Sunday, March 29, 2020

Slutty Wife Tia

Slutty Wife Tia 1 : Daripada Dia Jajan
===================================
Tia memberikan HP-nya kepada kakak iparnya untuk memperlihatkan foto-foto yang diambilnya dari HP suaminya, Bram.  Citra, kakak ipar Tia, menyandarkan punggung ke kursi salon yang didudukinya sambil membuka satu per satu foto-foto itu.  Di cermin terlihat pantulan muka Tia yang cemberut.

“Oo,” gumam Citra tanpa ekspresi, “Beginian.  Dasar Bram.  Penyakit lama, nih”.

Tia agak kesal melihat kakak iparnya—merangkap pemilik salon tempat mereka berdua ngobrol—‘biasa saja’ melihat foto-foto perempuan lain yang membikin Tia dan Bram bertengkar dua hari lalu.  Waktu itu Tia makin marah ketika Bram mengakui bahwa perempuan-perempuan itu PSK.

“Penyakit lama, Kak Citra?  Apa dari dulu Mas Bram memang suka jajan?”

“Emmm…” gumam Citra sambil mengambil sebatang rokok dari bungkusnya yang ada di meja, “Iya sih.  Lho kamu kok malah baru tahu.  Gimana.  Kamu kan istrinya.”

Tia malu sendiri.  Tapi dia memang tidak bisa disalahkan, karena pernikahannya dengan Bram baru berjalan setahun, dan sebelumnya mereka berdua tidak pernah pacaran.  Keduanya memang dijodohkan oleh orangtua masing-masing yang rekanan bisnis, dan sekarang mereka sama-sama disiapkan jadi penerus usaha keluarga besar mereka.  Tia dan Bram sudah kenal sejak kecil, tapi mereka baru mulai saling mengakrabkan diri setelah menikah.  Satu yang Tia tahu, keluarga Bram memang longgar dalam mendidik anak-anaknya.  Jadi seharusnya dia tidak heran kalau Bram ketahuan punya kebiasaan buruk seperti itu.  Sama saja dengan kakak Bram, Citra.  Citra yang sekarang berumur 30-an tadinya malah disiapkan untuk dijodohkan dengan seorang saudara Tia, tapi karena terbiasa bergaul sangat bebas, Citra dihamili temannya waktu kuliah dan terpaksa dinikahkan—dan selanjutnya diusir karena bikin malu keluarganya.

“Terus gimana nih?” Citra bicara sambil menjepit rokok yang baru dinyalakan dengan bibirnya yang tersaput lipstik merah jambu tebal. “Kamu udah dua hari nggak ngomong sama Bram.  Apa mau terus-terusan?  Ah, tapi kamu kan anak baik.  Pasti kamu mikirin keluarga besar kita.  Gak enak sama mereka kalau sampai… cerai.”

“Nggak!” jerit Tia. “Bram emang salah sih, tapi Kak, aku nggak niat cerai sama dia.  Aku udah mulai belajar sayang dia Kak.  Dan aku juga baru tahu kebiasaan dia yang ini.  Makanya aku datang minta saran Kak Citra, gimana baiknya aku hadapi masalah ini.  Kak Citra kan lebih kenal Bram,” suara Tia mengecil karena malu, “…lagian aku nggak mau nyusahin orangtua kita semua.”

Baik banget ini anak, pikir Citra. Cuma saat itu juga Citra merasa dapat satu lagi alasan yang bisa dia kasih kalau ada orang tanya pendapat dia tentang menikah tanpa pacaran.  Tia, yang tidak pernah pacaran dengan Bram, kaget waktu kebiasaan buruk Bram ketahuan sekarang.  Kalau Tia pacaran dulu sama Bram, pastinya mereka bisa lebih saling ngerti, atau bisa putus tanpa repot kalau memang Tia nggak suka.  Citra mengisap rokoknya dalam-dalam, lalu menyemburkan asap dari mulut. Tia menghindar sambil mengipas-ngipas di depan muka.  Kakak iparnya itu sudah merokok sejak SMA, dan kadang-kadang Tia mengira Citra selalu bermake-up tebal (seperti saat mereka ngobrol sekarang) untuk menutupi penuaan dini di mukanya yang sudah belasan tahun kena asap rokok.  Citra memang tidak pernah tampil tanpa riasan lengkap, rambut tertata, dan pakaian mencolok; tidak hanya sejak dia membuka salon, tapi sejak dia remaja. Tia melihat Citra seperti berpikir sambil merokok, lalu membetulkan tali sackdressnya yang melorot dari bahu.  Sackdress hitam agak transparan itu gagal membuat bra merah yang ada di bawahnya tidak kelihatan.  Citra lalu menaruh rokoknya di asbak, tersenyum, berdiri, lalu mendekati Tia.

“Kalau menurutku sih begini saja…”

………………………………

“KOK GITU SIH CARANYA???” Tia tidak bisa menahan volume suaranya setelah mendengar saran Citra sampai habis.  Yang memberi saran dengan santainya mengambil lagi rokok yang tadi ditinggal lalu meneruskan menyedot batang rokok.

“Terserah kamu sih.  Saranku ya gitu.  Kalau mengingat sifatnya Bram sih kupikir cara itu mempan.  Kalau kamu mau coba tanya orang lain, silakan.”

“…” Tia diam saja.

“Kalau kamu mau, aku siap bantu. Gratis,” kata Citra, sambil nyengir.  “Bukan cuma sekali, tapi seterusnya juga boleh.  Hitung-hitung balas budi sama kalian yang udah bantu aku selama ini.”

“…Sebentar.  Aku pikir-pikir dulu,” bisik Tia, menimbang-nimbang.

Ternyata dia perlu waktu lama sekali buat menimbang-nimbang.  Berkali-kali dilihatnya lagi foto-foto yang diambilnya dari HP Bram.

“Mas, aku mau bicara sama kamu nanti malam.”  SMS itu Tia kirim ke HP Bram.

Bram, yang sudah uring-uringan sejak bertengkar dengan Tia setelah ‘foto-foto kenangan’nya ketahuan, menarik nafas lega di kantor.

************************

Menjelang sore.

Sesudah memastikan jalanan di luar kosong, Tia langsung keluar dari salon Citra dan secepatnya menuju rumah besar di sebelahnya.  Rumah itu rumah Bram dan Tia; Citra tinggal dan buka usaha di sebelah rumah mereka berdua. Sewaktu mau membuka pagar rumahnya sendiri, Tia kalang-kabut ketika melihat mobil Mercedes-Benz hitam muncul di ujung jalan.  Tapi dia sempat masuk ke rumah sebelum Mercy itu lewat.  Mercy itu tidak berhenti di rumahnya, karena memang itu mobil orang lain; mobil mewah itu berhenti di depan salon Citra.  Dari balik pintu supirnya keluar seorang laki-laki, yang lantas mengunci Mercy itu, lalu masuklah dia ke salon Citra. Semua itu tidak sempat diperhatikan Tia.  Tia sendiri sudah cukup lega karena tidak kepergok siapapun dalam perjalanan yang cuma beberapa meter saja dari tempat kakak iparnya.

“Aku pulang kira-kira sejam lagi.” SMS dari Bram masuk ke HP Tia.

Tia duduk sendirian di dalam kamar di depan cermin.  Normalnya dia bakal melihat rona mukanya sendiri berubah merah karena perasaannya yang campur aduk, tapi kali ini agak susah bagi dia. Rumah itu baru terisi mereka berdua, Bram dan Tia, yang menikah tahun lalu.  Belum ada anak.  Selama ini kehidupan mereka lancar-lancar saja.  Tia ‘si anak baik’ menerima saja ketika orangtuanya dan orangtua Bram memutuskan perjodohan mereka.  Bram juga bukan suami brengsek.  Setidaknya sampai belangnya ketahuan beberapa hari lalu.  Hanya saja Tia sering merasa Bram seperti bosan dengan dirinya.

Tia masih muda. Bram lebih tua sedikit.  Setelah lulus kuliah keduanya dijodohkan dan tak lama sesudahnya menikah.  Karier mereka berdua terjamin karena mereka berdua akan meneruskan usaha yang dirintis orangtua-orangtua mereka, dan mereka sama-sama sedang bekerja di sana, hanya di bagian yang berbeda.  Tia punya banyak waktu luang dan bisa bekerja di rumah, sedangkan Bram banyak bepergian keliling kota dan kadang-kadang ke daerah. Sebenarnya Bram tidak bisa dibilang rugi dijodohkan dengan Tia, yang berwajah lumayan menarik.  Citra, yang sudah kenal duluan dengan Tia sebelum Tia mengenal Bram, pernah bilang dia iri dengan tubuh Tia yang lebih sintal daripada tubuhnya sendiri.  Tapi kalau keduanya berjejer, orang bakal lebih banyak yang menengok ke arah Citra daripada Tia, karena Citra selalu tampil ‘meriah’ dengan dandanan cenderung menor dan pakaian seksi, sementara Tia selalu terlihat polos dan biasa berpakaian konservatif. Tia masih tidak percaya kenapa akhirnya dia setuju mencoba saran Citra.  Tapi, pikirnya, dicoba sajalah… tidak ada salahnya.

***

Bram menyetir pulang membawa oleh-oleh kue coklat untuk istrinya yang dia kira masih ngambek, tapi sudah beritikad baik mengajak berdamai.  Dia sadar, dia sendiri salah.  Sudah kawin kok masih doyan jajan.  Tapi, yah, kebiasaan lama susah luntur.  Dan ada hal-hal yang dia kira tidak bakal dia dapat dari Tia. Bunyi SMS datang di antara bunyi radio mobil.  Pesan dari seorang perempuan yang fotonya sampai tadi pagi ada di HP Bram.  Sekarang semua foto itu sudah hilang dari HP Bram (tapi pindah ke tempat-tempat lain, tentu saja).  Dan Bram tidak menanggapi ajakan dalam SMS itu.

“Jangan dulu deh”, pikir Bram.

***

Tia mendengar bunyi mobil Bram dan sesudahnya bunyi pintu rumah dibuka.  Dia menenangkan diri, mengulang lagi semua yang mau dia lakukan (atas saran Citra), dan bersiap-siap.  Tangannya dingin. Berjam-jam sudah dia habiskan untuk persiapan dengan dibantu Citra tadi.  Dalam hati dia berusaha membenarkan pilihannya dengan mengatakan, mungkin ini memang perlu, demi kami berdua, dan demi keluarga.  Tapi dalam hatinya berkali-kali terselip rasa penasaran.  Dia ingin tahu, bagaimana jadinya nanti.  Bagaimana kira-kira reaksi Bram.  Bagaimana kira-kira reaksi dia sendiri.

“Sudah waktunya.” pikirnya

***

Bram melongo di pintu, memelototi Tia yang berdiri di depannya. Malam itu, Tia berubah.  Tia yang sederhana dan terkesan baik-baik sedang tidak hadir.  Sebagai gantinya…Tia tampil beda.  Dia memakai gaun mini ketat berbahan satin berwarna hitam yang panjangnya tidak sampai menutupi setengah pahanya, sehingga memperlihatkan stocking jala hitam yang membungkus kedua kakinya sampai berujung ke sepasang stiletto hak tinggi.  Di atas pinggang, gaun mini itu mendesak sepasang payudara Tia sampai nyaris tumpah ke luar, sementara pundaknya terbuka. Kebetulan warna kulit Tia coklat muda.  Bukan putih atau kuning atau sawo matang, tapi warna di antaranya. Itu juga yang membuat lapisan bedak yang membuat mukanya lebih putih terkesan lebih kentara, karena kontras antara warna muka dan badan.  Ketika Tia berkedip, tampak rona biru muda di kelopak matanya, di bawah alis yang dibentuk dan dipertegas.  Kedipannya juga menunjukkan bulu mata palsu yang menempel di kedua mata.  Pipinya bersemu merah, tapi karena polesan.

“Kok bengong aja, Mas? Kamu suka yang kayak gini, kan?”

Kata-kata itu meluncur dengan nada menantang dari sepasang bibir Tia yang kali ini tidak telanjang.  Biasanya Tia paling-paling hanya memakai lip gloss, namun malam itu mata Bram tidak bisa lepas dari bibir Tia yang tampak lebih penuh dan sensual.  Merah, mengilap, menantang. Seperti itulah saran Citra untuk Tia.

“If you can’t beat ‘em, join ‘em.”  Citra kenal benar dengan Bram.  Adiknya itu tidak bisa dibilang ganteng, malah tampangnya terhitung pas-pasan.  Maka itu sejak dulu Bram selalu kurang mujur dalam percintaan; biarpun dia anak pengusaha, tetap saja jarang ada cewek yang mau dengannya.  Jadi dia terbiasa lewat jalan pintas dengan jajan.  Dan seleranya jadi terbentuk ke arah penampilan ‘khas’ cewek-cewek penjaja cinta: dandanan seksi tapi terkesan murahan.  Perempuan-perempuan macam itulah yang fotonya Tia temukan di HP Bram.

“Tia… kamu… ini maksudnya…?”

Melihat Bram bengong saja, Tia mengingat-ingat lagi apa kata Citra mengenai bagaimana dia harus bersikap.  Jadi dia segera maju mendekati Bram dan menarik dasi Bram.  Bram melihat istrinya menatap tajam matanya, sambil mencium bau parfum yang lumayan keras.

“Kenapa?  Gak seneng kalo aku kayak gini?”

Bram kewalahan, takut salah ngomong di depan istrinya yang entah kesambet apa sampai mendadak makeover jadi seperti WP langganannya.  Dia cuma bisa menjawab pelan-pelan.

“Bukan… bukan gitu… tapi kamu… Aku… nggak…”

Tia tambah sewot.  Maksudnya apa itu?  Apa dia malah gak suka aku jadi seperti ini?  Melihat muka Bram yang tambah panik, Tia memberanikan diri untuk agresif.  Dipepetnya Bram ke tembok, sambil masih memegang pangkal dasi Bram—seperti siap mau mencekik.  Bram lebih besar dari Tia, tapi saat itu seperti tidak punya kekuatan untuk melawan Tia.  Sementara tangan kanannya siap membuat Bram susah bernafas, tangan kiri Tia mencari-cari bagian tubuh Bram yang paling jujur.

Tuh, kan… pikir Tia.  Dia merasakan kemaluan Bram mengeras di balik celana.

Tia meremas pelir Bram.  “Masih mau bohong?” katanya sengit. “Aku udah tahu.  Kamu paling suka ngelihat cewek dandan sampe kelihatan murahan kayak gini kan?  Itu kan alasannya kamu masih terus aja jajan di luar biarpun kamu udah punya aku kan?”

Bram mau menjawab, sekaligus merasa agak nyeri di bijinya yang ada di cengkeraman Tia.  Tia sudah kelihatan marah sekarang.  Tapi Bram tidak bisa menyangkal bahwa dia terangsang melihat Tia berani tampil seperti itu.  Cuma dia tidak berani bilang.

“Gak usah nyangkal,” desis Tia.  “Aku udah tahu seperti apa kamu sebenarnya, Mas.  Tapi aku gak senang kalau kamu gak terus terang aja.  Aku kan istri Mas Bram?  Apa susahnya sih ngasih tau aku apa yang kamu suka?”

“Habisnya…” Bram meringis. “…ya, kupikir dibilangin juga kamu ga bakal mau…”

“Jadi kamu ga nanya dulu, nyangka aku ga mau, makanya kamu milih ngentot sama lonte? Gitu?  Apa ga pernah kepikiran kalau aku bisa aja mau ngikutin kemauan Mas?”

Bram menunduk, tidak berani bicara.  Pada saat yang sama, dia tambah terangsang mendengar Tia berani ngomong jorok seperti itu.  Tambah sempit saja celananya terasa.  Tia juga merasakan itu.

“Tuh, yang di bawah situ udah ngaku,” sindir Tia. “Bilang aja kalo suka, Mas.  Jujur aja.”

“Eh… i… iya… kamu… em… cantik?” Bram merasa salah ngomong, tapi tidak tahu yang benarnya seperti apa.

“Cih.  Kaya’ gini yang dianggap cantik?  Seleramu payah amat, Mas,” maki Tia, walaupun dalam hati kecilnya dia senang juga dipuji seperti itu.  “Tapi daripada kamu gak mau berhenti jajan…”

Sudah waktunya, pikir Tia. Lanjut…

“…mending kukasih aja.”

Didorongnya Bram ke sofa ruang depan sampai Bram terduduk.  Dengan tidak sabaran Tia langsung naik ke pangkuan Bram dan memaksa mencium bibir Bram.  Bram awalnya kelabakan, tapi langsung menyerah pada desakan Tia.  Hampir 10 menit bibir mereka bertempur, lidah mereka saling serang. Buat Tia sendiri, perlu kekuatan tekad sangat besar untuk bisa berpenampilan dan bersikap seperti saat itu.  Seumur hidup belum pernah dia seagresif itu, jadi dia deg-degan sendiri waktu akhirnya berani bicara keras di muka Bram.  Tapi itu baru permulaan.  Dia sudah berniat mau habis-habisan malam itu, dan meyakinkan Bram untuk seterusnya bahwa dia tidak mau lagi Bram main-main di luar.  Artinya, dia sendiri harus melakukan semuanya supaya Bram tidak lagi punya alasan. Tangan kiri Tia membuka kancing dan resleting celana Bram.  Tia belum pernah melakukan seks oral dengan Bram sebelumnya, karena Bram tak pernah minta, dan Tia sendiri kurang inisiatif.  Tapi malam itu Tia tidak ragu-ragu dan tidak menunggu Bram.

Setelah penis Bram yang sudah mengeras terbebas dari celana, Tia langsung menggarapnya.  Jilat dan sedot.  Bram terpana melihat bibir merah Tia naik-turun mengelus anunya.  Bukan pertama kali dia disepong; cewek-cewek langganannya lebih kenal dengan rasa kemaluan Bram daripada Tia.  Karena itu juga Bram mulai bisa tenang lagi, menghilangkan kaget sambil memikirkan apa yang sedang terjadi. Sambil menjilati ereksi Bram, Tia terus menahan rasa malu dan segan.  Dia sudah tidak merasa jadi diri sendiri sejak pertama kali Citra selesai mempermak habis penampilannya dan dia melihat sendiri mukanya di cermin.  Wajah perempuan bermake-up tebal yang asing itu terlihat norak sekaligus menggoda.  Tia sempat terpikir bahwa itu sudah berlebihan, tapi dia mencoba menerima saja hasil karya Citra di mukanya.  Perempuan di cermin itu tidak terlihat seperti dia, tapi itu memang dia.  Pakaian yang dipinjamkan Citra pun tidak mencerminkan kepribadiannya yang biasa, tapi Tia diam saja.  Biarpun harus menahan malu, dia harus mencoba dulu.  Demi Bram.  Demi dia sendiri…Berhubung Tia baru pertama kali mempraktekkan fellatio, aksinya masih canggung.  Dia tidak tahu apakah Bram suka atau tidak.  Dia berhenti lalu melirik ke arah muka Bram. Bram sudah merasa pegang kendali. Satu hal yang tidak diceritakan Citra ke Tia, karena Citra sendiri tidak tahu: kalau bersetubuh dengan wanita bayaran, Bram terbiasa dominan dan cenderung melecehkan lawan mainnya.  Itu juga salah satu alasan Bram ragu-ragu meminta Tia mengikuti kemauannya.  Bram tidak yakin istrinya bakal mau, dan kuatir kalau Tia tahu apa kesukaannya, masalah bisa muncul.  Beda kalau dengan PSK; dia tinggal bayar lebih supaya mereka mau meladeni permintaannya, atau cari cewek lain yang mau.  Sekarang ternyata Tia sendiri memberi sinyal bahwa sebenarnya dia mau mengikuti kemauan Bram.  Dan Bram mulai sadar bahwa justru itulah yang dia tunggu-tunggu.

“Kok berhenti?” kata Bram, dengan nada tegas. “Udahan, nih?”

Sekarang gantian Tia yang kaget.  Dia menganggap apa yang dia lakukan itu semacam akting, role-playing, bermain peran.  Dia tidak menyangka Bram bakal secepat itu mengerti dan ikut ‘bermain’.  Gara-gara salah perhitungan itu, perannya buyar.  Dia merasa konyol karena bengong sementara bibirnya masih di seputar burung Bram.

“Jangan dipaksain kalo emang gak bisa,” kata Bram, mulai yakin bahwa dia sudah membalik keadaan.  “Tapi kamu sendiri yang ‘masang’.  Ya udah.  Sekalian.”

Tia melihat sekilas Bram nyengir jahat lalu merasakan kedua tangan Bram mencengkeram kedua sisi kepalanya.  Sebelum Tia sempat bicara, Bram berdiri, lalu dengan gencar memaksa kepala Tia bergerak maju-mundur menyervis anunya.  Tia kelabakan sendiri, dan cuma bisa mengeluarkan bunyi-bunyi tak jelas selagi mulutnya berubah jadi alat masturbasi Bram.  Bram memutar tubuh sambil menarik Tia sehingga sekarang Tia membelakangi sofa.  Lalu Bram menundukkan badan sehingga kepala Tia terdorong sampai berbantalkan jok sofa.  Setelah dalam posisi itu, Bram langsung menggerakkan pinggulnya membabi-buta, penisnya mengaduk-aduk seisi mulut Tia yang tidak bisa apa-apa selain menerima.  Beberapa genjotan kemudian, Bram melenguh keras dan muncrat di dalam mulut Tia. Setelah ejakulasi, Bram keluar dari mulut Tia.  Tia terbatuk, berusaha mengeluarkan mani Bram dari dalam mulutnya.  Bram melihat itu dan langsung menghardik.

“Heh.  Siapa suruh muntahin?  Telan.”  Tia yang masih kaget tidak sempat berpikir apa-apa lagi, secara refleks diikutinya perintah Bram.

Tia memalingkan muka selagi menelan.  Dia berusaha bangun, sementara Bram berdiri mengangkang di atas badannya.  Tia beringsut ke sofa.  Bram tersenyum penuh kemenangan sambil membuka dasinya.  Dilihatnya Tia meringkuk di sofa.  Sekarang istrinya itu terlihat ketakutan.  Memang.  Tia seperti baru melepaskan anjing galak dari ikatan, dan sekarang anjing galak itu malah mengancamnya.

Ganti Bram yang mendesak Tia di sofa.  Kedua tangan Bram memegangi kedua pundak Tia sementara tubuhnya merapat ke tubuh Tia.  Dilihatnya lagi wajah Tia yang sedang main pura-pura jadi sundal itu.  Walau ada yang cemong sedikit gara-gara mukanya tadi digagahi, bibir Tia masih merah, maskaranya belum luntur, bedaknya masih ketebalan.  Topeng wanita murahan-nya masih ada.  Cuma ekspresinya memang berubah; kalau tadi ekspresi PSK cari mangsa, sekarang tampang PSK kena razia.  Tapi Bram yang mulai menikmati perubahan istrinya tidak mau membiarkan Tia balik lagi seperti yang dulu.  Bram terpikir untuk bersikap gentleman dengan langsung melepas Tia, meminta Tia menghapus semua rias wajahnya dan ganti baju biasa, lalu meminta maaf dan kembali bersikap mesra.  Tapi Bram tidak mau buru-buru melepas kesempatan.  Mumpung istrinya lagi ingin bergaya binal, kenapa tidak dimanfaatkan sepuasnya?

“Mestinya dari dulu kamu begini,” kata Bram di depan muka Tia, “Tapi kalo udah susah-susah dandan kayak gini, jangan setengah-setengah dong!  Terusin aja.”  Tia seperti berusaha meraih mukanya—maksudnya mau minta french kiss dari Bram, tapi Bram berkelit.  Dia belum lupa tadi habis membuang apa di mulut Tia.  Selagi Tia kecewa, Bram menyerang sasaran lain.  Dibuatnya leher, pundak, dan bagian atas payudara Tia berbekas cupang merah.  Lalu diangkatnya ujung bawah gaun mini Tia.  Di situ Bram mendapati Tia tidak pakai celana dalam.

“Niat banget, ya?  Sengaja ga pake CD?” goda Bram. “Atau sedari tadi kamu udah gak tahan jadi self service dulu?”  Yang digoda membuang muka karena malu.

Dengan leluasa Bram melalap selangkangan istrinya.  Hingga malam itu kehidupan seks Tia dan Bram relatif monoton; mereka biasanya cuma berhubungan seks biasa, sekadar bermesraan, petting, setubuh dengan posisi normal, tak banyak variasi.  Tia tidak mempermasalahkan; Bram merasa kurang tapi tidak mau bilang ke Tia dan memilih melampiaskannya di luar.  Jadinya, ya, baru kali itu juga Tia menikmati memeknya dimakan Bram.  Sensasinya langsung membuat Tia mendesah-desah keenakan sambil menjepit kepala Bram dengan kedua pahanya.  Tia sampai lupa terpikir untuk membalas perlakuan Bram tadi dengan tindakan yang sama, berhubung posisinya sekarang kebalikan yang tadi.  Bram berkali-kali menyenggol G-spot Tia dengan lidahnya.

“Mmmhhh…. Aaa!! Brammm!!”

Tia terengah-engah karena kenikmatan melanda badannya.  Tangannya gemetaran, mulutnya menganga.  Tapi tiba-tiba Bram berhenti dan berdiri.

“Yahh??” Tia merengek kecewa.  Bram menatapnya dengan pandangan lapar… dan iseng.  Bagaimana kalau kita main-main dulu… pikir Bram.

“Mas Bram… terusin dong…” pinta Tia.  Bram cuek.

“Gak mau.”

“Mas Braamm…”

Bram maju.  Tangannya memegang tangan Tia.  Bibirnya mendekati bibir Tia, seolah mau mencium, tapi sekali lagi Bram berkelit dan malah mengulum telinga Tia.  Sementara itu tangannya membawa tangan Tia ke arah kemaluan Tia.

“Main sendiri.  Sana.  Di depanku.  Aku pengen lihat lonteku ngobok mekinya sendiri.  Gih.”

Bram lalu mundur dan melepas tangan Tia.  Tia diam sejenak, lalu dengan ragu-ragu mulai.  Entah kenapa, biarpun kata-kata Bram tadi sangat melecehkan kalau dalam keadaan normal, Tia justru malah terangsang mendengarnya.  Dia membebaskan buah dadanya dari balik baju dan mencubit-cubit pentilnya yang mengencang.  Tangan satunya lagi mengelus-elus bibir vagina.

“Kayak gini Mas?… Gimana… ah… ahhh… Lihat aku Mas…”

Bram sendiri sibuk mengocok anunya, sambil terus ngomong.

“Ya. Terus. Gitu.  Masukin jarimu ke sana.  Jangan cuma satu, tapi dua sekalian.  Kobel terus.  Gimana.  Udah tahu gimana rasanya jadi sundal?  Enak?”

“Ah… ah… Mas lihatin aku… enak mas…“

“Mainin terus tuh pentilmu… jepit, cubit.  Ah, sayang susumu gak segede itu.  Kalo lebih gede kamu bisa gigit-gigit sendiri tuh pentil.  Remas terus.  Pencet terus.”

“Maafin kalo kurang gede Mas… uh, ungh… Mas aku jangan dibiarin sendiri terus dong… isep toketku Mas…”

“Gak.  Pokoknya aku mau lihat kamu sampe klimaks.  Terusin aja ngentot jari-nya.”

“Ah… ah… iya Mas… ini kuterusin… engh…” Erangan Tia diseling suara becek dari vaginanya yang dia obok-obok sendiri.

“Gimana Tia?  Suka gak jadi lonte?  Tau nggak, aku langsung ngaceng begitu lihat kamu yang dandan abis tadi.  Sampe sekarang juga masih.  Biarpun tadi udah, kayaknya sebentar lagi aku ngecrot lagi.” Bram terus memancing-mancing Tia.

“Auhhh…. Engg… Hahh, iya, iya Mas, ah… ah…”

“Ini baru di dalam rumah.  Coba kalo kamu tadi keluar.  Bayangin orang banyak ngelihat kamu.  Apa nggak konak semua mereka.”

Kata-kata Bram memancing khayalan Tia.  Bram tidak tahu tadi Tia sempat ada di luar sebentar, waktu buru-buru pergi dari salon Citra ke rumah.  Tadi Tia bersyukur tidak kepergok siapapun—termasuk orang di mobil Mercy hitam yang lewat.  Sekarang dia membayangkan sendiri andai dia tadi kepergok.  Bukan cuma oleh satu orang, tapi banyak.  Dan mereka semua terangsang melihat penampilannya yang menggoda.  Dan dia dikerubuti oleh mereka, dipegangi, ditelanjangi, dipaksa…

“AHH~!!”  Bibir merah Tia menganga, mengerang tertahan, selagi kepalanya tersentak ke belakang dan sekujur tubuhnya gemetar.  Dia orgasme gara-gara khayalan tadi.

“Ah… hah… ah…” nafas Tia tersengal-sengal setelah mencapai klimaks.  Bram mendekati Tia, setengah mati berusaha menahan semburan dalam penisnya, menarik Tia, dan dengan lega menyemprotkan spermanya ke muka Tia yang bermake-up tebal itu.

CROTT…. CROTT…

Tia terduduk di lantai.  Dia mau mengusap cairan lengket di mukanya, tapi Bram menahan tangannya.

“Biarin dulu!  Aku mau lihat mukamu kayak gini!”

Bram melihat maninya berleleran melintang di pipi dan hidung Tia.  Muka pelacur yang habis dientot. Dia merasa lebih suka istrinya yang versi ini.

“Ahh… Maass…” Tia merengek.  Entah karena apa.  Dan Bram merasa masih kuat melanjutkan.  Tapi dia perlu istirahat sebentar—

“Gak pernah aku lihat kamu seseksi ini,” kata Bram.  “Tuh, yang di bawah udah pengen lagi.”

“Kamu juga jadi lain, Mas…” Tia bilang, “Aku baru tahu… apa ini yang Mas dapat dari cewek-cewek lain itu?”

Bram agak kesal karena Tia masih juga mengungkit-ungkit kebiasaannya, dan tidak menjawab.  Dia malah menyuruh Tia menungging di depannya.  Tia menurut, berharap Bram melanjutkan ronde 3.  Biarpun sudah orgasme satu kali, Tia masih ingin vaginanya dipenetrasi.  Dia merasakan tangan Bram di pinggangnya, sementara penis Bram yang mulai tegang lagi menggosok-gosok bibir bawahnya.

“…masukin dong Mas…” bisik Tia.

“Apa?” Bram pura-pura nggak mendengar.

“Masukin dong Maaas,” rengek Tia.

“Masukin apa ke mana? Yang jelas dong?”

Tia terdiam sebentar lalu berkata, “Masukin kontolmu ke memekku Mas…” dengan malu-malu.

“Bagus… kamu udah bisa ngomong kayak mereka,” celetuk Bram, sambil menyodok memek istrinya.

Tia tidak menjawab, dan cuma mendesah karena nikmat.  Tapi Bram masih terus berniat menggoda istrinya.  Sambil merapat ke punggung Tia, Bram berbisik.

“Becek amat di dalam sana, licin.  Hayo ngaku.  Udah dipake berapa orang kamu hari ini, lonte?”

Tia menggigit bibir, malu karena diledek Bram.  Dia mendengking waktu Bram menampar pantatnya.  Tapi ternyata beberapa lama kemudian Bram mencabut burungnya dari kemaluan Tia.  Sebelum Tia sempat protes, Bram menggenggam satu tangannya dan mendorong Tia ke arah sofa sampai kepalanya bersandar di sofa.  Tia bertanya-tanya apa mau Bram, tapi dia langsung sadar ketika Bram menowel-nowel lubang anusnya…

“Mas?  Mas Bram mau apa…?”

“Mau merawanin pantatmu…”

Sesudahnya, ada jeritan yang sampai terdengar oleh Citra di rumah sebelah. Citra tersenyum puas mendengar suara berisik di rumah adik dan adik iparnya.  Sarannya kepada Tia untuk coba berubah menjadi seperti perempuan-perempuan yang fotonya ada di HP Bram sepertinya manjur. Baguslah, pikirnya.  Daripada Bram bawa pulang penyakit atau anak haram, mendingan dengan Tia. Orang yang tadi datang dengan Mercy hitam baru saja pergi dari salon Citra, puas dengan pelayanan Citra dan memberi tips cukup banyak.  Citra kembali memulaskan lipstik di bibirnya; tadi lipstiknya terhapus ketika dia memberi servis blowjob kepada si pengendara Mercy. Satu jam sudah berlalu sejak Bram pulang.  Sekarang dia terlentang telanjang, mandi keringat, di ruang tamu.  Di dadanya bersandar Citra yang awut-awutan, make-up tebalnya luntur setelah entah berapa ronde berperan sebagai pelacur demi Bram.  Dari lubang duburnya yang terasa agak nyeri, mengalir sedikit benih Bram yang tadi dikeluarkan Bram di sana. Dua-duanya terlalu capek untuk ngobrol ataupun merasa bersalah. Yang jelas, Tia merasa tambah yakin Bram tidak akan perlu lagi jajan di luar. Dan sepertinya, Tia sendiri juga menemukan sisi baru dalam dirinya…
##################################################3

=====================================
Slutty Wife Tia 2: Tatapan Penjerumus
=====================================

-ringkasan cerita sebelumnya-



Tia bertengkar dengan suaminya, Bram, setelah menemukan foto PSK di HP Bram.  Atas saran Citra kakak iparnya, Tia mencoba mengubah penampilannya menjadi seperti yang disukai Bram… menjadi lebih seksi dan binal.  Rupanya cara itu berhasil.  Sepertinya kehidupan Tia dan Bram akan berubah…

Tapi kalau segalanya berjalan lancar-lancar saja, kurang seru ‘kan?

