan semangat.

"Slllrpphhhh .... Cphhhhh ...." Kuciumi bahkan kujilati kaki mulus gadis itu sementara satu tanganku mengocok batangku.

Tak sampai lima menit tubuhku menegang lalu orgasme dengan posisi kaki Lidya menginjak wajahku. Cairan bening itu muncrat memenuhi perutku, saat tubuhku bergetar hebat tiba-tiba Lidya kembali menarik kakinya ke atas ranjang, menghiraukanku yang baru saja mencapai puncak kenikmatan.

Aku tersengal-sengal memandangi ujung ranjang. Itu adalah kenikmatan seksual pertama yang diajarkan Lidya padaku. Sebuah sensasi asing yang mungkin takkan bisa dimengerti lelaki manapun selain aku.



Dua minggu berlalu setelah malam itu, entah mengapa hubungan kami tidak seintens seperti sebelumnya. Lidya seolah menjauh dariku dan membuat hatiku gundah gulana. Malam-malam yang kudapat dari wanita sewaan tak bisa kubandingkan dengan malam yang kulalui bersamanya saat itu. Beberapa wanita panggilan bahkan merasa ilfeel saat aku meminta perlakuan seperti yang dilakukan Lidya padaku.

Aku merasa hampa dan begitu kehilangan arah, sampai sebuah pesan darinya tiba-tiba datang menghampiriku.

Aku bergegas memacu mobilku menuju Cafe tempat Lidya ingin bertemu, setibanya di sana kupandangi wanita itu nampak duduk melamun di hadapan minumannya.

"Lid, udah lama?" tanyaku basa-basi.

"Yan, kayaknya kita udahan aja. Kamu jangan lagi hubungi aku atau datang ke rumahku," jawab Lidya.

Aku mengernyitkan dahiku, "Kenapa?"

Dia hanya mendiamkanku, lama, sebelum melontarkan satu jawaban yang aku tak bisa mengelaknya lagi.

"Aku mau nikah. Rencana bulan depan udah siap semua. Jadi, aku ngga bisa lagi nerusin ini."

Aku tersenyum pahit dalam diamku. Tentu saja, pada akhirnya Lidya akan menikah bersama pacarnya. Mana mungkin dia berlama-lama dengan statusnya sekarang.

"B-Baguslah kalau gitu, selamat ya," ucapku tersenyum dengan penuh sesak di dada.

"Maafin aku, Yan. Kamu kebetulan datang pas aku lagi perlu, tapi akhirnya aku sadar, kita ngga jodoh. Maaf udah buang waktu kamu."

Dia melangkah pergi tanpa menunggu jawabanku. Wanita itu bisa seegois itu, pikirku. Dadaku terasa sesak mendengarnya, aku merasa amat kehilangan. Siapa dia bagiku? Bagaimana aku memandang Lidya? Pacar? Sahabat? Yang pasti saat dia pergi, sebuah lubang besar bersarang di relung dadaku.

Beberapa tahun berlalu sejak hari itu. Aku tak ada niatan sekalipun menjalin hubungan dengan wanita lain. Orang tuaku beberapa kali sakit-sakitan karena khawatir melihat hidupku, dan aku pun mengambil langkah pahit menyetujui perjodohan yang mereka atur. Bagiku lebih baik menikah ketimbang melihat ibuku sakit-sakitan karenaku.

Namanya Ayu.
Ayu Sofia Filayeti.

Umurnya jauh lebih muda dariku. Dia pun baru saja menyelesaikan kuliahnya. Kulihat anaknya baik dan taat pada agama. Sangat berlawanan dengan sifatku yang binatang dan sering main perempuan di luar sana.

Aku tak lama berkenalan dengannya. Orang tua Ayu tampaknya ingin kami pacaran hanya setelah menikah, sehingga dua minggu setelah kedatanganku bersama orang tuaku ke rumahnya. Aku langsung menikahinya.

Malam pertama yang kulalui bersamanya terasa hambar. Aku tidak tahu apakah aku mencintainya atau sekadar menganggapnya pelarian dari masalah keluargaku.

Saat memandang wajahnya aku malah teringat Lidya. Saat memandang tubuh dan kulitnya, aku teringat Lidya. Mengapa malah fantasi dengan Lidya yang muncul di kepalaku saat aku bercinta dengannya, pikirku.

Aku memiliki segalanya. Istri cantik, rumah, mobil, aku bahkan mampu membeli motor lagi dan mempekerjakan seorang pembantu. Namun rasanya semua pencapaian itu tidaklah berarti.

Baru jalan tiga bulan pernikahan namun aku sudah memikirkan untuk menggugat cerai Ayu. Tetapi benang takdir berkata lain, berkat Ayu aku menemukan kembali semangatku yang telah lama hilang.

"Aaaaaahhhh .... Ayuuuuuu!!!!!" panggil seorang wanita dari belakang istriku.

"Kak Lidddd!!!!!" balas Ayu senang.

"Kamu datang ke sini juga?"

"Iya kak, jarang-jarang beliau mampir ke kota sini ngisi ceramah."

Mataku memandang sendu wajah cantiknya. Begitu lama aku merindukan bayangannya, suaranya, kini Lidya berdiri di hadapanku lagi setelah sekian lama.

"Sama siapa kamu ke sini?" tanya Lidya.

"Ini kak, suami aku, Mas Rian. Mas Rian ini temen aku Kak Lidya," ucap Ayu seraya memperkenalkan kami berdua.

Air mukanya sedikit berubah saat melihat wajahku, begitupula denganku.

"Lidya."

"Rian," ucapku singkat, namun saat aku menyodorkan tanganku untuk menjabat tangannya dia buru-buru menangkup jari-jarinya menolak salamanku.


Lidya Eka Wulandari


"Yu, yu, duduk di sana aja, Yu. Bareng aku!" Lidya tampak menggandeng semangat lengan istriku Ayu dan membawanya ke barisan bangku paling depan.

Lidya yang sekarang tidak sama seperti wanita yang kutemui dulu. Semenjak menikah cara berpakaiannya banyak berubah. Dia kini mengenakan hijab dan sering ikut kajian islami seperti sekarang.

"Nanti mampir ya ke butik aku ya, Yu. Assalammualaikum," ucap Lidya senang sambil pamit bersama suaminya.

"Waalaikumussalam," jawab Ayu yang menggandeng erat lenganku.

Rasanya bahagia saat bertemu lagi dengannya. Kini Lidya sudah berubah, pemilihan topik pembicaraan dengannya pun kadang lebih banyak menyoal tentang agama dan akhirat yang aku hanya sedikit memahaminya.

Semenjak pertemuanku dengannya hari itu, aku mulai sering memborong buku-buku agama dan menyempatkan membacanya setiap aku pulang bahkan di sela-sela pekerjaanku sebagai broker saham. Semua kulakukan bukan karena aku tertarik ingin taubat tapi agar aku bisa bicara dengan Lidya lagi. Setiap hari selalu kupaksa Ayu untuk ikut kajian, bukan karena ingin istriku mendengar materi dakwah tapi karena aku ingin melihat wajah Lidya lagi saat menjemput Ayu pulang pergi.

Dua tahun lebih lamanya aku berpura-pura, hingga akhirnya aku dan Lidya bisa berinteraksi normal kembali seperti dulu. Ayu pun tampak senang saat kami berdua akrab, mungkin di matanya aku dan Lidya bagaikan kakak dan adik, dia tak mengetahui malam-malam yang sudah kami berdua lalui bersama.

*KRING*

Aku melangkah memasuki butik miliknya. Nampak dalam pandanganku wanita yang dulu kutemui di depan Hotel sekarang berubah menjadi pedagang pakaian muslim.

"Eh Rian, mau ngambil pesanan Ayu?" tanyanya.

"Iya, gamis. Ngga tahu modelnya. Kata Ayu sih pokoknya kamu udah tahu aja gitu," jawabku.

"Iya bentar, bentar. Nih, punya Ayu udah kusiapin." Lidya menarik sebuah bundle plastik hitam dan menyodorkannya padaku.

"Berapa?" tanyaku.

"Lima ratus tiga puluh, khusus Ayu, lima ratus aja deh," balasnya sambil tersenyum. Aku pun menyerahkan uang padanya.

"Kamu .... udah lama kenal sama Ayu?" tanyaku basa-basi.

"Eh, iya Yan. Udah lumayan lama. Aku kaget ternyata kamu yang jadi suami Ayu," balasnya sambil memasukkan uangku ke dalam mesin kasir.

Ternyata dia masih ingat aku, pikirku.
Syukurlah.

"Lid, soal dulu ...."

"Udah Yan," potongnya singkat. Aku pun terdiam.

"Aku udah punya suami sekarang, kamu juga udah punya istri. Kita udah bukan kita yang dulu," lanjutnya membuatku menunduk.

Rasanya mustahil ini kuteruskan, untuk apa aku berpura-pura selama ini kalau begini hasil akhirnya. Ulu hatiku kembali terasa sesak melihat wajahnya.

Dia menghela napas panjang. Nampaknya dia tahu aku masih kesal atas keputusannya dulu ataupun mendengar jawabannya sekarang ini. Lidya pun memegang pundakku dan menatap mataku.

"Kalau kamu pengen ngobrol-ngobrol sama aku, boleh. Aku izinin. Aku kasih nomor aku yang baru. Tapi jangan jadiin Ayu alasan biar kamu bisa deketin aku. Dia sabar, biarpun setiap hari kamu paksa dia ikut kajian agama, dia tetap senyum. Aku sayang Ayu, Yan. Kamu jangan gituin dia," ucap Lidya lembut membuatku menggigit bibir bawahku, rupanya selama ini kedokku sudah ketahuan olehnya.

"Yan. Kamu 'kan suami dia. Bahagiain lah dia. Ngertiin dia coba. Ajak dia jalan-jalan sesekali, liburan, atau kalo ngga makan bareng di luar gitu, jangan kurung dia di rumah melulu, pas dia mau keluar kamu ikutin melulu, kasih dia sedikit kebebasan."

"Iya .... Aku tahu .... Aku salah .... Maafin aku, Lid."

"Jangan minta maaf ke aku, Yan. Minta maaf ke Ayu," lanjutnya.

Kata-katanya terus terngiang di kepalaku bahkan sepulangnya aku dari butiknya kutemui Ayu dan meminta maaf atas ulahku padanya. Ayu pun memeluk bahagia diriku sambil menangis tersedu-sedu.

Semenjak itu aku pun memutuskan untuk memberi Ayu kebebasan apapun yang dia mau, meski aku masih tidak terlalu peduli padanya, yang pasti aku kini sudah dapat nomor baru Lidya.

Apakah aku cinta pada Ayu?
Entahlah, separuh hatiku masih menginginkan Lidya, namun separuh lainnya tak ingin kehilangan Ayu. Meski aku tidak menaruh perasaan padanya tapi Ayu masihlah istriku, apakah terlalu egois bagiku jika menginginkan keduanya? Apakah dosa jika aku jatuh cinta pada Lidya dulu ataupun sekarang?

"Mas! Mas Rian!"

Aku tersadar dari lamunanku saat Ayu mengguncang-guncangkan tubuhku.

"Ngelamun loh, pagi-pagi," ucapnya ketus, aku tersenyum hambar melihatnya.

"Ada apa, Ay?" tanyaku.

"Mas, bulan depan 'kan mau renovasi rumah. Tambahin kamar mandi dong, mas. Di kamar kita. Biar lebih gampang kalo ambil wudhu sama mandi, ngga mesti turun naik," pintanya.

"Iya, Ay. Nanti aku sampe'in sama tukangnya."

"Makasih, Masss!" Dia memelukku erat membuatku tertawa kecil melihat tingkah manjanya.

Setelah sukses menggaet klien untuk pembukaan akun trading baru dari beberapa pensiunan PNS, aku mendapatkan bonus yang cukup untuk merenovasi rumahku. Sudah lama aku ingin garasi sendiri, tentunya tidak sedap memandang mobil dan motorku setiap hari di pekarangan.

Hal yang tidak kuberitahu pada Ayu adalah saat renovasi diam-diam aku meminta tukang kami memasang CCTV tersembunyi di rumah untuk jaga-jaga jika terjadi pencurian. CCTV itu tersembunyi di penjuru bagian rumah mulai dari teras depan sampai kamar pembantu. Kameranya sengaja kuminta dibuatkan menyatu dengan interior.

Kurasa aku ingin memberitahu Ayu aku memasangnya setelah renovasi selesai, namun aku malah lupa. Setelah beberapa waktu berlalu terasa aneh jika aku memberitahunya selama ini ada CCTV tersembunyi di rumah.

Meski memasangnya, aku jarang mengecek rekamannya. Aku lebih sering disibukkan dengan pekerjaanku di kantor ataupun tatap muka dengan klien.

Sampai suatu malam....

Aku bangun dari tidurku dengan keadaan kepalaku yang terasa amat pusing. Aku mencari obat pereda nyeri di kotak P3K kamar lalu mencoba meminumnya, sayangnya gelas air putih yang biasa kutaruh di samping meja tempat tidur kosong. Sambil menenteng obat aku berjalan perlahan keluar kamar.

Suasana rumah cukup gelap, dari lantai atas kulihat cahaya ponsel yang jadi satu-satunya penerang di sana. Nampaknya itu Ayu.

"Ngapain dia?" bisikku, aku pun mengurungkan niatku untuk pergi ke dapur dan memutuskan untuk mengamatinya secara sembunyi-sembunyi dari kejauhan.

Kulihat Ayu menaruh ponselnya di sofa, bergerak mengambil masker di lemari, dan kembali memainkan ponselnya. Tidak biasanya pikirku.

Cukup lama dia memainkannya sampai kepalanya pun menengadah ke atas langit-langit, tampak bosan, aku pun lekas menunduk, takut dia menyadariku. Sial, kenapa aku malah sembunyi-sembunyi seperti ini.

Dia melanjutkan memainkan ponselnya, lalu diam, sulit mataku melihat apa yang dia pandangi di layar smartphone miliknya dari jarak sejauh ini namun hal yang dilakukannya selanjutnya cukup mengejutkanku.

Ayu mendekatkan wajahnya ke layar ponselnya seolah menghirup sesuatu dari layar itu.

"Slrrppphhhhh.....ahhhh....gede bangettt...." desahnya.

Aku tahu ekspresi itu, setiap kali aku memesan VCS aku melihat wajahku pada Ayu saat ini. Jantungku berpacu, seorang wanita alim dan taat agama yang selama ini kukenal sebagai sosok istriku kini tengah melakukan Video Call Sex dengan orang yang tidak kukenal. Ayu selingkuh di belakangku? Sejak kapan?

"Terushhh sayangg.... Dikit lagi...." lirihnya dengan suara horni, membuat darahku berdesir mendengarnya.

"Ahhhh shit!!!" umpatnya tiba-tiba, di tengah suara nafasnya yang berat menggema di ruangan.

Saat itu pula dia melempar ponselnya ke samping sofa.

"Sssshhhhh haahhhhhh.... hahhhhh.... hahhhhhhhhh...."

Terdengar dia mendesah kecewa. Dadanya naik turun dengan napas memburu, itu adalah kali pertama aku melihat istriku sendiri melakukan sesuatu hal yang diharamkan agama.

Sungguh aneh, meskipun dibakar api cemburu namun di sudut hatiku aku suka dengan apa yang Ayu lakukan. Sepanjang pernikahan kami, ini adalah kali pertama dia membuatku benar-benar merasa hidup.



Ayu Sofia Filayeti


Di pagi hari berikutnya kudapati Ayu di meja makan tengah menyiapkan sarapan buatku. Dia tampak gelisah, mungkin hati kecilnya merasa bersalah padaku sebab tadi malam.

"Ay! Ayang! Kenapa, kok kusut gitu?" tanyaku padanya.

"Ngga apa-apa mas, kemarin malam kebetulan pas susah tidur aja," jawabnya.

Kunikmati roti selai yang dibuatkan Ayu untukku tanpa mengusiknya lebih jauh lagi.

"Mas berangkat dulu yah. Kemungkinan malam ini lembur, jadi kalau mau masak ngga usah banyak-banyak. Soalnya mas makan malamnya di luar," ucapku.

"Iya mas, hati-hati di jalan," jawabnya lembut.

Baik di mobil ataupun di kantor aku tak fokus memikirkan kejadian tadi malam. Sejak kapan istriku selingkuh tanpa sepengetahuanku? Siapa laki-laki yang dia telepon? Tubuhku terasa gerah, rasanya panas sekali memikirkan wanita yang selama ini satu ranjang denganku ternyata diam-diam menyodorkan tubuhnya pada pria lain.

"Ke toilet bentar ya," ucapku pada rekan kerjaku.

"Oh iya, sip," jawabnya.

Aku pun masuk ke toilet dan mengunci pintunya lalu duduk. Kucoba buka aplikasi CCTV rumahku lewat ponsel milikku, dengan cepat aku mengecek rekaman CCTV seharian ini, penasaran apa saja yang sudah dilakukan Ayu di belakangku.

Awalnya tak kutemui hal yang aneh. Rekaman memperlihatkan Ayu yang memberi makan pada Icha, kucing kami, sesuatu hal yang kadang aku suka lupa melakukannya. Wanita itu beralih ke ruang keluarga dan menonton televisi. Kupercepat terus rekamannya sampai kudapati dia melakukan Video Call lagi.

Aku menggigit jariku, kuganti layar dari Kamera CCTV Nomor 3 ke Nomor 1 untuk melihat sudut berbeda. Dari kamera awalnya dia tampak menyapa biasa lawan bicaranya, samar-samar kulihat dia mulai membuka kancing piyama miliknya dan meremas-remas dadanya yang masih dibungkus bra.

Rasa cemburu dan marah kembali muncul dalam dadaku, namun anehnya rasa penasaran dan senang juga ikut bercampur aduk di dalamnya. Istriku yang sering mengenakan hijab ke luar rumah, seorang muslimah bermartabat, diam-diam melakukan hal hina ini di belakangku.

Tiba-tiba dia berhenti sejenak dan setengah berlari menuju dapur. Ayu membawa sebuah timun dan melanjutkan aksinya di depan kamera. Aku menutup mulutku melihat Ayu kini mengoral timun itu di depan kamera, jantungku berdegup kencang dan napasku memburu. Tanpa sadar tanganku yang satu lagi menggesek-gesek batang kejantananku dari luar celanaku.

"Ayuuuuu .... Kamu ngapain Ayyyy!!!" desahku tak karuan sambil mempercepat gesekanku.

Tak berhenti sampai di situ, Ayu bahkan mengoleskan timun itu ke payudaranya hingga akhirnya telepon itu mati dan dia nampak tersengal-sengal. Aku yang sudah tak tahan pun mengeluarkan penisku dari celanaku lalu mengocok pelan batang kejantananku. Mataku menatap nanar layar karena pertunjukkan belumlah selesai, Ayu tampak memasukkan timun itu ke dalam celana tidurnya dan tangannya menggesek-gesekkan benda itu di dalam sana.

"Ahhh .... Ahhhh .... Ay .... Aku keluar, Ay .... Ohhh ...." Aku memuncratkan air mani yang meluber di telapak tanganku, orgasme dengan begitu menyedihkan di kursi toilet kantor.

Selagi aku membersihkan bekas masturbasiku, mataku masih menatap layar. Nampaknya Ayu berhenti dengan permainannya ketika Pak Danang datang, aku pun mengambil tisu toilet dan menekan tombol flush sebelum keluar dari toilet kantor ini.



Di tempat kerja, kepalaku masih terasa pusing. Bukan karena kerjaan yang menumpuk, tapi karena kepikiran Ayu di rumah. Aku pun meminum sebutir Ibuprofen sebelum lanjut mengerjakan file kerjaku.

"Sakit, Yan?" tanya rekanku.

"Ngga, lagi mumet aja," jawabku singkat.

"Mumet ngga dikasih jatah mungkin sama bini tadi malam," canda rekanku yang lain disusul gelak tawa mereka. Aku hanya tersenyum kecut membalasnya.

Aku menyandarkan tubuhku di kursi. Mataku mendelik ke sekitar, rekan-rekanku yang lain tampak sibuk menelpon klien mereka masing-masing. Sebagian juga sibuk dengan membuat laporan margin bulanan mereka. Jariku kuketuk beberapa kali di atas meja, sebelum memutuskan untuk kembali membuka aplikasi CCTV rumahku lewat ponselku.

Sepi.
Kelihatannya Ayu sedang keluar rumah.

Harap-harap menemukan sesuatu yang menarik, aku malah tak sengaja membuka kamera CCTV pada bagian kamar pembantu dan menemukan hal yang menjijikkan.

Dari layar kamera terlihat Pak Danang sedang bermasturbasi sambil melihat ponselnya. Entahlah kurasa itu video porno.

Aku memijat keningku, harus kuakui bagaimanapun juga Pak Danang masih seorang laki-laki. Dia tentunya masih perlu sentuhan seorang wanita. Namun melihatnya melakukan itu di rumahku sungguh membuatku jijik.

Kelihatannya dia orgasme hingga membasahi celananya. Pria itu pun berjalan bugil di rumah sambil memasukkan celananya ke dalam mesin cuci. Cukup lama dia berkeliaran bugil di sepanjang rumah sampai akhirnya dia tiba-tiba panik sendiri. Dia bergegas berlari menuju kamarnya lalu memasang lagi sebuah celana dan kaus oblong sebelum menjemur pakaiannya yang kotor dengan buru-buru lalu lari ke depan rumah.

Rupanya Ayu sudah pulang, pikirku.
Pantas dia kelihatan panik.

Andaikan Ayu tahu apa yang tadi Pak Danang lakukan, mungkin dia sudah shock dibuatnya.

Kelihatannya Pak Danang kini memasakkan Ayu makanan, sebelum keluar meninggalkan istriku sendirian. Tak banyak rekaman menarik lainnya selain fakta aku menyadari pembantuku yang sudah uzur bermasturbasi hari ini.

Aku kembali fokus dengan pekerjaanku, beberapa kali menelpon klien namun semua hasilnya nihil. Sulit menawarkan orang untuk membuka akun terlebih di situasi sekarang dimana lagi ngetrend-ngetrendnya penipuan investasi bodong.

Kalau begini terus, marginku di akhir bulan bisa menurun pikirku.

Selagi teman-teman yang lain sudah pulang. Aku masih di depan komputer menyelesaikan laporan akhirku. Kupandangi ponselku sesaat sebelum kualihkan lagi pandanganku ke layar.

Ck, gelisah sekali rasanya.
Kenapa malam ini firasatku terasa amat buruk.

Aku pun berusaha berhenti dari pekerjaanku sejenak, lalu kembali membuka aplikasi CCTV rumahku. Kucek kamera seantero rumah tampak aman-aman saja, terlihat Ayu sedang tiduran di sofa malam itu dengan pakaian lengkap. Aku mendesah lega. Syukurlah semua baik-baik saja.

Tetapi, beberapa saat kemudian terlihat Pak Danang masuk ke dalam rumah. Jantungku tiba-tiba menderu, saat ini hanya ada Pak Danang dan istriku yang ada di dalam rumah, apakah kiranya yang akan terjadi?