 *****

 Sudah dua minggu berlalu sejak Tia pertama kali mencoba berdandan sensual untuk suaminya.  Sudah beberapa kali juga mereka coba mengulang role-playing.  Awalnya Bram memang suka.  Tapi setelah yang ketiga-empat kali, Bram menyadari bahwa Tia masih takut-takut menjalani perannya.  Tidak heran.  Mustahil mengubah sifat ‘anak baik’ Tia yang sudah berakar sejak kecil.  Tia tidak punya pengalaman berperilaku genit dan nakal seperti pelacur-pelacur langganan Bram. Itu bikin Bram agak kecewa. Selain itu, setelah pengalaman pertamanya di-anal oleh Bram, Tia kapok.  Sakit, katanya; dia merasa nyeri selama sehari sesudahnya.  Padahal Bram ingin melakukannya lagi. Itu bikin Bram tambah kecewa. Tapi Tia belum tahu tentang kekecewaan Bram.  Dia sendiri mengira Bram sudah puas, karena dia merasakan sendiri bahwa Bram makin bergairah. Tia pun jadi jauh lebih sering terpuaskan.  Buat Tia, rumahtangga mereka berdua terasa semakin mesra. Tia tidak keberatan biarpun harus tambah repot demi Bram.

 *****

Suatu malam…
Tia

Tia

Menjelang tengah malam di rumah Bram dan Tia.  Bram belum pulang; tapi sore sebelumnya dia sudah mengontak Tia, meminta Tia ‘bersiap-siap’.  Tia tahu apa artinya itu, jadi sebelumnya Tia mampir ke salon milik Citra dulu.  Citra yang sebelumnya sudah janji mau terus membantu Tia dengan senang hati merias Tia. Persis seperti pertama kali.  Tia kembali menunggu Bram dengan sabar di rumah.  Malam itu Tia memilih mengenakan gaun tidur sutra tipis pendek berwarna hijau, tanpa bra. Tia mendengar bunyi mobil masuk garasi.  Lalu suara langkah orang mendekati pintu. Suaminya tersayang sudah datang…Pintu terbuka.

“Puuunten.”

Ternyata bukan cuma Bram yang datang. Tia tertegun melihat empat orang yang ada di depan pintunya.  Bram ada, tapi dalam keadaan tak sadar dan dipapah dua orang.  Sedangkan yang memberi salam dalam bahasa daerah tadi adalah seorang laki-laki tua botak berperut buncit.

“Mang Enjup?” tanya Tia.

“Euleuh-euleuh, Neng Tia…  Apa kabar?  Ini, tadi kita habis ketemu klien, si Aden Bram kebanyakan minum, sampai mabuk berat terusnya ketiduran,” jawab si laki-laki tua.

Laki-laki tua itu nyengir memperlihatkan sebaris gigi menguning.  Namanya Jupri, tapi Tia mengenalnya sebagai “Mang Enjup”, orang sekampung orangtuanya yang sudah bekerja untuk orangtuanya sejak awal mereka memulai usaha.  Mang Enjup awalnya pesuruh, tapi lama-lama bapak Tia mendapati bahwa bawahannya itu pintar membujuk dan meyakinkan orang, sehingga karier Mang Enjup pun lancar sebagai juru runding perusahaan.  Di perusahaan keluarga mereka, Mang Enjup kini menempati jabatan manajer; Bram ditempatkan sebagai bawahannya, dengan harapan bisa menyerap ilmu Mang Enjup untuk kariernya kelak di posisi lebih tinggi.  Maka itu Bram sering mendampingi Mang Enjup, menemui rekan bisnis dan ikut bernegosiasi.

“Baik, Mang.  Aduh, maaf kalo Bram ngerepotin Mang.  Ayo, masuk dulu.”

Mang Enjup kenal baik dengan keluarga Tia dan Bram sejak lama, sejak keduanya masih kecil.  Waktu kecil, Tia senang bermain-main dengan Mang Enjup yang lucu dan suka menggendong-gendongnya.  Tapi setelah Tia agak besar, orangtuanya sempat melarang dia bermain dengan Mang Enjup.  Waktu itu Tia sedih, tapi tak lama kemudian dia lupa karena sudah akrab dengan teman-teman sekolahnya.  Mang Enjup sendiri tak pernah jauh dari Tia karena dia terus bekerja sebagai bawahan orangtua Tia. Bram yang ketiduran dipapah oleh dua orang bawahan Mang Enjup: asistennya, Danang, dan supir merangkap pengawalnya, Reja.  Danang bertubuh sedang, berkulit gelap dengan muka jerawatan.  Biarpun pekerjaannya kantoran, tapi Danang lebih sering berpenampilan urakan.  Rambutnya yang agak gondrong dicat kemerahan, walaupun dia tidak jadi tambah keren karenanya.  Dia keponakan Mang Enjup yang sebelumnya nganggur dan disuruh ikut pamannya supaya belajar kerja, tapi sebenarnya dia tidak punya keahlian selain menghabiskan duit.  Sementara Reja mantan prajurit yang dipecat karena indisipliner, dan selanjutnya bekerja sebagai bodyguard plus supir Mang Enjup.  Penampilannya masih khas tentara dengan rambut cepak dan badan berotot—ditambah bekas luka sabetan pisau di pipi kirinya, peninggalan perkelahian dengan sesama prajurit yang membuat dia dipecat. Reja dan Danang membawa Bram ke dekat sofa, lalu pelan-pelan menaruh Bram di sofa.  Tia mencoba membangunkan Bram, tapi suaminya itu malah ngorok keras, menyemburkan hawa beralkohol dari mulutnya.

“Mas Bram, kubilang juga apa, Mas tuh nggak kuat minum…” kata Tia kepada Bram yang tentu saja tidak menjawab.  Tia menyadari Bram bakal tertidur sampai besok pagi, jadi dia beralih ke tamu-tamunya.

Tanpa dipersilakan, Mang Enjup sudah duduk di salah satu kursi tamu.  Dia menghela nafas lega ketika bisa mendesakkan pantatnya yang besar di sofa.

“Mau minum dulu, Mang?” sapa Tia, berbasa-basi.

“Jangan repot-repot, Neng.  Mang juga sebentar lagi pulang.  Udah malam.”

“Nggak apa-apa, Mang, sebentar aja Tia bikinin.  Kopi?”

“Boleh, boleh.”

Tia tersenyum, lalu meninggalkan ruang tamu. Mang Enjup memperhatikan Tia dengan penuh minat. Salah satu penyebab orangtua Tia dulu sempat melarang Tia terlalu dekat dengan pegawai mereka itu, adalah karena mereka tahu sifat Mang Enjup yang ‘cunihin’.  Mereka takut Tia jadi mangsa kebiasaan buruk Mang Enjup yang suka bergenit-genit dengan perempuan.  Di satu sisi, gaya bergaul Mang Enjup yang supel dan cepat akrab sangat memudahkan dia malang-melintang di ajang bisnis.  Di sisi lain, sifat itu juga membuat Mang Enjup bereputasi agak jelek di perusahaan. Sudah agak lama Mang Enjup tidak bertemu Tia, walaupun Bram sudah jadi bawahannya cukup lama.  Mang Enjup juga biasanya mengenal Tia yang berpenampilan sederhana, polos, dan baik-baik.  Jadi, ketika yang membuka pintu rumah Bram tadi adalah perempuan bermake-up tebal dengan baju seksi, Mang Enjup sempat heran sebelum menyadari bahwa itu Tia.  Rasa penasarannya berlanjut.  Selain itu…Tia kembali dari dapur membawa tiga cangkir kopi di atas nampan untuk tamu-tamunya.  Mang Enjup memperhatikan anak bosnya itu.  Hampir tumpah liurnya melihat bentuk tubuh Tia yang samar-samar terlihat di balik gaun malam sutra yang dipakai Tia.  Matanya tak melewatkan kesempatan mengintip belahan dada Tia ketika Tia membungkuk untuk menaruh cangkir kopi di depannya. Tia lalu duduk menemani Mang Enjup, mengobrol ringan mengenai Bram dan perusahaan.  Mang Enjup tidak henti-hentinya memuji-muji orangtua Tia dan Bram yang berhasil mengembangkan bisnis bersama menjadi cukup maju.

“Omong-omong,” celetuk Mang Enjup sambil tersenyum lebar, memandangi wajah Tia, “meni geulis pisan Neng Tia ini malam.  Apa baru pulang dari kondangan?”

“Ah, si Mang bisa aja,” Tia tersipu, “Enggak ada apa-apa, Mang, ini sih… buat suami aja.”  Mukanya memerah.

“Euleuh-euleuh…. Buat si Aden?  Baguuusss… Itu baru namanyah istri yang baik, mau dandan secantik-cantiknya buat suami.  Jangan kayak si Kokom sama si Lilis, boro-boro mau dandan buat Mang, kerjanya di rumah cuma molor sama ngomel.”  Kokom dan Lilis adalah istri tua dan istri muda Mang Enjup, keduanya tinggal di kota asalnya, di rumah yang berbeda.  Mang Enjup sendiri tidak memperhatikan istri-istrinya karena dia sendiri punya banyak selingkuhan: karyawati bawahannya, klien, rekanan, dan lain-lain.  Tapi begitu dia melihat Tia, anak bosnya yang sudah dia kenal sejak kecil, yang sedang berpenampilan seksi ‘demi suami’, semua perempuan itu tersingkir dari kepala Mang Enjup.  Bukan tanpa alasan dulu dia berakrab-akrab dengan Tia kecil.  Tia sudah diincarnya sejak lama.  Tapi lalu Tia menikah dengan Bram.  Biar begitu, Mang Enjup orang yang tidak suka melewatkan kesempatan.  Bram sedang teler.  Tia ada di depannya…

“Ah, tapi si Aden ketiduran gitu, Neng?  Kasihan, sudah dandan cantik-cantik, eeh malah ditinggal tidur.  Kumaha atuh, Neng?” sindir Mang Enjup, sambil terus memperhatikan wajah Tia.

Tia melengos. “Yah… ya udah, nggak pa-pa, tinggal cuci muka terus tidur.”

Mang Enjup bangkit dari tempat duduknya, berjalan ke arah Tia.  Tia tidak beranjak. Dia merasa tidak perlu bereaksi.  Mang Enjup duduk di sofa, di samping Tia; lengannya merangkul pundak Tia.

“Sayang atuh.  Gimana kalau sama Mang saja?”

Tia tidak mampu menolak kata-kata Mang Enjup.

Selain keluwesannya dalam bergaul, yang membuat Mang Enjup sangat hebat dalam mempengaruhi orang juga adalah semacam aji-ajian ilmu gendam yang dikuasainya.  Ilmu itu mirip dengan hipnotis tingkat tinggi.  Kalau sudah bisa menguasai pandangan dan perhatian sasarannya, Mang Enjup bisa membuat pertahanan mental sasarannya runtuh dengan menghilangkan rasa curiga dan tak percaya.  Selanjutnya, sasaran ilmunya akan menurut saja kepada semua kata Mang Enjup. Biasanya Mang Enjup baru akan menggunakan gendam kalau cara biasa sudah buntu, dan hanya untuk kasus-kasus yang “harus menang”.  Itu untuk pekerjaan utamanya sebagai negosiator, dan dia jarang sekali harus perlu melakukannya; Mang Enjup cukup jago bersilat lidah dan melobi, sehingga dengan mengajak klien atau rekanan pelesir ke tempat hiburan, dan membayari ongkos makan + minum + cewek, urusan bisa beres.  Tapi untuk urusan pribadi, Mang Enjup tidak segan-segan menggunakan ilmu gendamnya.  Apalagi untuk yang satu ini.  Ketika perempuan yang dia incar bertahun-tahun sudah di depan mata. Sejak Tia membawakan kopi, Mang Enjup sudah melancarkan serangan.  Sambil ngobrol, dia terus memandangi mata Tia, menguasai perhatian dan mengendorkan konsentrasi Tia.  Ketika tadi dia bangun dan pindah duduk ke sebelah Tia, Tia sudah jatuh ke tangannya, makanya Tia tidak bergerak.  Kesadaran Tia sudah digenggam Mang Enjup. Sekarang Tia ada dalam rangkulan Mang Enjup, tatapannya kosong.  Mang Enjup tersenyum penuh kemenangan.  Kedua bawahannya, Danang dan Reja, duduk diam sambil menyeruput kopi masing-masing, tidak berani berbuat apapun.

“Heheheheheh,” Mang Enjup terkekeh. Tangannya mulai beraksi mengelus-elus leher Tia, bahu Tia, terus ke pinggang dan paha.  Mang Enjup tersenyum lebar ketika menyadari Tia tidak pakai celana dalam.  Sebelumnya, dia sudah melihat bahwa Tia tidak memakai beha ketika mengintip belahan dada Tia yang tampak waktu Tia menyuguhkan kopi tadi.  Sungguh senang dia melihat Tia kecil yang dulu digendong-gendong dan dipangku-pangkunya (dengan niat tersembunyi, tentunya) sekarang tumbuh jadi perempuan cantik yang bertubuh lumayan bagus, dan entah kenapa, gaya berdandannya di rumah mirip kupu-kupu malam.

 “Tia.  Bisa jawab pertanyaan Mang?” kata Mang Enjup sambil mengelus-elus paha Tia.

“Bisa,” suara Tia datar, tanpa ekspresi.

“Sedang apa kamu tadi, Tia?”

“Aku nunggu Mas Bram pulang.”

“Kamu pakai apa sekarang, Tia?”

“Sekarang aku cuma pakai gaun malam pendek, yang dulu dibelikan Mas Bram.”

“Terus apa lagi?”

“Nggak pakai apa-apa lagi.”

“Kamu pakai beha?  Celana dalam?”

“Nggak. Aku nggak pakai beha, nggak pakai celana dalam…”

“Begitu.  Terus.  Ada apa dengan mukamu?”

“Tadi aku ke salon Kak Citra.  Minta didandani seperti kemarin-kemarin.”

“Didandani… seperti gimana, Tia?”

“Yang lengkap… tebal, menor, seperti dandanan Kak Citra.”

Mang Enjup juga ingat Citra.  Dia tersenyum sendiri mengingat-ingat masa lalu.  Kemudian dia melanjutkan interogasi.  Sekarang satu tangannya mulai menjamah ke balik gaun tipis Tia.  Ditemukannya kemaluan Tia, dan mulailah dia mengelus-elus bagian luarnya.

“Coba lihat mukamu Tia… bedak tebal, lipstik merah… bajumu juga seperti itu.  Kenapa kamu dandan seperti ini, Tia?”

“Buat Mas Bram…”

“Kenapa?” Mang Enjup menemukan klitoris Tia dan mulai menjepit-jepitnya di sela jari.  Tia mendesah tertahan.

“Hahh… karena… saran Kak Citra.  Aku mesti jadi seperti yang Bram suka, katanya.”

“Bram suka yang seperti ini?  Apa dia minta?”

“Tidak… tapi aku lihat foto-foto di HP-nya… foto wanita panggilan… dandanan mereka seperti itu… ehh… ah…” Mang Enjup menjolokkan satu jarinya ke celah kewanitaan Tia.  Sementara itu, Mang Enjup juga menjilati tengkuk Tia, sehingga Tia mulai terangsang.

“Terus gimana Tia… Bram suka?”

“Bram suka…”

“Kamu sendiri?”

Tia terdiam, tidak menjawab.  Mang Enjup sekarang sudah memasukkan dua jarinya, dan mulai mengobel vagina Tia, sambil mencubit-cubit klitoris Tia.  Daerah yang dijelajahi jari Mang Enjup mulai terasa basah.

“Ayo jawab Tia… Jawab yang jujur.”

“Aku… ah!” Tia mengerang sedikit setelah Mang Enjup mencubit itilnya agak keras, lalu melanjutkan, “…malu…”

“Kenapa malu, Tia?”

“Malu… soalnya harus berpakaian dan berdandan seperti ini… Seperti pelacur yang jual diri… nggak biasa… rasanya bukan seperti aku… aku bukan perempuan murahan…”

Mang Enjup terus menggerayangi tubuh Tia, meremas payudara Tia, menjilati tengkuk Tia.  Tia tersandar tak berdaya pada badan Mang Enjup, matanya kosong, bibirnya terus mengeluarkan erangan dan desahan kenikmatan. Dari pengakuan Tia, Mang Enjup tahu apa alasan dia bergaya seperti pelacur. Muncul satu ide di kepala Mang Enjup.

“Kenapa harus malu, Tia?”

“Soalnya…”

“Dengar kata-kata Mang sesudah ini, Tia.  Dengar dan ikuti untuk seterusnya.  Ngerti?”

“Mengerti…”

“Kamu tahu seperti apa penampilanmu sekarang, Tia?”

“Tahu…”

“Seperti apa?”

“Seperti pelacur… seperti perempuan murahan…”

“Tapi kamu nggak suka, kan?”

“Iya… aku nggak suka… tapi demi Bram.”

“Salah, Tia.”

“Salah…?”

“Kamu salah, Tia.  Kamu sebenarnya diam-diam suka berpenampilan seperti itu.  Kamu sebenarnya suka berdandan secantik-cantiknya, seseksi-seksinya.  Iya kan, Tia?”

“Iya…”

Mang Enjup nyengir.  Lebar sekali.  Lalu dia melanjutkan membisikkan sugestinya ke telinga Tia.

“Kamu harus sadar, Tia.  Kamu harus sadar kamu itu seksi, dan diam-diam kamu mau dikagumi. Iya kan, Tia?”

“Iya…”

“Mulai sekarang, kamu suka berdandan seksi. Ulangi.”

“Mulai sekarang, aku suka berdandan seksi.”

“Mulai sekarang, kamu ingin menggoda semua laki-laki. Ulangi.”

“Mulai sekarang, aku ingin menggoda semua laki-laki.”

“Bagus, Tia.  Jangan pernah lupa yang kamu bilang tadi.  Ngerti?”

“Mengerti.”

Mang Enjup menengok ke arah Bram yang masih ngorok di atas sofa, dan tidak tahu kehidupan istrinya sedang diubah untuk seterusnya. Sambil terus menjamah seluruh tubuh Tia, Mang Enjup membisikkan berbagai sugesti ke telinga Tia.  Sementara itu, sentuhan demi sentuhan Mang Enjup membuat tubuh Tia makin tak mampu menahan gelora nafsu.

“Ahh… ah… ah! Ahnggg!!”

Terdengar erangan panjang Tia, mengiringi orgasme pertamanya malam itu di tangan Mang Enjup.

“Bagaimana rasanya yang tadi Tia?”

“Hahh… enak sekali Mang…”

“Sekarang giliran kamu bikin enak Mang.  Ayo sini Tia, Mang pangku.”

Tia menurut, berdiri, lalu duduk di pangkuan Mang Enjup.  Bokongnya bersandar di perut gendut Mang Enjup.  Burung Mang Enjup yang mengeras di balik celana tergencet belahan pantat Tia.  Mang Enjup menyibak rambut panjang Tia ke depan, sehingga lidahnya tak terhalang ketika menjelajahi punggung Tia.  Kedua tangannya memegang pinggang Tia dan menggerak-gerakkan tubuh Tia maju-mundur, sehingga bokong Tia jadi mengelus-elus ereksinya.  Lalu Mang Enjup menggeser Tia ke depan supaya dia bisa membuka resleting celana, membebaskan kejantanannya.  Penis Mang Enjup tak terlalu besar dan nyaris tenggelam di bawah perutnya yang gendut, tapi sekarang tegak dan keras setelah menikmati sentuhan bokong Tia.  Mang Enjup merogoh ke arah kemaluan Tia, merangsang vagina Tia lagi.  Tia mulai keenakan, dan menyandarkan diri ke perut dan dada Mang Enjup; Mang Enjup terus menjilati dan menggigiti telinga, tengkuk, dan pundak Tia.

Mang Enjup tersenyum jahat.  Tia, anak bosnya, yang sudah diincarnya sejak kecil, sekarang sudah ada di tangannya.  Dulu, ketika memangku Tia yang masih anak-anak, dia sudah membayangkan memerawani Tia, merebut kehormatan gadis kecil yang dipangkunya, membuat Tia jadi wanita dewasa.  Tentu saja, Tia kecil belum tahu bahwa Mang Enjup yang ramah dan lucu itu selalu konak bila memangku atau menggendongnya.  Sekarang, Tia yang sudah besar, sudah bahenol, kembali ada di pangkuannya.  Setelah bertahun-tahun menunggu dan berencana.  Sayang Bram sudah menduluinya membobol keperawanan Tia.  Tapi yang penting sekarang Tia sudah di tangannya…

“Nah, Neng Tia, sekarang Mang mau masuk…”

Setelah merentangkan kedua paha Tia, Mang Enjup mendorong kepala burungnya masuk ke vagina Tia.  Tia meringis sedikit; Mang Enjup sendiri langsung kelabakan, tidak siap menghadapi ketatnya himpitan dinding dalam vagina Tia.

“Addeuhhh… Neng!  Sempit amat inih!”

Mang Enjup amat puas, bisa melakukan sesuatu yang sudah diimpikannya bertahun-tahun.  Dia tak buang-buang waktu dengan segera menggenjot Tia.  Tapi sayang, fisiknya yang sudah tua tak mendukung…

“Uuuh… !! Anjing siah!“

Mang Enjup memaki-maki karena burungnya terlalu cepat ejakulasi.  Impiannya bertahun-tahun untuk menyetubuhi Tia terwujud… dan berakhir setelah beberapa menit saja dengan tumpahnya cairan putih di dalam vagina Tia.  Tak lama kemudian penisnya melembek dan menciut.  Tapi Tia malah belum berhenti bergerak, pinggulnya terus geal-geol seperti penari jaipong di pangkuan Mang Enjup.

Meski Tia masih di pangkuannya, burung Mang Enjup belum bangun lagi.  Maklumlah, dia sudah tua, dan belum lama ini ahli pengobatan tradisional spesialis kejantanan langganan Mang Enjup meninggal dunia sehingga andalan Mang Enjup itu tidak lagi selalu siap bertempur.  Ingin ronde dua pun Mang Enjup harus menunggu lama.  Sementara Tia di pangkuannya belum puas.

“Aahmm… mau lagi dong…”

“Hehehe…” Mang Enjup terkekeh mendengar permintaan manja Tia tadi.  Tia masih dalam pengaruh hipnotisnya… dan masih akan mendengar kata-katanya.  Dia memutuskan untuk menjerumuskan Tia lebih lanjut.

“Mau apa, Tia?”

“Mau… dientot lagi…”

Mang Enjup menoleh ke arah Danang dan Reja.  Kedua anak buahnya itu terlihat melongo setelah menonton adegan porno langsung di depan mereka.

“Danang!” seru Mang Enjup.  Yang dipanggil tersentak dari keadaan mupeng.

“HP kamu bisa rekam video kan?  Ayo keluarin.”

Danang nyengir dan langsung ngerti apa maksud atasan merangkap pamannya itu.  Segera dia keluarkan ponsel miliknya dengan fungsi perekam video yang sudah beberapa kali memberi kontribusi 3gp kepada ajang video porno amatir di internet.  Mang Enjup mendorong pelan Tia dari pangkuannya, lalu membuat Tia berlutut di lantai.  Kemudian dia berdiri, mengambil HP Danang, dan menyuruh Danang serta Reja mendekat.  Danang dan Reja berdiri di depan Tia yang bersimpuh, menghadapkan jendulan di balik celana mereka ke arah muka Tia.  Sementara Mang Enjup sendiri duduk di kursi tamu, di belakang Danang dan Reja, matanya tak lepas menatap mata Tia.  Dia menyalakan fungsi kamera video HP Danang. Danang yang sudah horny berat sudah mau membuka celana dan menerkam Tia, tapi Mang Enjup lebih dulu memperingatkannya.  “Tahan dulu.  Tunggu komando.”  Kemudian Mang Enjup memulai menyorot Tia.  Wajah Tia yang tertutup tata rias tampak bengong; mulutnya yang setengah terbuka dan matanya yang setengah tertutup memberi kesan

“Tia,” perintahnya, “Coba kamu bilang, siapa kamu.”

Tia, tak berdaya di bawah pengaruh tatapan penjerumus Mang Enjup, menjawab.  Suaranya kembali datar tanpa ekspresi.

“Saya Tia… “

“Bagus Tia.  Sedang jadi apa kamu sekarang?”

“Saya sedang jadi…” Tia berhenti; bawah sadarnya masih belum bisa mengungkapkan dengan jelas.

“Hee… Apa kamu tidak tahu Tia?  Sekarang kamu sedang jadi pelacur.  Sedang jadi apa, Tia?”

“Saya sedang jadi pelacur…”

“Benar Tia.  Kamu sedang jadi lonte.  Kamu dandan menor, pake baju seksi.  Buat siapa?”

“Buat Mas Bram…”

“Bukan.”

“Bukan?”

“Lihat siapa yang ada di sini, Tia.  Kamu tahu?  Sebenarnya kamu dandan bukan buat Bram saja.  Kamu pengen dilihat semua orang.  Dianggap cantik dan seksi oleh orang.  Karena kamu sebenarnya lonte yang suka nggoda laki-laki.”

“Iya…” Mang Enjup melihat sedikit perubahan ekspresi, seolah Tia agak enggan.  Mungkin bawah sadar Tia sedang berusaha menolak sugestinya.

“Jangan dilawan, Tia.  Akui saja.”

“…”

“Lihat Tia.  Lihat gara-gara kamu, dua orang ini jadi konak nggak ketulungan.  Kasihan kan.”

“Konak…”

“Sebagai lonte, kamu jangan diam aja melihat orang konak.  Hayo bantu mereka.  Isap kontol mereka.”

Mang Enjup mengangguk ke arah Danang dan Reja.  Keduanya dengan senang hati membuka resleting celana dan menodongkan ‘senjata’ mereka ke muka Tia.  Danang sedikit iri melihat punya Reja yang lebih besar daripada punya dirinya sendiri. Kedua tangan Tia masing-masing menggenggam penis yang diacungkan ke arahnya, lalu mulai mengocok.  Lalu seperti lonte berpengalaman Tia mulai menggilir kedua penis itu dengan bibirnya.  Danang terkekeh merasakan bibir empuk merah Tia melumat batangnya.  Dielusnya rambut panjang Tia.  Kemudian ganti giliran Reja, Tia memiringkan kepala lalu menggigit lembut pangkal batang Reja sebelum menjilatnya dari bawah ke atas. Mang Enjup memfilmkan itu sambil terbahak-bahak dalam hati.  Salah satu kenikmatan hidup yang paling dia sukai adalah perempuan, namun sayang penyakit ejakulasi dini-nya sangat mengganggu dia merasakan kenikmatan itu.  Kadang dia frustrasi ketika hanya bisa bertahan beberapa menit menggarap gadis-gadis yang sudah menyerahkan diri kepadanya.  Frustrasinya itu akhirnya dia salurkan dengan cara merusak kepribadian para sasarannya dengan ilmu hipnotis; perempuan yang jatuh ke tangannya dia ubah menjadi lebih binal.  Selanjutnya dia akan puas apabila perempuan-perempuan itu terjerumus akibat perubahan yang dia tanamkan.  Pernah Mang Enjup membuat seorang perempuan mantan rekanannya yang sudah menikah menjadi membenci suaminya, sehingga akhirnya bercerai.  Kali lain, Mang Enjup mengacau pemikiran seorang gadis yang diwawancaranya untuk lamaran kerja, sehingga gadis yang awalnya alim itu kini melacurkan diri di suatu kawasan hiburan malam terkenal (karena tidak diterima kerja sebagai karyawatinya).  Dan sekarang, dia pun sedang mengubah Tia.

Tia berganti-ganti menyepong Danang dan Reja; lipstik merahnya mulai celemotan setelah bibirnya naik-turun dua batang kejantanan.  Kedua anak buah Mang Enjup mulai tak tahan, dan Danang yang duluan ejakulasi, ketika posisi anunya sedang di dalam rongga mulut Tia.  Ketika itu juga Danang langsung refleks mencengkeram dan menekan kepala Tia ke selangkangannya, sehingga seluruh semburannya tidak ada yang tumpah di luar.

“Uehh… gile enak banget!” teriak Danang.  Tia mundur setelah kepalanya dilepaskan Danang, sambil menutup bibirnya dengan tangan, seolah menahan agar dia tidak memuntahkan mani Danang.  Mang Enjup maju dan menyorot muka Tia dengan kamera video HP Danang.

“Gimana, Tia?  Enak kan? Jangan ditelan dulu.  Buka mulutnya.”

Tia membuka mulutnya, memperlihatkan sisa sperma Danang yang belum sempat tertelan.  Dimain-mainkannya cairan lengket itu dengan lidahnya, sebelum akhirnya ditelan juga.

“Enak, Tia?”

“Enak…”

“Enak kan ngisap kontol?”

“Iya… kontol enak…”

Semua itu terekam oleh kamera HP Danang.  Mang Enjup sengaja merekam semuanya dalam video, untuk jaga-jaga.  Barangkali kelak ada yang tidak beres, dia bisa menyelamatkan diri dengan memeras Tia. Tapi kata-kata Tia yang terakhir itu sungguh tidak terduga.  Bisa aja si Neng ngomong begitu…

“Nah, ingat itu Tia. Kamu suka ngisap kontol.  Coba ulangi.”

“Aku suka ngisap kontol.”

Sementara Danang memulihkan diri, amunisi Reja masih penuh.  Reja tidak banyak bicara, tapi dari wajahnya terlihat dia tidak puas karena Tia berhenti.

“Bagus,” kata Mang Enjup kepada Tia, “nah, Tia, karena kamu sekarang sudah jadi lonte, kamu harus ingat baik-baik.  Lonte itu nggak cuma ngentot sama suaminya.  Lonte itu mau ngentot sama semua orang.  Gak peduli sejelek apapun orangnya, se-ancur apapun orangnya, lonte harus mau.  Mulai sekarang, kamu nggak akan menolak ngentot sama siapapun.  Biarpun kamu nggak suka, kamu nggak akan nolak.  Ngerti, Tia?”

“Mengerti.”

“Nah, sekarang kamu ngentotlah sama dia.”

Reja menghampiri Tia yang duduk di lantai, membuat Tia dalam posisi seperti mau merangkak. Gaun pendek Tia disibaknya sehingga terlihatlah pantat Tia yang mulus dan sekal.  Tidak cuma Reja, Mang Enjup yang jadi juru kamera pun tergiur melihat bokong bulat-montok Tia yang tadi sempat mengulek kejantanannya.  Mang Enjup memang paling suka pantat bahenol khas perempuan kampung halamannya.  Dengan antusias ditontonnya dari balik kamera bagaimana kejantanan Reja yang besar dan menakutkan itu melesak masuk ke kewanitaan Tia, sementara Tia meringis keenakan selagi tubuh Reja menindihnya.  Sebelumnya, baru Bram yang pernah mencicipi tubuh Tia.  Tapi malam itu Tia tadi telah dijamah Mang Enjup (biar hanya sebentar), lalu Danang (baru di mulut), dan sekarang Reja—barangnya-lah yang paling besar di antara semua yang pernah mempenetrasi Tia.  Si nyonya muda itu merintih dan mengerang, kelopak matanya yang dipercantik eyeshadow senada warna bajunya terpejam ketika dia merasakan ukuran luarbiasa onderdil Reja memaksa liang kenikmatannya merentang lebih lebar daripada biasa.

Reja menggenjot dengan buas dalam posisi doggy style, tanpa basa-basi atau pelan-pelan dulu, dan ketika Tia menjerit, makin kencanglah aksinya.  Entah Tia menjerit kesakitan atau keenakan, Reja tidak peduli.

“AA!! AH! Ah! Ah!”  Tia menggigit bibir, berteriak, menganga, menyentakkan kepala.  Tiap tusukan Reja membuatnya tersentak ke depan, kedua payudaranya berguncang, gairahnya membara.  Tak lama kemudian Tia mengalami orgasme kedua malam itu, di tengah gempuran gencar Reja.  Mang Enjup merekam lolongan panjang yang muncul ketika Tia tersungkur, mencium lantai, rambutnya tergerai di sekeliling kepala, ditaklukkan klimaks.

Tapi Reja benar-benar tahan lama.  Walaupun disiksa jepitan vagina Tia, dia masih tetap dapat mempertahankan kekerasan anunya.  Didengarnya Mang Enjup berkata sesuatu.

“Ja! Cabut, terus kamu bawa dia ke kursi, hajar pantatnya.”

Agak susah Reja melepaskan burungnya dari sempitnya memek Tia.  Supir mantan tentara itu lantas mencekal pinggang Tia, lalu duduk dan menarik Tia ke pangkuannya.  Tia yang baru saja orgasme tidak mampu melawan ketika ditarik Reja.  Ketika Tia sudah berada di pangkuan Reja, Mang Enjup kembali mengajak bicara Tia.

“Dasar nakal, Tia. Sudah ngentot sama sembarang orang, keenakan pula.  Dasar lonte.”

Tia cuma terengah-engah menerima penghinaan dari Mang Enjup.

“Hei Tia.  Sudah pernah main belakang?  Lubang pantatmu sudah pernah ada yang nyodok belum?  Ayo dijawab.”

“Sudah…”

Ternyata si Bram doyan pantat juga, pikir Mang Enjup.

“Kamu suka dibegitukan, Tia?”

“Enggak…”

“Kenapa nggak suka?”

“Sakit… jijik… malu…”

“Oh… gitu.  Tapi mulai sekarang kamu nggak keberatan lagi dientot di pantat.  Ngerti?”

“Mengerti…”

“Bagus.  Sekarang buka tuh lubang biar kontol bisa masuk.”

Tia mengangkang di atas pangkuan Reja.  Tangannya menjulur ke arah selangkangan, meregangkan bagian sekitar lubang duburnya.  Kemaluan jumbo Reja yang basah dengan cairan vagina Tia bersiap masuk.

“Eughhh…” Wajah Tia berubah meringis ketika kepala penis Reja berusaha menerobos saluran sempit yang baru satu kali ditembus dari luar itu.  “Ah! Haah! Haduhh!!”  Ketika beberapa malam lalu Bram memerawani anusnya, Tia juga menjerit-jerit, tapi senjata Bram tidak sebesar punya Reja.  Bisa dibayangkan perbandingan kekuatan desakannya dan rasa sakit yang ditimbulkannya.  Sampai-sampai air mata Tia mengalir selintas.  Susah payah Reja mendorong, memaksa dinding dalam dubur Tia agar mau menerima benda tumpul keras berukuran ekstra.  Hampir pingsan Tia ketika seluruh penis Reja berhasil dimasukkan sampai pangkal.  Tia merasakan refleks normal bagian tubuhnya yang itu untuk mendorong keluar benda-benda yang ada di dalamnya membuat jepitannya terhadap batang Reja makin kencang.  Dia mengeluh lemah, merasakan sensasi ‘terisi penuh’ yang tak wajar.  Tubuh atasnya ambruk ke dada Reja; Reja langsung menyambut dengan ciuman-ciuman ke tengkuk dan bahu serta gerayangan ke dada dan perut, sementara pinggulnya mulai memompa. Kemarin-kemarin Tia sudah memutuskan tidak mau disodomi lagi setelah pengalaman pertamanya dengan Bram. Tapi keputusannya itu sudah dibatalkan pengaruh hipnotis Mang Enjup.

Nyeri yang Tia rasakan ketika Reja memasukkan penisnya sedikit mereda, dan Tia merasakan bahwa di antara rasa sakit itu terselip kenikmatan.  Tia merintih lembut ketika Reja menarik anunya sampai hampir keluar.  Sejenak dia merasa kosong, ingin diisi kembali; keinginan itu segera terpenuhi dengan kembalinya batang Reja ke dalam anusnya.  Reja awalnya tidak bisa bergerak cepat, karena begitu sempitnya jalan belakang Tia yang jarang dipakai itu, tapi lama-lama gerakan maju-mundurnya makin cepat.  Dengan tiap tusukan, Tia merasakan tubuhnya mulai menuju klimaks.  Tia mulai menikmati setiap gesekan batang Reja di dinding saluran duburnya, setiap desakan kepala kontol Reja dalam lubangnya.  Nafas Reja mulai memburu, jepitan lubang anus Tia benar-benar menguji ketahanannya. Mang Enjup sangat puas melihat wajah Tia yang kelihatan sangat mesum, terengah-engah keenakan selagi anusnya disodok kontol besar seorang laki-laki yang bukan suaminya.  Anak bosnya itu benar-benar kelihatan seperti lonte murahan.  Dan Mang Enjup juga tahu, PSK betulan saja banyak yang tidak mau melayani seks anal; artinya dia sudah berhasil merubah Tia menjadi lebih parah.  Tak perlulah semua bagian video yang direkamnya dipertahankan, pikir Mang Enjup.  Cukup bagian si Tia dibo’ol saja.

“Woi, Ja!  Ikutan!” Danang memutuskan untuk tidak bengong saja.  Kemaluannya sudah bertenaga lagi.  “Memeknya buat gua, ya!?”

Posisi Tia yang mengangkang di pangkuan Reja dengan pantat tertembus senjata tumpul Reja jelas sangat mengundang.  Dengan terburu-buru Danang mendekati Tia dari depan, dan tanpa basa-basi menempatkan kepala penisnya di bibir vagina perempuan yang bukan haknya itu. Sekali dorong, dan kehormatan Tia sebagai seorang istri kembali tercemar oleh bagian tubuh orang lain.

Tia mendesah, mengerang, merasakan sensasi baru ketika dua orang memasuki tubuhnya sekaligus—double penetration yang baru pertama kali dialaminya sendiri.  Memeknya langsung membanjir karena diterpa rangsangan demi rangsangan.  Reja dan Danang mengeroyok kedua lubang Tia dari depan dan belakang, kadang berbarengan, kadang bergantian.  Tia sendiri balas menggoyang pinggulnya, kadang melawan tusukan Danang dari depan, kadang menggilas coblosan Reja dari bawah.  Yang keluar dari mulut Tia hanya aneka jerit kenikmatan yang tak jelas artinya.  Lalu sekujur tubuh Tia serasa meledak ketika dia orgasme untuk ketiga kalinya, lebih hebat dibanding yang sebelumnya. Reja melenguh keras ketika akhirnya kehilangan kendali, dicengkeramnya pinggul Tia keras-keras ketika penis besarnya memuncratkan mani ke dalam ujung saluran pencernaan Tia.  Lama sekali dia mengosongkan muatannya di dalam pantat Tia.  Ketika semburannya selesai dan Reja menarik keluar penisnya, dubur Tia menganga dengan tak senonohnya dan cairan putih keruh mengalir keluar—sekali-sekali alirannya berubah jadi muncratan akibat refleks normal bagian tubuh itu.  Mang Enjup tak lupa mengabadikannya dalam sorotan close-up. Melihat Reja mesti istirahat, Danang tidak berhenti.  Reja menggeser tubuh Tia sehingga bisa menyingkir dari bawah Tia.  Sekarang Danang ada di atas Tia yang terduduk tanpa daya di sofa.  Sambil menggerayangi payudara Tia dan mencupangi leher Tia, dia terus merangsek lubang sanggama Tia.  Terus begitu sampai akhirnya Danang pun ejakulasi, di dalam rahim Tia.  Tia yang akalnya sedang kacau tak mampu menolak benih asing tertumpah dalam dirinya. Mang Enjup mulai kesal akan keadaan dirinya yang sudah tak muda lagi ketika setelah cukup lama pun kejantanannya belum mampu bertempur lagi.  Sementara itu kedua asistennya yang masih muda hanya perlu waktu tak seberapa lama sebelum mereka kembali siap menyetubuhi lonte mereka malam itu, Tia.

Sejam kemudian, Reja dan Danang akhirnya tak kuat lagi.  Mereka berdua menggeletak kecapekan di kiri-kanan Tia yang juga terkapar.  Sungguh mengenaskan keadaan Tia; wajahnya ternoda cipratan mani yang tadi sempat ditumpahkan di sana, sementara liang vagina dan duburnya yang babak belur dipenuhi sperma Reja dan Danang yang sedikit-sedikit mengalir keluar.  Dada dan pundaknya penuh bekas cupangan dan gigitan.  Benar-benar seperti seorang wanita tuna susila yang habis dibayar untuk pesta seks semalaman. Setelah memotret Tia dalam keadaan seperti itu beberapa kali, Mang Enjup menggoyangkan tubuh Tia untuk meminta perhatiannya.  Mang Enjup hendak menyelesaikan tindakannya terhadap Tia malam itu.

“Tia, bangun.  Tatap mata Mang dan dengarkan semua kata Mang.  Mengerti?”

“Mengerti…” suara Tia terdengar lemah.

“Sehabis ini, kamu akan lupa semua yang terjadi malam ini.  Kamu tidak akan ingat pernah diberitahu segala macam oleh Mang, tapi semua itu tetap akan kamu patuhi dan ikuti.  Tidak akan kamu kaitkan perubahan perilakumu dengan kata-kata Mang.  Sesudah Mang menjentikkan jari, kamu akan tidur selama satu jam, lalu bangun dan tidak ingat apa-apa.  Kalau di badanmu ada bekas-bekas bersetubuh, itu karena kamu habis bersetubuh dengan Bram.  Ngerti, geulis?”

“Ya…”

CTAK.

Tia memejamkan mata untuk tidur selama satu jam ke depan sesuai perintah Mang Enjup.  Mang Enjup tersenyum puas.  Biarpun tidak bisa maksimal menikmati tubuh Tia, dia puas bisa mengubah Tia untuk seterusnya.  Pikirannya sudah membayangkan berbagai hal yang bakal dialami Tia kelak.

“Danang!  Reja!  Hayoh jangan pada molor di sini.  Kita pergi!”

Dua orang yang dipanggil itu bangun dengan susah payah.  Danang merasa pinggangnya sakit dan dengkulnya tak bertenaga setelah entah beberapa ronde tadi merasakan semua lubang yang bisa dientot di tubuh Tia.  Reja berdiri, menutup celananya, dan terus berjalan seperti tidak terjadi apa-apa.  Mang Enjup dan rombongannya kemudian meninggalkan Tia yang terkapar dan ternoda di ruang tamu, ditemani Bram yang masih terbaring tak sadar di sofa.

Ketika Mang Enjup dan kedua bawahannya keluar pagar rumah Bram dan Tia untuk menuju mobil mereka yang diparkir di luar, satu suara menyapa mereka.

“Baru pulang, Mang?”

Mang Enjup menoleh, melihat api rokok menyala di arah suara tadi datang.  Rokok dengan filter terjepit bibir merah seorang perempuan yang wajah cantiknya kurang jelas terlihat di bawah lampu luar rumah yang kurang terang.

“Euleuh-euleuh, Neng Citra, masih bangun?  Ikutan ngeronda, atau sekarang salonnya buka dua puluh empat jam?”

Citra yang sedang duduk-duduk sambil merokok di luar salonnya itu menghampiri Mang Enjup.

“Ah si Mang bisa aja.  Tumben mampir ke sebelah.  Ada urusan sama Bram atau Tia?” kata Citra sambil melirik genit.  Mang Enjup tidak bisa tidak memperhatikan itu.

“Mang cuma ngobrol-ngobrol sebentar sama Neng Tia.  Kan sudah lama tidak ketemu.  Neng Tia sekarang berubah, ya?  Jadi pangling.  Tambah cantik dia.”

Citra terkikik.  Berbeda dengan Tia, Citra sudah lama tahu kebiasaan buruk laki-laki tua pegawai orangtua adik iparnya itu.

“Nah, sekarang Mang mau pulang dulu.  Sudah malam, dan kepala Mang agak pusing.  Biasa, kerjaan.  Perlu konsentrasi.  Capek.”

“Nggak mampir dulu, Mang?” goda Citra.  “Citra pijatin deh Mang biar gak pusing.”

Kenapa tidak, pikir Mang Enjup.  Dia mengangguk dan kemudian mengikuti Citra masuk ke salon.  Kedua anak buahnya membuntuti.

Bram membuka mata dengan berat.  Dia merasa kepalanya sakit, dan dia mengingat-ingat apa yang baru terjadi.  Jelas tadi dia terlalu banyak menenggak minuman keras ketika menemani Mang Enjup menjamu tamu di satu pub. Setelah tamu itu pergi, dia terus minum-minum dengan Mang Enjup, dan dia tidak ingat lagi apa saja yang dia obrolkan dengan atasannya itu.

Mungkin dia menyebut-nyebut Tia.

Berikutnya dia ambruk karena mabuk, lalu sepertinya dia ketiduran dan diantar pulang oleh Mang Enjup, karena dia sekarang terbaring di sofa di ruang tamunya sendiri.

Dan tadi dia bermimpi aneh sekali, dia bermimpi Tia yang menunggunya malah dipangku oleh Mang Enjup, lalu Tia menuruti kata-kata Mang Enjup, dan Tia menyerahkan dirinya untuk disetubuhi dua orang yang tidak bisa dia ingat siapa…

Di mana Tia?  Bram bangkit pelan-pelan, mengangkat kepalanya yang puyeng, dan dilihatnya Tia meringkuk di sofa, dengan baju dan dandanan acak-acakan.  Dilihatnya bekas mani yang mulai mengering di pipi Tia.

Siapa yang…

Bram berguling sehingga turun dari sofa, lalu beringsut mendekati Tia.  Digenggamnya bahu Tia lalu diguncang-guncangnya perlahan agar istrinya bangun.

“Tia?  Sayang, bangun yang…”

“Uuhhh… Mas… Bram?”

“Duh… sakit banget ni kepala.  Kayaknya aku tadi kebanyakan minum… auw… apa… tadi aku diantar pulang?”

Tia terdiam, bingung karena ingatan jangka pendeknya sudah dikacaukan.  Tia tidak ingat bagaimana Bram pulang, siapa yang mengantar Bram pulang, apa yang terjadi barusan.  Yang dirasakannya cuma letih, pegal di sekujur tubuh, dan nyeri di sekitar selangkangan. Bram mengelus pipi istrinya yang tergeletak lemah di sofa.  Tanpa sengaja dia menyentuh peju kering yang tertempel di sana.

“Tia… apa tadi kita…”

Tatapan Tia lemah, tapi kali ini dia menjawab.

“Iya, Mas…”

Tia tersenyum lemah.  Bram masih tidak percaya.  Apa tadi dia bercinta dengan istrinya?  Dia tidak ingat sama sekali. Dilihatnya sekali lagi wajah istrinya yang begitu dekat.  Pastilah Tia tadi berdandan habis-habisan seperti biasa; sisa-sisanya masih terlihat, walaupun sebagian sudah terhapus akibat apapun yang tadi terjadi. Aroma tubuh Tia bercampur bau asing yang tak Bram kenal. Ribuan pertanyaan mengganggu pikiran Bram.  Tapi dia terlalu pusing akibat hangover untuk menanyakannya.  Dia ambruk lagi, tertidur di samping wajah istrinya.  Entah bagaimana perasaan Bram kalau saja dia tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tia telah terjerumus.
######################################################

=========================================
Slutty Wife Tia 3: Satu Hari di Rumah Tia
=========================================

-ringkasan cerita sebelumnya-

Tia bertengkar dengan suaminya, Bram, setelah menemukan foto PSK di HP Bram.  Atas saran Citra kakak iparnya, Tia mencoba mengubah penampilannya menjadi seperti yang disukai Bram, menjadi lebih seksi dan binal.  Pada suatu malam, Mang Enjup, atasan Bram, mampir ke rumah sembari mengantarkan Bram yang mabuk dan bertemu Tia yang sedang berpenampilan demikian.  Mang Enjup yang memiliki ilmu gendam dan niat busuk sekalian mengubah kondisi mental Tia…



Bagaimana kehidupan Tia selanjutnya?

 1. PAGI


Tia

Tia

Suatu pagi di rumah Bram dan Tia.  Beberapa hari sesudah kunjungan Mang Enjup ke rumah yang tidak diingat oleh Bram maupun Tia.  Padahal kita tahu apa saja yang dialami oleh Tia malam itu. Pagi itu sekitar jam 8, Bram sudah berangkat ke kantor, sedangkan Tia baru saja selesai mandi pagi dan berganti pakaian setelah tadi mengurusi Bram. Tia mulai merasakan ada yang ganjil pada dirinya.  Entah kenapa, tadi waktu mandi dia jadi lebih lama dan intens mengelus-elus tubuhnya sendiri. Sesudah mandi, Tia mengenakan daster panjang longgar nyaman yang biasa dia pakai sehari-hari. Kalau berencana seharian di rumah seperti pada hari itu, biasanya Tia betah seharian mengenakan daster.  Tapi entah kenapa, pagi itu daster itu dirasanya kurang nyaman. Dibukanya lagi lemari bajunya, dan diambilnya satu daster lain. Daster setali berwarna biru, jauh lebih pendek (hanya sampai setengah paha), berbahan tipis.  Tia melepas daster panjangnya dan ganti memakai daster biru pendek itu. Kalau daster panjang yang tadi menutupi bahu dan lengan atas Tia, yang ini cuma menyisakan seutas tali kain yang menyampir di tiap bahu, sehingga pundak Tia yang cantik itu terbuka. Tidak tahu kenapa, dia merasa lebih nyaman dengan daster babydoll yang seksi itu. Lalu ketika dia duduk di depan cermin di kamar tidurnya, dia merasakan ada yang kurang.  Wajahnya… terasa terlalu polos.  Jadi, biarpun tidak berencana ke mana-mana hari itu, Tia pun mulai merias wajah. Awalnya dia hanya berbedak tipis. Lalu diulaskannya lipstik pink, tipis saja, di bibirnya.  Entah kenapa, dia tergoda untuk menebalkan lipstiknya.  Beberapa saat kemudian, bibirnya yang indah itu jadi makin menarik perhatian karena berwarna pink cerah dan dibuat kemilau karena lip gloss bening. Digerainya rambutnya yang sudah kering.  Tia mendesah ketika rambutnya mengelus pundaknya sendiri.  Ditatapnya dirinya lagi di cermin; dia bertanya kepada dirinya sendiri, apakah aku sudah cantik?

Apakah aku bisa menggoda para lelaki hari ini?

Tia tertegun.  Terlintas pemikiran tadi di kepalanya.  Dia tak tahu dari mana datangnya.  Tapi seolah ada perintah dalam kepalanya yang menyuruh dia berpenampilan secantik-cantiknya, supaya bisa menarik perhatian laki-laki. Dan dia tak kuasa melawannya. Entah kenapa.



*****



Biarpun orangtuanya pengusaha sukses, sejak kecil Tia terbiasa bergaul dengan orang-orang kalangan bawah. Ketika kuliah pun Tia sering aktif dalam kegiatan bakti sosial sehingga sering bertemu dengan kaum miskin.  Tia memang punya kepedulian sosial yang besar, dan patut diacungi jempol karena konsisten mempraktekkannya dalam kehidupan nyata. Salah satu wujudnya adalah dalam kebiasaan Tia berbelanja.  Sementara nyonya-nyonya kalangan atas biasanya ogah berbelanja di pasar atau di tukang sayur dan memilih belanja di pasar swalayan, Tia lebih suka belanja kebutuhan dapur sehari-hari di tukang sayur. Dan hari itu pun, seperti biasa, seorang tukang sayur langganan Tia mampir ke rumah Tia.  Tia membuka garasi membiarkan gerobak tukang sayur masuk. Tukang sayur langganan Tia adalah seorang laki-laki berumur 40-an tahun, namanya Legiman, tapi lebih terkenal di kalangan ibu-ibu pelanggannya dengan nama “Pak Kumis” karena, ya karena apa lagi, kumisnya.  Kumisnya boleh diadu dengan kumis diktator Timur Tengah yang sudah mati digantung ataupun kumis suami seorang artis dangdut yang terkenal karena goyangan khasnya.  Wajah bulatnya yang berkulit hitam biasa tertutup caping.  Ketika datang ke rumah Tia pagi itu, Pak Kumis mengenakan kaos partai bekas kampanye bertahun-tahun lalu yang belel dan agak kekecilan sehingga perutnya yang membuncit tampak menonjol, juga celana panjang usang dan sandal jepit.  Memang bisnis tukang sayur itu tak besar-besar amat untungnya, tapi Pak Kumis tidak mempermasalahkan jalan hidupnya, yang penting ada kerjaan biar bisa makan.  Apalagi kalau dia mengingat bahwa masih banyak ibu-ibu yang menunggu kehadirannya tiap pagi. Pak Kumis harus mengakui, salah satu langganannya tampil agak beda hari ini. Ya, Bu Tia memang masih muda dan lumayan menarik, tapi pagi ini, dengan baju lebih pendek dan rias wajah, dia terlihat lebih menarik.  Tapi sebagai tukang sayur profesional yang berpengalaman, Pak Kumis tetap melayani Tia dengan baik seperti biasa.
Pak Legiman 'kumis'

Pak Legiman 'kumis'



Tia memilih-milih tomat, bawang, terong, toge, pepaya. Belum terpikir mau masak apa untuk Bram nanti malam. Ah, ikan saja.  Dengan sop sayuran.  Cuci mulutnya pepaya segar. Dimintanya Pak Kumis memilih dua ekor ikan yang kemudian dibersihkan sisiknya dan dibuang isi perutnya. Tia memperhatikan lengan Pak Kumis yang bergerak-gerak ketika pemiliknya menyiapkan ikan.  Lengan berkulit hitam itu ternyata berotot dan tegap, maklum karena waktu muda pemiliknya tiap hari berolahraga mencangkul sawah di kampung, dan sampai sekarang pun masih terus latihan mendorong gerobak yang lumayan berat berkeliling kota.  Sepintas Tia membayangkan bagaimana rasanya dirangkul oleh lengan-lengan itu…

“Semuanya empat puluh empat ribu, Bu Tia,” suara Pak Kumis membuyarkan lamunan Tia.  Pak Kumis menyodorkan dua kantong plastik berisi belanjaan Tia, ikan dan sayuran dan pepaya, dengan sopan.  Tia menerimanya lalu membuka dompet.  Ada beberapa lembar uang Rp100.000 di dalamnya; tidak ada uang kecil.

“Saya adanya seratus ribuan Pak, ada kembaliannya?” tanya Tia sambil menyodorkan selembar Rp100.000.

“Tunggu sebentar ya Bu,” Pak Kumis kemudian membuka tas pinggang kumal yang melingkari perutnya.  Dikeluarkannya beberapa lembar uang yang kucel, lalu dihitungnya.

“Wah, nggak ada kembaliannya, Bu.  Saya tinggal dulu ya?  Mau tukar duit.”

Pak Kumis pergi meninggalkan garasi rumah Tia dan gerobak sayurnya di sana sebagai jaminan, kalau-kalau dia tidak balik lagi Tia bisa menyita gerobak tersebut. Nah, rumah Tia terletak agak jauh dari warung, toko, pangkalan ojek, dan tempat-tempat lain di mana orang bisa menukar uang untuk kembalian, jadi sepertinya Pak Kumis akan pergi agak lama. Dengan dua kantong plastik agak berat di tangan, Tia memutuskan untuk membawa belanjaannya ke dalam rumah dulu.  Tapi…Setelah ada di dalam rumah, Tia terpikir mengenai salah satu barang yang baru dibelinya dari Pak Kumis.  Jadilah dia berhenti di ruang tamu, duduk di kursi terdekat, sambil merogoh ke dalam kantong berisi sayuran mencari barang itu.



Dapat! Tia memegangi sebuah terong yang tadi dibelinya.  Ungu, panjangnya sekitar 20 senti, dan cukup tebal.  Padahal yang mau dimasak Tia ikan goreng dan sop sayuran… kenapa dia juga beli terong? Bukan, Tia bukan mau memasak terong itu.  Entah kenapa, sayuran yang bersangkutan mengingatkannya kepada sesuatu.  Atau lebih tepatnya, menyerupai fantasinya tentang sesuatu. Tia menggenggam terong itu penuh rasa sayang, sambil mengamat-amatinya.  Pelan-pelan disingkapnya sedikit daster pendeknya, sehingga seluruh pahanya terlihat, terus sampai ke celana dalamnya yang polos dan tipis.  Lalu… meskipun tak mengerti benar mengapa dia melakukannya Tia kemudian mengeluskan ujung terong yang dipegangnya ke bagian depan celana dalamnya. Sentuhan lembut ujung terong yang bulat dan masih keras itu terhadap vagina di balik celana dalam membuat Tia merinding.  Tambah merinding dia karena dia tak membayangkan terong itu sebagai sayuran, melainkan kejantanan penjualnya.  Betul, Tia sedang membayangkan tukang sayur langganannya yang berkulit hitam dan berlengan kekar itu.  Dalam bayangannya, agar seimbang dengan lengannya yang keras dan kumisnya yang ganas, senjata pusaka Pak Kumis mestilah gelap dan mantap seperti terong yang dipegangnya. Berulangkali Tia menggosok-gosok celana dalamnya dengan terong itu, kadang sampai menekannya agar ujungnya sedikit melesakkan bahan celana dalam di antara belahan kewanitaannya.  Tia mulai mendesah selagi nafsunya terbangkitkan.  Dia jadi tidak puas dengan hanya menggoda kemaluannya sendiri dari balik kain, dan menggeser sedikit celana dalamnya sehingga terong yang beruntung itu mengelus-elus kedua bibir luar vagina Tia.  Setelah kewanitaannya mulai basah, Tia pun tak ragu lagi untuk memberi kesempatan kepada si terong untuk mempenetrasi manusia.  Ujung terong itu diterima dengan hangat dan becek oleh vagina Tia.  Yang dibayangkan Tia tentunya bukan bercinta dengan terong, melainkan Pak Kumis tukang sayur langganannya itu.  Terong itu pun mulai pelan-pelan digerakkan tangan Tia keluar masuk.  Sambil mengangkat paha kirinya, tanpa sengaja bibir Tia membocorkan apa yang sedang ada di pikirannya.

“Ah… ammm… Pak Ku… mis… engg…”

GEDUBRAK! Tiba-tiba pintu depan rumah Tia terbuka mendadak dan terjatuhlah tukang sayur yang bersangkutan ke lantai di samping kursi yang diduduki Tia. Tia dan Pak Kumis sama-sama terkejut.



Jadi begini ceritanya: Pak Kumis sudah berhasil menukar uang 100 ribu yang diberikan Tia, dan dia kembali ke rumah Tia membawa kembalian.  Waktu dia kembali, dilihatnya Tia sudah tidak ada di garasi, dan pintu depan rumah Tia setengah terbuka.  Menganggap Tia sudah di dalam, Pak Kumis mendekati pintu, bermaksud mengetuk pintu untuk menyerahkan kembalian kepada Tia.  Tapi dia tanpa sengaja malah mengintip Tia yang sedang menjebloskan sebuah terong ke vaginanya, dan sejenak dia tak berani beranjak dari posisinya di depan pintu yang terbuka sedikit itu.  Ketika Tia menyebut namanya tadi, saking kagetnya, Pak Kumis sampai terpeleset, mendorong pintu sampai terjeblak, dan jatuh ke dalam rumah.

“Adudududuh…” Pak Kumis meringis karena mencium lantai marmer.

“Ahhnnnh…” Tia meringis karena desakan terong di celah kewanitaannya.

Dua-duanya sama-sama terpaku beberapa saat, lalu tiba-tiba sadar akan anehnya situasi.  Pak Kumis buru-buru berusaha bangun dan keluar, tapi kalah cepat dengan Tia yang langsung bangkit, dan menutup pintu tanpa membiarkan Pak Kumis keluar dari rumah ataupun terong keluar dari kemaluannya.

“Eh, Bu Tia…?  mmMmmMM??”

Tia mendorong Pak Kumis ke tembok di belakang pintu, sambil menutup mulut Pak Kumis… dengan bibirnya.  Saking kagetnya akan kegesitan gerakan Tia, Pak Kumis hanya bisa pasrah ketika bibir merah nyonya muda langganannya itu memaksa bibirnya terbuka lebar, dan lidah Tia merangsek ke dalam rongga mulutnya.  Dengan buas Tia memberi french kiss kepada si tukang sayur, tanpa memedulikan gesekan kumis tebal Pak Kumis yang kasar ke kulit sekitar bibirnya.  Satu tangan Tia kembali memain-mainkan terong di kemaluannya, tangan lainnya menelusuri dada dan perut Pak Kumis, turun terus, ke bawah tas pinggang kumalnya, sampai ke bagian depan celana Pak Kumis.



Pak Kumis bukanlah orang yang suka main perempuan, dia cukup setia dengan istrinya yang dia tinggal di kampung halaman agar mengurus anak, tapi menghadapi seorang perempuan muda berpenampilan seksi yang dengan ganas melumat bibirnya dan mengelus-elus burungnya, tukang sayur itu tak berdaya.  Dia tak kuasa melawan ketika Tia menarik turun resleting celananya dan langsung mengocok penisnya.  Selesai menciumi habis bibir Pak Kumis, Tia langsung berjongkok di hadapan Pak Kumis, mengamati terong yang masih juga dia sodok-sodokkan sendiri ke vaginanya, lalu barang aslinya yang memang hitam dan sekarang keras di depannya.  Tanpa memedulikan apapun termasuk kata-kata penolakan setengah hati dari Pak Kumis, Tia menggesekkan pipinya ke batang hitam tegap itu, mengendus baunya, menjulurkan lidah untuk mencicipi rasanya.

“Aduh… Bu Tia… jangan Bu Tia…” keluh Pak Kumis, yang konak sekaligus ketakutan karena tidak tahu apa yang terjadi pada langganannya itu.  Tapi dia tidak berbuat apa-apa untuk menjauh dari Tia.  Dia hanya bengong sambil melihat burungnya yang sudah tegang dimain-mainkan Tia.  Tia makin berani, dan sekarang mulai memasukkan penis Pak Kumis ke mulutnya.  Bibir atas Tia menjepit daging kemaluan Pak Kumis sementara bibir bawahnya menjepit terong paling beruntung di dunia.  Pak Kumis merasa bulu kuduknya berdiri ketika gigi dan lidah Tia menyentuh urat-urat di barangnya.  Dia tak tahu apakah harus merasa senang atau kuatir selagi membiarkan anunya diisap Tia.  Sementara yang mengisap tidak peduli; yang Tia pikirkan hanyalah betapa besarnya kejantanan Pak Kumis, dan betapa kerasnya terong yang menjolok kewanitaannya.  Ada yang bilang perempuan lebih mampu melakukan multitasking, mengerjakan beberapa tugas sekaligus, daripada laki-laki.  Setidaknya Tia memang seperti itu, karena dia menyodok vaginanya sendiri makin cepat dan dalam dengan terong betulan sambil memperhebat godaannya terhadap ‘terong’ Pak Kumis.



Sementara Pak Kumis yang tidak bisa multitasking itu akhirnya tak bisa berbuat apa-apa karena urutan penalaran di otaknya sudah dibajak oleh kenikmatan badani yang diberikan mulut Tia. Tubuh Tia ikut menggelinjang selagi nafsunya terus meningkat menuju puncak.  Terong di kemaluannya digerakkan makin dahsyat… sampai akhirnya membuat Tia menjerit keenakan dalam klimaks.  Mendengar suara kenikmatan Tia yang begitu menggoda, Pak Kumis merasa tak kuat lagi menahan.  Muncratlah burungnya tepat di depan Tia, sehingga wajah cantik Tia ternoda cairan kelelakian si tukang sayur.  Tia terduduk lemah, merasakan hangatnya benih terlarang Pak Kumis menerpa hidung dan pipinya. Pak Kumis yang masih agak panik melihat ada kesempatan dan segera menutup celananya, lalu mencoba beranjak selagi Tia terduduk lemas akibat orgasme.  Sambil memalingkan muka dia berusaha keluar, tapi ketika dia membuka pintu dan mau meninggalkan ruang tamu Tia, dia merasakan celananya ditarik.  Pak Kumis menoleh dan melihat wajah Tia yang belepotan sperma itu menunjukkan ekspresi lapar.  Lapar akan laki-laki.

“Aduh, Bu Tia… tolong jangan… Saya nggak bisa…” pinta Pak Kumis dengan wajah memelas.  Kurang pantas sebenarnya tampang memelas dengan kumis se-sangar itu.  Saat itu juga Tia berdiri pelan-pelan, lalu mendekatkan mukanya ke muka Pak Kumis yang ketakutan, lalu berbisik:

“Maafin yang tadi Pak… tolong jangan cerita ke siapa-siapa… Dan ambil aja kembalian yang tadi.”

Nada suaranya begitu kalem sehingga Pak Kumis jadi tenang lagi.  Tia berbisik lagi, kali ini nadanya agak manja.