Aku reflek berdiri dari kursiku dan menuju gudang arsip, karena aku tahu di kantor ini hanya gudang arsip dan toilet yang tidak ada kameranya. Kukunci pintu lalu duduk bersila di lantai memandangi cukup lama keadaan rumahku.

Pak Danang tampak menggoyang-goyangkan tubuh istriku berusaha membangunkannya namun Ayu terlalu lelap. Tiba-tiba tangannya menyentuh pipi istriku dengan lembut, membuatku merinding, sampai kemudian wajahku berubah merah panas ketika Pak Danang kini meremas dada istriku dari luar gamisnya.

BUK!

Kupukul dinding arsip saking kesalnya melihat pembantu brengsekku. Amarahku terasa meledak-ledak dibuatnya. Sayangnya aku malah penasaran apa yang akan terjadi, jika Ayu sampai terlihat berteriak meminta tolong, aku bersumpah malam ini juga berbekal bukti CCTV ini aku akan menjebloskan pria itu ke penjara.

Tapi Ayu tidak melawan, dia nampak masih pulas tertidur ketika diperlakukan seperti itu oleh Pak Danang.

"Ssshhhhh .... Fuuhhhh ...." Gerah rasanya aku melonggarkan dasiku dan kancing kemeja atasku melihat istriku tengah dilecehkan oleh pria yang kastanya notabene jauh di bawahku.

Sayangnya semakin aku membiarkan kejadian ini semakin pula pria itu menunjukkan nafsu binatangnya. Dia mengecup dada istriku dari luar gamisnya, dengan penuh nafsu dia menghisapnya seolah dia takkan melihat hari esok lagi.

Aku tersengal-sengal melihat adegan panas itu, kubuka celanaku dan mulai kukocok penisku yang sudah menegang. Setan, kenapa aku malah terangsang melihat kelakuan bajingan itu, umpatku pada diriku sendiri.

Ayu nampak menggeliat, gadis itu melenguh nikmat menerima perlakuan bejat Pak Danang. Bangun Yu! Bangun! Itu bukan suamimu, teriakku dalam hati sambil mempercepat kocokanku.

Pertunjukkan berubah semakin liar saat Pak Danang membuka retsletingnya dan memperlihatkan batang kejantanan. Didekatkannya ke mulut istriku sehingga membuatku panas dingin dibuatnya.

Selesai menggesekkan benda itu di mulut istriku, Pak Danang tiba-tiba melangkah menuju selangkangan Ayu dan menarik lepas celana dalam istriku, dia menjilati lubang senggama Ayu dan membuat emosiku meletup-letup.

"Brengsek .... Bajingan Kau Danang!!!" teriakku sambil mempercepat kocokanku. Aku pun orgasme di dalam ruang arsip itu. Cairan spermaku meletup-letup keluar dan membasahi sebagian lantai.

Begitu lemah kutatap istriku juga terlihat mengalami hal yang sama dengan permainan Pak Danang. Dia terlihat menegang dan orgasme dalam tidurnya. Saat pria itu nampak ingin memasukkan benda miliknya ke dalam vagina istriku, bergegas aku keluar dari aplikasi CCTV dan menelpon Pak Danang.

"Halo, pak. Saya udah selesai. Tolong jemput saya sekarang. Saya buru-buru mau pulang," perintahku.

"Siap Pak Rian, saya jemput sekarang juga, Pak," jawabnya di ujung sana.

Aku pun menutup teleponku, kurasa aku baru saja menyelamatkan Ayu dari tindakan pemerkosaan. Aku memandangi spermaku yang menempel di telapak tanganku. Apa yang harus kulakukan sekarang? Bisa saja aku melaporkan Pak Danang atas tuduhan tindakan asusila, tetapi apakah itu tindakan yang benar? Untuk pertama kalinya aku merasakan sesuatu dalam hidupku setelah menikah dengan Ayu. Mungkin sebaiknya kubiarkan saja dulu, pikirku.

Aku tak mengerti mengapa aku bisa memutuskan seperti itu.
Mungkin karena aku tidak benar-benar mencintainya.
Mungkin jika itu Lidya aku tidak akan ragu-ragu melaporkan Pak Danang.
Mungkin karena itu Ayu.



Keesokan harinya waktu berjalan seperti biasa, pagi ini masuk pemberitahuan bahwa meeting mengenai penetapan target tahunan serta strategi menarik minat pelanggan kembali berinvestasi di perusahaan kami ditunda. Singkatnya aku tak ada kerjaan sepagian ini, Ayu pun masih belum pulang dari butik Lidya.

Aku pun iseng mengambil buku berjudul tafsir hadis lalu membacanya di ruang tamu, sekadar mengisi waktu. Belum satu bab kuhabiskan, kudapati istriku pun akhirnya datang juga.

"Mas," panggilnya dan beralih duduk di sampingku

"Ay, udah pulang?" jawabku sebelum sesaat kemudian mengalihkan lagi pandangannya ke buku.

"Mas ngga kerja?"

"Meetingnya di reschedule, Ay. Palingan besok pagi dikabarin lagi."

"Aku mau ngomong sesuatu, Mas."

"Iya ngomong aja, aku dengerin."

"Mas, aku .... aku pengennya Pak Danang diganti. Aku maunya ART yang cewe."

Mendengar ucapannya, jantungku seolah terhenti sesaat. Jika aku mengganti Pak Danang, maka pertunjukan panas itu takkan lagi kudapati di rumah ini. Sial, apa yang harus kulakukan sekarang?

"Kenapa? Ada yang salah? Dia nyuri?"

"Bukan Mas. Aku udah ngga betah lagi sama dia."

Aku bingung, apakah Ayu sadar dia dilecehkan malam itu? Apakah Ayu sedang dalam ancaman Pak Danang? Entahlah, hanya saja aku tidak ingin tahu soalnya.

"Ay, kalau pembantunya cewe susah loh, mungkin kalau nyuci sama ngurus rumah dia bisa lah, tapi kalau nyupir, ngurus kebun, servis mobil, kan belum tentu. Sedangkan kamu tahu sendiri uangku sekarang cuman cukup buat gaji satu orang."

Tentu saja ini hanya alasan belaka. Aku masih bisa menambah satu lagi pembantu tanpa memecat Pak Danang. Lagipula aku masih ingin menikmati tindakan bejatnya pada istriku.

Ayu mendesah, memalingkan wajahnya dariku lalu merengek, "Kamu kan bisa nyupir sendiri mas, servis mobil sendiri, ngga harus dianterin segala macam."

Aku pun turun dari kursiku dan berjongkok di depannya sambil memegang tangannya. "Ay, nyari pembantu itu ngga sesimpel itu, kita harus cocok cocokan lagi, sikap luarnya baik belum tentu dalamnya baik. Orangnya jujur tapi mulutnya ngga bisa dijaga ya sama aja musingin. Sabar dulu sebentar ya, nanti kalau udah ada uangnya mas usahain cari yang sesuai kamu mau."

"Udah Mas, udah. Aku ngga tahu harus ngomong apa lagi sama kamu." Ayu mendesah kecewa menanggapi keputusanku.

"Ayu!" panggilku singkat.

Apakah keputusanku sudah benar? Membiarkan hawa nafsuku membimbingku pada sesuatu hal yang mungkin akan menjadi bibit keretakan rumah tanggaku.

Kukejar Ayu ke kamar dan kudapati wajahnya begitu sendu. Ya, wajah itu, wajah itu mengingatkanku pada bayangan Lidya, wanita yang penuh dengan perasaan kesepian yang sempat hadir dalam hidupku.

"Kamu sayang aku ngga sih, Mas?" tanyanya sedikit serak.

"Sayang, Ay. Aku sayang kamu. Maafin aku ya," jawabku lalu mengecup manis pipinya. Air mataku sedikit menetes namun dengan lekas kuseka.

Aku sayang kamu, Lidya.
Maafin aku.
Itulah yang sebenarnya ingin kuucapkan, hanya saja bukan dia yang saat ini di depanku, melainkan Ayu.

Kami pun bercinta dengan penuh gairah kala itu. Setiap kali Ayu memompa tubuhku, setiap kali pula bayangan Lidya menghantui benakku.

Aku orgasme beberapa kali di buat Ayu, sampai akhirnya lemas tak berdaya. Ayu pun berjalan menuju diriku yang terkapar tak berdaya. Dengan masing-masing dua jarinya dia membuka lubang memeknya lalu mengucurkan semua air mani yang ada di dalamnya ke wajahku, setelah semua terkuras habis air kencing pun ikut mengalir dan dicipratinya wajahku hingga basah seluruhnya.

Ah~ perasaan nostalgia ini begitu kental, mengingatkanku pada sosok Lidya.

Aku pun terlelap, kelelahan, bersama dengan fantasi indahku, kurasakan musik CD di malam itu kembali berputar di kepalaku.

Lid, aku ingin kamu.
Saat ini aku benar-benar perlu kamu.



Ayu Sofia Filayeti


Saat Adzan Maghrib berkumandang di senja kala itu, aku tak bergerak sedikitpun karena kelelahan. Aku sempat mandi dan mengganti sprei, namun kelihatannya itu sudah energi terakhirku. Kurasa ini kali pertama aku meninggalkan shalat setelah sekian lama.

Saat aku bangun, Ayu sudah tak ada lagi di sampingku. Aku pun bangun dari ranjang dan mengenakan celana bokser lalu keluar kamar dan menuruni tangga. Belum sempat memasuki dapur, kakiku reflek mengerem saat melihat Ayu tengah mengintip kamar Pak Danang.

Adrenalin seolah terpacu dalam nadiku ketika melihat istriku memainkan vaginanya di depan kamar Pak Danang. Lekas aku kembali menaiki tangga dan masuk ke kamarku kembali.

Kubuka aplikasi CCTV rumahku lewat ponselku lalu kusorot layarku menjadi layar penuh pada kamera di kamar pembantu.
Terlihat Pak Danang tengah mengokang batangnya menggunakan sepotong kain, kuperhatikan lebih jelas lagi rupanya itu adalah celana dalam yang sempat dia lucuti di malam pria itu ingin menyetubuhi istriku.

Batang kejantananku pun menegang melihat istriku memasuki kamar Pak Danang di tengah kegiatan amoralnya sehingga Pak Danang pun memuncratkan cairan maninya sampai ke wajah Ayu.

"Ssshhhh .... Hhhhh .... Hhhhhhh ...." Aku mengocok penisku melihat adegan demi adegan panas yang mereka berdua lakukan.

Pria tua itu melecehkan setiap lekuk tubuh istriku yang terbalut gamis dan ditutupi oleh hijab. Ayu, orang yang terkenal alim sepanjang hidupku, kini membiarkan dirinya dijamah lelaki lain yang bukan mahromnya.

"Brengsek .... Bajingan kalian ...." ucapku gemas sambil terus mengocok batangku, dadaku begitu panas, marah, kesal, cemburu, bercampur baur dalam relung dadaku, tetapi birahi juga membakar habis tubuhku, menikmati adegan pelecehan ini.

Mereka berciuman dengan panasnya, Ayu bahkan sampai mendeepthroat benda milik Pak Danang yang membuatku bergidik seketika. Perlakuannya yang begitu kasar pada Ayu membuat libidoku semakin menjadi-jadi.

"Ohhhh .... Ohhhhnnnn terus pakkk .... Terusss .... Zinahi akhwat lonte itu ...." erangku dengan penuh nafsu sambil mempercepat kocokanku.

Dia mengangkat Ayu ke atas ranjangnya dan menyantap setiap lekuk tubuhnya. Saat pria itu mengarahkan batang perkasa miliknya ke liang senggama istriku, aku merintih ngilu dan mengerang nikmat lalu memuncratkan air maniku kembali di sprei. Aku mendesah tak berdaya melihat Pak Danang tengah memompa istriku, memberinya kepuasan yang tak bisa kuberikan pada Ayu.

Rasanya akal sehatku kembali saat birahiku sudah terlampiaskan dan harus kuakui, lubang di dadaku terasa amat menyakitkan saat wanita yang kumiliki digagahi oleh pria lain di rumahku sendiri.

"Anjing," umpatku, aku pun menutupi sekujur tubuhku dengan selimut dan menangis tak berdaya, disebabkan kelemahanku.

Keesokan paginya aku terbangun dengan buru-buru karena pekerjaanku mengharuskanku untuk meeting di luar kota, lebih tepatnya perwakilan kantor cabang kami harus melakukan pertemuan tatap muka dengan pemimpin di kantor pusat. Tentunya ini semakin membuatku was-was karena aku akan meninggalkan Ayu dan Pak Danang berduaan di rumah.

Dan benar saja, mereka menggila sepeninggalku.

Lewat CCTV tersembunyi aku memandangi mereka yang berhubungan seksual di seluruh penjuru rumah bahkan di kamar tempat tidurku. Aku menelpon Ayu beberapa kali namun istriku tak mengangkatnya. Di kamar hotelku aku hanya bisa mengocok batang kejantananku sambil menangis memandangi layar.

Aku terluka, namun aku juga menikmatinya di saat yang bersamaan. Ini sungguh perasaan yang rumit.

"Halo, Rian?" tanya Lidya di ujung telepon.

"Lid," panggilku dengan suara serak.

"Rian? Kenapa, Yan? Ada apa?" tanya Lidya dengan nada khawatir.

"Ayu .... sama kamu 'kah? Dia ngga angkat teleponku. Bisa bantu hubungi dia? Atau cek-cek ke rumahnya gitu?" pintaku sambil meringis. Aku tahu Ayu tidak bersama Lidya saat ini, yang kuperlukan adalah Lidya membantuku menghentikan semua ini detik ini juga dan datang ke rumah kami.

"Duh, Ayu ngga ada sama aku nih, Yan. Kalau ke rumah aku belum bisa, Yan. Maaf. Udah jam segini ngga mungkin aku dibolehin suamiku keluar lagi. Nanti biar aku telepon dulu ya, Yan," pinta Lidya.

"Iya," jawabku singkat sambil menutup teleponnya.

Sial! Sial! Sial! Sial! Sial! Sial! Sial! Sial!

Aku ingin berteriak sekencang yang kubisa. Semua perasaan ini benar-benar membunuhku dari dalam. Rasa kesal karena tidak mampu berbuat apa-apa, bahkan hinanya lagi aku bermasturbasi sambil melihat adegan live mereka.

Aku hancur perlahan.

Hingga waktu Subuh tiba aku tak kunjung tidur. Kucek lagi kamera CCTV lewat aplikasi di hapeku dan mendapati keduanya sudah selesai meluapkan perzinahan mereka di rumahku.

Kucoba telepon lagi Ayu dengan VideoCall lalu dia pun mengangkatnya.

"Ay, kok ngga diangkat, daritadi kemana aja?" tanyaku.

"A-A-Anu mas .... tadi Ayu sibuk bersih-bersih rumah, terus lupa naruh hape di mana .... jadinya ngga keangkat teleponnya. Em eh ini baru aja ketemu mas," balasnya.

Dasar akhwat lacur.
Kau pikir aku tidak tahu seharian kau menjadi perek Pak Danang, raungku dalam hati.

"Oh," jawabku singkat.

"J-Jangan marah, Mas. Ayu teledor. Maafin Ayu, Mas," lanjutnya sambil tersenyum kecut.

"Aku sampai nelpon Lidya loh, katanya dia ngga sama kamu. Kukira kamu kenapa-kenapa," balasku sedikit kesal.

"Maaf Mas, Ayu minta maaf," jawabnya.

Maaf? Setelah kau jual dirimu dengan murahnya kau minta maaf? Kau gadaikan semua norma agamamu untuk nafsu binatangmu lalu dengan mudahnya kau minta maaf? Hatiku berteriak lagi.

Namun amarahku teredam seketika saat kulihat air mata menetes membasahi pipinya saat memandangi wajahku di layar.

"Cepat pulang Masss, Ayu kangen sama Mas," ucapnya serak.

Aku menggigit bibir bawahku, mengapa aku dengan mudahnya luluh setelah dia mengkhianatiku, umpatku dalam hati.

"Udah Ay, udah, jangan nangis lagi, besok aku pulang kok," jawabku menenangkannya.

Dia pun berhenti menangis mesti masih sedikit sesengukan.

"Ya udah, mandi dulu sana, bentar lagi Subuh lo Ay, siap siap Shalat."

"Iya mas."

Pikiranku berkecamuk. Kepada siapa sebenarnya aku marah? Kepada Ayu? Pak Danang? Atau kepada diriku sendiri? Kemana semua emosi ini harus kutumpahkan? Mengapa kami berakhir seperti ini?

"Yan, woi, Rian! Itu tas koper diambil, malah ngelamun!" ucap rekan kantorku.

"E-Eh, sori sori," jawabku sambil mengambil tasku dari conveyor bandara.

Di dalam mobil aku hanya melamun. Aku dan Pak Danang sesekali bertukar pandangan lewat kaca supir namun lekas kualihkan kembali pandanganku ke jendela.

Dalam sunyi, Iblis pun mulai berbisik dalam sanubariku. Semenjak aku menikahi Ayu, aku tak pernah selingkuh darinya. Betapapun brengseknya aku di masa lalu, betapapun aku ingin bersama Lidya setelah menemukannya lagi, tetapi aku tetap menjaga tali pernikahanku.

Lantas, bukankah ini semua salah Ayu? Ya, ini sungguh salah Ayu. Wanita itu tak bisa menjaga hati dan tubuhnya untuk suaminya, malah melacurkan tubuh alimnya secara cuma-cuma pada pria lain.

Terasa gemuruh dalam dadaku saat tiba di rumah. Aku tidak akan menceraikannya. Akan tetapi aku ingin dia mengakui dia selingkuh, aku ingin dia mengakui dia jatuh pada hawa nafsunya dan meminta maaf. Sesimpel itu saja.

Aku duduk di ruang tamu, menunggu dengan sabar. Wanita itu pun datang mengendarai motor membawa sebuah kotak yang dibungkus plastik.

"Mas Rian," panggilnya.

"Ada yang ingin aku omongin Ay," ucapku berat seraya berdiri dari kursiku.

"Ada apa mas? Apa ngga bisa sambil duduk ngomongnya?" tanyanya sedikit bergetar memandangku.

"Kamu ngga merasa, udah ngelakuin kesalahan sama aku, Ay?" tanyaku, dia hanya diam.

"Aku ngga ngerti, Mas?"

"Lihat aku dan jawab. Kamu kesalahan apa ngga?" potongku.

Sialan Ayu, apa susahnya mengakui kamu udah selingkuhin aku, teriakku dalam hati.

"Ya aku ngga ngerti Mas, salahku tuh dimana?" jawabnya serak.

"Kamu pikir aku ngga tahu, apa yang kamu perbuat sama Pak Danang di rumah? Selama ini aku diam, tapi semakin lama kubiarin semakin aku gerah sama kalian berdua?"

Dengan ringannya terucap juga kalimat itu dari mulutku.

"Kamu tahu darimana?" tanyanya sedikit meringis

Aku tak mampu menjawabnya, bagaimana caranya aku menjelaskan padanya bahwa selama ini aku memasang CCTV tersembunyi di seluruh rumah ini, sebuah hal yang selama ini tak pernah kusampaikan jujur padanya. Kalaupun kujawab aku pasang CCTV, jawaban apa lagi yang harus kuberikan padanya jika dia marah karena aku menyembunyikan hal ini darinya.

"Mas, sekarang kamu yang jawab dan lihat aku. Siapa yang ngasih tahu kamu?" tanyanya lagi dengan suara serak.

"Ngga penting aku tahu dari siapa, yang pasti aku kecewa sama kamu. Kenapa Ay? Aku udah ngasih segalanya buat kamu, mulai dari aku ngga lagi maksa kamu ikut kajian rutin, aku ngga maksa kamu mau keluar harus didampingin, aku ngga pernah nuntut kamu harus kerja nyari duit. Semua sudah aku kasih, tapi kenapa kamu segampang itu ngebuang semuanya?" cecarku balik, semua emosiku bergemuruh tertumpah padanya.

"Kamu pikir aku bahagia sama kamu? Kamu ngga pernah ngertiin aku, boro-boro ngertiin muasin aku pakai modal kontol aja kamu ngga mampu. Kapan kamu terakhir kali bahagiain aku mas? Kapan kamu pernah ngajak aku jalan ngemall atau nonton? Kapan kamu pernah ngajak aku liburan? Kapan kamu pernah beliin sesuatu hadiah ke aku? Kapan kamu pernah ingat ulang tahun aku? Kapan mas?" balasnya balik setengah menangis.

Kami berdua terdiam. Aku tak mampu menjawab semua kata-katanya. Ya benar, dia benar.

"Aku tuh berusaha, Mas. Betapapun aku muaknya hidup sama kamu, aku bersabar nunggu kamu berubah. Tapi kenapa malah gini...." Ayu pun menyodorkan kotak yang dibawanya padaku.

Aku membuka kotak itu dan mendapati sebuah kue tart tiramisu kesukaanku bertuliskan ucapan selamat ulang tahun. Seketika itu pula hatiku teriris dibuatnya. Rasa bersalah muncul menghantui benakku. Aku lupa apakah aku pernah membahagiakan Ayu. Aku lupa memikirkan perasaan Ayu. Aku lupa selama ini wanita itu selalu berusaha membahagiakanku meskipun aku hanya menganggapnya sebagai pengganti Lidya.

Ay, maafin aku.
Maafin suamimu ini.

Aku mencoba meraih tangannya namun Ayu menepisku. Dia berjalan keluar rumah meninggalkanku yang masih terpaku dalam rasa bersalahku.

Aku lekas menyadarkan diriku kembali dan mengejarnya, namun sia-sia. Aku berdiri memegangi lututku yang terasa lemah.

Saat aku hanya memikirkan Lidya,
Saat aku hanya menginginkan Lidya,
Selama itu pula Ayu menungguku dengan penuh kesabaran.

Dia terus memberimu kesempatan namun aku mengacuhkannya.

Aku meringis, menangis menahan sakit.

Apa yang sudah kulakukan? Mengapa aku menyia-nyiakannya?

Di tengah rasa dukaku aku mengumpulkan sisa tenagaku dan bangkit. Kuambil kunci motor dan kupacu motorku. Aku tak tahu harus kemana, namun setidaknya aku harus berusaha mencari Ayu.

Kuawali dari butik milik Lidya.


Lidya Eka Wulandari


*KRING*

Setibanya aku di sana, Lidya terlihat tengah merapikan beberapa pakaian dengan buru-buru. Dia terlihat marah melihatku di depan pintunya namun tidak juga mengusirku.

"Lid, maaf. Aku kesini ngga ada maksud apa-apa. Cuman mau tanya apa Ayu tadi ada ke sini?" tanyaku.

"Iya, ada. Dia marah-marah sama aku di depan pelangganku terus keluar. Ngga tahu sekarang kemana," balasnya ketus tanpa memandang sedikitpun wajahku.

"Lid, maafin aku. Aku ada salah paham sama Ayu...."