“Jangan nggak balik lagi ya Pak Kumis… saya tetap mau langganan belanja sama Pak Kumis, ya?  Janji deh, nggak akan terjadi lagi yang seperti ini…”

“…Iya …iya …” Pak Kumis mengiyakan dengan lirih.  Setelah itu, Tia melepaskan tangannya, dan Pak Kumis bergegas pergi.  Dengan terburu-buru Pak Kumis mendorong gerobak sayurnya keluar.  Karena masih panik, gerobaknya sampai menabrak pagar rumah Tia sewaktu mau keluar.

Setelah Pak Kumis pergi, Tia baru merasakan betapa tak wajarnya tindakannya tadi. Cepat-cepat dia buang terong yang tadi membuatnya orgasme. Kenapa dia sampai begitu?  Berfantasi mengenai tukang sayur sampai-sampai ‘tanpa sengaja’ membeli terong untuk memuaskan dirinya sendiri, dan memaksa melakukan oral seks terhadap Pak Kumis yang sejenak terjebak dalam rumahnya? Tia bingung sendiri.



********

2. SIANG



Setelah pagi yang tak terduga itu, Tia akhirnya bisa menenangkan diri lagi.  Dia kembali ke rutinitasnya, membaca laporan dan berkas-berkas yang berkaitan dengan usaha keluarganya, melakukan beberapa perhitungan, sambil menyiapkan makan siang untuk dirinya sendiri.  Dia tak mengganti baju daster pendek biru-nya.  Dia juga sudah mencuci muka—dan memulas kembali mukanya dengan make-up sehingga dia kembali tampak secantik penampilannya tadi pagi. Tia makan siang sendirian, hanya nasi dengan lauk seadanya.  Dia juga membelah pepaya yang tadi pagi dibelinya dari Pak Kumis.  Pepaya itu terlalu besar.  Kalau hanya dimakan berdua dengan Bram, tidak akan habis dengan cepat.  Ah, kalau begitu separonya nanti sore kukasih Kak Citra, pikir Tia. Sepinya siang itu tiba-tiba terpecah suara genjrengan gitar, tepuk tangan, dan nyanyian asal-asalan dari depan pintu.

“Ibu-ibu bapak-bapak siapa yang punya anak bilang aku

aku yang tengah malu sama teman-temanku karena cuma diriku

yang tak laku-laku”

Terdengar suara dua orang laki-laki, suara ‘tanggung’ seperti baru pecah, peralihan dari suara anak-anak ke dewasa.  Tia yang sedang duduk di depan meja makan sambil mengunyah seiris kecil pepaya dan menghadapi piring bekas makan siang segera minum dan mengelap mulut, lalu bergerak ke depan untuk mengintip sumber suara itu dari balik jendela depan.  Di luar pagar dilihatnya dua bocah tanggung, seperti seumuran anak kelas 3 SMP atau 1 SMA.  Salah satu membawa gitar akustik yang ditempeli banyak stiker, sementara kawannya cuma mengandalkan tepuk tangan untuk mengiringi nyanyian. Tia kembali ke dalam untuk mengambil sedikit uang dari dompetnya, bermaksud berbagi rezeki dengan kedua pengamen muda itu.  Tia lalu membuka pintu samping yang terhubung dengan ruang makan dan dapur, dan berjalan keluar.



Setelah keluar, Tia bisa melihat lebih jelas kedua pengamen itu, keduanya tampak seperti biasanya anak jalanan, lusuh, kurus, dan berkulit gelap terbakar matahari.  Keduanya mengenakan jeans belel dan kaos hitam bertuliskan nama-nama band beraliran keras.  Gaya rambut keduanya sama-sama tak biasa: yang bertepuk tangan rambutnya dibuat spike, mencuat di sana-sini seperti duren atau landak, sementara kawannya yang main gitar membotaki pelipis kiri-kanan sehingga mirip gaya mohawk walaupun rambutnya yang tersisa di tengah tidak diberdirikan, mungkin karena kurang modal. Terlihat tindikan menghiasi tempat-tempat di muka mereka.

“Makasih tante…” kata si rambut mohawk ketika menerima dua lembar uang seribuan dari tangan Tia.  Yang memberi dan yang menerima sama-sama tersenyum, Tia tersenyum tulus karena senang bisa beramal, kedua pengamen itu tersenyum bahagia karena bisa ketemu perempuan secantik bidadari pada siang yang panas itu.  Biasanya mereka ketemu pembantu, nenek-nenek, atau anjing penjaga. Senyum si rambut mohawk tapi berubah ketika dia mengingat sesuatu.

“Lho… ini Kak Tia kan?”

Tia kaget juga mendengar si pengamen rambut mohawk menyebut namanya.  Tahu dari mana… eh, memang sepertinya… Dia kan…

“Janu?”

Si mohawk nyengir memamerkan giginya yang menguning dan bolong satu.

“Iya Kak, saya Janu, yang dulu di rumah singgah!“

“Ooo, Janu!  Iya iya, inget.  Yang waktu dulu itu ya.  Kamu udah lebih jangkung, ya?”

“Hehehe, iya dong kak, kan udah gede sekarang.”


Fi & Janu

Fi & Janu

Kegiatan bakti sosial Tia waktu mahasiswa juga mencakup menjadi guru bagi anak-anak terlantar di suatu rumah singgah.  Salah seorang anak yang sempat dia ajar adalah Janu, yang sekarang kebetulan ngamen di depan rumahnya.  Janu dulu bandel dan liar karena ditempa kerasnya kehidupan di jalan, tapi di rumah singgah itu dia paling menurut pada Tia.

“Eh, Janu, ayo masuk dulu!  Kak Tia pengen ngobrol sama kamu sebentar, ya. Lagian sekarang kan panas, kalian mau minum dulu kan?” Tia menawarkan.

“Gimana, Fi?” Janu menengok, bertanya ke temannya yang berambut landak.  Temannya mengangguk.  Tia membukakan pintu garasi lalu mempersilakan keduanya masuk.  Janu dan kawannya yang dia panggil Fi itu masuk, lalu duduk di teras.

“Ayo masuk aja, gak usah malu-malu,” ajak Tia.

“Jangan repot-repot Kak Tia, kita di luar aja,” tampik Janu sopan.  Fi langsung menyindir kawannya, “Ceileh, sopan amat lu Jan, kalo ngadepin cewek cantik aja langsung sok keren, kayak ganteng aja lu…” yang mengakibatkan kepala landak Fi ditoyor Janu. “Kirik, diem lu, dia kakak gue yang ngajarin gue dulu, masa’ gue ga sopan ama dia?” balas Janu.  Tia tertawa kecil melihat tingkah kedua pengamen itu.

“Janu dan… siapa tadi, Fi? Tunggu di sini dulu ya.  Biar Kak Tia ambil airnya dulu.”

Tia masuk kembali ke rumah lewat pintu samping, yang menuju ke ruang makan.  Diambilnya sebotol air es dari kulkas. Di dalam kulkas dilihatnya pepaya yang sebagian sudah dia makan tadi.  Dia putuskan untuk berbagi cemilan juga dengan kedua bocah tadi.  Maka diiriskannya dua potong besar pepaya untuk Janu dan Fi. Janu dan Fi yang meneruskan adu cela sambil duduk di lantai teras terdiam ketika Tia muncul lagi.  Keduanya terpesona dengan sosok Tia yang tampak begitu cantik di mata mereka. Apalagi nyonya muda itu datang membawa sebotol air sejuk dan sepiring buah segar. Seolah-olah bidadari datang dari kahyangan membawa berkah kenikmatan bagi manusia-manusia hina seperti mereka berdua. Sungguh bersyukur Janu dan Fi siang itu, bisa duduk sambil mendinginkan tenggorokan mereka yang kering dengan minum air dingin dan makan pepaya ditemani seorang wanita jelita.



Sambil menemani kedua pengamen itu, Tia ngobrol lebih lanjut dengan Janu tentang keadaan di rumah singgah.  Tia berhenti mengajar di sana waktu mulai membuat skripsi, dan tidak pernah ke sana lagi setelah lulus dan menikah.  Menurut Janu, kegiatan belajar di sana terus berlanjut, tapi Janu sendiri yang sudah tambah besar mulai jarang ikut, dan dia menyambung hidup dengan ngamen bersama kawan-kawannya sesama anak jalanan, termasuk Fi.  Tia menasihati agar Janu jangan melupakan sekolah, supaya tetap bisa punya masa depan.  Fi tidak banyak bicara karena baru kenal dengan Tia, tapi Tia memperhatikan bahwa mata teman Janu itu tak lepas-lepas mengamatinya. Tak lama kemudian suguhan air es dan pepaya pun habis.  Untuk pertama kali, Fi berbicara dengan Tia.

“Kak, makasih ya.  Kalau boleh, biar kita cuci-in piring dan gelas bekas kita.”

Setelah berpikir sebentar Tia setuju. “Silakan. Di dalam aja ya nyucinya. Ayo ikut Kakak.”

Fi dan Janu membawa piring dan gelas mengikuti Tia yang masuk ke rumah lewat pintu samping.  Di balik pintu samping itu ada koridor pendek sempit menuju ruang makan dan dapur rumah Bram dan Tia.  Tia menunjukkan wastafel tempat cuci piring dan kedua pengamen itu pun mencuci alat makan yang tadi mereka pakai.  Setelah selesai, keduanya berbalik untuk keluar rumah.  Tia berjalan mendahului mereka ke arah pintu, bermaksud membukakan pintu samping.  Fi berada tepat di belakang Tia. Ketika Tia hendak membuka pintu, dengan iseng Fi mencolek pantat Tia.

“Aww!?”

Tia memekik dan langsung menangkap tangan Fi yang belum jauh dari pantatnya. Janu yang berada di belakang Fi menyadari apa yang baru dilakukan temannya, dan langsung menarik kerah kaos Fi dari belakang.



“WOY!” teriak Janu langsung ke kuping Fi. “Lu jangan berani kurang ajar sama kakak gue ya, kirik!  Aduh, maaf banget Kak Tia, si kirik ini emang brengsek, biasa nongkrong di rumah emaknya di lokalisasi soalnya, makanya tangannya jail.  Ayo lu minta maaf sama kakak gue!  Sekarang!”

Bukannya insyaf, Fi malah menghardik balik. “Jangan bawa-bawa emak gue juga dong, bangke!”

“Sudah, sudah!” seru Tia.  Kedua pengamen itu memandangi muka Tia dan anehnya Tia terlihat sangat tenang, tidak marah ataupun malu sebagaimana biasanya perempuan kalau habis dilecehkan.

“Janu, nggak usah marah sama dia, Kakak nggak apa-apa kok,” kata Tia kalem.

“Tapi Kak… dia udah gak sopan sama Kakak!  Emang pantas dihajar dia Kak!” Janu masih panas.

Tangan Tia yang satu lagi meraih tangan Janu yang mencengkeram leher kaos Fi, lalu menggenggamnya dengan lembut sehingga cengkeraman Janu lepas.

“Makasih ya Janu, kamu mau ngebelain Kakak.  Nggak apa-apa kok.  Fi nggak salah.”

Genggaman lembut Tia membuat amarah Janu mereda.  Padahal tadi dia sudah siap menonjok Fi.

“Fi,” kata Tia, “Dari tadi kamu ngelihatin Kakak kan?”

“I… iya…” kata Fi pelan.

“Kenapa, Fi?”

“Habisnya… Kakak seksi, sih… gimana gak ngelihatin…” jawab Fi dengan jujur.

“Udah gue bilangin lu jangan kurang ajar sama kakak gue!” lagi-lagi Janu mendamprat Fi.



“Janu, udah dong, jangan marah sama Fi…” Dan tanpa disangka-sangka Janu, tangan Tia melepas genggaman di tangan Janu, membelai lembut pipi Janu, lalu kembali menggenggam tangan Janu.

Tia kembali ke Fi.  “Emangnya tadi kamu lihatin apa, Fi?”

“…Uh…”

“Ya?” Tia tersenyum ke arah Fi yang sekarang tersipu.  Fi bingung apakah harus menjawab atau tidak.

“…ya… ngelihatin muka Kakak… kulit Kakak… habisnya Kak Tia cantik ih…”

Tia menarik tangan Fi yang tadi mencoleknya ke dekat mukanya sendiri… dan menggigit lembut jari telunjuk Fi.

“Fi bohong ya sama Kakak…” kata Tia dengan nada nakal. “Bilang yang jujur, kalo enggak Kak Tia gigit lebih keras ni…”

Fi tidak yakin gigitan Tia bakal serius, tapi dia kemudian merasakan tekanan gigi Tia, dan dia memutuskan untuk segera menjawab.

“Iyaiyaiya Fi ngaku… Tadi Fi ngelihatin… toket Kakak.”

“Hmm…” gumam Tia. “Terus?”

“…ngelihatin pantat Kakak juga, habis bohay sih, apalagi waktu jalan di depan Fi tadi…”

Janu berusaha menarik tangannya dari genggaman Tia, mau menghajar Fi, tapi Tia tidak melepasnya.  Bukan cuma itu—setelah melepas jari telunjuk Fi dari gigitan, giliran tangan Janu yang Tia tarik ke dekat mukanya.  Janu tertegun melihat Kak Tia yang selalu dikaguminya itu menjilat dan mengulum telunjuk dan jari tengahnya.  Kedua pengamen muda itu kini dalam posisi berhadapan dengan Tia di koridor sempit yang menghubungkan pintu samping menuju luar rumah dan ruang makan, tangan kiri Tia menggenggam tangan kanan Fi yang tadi digigit, dan tangan kanan Tia menggenggam tangan kanan Janu yang barusan dikulum.  Jantung keduanya berdebar-debar akibat tindakan Tia yang berani itu.



“Makanya kamu tadi nyolek pantat Kakak, ya Fi?” tanya Tia.

“Ehm…” Fi tak berani menjawab karena malu.

“Kalau gitu kamu mau nyolek toket Kakak juga kah?” tanya Tia lagi.

“…” Fi tambah tidak bersuara.

“Hayooo…” sindir Tia.

“Kak…” Malah Janu yang menanggapi, biarpun tidak jelas mau bicara apa.

Saat itu juga, tanpa menunggu persetujuan yang punya tangan, Tia menarik tangan Fi sampai menyentuh payudaranya.  Daster birunya tidak memberi perlindungan memadai kepada sepasang keindahan di dada Tia itu, dan sejak tadi memang Fi sudah bisa menikmati lembah dan dua bukit mulus nan sekal yang mengintip di balik kain tipis. Fi menatap muka Tia dengan tak percaya, dan Tia membalas tatapan Fi dengan anggukan setuju.  Dengan malu-malu Fi mengembangkan jemarinya dan mulai menjamah kelembutan buah dada Tia.

“Fi!” teriak Janu tak setuju.  Dia mau protes lagi, tapi keburu merasakan sensasi aneh tapi menyenangkan ketika tangannya dibawa ke payudara Tia yang satunya.  Janu merasa bulu kuduknya berdiri ketika jarinya berkenalan dengan empuknya payudara Tia.

“Kak… Tia…” Janu hanya bisa berkomentar lirih ketika dia tak kuasa melarang tangannya mengikuti tangan Fi mencengkeram sepasang payudara Tia.  Rasanya tak percaya dia melihat Kak Tia yang begitu baik dan pintar dan cantik itu membiarkan tubuhnya dipegang-pegang orang.  Lebih dari itu: Tia malah membuat tangan mereka berdua meremas-remas payudaranya.  Namun sebagai remaja di tengah masa puber Janu tak bisa melawan gelora nafsu yang dipicu Kak Tia idolanya.



“Emmm…” Tia menggumam karena remasan tangan kedua pengamen muda itu mulai membangkitkan gairahnya.  Dia kemudian menjauhkan tangan Janu dan Fi dari payudaranya, dan mendekat ke keduanya.

“Janu, Fi… Gimana rasanya dada kakak?” tanya Tia dengan bibir tersenyum manis.

Janu tidak berani menjawab.  Fi berani. “Kenyal… empuk…”

“Pengen lihat?” pancing Tia.  Fi mengangguk.

Tia melepas tangan Fi, dan segera memelorotkan kedua tali bahu dasternya.  Kedua pengamen menahan nafas melihat sepasang buah ranum terbebaskan dari bungkusannya, menantang mereka berdua untuk menikmati.  Tadi keduanya tidak berani bertindak.  Tia tertawa kecil melihat mereka berdua salah tingkah.

“Kak… Kak Tia…” Dari tadi Janu tidak bisa berkata yang lain.  Tia tersenyum ke arah Janu, lalu merangkul kepala Janu, dan mendekatkan muka Janu ke dadanya.  Fi menelan ludah karena iri, sementara Janu tiba-tiba merasa sangat nyaman, damai, dan nikmat ketika pipinya bersandar di bantalan empuk payudara Tia.  Saat itu Janu bersyukur, dalam kehidupannya yang kurang bahagia dia berkesempatan bertemu Tia, tidak hanya karena Tia cantik dan baik dan mengajarinya banyak hal, tapi juga karena Tia telah memberinya kebahagiaan seperti itu.  Tia mendekap dan mengelus-elus kepala Janu seolah-olah Janu itu bayi yang sedang digendongnya.  Sentuhan paku logam yang menyelip di alis Janu membuat Tia geli.

“Fi mau juga?” tanya Tia kepada Fi yang sudah menanti, dan tanpa menunggu ditarik, Fi langsung mendekatkan mukanya ke payudara Tia yang satunya.  Seperti yang tadi disebut Janu, Fi memang besar di lingkungan pelacuran, dan meski masih sangat muda dia bukan orang yang polos dalam hal menyentuh wanita.  Kalau Janu cuma bersender, Fi malah buka mulut dan menjulurkan lidahnya menyentil-nyentil puting Tia.  Tia terpekik lagi akibat ulah nakal Fi, tapi dia membiarkan Fi melakukan itu.



Sambil merangkul Fi, Tia meraih muka Janu.  Tia berbisik,

“Janu kamu pernah ciuman nggak?” yang dijawab Janu dengan gelengan kepala.

Dan serta-merta Tia memberikan pengalaman ciuman pertama untuk anak jalanan yang pernah diajarnya itu.  Tidak tanggung-tanggung, ciuman pertama Janu bukan sekadar kecupan singkat dari Tia, melainkan french kiss penuh nafsu.  Janu kaget, dia tak menyangka Kak Tia-nya bisa bersikap seperti ini.  Selama ini Janu mengagumi Tia seolah seorang dewi, dengan kebaikan dan kasih sayang serta kecantikan sederhana yang anggun, namun imej itu dikacaukan tindakan Tia.  Namun itu tidak membuat rasa kagum Janu terhadap Tia pudar.  Hanya saja dia tidak mudah mengerti mengapa Tia jadi seperti ini.  Ataukah dia saja yang tak pernah tahu sifat Tia yang sebenarnya? Sementara lidah Tia bertemu dengan lidah Janu di dalam rongga mulut Janu, lidah Fi terus beraksi di seputar puting kiri Tia.  Fi tidak hanya menjilat dan menyentil, tapi juga menggigit dan mengulum puting Tia.  Fi makin berani ketika dia merasa tangan Tia di belakang kepalanya justru menekan kepalanya mendekat, pertanda Tia suka dengan perbuatannya. Tia mulai melakukan gerakan lain, kedua tangannya kini sudah tak lagi menggenggam tangan Janu dan Fi, tapi mulai menyelip di balik kaos Janu untuk mengelus perut dan dada Janu, dan merangkul Fi.  Bukan tubuh atas mereka berdua yang menjadi sasarannya… tak lama kemudian tangan Tia sudah turun sampai jendulan di balik celana kedua pengamen itu.  Tidak heran kalau mereka ngaceng, siapa yang tidak demikian kalau sedari tadi digoda Tia.  Tia tersenyum ke kedua bocah itu, seolah-olah baru menangkap mereka berdua berbuat kenakalan.

“Hihihi… kok kalian konak sih…?” goda Tia, pura-pura tidak tahu penyebabnya.



Janu membuang muka, masih malu, sementara Fi balas nyengir. Dasar Fi sudah berpengalaman, dengan kurang ajarnya dia membuka resleting celana dan mengeluarkan burungnya, yang disambut tangan Tia tanpa ragu.  Sementara Janu tetap terpaku, bingung antara ingin ikut-ikutan berani seperti Fi atau tetap bersikap menghormati Tia. Tia menyadari kebingungan Janu.

“Janu… tenang aja ya?  Kamu ikutin Kakak aja.”

Di sisi lain, tangan Fi menggenggam tangan Tia yang sekarang mulai membungkus ereksinya, dan mulai menggerakkannya naik-turun, membuat Tia mengocok anunya.  Tia menoleh dan tersenyum ke arah Fi, membiarkan saja si rambut landak menyalahgunakan tangannya.  Perhatian Tia kembali ke Janu.  Sambil tetap mengocok Fi, Tia mengecup lembut bibir Janu, lalu pelan-pelan berlutut.  Begitu mukanya sudah sejajar dengan selangkangan Janu, seperti seorang pelacur profesional Tia menggigit resleting celana Janu dan menurunkannya, kemudian menjilati jendulan hangat yang masih terbungkus celana dalam.

“Kak… jangan Kak… kan kotor…” pinta Janu.  Tia melirik ke atas, melihat wajah Janu yang khawatir, dan dengan cueknya dia malah membuka kancing dan memelorotkan celana Janu sekaligus dalamannya.  Tia membelai-belai dan memijit-mijit penis Janu.  Janu tak bisa menahan desah keenakan keluar dari mulutnya ketika sentuhan jemari Tia memanjakan kemaluannya.  Apapun yang mau diperbuat Tia, Janu sudah tak ambil pusing lagi, dia hanya mau menikmati.  Pandangan Janu terpaku kepada wajah, tangan, dan payudara Tia yang menggoda, menyihirnya sehingga terperangkap dalam hasrat.



Tia melepas pegangannya terhadap penis Janu dan Fi, lalu menarik selangkangan Janu makin dekat dengan tubuhnya.  Tia lalu mengangkat tubuhnya sehingga selangkangan Janu sejajar dengan dadanya.  Sekali lagi diajaknya tangan Janu menjamah buah dadanya.  Di depan muka langsung, Tia memandangi batang Janu yang berdiri tegak.  Ketika Tia mencium kepala penis Janu, Janu menahan nafas.  Tia melanjutkan dengan memberi gigitan-gigitan halus sepanjang bagian bawah batang itu.  Sementara itu salah satu lengan Tia meraih ke belakang tubuh Janu, menggenggam dan mendorong pantat Janu supaya tubuh Janu makin merapat. Kemudian si nyonya muda memutuskan memberi kenikmatan bentuk lain kepada Janu.  Memang payudaranya berukuran hanya sedikit di atas rata-rata, tidak besar sekali, tapi cukup untuk melakukan yang ingin dia lakukan.  Kedua tangan Tia menggenggam kedua payudaranya sendiri, lalu menjepitkan keduanya ke penis Janu.  Kelembutan kedua gundukan itu membuat Janu serasa terbang.  Dia mengikuti refleks tubuhnya sendiri dan menggesek-gesekkan batangnya maju-mundur menembus jepitan belahan dada Tia. Fi tidak mau ketinggalan, dia berlutut di belakang Tia dan merangkul pinggang Tia.  Jemarinya bergerak ke arah bibir vagina Tia.  Anak itu jelas-jelas tidak polos, dia tahu apa yang mau dia lakukan.  Dia menjulurkan jemarinya ke dalam vagina Tia dan mendapati bagian dalamnya sudah becek.  Sambil nyengir ditaruhnya kepala kontolnya di bibir vagina Tia, tapi—

“Eit, maaf ya Fi… boleh pegang, gak boleh dimasukin,” kata Tia sambil meraih ke belakang dan menggenggam penis Fi.  Fi dilarang mempenetrasi.  Tapi Tia lantas menggesek-gesekkan belahan memeknya mengelus batang Fi.



Tia menyadari bahwa posisinya belum memungkinkan dia menyervis kedua pengamen muda itu berbarengan, sehingga kemudian dia menyuruh Janu duduk.  Janu duduk di lantai, mengangkang, ereksinya tetap tegak menantang. Tia menjauh lagi dari Fi untuk berlutut dan kemudian berposisi merangkak di depan Janu, kedua buah dadanya menggantung, tangannya kembali mengocok batang Janu.  Tia menempatkan kejantanan Janu di antara kedua buah dadanya, lalu menurunkan tubuh depannya sehingga batang Janu kembali terjepit dalam kenikmatan.  Gerak maju-mundur tubuh Tia membuat kedua buah dadanya melumat penis Janu, menimpakan godaan badani yang dahsyat kepada alat kelamin yang belum pernah merasakan lawan jenis itu. Sementara itu Tia sepertinya maklum Fi akan bertindak sendiri, dan melihat Tia kini berposisi nungging di depannya, mana bisa Fi diam saja?  Tapi Fi tetap menuruti permintaan Tia tadi untuk tidak mempenetrasi, dan dia memilih memuaskan diri dengan menyibak bagian belakang daster Tia sehingga menyingkapkan pantat bahenol perempuan yang diidolakan Janu itu, mencengkeram kedua belah pantat Tia, dan menggesek-gesekkan batangnya di lembah antara keduanya. Janu tak kuasa menahan sensasi lembut yang membekap kemaluannya.  Setelah hampir satu menit digeluti kedua tetek Tia, jebol juga pertahanan Janu.  Dia memejamkan mata dan meringis ketika tak bisa lagi menahan maninya muncrat ke dada dan leher Kak Tia yang begitu dikaguminya.  Mungkin karena jarang dikeluarkan, ejakulasi Janu cukup banyak, terciprat menodai tubuh Tia. Fi bertahan lebih lama, apalagi dia dilarang memasuki vagina atau anus Tia yang sudah menantang di depannya.  Cukup lama dia menggesek-gesekkan batangnya di belahan pantat dan bibir memek Tia, menikmati kehangatan dan kelembutan tubuh bagian bawah Tia.  Sekali-sekali dikemplangnya pantat Tia.



Tak lama kemudian, Tia merasakan seciprat-dua ciprat cairan kental menimpa punggung bawahnya.  Fi keluar juga akhirnya. Untuk beberapa lama mereka bertiga tetap terdiam, Janu terduduk, Tia meringkuk dan kepalanya menyandar di perut Janu, Fi juga terduduk lelah di belakang Tia.  Yang pertama kali tersadar dan merasa tidak enak adalah Janu, buru-buru dia bangkit dan membantu Tia bangun.  Janu langsung menaikkan dan mengancingkan lagi celananya, lalu mengulurkan tangan seolah ingin membantu Tia membetulkan pakaiannya yang tersingkap, tapi kemudian ragu dan menarik lagi tangannya.  Janu melihat ke kanan dan kiri, menemukan sekotak tisu, lalu mengambil beberapa lembar dan menyodorkannya ke Tia sambil menunduk.

“Ka… Kak Tia… maaf… maafin Janu Kak… maafin Janu…” Suara Janu tercekat, seperti mau menangis, agaknya dia merasa bersalah karena perbuatannya barusan.  Tia menerima tisu yang disodorkan, dan menyeka sperma Janu dan Fi yang menodai tubuhnya.  Dihampirinya Janu dan diciumnya kening Janu.

“Kamu gak salah Janu… ga usah minta maaf.  Mestinya Kakak yang minta maaf soalnya udah ngegodain kamu,” kata Tia lembut sambil mengelus rambut Janu.  Janu mengangguk dengan agak takut.  Sementara di sisi lain, Fi senyum-senyum sendiri.

Tanpa banyak kata, kedua pengamen itu pamit dan meninggalkan rumah Tia dengan perasaan campur aduk.  Sebelum mereka pergi, Tia sekali lagi meminta maaf kepada Janu dan mengatakan Janu boleh mampir ke rumahnya kapan saja. Tinggallah Tia sendiri. Satu sisi dirinya bertanya-tanya, mengapa dia bisa bertindak seberani itu. Sisi lain dirinya puas karena berhasil menggoda kedua pengamen itu. Dia memang belum mencapai klimaks, tapi dia menyadari bahwa dia sangat menikmati menggunakan tubuhnya untuk merangsang dan menguasai kedua remaja tanggung itu.  Dia senang bisa membuat keduanya lepas kendali dan jatuh dalam pelukan birahi.  Tia sedang berubah…



*****



3. SORE



“Hmmmm…” Tia menggumam karena nikmatnya pijatan Widy di pundaknya.  Sore itu Tia berada di salon Citra.  Tadi Tia mampir untuk mengantarkan pepaya yang mau dia bagi untuk Citra, tapi setelah ngobrol-ngobrol berkepanjangan, akhirnya Tia malah mendapat sesi pijat refleksi gratis dari asisten Citra, Widy.

“Enak kan tangannya Widy?  Aku aja suka kok.  Saban hari pasti aku minta dia pijat aku dulu sebelum dia pulang,” ujar Citra yang berada di sebelah Tia, sambil mengecat kuku.

Widyane—biasa dipanggil Widy—adalah kapster di salon Citra, satu-satunya karyawati Citra.  Keahlian utamanya adalah memijat.  Widy lebih muda daripada Citra dan Tia, mungkin baru berumur sekitar 20, bertubuh pendek tapi berisi dengan lekuk-lekuk menantang.  Tia bisa melihat betapa celana pendek jeans dan T-shirt hijau ketat yang Widy pakai sore itu kerepotan melingkupi bokong dan payudaranya yang semok.  Rias wajahnya tidak kalah meriah dibanding Citra, dengan lipstik merah cemerlang dan eyeshadow berwarna gelap di bawah rambut tebal yang agak megar dan sebagian di-highlight pirang.

“Eh, Mbak Tia kok sekarang cantikan ya? Biasanya juga cantik, tapi akhir-akhir ini jadi tambah kinclong lhoo…” komentar Widy dengan logat medok.

“Iya lah, kan gue yg permak,” ujar Citra bangga.  “Tia ini baru dapat pencerahan, makanya perlu ganti imej.  Gimana Ti?  Mempan gak saranku?”

Tia tidak menjawab, namun bibirnya yang tersaput lipstik pink tersenyum.  Tapi dia sendiri merasa makin lama makin bisa masuk ke dalam kepribadian yang disarankan Citra.  Kepribadian pelacur.  Kejadian pagi dan siang itu menunjukkan kepada Tia bahwa dia sebenarnya suka bisa menarik perhatian laki-laki.  Memancing birahi mereka dan menguasai mereka.

Seperti lonte-lontenya Bram.

Seperti… Citra?

Sambil menikmati pijatan jari Widy yang sekarang mencapai pelipisnya, Tia terpikir lagi mengenai perubahan penampilannya.  Memang, waktu itu Citra menyarankan agar lebih berani dalam merias diri dan berpakaian supaya bisa menandingi perempuan-perempuan penjaja cinta yang sempat menarik perhatian Bram.  Tapi Tia baru sadar, bukan cuma mereka yang penampilannya dia tiru.



Citra juga seperti itu.


Citra

Citra

Sejak dulu, Citra suka menggoda laki-laki. Siapapun. Teman sekolah, teman kuliah, karyawan orangtuanya—sembarang orang.  Tia tahu itu. Entah sudah berapa laki-laki yang menikmati tubuh kakak iparnya.  Sampai akhirnya satu di antara mereka menghamili Citra. Lamunan Tia terhenti karena dia mendengar bunyi pintu dibuka.  Masuklah seorang laki-laki setengah baya ke dalam salon.  Laki-laki itu bertubuh besar dan berpakaian rapi ala pebisnis, dengan kemeja mahal, dasi, dan celana bahan yang necis.  Rambutnya yang dibelah pinggir mengkilap karena minyak rambut, matanya kecil dan bibirnya lebar.

“Halo halo,” sapanya sok akrab.

“Eh Pak Bernardus. Ke mana aja, kok jarang ke sini?” jawab Citra, juga dengan akrab.

“Waduh, baru juga minggu lalu aku ke sini, manggilnya kok udah jadi formal lagi gitu?” kata Pak Bernardus.

“Iya deh… Om Bernard,” balas Citra dengan centil.

“Tadi ada yang SMS aku katanya Widy udah masuk lagi, jadi kangen sama pijatannya.”

“Emang siapa yang ngabarin?… Oh.” Pertanyaan Citra langsung terjawab ketika melihat Widy nyengir sambil mengacungkan HP-nya.

Citra mendekati Tia yang masih duduk di kursi salon.  “Tia, sori, kamu pulang dulu yah? Aku ada customer nih.”

“Iya Kak,” jawab Tia, yang segera berdiri dan meninggalkan ruangan.  Ketika berpapasan dengan Bernard, Tia mengangguk dan tersenyum, yang dibalas dengan tindakan yang sama oleh laki-laki necis itu.  Bernard terus memandangi Tia sampai Tia keluar dari salon.

“Ayo Om,” Citra dan Widy menghampiri Bernard, membawanya ke satu ruangan lain dalam salon.



Ketika Tia keluar, dilihatnya mobil Mercedes-Benz hitam terparkir di depan salon.  Pasti mobil Pak Bernardus yang tadi, pikirnya. Tia ingat sesuatu: sesudah pertama kali dia di-makeover Citra dan terburu-buru pulang karena masih tidak pe-de akan penampilan barunya, dia melihat mobil itu.

Jadi waktu itu, dia yang datang…



*****



Dua puluh menit kemudian, di rumahnya, Tia menyadari dompetnya ketinggalan di salon Citra.  Dia langsung beranjak kembali ke salon Citra.



*****



“Gimana kabar bisnisnya, Om?”

Pak Bernardus alias Om Bernard sudah berbaring nyaman di atas tempat tidur dalam ruang belakang salon Citra.  Bagaimana tidak nyaman, kepalanya berbantalkan paha Widy, sedangkan Citra mengelus-elus tubuhnya yang sudah telanjang.  Widy, yang tadi bertanya, sedang memijat dahi Bernard.

“Apa ndak ada pernyataan lain tho Wid, wis pusing aku sama bisnisku, ee di sini malah ditanyai bisnis lagi.  Mumet aku Wid, pesaing tambah buanyak.  Aku ke sini mau refreshing, jangan tanya yang serius gitu yo?”

“Maaf deh Om,” kata Widy. “Widy kasih nenen aja biar Om ga marah ya?”

Serta-merta Widy membuka kaosnya dari bawah sehingga Bernard yang di pangkuannya bisa melihat jelas BH hitam berenda yang menutupi sepasang gundukan yang sejahtera.  Widy menarik BH-nya ke atas sehingga bagian bawah teteknya bergandulan tepat di depan muka Bernard.  Pebisnis itu langsung menengok dan menowel-nowel dasar tetek Widy dengan hidungnya.

“Widy… asu tenan iki susumu… ini nih yang orang sebut tobrut… toket brutal… heeheehee…” Bernard kegirangan, langsung saja dengan nakalnya dia menjulur-julurkan lidah berusaha menjangkau ranumnya buah dada Widy.  Widy terkikik kegelian ketika lidah Bernard mengenai sasaran.

Tangan Citra yang tadi memijati paha sekarang sudah pindah ke batang dan biji Bernard.  Beberapa usapan kemudian, tegaklah kejantanan Bernard.  Si pebisnis menghentikan sebentar wisata lidahnya di bawah tetek Widy untuk menengok ke arah Citra.  Sore itu Citra tampil glamor walaupun hanya untuk kerja di salonnya, dalam blus biru muda tanpa lengan dan rok mini hitam.  Seperti biasa, dia memakai make-up tebal, kulit wajahnya nyaris tanpa cela berkat foundation, bibirnya merah darah, garis matanya tajam oleh maskara.

“Eh, Cit, kapan kamu mau upgrade toket biar kayak Widy, biar gak jomplang, kan mukamu udah full modif gitu?” Bernard memberi saran tanpa diminta.  Jawaban Citra adalah senyum disertai tatapan tajam ke arah Bernard, dan Bernard pun merasakan cengkeraman keras dan tajam di pelirnya.  Rupanya Citra main kuku…

“Becanda, becanda.  Ampun Mbakyu, biji saya jangan dipites, kasihan Widy ntar…” Bernard langsung berhenti membanyol… atau tidak. “Tapi kalo sampeyan mau operasi bikin gede, bilang aja, nanti Om bayarin.”

Memang bijinya tidak dipites Citra, tapi kena sentil-lah batang Om Bernard yang terlanjur tegak itu!



********************

Tia mendapati pintu salon Tia tidak dikunci. Dilihatnya dompetnya tergeletak di meja rias yang tadi dihadapinya ketika dipijat Widy.  Tapi ke mana Citra, Widy, dan Pak Bernardus?  Tadinya Tia kira, paling-paling Pak Bernardus datang untuk cukur rambut atau semacamnya.  Mercy hitamnya juga masih ada di depan. Tia melihat sekeliling, memperhatikan ruangan salon Citra.  Memang salon tersebut tidak besar.  Hanya tiga set kursi, plus satu tempat cuci rambut, dan satu tempat tidur di ruang belakang untuk luluran.  Tahun lalu, sesudah ditinggal suaminya yang kabur entah ke mana, Citra datang ke Bram dan Tia meminta tolong.  Walau Citra sudah diusir oleh keluarga, Bram tetap sayang dengan kakak kandungnya itu, dan Tia yang lama mengenal Citra juga peduli.  Bram dan Tia membantu Citra dengan pinjaman modal dan sewa tempat untuk bisa berusaha sendiri, dan Citra memilih membuka salon di sebelah rumah Tia dan Bram. Didengarnya suara-suara dari arah ruangan belakang yang dipisahkan tembok dari ruang utama salon dan berpintu tirai.  Tia mendekat…



*****



Agaknya candaan Bernard tadi tidak sampai membuat Citra sakit hati, karena Citra kini sedang menjilati penis Bernard yang tadi disentilnya, bersama-sama Widy.  Tambah ngaceng Bernard melihat dua muka penuh nafsu menyervis kejantanannya.  Tapi ada satu lagi yang mau dia tanyakan kepada Citra.

“Cit, yang tadi itu siapa? Bempernya gede tuh, tampangnya cakep lagi.”

Citra menjawab, “Adik iparku tuh.”

“Oo, adik ipar.  Wuih.  Sayang baru kenal.  Adikmu mujur juga, ya?”

Citra terkikik.  “Awas jangan diembat juga dia Om, udah ada yang punya!”

“Heeheehee, gimana ya?  Kayaknya asyik tuh diulek bokongnya…”

“Sentil lagi nih,” ancam Citra sambil menyiapkan jarinya di samping kepala kontol Bernard.

“Iya deh, iya deh, ampun Ndoro Putri Ayu, kulo jangan disenthil lagi, atit…”



*****



Tia mendekat ke tirai yang menjadi pintu ruang belakang salon Citra. Disibaknya sedikit tirai itu untuk mengintip.  Dan dia sungguh tak siap mendapati pemandangan di baliknya. Laki-laki perlente tadi—Pak Bernardus—telanjang bulat di atas tempat tidur, Widy yang kaosnya sudah dilepas dan buah dadanya sedang dilahap mulut lebar Pak Bernardus, dan… Citra, bersimpuh telanjang di depan Pak Bernardus, menyepong senjata Pak Bernardus.

Ternyata… Kak Citra…?

Tia terus menonton tanpa terlihat orang-orang yang berada di ruang belakang.  Widy tertawa-tawa kegelian ketika susunya yang sensitif dipermainkan oleh Pak Bernardus dengan tangan, bibir, dan lidah.  Pak Bernardus sesekali mengeluarkan komentar manja dan nakal, membuat Widy tersipu.  Citra menggarap seluruh titik yang bisa dirangsang di bagian bawah tubuh Pak Bernardus mulai dari batang zakar, pelir, bahkan sampai ke lubang duburnya.  Sekali-sekali Pak Bernardus berusaha menjamah tubuh Citra, tapi karena posisinya agak jauh, dia hanya dapat mengelus rambut Citra.  Akhirnya Widy juga yang jadi sasaran gerayangan tangan Pak Bernardus. Pelan-pelan, tangan Tia bergerak ke arah selangkangannya sendiri.



*****



“Cit, Wid… Om pengen nih…” pinta Bernard yang sudah tak tahan dengan rayuan fisik kedua penggoda yang mencumbunya. “Siapa nih yang mau… apa dua-duanya mau?”

“Hih, ge-er,” cela Citra, “Siapa juga yang mau sama Om…”

“Aduh Citra sayang, jangan nolak Om gitu dong, kan hancur hati Om?”

“Nggak ah, habis Om gak asyik hari ini,” Citra jual mahal.  “Dari tadi ngeledekin aku terus.”

“Ayo dong Cit, kamu gak kasihan sama Om, dari tadi masuk juga Om udah nafsu banget dari ngelihatin mukamu aja, kalo gak dikasih Om bisa-bisa ntar merkosa anak orang…”

Walaupun alasan Bernard jelek sekali, Citra tidak mau mengulur terlalu lama.

“Oke deh Om… tapi ada syarat.  Tiduran telentang dulu ya Om. Wid, bangun dulu,” atur Citra.  Bernard tiduran telentang, tapi tongkat sakti-nya tidak ikut tiduran.  Widy turun dari ranjang dan memberi jalan ke Citra.  Citra naik dan kemudian mengambil posisi mengangkangi muka Bernard.  Yang dikangkangi nyengir dan langsung tahu apa yang dimaui Citra.

“Om mesti jilatin memekku sampe aku puas ya, baru ntar kukasih,” perintah Citra.  Tanpa disuruh pun Bernard sudah tahu apa yang harus dilakukan.  Mulut lebarnya segera bergerak, melahap kenikmatan di selangkangan Citra yang bebas jembut.



*****



Tia terus menonton, dan dalam hatinya terbersit sedikit rasa kagum akan sikap Citra yang berani pegang kendali.  Sambil terus mengintip, dia bermasturbasi.  Kalau tadi pagi alat bantunya terong, maka kali ini yang dipakai adalah barang yang sedang ada di tangannya—dompet yang tadi ketinggalan.  Tia menggesek-gesekkan sudut dompetnya ke celana dalamnya selagi melihat Citra menggelinjang keenakan ketika memeknya dimakan Pak Bernardus.  Dilihatnya lidah laki-laki itu menjilat, menjolok ke dalam, memain-mainkan klitoris; untuk urusan jilat-menjilat kemaluan wanita, rupanya orang ini sudah ahli.  Terbukti dari reaksi yang ditunjukkan Citra.  Kakak ipar Tia itu tak henti-hentinya merintih dan mendesah karena kenikmatan, kedua tangannya mencengkeram hampir menjambak kepala Pak Bernardus, wajahnya yang bermake-up tebal tampak sangat mesum dan bernafsu.

“Aah… emm.. uh… enak banget Om… aduh gila… Omm… terusshh…” bibir merah Citra gelagapan meracau.

Tidak hanya Citra.  Di luar, Tia ikut terangsang.  Khayalannya mulai liar.  Dia tidak lagi melihat Citra dioral oleh Pak Bernardus.  Malah dia membayangkan dirinyalah yang sedang dikangkangi Citra, didominasi oleh kakak iparnya yang binal itu, dan sebagai budak yang patuh dia harus menuruti, kalau tidak, Citra akan menghukumnya dengan berbagai siksaan.  Makin gencarlah masturbasi Tia karena khayalan tadi, dia membayangkan ditundukkan oleh Citra, digerayangi, dikemplangi, mukanya diduduki dan dipaksa makan memek…

“Aughhh!!” Terdengar jeritan erotis dari Citra yang takluk, jurus-jurus silat lidah Pak Bernardus membuat si pemilik salon yang seksi itu orgasme sampai kelojotan.  Tidak tanggung-tanggung, yang dialami Citra bukan orgasme biasa, tapi dia sampai memuncratkan cairan dari kemaluannya yang lantas membasahi muka Pak Bernardus.



*****



Citra ambruk ke belakang, terkapar di atas tubuh Bernard, gemetar dan terengah-engah.

“Haduh… ampun Om… gila enak banget tadih…” Citra harus mengakui keahlian Bernard.  Bernard senyum-senyum sambil mengingatkan, “Yo wis, gantian, Om udah bikin kamu merem melek tadi, sekarang giliran anunya Om masuk sono ya Cit?”

Kepala Citra bersandar di paha kanan Bernard, rambutnya yang tergerai menutupi penis Bernard yang sedari tadi tidak ada yang mengurusi.  Citra mengelus-elus batang yang tegang itu, menciumnya, lalu bangun dari ranjang.  Dia mengambil sesuatu dari laci meja yang ada di dalam ruangan itu, ternyata sebungkus kondom.  Dibukanya bungkus kondom itu, lalu dengan profesionalnya dia pasangkan kondom itu ke burung Bernard.  Dengan memakai mulutnya, tentu saja. Bernard tidak berubah posisi, tetap telentang.  Citra kembali naik ke ranjang dan mengangkangi tubuh Bernard, kali ini di selangkangan, bermaksud bersetubuh dengan posisi perempuan di atas.  Sambil memasukkan penis Bernard ke vaginanya, Citra memanggil Widy, “Wid, ayo ikutan.”



“Om aku mau juga dong dijilmek kayak Mbak Citra tadi…” pinta Widy.  Bernard oke-oke saja, dan Widy pun ikut naik ke ranjang setelah melepas semua pakaiannya, mengangkangi muka Bernard tapi dengan arah berkebalikan dengan posisi Citra tadi sehingga dia berhadapan dengan Citra yang mulai bergerak naik-turun menunggangi kemaluan Bernard.  Sambil tertawa-tawa kegelian merasakan hidung dan bibir Bernard bermain di daerah pribadinya, Widy mengedip genit ke arah bosnya, Citra.  Citra tersenyum mesem melihat asistennya yang keganjenan itu, lalu memberi ciuman bibir yang hangat kepada Widy. Berbeda dengan mulut dan lidahnya, penis Bernard tidak istimewa, apalagi untuk Citra yang sudah pernah merasakan berbagai bentuk, warna, dan ukuran alat kelamin laki-laki.  Makanya dia bersetubuh dengan Bernard hanya demi formalitas saja, dan mencari kenikmatan pribadi dari Widy.  Sambil menindih Bernard di bawah, kedua pekerja salon itu saling cium dan pagut.  Citra meremas-remas dada Widy yang tak bisa ditandingi payudaranya sendiri itu dengan gemas, seolah iri dengan kelebihan Widy itu.  Dari bawah, tangan Bernard juga ikut main.  Widy yang memang mudah kegelian lebih banyak tertawa menanggapi serbuan cabul dari bawah dan depan.



*****



Semua itu terus diperhatikan dari celah tirai oleh Tia, yang sampai terduduk karena tak kuat menahan gelora nafsu.  Tia sudah tidak memperhatikan betapa tak senonoh posisi tubuhnya sekarang: duduk mengangkang dengan daster tersingkap dan celana dalam basah akibat kemaluannya terus-menerus dirangsang sendiri.  Makin lama Tia mengintip, makin ingin Tia masuk dan ikut dalam permainan tiga orang di dalam.  Dan di antara mereka bertiga, Tia ternyata jadi paling ingin menggumuli kakak iparnya, Citra.  Melihat apa yang sedang Citra perbuat, Tia jadi ingin dibegitukan juga oleh kakak iparnya: merasakan bibir merah Citra melumat bibirnya, merasakan kuku-kuku Citra mencengkeram buah dadanya.  Citra memang cukup terbuka dalam orientasi seksual, umumnya dia suka laki-laki, tapi Citra tidak segan mencoba pengalaman dengan perempuan juga.  Sedangkan Tia selama ini merasa dirinya biasa-biasa saja, belum pernah mencoba mencari tahu apakah tidak hanya laki-laki saja yang bisa membangkitkan gairahnya.

“…agh… ahm… mm… mmm…” Tahu dirinya tak seharusnya berada di sana, Tia berusaha keras meredam suara-suara penuh nafsu yang lolos dari mulutnya dengan cara menggigit ujung dasternya.  Tentu saja tindakannya itu membuat posisinya tambah vulgar, karena celana dalamnya dan perutnya jadi terungkap.  Tia tak peduli, yang menguasai dirinya hanya kenikmatan dan fantasi.  Akhirnya sampai juga dia ke klimaks.

“MmMMmmMMm!”



*****



Pada saat yang hampir bersamaan, Bernard juga mencapai orgasme, dia ejakulasi di dalam kondom yang membungkus penisnya ketika sedang berada di dalam Citra.  Sebelumnya lidah sakti Bernard sudah membuat Widy klimaks sehingga si ahli pijat berdada subur itu terhempas ke depan, sepasang payudaranya menimpa perut Bernard. Citra tersenyum puas.  Sepanjang hidupnya dia mencari kenikmatan demi kenikmatan, dan menurutnya cara hidupnya sekarang sebagai seorang pelacur berkedok pemilik salon sudah nyaman.  Bernard hanyalah satu dari banyak laki-laki hidung belang, tidak semuanya bisa memberikan kenikmatan fisik kepadanya karena banyak juga yang ukuran alat kelaminnya kecil, atau ejakulasi dini, atau memang tidak becus saja.  Tapi yang jelas semuanya memberikan kenikmatan dalam bentuk lain, berupa penghasilan dan rasa kagum mereka terhadap dirinya.  Citra bukan orang yang bisa betah dengan satu pasangan saja untuk waktu lama, jadi dia tak mempermasalahkan suaminya yang kabur.  Yang dia inginkan sekarang hanyalah menjalani kehidupan, sambil menyambar kenikmatan yang bisa didapat. Pengamatan Citra cukup jeli.  Dia bukannya tidak tahu ada orang sedang mengintip kegiatannya dengan Widy dan Bernard.  Dia melihat kelebatan tubuh orang yang bergegas berdiri lalu pergi menjauhi tirai.  Dia tahu itu Tia, dan dia bisa mengira sedang apa Tia di sana. Beberapa hari lalu, ketika Mang Enjup dan rombongan mampir untuk memakai jasanya, Citra sedikit-sedikit memancing informasi dari mereka, dan meski Mang Enjup tidak banyak mengungkapkannya, Citra bisa menduga apa yang baru saja terjadi.  Sejak saat itu Citra dilanda perasaan aneh, seolah-olah dia jadi partner tak langsung Mang Enjup dalam mengubah penampilan dan kepribadian Tia.  Tapi dia menganggap, pada akhirnya yang menentukan adalah Tia sendiri, apakah dia mau menerima perubahan itu atau tidak.  Citra tak mau menghakimi.  Dia sudah kenyang dihakimi.



*****



Tia pulang dengan perasaan campur-aduk.  Setelah tadi mengintip dan terangsang sampai orgasme, Tia tidak berani lama-lama, dan langsung bergegas meninggalkan salon Citra sebelum kepergok.  Walau kakinya masih lemas, dia merasa tak enak kalau sampai ketahuan ngintip.  Kepalanya masih penuh dengan pertanyaan.  Siapa sebenarnya Pak Bernardus?  Mengapa dia bisa sampai berhubungan seks dengan Citra dan Widy?  Apa sebenarnya yang selama ini dilakukan Citra?

Bagi Tia, hari itu benar-benar penuh kejadian.

SMS masuk ke HP Tia. Dari Bram.

“Yang, aku sudah di jalan, ya.”

###############################################################

====================================
Slutty Wife Tia 4: Ternoda Prasangka
====================================

“Mas Bram sayang…”

“Ya?”

Adegan romantis di suatu pagi. Cahaya matahari menyusup dari sela tirai di kamar tidur pasangan muda Bram dan Tia. Keduanya sudah terbangun namun enggan meninggalkan posisi saling mengeloni di balik selimut.  Kepala Tia bersandar di dada telanjang Bram, menengadah memandangi suaminya tersayang. Bram berposisi agak tegak, sambil membelai rambut istrinya tercinta.

“Aku lagi bingung…” ungkap Tia. “Beberapa hari ini kok rasanya aku berubah ya, Mas…”

“Emm, ya emang sih,” kata Bram sambil tersenyum. “Kamu tambah cantik,” rayunya sambil mengecup kening Tia.

“Ah, Mas,” Tia tersipu, “Bukan itu maksudnya… Menurut Mas aku berubah nggak?”

Bram terlihat berpikir keras.  “Nggak tuh kayaknya… selain ya… selain yang tadi itu?”

Tia terdiam. Bram belum tahu beberapa hari yang lalu dia berpetualang seks dengan tukang sayur langganannya dan dua orang pengamen, kemudian bermasturbasi sambil mengintip threesome Citra-Widy-Pak Bernardus di salon Citra. Setelah semua itu berlalu, baru Tia merasakan betapa tak pantasnya kelakuannya. Perempuan baik-baik tidak akan melakukan itu. Apa itu semua disebabkan keputusannya untuk berubah demi Bram? Apakah secara tidak sadar, kepribadiannya ikut berubah menjadi jalang?

“Udah waktunya siap-siap nih yang… mandi dulu yuk?” kata Bram sambil menyibak selimut.

Mereka berdua kemudian memasuki kamar mandi dan mandi bersama.  Tak lama kemudian acara mandi bersama berubah menjadi persetubuhan yang mesra antara keduanya.

“Ahh… Mas Bramm…. Ah… jangan godain kayak gini mas… assh…” Tia merintih nikmat ketika Bram mengarahkan shower sehingga menyemburkan air ke bibir kemaluan Tia, sambil menciumi payudara Tia yang montok.

“Kamu juga yang ngegodain aku duluan… mmh mmh…” celetuk Bram sambil melalap payudara Tia dan mengelus punggung istrinya itu.  “Mungkin itu yang… hmmMmm… berubah. Kamu jadi lebih jago nggoda.”

Begitukah? Sulit bagi Tia untuk memikirkan itu selagi muka Bram kini berpindah ke selangkangannya, menjilati dan melahap vaginanya. Tapi mungkin Bram ada benarnya… bukankah kemarin itu dia berhasil menggoda si tukang sayur dan kedua pengamen? Untungnya Bram tidak berlama-lama menggarap kemaluannya, dan kini kembali berdiri menghadapinya, sambil memegang penis yang sudah siap tempur.  Ketika Bram menariknya mendekat, Tia bertanya, “Apa benar aku sekarang jadi lebih menggoda, Mas?”

“Ya,” kata Bram sambil nyengir dan memasukkan penisnya ke vagina Tia.

Entah kenapa, jawaban itu berefek ganda bagi Tia. Di satu sisi ada bagiannya yang terangsang karena pengakuan Bram. Di sisi lain timbul rasa gundah. Tia merasa perubahan yang dia rasakan itu tak wajar, dan yang lebih gawat, bisa merugikan dirinya maupun Bram. Dirasakannya batang zakar Bram yang begitu dikenalnya bergerak keluar-masuk menggesek dinding dalam vaginanya, berulangkali, dan akhirnya menyemprotkan benih di dalam rahimnya. Namun Tia merinding juga mengingat beberapa hari lalu, dia sudah memegang, mengulum, dan merangsang alat kelamin beberapa orang laki-laki yang bukan suaminya. Untungnya aku tidak bersetubuh dengan mereka, pikir Tia. Mulai hari ini aku harus bisa mengendalikan diriku. Sayang, Tia belum juga tahu mengenai malam jahanam yang menjadi akar keadaannya sekarang. Malam ketika Mang Enjup menodai dirinya dan menyisipkan bisikan-bisikan yang mengubah kepribadiannya. Sayang, Tia belum tahu itu.

*****

Hari itu Tia ikut Bram ke kantor. Karena keduanya sama-sama dipersiapkan sebagai penerus usaha bersama keluarga, maka tidak hanya Bram yang dilibatkan dalam pengelolaan. Tia juga memegang jabatan di perusahaan, hanya saja atas keinginan orangtuanya yang berpandangan relatif tradisional, Tia tidak diarahkan untuk memegang tanggungjawab langsung terhadap jalannya perusahaan seperti Bram. Sesuai keahliannya, Tia menjabat auditor internal untuk cabang-cabang perusahaan. Meski tidak harus selalu hadir di kantor, sekali-sekali dia harus datang untuk menyerahkan hasil kerjanya dan mengikuti rapat. Kantor pusat perusahaan tempat mereka bekerja menempati satu gedung bertingkat tujuh. Tia tampil seperti wanita karier pada umumnya, dengan blus biru muda dengan hiasan renda di dada, blazer abu-abu sederhana, celana panjang putih, dan rambut dikuncir di belakang kepala.  Wajahnya terlihat segar dan cantik dengan make-up natural. Tidak ada yang tahu bahwa tadi pagi, hampir saja Tia berangkat ke kantor dengan mengenakan bedak tebal, lipstik merah, dan eyeshadow biru—muka “ranjang”nya untuk Bram. Sebenarnya Bram melihat, tapi entah sengaja atau tidak dia membiarkan saja, sampai Tia melihat mukanya sendiri dan sadar bahwa dia sudah berniat mau menahan diri.  Jadilah keberangkatan mereka berdua tadi pagi tertunda sebentar karena Tia perlu menghapus make-upnya. Tia sendiri sempat kaget karena kebiasaannya berubah sendiri tanpa dia sadari.  Sebelumnya, dia jarang memakai make-up, tapi sekarang bersolek malah sudah jadi kebiasaan.  Dia tidak tahu apa penyebab perubahan itu.  Dia sedang berusaha melawan kecenderungan baru itu. Tentu saja, Bram tidak berbuat apa-apa karena dalam hati dia senang dengan perubahan Tia itu.

Sepanjang hari itu Bram dan Tia lebih banyak bekerja terpisah: Bram di kantornya sebagai wakil Pak Jupri, atau yang kita kenal juga sebagai Mang Enjup, sementara Tia berkeliling ke berbagai bagian kantor, mengumpulkan bahan untuk pekerjaannya dan berbicara dengan beberapa manajer. Namun ternyata pertemuan dengan banyak orang sekarang menjadi tantangan baru bagi Tia. Tia mulai menyadari bahwa ke manapun dia melangkah, ada saja yang memperhatikannya.  Mungkin dari dulu selalu begitu, tapi baru sekarang dia menyadarinya.  Mulai dari petugas cleaning service yang dia sapa selagi berpapasan, sampai manajer produksi yang normalnya galak tapi entah kenapa jadi lebih jinak ketika bertemu dia.

****************************

Menjelang siang…

Tia keluar dari ruangan manajer produksi di lantai 4 setelah menyampaikan hasil auditnya terhadap bagian produksi. Terlalu banyak inefisiensi dan kebocoran, serta ada beberapa pengeluaran tak jelas. Si manajer produksi harus mengawasi stafnya dengan lebih baik, karena dicurigai ada penyimpangan. Tia juga memastikan si manajer produksi tahu laporan audit juga akan dibaca direksi. Tapi yang jelas, ketika Tia meninggalkan ruangan, si manajer produksi tetap masih bisa tersenyum. HP Tia berbunyi…Citra.

“Hei, Ti! Lagi di mana?”

“Di kantor, Kak.”

“Ooo di kantor. Yah, kirain kamu di rumah.  Tadinya mau ngajakin kamu belanja ntar sore.  Yaudah… aku jalan sendiri aja deh.”

“Gapapa Kak, kalau nanti sore aku bisa nyusul kok.  Barangkali Mas Bram juga mau diajak, kan lumayan biar ada mobil.”

“Oke dehhh… ntar kabarin aku lagi yah. Bye.”

Tia tersenyum, lalu menuju ruangan tempat Bram bekerja. Bram duduk di belakang satu meja, tampak serius menghadapi komputer, sementara di seberangnya ada Danang, keponakan Mang Enjup, yang duduk sangat santai dengan kaki naik ke meja sambil mengotak-atik HP. Ketika Tia lewat, mata Danang tak lepas-lepasnya mengamati, sementara liurnya hampir menetes. Danang masih ingat betapa panasnya Tia malam itu. Tapi dia sudah disuruh tutup mulut oleh Mang Enjup. Jadi ketika Tia menyapanya ramah, Danang hanya nyengir sambil dalam hatinya bertanya-tanya, kapan dia bakal berkesempatan menikmati istrinya Bram itu lagi.

Satu orang lagi di sana yang Tia kenal adalah Febby, sekretaris Mang Enjup.  Perempuan cantik berkacamata dengan rambut megar sebahu dan hidung mancung yang seumuran dengan Tia itu duduk di meja di ujung ruangan, di sebelah pintu menuju ruang pribadi Mang Enjup.  Febby sedang menerima telepon, sehingga dia cuma melambaikan tangan kepada Tia ketika Tia menyapanya.

“Makan siang dulu?” ajak Tia.

“Ayo,” jawab Bram sambil berdiri dari tempat duduknya.  Keduanya kemudian keluar kantor untuk makan siang.

Sementara itu, Danang mencolokkan headphone ke kedua telinganya dan mulai menyetel video porno di HP-nya.  Yang mana lagi kalau bukan yang dibintangi dirinya, Reja, dan Tia.

******************************

Pekerjaan Bram dan Tia berlanjut tanpa banyak gangguan hari itu. Ya setidaknya tanpa gangguan bagi Bram. Sementara ketika mampir menemui manajer bidang IT dan pengelolaan,Tia mengalami sedikit gangguan. Di bagian IT, Tia bertemu Lesmana, adik kelasnya waktu mahasiswa yang baru mulai bekerja di sana. Tia menyapanya dan mengajak bicara Lesmana setelah menemui manajer di sana. Lesmana dulu menyukai Tia, karena itu sikapnya selalu manis kepada Tia, hanya saja dia tidak bisa berbuat apa-apa karena Tia sudah dijodohkan dengan Bram. Sampai saat itu pun Lesmana masih bersikap manis kepada Tia… dan hampir saja Tia menanggapinya dengan cara yang tak pantas. Mereka ngobrol sebentar. Tia merapat ke meja Lesmana, dan sudah akan duduk di atas meja agar bisa mendekat ke adik kelasnya yang memang ganteng itu. Tapi Tia segera tersadar, dan buru-buru menyudahi pembicaraan lalu meninggalkan ruangan dengan muka merah karena malu. Selagi keluar dari ruangan IT, Tia merasakan dirinya ditatap tajam oleh seorang petugas cleaning service perempuan yang tadi mengepel di pojok.  Tidak jelas apa alasannya, tapi yang jelas si petugas cleaning service menyaksikan dia mengobrol dengan Lesmana…

*******************************

Sore…

“Gimana, udah semua?” tanya Bram ketika melihat Tia datang lagi ke mejanya.

“Udah. Mau langsung pulang apa mampir dulu? Tadi siang Kak Citra telpon, ngajakin aku belanja.”

“Oh, boleh juga tuh…” ujar Bram.  Tapi kemudian dari seberang ruangan terdengar suara Danang. “Oi, Bram, dipanggil Bos di ruangannya tuh!”

“Oke…” Bram bangkit dari kursi, menuju pintu ke ruangan Mang Enjup.  Tia mengikuti.  Meja di sebelah pintu kosong.  Ke mana Febby?  Di dalam?

Bram dan Tia memasuki ruang kerja Mang Enjup. Laki-laki tua yang sepanjang hidupnya bekerja pada orangtua Tia itu duduk santai di balik meja besar dan terlihat letih. Tapi begitu melihat Tia, Mang Enjup tersenyum lebar.

“Eee… aya si Neng.  Tumben ke kantor,” selorohnya.

“Biasa Mang, lagi laporan hasil audit,” jawab Tia pendek.

“Bram,” Mang Enjup mengalihkan pembicaraan. “Jangan pulang dulu ya.  Habis ini temenin Mang.  Sore ini juga kita bisa dapat waktunya Pak Walikota dan beberapa anggota DPRD, jadi kita mau nego sama mereka.”

Tia menengok ke arah Bram dan melihat raut muka Bram berubah kecewa, tapi apa boleh buat, Bram belum bisa pulang.

“Ya,” jawab Bram pendek.

“Ya sudah, sana siap-siap.  Tia mau ikut?” ajak Mang Enjup.

“Emm… aku ada janji sama Kak Citra, Mang. Mungkin lain kali,” kata Tia.

Bram dan Tia kemudian keluar dari ruangan Mang Enjup. Sesudah mereka keluar, Mang Enjup menoleh ke bawah mejanya. Tanpa terlihat Bram dan Tia tadi, Febby sekretarisnya berjongkok di sana, menjilati kemaluannya. Seperti biasa, Mang Enjup tidak tahan lama.

“Heungh!” seciprat mani Mang Enjup mendarat di kacamata Febby.  Sekretaris itu menjilati sisanya yang mendarat di atas bibir.

**************************

“Jadi, gimana nih?” tanya Bram. “Kayaknya aku gak bisa nganterin kamu ketemu Kak Citra.”

“Gak apa-apa Mas, aku jalan sendiri aja. Kamu temanin lah Mang Enjup, lagipula kan mau ketemu orang-orang penting, bagus kan buat luasin pergaulan,” kata Tia.

“Iya deh.  Kamu hati-hati ya,” kata Bram sambil mengecup kening Tia.  Tia kemudian pergi meninggalkan ruangan.

*************************

Sore.

Satu pusat perbelanjaan besar di kota…
Citra

Citra

“Kak Citra!”

“Heii!”