"Kenapa sih, Yan? Kenapa harus aku yang ngasih tahu kamu kalau kamu harus gimana? Kenapa setiap kali Ayu curhat pasti masalahnya soal kamu? Aku tuh lelah, Rian!" potongnya cepat, mendampratku.

"Ayu berubah Lid," ucapku singkat, dia pun diam.

"Aku tahu ini salahku ngga dengerin dia, aku tahu ini salahku ngga ngertiin dia. Tapi dia selingkuhin aku," lanjutku.

Lidya pun diam, mengalihkan pandangannya. Air mukanya berubah sendu mendengar getaran dalam suaraku. Dia menunjukkan wajah yang sama denganku kini, sebuah tatapan yang dipenuhi dengan rasa bersalah.

Gerimis hujan perlahan turun mengurung kami dalam sunyi. Aku meneteskan air mata tak mampu menahan emosiku.

"Aku kangen kamu, Lid. Aku kangen kita. Aku ngga bisa cinta sama Ayu, aku pengennya kamu."

Aku tak mampu berkata apa-apa lagi, aku hanya memegang ujung baju tunik muslimnya hingga mata kami berdua pun berkaca-kaca.

"Rian!" ucapnya sambil mencengkram kerah kemejaku dan mengunci bibirku.

Begitu lama aku menantikan hari ini.
Pagutannya yang penuh nafsu sungguh membuai jiwaku, menarik nuansa masa lalu. Sentuhan kulit wajahnya terasa basah, kurasa dia menciumku sambil menangis. Meski begitu dia tetap tegar. Tak terlihat sedikitpun kelemahan meski dia menunjukkan sisi wanitanya di hadapanku.

Ditariknya aku ke ruang ganti dan kami pun melanjutkan ciuman penuh nafsu kami. Aku jatuh terduduk namun Lidya tak berhenti, dia menduduki pahaku dan lanjut memagut erat bibirku sambil mencengkram kerah bajuku.

"Lid, aku ...."

"Diam, Yan. Kamu nurut aja!"

Ya, meski tertutup hijab, dia masihlah Lidyaku yang dulu. Sosok wanita tangguh yang tak menuruti apapun keinginan pria lain. Duduk di kursi ratunya dan membuat semua pria bertekuk lutut di hadapannya.

Ditarik lepasnya kancing kemejaku hingga membuatku telanjang dada. Lidya mengulum puting kiriku dan mencubit puting kananku, membuatku mengaduh nikmat. Puas mempermainkanku dia pun berdiri di hadapanku dan menekan selangkangannya yang masih tertutup celana ke wajahku.

Aku pun paham keinginan ratuku ini, kujilat dan kuhisapi dengan penuh semangat selangkangannya hingga dia mendesah keras. Beruntung suara hujan deras meredam desahan kami di butik ini.

Lidya terus menggosokkan selangkangannya di wajahku hingga bisa kurasakan kini dia amat becek.

"Hhhhhh .... Hhhhnn ...." Dia tersengal-sengal sambil membuka celananya, mataku menatap nanar celana dalam Lidya yang putih kini berubah terang menerawang disebabkan beceknya cairan cintanya.

"Buka celanamu sambil bersihin punyaku," ucapnya.

Aku pun memajukan wajahku dan menjilati dengan penuh semangat celana dalam Lidya. Sesekali lidahku menyelip ke bibir liang senggamanya hingga dia melenguh nikmat.

Libidoku meluap-luap, aku bergegas menarik lepas celana berikut bokserku dan mengocok batang kejantanan yang sudah tegang. Namun melihat tingkahku, Lidya pun memundurkan tubuhnya dan menampar keras wajahku.

"Aku ngga nyuruh kamu coli, Yan? Kenapa kamu coli, hah?" tanya Lidya kasar.

"M-Maaf Lid," ucapku bergetar.

Diinjaknya batang penisku yang sudah tegang dan membuatku mengaduh. Rasanya sakit namun juga nikmat muncul di saat bersamaan. Kakinya yang lembut membuatku menggeliat tak berdaya, dia menggosokkan telapak kakinya dengan kasar pada batang penisku, membuatku menggelepar kesetanan.

"Aaah .... Ahhhh .... Liidddd .... Liddddd terushh Lidddd .... Ohhhh ...." Aku mendesah kuat dengan pandangan berkunang-kunang.

"Gimana rasanya, Yan? Sekarang kamu tahu apa yang Ayu rasain pas selingkuhin kamu, 'kan?" tanya Lidya sambil memperkuat injakannya.

"Ohhhhh .... Ohhh iya Lidddd .... Ohhh enakk .... Enak bangettt ...." Tubuhku yang sudah amat panas pun melenting, air maniku pun muncrat bak lahar panas hingga mengotori kaki Lidya.

Aku terengah-engah di lantai butik dengan pandangan setengah buram. Lidya mengarahkan kakinya yang berlumuran air mani ke mulutku dan aku pun menjilati kaki ratuku dengan penuh kepatuhan, kubersihkan kakinya yang telah memberkahiku dengan orgasme seolah aku hidup untuk memujanya.

Hujan berubah menjadi gerimis hingga akhirnya mereda.

Entah berapa lama dia memberiku jeda namun aku masih telanjang di lantai butik menikmati orgasmeku.

Lidya mengelap keringat di tubuh dan selangkangannya menggunakan baju kemejaku. Dia lalu mengambil celanaku dengan niat ingin menyingkirkannya, tetapi ponselku malah menggelontor jatuh ke lantai.

"Ssshh .... ngerepotin banget sih kamu Yan," umpatnya.

Lidya mengambil ponselku lalu tersenyum. Dia berjongkok di hadapanku yang masih tersengal-sengal lalu memperlihatkan sebuah foto di WhatsAppku.

"Rian, coba lihat deh, istri kamu lagi diapain."

Mataku menatap nanar layar ponselku melihat foto-foto erotis Ayu di sana. Api cemburu membakar dadaku bersama dengan birahi mengalir cepat di dalam nadiku.

Lidya pun melepaskan celana dalamnya yang basah dan bergerak menyisipkan tubuhnya di belakang tubuhku. Dengan setengah duduk aku bersandar pada tubuh Lidya dan dipaksa menatap sajian skandal istriku.

"Gimana, Yan? Apa yang kamu rasain saat ini?" bisik Lidya di dekat telingaku, Lidya membekap mulutku menggunakan celana dalamnya yang sudah basah sehingga aroma vaginanya pun menyeruak masuk dalam penciumanku.

"Ppp .... Pa .... Panashhh ...." desahku tertahan dalam bekapannya. Batang kejantananku kembali menegang dibuatnya.

"Kalau kamu mau jadi peliharaanku lagi. Aku mau ngasih ujian ke kamu, Rian ...." Lidya pun melemparkan celana dalamnya ke arah batangku yang sudah menegang

"Kamu ngga boleh cerai sama Ayu. Selama kamu masih jadi suami Ayu, aku dengan senang hati bakal jadi majikan kamu dan bikin kamu bahagia kayak dulu lagi."

Ucapan Lidya bagaikan pisau yang mengiris hatiku. Jika aku menceraikan Ayu, aku akan kehilangan Lidya, ratuku yang kupuja. Jika aku menuruti Lidya maka aku harus merelakan hidup yang kujalani akan hilang sepenuhnya, aku akan terus membiarkan Ayu selingkuh dengan Pak Danang betapapun memuakkannya hal itu.

"A-Aku ..... L-Lid .... A-Aku ...." Dengan terbata-bata dan meneteskan air mata, aku sungguh tak mampu menjawab permintaan Lidya.

"Kamu yakin, Yan? Kamu yakin ngga mau ngerasain jepitan memek aku lagi?" bisiknya dengan nada penuh menggoda yang membuatku mabuk kepayang.

Tentunya kalian tahu apa jawabanku, di tengah tekanan lautan birahi bagaimana aku bisa menolak tawarannya.

"Aku janji .... aku ngga bakal cerai sama Ayu."

Ya, ketika kata-kata itu terucap, resmi sudah bagiku. Aku sudah kehilangan hidupku. Jiwaku sudah kujual pada Lidya agar aku bisa menjadi miliknya dan merasakan kenikmatan itu lagi.

"Kalau gitu, buktiin ucapanmu sekarang Yan!" perintah Lidya, aku pun menurut.

Dengan menggunakan celana dalam Lidya yang basah aku mengocok batangku yang sudah menegak sempurna. Sementara tangan kiri Lidya memegangi ponsel, tangan kanannya mencubit keras putingku. Membuatku mengaduh.

Air mataku terus membasahi pipiku melihat istriku yang taat agama telah disetubuhi oleh supirku sendiri, pria yang kastanya sungguh jauh di bawahku. Namun tanganku tak bisa berhenti, aku terus mengocok menggunakan foto dan video cabul mereka sementara Lidya merangsang tubuhku.

"Aahhhh .... Ahhhhnnnn .... Aku mau keluar Liddd ...." lenguhku dengan nafas menderu.

"Keluarin Yan! Keluarin semuanya!" perintah Lidya.

Aku pun menyemburkan semua lahar putih itu kembali hingga membasahi celana dalam Lidya. Wajahku terasa panas, begitupula dengan penisku. Tetapi perasaan nikmat ini sungguh takkan bisa tergantikan dengan pelacur manapun.

"Mulai sekarang kamu milikku, Rian. Turuti setiap keinginanku karena mulai detik ini aku bakal latih kamu supaya pantas jadi peliharaanku," bisiknya di telingaku.

"Baik, Lid."

Kakinya tiba-tiba melingkar tubuhku dan menghentak selangkanganku dengan tumitnya, membuatku mengaduh.

"Lancang ya kamu manggil namaku. Panggil aku Nyonya, Yan! Mulai sekarang aku ini majikan kamu!" ucapnya kasar.

"Baik, Nyonya."



Ayu Sofia Filayeti


Di sisa hari itu hingga besok paginya aku dan Ayu tak berbicara sepatah kata pun. Kami bahkan pisah ranjang saat ini, dimana aku tidur di sofa, sementara Ayu tidur di kamar. Semua kulakukan atas perintah dari pemilikku agar mulai sekarang aku harus berhenti menyentuh tubuhnya.

"Makan dulu Mas," pinta Ayu namun aku tak mampu menjawabnya. Aku pergi membawa mobilku sendiri membiarkan istriku bersama pejantannya.

Hari demi hari silih berganti, seminggu berlalu, bahkan sebulan telah berlalu. Aku terus menemui majikanku di hotel tanpa sepengetahuan Ayu. Latihan demi latihan diberikan Lidya hingga aku merasakan kenikmatan yang hakiki tiap kali dia menyakitiku. Aku memesan wanita panggilan namun tak diperbolehkan menyentuhnya, aku hanya duduk di kursi hotel sambil mengocok batangku sementara Lidya menyetubuhi setiap pelacur yang kupesan dengan uangku. Tentu aku tidak perlu khawatir Ayu mengecek ponselku karena tanpa sepengetahuannya aku punya dua buah hape, yang satunya kukhususkan buat nafsu binatangku.

Frustrasi.
Aku bahkan ikut mabuk-mabukan bersama rekan kerjaku. Menyetir pulang dengan keadaan setengah sadar sungguh memacu adrenalinku.

Ketika tiba di rumah, aku tak terlalu mengingat apa yang terjadi, namun yang kutahu adalah aku terkapar di atas sofa dengan dibantu oleh Ayu.

Malam itu aku bermimpi, Ayu meminta izin agar disetubuhi oleh Pak Danang. Mereka bersetubuh dengan liarnya di seluruh rumah bahkan di hadapanku sendiri tanpa rasa malu, sementara aku hanya bisa mengocok batang kejantananku yang ukurannya sungguh tak bisa dibandingkan dengan milik Pak Danang.

Aku terangsang, sungguh horni rasanya melihat istriku disetubuhi oleh pejantan lain. Aku tak bisa berbuat apa-apa selain memandangi wajah Ayu yang terus mencapai kepuasan berulang-ulang.

"Uhhhh .... Hhhhh ....." Aku terbangun di pagi kala itu dengan keadaan pusing.

Setengah berlari aku menuju kamar mandi bawah dan memuntahkan isi perutku bekas minuman alkohol tadi malam.

"Ayu!" panggilku namun tak ada jawaban.

Seisi rumah kosong pagi ini. Lelah berjalan-jalan aku pun memutuskan untuk pergi ke dapur dan meminun segelas air putih. Aku pun kembali tiduran di sofa sambil mengistirahatkan kepalaku yang ingin pecah.

Dua .... kurasa lebih, mungkin sudah tiga bulan lamanya aku tidak menyentuh tubuh Ayu. Setelah Lidya menjadi majikanku, aku hanya bisa menjadi alat pemuas seks baginya, aku dilarang menerima kepuasan apapun untuk diriku sendiri.

Setiap kali aku pergi ke Hotel, kami memutar rekaman CCTV di rumah dan Lidya memerintahkanku untuk bermasturbasi menggunakan video skandal istriku sendiri. Jika aku berhasil orgasme maka dia akan memberkahiku dengan memperbolehkanku menjilati lubang senggamanya hingga Lidya orgasme.

Panas, cemburu, malu, dan nikmat melebur menjadi satu. Setiap frame perselingkuhan antara istriku dengan Pak Danang tersebar di seluruh rumah, mataku menatap nanar Ayu yang sudah berubah menjadi wanita binal berhijab. Di luar dia adalah sosok muslimah yang taat, namun di dalam tubuhnya dimiliki oleh Pak Danang.

Lalu aku, suaminya? Aku tidak melarang mereka.

Kugadaikan semuanya agar aku bisa meraih kenikmatan bersama majikanku, ratuku, pemilik tubuhku .... Lidya.

Perlahan rasa sakit di dadaku menghilang.
Aku kini menikmati istriku disetubuhi oleh pria lain. Aku bahkan memahami bahwa kodratku adalah mencari uang sementara pejantan lain lah yang bertugas untuk membuahi istriku.

Semua berkat Lidya.

Sepulang dari hotel aku kembali mabuk-mabukan, kali ini sendirian. Kupacu mobilku dengan setengah sadar agar merasakan suntikan adrenalin dalam darahku.

Hari itu aku kembali tiduran di sofa dan hanya bisa mengingat samar-samar apa yang terjadi selanjutnya.

Keesokan harinya aku bangun sedikit kesiangan. Tentu saja aku panik, karena lupa mengecek pesan dari pemilikku, Lidya. Kulihat Ayu sedang berada di dapur memasak makanan, aku pun sembunyi-sembunyi membalas pesan Lidya untuk mengatur kembali pertemuan kami malam ini.

Ketika Maghrib tiba aku pun mandi. Selesai membasuh tubuhku kudapati Ayu masih duduk santai menonton televisi. Aku pun bergegas naik mengganti pakaianku dan turun kembali.

"Ada kerjaan mendadak. Berangkat dulu," ucapku tanpa menunggu persetujuan Ayu

"Mmn," jawabnya singkat.

Kupacu mobilku menuju salah satu hotel berbintang di jantung ibukota. Ketika aku memasuki kamar dengan nomor 310. Tampak di hadapanku seorang wanita mengenakan gaun malam dengan begitu anggunnya menatapku dengan penuh kerendahan.


Lidya Eka Wulandari


"Udah kubilang jangan telat, 'kan? Kok telat!" ucap Lidya marah.

"M-Maaf Lid, a-aku...."

PLAK!

Sebuah tamparan keras bersarang di wajahku. Lidya mendorongku ke pintu lalu memagut kasar bibirku. Ditekannya bahuku lalu aku pun jatuh terduduk di depannya.

"Berani ya kamu manggil namaku!" ucapnya lagi dingin.

Aku yang bergidik mendengarnya pun jatuh dalam karismanya. Aku pun bersujud di hadapannya dan dengan lemah memohon ampun.

"Maaf, Nyonya. Maafin, saya."

Lidya mengangkat daguku dengan kakinya hingga kami bertukar pandangan. Dia tersenyum puas melihat kepatuhanku.

"Aku maafin, tapi kamu harus tetap dihukum ya, Rian."

Aku ditelanjangi dan diikat di ranjang hotel. Dia memakaikan gag ball sebagai penutup mulutku lalu mengenakan penutup mata padaku.

Dalam kegelapan aku merasakan rangsangan demi rangsangan dia berikan di putingku. Ibu jari kakinya menjalar di sekujur tubuhku lalu mencubit sedikit buah zakarku. Lidya pun turun dari ranjang lalu memasangkan sebuah benda di buah zakarku, rasanya sedikit sakit saat dia membetotnya, entah apa yang saat ini majikanku lakukan padaku.

"Mmmhhhh ...." ringisku tertahan, membuat ratuku tertawa puas.

Seketika sebuah getaran tiba-tiba muncul di bawah sana. Aku menggeliat bak cacing kepanasan dengan kondisi tangan dan kaki terikat. Rupanya dia menaruh vibrator di buah zakarku. Hukuman yang diberikan Lidya berupa rasa ngilu dan nikmat di saat yang bersamaan.

Sayangnya kenikmatan itu hanya sesaat. Samar-samar kudengar suara ketukan di pintu kamar kami hingga pemilikku pun pergi meninggalkanku.

Lama dibiarkannya aku dalam kegelapan hingga sayup-sayup kudengar langkah orang mendekat kembali ke arahku.

"Shaafa.... Yangh hatanggh.... Hid...."
(Siapa yang datang, Lid?)
ucapku di tengah sumpalan gag ball ini.

"Temen aku. Katanya mau lihat kamu udah sampai mana progressnya," jawab Lidya sambil mengecup dahiku.

Kurasakan sebuah kain mendarat di wajahku. Ah~ Aroma ini sungguh memabukkan. Ini adalah bau vagina dari Lidya. Setiap hari aku menjilatinya, setiap hari aku mengendusnya, hingga aku hafal betul rasanya. Aku dengan semangat mengendus kain itu, memberikan pertunjukan pada ratuku dan juga temannya.

"Enak Yan? Baunya?" tanya Lidya dengan nada menggoda.

"Emhnakk Mmphhshhhhh .... Hmmmmhhsshh...." jawabku sambil terus menghirup dalam-dalam aroma benda itu.

Samar-samar kurasakan aroma lubang surgawi Lidya terasa begitu dekat, aku memajukan wajahku namun baunya menjauh, saat aku menurunkan kepalaku lagi baunya kembali mendekat. Aku dibuat gila karenanya dan melenguh keras hingga akhirnya gumpalan daging itu pun mendarat juga di wajahku.

"Ahhhh... Shhhh hehhhh...." Terdengar suara Lidya mendesah nikmat menikmati servis mulutku, digesek-gesekkannya lubang vaginanya di mulutku seolah aku adalah tisu toilet pribadinya sementara kurasakan tangannya yang lain menekan-nekan batang milikku hingga menyentuh getaran vibrator.

"Mhhhhhh.... Hemmmhhhhh Mmphhsh ....." Aku mengerang tertahan. Selain karena rangsangan dari Lidya, fakta bahwa ada orang yang tengah menyaksikan permainan kami membuat birahiku meluap-luap.

"Nggghhhh Ahhhh bagusshhh Bagus Yanhh Terushhhh yaaaahhhh di situuu...." lenguh Lidya saat lidahku bermain di klitorisnya.

Rasanya penisku panas sekali, getaran vibrator ini benar-benar membuatku terasa sensitif. Kurasakan satu kecupan di ujung pangkalnya yang memicu ledakan spermaku hingga muncrat dengan keras.

Lidya mengangkat selangkangannya kembali hingga aku bisa menarik napas sebanyak-banyaknya sambil menikmati orgasmeku.

Kurasakan sebuah lendir mengalir memasuki mulutku, nyaris membuatku tersedak. Aku pun dengan cepat menelannya karena sadar cairan ini adalah lendir dari majikanku, Lidya. Kuminum sebanyak-banyaknya hingga dahaga selepas orgasmeku pun terpuaskan. Setelah itu Lidya pun melepaskan gag ball yang menutupi mulutku.

"Temenku mau bersihin peju kamu boleh ya Rian," bisiknya di samping telingaku.

"Boleh," jawabku namun sebuah tamparan keras kembali bersarang di pipiku.

"Kok gitu jawabnya, bukannya udah diajarin cara jawab yang bener?" tanya Lidya.

"S-Silahkan, Nyonya...." jawabku lemas, dan Lidya pun mencubit putingku membuatnya mengaduh nikmat.

Kurasakan tangan halus menyingkirkan vibrator itu dari buah zakarku. Dia menjilati seluruh cairan di batang penisku lalu mengocok-ngocok penisku yang sudah mengecil, satu ciuman didaratkannya pada batang penisku yang sontak membuatku melenguh nikmat.

Setelah itu aku dipaksa memuaskan Lidya dan temannya dengan keadaan mata tertutup. Aku tidak tahu apa, siapa, bagaimana, yang aku tahu adalah aku harus mematuhi perintah pemilikku saat ini.

Lidya menggenjot tubuhku dengan penuh semangat menikmati desahan demi desahan yang keluar dari mulutku.

"Ceritain sama temen aku Rianhhh..... Waktu kamu dikirimin video seks sama pembantu kamu .... Waktu kamu lihat istri kamu lagi dientot orang lain Apa yang kamu lakuin?!" desah Lidya di tengah genjotannya.

"S-Saya .... Ehhhh .... Saya ngocok Nyonyahhhh .... Saya coli pake video seks merekahhh...." rintihku keras.

"Terushhhh kenapa ngga kamu cerai istri kamu, Riann? Hehhh? Kenapa ngga kamu ceraiiii?" erang Lidya lagi sambil mempercepat genjotannya.

"Saya sukahhh istri saya dihajar kontol orangggg .... Ohhhh berkat Nyonyah .... Hhh hhhh hhhh uhhhh .... Saya sadarrr kodrat saya cuman buat nyari duit.... Hhh saya lebih suka lihat istri saya ohhhhh main sama laki-laki lain daripada sama saya ...." lenguhku lagi mendesah kesetanan.

Detik itu pula Lidya menarik penutup mataku, ketika aku sudah berada di depan gerbang kenikmatan. Saat aku menoleh ke samping, kudapati Ayu terikat di kursi dengan tatapan kosong dan berurai air mata dengan kondisi selangkangan banjir disebabkan tekanan vibrator.

"Ayuhhhhh .... Kenapa kamu disinihhhhhh .... Ohhhhh ...." Aku pun orgasme dengan keadaan shock saat aku mengetahui bahwa teman yang Lidya bawa ke kamar ini adalah istriku sendiri, Ayu.

Tubuhku melenting tak berdaya lalu menyemprotkan air mani secara membabi buta, sebelum akhirnya lemas.

Habis sudah semuanya.
Kini Ayu sudah tahu aku bukan hanya selingkuh darinya, namun dia melihat langsung betapa hinanya suaminya sekarang dipermainkan sahabatnya sendiri.

Air mataku menetes, mentalku terasa remuk sebelum berangsur-angsur hilang kesadaran.

Maaf, Ayu.
Aku, suamimu, sudah jadi milik Lidya.

;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;


BAB VIII : KONVERSI


Ayu Sofia Filayeti


Dengan terbungkus hijab dan gamis syar’i, aku mulai mengenakan masker dan menggeser layar aplikasi MOE TV itu. Beberapa kali kugeser hingga layar ponselku memperlihatkan wajah sekumpulan anak SMA yang kelihatannya tengah nongkrong.