Masih mengenakan baju kerja, Tia menghampiri Citra yang berdiri di depan sebuah butik yang memajang gaun malam.  Kalau Tia tampak seperti karyawati yang mampir ke mall untuk belanja sepulang kantor, Citra terlihat seperti… biasanya Citra. Tia melihat di sekitar Citra ada beberapa orang laki-laki yang jelas-jelas sedang mengamati Citra. Citra selalu jadi pusat perhatian. Sore itu dia mengenakan kaos tanktop hitam pendek dan legging abu-abu ketat tiga perempat. Dengan pakaian seperti itu, wajar saja banyak yang menengok untuk mengagumi lekuk-lekuk tubuhnya yang masih aduhai biarpun relatif rata. Namun memang yang paling menarik perhatian pada Citra adalah wajahnya. Dengan riasan mata berwarna gelap yang seksi, sapuan blush pink di pipi, dan lipgloss pucat mengkilat, pesona paras Citra makin memancar. Rambutnya digerai saja, setengah menutupi sepasang anting panjang modis yang menghias telinganya. Keduanya berjalan-jalan sambil memperhatikan etalase, kadang-kadang masuk ke satu toko untuk melihat-lihat. Dan setelah setengah jam, tidak banyak laki-laki pengunjung mall itu yang tidak teralihkan perhatiannya ketika Citra lewat. Yang paling parah sejauh ini, seorang bapak yang mendorong kereta belanja dan meleng sampai menabrak orang karena tidak bisa lepas matanya dari Citra. Citra cuma terkikik ketika mendengar ribut-ribut antara orang yang ditabrak dan bapak itu.

“Kak…” bisik Tia.

“Hihihi, salah sendiri bapak itu meleng,” kata Citra.

Citra dan Tia masuk ke satu toko sepatu, dan Citra langsung mencoba-coba beberapa.  Lagi-lagi ada yang memperhatikannya—seorang laki-laki muda yang sepertinya mengantar pacar atau istrinya berbelanja, di toko yang sama.

“Yang ini bagus nggak?” tanya seorang perempuan yang sedang mencoba sepasang sepatu berhak tinggi kepada laki-laki itu.

“Cakep…” kata laki-laki itu, bukan memandangi pasangannya tapi malah melirik Citra.  Citra balik melirik sambil tersenyum genit.

“Apanya yang cakep, heh?  Kamu ngelihatin apa tadi?” perempuan tadi menyikut si laki-laki yang terpesona, lalu buru-buru menariknya keluar toko.

Setelah mencoba beberapa pasang, Citra dan Tia meninggalkan toko sepatu tanpa membeli.  Tia baru sadar betapa Citra tampak begitu menarik.  Dari dulu mereka sering jalan bareng, tapi baru kali ini Tia merasakan sesuatu yang lain…iri. Melihat Citra mampu menarik perhatian banyak sekali laki-laki, Tia entah kenapa merasa iri. Sekaligus dia bingung karena merasa iri. Buat apa iri karena Citra lebih menarik?

Sebenarnya itu efek program bawah-sadar yang ditanamkan Mang Enjup dalam kepala Tia. Yang menyuruhnya menjadi wanita cantik penggoda. Citra dan Tia masuk ke satu toko serba-ada besar. Di sana keduanya melihat-lihat pakaian. Citra mulai memilihkan baju untuk Tia; sengaja atau tidak, Citra mulai menyarankan baju-baju yang lebih seksi untuk adik iparnya itu.

“Ini bagus buat kamu,” kata Citra sambil menyodorkan gaun pendek merah dengan belahan amat rendah.

Tia yang dulu akan menampik saran Citra itu langsung, tapi Tia yang sekarang menerimanya, melihat gaun merah itu, lalu memajangnya di depan tubuhnya untuk membayangkan cocok tidak gaun itu dipakainya.

“Coba yang ini juga deh,” Tia disodori kaos putih ketat polos. “Kalau aku yang pake, biasa aja,“ kata Citra sambil menengok ke bawah, ke dadanya yang tak seberapa membusung, “kalau kamu, ngisinya lebih bagus.”

Begitu terus. Selanjutnya Citra menyodorkan rok super mini, celana pendek, babydoll transparan, dan berbagai macam pakaian lain yang kalau dipakai dijamin membangkitkan gairah laki-laki. Pertahanan Tia luluh juga dan dia membeli tiga potong: gaun pendek merah, rok mini hitam, dan babydoll transparan. Citra tersenyum-senyum ketika Tia menerima tas plastik berisi belanjaannya.

“Hitung-hitung bikin adikku senang, ya gak?”  Tia tersipu malu mendengar komentar Citra.

Ya, ini semua buat Bram…ya, kan?

Mereka berdua kemudian melewati satu counter kosmetik. SPG di counter itu, seorang perempuan muda seumuran mereka dengan riasan lengkap, langsung menawarkan produknya.

“Mbak… sudah coba lipstik warna fuchsia ini?”

“Hmm… boleh lihat?”

“Silakan, silakan.”  Tia dan Citra jadi bertanya mengenai beberapa produk di sana.  Tia memuji make-up si SPG; si SPG balik memuji Tia.

“Ah, Mbak ini juga cantik kok.  Tapi… saya rasa blush-on yang dipakai nggak cocok sama warna kulit Mbak. Kalau mau, saya bisa dandanin Mbak, sekalian Mbak bisa coba beberapa produk kami.  Mau kan Mbak?”

Tia menengok ke Citra, yang mengangguk. Tia pun duduk di kursi counter itu, menghadap cermin. Si SPG menghampirinya, bersenjatakan sejumlah produk yang akan dia cobakan.

“Saya Haula, Mbak. Boleh kenalan?”

“Saya Tia.”

Pertama-tama Haula dengan cekatan membersihkan wajah Tia dari riasan tipis yang sudah dipakai seharian. Kebetulan rambut Tia hari itu dikuncir ke belakang menjauhi muka, sehingga memudahkan kerja Haula. Haula melanjutkan dengan membubuhkan foundation, lalu bedak. Tia memejamkan mata ketika Haula mengoleskan eyeshadow keemasan di kedua kelopak matanya, dan menyapukan maskara ke bulu matanya. Dirasakannya tekanan pensil di alisnya dan sentuhan kuas lebar menyapu pipinya.

“Bibir Mbak bagus ya…” terlintas pujian dari Haula.

Tia kaget juga dipuji seperti itu oleh sesama perempuan… Bagian terakhir yang disentuh tangan ahli Haula adalah bibir Tia. Tadi Tia sempat memperhatikan bahwa Haula, yang aslinya berbibir tipis, memakai lip liner sedikit di luar garis alami bibirnya sehingga bibirnya tampak lebih penuh.  Rupanya itu juga yang dia lakukan ke bibir Tia.

“Mbak Haula, ini apa nggak terlalu…” Tia mau memprotes, tapi Haula bekerja tanpa mengindahkannya dan Tia terpaksa tutup mulut.

Citra memandangi cara kerja Haula sambil melipat tangan di depan dada dan mengangguk-angguk seperti guru melihat muridnya mengerjakan soal dengan benar.

“Maaf ya Mbak,” kata Haula sebelum memegang dagu Tia agar bisa berkonsentrasi memberi warna ke dalam bibir Tia yang sudah dibingkai lipliner.

Tia melihat kuas kecil bersaput lipstik berwarna fuchsia bermain-main di permukaan bibirnya. Entah kenapa, dia merasa bergairah membayangkan hasilnya. Haula rupanya benar-benar gemas dengan bibir Tia, sampai-sampai beberapa kali mengulaskan warna fuchsia di tempat yang sama.

Hasil akhirnya: Tia dengan wajah glamor seolah akan ke pesta, dengan kulit mulus tanpa cela, mata tajam karena eyeliner dan maskara dibingkai eyeshadow keemasan, dan bibir merah terang keunguan yang lebih ranum daripada biasanya—karena “dipertebal” oleh Haula. Haula memandangi “hasil karya”-nya dengan puas. Citra ikut mengomentari,

“Mbak Haula hebat juga ya? Aku aja yg punya salon belum tentu bisa makeover dia sebagus ini. Kapan-kapan aku minta diajarin yah.”

Setelah membeli beberapa produk, Citra dan Tia meninggalkan counter kosmetik itu. Citra sempat bertukar nomor HP dengan Haula. Tia berjalan dengan penampilan baru yang lebih wah. Hanya memang rias wajahnya agak kontras dengan pakaiannya yang masih pakaian kerja. Puas berbelanja, kedua perempuan itu kemudian melepas lelah di salah satu kafe. Hari sudah beranjak senja. Sambil menyeruput kopi, keduanya berbincang tentang kejadian-kejadian hari itu. Citra memesan cappuccino hangat sementara Tia sedang menyeruput es kopi karamel dalam gelas tinggi.

“Emangnya Bram lagi ngapain sekarang, Ti?” tanya Citra.

“Mas Bram… tadi waktu mau pulang dia dipanggil Mang Enjup.  Katanya dia suruh ikut, mau ketemu Pak Walikota dan beberapa anggota DPRD,” jawab Tia.

“Whuih.  Orang penting semua tuh. Yah, lumayan juga kan. Pastinya buat ngelobi proyek gede,” lanjut Citra.

“Yah, tapi biasanya terus Mas Bram dibawa Mang Enjup ngelobi orang sampai malam, di restoran atau pub atau klub malam,” kata Tia.  “Moga-moga dia nggak diajak minum-minum lagi.”

Tiba-tiba telepon Tia berbunyi. SMS. Ketika Tia menggerakkan tangan untuk meraih teleponnya, tanpa sengaja dia menyenggol gelas kopinya sampai terguling. Isinya tumpah mengguyur pangkuannya.

“Ehhh!?” Tia menjerit kaget.

Cairan dingin berwarna coklat muda mengguyur celana putihnya. Citra langsung bangkit dan mengambil tisu untuk menyeka. Seorang pelayan kafe yang tidak jauh dari sana juga ikut membantu membereskan. Tia melihat ke pangkuannya yang bekas tersiram es kopi. Citra kemudian membayarkan pesanan mereka dan segera mengajak Tia ke kamar mandi. Di dalam kamar mandi, Citra menyarankan Tia untuk ganti pakaian.

“Daripada kamu jalan-jalan dengan celana celemotan begitu, gak enak dilihat, udah ganti aja sama rok yang tadi kamu beli,” kata Citra.

Tia kemudian masuk ke salah satu bilik dalam kamar mandi, dan beberapa menit kemudian keluar dengan mengenakan rok mini hitam yang tadi dibelinya. Celana panjang putihnya yang ternoda dilipat dan dimasukkan ke dalam tas belanja.

“Hmm… buka aja blazernya Ti, gak cocok sama roknya,” Citra menambah saran.

Blazer kantoran Tia pun ikut menemani celana putihnya di dalam tas belanja.  Sekarang Tia jadi mengenakan kombinasi blus berenda biru muda tanpa lengan dan rok mini hitam. Citra tersenyum melihat adik iparnya yang jadi terlihat lebih menarik itu. Bagaimanapun, Tia yang tadi ditemuinya masih berpenampilan kantoran, tapi yang sekarang, dengan blus tanpa lengan, rok mini, dan juga riasan lengkap hasil karya Haula si SPG kosmetik, terlihat lebih menggoda. Dan efeknya memang terlihat. Ketika mereka berdua meneruskan berjalan-jalan lagi sesudahnya, orang-orang tidak lagi hanya memperhatikan Citra, tapi juga Tia. Diam-diam Tia merasa puas karena bisa menarik perhatian juga… tekadnya tadi pagi untuk bisa mengalahkan kecenderungan barunya untuk lebih genit sudah buyar. Ketika hari sudah cukup malam, Citra dan Tia memutuskan untuk pulang. Mereka menyetop taksi di depan mall.

***********************

Di suatu karaoke…

Hingar-bingar musik dan nyanyian sumbang memenuhi ruangan kecil yang penuh asap rokok dan tawa. Di depan layar TV, seorang laki-laki setengah tua yang bertubuh pendek buntak seperti kodok bernyanyi mengikuti syair lagu yang ditayangkan di TV, mulutnya yang lebar seperti mau menelan mikrofon. Dia menyanyi sambil merangkul seorang perempuan berkacamata dan berhidung mancung yang juga menggenggam mikrofon. Di sofa dalam ruang karaoke itu, duduklah Mang Enjup, Bram, dan dua orang anggota DPRD kota yang sedang tertawa-tawa dan mengomentari bapak Wakil Ketua Fraksi yang sedang bernyanyi ditemani Febby, sekretaris Mang Enjup.  Selain mereka, ada juga dua orang perempuan pemandu karaoke; kedua cewek itu duduk di sebelah masing-masing anggota DPRD. Mang Enjup melihat Bram habis mengirim SMS.

“Sudah pengen pulang, Bram?” goda Mang Enjup.  “Mang juga, kalo punya istri geulis seperti Tia, pasti pengennya cepat pulang terus.”

“Ya… kita selesaiin aja dulu urusan kita, Mang,” kata Bram.

Tiga orang anggota DPRD sudah mereka pegang. Sayang tadi Pak Walikota tidak mau diajak ke karaoke. Bram tidak tahu, SMS-nya jadi satu bagian dalam rangkaian peristiwa yang akan menimpa Tia

*******************

“Aduh, Bu… maafin banget nih, tadi pas keluar pool taksi saya gak kenapa-kenapa,” supir taksi yang membawa Citra dan Tia berulangkali minta maaf.  Taksinya mogok, mesinnya berasap. Citra dan Tia keluar dari taksi.

“Ya udah, Ibu berdua gak usah bayar deh, saya yang salah,” kata si supir taksi.

“Kita cari taksi lagi,” kata Citra.

Tia mengangguk. Jalan ke rumah masih jauh…tapi, taksi mereka mogok di daerah yang sepi. Citra melihat sekelilingnya gelap dan tidak ramai. Selain susah mencari taksi di sana, lingkungannya mungkin rawan, berbahaya untuk dua orang perempuan.

“Ti, ayo kita jalan ke tempat yang lebih rame,” usul Citra.

“Ayo Kak,” jawab Tia.

Tia juga sadar dengan lingkungan di sana. Keduanya pun berjalan kaki ke ujung jalan yang terlihat lebih terang dan ramai, meninggalkan si supir taksi yang sibuk membetulkan mesin taksinya. Tak seberapa lama, mereka berdua telah sampai ke tepi jalan yang agak terang. Memang lebih terang, tapi sama sepinya; di jalan itu ada beberapa toko yang buka siang hari, sebagian besar telah tutup. Hanya ada satu-dua yang masih buka. Setelah sekitar lima menit menunggu, tidak juga ada taksi yang lewat… dari ujung jalan terdengar langkah-langkah orang sedang berlari. Citra dan Tia menengok ke arah datangnya suara, dan melihat seorang perempuan jangkung… bukan, laki-laki? Rupanya yang berlari ke arah mereka adalah seorang banci. Citra dan Tia tidak tahu apa yang terjadi.  Si banci melewati mereka sambil berteriak, “Awas!  Ada razia!!”

“Razia…?” keduanya bertanya-tanya.

Belum sempat keduanya mencerna keadaan, mendadak muncul satu mobil truk kecil penuh aparat berseragam mengejar banci yang sudah berlari menjauh.

“Hei, ada dua di sini!” teriak salah seorang aparat.

Mobil itu langsung berhenti dan lima orang aparat meloncat turun. Mereka langsung mendekati Citra dan Tia. Di kota tempat Citra dan Tia tinggal, Walikota dan DPRD menyusun dan menerapkan peraturan susila yang melarang pelacuran di jalan. Peraturan itu memuat pasal-pasal yang membolehkan aparat menangkap perempuan yang dicurigai sebagai pelacur.  Sebenarnya peraturan itu telah lama dipersoalkan karena berpotensi menjerat perempuan-perempuan yang sebenarnya tidak bersalah. Siapa nyana, malam itu peraturan tersebut memakan korban lagi.

“Eh, apa-apaan nih?” Citra memprotes ketika tiba-tiba dia dan Tia diringkus oleh para aparat.  “Lepasin!  Mau apa sih kalian?”

“Jangan ngelawan!  Ayo ikut!”  Salah seorang di antara mereka menghardik Citra.

Kedua perempuan itu meronta untuk melepaskan diri, tapi gagal. Mereka digelandang ke atas truk aparat dan disuruh duduk di sana, diapit aparat.  Sebagian aparat yang tadi turun rupanya sedang mengejar si banci. Beberapa menit kemudian mereka datang membawa si banci yang ditelikung. Citra dan Tia terjaring razia pelacur jalanan!

*******************

Citra dan Tia duduk di sebelah banci yang tadi ikut terciduk, di bak truk aparat yang berbangku dan berkap, dikelilingi beberapa aparat yang memandangi mereka sambil tersenyum-senyum cabul.

“Mince,” si banci menyodorkan salam, mengajak berkenalan.  “Mau rokok nggak?”

“Citra,” Citra menjabat tangan Mince.  “Kita ini…”

“Kena razia,” kata Mince sambil menyalakan rokok.

Citra menerima rokok dan korek api dari si banci, lalu ikut merokok untuk menenangkan diri. Tangan Tia yg menggenggam lengannya terasa sedingin es. Adik iparnya itu syok setelah tiba-tiba diciduk aparat. Citra juga kaget, tapi dia berusaha tenang dan tidak ikut panik.

“Gimana ini… gimana ini Kak… kita mau diapain Kak…” Tia komat-kamit ketakutan, suaranya bergetar.

“Tenang aja Ti, ini cuma salah paham,” kata Citra.  “Coba kamu kontak Bram.”

Dengan tangan gemetar Tia mengeluarkan HP dan mencoba mengontak Bram. Sayang, pada waktu yang sama telinga Bram sedang penuh dengan hingar-bingarnya suara karaoke. Sampai batere HP Tia habis, dia tak juga menjawab panggilan minta tolong dari istrinya itu.

“Mas Bram ga bisa dikontak Kak…” keluh Tia, matanya berkaca-kaca.

“Tenang aja kalo gitu,” kata Citra.  Dia sepertinya masih punya kartu truf…

*****
Satpol PP guys

Satpol PP guys

Truk aparat yang menciduk Citra, Tia, dan Mince berhenti di suatu tempat. Para aparat yang duduk di belakang, yang sedari tadi tidak banyak mengajak bicara mereka, menyuruh mereka turun. Ketika Tia turun, ada yang iseng mencolek pantatnya.

“Auw!” jerit Tia kaget.

Aparat yang mencolek Tia tertawa bersama teman-temannya.  “Wuih, asyik juga suara dia!  Bahenol lagi!” selorohnya.

Merah padam muka Tia setelah dipermalukan seperti itu. Tapi dia tak berani menghardik pelaku pelecehan terhadapnya. Tia, Citra, dan Mince segera digelandang ke satu bangunan, yang ternyata adalah kantor satuan aparat yang menangkap mereka. Citra terlihat tersenyum sinis; dia sudah punya rencana. Mereka bertiga masuk ke kantor itu dan disuruh duduk di satu bangku panjang. Seorang aparat meminta KTP mereka.

“KTP mana?  Ayo keluarin, mau didata,” hardiknya kasar. Aparat yang meminta bertampang kasar, dan di dada seragamnya terpampang nama “JULFAN”.

“Julfan,” Citra membaca nama itu dengan cuek. “Jul.  Sebelum kamu minta KTP, bisa saya ketemu sama komandan kamu yang namanya Pak Gde?”

Julfan agak kaget dengan reaksi Citra yang cuek. Dia seperti menimbang-nimbang apa yang harus dilakukan, lalu dia masuk ke satu ruangan di belakangnya.

Sejenak kemudian dia kembali, dan berkata ke Citra, “Ikut saya.”

Tia melihat Citra bangkit sambil tersenyum sinis, dan berjalan penuh percaya diri mengikuti Julfan ke ruangan itu.

“Kamu tenang aja, biar Kak Citra yang beresin,” ujar Citra sebelum masuk.

Tapi Tia tetap khawatir, apalagi setelah dia melihat pintu menuju ruangan itu tertutup…

Citra mengikuti Julfan memasuki ruangan lain di kantor aparat tersebut. Di dalamnya ada satu meja, dua bangku panjang, dan kira-kira delapan orang aparat yang duduk-duduk di bangku panjang itu. Mereka inilah yang barusan melakukan razia. Di ujung ruangan Citra melihat seorang laki-laki besar berkulit gelap dan berseragam, berdiri membelakanginya. Laki-laki itu mendengar Citra datang dan berbalik. Begitu melihat Citra, dia tertawa.

“Hahaha.  Kenapa juga lu sampai kena razia? Udah pindah sekarang jualannya ke jalan?”

Citra meludah ke samping, membuat para aparat yang berada di sana geram sekaligus kaget karena keberanian perempuan yang baru diciduk itu, dan segera berbicara kepada si laki-laki berkulit hitam.

“Anak buah lu ini pada gak becus semua. Gue sama adik gue lagi nunggu taksi di pinggir jalan malah diciduk. Gue mau elu lepasin kita berdua sekarang juga, Gde.”

Laki-laki yang dipanggil Gde itu tertawa lagi, sedangkan anak buahnya bingung.

“Sini,” Gde menarik Citra ke ujung ruangan, agak jauh dari anak buahnya yang bergerombol dekat pintu.

Dia memberi tanda agar anak buahnya tidak mendekat. Setelah keduanya bisa berbicara tanpa didengar yang lain, Gde baru menanggapi Citra.

“Anak buah gue cuma ngejalanin tugas.  Tadi mereka udah lapor tentang gimana kalian ditangkap. Mereka pikir kalian PSK yang lagi nunggu pelanggan di pinggir jalan,” kata Gde pelan.  “Kalau ngelihat pakaian elu sih gue gak heran.”

“Rese’ lu,” hardik Citra.  “Udah jangan banyak omong.  Sekarang lu lepasin aja gue dan adik gue.”

Gde tertawa lagi.  “Citra, Citra.  Lu dan gue sama-sama ngerti kan, di dunia ini gak ada yang gratis?  Kenapa gue mesti bebasin lu? Lu tau kerjaan gue negakin peraturan pemerintah daerah kan. Lu berdua ngelanggar peraturan, terus ketangkep. Sorry Cit. Teman sih teman, tapi gue dan anak buah gue mesti ngejalanin tugas kan.”

Citra muak mendengar kata-kata Gde yang pura-pura profesional itu.  Dia langsung memperjelas urusan.  “Cih.  Gak usah sok suci, sok taat hukum lu.  Sebut aja berapa yang lu minta.”

“Gue gak minta ‘berapa’, gue minta ‘apa’,” kata Gde, si komandan aparat itu.

“Mau lu apa sih? Yang jelas!” seru Citra jengkel. “Lu mau gue kasih tambah jatah gratisan lagi?  Oke, gak masalah, lu bebasin gue dan adik gue sekarang, besok atau lusa lu boleh seharian ke salon gue, gue kasih full service, gratis.  Lu ada permintaan macem-macem juga gue kasih deh!  Yang penting lu lepasin gue sekarang.”

Gde nyengir, lalu membalas tawaran Citra dengan tawaran baru.  “Gimana kalo gue minta sekarang, di sini?  Dan gimana kalau permintaan macem-macemnya itu gue minta main ama adik lu?  Tadi gue udah lihat dia, kayaknya lebih bohay dari elu tuh. Gue pengen nyicipin dia. Dia sama kayak elu kan?”

“Gila lu ya?” kata Citra sengit, “Masa’ di sini?  Dan lu jangan sekali-sekali sentuh adik gue. Dia perempuan baik-baik.”

Gde cuma nyengir.  “Kalau gak mau, ya udah. Biar kasusnya diproses, gue sih gak rugi.”

Citra berbalik dan menjauh. Dia bermaksud keluar.

“Oke, oke, gue gak akan sentuh adik lu,” kata Gde.  “Tapi kalau lu mau nyervis gue di sini, lu boleh bebas dan gue lupain kejadian malam ini.”

Citra menoleh dengan wajah benci. Gde duduk sambil senyum, tidak memandang ke arahnya, menunggu jawaban.

“Gimana?”

Citra berpikir.  Dia sadar posisi tawarnya lebih lemah.  Akhirnya dia menjawab. “Oke.  Suruh anak buah lu keluar.”

Gde tertawa.  “Buat apa?”

“Dasar aparat gila!” maki Citra. “Ya udah! Gue gak butuh lu. Gue bisa keluar sendiri. Lu gak mau, gue bisa cari bantuan atasan lu. Biar lu yang tau rasa.”

Citra melangkah ke arah pintu dengan marah. Tapi dia dihadang anak buah Gde.

“Minggir!” Citra berusaha menyibak hadangan mereka, tapi seorang aparat malah menangkap tangannya.  “Lepasin!” seru Citra marah.

Tahu-tahu saja Gde sudah ada di belakang Citra, meringkus Citra.

“Lu nggak ngerti keadaan lu, ya?” kata Gde sambil ikut menelikung Citra.  “Dasar lonte, lu kira lu bisa seenaknya ngatur gue? Apa lu nggak tau gue bisa apa? Silakan aja lu keluar. Habis itu lu tinggal pilih, mau gue suruh wartawan datang ke sini biar nama lu dan adik lu ada di koran, sebagai PSK yang kejaring razia, atau besok gue gerebek salon mesum lu. Mau gitu?  Hm?”

“Engh…” Citra takluk.

Rencananya tawar-menawar dengan Gde, komandan aparat yang juga pelanggan jasa plus-plus di salonnya, buyar. Nyalinya mendadak ciut.

“Gue masih baik, Cit. Asal lu mau nurutin semua kata-kata gue malam ini, gue janji bakal lepasin lu dan anggap malam ini gak terjadi apa-apa. Setuju?”

Dengan berat hati, Citra mengangguk. Gde tertawa terbahak-bahak.

“Sekali aja lu nggak nurut, kesepakatan kita batal. Ngerti?”

“Terserah apa mau lu…” bisik Citra dengan nada lemah tapi benci.

“Bagus.  Pertama, lu gak boleh nolak apapun yang gue lakuin,” kata Gde yang tak sabar hendak menikmati hasil kesepakatannya. Dia menengok ke jam dinding.  “Kesepakatan kita sampai jam 12, ya.”

Saat itu jam 9 malam. Citra hanya bisa pasrah. Dia merasakan tangan Gde mulai menggerayangi tubuhnya, mengelus payudaranya dan mencubit-cubit putingnya yang masih terbungkus tanktop hitam. Tak lama kemudian… “Unghh…” desahan pertama Citra pun terdengar.

Di sekeliling Citra, Julfan dan delapan orang aparat menonton. Tadinya mereka hendak menghadang Citra yang mau memaksa keluar, tapi mereka tetap di sana karena paham apa maksud komandan mereka. Citra yang sudah berpengalaman boleh dibilang tidak malu-malu apabila ada banyak orang asing yang menontonnya dalam keadaan intim, karena berbagai pengalamannya ketika lebih muda, tapi dia tetap tak senang para aparat itu malah menontonnya. Namun dia tak punya pilihan. Pelan-pelan sentuhan Gde jadi makin berani, dan tangan Gde merogoh ke dalam celana legging Citra dan mengelus-elus kewanitaan Citra. Citra mendesah lagi, berkali-kali, menyadari tatapan lapar dari para aparat yang mengelilinginya—beberapa di antara mereka tampak mulai menggerakkan tangan ke arah selangkangan masing-masing, merasakan sesuatu membuat celana mereka menyempit.

“Buka baju,” perintah Gde.

Citra menurut. Tanpa malu-malu dia membuka tanktop hitam-nya, lalu memelorotkan serta melepas leggingnya. Citra tak peduli dengan menetesnya liur para aparat ketika dia memperlihatkan tubuh telanjangnya yang mulus di depan mereka. Gde nyengir melihat puting Citra yang mengeras di atas sepasang payudara yang bersahaja, pertanda perempuan yang jadi budaknya sampai jam 12 itu terangsang. Dia sendiri sudah akrab dengan tubuh Citra, mengingat si pemilik salon plus-plus itu kadang membayar jaminan supaya salonnya tidak digerebek dengan layanan tubuhnya. Gde mengambil kursinya, lalu duduk di situ dan membuka resleting celana.

“Duduk di pangkuan gue, sini,” suruhnya.

Si komandan aparat itu bertubuh besar, tapi tidak gendut sekali dan tidak juga kencang berotot; Citra merasa seperti berada di atas kursi sofa yang empuk ketika dia duduk di pangkuan Gde, membelakangi Gde. Kedua tangan Gde langsung menyambut Citra, tangan kiri menggerayangi dada, tangan kanan bermain di kemaluan Citra.

“Ayo goyang,” bisik Gde ke telinga Citra, dan Citra pun menggerakkan pantatnya, merangsang batang zakar Gde yang terjepit di bawahnya dan mulai membesar.

Dengan gerakan kedua pahanya, Gde membuat Citra mengangkang. Lalu Gde menggenggam penisnya, menaruhnya di bukaan vagina Citra, dan menyodok ke atas. Citra menjerit kecil. Entah itu karena sakit, nikmat, atau malu. Citra segera mengikuti irama gerakan Gde, naik-turun. Gde menciumi pundak Citra selagi si pemilik salon melonjak-lonjak disetubuhi di pangkuannya.

“Uh!  UH!  Ahnn!”  Erangan-erangan tertahan mulai muncul dari mulut Citra, dan para aparat yang menonton bisa tahu bahwa apa yang dilakukan Citra sepertinya sukarela.

“Balik badan,” perintah Gde.

Citra berhenti bergerak, berdiri sejenak, berbalik badan, lalu kembali duduk mengangkang di pangkuan Gde dan memasukkan kemaluan Gde ke kemaluannya. Citra kembali bergerak naik-turun, berusaha membuat Gde orgasme secepat mungkin agar dia bisa segera lepas. Dia beberapa kali bergerak ke atas sampai kepala burung Gde nyaris keluar dari vaginanya, kemudian pelan-pelan turun hingga senjata Gde tertelan sampai pangkal.  Kemudian dia akan naik-turun dengan cepat sampai beberapa kali. Kini tidak hanya Citra yang mengeluarkan suara-suara penuh nafsu, Gde pun ikut-ikut menggerung dan mengeluh keenakan. Gde kembali mencubit-cubit puting Citra yang peka.  Suara kulit bertemu kulit makin kencang, begitu pula suara desahan dan gerungan.

“Uh!  UHH!  Ah!” Citra menggila di pangkuan Gde, naik-turun dengan begitu cepat, rambutnya yang panjang mengibas kesana-kemari selagi tubuhnya terguncang persenggamaan. Gde menggeram selagi dia akhirnya memuncratkan mani di dalam rahim Citra.

“HUUHHHH!!”

Citra ambruk, terkulai ke dada Gde, kewanitaannya menampung semburan hangat dari Gde. Gde tertawa lagi, lalu mendorong pinggul Citra sehingga penisnya keluar dari jepitan vagina Citra.

“Sekarang lu bersihin kontol gue,” kata Gde kepada Citra yang sudah merosot hingga terduduk di lantai depan kursi.

Dari belahan vagina Citra tampak sedikit cairan putih kental mengalir. Citra melaksanakan perintah Gde dengan patuh, dan memasukkan kepala penis Gde yang masih lemas ke dalam mulut. Citra menjilat dan menyedot, dan batang itu pun mulai mengeras lagi. Tak lupa Citra menjilati buah pelir dan rambut kemaluan Gde. Saat itu Gde sudah melepaskan celananya.

“Turun lagi,” perintah Gde. Turun lagi?  Itu berarti… Citra menahan jijik selagi dia menuruti perintah itu, dan menjilati bagian luar lubang pantat Gde.  Untung Gde tidak lama-lama menyuruhnya melakukan itu.

“Oke.  Hey, Jul,” Gde memerintah anak buahnya, “ambil matras di sana, gelar di tengah.”

Jul mengambil matras busa yang disimpan dalam satu lemari di ruangan itu, lalu menaruhnya di tengah ruangan. Citra menunggu perintah selanjutnya, yang ternyata adalah “Tiduran di sana.”

Citra berbaring telentang di atas kasur itu. Tiba-tiba kesembilan anak buah Gde merubungnya.

“Hey, apa-apaan nih?”  tanyanya ketika mereka mendekat.

“Sekarang kamu layani mereka semua, ya!” kata Gde sambil tertawa, “Sampai semuanya puas!”

Citra protes tapi tak didengar. Para aparat itu langsung menerkamnya.  Julfan—yang mendapat giliran pertama—tahu-tahu saja sudah buka celana dan memamerkan penisnya yang lumayan besar di depan muka Citra.

“Giliran gue!” katanya.

Teman-temannya menahan Citra sambil menggerayangi sekujur tubuh Citra.  Tanpa basa-basi Julfan langsung mempenetrasi Citra. Vagina Citra yang basah karena mani Gde menerimanya dengan mudah. Citra menjerit, tapi jeritannya terputus ketika seorang aparat yang lain memaksa mencium bibirnya. Empat orang sekaligus menikmati tubuh indah Citra, satu orang menciumi bibir dan wajahnya, dua orang memain-mainkan payudaranya, dan Julfan mendapat giliran menyetubuhinya. Citra cuma bisa meronta-ronta di bawah keroyokan, berusaha bertahan sambil meyakinkan diri, ini tidak apa-apa, ini demi Tia juga. Selama beberapa menit digumuli, Citra hanya bisa merintih dan mengeluh. Tak lama kemudian, Julfan melenguh panjang dan memuncratkan benihnya di dalam tubuh Citra. Dia langsung ditarik oleh kawannya agar segera keluar dari vagina Citra, dan tanpa memberi kesempatan beristirahat kepada Citra, yang lain langsung menggantikan. Malam yang mengenaskan baru saja mulai bagi Citra, yang tak bisa berbuat apa-apa selagi dia digilir oleh para aparat bejat

*****

Hampir satu jam Tia menunggu kakaknya, tapi Citra tak keluar-keluar juga dari ruangan yang dimasukinya. Dia mulai gelisah. Di ruangan tempat dia menunggu, hanya ada seorang aparat muda yang disuruh menjaga, dan Mince si banci. Mince ketiduran karena bosan. Si aparat muda hanya duduk di dekat pintu, tanpa mengajaknya bicara.

“Bang…” akhirnya Tia memberanikan diri mengajak bicara si aparat yang menjaga pintu.  “Boleh nggak saya masuk ke sana, menemui kakak saya?”

*****

Yang dialami Citra makin lama makin menjadi-jadi. Entah siapa yang memulai, yang jelas setelah beberapa lama para aparat itu memutuskan untuk menggarap pantatnya juga. Dia hanya bisa menerima dan menahan ketika Gde dan anak buahnya menggarap semua lubang yang bisa disetubuhi di tubuhnya, vagina, dubur, dan mulut. Berulang kali, dengan berbagai variasi. Posisi doggy, dengan satu orang di belakang menyetubuhi vaginanya sambil mengemplangi pantatnya, sementara satu orang di depannya mencengkeram kepalanya, memaksa dia menyepong. Dikeroyok tiga orang sekaligus, satu di vagina, satu menusuk pantat, satu memerkosa muka. Makin lama Citra merasa makin tak tahan. Apalagi lawan-lawan mainnya seolah tak kenal berhenti. Berulangkali dia menahan sakit selagi penis demi penis memaksa masuk ke duburnya. Citra sudah setengah sadar ketika lubang pantatnya dirojok orang keempat; dia sudah tak bisa merasakan kenikmatan dari persetubuhan paksa itu. Dalam keadaan itulah Tia melihat Citra.

“Ah!  Kak…”  Tia langsung menutup mulut dan terpaku,

Pintu terbuka, dan yang Tia lihat adalah Citra, telanjang, menungging, dengan tatapan kosong dan pasrah, tengah disodomi seorang aparat sementara yang lainnya mengerumuninya dengan tampang bernafsu.

“Kamu adiknya, ya?” kata Gde, yang berdiri di sebelah pintu dan langsung menghadapi Tia.  “Mau nggantiin kakakmu nggak?”

“Apa… ada apa ini… kenapa… Kenapa Kakak…”

Tia bingung dengan apa yang terjadi, dan rintihan lemah kakak iparnya yang kesakitan membuat dia tak bisa berpikir. Dia berusaha mendekati Citra, tapi Gde menghalanginya.

“Tolong Pak… sudah Pak, kakak saya jangan dibegitukan Pak… tolong…” Tia hanya bisa meminta. Tangisnya pecah.

Gde mencoba memanfaatkan keadaan.  “Kamu tahulah kenapa kalian dirazia. Kalian lagi pada jual diri di jalan kan? Huh, dasar lonte. Kakakmu tadi minta dibebasin. Dia sendiri yang nawarin diri ke kita.”

“Tolong Pak… bebasin kami, kami ini korban salah paham, kami bukan… pelacur… Kami perempuan baik-baik, mohon lepasin kami Pak…” kata Tia di sela-sela isak tangisnya.  “Tolong Pak… kasihani kakak saya…”

“Ya, ya, ya, semua yang ketangkep juga bilang gitu,” kata Gde.  “Emangnya saya percaya? Bohong! Tuh lihat, ngapain kakakmu nawarin diri buat dientot gratis kalau dia bukan perek? Paling-paling kamu sama aja.”

“Bukan Pak… tolong percaya saya… saya dan kakak saya bukan perempuan tuna susila… mohon lepasin kami Pak…”

“HUNGH!” Percakapan antara Gde dan Tia yang panik terpotong seruan orang yang sedang menggagahi pantat Citra; dia baru saja mencurahkan benihnya ke dalam rektum Citra, menambah penuh isinya yang sudah menampung kontribusi tiga orang. Ketika orang itu mencabut batangnya dari anus Citra, Citra langsung ambruk; sebagian isi pantatnya meleleh keluar, dan di mata Tia, cairan yang keluar itu putih bercampur merah. Tia melihat mata kakaknya, setengah terbuka dan terlihat tanpa jiwa.

“KAKAAK!” jerit Tia.  Dia kembali berusaha menghampiri Citra, tapi kali ini Gde menahannya. Tia tak mampu melepaskan diri dari cengkeraman Gde dan seorang anak buahnya. Padahal orang berikutnya sudah mulai menaruh ereksinya di lubang anus Citra yang sudah menganga…

“JANGAAAN!” jerit Tia.  “Jangan… jangan lagi… kasihan kakak… tolong… jangan sentuh kakak saya lagi… sama saya saja… biar saya saja…”

Gde memegangi Tia yang meronta-ronta sambil menangis. Dia nyengir mendengar pernyataan Tia itu. Itulah yang dia tunggu-tunggu: ketika perempuan ini sudah cukup panik sehingga dia bersedia melakukan apa saja.

“Stop!” kata Gde.  “Mundur kamu.”

Orang yang baru saja mau menyodomi Citra—ternyata Julfan lagi—menengok ke komandannya, lalu mengurungkan niatnya memuaskan anunya di lubang terlarang Citra. Gde lalu melepas Tia; Tia langsung menghambur ke dekat kakaknya yang tergolek di atas matras dalam keadaan berantakan.

“KAK CITRAAA…” Tia langsung merangkul kakaknya yang telanjang, sambil menangis.

“Ti…” Citra hanya sempat mengatakan sepotong suku kata, lalu pingsan.

Gde dan anak buahnya mendekat merubung Tia. Ia berjongkok dan memegang bahu Tia. Tia kaget akibat sentuhan itu, dan segera menoleh ke arah Gde.

“Saya percaya kamu. Kamu boleh bebas. Tapi,” kata Gde dengan pura-pura lembut, “kakakmu tetap saya tahan untuk diproses.”

“Jangan Pak. Tolong bebasin kakak saya juga…” kata Tia sambil terisak, memeluk Citra yang pingsan

Segala perasaan yang berkecamuk dalam benak Tia membuatnya tak berpikir jernih. Gde tahu cara memanfaatkan itu.

“Nggak. Kakakmu tetap saya tahan. Kamu sih boleh bebas. Saya anggap kamu nggak salah.”

“Tolong pak… tolong bebasin kakak saya juga Pak… kasihan kakak saya… Bapak boleh minta apa saja asal kakak saya bisa bebas…”

Gde tersenyum lebar. Permintaan Tia segera disambarnya.

“Beneran?”

“Iya Pak… Saya rela kasih apa aja, asal Bapak bebasin kakak saya…”

“Kalau gitu…” kata Gde sambil merangkul Tia, “Gantiin kakak kamu ngelayani kami.”

“Ah…” Tia tercekat, tak mengharapkan kata-kata barusan.

Gde melihat keraguan itu, dan tidak melepas tekanannya terhadap mental Tia.

“Nggak mau juga nggak apa-apa sih. Tapi kakakmu tetap ditahan.”

Tia terpejam. Sebutir air mata menetes di pipinya yang merona. Dia tahu dia sudah menjerumuskan dirinya sendiri. Dia sekarang harus melayani kumpulan bejat ini demi membebaskan Citra. Dia bisa saja menolak, tapi akibatnya Citra akan kena masalah.

“Gimana, mau nggak?” tanya Gde dengan nada acuh, merasa dia tetap di atas angin, apapun jawaban Tia.

“…” Tia tak mengatakan apa-apa, hanya anggukan yang menyatakan persetujuan, anggukan yang dilakukannya dengan berat hati.

“Bagus,” ujar Gde.  “Mulai pake mulut kamu aja.  Nih, ada yang mau dilayani dia?”

Tiga orang anak buah Gde berdiri mengelilingi Tia yang terduduk di dekat Citra. Penis mereka jelas berdiri tegak lagi melihat seorang lagi perempuan cantik yang sudah bersedia di depan mereka. Mereka merasa tak salah menduga ketika tadi menangkap Tia juga. Di mata mereka, perempuan bermake-up tebal, dengan bibir merah ranum, mengenakan blus tanpa lengan dan rok mini, dan berada di pinggir jalan, apa lagi namanya kalau bukan perempuan gampangan? Ditambah lagi mereka punya wewenang menegakkan suatu peraturan yang memandang buruk terhadap perempuan.

“Hoy, jangan bengong aja, isep kontol gue nih,” suruh salah satunya.

Tia dengan ragu-ragu mendekatkan wajahnya ke penis orang itu, namun akhirnya dia memasrahkan diri dan menggenggamnya. Dia mulai menjilati ujungnya, dan terus menjilati sekujur batang itu. Satu lagi penis tegak milik seorang aparat teracung, dan pemiliknya menyodok-nyodokkan ujungnya yang agak basah ke pipi mulus Tia. Tia menangkap maksudnya dan mengalihkan perhatian, pertama mengulum ujung penis kedua lalu mulai menyepongnya, sementara tangan kanan Tia tetap di penis pertama, memberi kenikmatan lewat sentuhan dan elusan. Orang ketiga di sekeliling Tia langsung meraih tangan kiri Tia dan menyuruh Tia mengocok penisnya.  Jadilah kini Tia melayani tiga orang sekaligus dengan mulut dan kedua tangannya. Tia berganti-ganti memberi perhatian kepada tiga kejantanan yang mengelilinginya. Tanpa dia sadari, dia sebenarnya sudah ahli melakukan fellatio, karena sudah banyak latihan sejak dia pertama kali memutuskan untuk berubah penampilan demi Bram dulu. Tak heran ketiga orang itu bisa sampai merem melek disepongnya. Bahkan kata-kata mereka yang melecehkannya seperti “Dasar pecun, udah jago ya lu nyedot peju” dan “Kontol gue tadi abis masuk pantat kakak lu, enak ngga rasanya?” tidak membuatnya jijik, dan malah membuatnya terangsang. Gara-gara tempelan pemrograman mental dari Mang Enjup, Tia jadi suka dilecehkan dengan kata-kata mesum seperti itu.

CROTT!  “Aih!”  Tia kaget ketika satu penis yang sedang dikocoknya agak dekat ke muka tiba-tiba ejakulasi, melontarkan mani kental yang mendarat di pelipis dan dekat matanya. Ejakulasinya berlanjut mendarat di bagian dada blus tanpa lengan Tia.

“Gue juga nih…!”  Seorang lagi, yang sedang dikenyotnya, tidak tahan, dan segera menarik penisnya dari dalam mulut Tia untuk muncrat tepat di depan muka Tia. Tia memejamkan mata agar tidak kena—satu cipratan ejakulasi mendarat dekat pangkal hidungnya, dan sisanya berleleran ke bawah. Sesudahnya, orang ketiga juga mau menyemprotkan cairan kelelakiannya.  Dia sengaja menggenggam wajah Tia dan mengarahkan semburannya untuk menodai wajah yang tadi siang dijadikan kanvas tempat berkarya si SPG kosmetik, Haula.  Warna merah dan emas rias wajah Tia tercoreng warna putih cairan kental buangan si aparat. Gde sudah menunggu-nunggu kesempatan untuk menikmati tubuh Tia sejak tadi. Dia memang terbiasa menyalahgunakan wewenangnya sebagai aparat. Kalau bukan menarik upeti tidak resmi dari para pengusaha bisnis lendir seperti Citra, dia memanfaatkan orang-orang yang ditangkapnya atas dasar peraturan pemerintah yang rawan penyelewengan itu. Disuruhnya ketiga anak buahnya menyingkir dari Tia yang terduduk. Dia mengambil saputangan dari kantong, berjongkok, lalu menyeka ceceran mani tiga orang di muka Tia dengan hati-hati agar tidak terlalu banyak merusak rias wajah Tia. Tia hanya diam saja menerima perlakuan itu; wajah Gde yang besar dan hitam menyengir mesum di depan wajahnya.

“Cantik juga ya kamu,” puji Gde.  “Buka baju.”

Tia ragu apakah harus menuruti permintaan itu atau tidak. Melihat keraguan, Gde mendorongnya lagi.

“Buka baju, atau aku yang buka bajumu.”  Tangan Gde meraih ke arah deretan kancing blus Tia.

Gerak refleks membuat Tia bergeser mundur, menjauh dari Gde, tapi ternyata di belakangnya ada seorang aparat. Tia menggigil ketika Gde melepas kancing blusnya satu per satu. Semua kancing blus Tia pun akhirnya terbuka, memperlihatkan kutangnya, yang tak lama kemudian juga dilepas oleh Gde. Setelah Tia bugil setengah badan, Gde menyuruh Tia melepas roknya. Kali ini dengan takut-takut Tia membuka sendiri resleting rok mini hitamnya dan memelorotkannya. Tia melakukan itu dengan satu tangan, sementara tangan lainnya menutupi kedua payudaranya yang sudah tak terlindung.

“Wuih, gedean toket kamu daripada Citra,” komentar Gde.  “Citra gak pernah cerita kalo adiknya montok seksi gini.  Eh… nanggung nih.  Itu celana dibuka juga dong.  Ngapain masih dipake?”

Tinggal satu potong pakaian yang masih melekat di tubuh Tia—celana dalamnya. Gde tidak menunggu Tia, dia sendiri dengan kasar memelorotkan celana dalam Tia. Selanjutnya anak buahnya yang berada di belakang Tia menarik tubuh Tia dan memindahkannya sehingga Tia kini berada di matras yang tadi menjadi tempat Citra digarap berulangkali. Tia telentang, telanjang, tanpa daya… Dia memalingkan muka melihat tubuh besar hitam Gde yang telanjang di hadapannya. Gde tadi cuma sekali menyetubuhi Citra, dan sekarang penisnya yang berukuran lumayan sudah tegak lagi. Si komandan aparat itu nyengir, lalu menurunkan tubuhnya menindih Tia. Kalau dilihat dari atas, tubuh Tia nyaris sepenuhnya tertutupi tubuh gempal Gde. Tia tak bisa menghindar ketika Gde memaksa mencium bibirnya. Rupanya itu alasan tadi Gde membersihkan muka Tia, dia ingin merasakan bibir indah Tia. Lidah Gde yang lebar dan basah dengan tak sopannya menerobos masuk rongga mulut Tia, mengajak bergulat lidah Tia. Sepasang bibir tebal Gde melahap bibir Tia, dan juga beraksi di garis rahang dan leher Tia selagi Tia menahan jijik.  \

Sementara itu kedua paha Gde bergerak membuka kedua paha Tia. Batang kejantanan Gde yang sudah ereksi itu mulai menempel dan menggesek bagian luar alat vital Tia. Sekali lagi sesuatu di dalam pikiran Tia menolak keadaannya sekarang, dan Tia berusaha meronta untuk melepaskan diri, tapi sudah terlambat, tubuh Gde terlalu berat untuk digeser. Tia hanya bisa menjerit pasrah ketika akhirnya kewanitaannya tertusuk penis Gde. Gde melihat wajah Tia yang tak rela, dan tak mempedulikannya sama sekali. Satu dorongan berhasil mendesakkan seluruh penisnya sampai ke pangkal. Dia kembali menciumi wajah Tia selagi tubuhnya bersatu dengan tubuh Tia, sementara Tia memalingkan wajah karena jijik. Liang kenikmatan Tia yang sempit dan sudah basah setelah terangsang akibat aksi oralnya terhadap tiga aparat tadi rupanya memberi sensasi baru bagi Gde. Nafas Gde menjadi memburu dan dia mulai mempercepat dorongannya menggenjot Tia. Tia tak kuasa menahan erangan bercampur ratapan, selagi penis Gde mengaduk-aduk vaginanya. Namun suara Tia malah makin lama makin terdengar nyaring dan bernafsu.

“Oh!  Ah!  OHHH!!”  Bisa dilihat bahwa tubuh Tia sendiri bingung, antara menyerah kepada nafsu atau mempertahankan harga diri dengan terus bersikap tak rela.

Tapi mana mungkin Tia mampu berpura-pura tak rela, ketika sebagian pikirannya yang telah teracuni terus-menerus mengingatkannya untuk menerima saja bahwa dia sebenarnya pelacur yang mau tidur dengan laki-laki mana saja?

“Huhh… ehh… Enak gak? Mau terus gak?” kata Gde di sela-sela gerakannya.

“Auhh…huhh… ahh…” Tia berusaha menahan jangan sampai dia mengatakan sesuatu yang akan menjerumuskannya lebih jauh…

“Mau lagi gak?  AYO BILANG!”

“AHH… IYA PAKHH!!  LAGI PAK… TERUSIN PAK…” Jebol juga pertahanan Tia.  Tangisnya pecah lagi karena malu, malu telah gagal menahan gempuran nafsu yang berusaha meruntuhkan harga dirinya.  Apa bedanya dia sekarang dengan pelacur betulan yang menjajakan diri di pinggir jalan?

Malah mungkin aku lebih parah!  Pelacur masih dibayar, sedangkan aku menyerahkan diri untuk disetubuhi dengan sukarela!



Ciuman penuh nafsu Gde, lidah Gde yang menjilati wajah Tia, kejantanan Gde yang terbenam sampai pangkal dalam kemaluan Tia… dan laki-laki bertubuh gempal itu bukan pasangan sah Tia. Apakah dia memperkosa Tia?  Tidak. Tia sendiri yang tadi bersedia menggantikan Citra. Nafsu binatang sudah menguasai Gde yang makin buas menghantam selangkangan Tia, tanpa peduli Tia terdesak hebat di bawah tindihan tubuh besar dan berkeringat itu. Tia hanya dapat meringis kesakitan selagi serangan Gde datang tanpa henti. Di sebelah mereka, terlupakan untuk sejenak, Citra yang tadi pingsan sudah memperoleh sedikit kesadarannya. Dia merasa sekujur tubuhnya sakit, terutama selangkangan dan duburnya, dan dia tak kuasa menggerakkan tubuhnya. Tapi pandangannya tepat tertuju kepada dua sosok manusia yang tindih-menindih di sebelahnya, tubuh hitam besar Gde yang berulangkali menghantam tubuh Tia yang telanjang di bawahnya. Citra hanya bisa menyaksikan wajah Tia yang nelangsa tanpa daya. Tapi… dan Citra kenal benar ekspresi itu, dia tidak mungkin tidak hafal, Citra melihat bahwa nafsu birahi Tia seolah tak padam. Citra menyaksikan sedikit ekspresi kenikmatan menyelip di wajah adik iparnya tiap kali kejantanan Gde yang besar itu bolak-balik lenyap dan muncul di selangkangan Citra. Dan tentunya, Citra tak bisa tidak mendengar kata-kata yang diteriakkan Tia.”

“YAH!  AHH!  LAGIHH!!  PAK!!  ENTOT SAYA PAK!  TERUS PAKHH… OH!”

Gde menegakkan tubuh dan memegang kedua pergelangan kaki Tia, merentang kaki Tia selebar mungkin, dan menggoyang pinggulnya untuk mengaduk-aduk kemaluan Tia dengan penisnya. Pinggul Tia ikut bergerak tanpa dapat ditahan, seolah membalas segala gerakan Gde dalam pertandingan saling memberi kenikmatan itu.

Citra ingin menutup telinga ketika lenguhan dan jeritan kedua insan itu makin kencang.

“AAKKK….. NGHHAAA!!”  Tia menjerit nikmat ketika dia mencapai orgasme, matanya terpejam dan air matanya bercucuran, perasaannya campur aduk antara terseret kenikmatan dan tertohok penyesalan.

Gerungan keras dari Gde menandakan bahwa dia juga mencapai puncak, menimpali bunyi tubuh beradu dengan tubuh yang sudah sedemikian kencangnya. Gde ambruk menimpa Tia, pinggangnya kejang beberapa kali. Citra memejamkan mata biarpun apa yang dikhawatirkannya memang tak terlihat karena tertutup tubuh Gde. Ya, saat itu juga Gde menyemburkan bahan pembuat calon-calon bayinya di dalam rahim Tia.

“Huehh… enak kan itu?  Gue paling suka ngecrot dalam memek…” kata Gde lemah.

Tubuh besarnya menindih Tia yang terkapar.

“Memek lu top… gak kayak memek jablay lain yang kendor…”

Tia sendiri gemetaran setelah menerima orgasme hebat. Gde langsung bangkit dari atas Tia sehingga Tia bisa bernafas lega lagi. Vagina Tia yang tadinya rapat tampak merekah dan belepotan sperma Gde. Tapi Gde baru orang pertama. Selanjutnya Julfan dan seorang aparat yang tadi belum sempat mendapat kenikmatan mendekati Tia. Julfan, sedari tadi sudah telanjang, mengangkang di atas muka Tia, lalu berjongkok. Dia memaksa Tia membuka mulut lalu memasukkan penisnya ke mulut Tia. Tia yang sudah ternoda itu tak melawan, malah menuruti keinginan Julfan dengan merapatkan bibir merahnya di seputar batang Julfan. Tak lama kemudian Julfan mengoceh keenakan ketika sedotan Tia mulai memberikan efek yang diharapkan. Kawannya, yang berada dekat selangkangan Tia, memilih bermain-main dengan klitoris Tia, dan tanpa disangka, Tia malah menggerak-gerakkan pinggulnya menanggapi rangsangan itu.

Setelah beberapa kali bibir Tia naik-turun mengelus kemaluan Julfan, Julfan mendesakkan pinggulnya ke bawah sehingga Tia terpaksa menelan seluruh penisnya. Tia panik karena merasa akan tercekik, tapi Julfan menahan posisi.  Sedetik kemudian Tia merasaka cairan kental asin memenuhi rongga mulutnya. Setelah membuang isi buah pelirnya di dalam mulut Tia, barulah Julfan membebaskan mulut Tia. Tia sendiri terbatuk-batuk sehingga sebagian hasil ejakulasi Julfan termuntahkan keluar. Sementara itu kawannya tidak lama-lama memainkan kewanitaan Tia dengan tangan. Dia segera mengambil kesempatan untuk mempenetrasi vagina Tia. Tia mengernyit sedikit, vaginanya terasa agak nyeri.

“Eh, cepetan, masih banyak yang ngantri nih,” seru seorang aparat lagi.

Sungguh mereka ini tak ada puasnya.

“Daripada tunggu-tungguan, embat pantatnya aja tuh,” usul Gde.

Tia mau menjerit protes, tapi saat itu seorang lagi sudah meniru tindakan Julfan tadi, mengangkangi mukanya dan membuat mulut Tia sibuk dengan penisnya. Satu orang lagi memutuskan untuk menuruti usul si komandan dan segera memposisikan diri di belakang kawannya yang menggenjot vagina Tia. Dia mengatur posisi supaya bisa mendapat jalan menuju pintu belakang Tia, lalu menyodok lubang dubur Tia dengan jari tengahnya yang dibasahi liur untuk mempermudah penetrasi. Sejenak mulut Tia bebas, namun yang saat itu juga keluar adalah jeritan,

“Auuw…Auhh!  Pe…lan-pelann!!”  Baru kepala penis yang masuk ke lubang pengeluaran Tia, tapi orang yang memasukkannya kurang sabar sehingga Tia cuma merasakan sakit.  Tapi pelan-pelan masuk juga seluruh batang itu ke saluran belakang Tia.

Kini ganti Citra yang menjadi penonton selagi dia melihat Tia, adik iparnya, seorang perempuan baik-baik dan istri setia, menjadi bulan-bulanan tiga orang aparat yang mencabuli mulut, vagina, dan anus. Tia yang mengerang dan mendesah penuh nafsu seperti seorang pelacur.

Citra tahu dia sendiri sudah gagal melindungi Tia… tadi dia sudah menawarkan diri untuk melayani mereka semua supaya mereka tak menyentuh adik iparnya, tapi ternyata mereka begitu cepat menguras staminanya dan kini mereka sudah menjamah adiknya. Dia merasa bersalah. Tapi rupanya dia tak diberi kesempatan untuk berlama-lama merenung, karena orang-orang di ruangan itu menyadari dia sudah sadar lagi.

“Udah bangun, Cit?” kata Gde yang berjongkok di sebelahnya.  “Payah lu, masa’ empat ronde udah pingsan.  Kalau udah bisa lagi, lanjutin yuk.”

“Eh…” protes Citra tak terdengar selagi Gde menjauh untuk memberi kesempatan kepada dua lagi anak buahnya menggumuli Citra.

Tanpa belas kasihan mereka menggerayangi dan menjamah tubuh Citra, sekali lagi menjadikan Citra mainan seks mereka. Tia menerima gempuran dari tiga sisi, tanpa dapat menghindar. Dan sialnya, satu kali lagi orgasme melandanya. Jerit kenikmatan yang menyertainya tak terdengar teredam satu batang di mulutnya.

“Gue… keluarr!” Orang yang sedang menyodomi Tia menambah jumlah cairan asing di dalam tubuh Tia, mengisi saluran pembuangan Tia dengan benihnya. Kawannya yang sedang menyetubuhi liang sanggama Tia mendapat giliran klimaks berikut, ikut menambah isi rahim Tia. Keduanya langsung menyingkir dari tubuh Tia. Tinggal satu orang yang sedang menikmati mulut Tia; dia segera pindah ke vagina Tia, dan menyetubuhi Tia dengan posisi gunting. Karena sudah cukup lama menyodoki mulut Tia, dia tidak begitu lama menggenjot Tia, dan bertambahlah isi rahim Tia dengan benih satu lagi laki-laki yang tak dia kenal.

Kini Tia tertelungkup dengan kedua paha mengangkang, cairan berleleran dari kedua lubangnya. Gde memutuskan untuk menyicip lubang yang tadi belum sempat dicobanya. Si komandan aparat meninggalkan Citra yang sedang disusupi organ tubuh laki-laki dari depan dan belakang, lalu kembali menindih Tia dan menusukkan penisnya ke lubang pantat Tia. Penis Gde lebih besar daripada yang barusan memasuki anus Tia; Tia membelalak dan ternganga ketika saluran pembuangannya mendapat desakan benda besar tumpul yang masuk dari arah yang tidak seharusnya. Sementara itu, seorang lagi aparat yang tadi dioral Tia rupanya keburu ingin muncrat lagi setelah menonton pesta gila yang begitu panas antara sembilan laki-laki melawan dua perempuan, dan mengocok kemaluannya sendiri untuk mengeluarkan lendir nafsunya, kali ini menodai rambut Tia.

“Uahh!  Gila sempit banget pantat lu!  Ungh!  Enak banget tau!  Enak banget ngentot pantat lu!”  ceracau Gde selagi menggenjot lubang dubur Tia.

Sampai habis suara Tia karena berkali-kali menjerit selagi anusnya diterobos gempuran demi gempuran dahsyat dari si komandan aparat. Namun sekali lagi, entah kenapa, ia kembali dilanda gelombang kenikmatan. Emosi Tia yang campur-aduk tak mampu menjelaskan mengapa dia tetap saja merasakan kenikmatan badani menjalar ke sekujur tubuhnya, padahal dia seharusnya tak menyukai apa yang sedang diperbuat terhadapnya. Sekali lagi Gde meninggalkan bukti pelanggarannya di dalam tubuh Tia. Namun malam itu sungguh terasa sangat panjang. Tia dan Citra terus terpaksa meladeni lelaki demi lelaki…

******************

Mince, si banci, yang tadi ketiduran di sebelah Tia, sudah bangun lagi dan menyadari dua perempuan yang tadi sama-sama diciduk tidak ada di tempat.  Dia sendirian di ruangan depan kantor aparat itu. Bukan sendirian—berdua, dengan seorang aparat muda yang dapat tugas berjaga di depan. Mince mendekati si penjaga.

“Eh bo’,” seru Mince.  “Cewek yang berdua tadi itu ke mana?”

“Di dalam,” kata si penjaga muda itu, agak ngeri melihat Mince yang lebih jangkung daripada dirinya.

“Ya ampun, bo’, di dalam?” ujar Mince dengan sikap pura-pura terperanjat.  “Aduh kasian banget deh mereka, pasti dipaksa suruh kasih gratisan.  Yei gak kebagian, bo’?  Kasiaan deh lu.”

Si penjaga diam saja. Dia tambah ngeri ketika Mince malah mendekatinya lalu bersikap sok akrab dengan merangkulnya.

“Eike kasian ama yei, bo’.  Ama Mince aja yuk? Jilatan Mince asoy loh…” kata Mince sambil menjilat kuping si aparat, sementara tangannya gentayangan ke tempat-tempat yang tidak seharusnya.

Si aparat muda itu langsung ngibrit menyelamatkan diri, dia sudah tak peduli lagi dengan tugasnya… daripada keperjakaannya direnggut banci…

*****************

Jam 11 malam.

Gde dan anak buahnya sudah berpakaian lagi. Mereka capek sekali, tapi senang. Di tengah ruangan, dua perempuan tergeletak lemah. Citra terlentang, pingsan kelelahan. Tia meringkuk, masih sadar, tapi sudah tak berdaya. Lubang dubur Tia masih sedikit menganga, seolah tak mau kembali tertutup seperti semula. Sedikit cairan putih masih mengalir dari sana. Rias wajahnya sudah acak-acakan, ternoda mani yang mulai mengering.

“Eh, bantuin mereka pake baju lagi sana,” perintah Gde.

Untungnya tidak ada pakaian keduanya yang rusak atau robek. Selanjutnya Gde menyuruh anak buahnya memapah kedua perempuan itu keluar. Gde memeriksa barang-barang Citra dan Tia, lalu mencari alamat Tia. Dia sudah tahu di mana salon Citra, dan dia baru mengetahui bahwa rumah Tia tepat di sebelah salon Citra. Gde dan anak buahnya keluar dari bangunan kantor menuju garasi di samping. Si komandan mendekati satu mobil berwarna abu-abu—mobil pribadinya—membuka kunci, dan membuka pintu. Dia menyuruh anak buahnya memasukkan Citra dan Tia di kursi belakang. Kemudian dia menyuruh yang lain kembali ke kantor kecuali Julfan. Gde menyalakan mobilnya. Julfan duduk di sebelah. Di kursi belakang ada dua orang perempuan, satu tergolek tak sadar, satu lagi duduk tegak dengan mata terbuka tapi dalam keadaan syok. Sepanjang perjalanan dari kantor aparat, Tia hanya bisa terpaku. Dia merasa tersakiti dan ternoda. Dia pun merasa bersalah kepada dirinya sendiri, kepada Bram, kepada Citra. Andai saja tadi dia tidak menuruti keinginannya sendiri untuk berpenampilan lebih seksi… Andai tadi dia bisa lebih tenang menghadapi para aparat yang salah paham menganggap dia pelacur jalanan… Andai dia tidak sampai berkata rela menyerahkan kehormatannya kepada manusia-manusia bejat tadi demi menyelamatkan Citra…

Tapi, bukankah dirimu memang seperti itu, Tia? Sudah, akui saja, Tia. Kamu memang pelacur. Kamu sengaja berdandan seksi demi menggoda laki-laki.  Kamu bersedia tidur dengan siapa saja.

“Bukan… bukan… aku bukan seperti itu… aku Tia, istri Mas Bram… bukan perempuan seperti itu…” bisik Tia, tak terdengar oleh siapapun kecuali dirinya sendiri.

Hahaha.  Kenapa nyangkal, Tia sayang?  Kamu senang kan waktu mata semua laki-laki tertuju kepadamu? Kamu menikmati dihimpit tubuh si komandan itu kan? Kamu orgasme waktu disetubuhi tiga orang sekaligus kan tadi?

“Bukan… tidak…”

Kamu wanita murahan, Tia!  Kamu pelacur!  Akui saja dan terima!

Tia ingin menangis, tapi air matanya tak mau keluar. Siapa sebenarnya yang berbicara dalam kepalanya? Apakah itu dirinya sendiri? Siapa sebenarnya dirinya? Apakah dia memang seperti itu?

“Udah sampe, nih,” kata-kata Gde menghentikan lamunannya.

Mobil Gde sudah berhenti di depan rumah Tia. Julfan dan Gde membantu Tia memapah Citra ke dalam rumah. Bram belum pulang. Sebelum pergi, Gde mengatakan sesuatu kepada Tia.

“Kalau saya jadi kamu, saya gak akan bilang siapa-siapa soal kejadian malam ini.  Kalau ada ribut-ribut, kamu sendiri yang rugi… saya nggak tau apa jadinya ya kalau nama kamu malah jadi masuk koran di halaman kriminalitas. Apalagi kalau bisnis kakak iparmu kebawa-bawa.”