“Halo,” ucap salah seorang dari mereka, aku hanya melambai.

Satu orang kelihatannya sedang bermain gitar, dua yang lain bernyanyi, sementara dia sendiri menatap layarku.

“Weh, ukhti cok, cakep kayaknya,” bisik temannya yang satu sesaat setelah melihatku.

“Namanya siapa, mas?” tanyaku.

“Fadli, mbak. Mbaknya siapa?” tanyanya balik.

“Ayu,” jawabku singkat.

“Oh, sendirian aja Mbak Ayu?” ucap Fadli dengan cengengesan.

“Ngga, sama majikan nih, mau persiapan malam jum’at,” balasku mengerling nakal.

“Jir lah, iya malam ini malam jum’at, Rip!” Dia menyenggol temannya yang sedang bermain gitar, mereka yang di belakangnya pun tertawa sambil lanjut bernyanyi.

Sayangnya suara berisik itu tiba-tiba redup saat batang kontol milik Pak Danang masuk ke layar ponselku. Seketika itu pula Fadli dan teman-temannya terpaku menatap layar. Mungkin mereka kaget melihat ukuran benda milik Pak Danang lalu lebih kaget lagi melihat wanita berhijab sepertiku sedang mengocok benda itu tanpa malu sedikitpun.

“Minggir cok, minggir! Gue juga mau lihat!”

“Ahhh, sana lu sana! Gue duluan disini, cok!”

“Njirlah, ukhti naughty banget!”

Remaja-remaja itu pun berdesakan di depan layar melihatku dengan tatapan penuh nafsu, membuat dadaku berdebar-debar—mereka semua terlihat ingin mendapat perlakuan yang sama dariku namun tidak mampu dan hanya bisa melihat aksiku di balik layar. Aku pun makin semangat untuk mengocok batang milik Pak Danang dengan bermandikan tatapan mesum dari remaja-remaja bau kencur itu.

“Duh, gue sange cok!”

“Sama, gue juga blok!”

Aku terkekeh kecil melihat tingkah mereka, kulepaskan maskerku dan kuoleskan batang kejantanan Pak Danang di bibirku sebelum kemudian kuoral benda itu. Aku tersenyum menatap wajah mupeng anak-anak itu yang tampak sesak melihatku.

“Gimana sayang, suka kontolnya?” tanya Pak Danang.

“Ssslrpphhhh …. Sslllrpphhhhh popphhhh …. Iya …. Suka …. Lebih gede dari punya Mas Rian,” jawabku sambil melepas oralku lalu menaruh batang hangat itu di pipiku.

Pak Danang yang sudah telanjang pun menaruh tubuhku di pangkuannya. Dia mulai meremas-remas dadaku yang masih ditutupi gamis dan dengan bangga mempertontonkannya pada publik—membuktikan bahwa akhwat seperti kami pun cepat atau lambat pasti bertekuk lutut pada batangnya yang perkasa.

“Hahhhh …. Sesek!” rintih Fadli yang kelihatannya terganggu dengan celananya, aku tertawa kecil melihat tingkah mereka yang sudah sama-sama sange namun tak mampu bermasturbasi karena malu dengan masing-masing, sebagian hanya mampu menggosok-gosok batang kontol kecil mereka dari luar celana sambil menikmati tayangan nakalku.

“Sshhhhhh … Duuhhhhh …. Enak bangetttt diremes terushhhh …. Buka aja ngga ya?” tanyaku.

“Buka mbakkkk!! Bukaaaa!!” teriak mereka dengan semangat, aku pun tertawa mendengarnya.

“Nakal ya kalian,” balasku sambil menarik lepas gamisku dengan bantuan dari Pak Danang.

Saat melihat kulit putihku yang masih tertutup beha dan celana dalam seketika itu pula semua remaja itu mendesis kesetanan. Siluet batang bau kencur itu tampak tegang dan membuat sesak celana mereka masing-masing.

Aku menjilat tipis bibir bawahku merasakan nikmatnya perasan demi perasan tangan Pak Danang di buah dadaku. Syahwat memenuhi relung dadaku, betapa bangga rasanya aku saat membayangkan mereka terangsang dibuat pejantanku. Tak ada lagi rasa malu. Sebuah perasaan baru muncul bak kembang api dalam tubuhku kala mempertontonkan auratku di hadapan orang lain.

"Jir gede banget cuk, kalah punya elu Ndri sama bapak itu."

"Boi, ngga disunat tuh, anjirlah!!!"

Kembali remaja-remaja itu mendesis kesetanan saat Pak Danang menarik lepas bra milikku. Aku memainkan bibirku menggoda anak-anak itu sambil menutupi dadaku dengan hijab yang masih kukenakan.

"Sssshhhhh .... Buka lagi mbakk!! Kasih kita intip dikit!!" pinta mereka menyemangatiku.

"Duh tadi udah keliatan cuk, dikit."

"Itu tuh mancung mancung tuh di hijabnya."

"Fad, gedein lah layarnya biar lebih jelas!"

"Eh, Eh, Eh, Kalian tuh ya. Ngga boleh tahu ngeliat ginian. Haram hukumnya!" balasku sambil memeletkan lidahku.

Pak Danang menarik lepas celana dalamku lalu mengendusnya dalam-dalam di depan kamera. Dia menatap remeh remaja-remaja itu lalu berkata, "Makanya dek, sering-sering ikut kajian, biar bisa dapet lonte syar'i macam gini."

Anak-anak itu terlihat kesal dengan ulah Pak Danang—selain usianya sudah renta, wajahnya pun jauh dari kata standar namun bisa mendapatkan akses dari setiap jengkal tubuhku.

Aku berbalik memeluk Pak Danang sehingga kini baik dada dan bayangan vaginaku hanya menghadap pejantanku, sedangkan anak-anak remaja itu hanya mendapatkan gambaran dari punggung putihku dan sedikit belahan pantatku.

"Pak, Ayu minta izin mau masukin kontol bapak. Memek Ayu udah gatal. Kontolin memek Ayu yak Pak," pintaku pada Pak Danang.

"Hahaha, siap Non. Kontol bapak bakal selalu siap buat menggaruk memek Non Ayu," jawab Pak Danang penuh kepuasan saat mendengar betapa patuhnya diriku padanya.

Pak Danang meludahi sedikit tangannya lalu memoles batang kejantanannya dengan air liurnya. Aku melebarkan lubang milikku lalu menurunkan pinggulku membiarkan batang hangat itu mendobrak masuk dalam liang surgawiku.

"Uhhhhhh .... Ssshhhhhh .... Gede pakkk .... Uhhhh ...." Tubuhku berkeringat menahan sakit saat leher kontol Pak Danang masuk sepertiganya, aku terhenti di sana tak mampu meneruskan sampai Pak Danang pun tak sabaran lalu menekan pinggulku dengan tangannya hingga batang kejantanan miliknya masuk sepenuhnya dan membentur mulut rahimku.

"Aaahhhkkkkkk!!!" Aku menjerit saat benda itu masuk, rasa sakit dan nikmat bercampur jadi satu, terlebih ketika benda itu memenuhi setiap sudut dari lubang vaginaku rasanya aku dibuat Pak Danang terbang ke surga.

Pak Danang meremas dada kiriku yang tersembunyi di balik hijabku sementara mulutnya menghisapi dada kananku dari luar kain. Dengan sengaja dia membasahi kain hijabku seolah ingin meninggalkan penanda di sana.

"Goyang, Non!" perintah Pak Danang.

Aku pun meringis menahan syahwatku yang menggebu-gebu saat menarik pinggulku dari batang miliknya. Seolah tak rela batang kontol Pak Danang keluar dari tubuhku, dengan cepat kuhentakkan kembali pinggulku hingga menghantam keras pahanya. Berulang-ulang kulakukan hal itu sampai pejantanku mengap-mengap kubuat. Kupeluk lehernya dengan penuh bahagia sambil terus fokus menggoyangkan pinggulku naik turun.

PLOK! PLOK! PLOK! PLOK! PLOK!

Suara persetubuhan kami bergema di seluruh ruangan, setiap kali kepala penisnya mencium titik khusus dalam lubang vaginaku, setiap kali pula sengatan listrik terasa mengalir menuju otakku.

Kuhiraukan fakta bahwa saat ini kami melakukannya dengan ditonton oleh orang lain. Aku tak peduli. Aku malah bangga dengan tubuhku yang dijadikan bahan pemuas nafsu mata mereka.

"Kalau nyari cewe lonte .... Hhhhh hhhhh .... Kalian ngga bakal dapat genjotan macam ginihhhh .... Uhhh yahhh .... Akhwat yang tertutup gini dek yang nafsunya lebih gede ...." terang Pak Danang, pada kamera.

Aku merangkul dan mencium bibir Pak Danang dalam puncak birahi. Kurasakan jilatan demi jilatan lidahnya menyapu langit-langit mulutku dan beradu dengan lidahku. Suara gemercak ciuman kami kini ikut mewarnai suara gempuran pantatku yang menghantam pahanya.

"Uhhhhh .... Bapak mau keluar Non!!!! Ahhhhh!!!!" Pak Danang menahan ketiakku sehingga batang itu pun terlepas dari tubuhku. Aku mendesah kecewa saat pejantanku lebih memilih mengeluarkan spermanya di luar ketimbang di dalam rahimku.
Pak Danang nampak muncrat dengan kuat beberapa kali, hingga cairan miliknya beberapa terpercik hingga ke layar ponselku. Setelah puas mengeluarkan semua spermanya, dia melonggarkan pegangannya di ketiakku hingga aku pun jatuh kembali di pangkuannya dengan napas tersengal-sengal.

"Bapak ahhhh .... kok keluarinnya di luar!" ucapku sedikit merajuk, dia pun tertawa sumringah mendengarku.

"Kalau Non segitu sayangnya sama peju bapak, bersihin dong!" jawabnya santai, aku mendengus kesal lalu turun dari pangkuannya dalam keadaan terengah-engah.
Kuambil kembali ponselku, nampaknya beberapa menit yang lalu akun MOE TV milikku dibanned dari sistem. Tidak heran sih, ini sudah kesekian kalinya aku dan Pak Danang bercinta di depan layar secara live.

Kujilati peju milik Pak Danang yang menempel di layar ponselku hingga bersih. Aku pun merangkak di lantai sambil menjilati percikan-percikan sperma pejantanku yang ada di karpet.

PLAK!

"Auhhhh!! Sakittt!!" rintihku saat Pak Danang menampar pantatku dengan gemas, aku merangkak ke arah lain sambil melenggok-lenggokkan pantatku menggoda Pak Danang agar dia kembali melakukan hal yang sama.

Setelah semua peju Pak Danang yang berceceran di lantai habis kubersihkan. Aku berdiri dan melangkah menuju kamar mandi diikuti dengan pejantanku. Tentu saja kami kembali bercinta dengan penuh gairah di dalam sana, merayakan hari dimana kehidupan membosankanku sudah resmi berakhir.



Keluar dari kamar mandi, aku dan Pak Danang pun mengenakan pakaian kami masing-masing. Saat aku mengenakan jilbabku, pejantanku tiba-tiba memeluk tubuhku dari belakang dan mencium pipiku dengan mesra.

“Pak Danang … Aaah~ Nanti Ayu mandi wajib lagi loh. Kapan bisa berangkat acara nanti,” erangku manja.

“Biarin, Non. Ngga usah mandi. Ngga usah pakai baju aja sekalian berangkatnya. Biar pakai jilbab aja cukup!” balas Pak Danang, aku bergidik panas membayangkannya, kira-kira apa jadinya kalau tubuh telanjangku dipandangi para ikhwan jamaah yang lain, pasti bakal seru.

“Udah ah, sarapan dulu sebelum berangkat!” Aku melepaskan diri dari cengkramannya dan berjalan menuju dapur diikuti pejantanku di belakang.


Lidya Eka Wulandari


“Duh, mesra banget ya, pagi-pagi. Udah kayak pengantin baru aja,” goda Kak Lidya yang duduk santai di meja makan, sementara Mas Rian—suamiku tengah memasakkan makanan buat kami.

Aku tersipu malu mendengarnya. “Kapan datangnya, kak?”

“Daritadi juga udah datang, kalian sih kelamaan genjot-genjotan di kamar mandi lalu ngga sadar. Untung Rian denger aku ketok-ketok pintu,” jawab Kak Lidya sambil meneguk kopi miliknya.

Pak Danang pun duduk di samping Kak Lidya, sementara aku berjongkok di bawah meja dan menarik celananya. Kuciumi batang tak bersunat itu lalu kumasukkan ke dalam mulutku, kudengar priaku melenguh tertahan saat menikmati servis mulutku sambil menunggu sarapan siap.

Awalnya Pak Danang merasa canggung aku melakukannya di depan Mas Rian dan Kak Lidya, namun seiring berjalannya waktu dia pun paham bahwa kami berdua sudah bukan diri kami yang dulu, semua telah berubah dan dia kini paham bahwa sosoknya adalah salah satu yang memegang kekuasaan di rumah ini.
“Udah lama loh aku ngga pernah makan masakan Rian lagi, bikin apa nih kali ini?” tanya Kak Lidya.

“Omelet sama coba masak udang saus tiram nih,” jawab Mas Rian.

“Wah, Enak tuh. Enak ‘kan ya Pak Danang masakannya?” tanya Kak Lidya.

“I-Iya Nonnhhhh …. Uhhhhh Enak bangettt …. Rasanya saya kayak di surga ….” jawab Pak Danang dengan napas berat.

Aku melepaskan servisan mulutku lalu menaruh batang hangat itu di pipiku dekat jilbabku, sementara tanganku mengocok pelan benda itu hingga tegak sempurna.

“Waduh, pantes Ayu sampai ketagihan. Gede juga punya kamu, Nang. Kalau ukuran segitu sih, cewe manapun yang kena tusuk bakalan kecuci bersih otaknya kamu buat,” lanjut Kak Lidya tertawa kecil.

“Hehe …. Makasih, Non,” sahut Pak Danang senang, aku yang berada di bawah meja pun tersenyum bangga saat batang perkasa milik pejantanku mendapat pengakuan dari Kak Lidya dan lanjut menghisapi buah zakarnya.

Mas Rian pun nampak menyelesaikan masakannya dan menyajikannya di atas meja. Dia kemudian lanjut berjongkok di bawah meja tepat di sampingku dan memasukkan kepalanya ke bawah gamis Kak Lidya. Dia menggigit celana dalam Kak Lidya—berusaha melepaskan kain segitiga itu tanpa menggunakan tangannya. Kak Lidya menangkat kedua kakinya hingga Mas Rian pun berhasil melepaskan celana dalamnya, suamiku pun lanjut menciumi selangkangan Kak Lidya dengan penuh gairah.

“Ssshhhh …. Huhhhhh …. Enak banget masakannya, Rian. Bakat memang kamu ini jadi suami rumah tangga …. Uhffff Ahhhh Yesssshhh …. Iyah, disitu terus ….” erang Kak Lidya di tengah suapannya.

“Iya nonnhh …. Uhhhhh …. Kalau saya …. Ohhh …. Jarang dimasakin kayak gini …. Sesekali doang …. Kalau bapak lagi di rumah, saya disuruh makan di luar ….” sahut Pak Danang yang juga merintih di tengah makan menikmati servisanku.

“Kamu ngga pernah dimasakin, Rian? Uhhhh …. Yessshhhh …. Waduhhh, gimana sih kamu, Yan? Ngga boleh gitu loh …. Biarpun dekil gini bisa muasin istri kamu loh …. Nanti sering-sering masakin Pak Danang ya, Rian …. Uhhhh ….” lanjut Kak Lidya sambil mendesis di tengah-tengah servisan Mas Rian.

“Siap, Nyonya!” jawab Mas Rian singkat sambil terus menjilati lubang Kak Lidya.

Tampak suara sendok jatuh disertai dengan paha Pak Danang yang menegang. Dipeganginya kepalaku yang berbalutkan jilbab lalu dipompanya seolah-olah mulutku hanyalah mainan pemuas nafsunya. Aku menepuk pahanya beberapa kali namun pejantanku itu menghiraukannya dan fokus mengejar kenikmatan duniawi yang disuguhkan mulut akhwatku.

“Ohhhhh …. Ohhhhh mantephhh nonnn ….” Pak Danang menekan dalam-dalam kepalaku hingga bibirku mencapai pangkal batang perkasanya dan menembakkan lahar panas miliknya di dalam tenggorokanku.

Rasanya lemas sekali karena udara kian menipis, aku batuk setiap kali menerima tembakan spermanya di kerongkonganku hingga sebagian dari peju Pak Danang keluar dari lubang hidungku.

“Fuahhhh …. Ohkk ohkk ohkkkk …. Hahhh hahhhh ….” Aku menarik napas lega saat Pak Danang akhirnya melepaskan pegangannya dari kepalaku, aku batuk beberapa kali hingga cairan kental milik Pak Danang berceceran sebagian di lantai.

“Ssshhhhhh …. Ohhh iyahhhh terus Yannnn …. Aku mau nyampeee …. Ahhhhhh ….” Kak Lidya ikut menegang, kedua pahanya menjepit erat kepala suamiku hingga tubuhnya bergetar beberapa kali dan disusul dengan rasa lemas setelahnya.

“Sshhhh …. Fuuuhhhh …. Lap pakai dalemanku, Yan!” perintah Kak Lidya, Mas Rian pun dengan patuh menyeka cairan-cairan bening di paha Kak Lidya memakai celana dalam wanita.

Aku menyeka sedikit cairan Pak Danang di ujung bibirku sebelum kemudian Kak Lidya nampak menyodorkan sebuah kain hitam padaku yang diambilnya dari dalam tasnya.

“Nih, Yu. Lap pakai itu aja!” ucap Kak Lidya, aku pun menurutinya dan mengelap sisa-sisa peju Pak Danang di lantai berikut sebagian di mulutku.

“Kain apaan ini, ‘kak?” tanyaku.

“Oh itu cadar. Habis ini kamu pake ya biar ngga digodain ama ikhwan-ikhwan nanti pas acara,” jawab Kak Lidya dengan santainya.

Darahku berdesir mendengar perintah Kak Lidya, kain ini baru saja kupakai untuk mengelap cairan pejantanku kini harus kupakai di ruang publik. Aku pun mulai mengenakan kain cadar itu lalu keluar dari bawah meja, saat aroma asing dari bekas peju Pak Danang memasuki indera penciumanku seketika itu pula syahwat serasa memenuhi tubuhku.

Sementara pejantanku kenyang dengan makanan buatan suamiku, aku kenyang sarapan peju darinya, sungguh kegiatan di pagi hari yang sangat membahagiakan.

“Acaranya hari ini dimana Lid?” tanya Mas Rian yang ikut keluar dari bawah meja.

“Katanya sih di Aula kampus gitu, Institut Informatika & Bisnis. Kebetulan kemaren pas ada temen juga nawarin, yaudah aku ikut aja.” Kak Lidya mengangkat sebelah kakinya sementara Mas Rian memakaikan kembali celana dalam Kak Lidya yang sudah basah kepada wanita itu.

“Rian sama Pak Danang ikut aja, kita double date gitu sesekali,” tawar Kak Lidya, keduanya pun saling memandang satu sama lain, tentu saja mustahil menolak kalau Kak Lidya sudah punya keinginan.

Kami berempat pun berangkat dalam satu mobil. Sementara Pak Danang dan aku saling meremas tubuh masing-masing di kursi belakang, Kak Lidya mengocok batang kecil milik Mas Rian yang tengah menyetir. Kulihat keringat di matanya mengalir saat kami bertukar pandang di kaca supir, namun aku hanya tertawa remeh. Dasar pecundang, umpatku dalam hati.

“Ahhhhh ….” Aku mendesah nikmat saat kedua tangan Pak Danang memainkan ujung putingku dari luar gamisku, tangannya kemudian merayap menuju kain cadarku, ditekannya keras hingga kain itu menempel erat di hidung dan mulutku hingga aroma peju miliknya yang sudah mengering menusuk masuk dalam penciumanku.

“Hmmmhhhh!!” Aku menjerit tertahan dalam kenikmatan, mataku berkaca-kaca didera siksa dan nikmat birahi disaat bersamaan.
Sayangnya mobil Mas Rian tiba-tiba melambat karena kami sudah tiba di tempat tujuan. Mas Rian masuk ke area parkiran dan memarkirkan mobilnya dengan sisa tenaganya. Dia terengah-engah di kursi sambil bersandar di pintu mobil.
Kak Lidya mengelap cairan Mas Rian di baju lelaki itu hingga tangannya bersih kembali sebelum membuka pintu dan keluar bersamaan denganku.

“Bentar, bentar, pasang ini dulu.” Kak Lidya berhenti dan merogoh tasnya.

Aku terkejut melihat Kak Lidya ternyata membawa vibrator dan satu buah dildo. Dia kemudian berjongkok di depanku lalu mencoba memasangkan vibrator berbentuk telur itu di dalam liang senggamaku.

“Ahhhh …. Kakkk …. Ayu mau diapain!” Aku menjerit tertahan, tubuhku bergetar sehingga benda itu pun lepas sebelum terpasang masuk.

“Duh lepas ‘kan! Danang bantu pegangin sini!” perintah Kak Lidya, sehingga Pak Danang pun dengan sigap turun dari mobil lalu memegangi tubuhku.

“Geli kakkkhhh …. Aduhhhh …. Kakkk Ayu ngga tahaannnn ….” ucapku terus menggeleng saat benda berbentuk telur itu masuk ke dalam lubang vaginaku dan bergetar lembut di sana.

Beruntung celana dalamku sedikit banyak menahan benda itu hingga tidak keluar lagi, Kak Lidya dengan sigap melilitkan kabel benda itu melingkar di pahaku sehingga kini hasil karyanya pun selesai sudah.

Aku duduk berjongkok melepaskan diri dari Pak Danang sambil menahan getaran di selangkanganku. Memang hanya bergetar kecil bak settingan nada dering ponsel, namun karena terjadi terus menerus aku jadi panas juga dibuatnya.

Selagi aku berjongkok menahan geli yang menjalar hingga ke perutku aku disuguhkan dengan pemandangan erotis dimana seorang akwat berjilbab tengah mencolokkan dildo yang ukuran cukup besar ke dalam liang vaginanya sendiri. Kak Lidya tampak menahan lenguhannya sekuat mungkin saat benda itu masuk seluruhnya ke dalam lubang senggama miliknya. Celana dalamnya dia gunakan sebagai penahan agar benda itu tak jatuh, sebelum kemudian menghidupkan mode getar dildo tersebut dan mengikatkan kabelnya di pahanya. Kak Lidya pun menurunkan gamisnya yang sukses menutupi tingkah binatangnya saat ini.

“Yuk, kita masuk. Udah siap semua nih,” ucap Kak Lidya.

“Mana bisa gerak kak kalau kayak gini,” balasku lemah.

“Aduh, kamu ini, Yu. Nanti juga terbiasa kok. Kakak tiap kali ikut kajian pun juga kayak gini,” jawab Kak Lidya yang sontak membuatku bak tersambar petir. Jadi, selama ini dibalik gamis Kak Lidya tersembunyi hal sebejat ini? Dan dia melakukannya di tengah orang banyak tepat saat ceramah agama pula? Ya ampun, sejauh apa aku ingin dirusaknya pikirku.

Dengan tarikan tangan Kak Lidya aku berusaha berdiri, aku bisa berjalan meski agak tertatih. Kucoba membiasakan diri dengan getaran di celanaku agar tak ada yang curiga kelakuan bejatku saat ini.

“Assalammualaikum, Lidyaa!!”

“Waalaikumussalam, Ukhti Niaa!!”

Kelihatannya Kak Lidya berpelukan dengan salah satu kenalannya. Mereka tampak bercendikia dengan santainya. Andaikan perempuan bercadar itu tahu apa yang ada dibalik gamis Kak Lidya apakah dia masih akan memeluknya dengan perasaan yang sama, pikirku.

“Ya ampun, sendirian aja, ukh? Suami kemana?” tanyanya.

“Lagi kusuruh jaga anak di rumah. Aku bareng sama temen ni, ukh!” jawab Kak Lidya sambil menarikku mendekat.

“Salam kenal, ya ukhti. Nama ana, Nia. Ana temen Lidya yang ngajakin kesini kemarin.” Dia menjulurkan tangannya padaku.

“S-S-Salam kenal, ukh …. A-Ana Ayu …. Ohhhh ….” Aku mengaduh hingga tanganku sedikit terpeleset saat ingin menyalami Kak Nia.

“Astagfirullah, kenapa ukh? Ukhti sakit?” tanyanya dengan nada khawatir.

“A-Anu, ukh …. S-Saya lagi ada isinya ….” balasku sambil menyambut tangannya.

“Alhamdulillah! Syukurlah kalau udah ada isinya. Yang pertama ya, ukh? Atau yang kedua?” tanya Kak Nia.

“Y-Yang pertama kali,” balasku menahan keringat.

“Ya ampun, kuat banget niatnya ukh, sambil lelah mengandung tetap menghadiri kajian. Semoga lancar sampai lahiran ya, ukhti.” Kak Nia menyambut tanganku dan aku tertawa hambar mendengarnya sambil menikmati getaran vibrator di lubang senggamaku.

Ceramah kali ini diisi oleh salah satu Ustadzah Oki yang namanya cukup kondang di telinga kami, sehingga Aula tempat kami sekarang sebentar saja sudah cukup penuh disebabkan antusiasme para ukhti dan ikhwan suami mereka yang menemani.

Selagi aku duduk gelisah di kursi, Kak Lidya tampak dengan tenang bertukar cakap dengan teman-teman yang lain. Aku kagum dengan air muka Kak Lidya yang tampak tak ubah sedikitpun padahal dildo kini tengah menancap dan bergetar di selangkangannya, sementara aku sudah kelojotan menahan nikmat padahal acara saja belum dimulai.

Saat Ustadzah Oki memulai ceramahnya semua tampak dengan antusias mendengarkan, bahkan yang main hape hanya sebentar sekadar mengecek pesan lalu menaruh lagi ponselnya ke dalam tas.

“Sampaikan sama suami-suaminya bu. Jagalah pandangan kalau sama wanita di luar. Kalau melihat wanita di luar cepat-cepat pulang ke rumah karena sama aja bu, yang ada di wanita luar sama yang di rumah itu sama. Jangan sampai suami-suami kita jatuh ke ladang zinah. Lalu kita pun sebagai istri harus selalu siap melayani suami, kapan perlu suami kita belum minta kita yang minta duluan ya bu,” terang Ustadzah Oki panjang lebar.

Sedangkan apa yang didakwahkannya hanya sebagian yang masuk dalam kepalaku. Yang ada dalam gendang telingaku adalah zinah, zinah, dan zinah, selebihnya keluar telinga kanan. Aku tersenyum dibalik cadarku, sementara tangan kananku menekan selangkanganku, tangan kiriku menekan cadarku hingga aroma peju Pak Danang yang begitu kuat masuk dalam lubang hidungku. Kuhirup kuat-kuat seolah itu adalah narkoba pribadiku lalu aku bersandar puas di kursi menikmati surga dunia ini.

Tubuhku bergidik berandai-andai, jika para akhwat ini sedang melihat aku tengah berbuat segila ini di tengah ceramah. Apa yang ada dalam pikiran mereka? Pasti semua berpikir yang tidak-tidak pada wanita sepertiku. Ya, itu hak mereka, yang aku tahu jika kontol Pak Danang sudah mengaduk-aduk memek mereka, sealim apapun pasti bakalan bertekuk lutut juga di hadapan pejantanku.

“Sssshhhhh …. Uhhhhh ….” Kak Lidya menghela napas berat, kelihatannya seiring berjalannya waktu wanita itu menampakkan kelemahannya juga.

“Ada apa, ukhti?” tanya temannya.

“Afwan ukh, ana sakit perut. Tadi minum minuman bersoda sebelum kesini,” jawab Kak Lidya.

“Ya ampun, kalau sama-sama ngga kuat biar ana antar ke UKS dulu, ukhti. Ana takut antum berdua jatuh pingsan di sini,” balas Kak Nia dengan nada khawatir.

“Ng-Ngga apa-apa ukh. Jarang-jarang Ustadzah Oki ‘kan datang kesini. A-Ana mau ikut sampai selesai,” balasku menahan tangan Kak Nia.

“Masyaallah, ana kagum sama semangat antum berdua, ukh. Walaupun badan lemah tapi tetap semangat ikut kajian agama. Harus banyak-banyak belajar dari kalian,” sahut Kak Nia gembira dan sontak membuatku tertawa kecil mendengarnya.

Benar, ukh. Harus belajar dari kami biar paham jadi lonte syariah itu gimana, gumamku dalam hati.

Saat acara kajian selesai kami berpamitan dengan teman-teman Kak Lidya. Aku kagum melihat mereka yang sebagian besar berpakaian lebar serta bercadar sehingga nampak begitu tertutup layaknya wanita arab. Namun siapa yang tahu, dibalik pakaian lebar itu tersembunyi nafsu binatang yang menggebu-gebu ‘kan, gumamku dalam hati.

Aku berjalan terhuyung-huyung hingga sampai di parkir tempat Pak Danang dan Mas Rian menunggu kami, disusul dengan Kak Lidya di belakangku. Aku hanya mampu berjongkok di pinggir pintu mobil, tertelungkup menahan getaran vibrator di vaginaku.

Kak Lidya pun mengangkat gamisnya sambil berdiri dan menarik keluar dildo yang masih bergetar dari selangkangannya. Madu cinta Kak Lidya tampak membasahi batang besar itu dari ujung kepala hingga pangkalnya, Kak Lidya mengibasnya beberapa kali sebelum memasukkannya dalam tas.

Tak berhenti sampai di situ, dia bahkan kencing sambil berdiri di area parkir itu menghiraukan orang mungkin bisa memergoki perbuatan amoral kami disini.

“Sshhhhh …. Huhhhh legaaaaa …. Ngga dilepas Yu? Sekalian aja kencing di sini biar tuntas,” ucap Kak Lidya yang kemudian mengelap lubangnya yang basah dengan selembar tisu.
Aku pun berdiri dengan sisa tenagaku dan memiringkan sedikit celana dalamku.

PLOPH!

Terdengar suara vibrator yang keluar dari lubang basahku lalu jatuh dan bergetar hebat di tanah. Aku pun lanjut kencing di parkir sambil berdiri sama seperti Kak Lidya. Sayangnya—

“Afwan ukh, ini tadi jatu—Astagfirullah!!” ucapnya kaget.

Aku menoleh ke samping dan mendapati seorang pria berdiri di hadapan kami sambil memegangi tiket parkir. Dia menatapku yang sedang kencing sambil berdiri. Aku tak mampu berteriak saking syoknya, aku hanya memandangi wajahnya dengan mata berkaca-kaca. Aku tak bisa berhenti kencing, air seniku mengalir dengan begitu derasnya di tanah parkiran hingga vaginaku berkedut beberapa kali tanda selesai.

“Ada apa, akhi?” tanya Kak Lidya yang lekas maju menutupiku.

“I-Ini toket …. T-Tiket maksud saya, ukh. Jatuh tadi pas ukhti di depan gerbang,” balasnya gelagapan.

“Alhamdulillah, syukron ya akhi. Untung diambilin. Jazakallah, akhi!” jawab Kak Lidya, pria itu pun dengan linglung berjalan menjauh.

Aku masuk ke mobil dengan keadaan tak berdaya. Kak Lidya tertawa terbahak-bahak menceritakan kembali momen dimana aku dan pria itu sama-sama terpaku dengan diri masing-masing. Pak Danang mengelus-elus pundakku menenangkanku sementara Mas Rian—

Ya, pria itu hanya diam tak berdaya melihat istrinya dipermalukan di hadapannya.



Ayu Sofia Filayeti


Kami baru tiba di rumah saat sore menjelang. Aku turun dari mobil diikuti dengan Pak Danang yang menampar nakal pantatku dari luar gamisku, tanpa peduli ada Mas Rian di sana.

"Aku pulang bentar ya, mau izin nginep sekalian ngasih jatah ama suamiku. Nanti malem balik lagi," ucap Kak Lidya.

"Biar aku anter, Lid." Mas Rian bergegas menarik keluar motor matic-nya dari garasi.

"Duh, jadi ngerepotin nih. Makasih dulu ya, Rian. Ayu baik-baik di rumah ya," jawab Kak Lidya.

Aku membalas pelukan hangat wanita itu. Kak Lidya mencium dahiku, membuatku tersipu, sebelum akhirnya naik motor Mas Rian.

Kini hanya tersisa aku dan Pak Danang di rumah.

Selagi pejantanku istirahat di sofa sambil menonton televisi, aku makan di bawah kakinya dengan mangkuk makanan kucing kami—Icha. Kini seperti inilah caraku makan. Aku tidak lagi diperbolehkan duduk di meja makan karena itu dinilai setara dengan majikanku. Aku hanya boleh makan di lantai dengan merangkak bak hewan pada umumnya.

TOK! TOK! TOK!

"Assalammualaikum, Nang! Danang! Ini Dirman, Nang!"

Aku dan Pak Dirman menoleh ke arah pintu, tampaknya ada tamu yang datang. Aku menyeka nasi di bibir dan pipiku lalu berjalan mengekor di belakang Pak Danang.

Sesampainya di depan pintu, aku bertemu dengan wajah yang cukup familiar. Itu adalah Kang Dirman, teman Pak Danang yang pernah kuoral dulu saat dipaksa sedekah subuh oleh pejantanku.

"Jadi 'kah kita mancing? Aku dah izin sama Surti nih, dah siap semuanya." Kang Dirman nampak semangat memperlihatkan joran pancing miliknya.

"Oalah, masuk dulu pak, biar saya jelasin," pinta Pak Danang.

"Permisi, Bu Ayu." Kang Dirman dengan sopan membungkuk di hadapanku sebelum masuk.

Keduanya pun duduk di ruang tamu sementara aku bergegas menyiapkan air minum untuk mereka.

"Jadi begini loh, Kang. Saya itu pura-pura aja mau ngajakin mancing, biar istri Kang Dirman ngga nyari-nyari. Sebenernya saya mau minta temenin di rumah sini loh," ucap Pak Danang selagi aku menyodorkan minuman pada keduanya.

"Temenin, maksudnya gimana, Nang? Aku ndak paham," sahut Kang Dirman sambil menyeruput kopi buatanku.

"Ini loh, Kang. Kemaren 'kan sudah saya kenalkan sama Akang," lanjut Pak Danang sambil menyodorkan tangannya, aku pun paham dan langsung mendekat lalu berjongkok di paha Pak Danang, lalu menarik celana pejantanku itu dan mengoralnya, seketika itu pula terdengar suara Kang Dirman yang tersedak minumannya sendiri.

"Astagfirullah, Nang. Jadi .... peliharaanmu katamu kemaren itu .... Bu Ayu, Nang?" tanya Kang Dirman tak percaya.

"Iya, Kang, heheh ...." Pak Danang tertawa santai menjawabnya sambil mengelus-elus puncak jilbabku.

"Tapikan .... Dia udah punya suami, Nang. Lah kok iso?" tanya Kang Dirman setengah berbisik.

"Ya, akhwat akhwat macam gini memang jarang dipuasin sama suaminya, Kang. Memang perlu kontol kontol dari luar macam kita gini," jawab Pak Danang sambil menekan puncak kepalaku dan memaksaku mempercepat servisanku.

Pak Danang mengocok batang miliknya menggunakan mulutku, dinaik-turunkannya paksa kepalaku sampai dia menegang dan menyemprotkan lahar panas dalam tenggorokanku, aku melepaskan servisan oralku seraya menarik napas.

"Tahan di mulut dulu, Non. Sisanya, coba ...." Pak Danang memegangi daguku dan aku mengumpulkan sisa-sisa peju miliknya di dalam mulutku lalu memperlihatkannya kepada Kang Dirman.

"Nah sekarang telan, Non!" perintah Pak Danang, dengan patuh aku pun menelannya yang seketika itu pula membuat Kang Dirman nafsu melihatnya.

"Ssshhhhh .... Huhhhh .... Ya tapi aku bilangnya mancing loh, Nang. Kalau ngga bawa ikan nanti pas pulang, bilang apa sama Surti?" tanya Kang Dirman cemas, rupanya meski pria ini sange dia masih ada takut-takutnya dengan istrinya.

"Udah, Kang. Nanti saya yang atur. Asalkan Kang Dirman mau nemenin kami di rumah," goda Pak Danang yang melirik ke arahku.

Aku pun meringsut mendekati selangkangan Kang Dirman, kutaruh daguku di pahanya lalu mendongkak menatap matanya.

"Paaak .... Ayu pengen kontol bapak .... Temenin Ayu ya, Pak di rumah .... Garukin memek Ayu, Pak! Ayu pengen dientot kontol gede .... Mas Rian ngga bisa muasin Ayu, Pak .... Tolong ya Pak ...." pintaku memohon padanya.

Kang Dirman mengigit bibir bawahnya menahan birahi mendengar ucapanku. Ya, lelaki mana yang bisa tahan saat seorang akhwat berjilban menawarkan dirinya sendiri bak pelacur di hadapan sang pejantan. Tentu saja sebagian besar pasti tergoda ingin mencicipi tubuh alimku.

"Yaahhhh .... ta-tapikan saya izinnya sama istri mancing, Non Ayu. Ya ngga boleh pulang dengan tangan kosong dong. Kalau Non Ayu ada seratus dua ratus ribu ya, bisa saya pikirkan lah," jawab Kang Dirman sambil membuang muka.

Aku pun paham dan berdiri menuju tasku yang ada di ruang keluarga. Kuambil dua lembar kertas merah itu lalu kugigit. Aku pun merangkak kembali menuju ruang tamu sambil membawa uang pada pejantanku.

Tanganku menyentuh kedua paha Kang Dirman lalu menyodorkan uang yang ada di mulutku padanya. Keduanya pun tertawa melihat tingkah binatangku. Aku sudah menjual semua akal sehatku agar memekku bisa diobrak-abrik oleh para pejantanku ini. Aku tak peduli lagi dengan statusku ataupun harga diriku. Yang aku tahu adalah hidupku sekarang bertujuan untuk memuaskan hasrat Pak Danang. Jika itu artinya aku harus melayani temannya juga maka dengan hati ikhlas aku pun siap menjalankan baktiku.

"Waduh kalau ke pijat Bu Wati dikasi memek kendor disuruh bayar pula. Kalo kesini, udah dikasih akhwat muda dibayar pula. Kalo tahu Bu Ayu gini mah, tiap hari aja aku kesini ya Nang," leceh Kang Dirman.

"Oh silahkan, Pak. Asalkan ada saya di rumah, bapak boleh nikmatin tubuh akhwat binal ini sepuasnya. Asalkan jaga rahasia, Kang. Cukup antara kita aja. Jangan disebarin ke warga yang lain," balas Pak Danang tak kalah semangat, seolah mengukuhkan statusku sebagai budak seksualnya di hadapan temannya.

"Siap atuh, Pak. Saya jamin rahasia Bu Ayu aman sama saya," sahut Kang Dirman sambil mengelus-elus puncak jilbabku.

Mulai dari situ Kang Dirman pun mengangkat tubuhku hingga berdiri kembali, dipagutnya bibirku dengan penuh nafsu sambil meremas-remas dadaku yang masih tersembunyi di balik gamisku.

Bau tar dari mulutnya menyeruak masuk dalam penciumanku, perasaan jijik namun nikmat membuat tubuhku tidak bisa merespon dengan baik mana yang sebenarnya kuinginkan—menjauh darinya atau memagut lebih erat dirinya.

"Cphhhhh .... Cphhhh .... Mhhhhh ...." Bibir kami berdua berkecipak beberapa kali membuatku larut dalam kecupan Kang Dirman.

Setelah puas menciumku, kedua pejantanku menarikku ke ruang keluarga. Selagi mereka berdua duduk santai di sofa bak raja, aku berjongkok di depan keduanya sambil membantu mereka memelorotkan celananya.

Dua penis besar itu kini berada dalam genggamanku. Berbeda dengan milik Pak Danang, punya Kang Dirman sudah bersunat sehingga tak lagi ada kulup penisnya.

"Sshhhhhh .... Alus banget tangannya, Nang .... Kamu tiap hari diginiin, Nang? Pantes males ikut aku ngeronda ...." desis Kang Dirman menikmati kocokan tanganku.

"Iya Kang .... Maaf ya Kang .... Saya sibuk ngelatih lonte ini biar bisa jadi budak yang baik .... Nanti bilangin aja ama anak-anak ronda buat datang malam ini ke rumah .... Biar diservis sama akhwat saya .... Hitung-hitung ehhhmmm uhhhh .... Sebagai permohonan maaf ngga ikut bantu ronda," jawab Pak Danang.

Jantungku berdegup kencang mendengarnya, rupanya tak berhenti sampai di sini saja Pak Danang ingin menjajakan tubuhku. Dia bahkan ingin menyelenggarakan pesta seks di rumah ini malam ini dengan tubuhku sebagai santapannya. Rasanya birahi pun membakar habis kulitku membayangkan batang demi batang kontol nantinya akan menghujani rahimku.

"Sssshhhh .... Ohhhhhh iyahhhhh .... Enak banget ahhhh ...." Kang Dirman melenguh saat aku memasukkan batang kejantanannya ke dalam mulutku, sementara satu tanganku masih mengocok batang Pak Danang.

"Gimana, Kang? Mantep 'kan?" ejek Pak Danang.

"Siap, Nang!! Enak tenann .... Ouhhhh .... Sshhhh ...." Kang Dirman mendesah tak karuan menikmati hisapan mulutku pada batang miliknya yang membuat hatiku begitu bangga mendengarnya.

"Gimana, jadi 'kan ngajakin anak-anak malam ini?" tanya Pak Danang lagi.

"Ahhhhh .... S-S-Siaplah Nang .... Apa katamu aja aku lagi .... Ohhhhh .... Aku lagi .... Ohhh sshhh iyahhh .... Lagi fokus Nang, jangan ganggu dulu," jawab Kang Dirman sambil menekan jilbabku lebih dalam agar mulutku masuk sampai ke pangkal penisnya.

Di tengah kenikmatan surgawi yang kusuguhkan pada Kang Dirman, rupanya terdengar suara motor di luar tanda Mas Rian sudah pulang. Kang Dirman pun gelagapan mendengarnya dan mencoba berdiri namun aku menggeleng dan memasukkan lebih dalam penisnya dalam tenggorokanku, tanganku memeluk pantatnya berusaha menahan agar kontol pejantanku tidak keluar dari mulutku.

"Assalammualaikum," ucap Mas Rian seraya masuk ke dalam rumah.

"W-W-Waalaikum .... Ohhhhh ...." Kang Dirman gelagapan menjawab salam Mas Rian, lelaki itu amat kikuk saat melihat suamiku memergokinya tengah menusukkan batang kontolnya ke kerongkongan sang istri.

"Udah nganternya, pak?" tanya Pak Danang santai.

"Iya, sudah. Nanti malem katanya pakai Grab aja ke sini biar ngga ngerepotin," jawab Mas Rian datar sebelum kemudian duduk di sofa seberang meja kami sekarang.

Kang Dirman heran melihat tingkah Mas Rian yang tak menyiratkan sedikitpun rasa marah saat melihat istrinya tengah mengoral lelaki lain. Namun rasa sange di kontol miliknya sudah terlampau besar, semprotan demi semprotan peju membasahi tenggorokanku dan semua dilakukannya di depan suamiku sendiri.

"Hhhhh .... Hhhhhh ...." Pria itu jatuh kembali duduk di sofa sambil mengatur napasnya. Sementara aku lanjut mengoral Pak Danang dan mengocok kontol milik Kang Dirman agar nanti bisa segera siap lagi buat kupakai bercinta.

"Saya ngajakin temen loh pak, ini. Rencananya malam ini juga mau ngajakin kawan-kawan pos ronda ke sini, main. Ngga apa-apa 'kan ya Pak Rian?" tanya Pak Danang.

"T-Tapi, Pak—"

"Waduhhhh .... Kata Non Lidya kemarin-kemarin sih kalau bapak ngga nurut sama saya suruh aduin aja ke beliau .... Biar ngga dikasih jatah lagi .... Duh gimana ya Pak?" ancam Pak Danang saat melihat penolakan sesaat oleh Mas Rian, suamiku pun diam mendengarnya.

"I-Iya, Pak." Mas Rian pun melemah mendengarnya.

"Iya apa dulu nih, Pak Rian?" tanya Pak Danang memastikan.

"Iya, Pak. Silahkan. Pak Danang boleh ajak temen-temen bapak yang lain buat ngentotin istri saya. Asalkan pakai pengaman ya, Pak," pinta Mas Rian lemah, Pak Danang pun tertawa mendengarnya.

Sementara Kang Dirman nampak masih memproses apa yang sebenarnya terjadi di rumah ini. Dia masih heran mengapa bisa suamiku berkata seperti itu tanpa tahu cerita yang sudah kami lewati. Aku sendiri tak ambil pusing, segera setelah batang milik Kang Dirman tegak kembali, aku menarik lepas celana dalamku menyisakan jilbab dan gamis yang menutupi tubuhku.

Aku bergegas memposisikan tubuhku di atas paha Kang Dirman namun lelaki itu lekas menahanku.

"A-Anu, Bu .... A-A-Ada bapak ...." ucapnya gelagapan, aku pun mundur kecewa dibuatnya.

"Waduh, pak. Kang Dirman jadi ngga enak nih sama bapak, gimana dong?" goda Pak Danang sambil terkekeh.

Mas Rian hanya bisa memandang lemas kami sebelum kemudian berdiri dari sofa dan bersujud di hadapan Pak Danang dan Kang Dirman.

"Pak, saya mohon .... tolong .... t-tolong zinahi istri saya, pak ...." pinta Mas Rian sambil menyodorkan kondom, seketika itu pula Kang Dirman tertawa terbahak-bahak melihat tingkah menyedihkan suamiku.

"Hahahah .... Asu asu .... Ngga bisa muasin istri sendiri sampe harus minjam kontol orang .... Makanya pak, bukan cuman dompet yang digedein, kontolmu itu gedein juga!" ejek Kang Dirman sambil menginjak kepala Mas Rian—diambilnya kondom itu dan diusirnya Mas Rian kembali duduk ke tempatnya.

Aku pun mengulang memposisikan diriku di atas paha Kang Dirman. Kusingkai gamisku dan kubuka liang vaginaku untuk menerima tusukan dari batang pejantanku.

Rasanya berbeda dari Pak Danang karena benda itu dilapisi oleh karet. Aku melenguh menikmati proses saat benda itu masuk senti demi senti memenuhi liang vaginaku. Perlu dua tiga kali sodokan hingga akhirnya masuk sempurna dan bergerak licin dengan lendir cintaku sebagai pelumasnya.

"Ohhhhh .... Ohhhhh .... Enak kali pakkk bojomu inihhhh ...." oceh Kang Dirman menikmati genjotan pinggulku.

"Nih, pak, silahkan. Sekadar iktikad baik dari saya," balas Pak Danang, aku menoleh sesaat rupanya Pak Danang memberikan celana dalamku tadi pada Mas Rian, dia mengendus aromanya dalam-dalam lalu memakainya sebagai bahan onani.

PLOK! PLOK! PLOK! PLOK!

Sentakan demi sentakan pinggul Kang Dirman ikut dibenturkannya membalas pompaan pinggulku. Aku mendongkak didera nikmat menikmati jiwaku yang tengah melayang melintasi awan. Setiap tusukan Kang Dirman di rahimku, setiap itu pula birahi terasa begitu mendidih dalam ragaku. Membayangkan suamiku saat ini hanya bisa mengocok kontol kecilnya memakai celana dalamku sementara istrinya sedang digagahi pria lain membuat syahwat mengalir deras dalam relung dadaku.

"Ssshhhhh .... Duhhhh .... Saya ngga tahan nih, Pak. Saya permisi ikut ya, Pak." Pak Danang pun berdiri di belakangku yang sontak membuatku dan Mas Rian terkejut.

"Mau ngapain, pak?" tanyaku dan Mas Rian bersamaan, Pak Danang hanya tersenyum melihatku.

Pria itu memainkan jarinya di anusku membuatku melenguh nikmat, sementara Mas Rian tampak resah dibuatnya, baik aku dan Mas Rian sama-sama tahu nasib apa yang akan menimpa diriku sekarang.

"J-J-Jangan, Pak. S-Saya suaminya aja belum pernah," pinta Mas Rian lemah.

"Waduh, kok belum pernah sih? Berarti masih perawan dong. Ya udah, permisi ya pak, saya izin perawanin lubang boolnya Non Ayu," balas Pak Danang sambil meludahi penisnya dan memainkannya di pintu gerbang anusku.

"J-J-Jangan pakhhhhh .... Ohhhhhkkkkk ...." Aku mengaduh tak berdaya, Pak Danang memasukkan seluruh batangnya dengan sekali sentak, membuat pantatku terasa perih. Air liur membasahi daguku yang kemudian disambut Kang Dirman yang ada di bawahku.

"Sakitttt pakkkk .... Perihhhh ...." ucapku saat Pak Danang mendiamkan batang perkasanya di dalam sana.

"Santai Non .... Nanti juga terbia .... sahhhhhh!!!"

"Ohhhkkkkkk!!!" Aku merintih saat Pak Danang menarik keluar batang penisnya hingga tersisa tiga perempat lalu menusuk lagi kuat-kuat sampai benda itu terbenam seluruhnya di dalam tubuhku.

Saat Pak Danang mulai memompa pantatku beriringan dengan Kang Dirman, saat itulah tubuhku mulai didera sebuah perasaan baru. Rasanya sakit, sakit sekali, tetapi aku ketagihan dibuatnya. Sungguh rumit untuk dijelaskan namun sensasi ini sungguh luar biasa, terlebih aku disuguhi dengan pemandangan suamiku yang pecundang, bermasturbasi di samping kami dengan mata berkaca-kaca.

"Ay! Ay!" rintihnya berulang-ulang, mungkin saat ini dia tengah berfantasi bahwa penisnya lah yang memasuki lubang pantatku bukannya Pak Danang.

"Ohhhhhh .... Hoohhhhnnnn Ahhhnnnnn .... Pakkkkk Sakitttt .... Sakittt Pakkkk ...." rintihku lemas namun kedua pejantanku seolah tuli, masing-masing dari mereka fokus mengejar kenikmatan yang disuguhkan oleh tubuhku.

"Ahhh .... Shhh .... Yahhh aku mau keluarrrr .... Ohhhhh ...." Kang Dirman nampaknya orgasme terlebih dahulu menikmati jepitan memekku yang begitu erat, apalagi setelah dihujami oleh kejantanan Pak Danang dari belakang.

Pak Danang memegang erat kedua dadaku lalu memperkuat sodokannya. Kedua tubuh kami sama-sama bermandikan keringat sampai akhirnya kurasakan tubuh Pak Danang pun ikut menegang.

"Ohhhhhh .... Nonnnnhhh .... Non Ayuhhhhhh ...." Pak Danang meremas erat kedua dadaku lalu menyodokkan dalam-dalam batang penisnya dalam lubang pantatku, bisa kurasakan lahar panas ini mengalir masuk di dalam perutku, beberapa kali semprotan sebelum akhirnya kami berdua lemas.

"Sssshhhh ...." Aku meringis saat Pak Danang menarik lepas penisnya dari lubang pantatku, rasanya persis seperti mencret, tubuhku memuntahkan semua peju Pak Danang hingga mengenai sebagian gamisku, mungkin juga berceceran ke lantai.

Aku jatuh memeluk Kang Dirman yang ada di bawahku dengan tersengal-sengal. Baik aku dan pejantan baruku ini kini sama-sama kelelahan setelah melewati persetubuhan panas di depan suamiku.

Setelah sebagian tenaganya terkumpul, Kang Dirman mendorong tubuhku ke samping sehingga penisnya pun terlepas dari lubang vaginaku. Kondom yang terisi penuh oleh cairannya sendiri itu pun dilepaskannya lalu disodorkannya padaku. Aku pun mengambilnya dengan sisa tenagaku lalu meminumnya, terus kuperah sampai habis cairan putih itu dari dalam sana lalu kulemparkan bekas kondomnya kepada Mas Rian.

Pria itu tersadar lalu berdiri sambil mengocok kontol kecilnya. Dia mendekat ke arahku namun dihentikan oleh Pak Danang.

"Eh, eh, mau ngapain, Pak?" tanya Pak Danang.

"Kata Lidya, saya boleh ngentotin Ayu kalau bapak udah selesai sama istri saya," jawab Mas Rian.

"Itu kata Non Lidya, kalau kata saya 'kan beda. Kalau bapak mau ngentotin Non Ayu, bayar dulu pak. Tiga ratus ribu, durasinya satu jam atau sekali ngecrot," balas Pak Danang, Mas Rian pun terkulai lemah mendengarnya.

Aku tesenyum remeh memandangi suamiku, dia harus merogoh kocek untuk menyetubuhi istrinya sendiri. Betapa rendahnya lelakiku dibuat Pak Danang.

Ketika Mas Rian mengeluarkan tiga lembar uang seratus ribu dari dompetnya dan menyerahkannya pada Pak Danang, lelaki itu mulai menyiapkan penisnya di depan liang senggamaku.

Aku menutup mataku mengistirahatkan diriku, tidak ada rasa apapun saat Mas Rian memompa tubuhku. Setelah lubang memekku diobrak-abrik oleh Pak Danang dan Kang Dirman, rasanya penis Mas Rian seperti jari kelingking yang bermain-main di sana, membuatku ngantuk melayaninya.

"Ohhhhh .... Ohhhhh ...." Mas Rian menegang dan menyemprotkan cairan maninya di dalam liang vaginaku, aku mendesah kesal melihat pria itu belum sampai dua menit sudah keluar, Kang Dirman pun tertawa terbahak-bahak melihatnya.

"Pantes bini nyari kontol lain, wong lakinya macam gini," ejek Kang Dirman.

Mas Rian menghiraukan cemoohan itu dan lanjut menggenjot memekku dengan penisnya yang sudah melembek, sayangnya dia dihentikan oleh Pak Danang.

"Ehhh, ehhh, sudah pak. Kalau udah ngecrot sekali yaudah habis. Kalau mau ngentot lagi ya bayar lagi!" omel Pak Danang.

"T-T-Tapi pak, s-saya udah sange daritadi ...." balas Mas Rian lemah.

"Halah bodo amat, mau elu sange, mau elu engga. Pokoknya tiga ratus ribu itu sekali ngecrot, kalau bapak ngecrotnya ngga sampai satu jam ya itu rugi di bapak," sahut Pak Danang.

Dengan terkulai lemah, Mas Rian mengambil kembali dompetnya dan menyerahkan uang seratus ribu tiga lembar pada Pak Danang.

"Nah, gitu! Harus paham dong aturan main," ucap Pak Danang sambil mengipas-ngipas uang Mas Rian di hadapan kami.

Mas Rian memulai menjilati vaginaku hingga bersih kembali sambil mengocok-ngocok kontol miliknya agar tegang kembali. Setelah sepuluh menit berlalu baru kontol kecilnya bisa berdiri tegak kembali.

Dengan tubuh bermandikan keringat Mas Rian mengarahkan batang penisnya di pintu masuk liang vaginaku, belum sempat dia dorong aku lekas bangkit lalu memegangi batang milik Mas Rian.

Seolah tak rela aku dimasuki kontol lain selain pejantanku, aku menghisap buah zakar milik Mas Rian sambil mengocok cepat batang miliknya.

"Ohhhhh .... Ayy .... Pelan-pelan Ayyy .... Kalau gitu Mas malahhh .... Ohhhhhhhhhnn!!!" Mas Rian melenguh keras dan memuncratkan peju beberapa kali sehingga dia pun gagal ingin menyetubuhiku.

"Udah tuh pak. Kalau mau lagi ya bayar lagi," lanjut Pak Danang.

"T-T-Tapi pak, saya udah ngga ada uang cash lagi." Mas Rian memelas melihatku.

"Ya saya ngga mau tahu, ngga bayar ya ngga usah ngentot. Udah sana coli aja di kursi!" perintah Pak Danang, Mas Rian pun dengan lunglai melangkah ke sofa lalu mengocok batang lemasnya sambil melihat istrinya digagahi lagi oleh lelaki lain.

Hatiku tertawa gembira melihat suamiku dipecundangi oleh para pejantanku. Ini salah kamu mas. Salah kamu kita jadi begini. Sekarang rasakan akibatnya, umpatku dalam hati.

Kami bercinta dengan hebatnya di seluruh ruangan itu, persetan dengan waktu Ashar dan Maghrib yang sudah lewat, kami yang dibakar birahi terus memuaskan satu sama lain di hadapan Mas Rian. Bahkan saat mandi pun kami tetap melakukannya di dalam kamar mandi.

Hingga tiba saatnya aku harus melepas pergi pejantanku. Dengan memakai lingerie seksi aku berdiri di depan pintu bersama Pak Danang mengantarkan Kang Dirman pulang.

"Aku pulang dulu, Nang. Nanti habis Isya aku balik lagi sama anak-anak ronda. Mau ngelonin Non Ayu!" ucap Kang Dirman penuh semangat.

"Siap. Minum jamu, Kang. Biar tahan lama!" goda Pak Danang yang sontak membuatku mencubit pinggangnya.

"Aihhh mantap lah!! Pokoknya sip memeknya Non Ayu!" balas Kang Dirman yang membuat hatiku semakin bangga mendengarnya.

"Eh, eh, bentar Kang Dirman. Nih, kita bagi dua. Buat duit rokok sama kopi, kang. Biar betah mampir ke sini." Pak Danang menyerahkan uang yang didapatnya dari Mas Rian sebagian pada Kang Dirman.

"Alhamdulillah, rezeki memang ngga kemana. Makasih banyak ya, Nang. Haduh, kalo gini sih tiap hari saya siap ngelonin Non Ayu, mah." Mata Kang Dirman bersinar menatap ratusan ribu uang yang diterimanya hasil dari menyetubuhiku.

Keduanya tertawa senang, sementara mukaku begitu merah dibuatnya.

"Yasudah, saya pulang dulu, Non. Nanti kita ngewe lagi. Assalammualaikum." Kang Dirman melambai pergi.

"Waalaikumussalam," ucapku setengah berbisik, rasanya sedih sekaligus gembira karena pejantanku akan kembali malam ini bersama batang-batang perkasa lainnya.

Berhelat tiga menit setelah Kang Dirman pergi, sebuah Mobil Grab datang dengan membawa seorang penumpang wanita berjilbab. Ya, pemilik rumah ini akhirnya datang juga.


Lidya Eka Wulandari


"Duh, aku telat ya? Danang, bantu angkatin minuman dong di mobil!" pinta Kak Lidya.

"Siap, Non!" ucap Pak Danang.

Rupanya Kak Lidya membawa dua bundle minuman beralkohol dan juga satu kotak anggur merah cap anak muda. Pak Danang dengan semangat mengangkut minuman-minuman haram itu masuk ke rumah diiringi dengan Kak Lidya yang berjalan di belakangnya.

"Loh, kenapa kamu pakai baju lonte begini? Mana jilbabnya, Yu? Ngga dipasang?" tanya Kak Lidya yang heran melihat keadaanku.

"Habis pelayanan, kak." Aku tersenyum simpul menjawabnya lalu memeluk hangat wanita itu.

"Duh, memang ukhti sholehot yah adikku yang satu ini. Bangga kakak sama kamu," balas Kak Lidya sambil mengusap bahuku beberapa kali.

"Rian, mana?" tanya Kak Lidya seraya melangkah masuk.

"Tuh!" Aku menunjuk sofa.

Mas Rian terkapar dengan jilbabku di selangkangannya, yang dia pakai sebagai bahan onani. Bekas-bekas peju Mas Rian tampak melekat erat di kain itu, kelihatannya dia sangat frustrasi karena tidak diizinkan Pak Danang menyetubuhiku.

"Astagfirullah, cowo ini. Majikan datang bukannya disambut malah sibuk onani. Rian!" panggil Kak Lidya dengan nada kesal, sontak Mas Rian pun terkejut mendengarnya dan langsung merapikan dirinya kembali.

"Bersihin loh, tempatnya ini. Aku mau nginep loh malam ini. Masa jalan-jalan gini kaki keinjek peju sana-sini!" ucap Kak Lidya ketus.

"S-Siap, Nyonya!" balas Mas Rian patuh, dia pun bergegas mencari pel dan mulai membersihkan bekas-bekas persetubuhanku dengan para pejantanku.

"Non, malam ini temen-temen saya yang lain mau izin datang. Saya udah lama absen ngeronda, jadi ngga enak sama yang lain. Jadi, rencananya mereka mau saya kasih servisan Non Ayu," ucap Pak Danang pada Kak Lidya.

"Oalah, tahu gitu aku bawa minuman lebih," jawab Kak Lidya.

"Ngga usah repot-repot, Non. Yang ini aja udah banyak banget!" lanjut Pak Danang sungkan.

"Kapan datangnya? Habis Isya?"

"Iya, Non."

"Oh, yaudah. Rian, kamu ke depan gih, beli kondom tiga pak, cari yang agak gedean ukurannya, jangan yang biasa kamu pakai." Kak Lidya melempar uang ke lantai yang dengan sigap dipungut oleh Mas Rian.

"Baik, Nyonya." Mas Rian menyelesaikan mengepel lantai lalu mengembalikan benda itu ke dapur, sebelum kemudian melangkah keluar.

"Huffff .... Uhhhh .... Capeknya!!!" Kak Lidya mendesah di sofa diikuti dengan Pak Danang yang duduk di seberang meja.

"Ayuuuu .... sini sini!" panggil Kak Lidya, aku pun mendekat lalu duduk di sampingnya.

"Gimana, udah sampai mana lesnya, Danang?" tanya Kak Lidya sambil mengangkat daguku dan mengelus-elus pipiku.

"Udah saya perawanin tadi lubang pantatnya, Non. Malam ini mau lanjut belajar dientot rame-rame sama teman saya yang lain," jawab Pak Danang.

"Duh, jadi ngiri aku sama kamu, Yu. Tiap hari ada kontol yang nemenin gini, kalau aku sih pasti betah di sini," lanjut Kak Lidya.

"Non Lidya mau ikut bareng malam ini?" tawar Pak Danang.

Kak Lidya menatap Pak Danang remeh lalu kembali menatap wajahku.

"Aku sisanya aja. Biar Ayu dikasihkan hidangan utamanya," bisik Kak Lidya di telingaku.

Dicurinya dengan cepat bibir ranumku dan dipagutnya dengan begitu dalam. Tangan kirinya melingkar di leherku dan memainkan dadaku sementara tangan kanannya masuk ke dalam lingerie milikku dan memainkan lubang senggamaku.

Aku memejamkan mata menikmati pagutan Kak Lidya di bibirku, benar-benar ciuman seorang pro. Bukan hanya permainan lidahnya, namun permainan jari-jemarinya berasa ada di titik yang tepat.

Jantungku serasa terhenti, hanyut dalam ciumannya, sebelum akhirnya pasrah dimangsa olehnya. Kak Lidya menarik lepas bibirnya namun aku seolah tak rela, saat benang air liur kami menyatu dengan lekas aku mencoba memagut bibirnya lagi yang sayangnya hanya bertahan beberapa detik saja.

Gairah aneh muncul dalam benakku, aku menatap sayu Kak Lidya seolah ingin merengkuh lebih kenikmatan dari dirinya. Wanita itu tersenyum memandangku lalu dipagutnya lagi bibirku mencoba memuaskan hasratku. Pelukannya begitu erat, tubuhku serasa kecil dibuatnya. Aku membalas pelukan Kak Lidya sambil mendesak lidahku masuk ke mulutnya namun hasilnya nihil, Kak Lidya jauh lebih mendominasiku, dia seolah tak membiarkan aku mencoba mengendalikan dirinya, dia memegang kuasa atas tubuhku dan memberikan nikmat ataupun mencabutnya sesuka hati.

"Kakkhhhh ...." desahku lemah saat kami melepas ciuman kami.

Dadaku naik turun, aku tersengal-sengal sementara Kak Lidya tersenyum puas. Kak Lidya pun beralih duduk di belakangku sementara aku duduk manis di pahanya. Aku menoleh mencoba meraih kembali ciumannya sambil menikmati remasan demi remasan tangannya yang menjajah setiap jengkal tubuhku.

"Mmhhhhh .... Kakkkhhh ...." desahku di sela-sela pagutannya.

Tampaknya penampilan kami membangunkan syahwat terpendam pejantanku di sana. Pak Danang pun mendekati aku dan Kak Lidya kemudian berjongkok di depan selangkanganku. Ditarik lepasnya celana dalamku dan dikecupnya bibir vaginaku.

"Ohhhhh .... Hohhhhh enakkk kakkkk .... Mmmhhhh ...." Aku merintih namun dengan cepat bibirku kembali dikunci oleh Kak Lidya.

Aku tenggelam dalam kubangan nafsu, betapa tak rela rasanya jika semua ini berakhir. Rasanya begitu bahagia dan bebas, semua beban pikiranku tak lagi bersisa. Aku ingin hidup selamanya menjadi budak nafsu mereka.

"Cppphhh .... Cphhhh Mmmhhhhhh .... Hmhhhhhh ...." Aku mendesah kesetanan sebelum akhirnya pahaku mengapit erat kepala Pak Danang dan orgasme dengan kuat.

Aku melepaskan pagutan Kak Lidya dan berusaha menarik napas sedalam mungkin sebelum akhirnya jatuh lemas di samping sofa.

Wajahku menatap sayu Kak Lidya yang terlihat memperbaiki kerudung dan kacamata miliknya.

Pak Danang berdiri tepat di hadapan Kak Lidya dengan batang kejantanannya yang mengacung tegak perkasa. Pria tua itu mengocok perlahan batang kontolnya sebelum menamparkannya ke pipi Kak Lidya beberapa kali.

"Kalau dipikir-pikir Non Lidya ini cantik juga. Mau nyoba jadi budak kontol saya juga kah, Non?" tawar Pak Danang.

"Besar juga mulutnya Danang ini ya, Yu. Biar aku kasih tahu kamu ya, dari aku muda sampai aku umur segini ngga ada laki-laki yang ngga bertekuk lutut dihadapanku," balas Kak Lidya sambil memegangi kontol milik Pak Danang.

Aku memandang lemah Kak Lidya. Rasanya cemburu saat pejantanku kini sedang memuaskan syahwatnya memakai tubuh perempuan lain, namun apalah daya, saat ini aku sedang kehabisan tenaga. Aku hanya bisa menatap keduanya dengan wajah mupeng, sambil mengumpulkan kembali tenagaku.

Kak Lidya mengangkat tangannya, membiarkan Pak Danang melepaskan pakaiannya, wanita itu kemudian melepaskan bra miliknya dan kini hanya menyisakan celana serta jilbabnya.

Dia mulai mengoral benda milik Pak Danang. Satu tangannya membentuk cincin dan mengocok bagian pangkal penis pejantanku sementara tangan yang lain memainkan buah zakar milik Pak Danang.

"Uhhhhh .... Ohhhhh Nonnnn .... Enak banget Nonnnnn .... Uhhhh!!!" Pak Danang mendesis nikmat dan mencoba menekan lebih dalam penisnya agar masuk ke dalam tenggorokan Kak Lidya. Bukannya menolak, Kak Lidya justru mendongkak menatap Pak Danang lalu mempercepat sepongannya.

Dengan semangat Kak Lidya mengoral batang milik Pak Danang sampai lelaki itu mengap-mengap tak karuan. Dia kini berusaha mendorong kepala Kak Lidya namun dengan gigih wanita itu menambah kecepatan oralnya bahkan sesekali terdengar menghisap batang milik Pak Danang.

"Aahhhhh .... A-Ampun Nonnnhhh .... A-Ampunnnhhh Enak Bangetttt .... Lebih enak dari uhhhhh, sepongan Non Ayuuuu ...." Pak Danang mendesah keras, membuat wajahku terasa panas, rasanya benar-benar cemburu saat aku dibandingkan dengan Kak Lidya, hatiku terasa dicubit, sakit, namun aku tak bisa melawan. Jelas kalau Kak Lidya jauh punya pengalaman yang lebih banyak ketimbang diriku.

Badan Pak Danang bergetar sebelum akhirnya dia menggelepar beberapa kali melepaskan lahar cintanya di dalam tenggorokan Kak Lidya. Setelah menghisap habis cairan pejantanku, Kak Lidya melepas sepongannya hingga membuat Pak Danang jatuh di lantai.

Terdengar suara Mas Rian yang kelihatannya sudah pulang. Dia masuk dan menaruh beberapa kotak kondom ukuran besar di atas meja. Matanya terpaku pada Pak Danang yang terlentang tak berdaya di lantai dengan napas tersengal-sengal.

"Ada apa, Nyonya?" tanya Mas Rian.

"Dia nyombongin ukuran kontolnya ke aku. Jadi aku mau kasih tahu Danang ini, sejauh mana sih perbedaan kami berdua," jawab Kak Lidya yang kemudian menarik lepas celana berikut dalaman miliknya hingga kain yang menutupi tubuhnya kini hanya tersisa jilbabnya saja. Wanita itu kemudian memaksa Pak Danang untuk mengangkang sementara dia memposisikan vaginanya di depan batang Pak Danang.

"L-L-Lid...." ucap suamiku lirih, tampaknya dia

"Ck, kamu diam aja, Yan. Aku lagi fokus," balas Kak Lidya yang kemudian memasukkan kontol milik Pak Danang ke dalam liang senggama miliknya

"Ohhhh .... Ohhhh enakkkkk .... Ohhhn ...." Pak Danang melenguh nikmat saat Kak Lidya menggenjot penisnya dengan gaya missionary, seolah-olah kini Kak Lidya lah yang sedang memerkosa Pak Danang bukan sebaliknya.

Aku menggigit bibir bawahku menahan api cemburu dalam dadaku. Rasanya tak rela jika melihat pejantanku dicuri Kak Lidya di depan mataku.

"Mas Rian, sini!" ucapku kesal memanggil suamiku.

"I-Iya, Ay!" jawab Mas Rian tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun dari Kak Lidya.

Kupelorotkan dengan kasar celana Mas Rian lalu kukocok penis kecilnya sambil menonton adegan Kak Lidya memerkosa Pak Danang.

Mata Mas Rian menatap lekat keduanya, dia bahkan tak melihatku sedikitpun. Yang ada di mata Mas Rian kini hanyalah Kak Lidya. Dia tak peduli istrinya mau diperkosa orang sekampung pun selama bukan Kak Lidya, dia takkan ambil pusing.

Dengan kasar aku mencengkram penisnya lalu mengocok kasar benda milik Mas Rian. Nafas pria itu terasa berat, tak butuh waktu lama saat dia orgasme hingga duduk lemas di sofa melihat wanita yang dia cintai tengah menggenjot lelaki lain.

"Kalau kontol kamu gedean dikit Mas, ngga bakalan Kak Lidya nyari yang lain buat garuk memeknya," bisikku di telinganya sambil meremas benda mungil miliknya.

Terlihat air mata jatuh membasahi pipi Mas Rian, dia bahkan kencing sambil duduk, syok karena ucapanku disertai dengan pemandangan Kak Lidya yang memerkosa Pak Danang.

Pak Danang menguik-nguik bak babi yang tertangkap warga saat Kak Lidya menggenjotnya, pria itu kejang sesaat sebelum akhirnya orgasme di dalam jepitan memek Kak Lidya.

Kak Lidya menarik napas sejenak lalu melepaskan diri dari batang Pak Danang. Dia berdiri dan membuka vaginanya di atas wajah Pak Danang membiarkan cairan lelaki itu bersama cairan cintanya yang bersatu jatuh ke wajah pejantanku.

"Kalau udah tahu posisi kamu, jangan macam-macam lagi sama aku ya, Danang!" sahut Kak Lidya sambil meratakan sperma mereka berdua di wajah Pak Danang menggunakan kakinya.

"Rian, bersihin dong. Bentar lagi Isya loh. Aku sama Ayu mau mandi. Kamu nanti kalau udah selesai bersih-bersih siap-siap shalat bareng. Kita mau nyambut tamu nih nanti!" perintah Kak Lidya, Mas Rian tak bisa menjawabnya dia masih syok memandangi tubuh Pak Danang yang terkapar tak berdaya di lantai.

"Woi Rian, denger gak?!" Kak Lidya menginjak keras batang milik Mas Rian hingga lelaki itu pun mengaduh kesakitan, sadar dari lamunannya.

"Si-Siap .... Nyonyahhh .... N-Nanti saya bersihin semuanya," jawab Mas Rian yang masih mengaduh ngilu.

"Makanya kalau diajak ngomong itu ya, jawab! Jangan kurang ajar!" bentak Kak Lidya.

Aku pun berjalan menuju kamar mandi mengikuti Kak Lidya. Tersenyum melihat pejantanku terkapar tak berdaya di lantai sementara suami pecundangku membersihkan bekas-bekas percintaan kami.

Malam yang gila baru saja akan dimulai



Baik aku dan Kak Lidya sama-sama menunaikan Shalat Isya bersama dengan Mas Rian di kamarku. Dengan khusyu Mas Rian sebagai imam kami membaca surah-surah pendek lalu rukuk dan sujud.

Sayangnya baru dua rakaat, Pak Danang pun masuk ke dalam kamar dengan telanjang bulat lalu duduk di pinggir ranjang, memandangiku dan Kak Lidya sambil mengokang batang kejantanannya.

Aku berkeringat dingin menahan agar tidak melirik ke samping. Napasku terasa berat, aku pun mulai tidak khusyu menunaikan Shalat Isya sementara pejantanku menunggu tepat di sampingku.

Tangannya bergerak naik turun sehingga kulup penisnya pun merekah dan memperlihatkan wujud asli batang perkasa itu. Aku mendesis di tengah ibadahku saat aku tahu batang kejantanan Pak Danang kini begitu dekat hingga menyentuh pipiku. Syahwat naik dari selangkanganku menuju otakku. Belum selesai rakaat ketiga aku sudah tak kuasa menahan birahi sehingga membatalkan Shalatku lalu mengoral batang perkasa milik Pak Danang.

"Shhhh .... Huhhhh nah gitu Non .... Ngewe itu sebagian dari iman," leceh Pak Danang, dicengkramnya puncak mukenaku sambil menaik turunkan kepalaku di selangkangannya.

Kak Lidya hanya menggeleng saat melihatku yang menaik turunkan mulutku di atas ranjang utamaku dan Mas Rian. Selagi keduanya sibuk memetik biji tasbih, aku sibuk mengulum biji kontol milik Pak Danang. Saat tubuh pejantanku itu tampak menegang, bergegas kuoral kembali batang miliknya dan kubenamkan sedalam mungkin dalam tenggorokanku.

"Non Ayuhhhh .... Bapak ohhhhh ...." Pak Danang menekan kuat-kuat kepalaku dan menyemburkan spermanya dengan deras di dalam mulutku. Didiamkannya beberapa saat sebelum kemudian dilonggarkannya pegangannya pada kepalaku.

"Ohqqqq .... Ohhhhhh ...." Aku tersengal-sengal saat menarik kembali kepalaku, sedikit peju menetes di bibirku yang dengan lekas kuseka, Pak Danang meneguk air liurnya melihat ekspresiku sendiri, dia lalu mengambil daguku dan menciumku dengan panas sampai kami puas.

Selesai dengan kegiatan kami masing-masing, aku dan Kak Lidya pun mengenakan gamis dan khimar terbaik kami bahkan memakai makeup untuk bersiap menyambut para tamu yang sebentar lagi akan datang. Selesai berdandan, kami berdua menuruni tangga dan mendapati Mas Rian serta Pak Danang yang tengah sibuk menyiapkan jamuan di atas meja berupa beberapa kaleng pilsener serta beberapa botol anggur.

"Yuk," ajak Kak Lidya menarikku ke depan pintu.

Kami berdua bersimpuh di depan pintu sambil menunggu datangnya para pejantan kami dan benar saja, tidak berapa lama kemudian terdengar suara pagar dibuka disertai dengan suara beberapa orang masuk ke dalam.

"Assalammualaikum," ucap Kang Dirman mengucap salam sambil membuka pintu.

"Waalaikumussalam," jawabku dan Kak Lidya seraya bersujud menyambut kedatangan mereka.

Kami berdua mempersilahkan masuk para pejantan itu ke rumahku. Dua remaja itu nampak kikuk saat Kang Dirman mengajak mereka masuk, keduanya mungkin masih tak menyangka aku, yang selalu tampil dengan penuh sahaja di hadapan para tetangga kini menyambut mereka dengan penuh kepatuhan bak raja-raja. Keduanya berbisik- bisik sesekali dan membalas senyumanku dan Kak Lidya.

"Yang ini namanya Mamat, Non. Lulusan SMA udah berapa tahun jadi kuli di pasar. Kalau yang ini namanya Samsul, dulunya sih anak kuliahan cuman masuk penjara gara-gara narkoba. Sekarang sih udah tobat dan bantuin saya jadi kuli bangunan," terang Kang Dirman memperkenalkan keduanya.

"Waduh, baik-baik ya anaknya pak," balas Kak Lidya sambil menuangkan anggur merah ke gelas Kang Dirman.

"Ya, cuman gitulah, miskin. Hidup kadang suka kurang. Apalagi sekarang ya, Non. Serba mahal," terang Kang Dirman sambil meneguk anggur itu.

"Ngga apa-apa, pak. Yang penting masih kerja halal," ucapku seraya menyodorkan beberapa kaleng pilsener pada keduanya.

Malam itu kami fokus berbicara panjang lebar soal keadaan Mamat dan Samsul, bagaimana kerasnya kehidupan silih berganti menghantam keduanya. Tetapi keduanya tetap tabah meski cobaan datang silih berganti. Aku sempat meneteskan air mata mendengar susahnya hidup mereka.

Beberapa kaleng minuman beralkohol habis kami tenggak, mulai dari situ alur pembicaraan sudah mulai ngelantur ke sana-sini, kebanyakannya urusan ranjang.

"Istriku tuh ya, Nang. Pas muda, itu, Ayunyaaaaaa luar biasa. Sekarang udah turun mesin, Masyaallahhuakbar, udah kayak mamak lampir di film 'Misteri Gunung Merapi' itu. Kalau pulang aku ngeliat mukanya langsung ambil wudhu buat cuci mata, berasa ternoda mataku dikasih liat mukanya. Mbok ya dandan dikit gitu kalo suami pulang," curhat Kang Dirman dengan wajah memerah.

"Sekarang udah ketemu Non Ayu saya gimana rasanya, Pak?" goda Pak Danang sambil menenggak satu kaleng pilsener lagi.

"Waduh, pengen tak jadiin bojoku loh, Nang!" sahut Kang Dirman semangat, keduanya pun tertawa sambil mengisap dalam-dalam rokok kreteknya.

Sementara itu baik Mamat dan Samsul sama-sama menundukkan kepala. Keduanya terlihat pusing. Mungkin mereka berdua tidak terbiasa minum-minuman seperti ini, pikirku. Tetapi dibanding mengkhawatirkan keduanya, aku pun kurang lebih sedang bernasib sama. Semakin sulit berpikir jernih di bawah pengaruh alkohol, aku tidak tahu sampai mana aku bisa sadar atas setiap perbuatanku.

"Silahkan, Pak!" Mas Rian datang menyodorkan gorengan yang baru dia beli di luar sebagai pendamping minuman kami. Kang Dirman tersenyum remeh memandang suamiku lalu mengeluarkan ponselnya.

"Duduk di sebelah situ, Pak!" perintah Kang Dirman, suamiku pun menurut dan duduk di sofa seberang kami.

Dia nampak memutar sebuah lagu dangdut koplo dari ponselnya lalu menaruhnya di atas meja. Dengan satu hisapan panjang dia habiskan rokoknya lalu memandang ke arahku, "Non, naik ke atas meja situ, joget dulu, biar kami tambah nafsu nanti ngentotinnya."

Dengan kepala menahan pusing aku menuruti Kang Dirman dan naik ke atas meja. Lagunya terdengar begitu kampungan, persis seperti lagu-lagu yang sering dipakai para biduan berjoget di hajatan nikahan warga. Aku pun mencoba mengikuti irama dan melenggokkan pinggulku ke kanan dan ke kiri sambil mengelusi setiap jengkal dari tubuhku dengan tangan mulusku. Mamat dan Samsul terlihat melotot menatapku dengan napas memburu. Aku mengerling nakal melihat batang keduanya sudah tegang dan memenuhi celana mereka.

Sungguh betapa gila jadinya aku sekarang, seorang akhwat yang terlihat alim di luar dan selalu tertutupi gamis lebar saat mengunjungi tetangga kini tengah melenggokkan badan dengan niat memancing hawa nafsu para pejantanku. Aku semakin bersemangat saat merasakan tatapan binatang itu muncul dari mereka yang seolah ingin melumat habis tubuhku. Kak Lidya tertawa dan menyorakiku beberapa kali saat melihat aku meremas pantat dan dadaku sebelum kemudian duduk di samping Mas Rian dan mengelus-elus kontol suamiku dari luar celananya.

Tanganku menjalar ke tubuh bagian bawahku, kutarik lepas celana dalam dan behaku lalu kulemparkan ke arah Mamat dan Samsul. Keduanya berebut dalamanku yang sontak menambah bara api birahi dalam dadaku.

Cahaya lampu yang cukup terang memperlihatkan bayang-bayang putingku dari luar gamisku, kuremas sesekali dadaku sambil menutupi selangkanganku yang menerawang, membuat Kang Dirman dan Pak Danang kompak memelorotkan celananya lalu mengocok batang mereka masing-masing.


Lidya Eka Wulandari


Kak Lidya meneguk habis anggur merah itu langsung dari botolnya, dia menepuk kedua pipinya lalu ikut naik ke atas meja dan bergoyang dengan panas memancing syahwat pejantanku.

"Non Lidya!" ucap Pak Danang dan Kang Dirman bersamaan sambil mempercepat kocokan mereka.

Aku terkejut melihat Kak Lidya mampu mencuri lampu sorotku hanya dalam sekejap mata. Dengan begitu gemulai dia menggoyangkan pinggulnya bak penari striptease profesional dan menaik turunkan pantatnya.

Saat Mamat dan Samsul tidak lagi memandangku, aku pun merasa cemburu lalu memeluk Kak Lidya. Kutahan tubuhnya agar tidak bergoyang lagi lalu memaksa tanganku menerobos masuk ke balik gamisnya. Ketika gamis Kak Lidya sudah tersingkap, jari jemariku langsung bermain dengan kasar di dalam liang senggamanya.

"Ohohoh, berani ya kamu, Yu. Sini aku ajarin caranya!" balas Kak Lidya yang ikut menyingkap gamisku dan mencolokkan jarinya dalam lubang memekku.

"Anjrittt .... Panas bangettt .... Ayo ukh, kocok terus!" sorak Mamat.

"Ayo Non Lidya, jangan kalah Non! Kasih tahu Non Ayu!" balas Pak Danang yang kelihatannya memihak Kak Lidya.

CLK! CLK! CLK! CLK!

Suara vagina kami yang sudah becek saling beradu, dengan napas berat aku berusaha menjatuhkan Kak Lidya, begitupula sebaliknya. Sayangnya, Kak Lidya lebih licik dari perkiraanku, dia mencubit dada kananku dengan tangan kirinya lalu memagutku, aku terkejut sehingga lengah dan detik itu pula Kak Lidya mempercepat kocokannya dalam lubang surgawiku.

"Aaahkkk .... Ahkkkk kakakkk .... Ohhhhh ...." Aku mengejang beberapa kali sebelum kemudian jatuh berlutut dan telentang diatas meja dengan kepala menjuntai mengarah pada Mas Rian. Vaginaku berkedut-kedut merasakan orgasme akibat permainan tangan Kak Lidya.

"Wuhuhhh .... Menangggg .... Jangan mimpi bisa ngalahin aku kamu, Yu!" teriak Kak Lidya sambil menginjak lembut vaginaku disambut sorakan para lelaki itu.

Aku menatap sayu mata Mas Rian. Pria itu sedang mengokang batangnya sendiri menikmati adegan dimana istrinya sedang dipermalukan.

Sialan kamu Mas, umpatku dalam hati.

Aku mengangkat kepalaku dan berusaha bangun. Kulihat Kak Lidya sudah melepas dalamannya dan melemparkannya ke arah Pak Danang dan Kang Dirman. Kini sama sepertiku dia hanya mengenakan khimar dan gamis tanpa sehelai benangpun di baliknya.

Aku menggunakan sisa tenagaku untuk berdiri dan melepaskan gamisku menyisakan khimarku saja. Suara ramai tadi pun seketika berhenti saat tubuh polosku terpampang jelas di hadapan mereka.

Kak Lidya tersenyum lalu turun dari meja dan duduk di samping suamiku, sementara aku yang sudah dibakar api birahi menuju Pak Danang dan langsung duduk di pangkuannya.

"Bapak ngga boleh ngeliat punya orang lain selain Ayu. Bapak itu udah jadi milik Ayu!" ucapku merajuk sambil menggesek-gesekkan bibir vaginaku pada batang kejantanannya.

"Sshhhhh uhhhhh .... Maaf Non .... Ssshhh Bapak khilaf ...." desis Pak Danang menikmati liukan demi liukan tubuhku.

Selagi aku meliuk-liuk di atas pangkuan Pak Danang, Kang Dirman datang menyodorkan batang perkasa miliknya ke mulutku. Segera kumasukkan benda hangat itu ke dalam tenggorokanku.

Mamat datang dari sebelah kiriku, sementara Samsul dari kananku menyodorkan batang perjaka mereka yang kusambut dengan masing-masing tanganku.

Pak Danang mendesah nikmat lalu menghentikan pinggulku sesaat, diarahkannya batang perkasa miliknya ke depan liang senggamaku sebelum kemudian—

BLES!

"Ohhhq .... Hoqqqq .... Oqlooqqqq Oqloqqqq Oqloqqqq ...." Aku mendesah tertahan penis Kang Dirman saat Pak Danang memasukkan batangnya ke dalam liang senggamaku. Mataku menangis menahan ingin muntah, rasanya sesak tapi nikmat dan bikin ketagihan.

Kini semua anggota tubuhku tengah bekerja memuaskan para pejantanku. Lubang senggamaku dimiliki Pak Danang, mulutku milik Kang Dirman, dan tangan kanan-kiriku milik Mamat & Samsul.

Aku bergerak hanyut mengikuti arus, kemana sentakan pejantanku kesitulah tubuhku meliuk. Baik Mamat atau Samsul sesekali merintih saat aku tak sengaja meremas batang mereka akibat hentakan Pak Danang yang seolah ingin memasukkan batangnya sampai rahimku.

"Aaahhhh .... Ahhhhh .... Sa-Saya Nonnnnnhhh .... Uhhhh ...." Samsul tak kuasa menahan servisan tanganku hingga akhirnya meluruhkan lahar panas di sana. Dia kemudian lemas dan jatuh ke samping.

"Huhhhhh mantep Noonnnnhhhh .... Kalau tiap hari disepong gini .... Uhhhh!!!" Kang Dirman menyentakkan dalam-dalam kontolnya dengan sebal ke dalam tenggorokanku sebelum akhirnya membuang pejunya di sana.

"Tiap hari juga saya bakalan entotin Non Ayu!" lanjut Kang Dirman sambil menarik lepas kontol miliknya.

"Uhkkkk .... Uhk uhkkk ...." Aku batuk beberapa kali karena sebagian peju miliknya masuk ke saluran kerongkonganku, nyaris membuatku tersedak.

Namun baru juga selesai menyervis milik Kang Dirman, sebuah kontol hitam lainnya sudah berdiri mengantri untuk pelayanan selanjutnya.

"Sepongin, Non!" ucap Mamat dengan nada berat.

Aku menyeka air mataku lalu lanjut memasukkan benda milik Mamat ke dalam mulutku.

Dihentak Pak Danang sambil harus mengoral milik Mamat, rasanya tubuhku terkikis hancur. Beruntung aku dalam pengaruh alkohol sehingga sedikit banyak rasa nyeri dalam tubuhku bisa tertahankan.

"Ohhhh .... Ohhhhh lonteee anjinggg lonte anjiinggg ...." ringis Mamat sambil mempercepat sodokannya dalam mulutku.

Rasa bangga bak mengguyur habis tubuhku, tentu saja, asalkan diberi kesempatan servisanku juga tak kalah dengan milik Kak Lidya, gumamku dalam hati.

"Nggghhhhh udahhh nonnnn .... saya mau kelu .... arrrgghhhhh ...." Pak Danang membenamkan dalam-dalam kontolnya hingga mencium bibir rahimku, membuat mataku terbelalak menerimanya.

"Saya juu .... ga nonnnnnn .... Ahhhhh ...." Mamat ikut menyodokkan dalam-dalam batang miliknya di tenggorokanku hingga—

CRTT! CRTT! CRTT!

Keduanya menyirami bagian dalam tubuhku dengan peju sampai puas. Mereka kemudian melepaskan batang mereka masing-masing dan membuatku jatuh dari sofa dan terkapar di lantai rumah.

Napasku tersengal-sengal, dadaku yang masih tersembunyi di balik khimarku terlihat naik turun.

Kulihat Samsul mendekat lalu menetek di susuku sementara Pak Danang menarik sedikit ujung khimarku dan memakainya sebagai lap penisnya.

"Waduh saya juga mau nih ngerasain jepitan memeknya, Nang!" Kang Dirman menarik kembali tubuhku ke atas sofa, dan membuat Samsul pun mengalah mundur, sayangnya belum sempat masuk Kang Dirman sudah dihentikan suamiku.

"M-M-Maaf pak, to-tolong pakai kondom!" pinta Mas Rian sambil menyodorkan kondomnya padaku.

"Halah, harus pakai ginian pula mana kerasa," balas Kang Dirman tak terima.

"Pakai!" ucap Kak Lidya dengan nada datar, wanita itu menatap Kang Dirman dengan satu senyuman tipis hingga lelaki itu pun bergidik dibuatnya. Sungguh meski hanya satu kata, aura Kak Lidya terasa kental memenuhi ruangan jika dia sudah mengeluarkan nada serius.

"Halah, sialan memang kamu, awas kalau sampai ukurannya kekecilan!" lanjut Kang Dirman yang masih tidak terima lalu menampar pipi Mas Rian, melampiaskan rasa kesalnya.

Mas Rian mengaduh memegangi pipinya yang panas lalu kembali duduk di samping Kak Lidya, aku tertawa remeh melihat pecundang itu dan mengangkangkan kakiku, bersiap menerima sodokan pejantanku.

BLES!

"Ohhhhhh ...." Aku mengaduh tak kuasa menahan rasa sakit dan nikmat yang bersamaan datang, Kang Dirman yang masih tampak emosi memasukkan benda miliknya dengan sekali tusukan kasar, dia kemudian memompa tubuhku dengan membabi buta.

"Perek anjinggg .... Babiiii .... Memek akhwat syari gini pastinya haus sama garukan-garukan kontol lain yahhhh .... Hmhhhh .... Dasar ukhti lacurrr ...." ucapnya sambil terus menghujamkan dengan kasar batang miliknya dalam liang vaginaku.

"Aaampunhhh paaakkkk .... Pelan-pelannnnnhhh ...." Aku menangis menahan sakit, sebelum akhirnya Kang Dirman mencabut batang miliknya.

"Pelan-pelan? Ohh kamu mau aku pelan-pelan? Ya udah siniin tanganmu!" ucap Kang Dirman.

Lelaki itu mencabut paksa cincin nikahku membuatku meringis perih. Kang Dirman melepas kondomnya dan membuka kondom baru, bedanya kali ini dia menaruh cincin nikahku di sana lalu mendorongnya masuk hingga besi tanda pengikat janji suciku dan Mas Rian kini berada di puncak kepala penisnya.

Jiwaku terasa lemah mendapat perlakuan seperti itu, sampai sejauh inikah aku ingin lebih direndahkannya lagi. Mas Rian tak bereaksi sedikitpun, dia hanya menikmati kocokan demi kocokan tangan Kak Lidya pada batangnya sambil menontonku.

Apa artinya aku bagimu, mas?
Apa artinya pernikahan kita selama ini?

Kali ini Kang Dirman memasukkan kembali batangnya dan memompa tubuhku dengan pelan. Dengan jiwa yang hampa aku membiarkan nikmat syahwat memenuhi darahku untuk pereda nyeri, baik nyeri tubuh maupun nyeri di hati.

Aku lemah membiarkan tubuhku tersentak tak berdaya sampai akhirnya orgasme dalam keadaan kosong, tak menjerit ataupun meregangkan tubuhku, aku menatap hampa wajah Mas Rian yang menjadikanku sebagai bahan masturbasi di seberang sana.

"Ohhhhh .... Hhhhhh .... Saya keluar .... Ahhhhh Non Ayuhhhhh ...." Tubuh Kang Dirman menegang lalu mengeluarkan spermanya yang kali ini terhalangi oleh kondom.

Ditariknya penisnya keluar sehingga meninggalkan kondom miliknya di dalam tubuhku. Aku mengangkang pasrah dengan kondisi cairan peju mengalir keluar membasahi lantai.

Samsul datang mendekat lalu mencabut kondom berisikan cincin nikahku yang dibanjiri peju milik Kang Dirman. Diikatnya karet itu lalu dibuangnya ke tempat sampah. Remaja itu pun lanjut memeluk tubuhku dan menarik lepas khimarku hingga kini tak tersisa sehelai benang pun yang menutupi tubuhku.

"Tahan Sul! Aku mau masukin punyaku!" ucap Mamat sambil memakai kondom baru lainnya.

Samsul menahan tubuhku dengan cara mencengkeram kedua dadaku dari belakang, sementara Mamat memasukkan benda miliknya ke dalam tubuhku.

"Ouhhhhhh ...." Aku merintih nikmat sebelum akhirnya memejamkan mata membiarkan remaja itu berkreasi dengan syahwatnya.

Genjotannya tampak kaku, kelihatan sekali kalau anak ini belum berpengalaman menyangkut urusan seks. Yah, aku tidak bisa menyalahkan sih, dengan uang yang seadanya kalau ada duit pasti dipakai beli makan ketimbang pesan BO.

Samsul yang berada di belakang tubuhku terlihat gelisah sambil menggesek-gesekkan batang miliknya. Mamat pun menarikku sehingga berdiri sejenak sebelum akhirnya Samsul mengikuti instingnya dan mengarahkan batang kejantanannya di depan lubang pantatku.

"Aahhh .... Jangan .... Jang .... Ahhhhkkk ...." Aku terbelalak saat penis itu mendobrak masuk sedikit demi sedikit, perlawananku terlalu lemah sehingga terkesan sia-sia. Aku pasrah saat Mamat terus mendorongku untuk menduduki penis Samsul dan

BLES!

Kurasa dua batang itu telah mendapatkan lubang mereka masing-masing.

Aku merintih kesakitan sebelum kemudian Kak Lidya datang mendekat lalu meminumkan anggur merah langsung dari botolnya ke mulutku. Dipaksanya aku minum beberapa teguk sampai batuk-batuk, lalu saat wajahku sudah memerah dia berhenti melakukannya.

Dengan mata berkunang-kunang, duniaku sudah terasa berputar lebar, aku tak tahu lagi apa siapa dimana dan sedang apa. Yang kutahu adalah Mamat dan Samsul sedang berlomba-lomba mengejar kenikmatan duniawi mereka menggunakan tubuh bugilku lalu orgasme lagi.

Pak Danang dan Kang Dirman memasukkan penis besar mereka dan mencekoki tenggorokanku lalu keluar di sana. Samsul menduduki wajahku dan memaksaku untuk menjilati lubang anusnya agar. Mamat mencupangi kedua dadaku dan menampar pipiku beberapa kali hingga aku muntah di lantai.

Semua ingatan itu begitu samar dan terpotong-potong.

Aku merangkak menjauh dengan keadaan setengah sadar menuju Kak Lidya dan Mas Rian yang tengah berciuman namun pejantanku lekas menarik betisku lalu menghantamkan batang perkasa mereka lagi .... lagi .... dan lagi.

Baik Mamat dan Samsul berbarengan menjejalkan kedua penis mereka dalam satu lubang vaginaku sementara Kang Dirman menganalku dari belakang.

Pak Danang menghisap rokoknya dalam-dalam lalu menciumku yang mabuk berat sehingga asap rokok pun keluar di sela-sela ciuman kami.

"Aahhhh .... Ahhhhh .... Sudahhhh .... Ampunnnn .... Ampunnnn ...." pintaku memohon dan bersujud di kaki Pak Danang, kuciumi kakinya mengiba agar aku diberi istirahat hingga pria itu tertawa terbahak-bahak.

"Non Ayu budak siapa?" tanya Pak Danang.

"Ayu budak kontol bapak-bapak semua. Ayu lonte pribadi kalian semua. Tubuh Ayu milik kalian," balasku lemas dengan wajah memerah dan kepala yang amat pusing.

"Waduh, kondomnya habis nih...." Kang Dirman merogoh kotaknya dan kini sungguh tak bersisa satu pun kondom.

"Gimana, Non?" tanya Pak Danang, Kak Lidya menggeliat meregangkan kedua tangannya ke atas.

"Ya udah, kasih dia istirahat," perintah Kak Lidya.

"Yah, tapi saya masih sange, Non." Kang Dirman tampak protes dengan keputusan Kak Lidya.

"S-Saya juga, Non." Samsul maju diiringi dengan Mamat di belakangnya.

"Kalian tuh ya. Ngewe kek besok bakalan kiamat aja. Kalau ngga slese hari ini 'kan besok besok masih bisa lanjut," ucap Kak Lidya ketus sambil menarik lepas gamisnya, hingga menampakkan tubuh indahnya.

"J-J-Jangan, Lid!" Mas Rian terlihat menahan Kak Lidya, tak rela ada penis lain yang memasuki wanita itu.

"Kamu merintah aku?" tanya Kak Lidya, sehingga Mas Rian pun tampak seperti kerupuk layu mendengarnya.

"Yaudah, yang masih belum puas sini, sama aku!" ucap Kak Lidya membentangkan tubuhnya, para pejantanku pun pergi meninggalkanku dan mengerumuni tubuh Kak Lidya.

Samar-samar mataku mulai memburam, betapapun aku mencoba memfokuskan pandanganku aku tak bisa menatap dengan fokus apa yang selanjutnya terjadi.

Semua begitu samar-samar sampai akhirnya gelap gulita.

Aku tidak tahu apapun lagi, kurasa aku pingsan, entah karena mabuk atau karena kehabisan tenaga setelah dikeroyok masing-masing pejantanku.

Sayup-sayup terdengar suara adzan subuh sehingga aku pun terbangun dari tidurku. Badanku terasa hancur lebur dan ruas-ruas tulangku serasa longgar semua. Aku bergegas berdiri berlari menuju kamar mandi lalu muntah di dalam toilet, busa busa dari pilsener serta sebagian anggur keluar kembali meninggalkan lambungku. Aku batuk beberapa kali sebelum lanjut muntah mengosongkan perutku.

Keluar dari kamar mandi aku melihat para pejantanku terkapar di lantai. Kang Dirman jatuh tiarap sementara Pak Danang terkapar terlentang di atas punggung Kang Dirman. Samsul tidur dengan bugil di sofa dengan posisi tangan terlentang dan mengangkang sementara Mamat—

"Ohhhh sudah Nonn .... Sudahhhhhhh .... Ohhhhh ampunnnnn .... ammmmpuuuunnhhhh .... Ohhhhhh ...."

"Kenapa dekkk? Ngga suka sama jepitan ukhti?" goda Kak Lidya sambil menenggak habis satu kaleng pilsener.

Ya, Mamat sedang diperkosa oleh Kak Lidya dengan gaya missionari. Lelaki itu menguik-nguik bak babi memohon ampun pada Kak Lidya, setelah tubuhnya orgasme dia menggelepar beberapa kali layaknya ikan yang dikeluarkan dari akuarium.

Mamat menganga lebar dan terlentang pasrah menunggu Kak Lidya yang akhirnya orgasme.

"Fuuuuhhhh .... Berantakan juga ya .... Udah lama ngga party party kayak gini .... Jadi inget pas masih kuliah," ucap Kak Lidya sambil melepaskan khimar miliknya, dipakainya kain itu untuk mengelap keringat dan sperma di tubuhnya sebelum kemudian duduk di sofa.

"K-Kak Lid .... Mas Rian mana, kak?" tanyaku heran tak melihat suamiku dimana pun.

"Ohhh itu di teras. Aku suruh tidur di luar. Males punya peliharaan bawel kalau malam. Ya udah suruh tidur di luar," jawab Kak Lidya dengan santainya.

Aku bergegas berjalan menuju luar dan membukanya.

"Astagfirullah," ucapku spontan saat melihat suamiku tertidur di lantai dalam keadaan telanjang dan mata memutih, tangannya terikat dan terpasang sesuatu pengunci di penisnya, besi itu seolah mengurung penis Mas Rian agar tidak bisa disentuh, mungkin ini yang namanya chastity belt yang biasa di situs-situs porno itu, pikirku. Kak Lidya bahkan membawa ini?

"Mas! Mas Rian! Udah Subuh Mas, bangun! Shalat!" ucapku.

Pria itu mengeluh lalu berdiri, ketika batang kecil miliknya dekat dengan wajahku aku baru sadar bahwa chastity belt itu juga dilengkapi dengan baterai sehingga merangkap sebagai vibrator. Sambil melenguh lemah bak kerbau, suamiku pun masuk dan menunaikan Shalat.



Ketika pagi telah tiba, Mas Rian memasak sarapan dibantu dengan Pak Danang.

Selagi para raja dan ratu itu duduk di bawah menyantap hidangan mereka. Aku dan Mas Rian makan di kolong meja dengan mangkuk makanan kucing.

Selesai makan, kami para betina pun mengantar para pejantan kami ke pintu depan. Dengan lunglai mereka melangkah pulang ke rumah masing-masing sebab kenikmatan yang mereka dapat di sini takkan mereka dapatkan di rumah mereka masing-masing.

"Aku pulang dulu, yah. Nanti sore aku jemput lagi, Yu. Kita ada pengajian di Masjid Agung. Kamu harus ikut," pinta Kak Lidya.

"I-Iya, kak." Aku mengangguk terpaksa melepas pergi Kak Lidya hingga kini tersisa, Pak Danang dan Mas Rian yang menemaniku di rumah.

Selagi Mas Rian mengepel lantai membersihkan sisa-sisa pesta seks kami. Aku dan Pak Danang berpagutan sambil menonton televisi.

"Nanti di tempat kajian carikan lagi ukhti buat jadi budak seks saya, Non. Cariin yang Ustadzah kalo engga yang cadaran gitu, ummi umahat gitu gitulah," ucap Pak Danang.

"Mmmnnnn .... Ngga mau .... Nanti Pak Danang ngga mau sama memek Ayu lagi ...." ucapku merajuk lalu dia pun tertawa.

"Ngga kok Non. Jepitan memek, Non. Memang selalu di hati!" sahut Pak Danang sambil menciumku.

Tak lama pagutannya pun terlepas karena aku merasa mual. Aku berlari kembali ke toilet dan memuntahkan isi perutku. Benar-benar kacau, apakah memang begini dampak setelah pesta seks? Atau memang lambungku saja yang intoleran dengan minuman beralkohol?

Pagi ini aku sudah bolak-balik muntah di toilet. Aku tak nafsu makan. Hanya bisa minum air putih dan kencing beberapa kali diiringi dengan muntah. Tubuhku serasa tergerus dan akibat aku tak nafsu makan, aku pun melemah hingga terbaring sakit.

Pak Danang dengan lembut mengompresku sementara Mas Rian memasakkan bubur untukku. Saat Mas Rian menyendokkan bubur dan menyodorkannya untuk menyuapiku aku mengalihkan wajahku menolak baunya. Dia pun menaruh mangkuk itu di samping bed kami.

"Sini, Non. Saya suapin," tawar Pak Danang.

Anehnya, tubuhku seolah merespon pada suaranya. Sedikit, sedikit aku mau menerima bahkan memaksa diri sendiri untuk makan agar tidak mengecewakan pejantanku.

Dengan lembut dia menyuapiku sambil mengelus-elus dahiku.

Sampai waktu sore pun tiba tubuhku masihlah terasa lemah. Kak Lidya pun datang dan duduk di samping tempat tidurku sambil memegangi dahiku.

Aku bangun, lalu muntah di toilet kamar kami. Bubur yang tadi sempat kusantap buat mengisi perut kembali keluar hingga perutku kembali kosong. Aku mengaduh ngilu. Dadaku terasa sakit. Mungkin akibat cupangan para pejantanku tadi malam. Entahlah, tapi tubuhku benar-benar tidak berfungsi dengan baik seharian ini.

Kak Lidya, Mas Rian, dan Pak Danang berdiri menatapku yang baru keluar dari toilet. Tampaknya Kak Lidya habis membicarakan sesuatu pada mereka.

"A-Aku kenapa, kak?" tanyaku lemah.

Kak Lidya pun membuka kotak P3K kami lalu mengeluarkan test pack dari dalam sana. Dia menyodorkan benda itu padaku membuatku menggeleng.

"Ngga mungkin. Ngga mungkin, kak. Ini baru pertama aku party begini," ucapku menolak percaya.

"Memang baru pertama kamu main-main begini. Yang artinya .... kalau sampai kamu hamil berarti sudah beberapa minggu sebelum hari ini," terang Kak Lidya datar.

Aku berkaca-kaca dan masuk kembali ke dalam toilet.

Aku tak menyangka aku melakukan semua dosa itu dalam keadaan mengandung. Siapa ayah anak ini. Siapa? Milik Mas Rian? Pak Danang? Aku lupa orang-orang yang sudah menjadikanku sebagai tempat pembuangan peju mereka.

Aku menangis saat melihat dua garis biru muncul di test pack yang seolah mengukuhkan kata-kata Kak Lidya. Jauh sebelum pesta seks ini aku sudah hamil, entah sejak kapan. Aku menangis sesengukan di dalam toilet sambil memeluk tubuhku.

Sore itu kami berempat duduk di ruang keluarga, diam tanpa ada suara. Aku menatap kosong udara di depanku. Aku bingung harus berbuat apa.

"Kalau dipikir-pikir lagi yang punya potensi sebagai ayah kandung anak Ayu saat ini cuman Danang. Selama kita tutup mulut, tetangga ngga bakalan curiga karena pasti ngiranya itu anak Rian. Cuman gimana mental kamu, Yu? Kalau kamu sanggup mikulnya ya, kita cukup tutup mulut aja...." terang Kak Lidya, aku hanya menunduk sambil mengigit bibir bawahku.

"Atau kita bisa ******—"

"Jangan!" potongku setengah menangis, Kak Lidya pun diam melihatku.

Kami bertiga kembali diam, tak tahu harus berbuat apa. Solusi masalah ini sebenarnya simpel. Cukup tutup mulut. Namun beban moralnya sungguh besar, aku harus hidup dengan kenyataan bahwa anakku saat ini bukanlah anak dari suamiku melainkan pembantuku. Apa jadinya jika kelak dia sudah besar lalu bertanya mengapa wajahnya tidak mirip dengan ayahnya.

"Saya ...." ucap Pak Danang membuka pembicaraan dan kami bertiga pun meliriknya.

"Saya bakal tanggung jawab Non," lanjut Pak Danang.

"Gimana caranya, Nang?" tanya Kak Lidya namun pria tua itu pun tak bisa menjawabnya.

Kak Lidya menarik napas panjang lalu menengadahkan kepalanya di punggung kursi sambil berjungkit beberapa kali kebelakang.

"Kalau nikahnya diam-diam sih ngga terdaftar di negara, bisa-bisa aja. Tapi kamu punya tabungan buat resepsi?" tanya Kak Lidya lagi sambil menatap langit-langit, lagi, hanya diam.

Aku menundukkan kepalaku. Apakah aku harus bercerai dengan Mas Rian? Apakah ini akan jadi akhir dari rumah tangga kami? Aku tak mengerti lagi.

"Yaudah, kalian nikah siri aja, Nang. Tapi ngga bisa di sini, harus di kampungmu sana, Nang. Biar nanti Rian yang biayain nikahannya," lanjut Kak Lidya sambil meluruskan duduknya.

"T-Tapi Lid—"

"Cerai, ******, atau tutup mulut. Udah itu doang pilihan sisanya," tawar Kak Lidya.

Mas Rian gelisah menatapku lalu mencoba memegang tanganku, "Yu. Ngga usah nikah segala. Cukup diam aja, jalani kayak biasa, orang ngga bakalan curiga. Biar kita besarkan anak ini sama-sama. Aku janji—"

"Sssshhhh!!" Aku menarik tanganku jijik mendengar ucapan suamiku.

"Janji? Cincin tanda janjimu itu udah di tong sampah dalam kondom. Aku jijik sama kamu, Mas. Satu-satunya alasan detik ini aku ngga milih cerai sama kamu ya karena mikirin masa depan anak ini!" balasku keras dengan mata berkaca-kaca, dia termanggu mendengar jawabanku.

"Berarti tinggal nikah atau ******," lanjut Kak Lidya.

Ya, kami semua tahu apa jawaban yang akan kami pilih. Hanya masalah waktu sampai hati kami masing-masing menerima kenyataan.

Aku menyandarkan kepalaku di pinggir kaca mobil, melihat jalanan penuh hutan sawit dan belantara. Aspal masih baru sebagian, sedangkan sisanya adalah tanah merah yang kalau hujan bisa becek sampai membuat ban amblas.

Desa milik Pak Danang terletak di pelosok kecamatan, jauh menuju arah hulu. Perlu tiga hari perjalanan darat dan satu kali lewat sungai sebelum akhirnya kami sampai di tempat antah berantah itu.

Hanya tetangga sekitar yang menghadiri acara pernikahan itu. Aku meneteskan air mata saat berdiri di sampingnya dengan pakaian pengantin. Terharu atas keberaniannya bertanggung jawab sampai akhir. Sebagian orang berbisik-bisik melihat aku yang mengenakan khimar sedang melakukan pemberkatan bersama Pak Danang di gereja. Tentu mereka sadar bahwa agama kami berbeda, tetapi aku tak peduli, aku tak peduli apa kata orang selama anakku nanti bersama ayah kandungnya itu sudah cukup bagiku.

Kami berdua mengucap janji di hadapan bapak pendeta. Pak Danang memasangkan cincin berlian sebagai tanda janji suci kami, begitupula dengan sebaliknya. Aku tersenyum bahagia di depan kamera dengan diiringi lagu-lagu pujian di belakang kami.

Keluar dari sana, aku melihat Mas Rian dan Kak Lidya yang melambai di kejauhan. Menandakan restu mereka atas pilihanku.

Aku dan Pak Danang menghabiskan waktu beberapa saat di kampung halamannya sebelum akhirnya pulang kembali ke kota. Kami menyiapkan rencana bulan madu kami di Lombok selama tiga hari dua malam dengan dibiayai oleh Mas Rian.

Aku masih belum menceraikan Mas Rian, pastinya aku masih perlu dompetnya buat keperluanku dan bayiku kelak. Dan Mas Rian pun tak punya kemampuan sedikitpun untuk menolak keputusanku sebab ada Kak Lidya di sisiku.

Kehidupanku yang dulu hilang tak berbekas, semua terkonversi menjadi sebuah bentuk kehidupan baru yang menandai awal kisah baru keluarga kami.

DUA TAHUN KEMUDIAN


"Ssshhhh shhh shhhh .... Shhhhh shhhhhh ...." Aku mencoba menenangkan bayiku agar tidak menangis di tengah sesi foto.

"Duhhh cantiknya. Afwan, namanya siapa, ukh?" tanya Ustadzah Oki yang tampak gemas melihat anakku.

"Namanya Husna, Ustadzah," jawabku sambil melepaskan putriku ke pangkuan Ustadzah Oki.

"Cupcupcup .... Husnaaa .... Moga jadi muslimah yang baik ya kayak ibunya, rajin ikut kajian, berbakti sama suami, terus pandai menjaga aurat .... Mmmuuuah ...." Ustadzah Oki Setiana Dewi mencium Husna dengan lembut sebelum kemudian menyerahkan kembali anakku ke pelukanku.

"Syukron, Ustadzah. Semoga doanya diijabah," jawabku.

"Aaaamiiinn. Yu, yu, semuanya merapat!" pinta Ustadzah Oki, dan beberapa pasang kamera pun dengan sigap mengambil foto-foto kami para ibu pengajian.

Aku berjalan ke parkiran didampingi dengan para pejantanku. Tangan Pak Danang dengan nakal meremas pantat kiriku, sementara Kang Dirman meremas pantat kananku. Kami bertiga berjalan beriringan menuju mobil.

"Silahkan, bu." Kak Lidya tersenyum kecil membukakan pintu lalu memagut bibirku.

"Mmmhhhh, kalian masih belum puas ya?" sahutku manja sambil melepas kecupan kami.

"Kami lagi diskusiin nih, Non. Buat anak kedua nanti siapa yang kebagian jatah buat ngisi perut, Non Ayu. Kalau saya sih, ngikut maunya Non Ayu aja siapa," lanjut Kang Dirman.

Aku tersenyum sambil menepuk-nepuk pelan pantat Husna. Selagi para pejantanku sibuk berdesakan di kursi belakang berebut tubuhku, Mas Rian hanya fokus menyetir dan menghiraukan kami. Bagi pria itu selama Kak Lidya ada di sampingnya dia tak peduli mau aku hidup ataupun mati. Aku pun tak peduli padanya. Selama transferan di rekening lancar, mau dia ngentot sama lacur jalanan pun itu urusannya. Tugasku sekarang adalah memfokuskan bakti jiwa dan ragaku pada pejantan-pejantanku.

"Eh, ngomong-ngomong aku bikin majelis kecil-kecilan. Kukasih nama Majelis Syahwat. Isinya akhwat-akhwat cadaran yang haus sama kontol bukan mahromnya. Nanti kita nyewa villa yuk, buat party bareng lagi," ucap Kak Lidya.

Aku tersenyum tipis mendengarnya. Entah kegiatan seliar apa lagi yang ingin diadakan Kak Lidya, namun selama itu bersamanya, lautan birahi seluas apapun akan kuarungi.

"Iya, kak. Aku ikut.