Si komandan aparat itu lantas pergi sambil tersenyum lebar, bersama Julfan.

********************

Citra tertidur seperti orang mati di sofa ruang tamu rumah Tia. Tia duduk lemas, terus merenung. Tia sudah berusaha menenangkan diri dengan mencuci muka, mandi, membersihkan diri, dan mengenakan pakaian tidur yang nyaman, tapi hatinya tetap gundah. Jam 1 malam, terdengar suara pintu garasi dibuka, lalu mobil masuk garasi. Tia tak beranjak dari kursinya.  Beberapa menit kemudian pintu rumah terbuka, dan masuklah Bram.

“Yang, aku pulang, maaf kemalaman…”

“MAS BRAM…!!”

Tia langsung menubruk Bram, memeluknya, dan menangis sejadi-jadinya di dada Bram. Segala perasaannya baru bisa tumpah di sana… tapi dia tak mampu menjelaskan apa yang terjadi.

“Eh, ada apa nih… Sayang, ada apa… kenapa kamu nangis?”

Tia memandangi wajah suaminya dengan mata basah. Dia hendak membuka mulut untuk bercerita, tapi semua peristiwa yang baru dia alami berkelebat di dalam benaknya, membuat dia ngeri dan malu sehingga dia pun tak mampu mengungkapkannya kepada Bram. Saat itu Bram tak menyadarinya… tapi kehidupan Tia sesudahnya tak akan sama lagi.

*****##############################

================================
Slutty Wife Tia 5: Pengakuan Tia
================================

Tia duduk sendirian di sofa, merangkul kedua lututnya sendiri sambil menundukkan kepala.  Sudah hampir seminggu berlalu sejak insiden salah tangkap terhadap dirinya dan Citra yang menyebabkan mereka berdua terpaksa melayani sekelompok aparat. Tapi apa benar terpaksa? Itulah yang membuat Tia sudah tersiksa secara batin selama seminggu. Tia tak tega menceritakan kepada Bram apa yang terjadi di kantor aparat bersama Gde dan anak buahnya. Bukan cuma karena Gde mengancam akan membeberkan kejadian salah tangkap itu kalau Tia cerita ke siapa-siapa. Tapi lebih karena rasa bersalah Tia sendiri. Ia ingat bahwa malam itu, dia dengan sengaja dan sadar menyanggupi permintaan Gde untuk melayaninya layaknya suami-istri.  Memang, saat itu dia tak pikir panjang karena ingin menyelamatkan Citra, tapi setelah semuanya selesai, barulah Tia menyadari bahwa yang diperbuatnya tetap tak pantas. Dia adalah istri Bram… hanya Bram yang berhak menikmati tubuhnya. Dia menyadari bahwa ada yang berubah dalam dirinya, dan beberapa minggu lalu dia khilaf ketika dalam suatu hari dia bermain api dengan si tukang sayur, Pak Kumis, dan dua pengamen, Janu dan Fi.  Tia sudah bertekad akan menjaga kehormatannya sebagai istri, namun ternyata dia tak mampu menahan godaan yang muncul dari dalam dirinya sendiri, mulai dari dorongan untuk menggoda para karyawan di kantor, berpenampilan seksi ketika di mall, bahkan ketika seharusnya dia bisa menjaga kehormatan waktu dipaksa Gde. Ya, Tia sedang merasa lemah dan bersalah kepada Bram.  Tia juga takut rumahtangganya dengan Bram akan tergoncang kalau Bram tahu apa yang terjadi. Seminggu itu Tia tak banyak bicara, dan sering menangis.  Bram bingung dibuatnya. Awal-awalnya, Bram berkali-kali berusaha menghibur Tia dengan berbagai cara, dari membelikan baju baru sampai mengajak makan di luar, tapi Tia tetap murung. Tia juga sudah seminggu tidak menanggapi ajakan Bram untuk berhubungan seks. Ada sedikit trauma yang hinggap dalam benak Tia; tiap kali Bram mendekatinya dan berusaha berintim-intim, misalnya dengan merangkul dan mencium, Tia selalu teringat kembali akan kasar dan brutalnya Gde serta anak buahnya. Jadilah dia selalu menolak dengan halus.  Bram bisa merasakan istrinya sedang bermasalah, tapi dia tak bisa berbuat apa-apa ketika Tia tidak merespon semua usahanya.

Telepon berdering.  Tia menjawabnya.

“Halo…”

“Halo sayang,” rupanya Bram.  Terdengar berisik melatarbelakangi suara Bram.

“Aku mesti pulang malam lagi hari ini,” kata Bram.

“Ya udah, aku tiduran di ruang tamu saja Mas, nunggu Mas Bram datang,” kata Tia dengan nada datar.

Percakapan itu berakhir tanpa emosi: Bram mengucapkan rasa sayang dan dijawab oleh Tia, seolah berbasa-basi. Di ujung lain jalur percakapan itu, Bram menutup hubungan telepon dan kembali ke apa yang sedang dilakukannya.  Lagi-lagi dia berada di satu klub malam, bersama Mang Enjup, dua orang lagi anggota DPRD yang sedang mereka lobi untuk menggolkan proyek, berikut beberapa wanita penghibur berpakaian seksi yang merubung keempat laki-laki itu, berharap ikut kecipratan sedikit dari deal proyek yang pastinya bernilai sangat besar.

“Aya naon, Bram?” tanya Mang Enjup sambil merangkul salah satu pramuria.

“Tia, Mang…” keluh Bram.  “Kayaknya dia ada masalah, tapi nggak mau cerita, udah seminggu dia nggak mau ngomong banyak.”

Mang Enjup tertarik mendengar nama Tia disebut.  Sudah agak lama sejak terakhir kali dia bertemu Tia.  Dan Mang Enjup belum lupa dengan niat busuknya terhadap Tia. Tentu saja, Mang Enjup tidak akan menunjukkan itu semua di depan Bram. Laki-laki tua cabul itu sudah sangat berpengalaman.  Jadi dia hanya memberi saran.

“Bram,” kata Mang Enjup, “Gimana kalo si Tia disuruh ke psikolog aja?  Siapa tau kalau ke orang yang ahli, Tia mau cerita.  Sukur-sukur masalahnya bisa dibantu.”  Mang Enjup merogoh kantongnya, membuka dompet, mencari-cari sesuatu di dalamnya, lalu akhirnya mengambil satu kartu nama putih dengan tulisan warna merah dan biru.

“Ini ada kenalan Mang.  Psikolog ahli biarpun masih muda.  Coba ajah kamu ajak Tia ketemu dia,” kata Mang Enjup.

Bram melihat nama yang tertulis di kartu itu.  Dr. Lorencia Partomo, M.Psi.  Spesialis Trauma Psikologis.

Mungkin bisa dicoba, pikir Bram.  Dikantonginya kartu nama Dr. Lorencia.

*****

“Sayang… kamu mau dengar saranku nggak?” kata Bram pada pagi berikutnya, ketika sedang sarapan bersama Tia.

“Saran apa, Mas?” ujar Tia.

“Aku tahu ada yang ngganggu pikiran kamu… tapi kamu sepertinya nggak bisa cerita ke aku, atau Citra, atau keluarga kita.  Iya kan?” Bram melanjutkan.  “Sebenarnya aku pengen banget bisa bantu kamu langsung, apalagi aku kan suamimu, harusnya kita bisa beresin semua masalah kita sama-sama, yang.”

Tia meringis mendengar kata-kata ‘aku kan suamimu’, yang dirasa menohok, karena sangat berkaitan dengan dilema hatinya.  Dia diam saja.

“Kalau kamu nggak bisa bicara dengan aku… Bagaimana kalau dengan yang profesional aja?  Aku dikasih info tentang psikolog.  Siapa tahu dia bisa bantu kamu.”  Bram menunjukkan kartu nama Dr. Lorencia.

Tia memperhatikan kartu nama itu. Spesialis Trauma Psikologis. Dan perempuan.  Orang ini profesional, jadi pasti akan menjaga rahasia. Dan dia juga tidak ada kepentingan, jadi semestinya Tia tak usah takut konsekuensi macam-macam, ketimbang kalau dia cerita ke suaminya sendiri. Mungkin bisa dicoba. Bram tahu-tahu sudah berada di samping Tia, merangkul dan membelai rambut Tia, lalu mengecup lembut pipi istrinya. Tia merinding, masih belum bisa menghilangkan trauma-nya.

“Kamu mau, kan?” bisik Bram mesra.  “Aku pengen lihat kamu senyum lagi seperti biasa, nggak murung terus seperti ini.  Kalau kamu mau, sekarang juga kita ke tempat dia.  Dia praktek pagi.  Aku bisa antar kamu ketemu dia sambil berangkat ke kantor.”

“Mas…” kata Tia sambil menoleh.  Jawaban Tia disampaikan berupa anggukan kepala.

*****

Pagi itu, ketika berangkat bersama Bram, Tia belum bisa tersenyum lepas. Tapi siapa tahu orang yang akan ditemuinya bisa membantu. Tempat praktik Dr. Lorencia Partomo terletak di satu rumah mewah, agaknya rumah pribadi sang psikolog spesialis. Bram dan Tia masuk dan disambut asisten Dr. Lorencia.

“Sudah ada janji?” tanya si asisten.

“Ya, kemarin malam saya sudah buat janji jam 9,” kata Bram. “Atas nama Tia.”

“Oke.  Sebentar ya Pak,” kata si asisten, yang lantas menggunakan interkom.  “Bu Loren, yang perjanjian jam 9 sudah datang.”

“Suruh langsung masuk saja,” jawab suara di interkom.

Bram menengok ke Tia.  “Kamu nggak apa-apa kan sendirian, yang?” tanyanya.

“Nggak apa-apa, Mas…” kata Tia pelan.  “Nanti kutelepon kalau sudah selesai.”

“Oke, aku berangkat dulu ya,” kata Bram yang kemudian mengecup kening istrinya.  wajah Tia tetap tanpa ekspresi.

Bram kemudian meninggalkan Tia dan berangkat ke kantor. Si asisten mengarahkan Tia menuju ke satu pintu besar, dan membukakan pintu itu.  Tia masuk sendirian ke ruangan di belakangnya. Ruang praktik Dr. Lorencia terbilang besar dan mewah, dengan meja jati ukir yang terlihat mahal di tengah-tengah, beberapa kursi antik, dan satu sofa besar.  Dindingnya tertutup kertas dinding berwarna kuning muda, dihias beberapa lukisan, antara lain satu lukisan pemandangan dan satu lukisan perempuan Bali yang bertelanjang dada.  Terlihat juga beberapa pot tanaman dan rak buku.  Lantai marmernya sebagian tertutup permadani empuk.  Tia mencium semacam wewangian di dalam ruangan itu; baunya tidak biasa, tapi menenangkan.  Di samping ruangan itu ada satu pintu tertutup. Di balik meja jati, di kursi putar yang besar dan nyaman, duduklah Dr. Lorencia Partomo. Dr. Lorencia memandangi perempuan yang baru masuk ke kantornya.  Tia yang bertubuh sintal, tidak terlalu pendek maupun tinggi, berumur dua puluhan pertengahan, dengan rambut panjang yang digerai dan wajah cantik dipoles make-up tipis (sejak shock, Tia tidak lagi berdandan tebal seperti sebelumnya).  Wajah Tia terlihat tak santai, bibirnya tak sekalipun tersenyum.

Tia memandangi Dr. Lorencia dan tidak bisa tidak mengagumi sang spesialis.  Dr. Lorencia adalah perempuan yang sangat cantik, mengenakan kacamata berbingkai warna emas, kira-kira beberapa tahun lebih tua daripada Tia, mungkin seumuran Citra. Rambut tebal Dr. Lorencia yang diwarnai pirang gelap seperti madu dikepang dan dijadikan sanggul besar di belakang kepala.  Wajahnya berkesan tegas dan kuat, sedangkan tubuhnya yang agak montok namun tetap seksi itu terbungkus blazer, kemeja, dan celana panjang putih yang membuatnya kelihatan profesional—tapi Tia bisa melihat kemeja yang dikenakan Dr. Lorencia terbuka sedikit di bagian dada, dan dalaman hitam berenda yang dipakai di bawah kemeja itu terlihat menyelip, memberikan kesan seksi yang misterius. Tia bergerak ke arah kursi di depan meja Dr. Lorencia. Dr. Lorencia berdiri dan menjabat tangan Tia sambil memperkenalkan diri.

“Ibu Tia, kan?  Atau boleh kupanggil Tia saja?  Panggil saja aku Loren,” katanya.

“Nggak apa-apa nih?” tanya Tia malu-malu.  “Apa nggak sebaiknya Bu Loren atau Mbak Loren…”

“Jangan, jangan.  Loren aja.  Biar kita bisa lebih akrab,” kata Dr. Lorencia—Loren—dengan ramah.

Tia merasakan tatapan mata Loren yang amat tajam dan kata-katanya yang berirama.  Sekilas Tia terpikir tentang seseorang, tapi dia tidak bisa mengingat siapa yang tingkahlakunya mirip dengan Loren.

“Silakan duduk,” kata Loren.  “Jadi…”

Tia diam saja, tidak tahu harus memulai pembicaraan dari mana.

“Masih bingung kenapa ketemu saya?” ujar Loren.  “Nggak apa-apa.  Suamimu sudah cerita sedikit tentang keadaan kamu.  Dia rasa kamu ada masalah yang nggak bisa kamu ceritakan ke dia, betul kan?”

“Nggg…” Tia ragu-ragu untuk menjawab.  Dia belum tahu apa yang diceritakan Bram ke si psikolog.

“Nggak usah ragu-ragu.  Aku juga sebenarnya belum tahu kok apa masalahnya.  Tapi kalau Tia mau cerita, mungkin bisa kubantu bereskan masalah itu.  Dan apapun yang diceritakan di ruang ini, nggak akan keluar.  Kode etik.  Rahasia pasien harus dijaga,” Loren menjelaskan.  “Gimana?”
Dr. Lorencia

Dr. Lorencia

Tia terus menatap wajah Loren yang cantik dan terlihat menenangkan itu.  Pelan-pelan, Tia mulai merasa bisa percaya dengan si psikolog. Loren berdiri dari kursinya dan berjalan ke samping Tia. Si psikolog lalu menepuk bahu Tia.

“Tia, kita pindah tempat ya?  Coba kamu tiduran di sofa itu.  Kalau kamu santai, kamu bisa cerita dengan lebih enak,” bisik Loren.

Ketika bahunya ditepuk, Tia merasa pikirannya kosong.  Mirip ketika waktu itu…

“Ya…” Tia mengiyakan saran Loren, lalu berdiri dan menuju sofa besar di sebelah meja Loren.  Loren berjalan di sampingnya.  Di sebelah sofa itu ada kursi.  Loren duduk di kursi itu sementara Tia berbaring di sofa.

“Oke…” kata Loren.  “Sekarang kamu kosongkan pikiran.  Posisimu sudah enak belum?  Kalau belum, cari posisi yang enak.  Anggap aja sedang tiduran di ranjang sendiri.  Santai saja.  Santai… Jangan mikir apa-apa dulu.  Apapun masalah Tia, lupakan saja dulu.  Nikmati aja dulu posisi seperti ini, tenang, hening, damai…”

Tia mulai nyaman mendengarkan sugesti dari Loren.  Dia bisa melemaskan otot-otot bahu dan punggungnya, mengendorkan ketegangan pikirannya, hanya dengan berbaring di sofa besar itu dan mendengarkan kata-kata Loren.  Si psikolog duduk di sampingnya, dengan posisi menghadap dirinya.  Tangan Loren menggenggam dan menggoyang-goyang tangan Tia.  Suasana damai, sofa empuk, gerakan teratur yang dipandu Loren, suara Loren yang lembut, serta wangi ruangan yang tak biasa tapi menyenangkan itu semuanya membuat Tia merasa aman.  Dan mengantuk.

“Bagaimana, Tia?  Sudah merasa santai?  Nyaman?  Rileks?  Sekarang…”

Mendadak Loren menarik tangan Tia dengan gerakan menyentak.

“Tidur!”

Sontak mata Tia terpejam dan kepalanya terkulai.  Tia tertidur atas perintah Loren, tapi sebenarnya itu bukan tidur.  Loren terus menggenggam dan menggoyang-goyang tangan Tia.

“Tia, Tia… bisa dengar kata-kataku?  Kalau bisa dengar, tolong buka mata.”

Mata Tia terbuka kembali.  Tatapannya kosong.

“Bagus.  Sekarang dengar semua kata-kataku.  Kalau ngerti, tolong kedipkan mata.”

Tia berkedip.  Loren tersenyum.  Tia sudah berada dalam keadaan hipnotik.

“Tia.  Mulai sekarang, kalau kamu bicara denganku, kamu tidak akan ragu-ragu bercerita.  Kamu ngerti?  Kalau ngerti tolong bilang ‘Ya’,” kata Loren.

“Ya,” jawab Tia.

“Bagus.  Kamu akan jawab semua yang kutanya tanpa kecuali, biarpun kamu selama ini malu untuk menceritakannya.  Ngerti?  Kalau ngerti bilang ya,” Loren meneruskan sugesti.

Tanpa dapat melawan, kembali Tia menjawab ‘ya’.

“Bagus, Tia. Satu lagi.  Semua saran yang akan kamu dengar dariku, akan selalu kamu ingat, bahkan kalau kamu belum setuju.  Ngerti?  Kalau ngerti bilang ya.”

Lagi-lagi, “Ya.”

“Terima kasih Tia.  Sesi terapi kita sekarang bisa dimulai dengan lancar.  Sesudah ini kamu akan tidur sebentar, dan lupa kamu pernah mendengar kata-kata tadi dariku, tapi kamu tidak akan lupa apa-apa yang tadi sudah disampaikan.  Begitu aku tepuk tangan sekali, kamu akan tidur lagi, lalu sesudah aku tepuk tangan dua kali, kamu akan bangun lagi seperti biasa.”

Loren bertepuk tangan satu kali.  Tia terpejam dan kepalanya terkulai.  Lalu Loren bertepuk tangan dua kali dan Tia terbangun.  Ketika terbangun Tia bingung.

“Em… tadi aku… ketiduran?” kata Tia.

“Itu tidak penting, anggap biasa saja,” kata Loren, dan berkat pengaruh sugesti barusan, kebingungan Tia langsung hilang.  “Nah… Tia, silakan ceritakan masalahmu.”

Tia sudah merasa nyaman berbaring di kantor Dr. Lorencia.  Dia merasa sangat percaya kepada si psikolog yang cantik itu.  Dia tak lagi ragu untuk berbicara.  Entah kenapa. Mulailah Tia bercerita.

“Aku bingung, Ren… Aku ngerasa sedang berubah,” kata Tia lirih.

“Berubah?  Jadi apa?” balas Loren.

“Jadi…” Tia masih sulit mengatakannya.  “Jadi…”

“Jangan ragu, Tia… Kamu bisa cerita apa saja ke aku… Nggak apa-apa,” kata Loren dengan nada suara sugestif.

“Jadi…”

“Bilang aja, Tia, jangan takut…” kata Loren sambil mengusap rambut Tia seolah ibu yang menenangkan anaknya.

“Jadi perempuan nggak bener…” nada bicara Tia berubah berat seolah dia tak rela menyebut dirinya sendiri dengan istilah demikian.  “Jadi seperti… pelacur.”

“Oohh,” Loren menanggapi.  Suaranya bernada tertarik.  “Kenapa seperti itu, ya?  Coba ceritakan, Tia.”

“Ungh…” Tia ragu-ragu.  Loren kembali membelai rambut Tia dan berkata perlahan, “Jangan ragu-ragu, Tia, kamu bisa percaya aku.  Ceritakan…”

Sentuhan dan ucapan Loren membuat Tia makin nyaman.  Tia akhirnya mulai bercerita.

“Awalnya waktu aku nemu foto-foto… perempuan lain di HP Mas Bram.  Pelacur.  Suamiku itu ternyata punya hobi jajan di luar.  Tapi…”

“Stop,” Loren menghentikan cerita Tia.  “Seperti apa foto-fotonya?  Jelaskan.”

“Emm… mungkin ada 2 atau 3 cewek yang berbeda.  Di foto-foto itu mereka berpose… seksi.”

“Seperti apa?”

“Ada yang seperti mau nyium kamera… ada yang pamer buah dadanya… ada yang tiduran sambil pake lingerie…”

“Ceritakan penampilan mereka,” Loren melanjutkan.

“Ya seperti biasanya perempuan nggak bener… Baju seksi, tank top, rok mini, malah ada yang difoto cuma pakai bra dan celana dalam… Ada yang rambutnya dicat pirang… Semuanya pake make-up tebal, bedak tebal, lipstik merah, blush on…”

“Oke.  Sekarang teruskan cerita kamu.  Sesudah kamu lihat foto-foto itu, gimana?”

“Aku ngadu ke Kak Citra,” kemudian Tia menceritakan siapa itu Citra.  “Kata Kak Citra, Bram emang suka jajan dari dulu.  Terus… Kak Citra ngasih saran… katanya aku suruh tiru saja penampilan mereka supaya Bram nggak usah lagi nyari ke luar.”

Sementara Tia bercerita, Loren terus memandanginya sambil membelai rambutnya dan sesekali mengeluarkan komentar pendek seperti “Hmm” atau “Terus?”

“Jadi aku coba sarannya Kak Citra.  Dia dandani aku supaya jadi… seperti mereka.  Terus kutemui Mas Bram…” Tia berhenti.

“Terus?” Loren mendorong Tia untuk melanjutkan.  “Ayo dong cerita.”

Sepintas Tia tersenyum kecil, mukanya memerah.  Tapi kemudian mukanya kembali ke ekspresi kosong semula.

“Yang jelas malam itu sih kami… bercinta… nggak seperti biasanya, emmm rasanya lebih… hebat aja dari sebelumnya,” bisik Tia lirih.  “Tapi Mas Bram juga waktu itu seperti berubah… kelihatan sekali dia lebih nafsu.”

“Oke…” kata Loren, “Jadi awalnya begitu.  Terus?”

“Mas Bram minta aku terus seperti itu… jadi kucoba saja terus.  Awalnya risi dan nggak biasa, mesti dandan terus dan bergenit-genit, dari dulu aku nggak pernah begitu.  Tapi…” Tia mencoba mengingat sesuatu, tapi yang ingin diingatnya tak kunjung muncul.  “Ada satu malam, waktu itu aku dandan seksi untuk Mas Bram, dan dia pulang diantar teman-teman kantornya karena mabuk… nggak ingat apa yang terjadi sesudah itu, tapi rasanya dia semangat sekali bercinta malam itu biarpun mabuk. Nah…”

“Ayo teruskan.”

“Rasanya sesudah malam itu aku berubah… aku jadi lebih terbiasa tampil seksi, nggak lagi malu-malu… Tapi…”

“Ada apa?”

“Kadang aku seperti lepas kendali,” suara Tia kembali melemah setelah sebelumnya naik karena bersemangat.  “Aku… aku nggak tahu harus cerita atau nggak… aku…”

“Ayo cerita, Tia… Kalau kamu nggak cerita, masalahmu nggak akan selesai…” bujuk Loren.

“Pernah dalam satu hari aku nggoda beberapa orang sekaligus… dan mereka orang asing… bukan Mas Bram.  Tukang sayur langganan.  Pengamen yang datang ke rumah.”

“Waah…” Loren berkomentar.  “Apa yang kamu lakukan ke mereka?”

“Umh…” Tia ragu, mukanya memerah.  “Aku… kalau ke Pak Kumis itu nggak sengaja… waktu itu aku beli terong dari dia, terus…”

“Terus?”

“Umm… aku main-main dengan terong itu… Nggak tahunya Pak Kumis masuk rumah mergoki aku… tapi aku malah jadi… jadi…”

“Kamu apain dia, Tia?”

“…kusepong dia…”

“Hmm…” Loren berkomentar tanpa kaget, tapi tetap terdengar tertarik.  “Terus dengan pengamen tadi?  Gimana tuh?”

“Pengamennya berdua, masih ABG… salah satunya aku kenal.  Jadi kuajak masuk dan kukasih makan… tapi satunya usil, dia nyolek bokongku…”

“Terus?  Kamu marah nggak?”

“Ungh… anehnya… enggak.  Akhirnya malah kuladenin mereka berdua… yang satu kuisep… yang satu lagi kubiarkan gesek-gesek kemaluannya ke pantatku sampai dia keluar…”

“Oke… Tapi kamu nggak sampai berhubungan seks dengan mereka kan?”

“Iya… syukurnya…” kata Tia.

“Kenapa syukurnya?” tanya Loren.

“Soalnya waktu itu aku seperti ingat… aku istrinya Mas Bram.  Aku cuma boleh setubuh sama Mas Bram…”

“Oh gitu.  Ceritamu masih lanjut kan Tia?”

“…masih.”

“Tolong lanjutkan.”

“Sesudahnya… suatu hari aku ke kantor bareng Mas Bram.  Aku sengaja dandan dan pakai baju biasa.  Tapi… aku tetap dilihat orang.  Semua orang nengok kalau aku lewat.”

“Gimana perasaan kamu, Tia, waktu diperhatikan orang kantor?”

“…kok… aku seperti senang, ya?”

“Wajar, Tia,” kata Loren.  “Kamu cantik.”

“Aku… cantik?”  Pujian Loren membuat Tia tersipu.  Memang seperti biasanya perempuan, Tia senang dipuji, apalagi mengenai kecantikannya.

“Iya…” Loren kembali membelai rambut Tia, dan kini malah terus membelai pipi Tia.  “Kamu cantik… makanya semua orang suka melihat kamu.  Semua orang itu.  Orang kantor.  Pengamen.  Tukang sayur.  …Aku juga, Tia…”

Tia berdebar-debar ketika Loren berkata seperti itu.  “Aku pengen cium kamu, Tia,” pinta Loren. Tanpa menunggu jawaban, Loren langsung mencium pipi Tia, tepat di ujung bibir Tia.  Tia merasa geli seperti kesemutan, dan perasaan itu makin menjadi ketika Loren melanjutkan melumat bibir Tia, memainkan lidahnya dalam mulut Tia.  Untuk pertama kalinya Tia merasakan ciuman mesra dengan sesama perempuan, mulut bertemu mulut.  Loren melepas bibir Tia, kemudian kembali bicara.

“Kamu senang kan dikagumi orang, Tia?” kata Loren.

“…Iya…” jawab Tia.  Loren tersenyum, sugestinya masuk sendiri tanpa dilawan.  Dilihatnya mata Tia setengah terpejam, membayangkan nikmatnya ciuman barusan.

“Terusin ceritamu,” kata Loren.

“Sesudah dari kantor aku ketemu Kak Citra di mall… Kak Citra cantik banget… dia juga dilihatin semua orang… Malah lebih hebat lagi, orang sampai meleng karena gak bisa lepas matanya dari Kak Citra.  Aku… iri.”

“Hmm… Iri?  Iri karena Kak Citra lebih cantik?”

“Iri karena Kak Citra lebih menarik perhatian… tapi sesudah itu aku di-makeover, terus ganti baju juga…”

“Terus gimana?  Kamu masih iri?”

“Terus… kami… Kami…” Tia seperti susah menceritakan lanjutannya.  Jelas itu karena yang terjadi adalah dia dan Citra diciduk aparat, lalu digilir.  Bukan sesuatu yang bisa diceritakan dengan mudah, bahkan di bawah pengaruh hipnotis Loren.  Jadi Loren menaikkan tingkat pengaruhnya.

“Susah ya ceritanya?” kata Loren sambil tangannya mulai hinggap di tubuh Tia.  Loren mulai menyentuh dan meremas-remas payudara Tia.  Tia pagi itu mengenakan kemeja merah jambu dan rok hitam selutut.  Sementara tangan kanan Loren mencopot satu dua kancing kemeja Tia, tangan kiri Loren menyelinap ke dalam rok Tia.  Loren kemudian menyelipkan tangan kanannya ke dalam baju Tia, dan langsung menyentuh kulit payudara Tia.  Dia mencari-cari dan menemukan pentil Tia yang sudah terasa keras.  Sementara tangan kiri Loren mulai meraba-raba daerah kemaluan Tia.  Loren menemukan sesuatu di sana.

“Hmmm… Tia, kamu ngerasa basah nggak?” bisik Loren.

“Iya…” kata Tia jujur.

“Basah mananya, Tia?” Loren mendorong lagi.

“Basah di…” Tia berhenti, lalu berbisik, “…aku malu nyebut nya…”

“Memek kamu basah, Tia,” kata Loren tegas sambil mencubit klitoris Tia, membuat Tia memekik lirih, “Aauhh!!”

“Enak kan, Tia?” tanya Loren.

“Enak Ren…” jawab Tia.

“Tahu nggak kenapa itu enak?”

“…”

“Soalnya kamu terangsang sewaktu kamu cerita pengalaman seks kamu, Tia…  Mulai sekarang, kamu bakal terangsang kalau kamu cerita… Ngerti, Tia?”

“Iya… ahhh…”

“Bagus.  Kamu mau cerita semuanya kan, Tia?”

“Iya…”

“Semuanya akan kamu ceritakan, Tia.  Dan kamu mau cerita apa saja, karena itu enak, kan?”

“Ya…”

“Oke… Tia… Ayo cerita apa yang terjadi sesudahnya.”  Tangan Loren tetap di kemaluan Tia, membuat celana dalam Tia makin basah dengan cairan kewanitaan Tia.

“Ah… Kami pulang… tapi terus ditangkap aparat…”

“Ditangkap?  Hmm.  Cerita terus deh…. Eh tapi tolong ganti posisi.  Duduk tegak ya.  Nyender aja,” Loren membantu Tia bangun, sehingga Tia duduk bersender di sofa, dengan kedua kaki kembali menjejak lantai.  Loren duduk di depan Tia, dan memegang kedua lutut Tia.  Pelan-pelan Loren menggerakkan kedua lutut Tia saling menjauh, membuat pasiennya mengangkang.  Tia sudah pasrah menjadi boneka Loren yang bisa diposisikan semaunya.  Si psikolog cantik kemudian turun dari kursinya, lalu berlutut di depan selangkangan Tia.  Dia menyibak rok Tia dan kemudian mengesampingkan celana dalam Tia yang sudah basah.

“Cerita terus, Tia… Aku dengar dari bawah sini,” kata Loren sambil mulai menggarap vagina Tia, dengan satu jilatan dari bawah ke atas sepanjang rekahan itu.  Semestinya Tia bingung, karena jelas praktik psikolog normal bukan dengan menggerayangi dan bahkan melakukan seks oral dengan pasien… tapi Tia sudah keburu menganggap wajar semua yang Loren lakukan, karena sugesti tadi.

“Aku… umh ditangkap karena disangka… pelacur… Aku dan Kak Citra dibawa ke kantor… terus… uhh…”

“Emm… *lep lep* Terus apa, Tia?” kata Loren sambil terus menjilati gurihnya kemaluan Tia.  Loren mulai menjamah klitoris Tia pula… menyedot dan mencium.

“Aahh… Terus Kak Citra masuk ketemu komandan mereka… aku ditinggal lama… waktu kutengok… ternyata Kak Citra lagi digarap sama mereka…”

“Gimana perasaanmu waktu melihat Kak Citra digarap, Tia?”  Loren mengatakan itu semua dengan sangat tenang, nyaris tanpa perasaan.

“Aku kasihan… Kak Citra kesakitan… Dia… dia lagi disetubuhi merekaa… di… pantatnya… Pantatnya di…”

“Dientot sama mereka?” Loren membantu.

“Iya… pantat Kak Citra dientot sama mereka… Aku minta mereka stop… Kasihan Kak Citra… ahh…hhh” Tia jelas keenakan dioral oleh Loren yang rupanya ahli memberikan kenikmatan kepada sesama perempuan.  “ENGG!!”  Tahu-tahu saja Tia orgasme ketika vaginanya disodok lidah Loren, membanjiri mulut Loren dengan cairan cinta.

“Ti-a,” panggil Loren dengan nada naik-turun, “kok kamu orgasme sih?  Kan kamu lagi kasihan sama Kak Citra?  Hmm…”

“Awh… ah…” Tia tak bisa menjawab, masih kaget karena mendadak orgasme.

“Oo kamu sebenarnya suka ya ngelihatnya… sampai kamu terangsang sendiri… terus gimana ceritanya?”

“Suka? Hh… ehh…” selagi dia mulai pulih, baru Tia bicara lagi, “Aku… tawarin buat gantiin Kak Citra… daripada Kak Citra kecapekan… biar aku yang dientot sama mereka…”

“Waktu itu kamu sampai basah seperti sekarang, kan…” sugesti Loren.

“Iya…?” Tia merasa aneh karena ceritanya diubah Loren.  Tapi dia tak kuasa menolak Loren.  Ditambah lagi akal sehatnya sedang kewalahan sehabis dilanda orgasme mendadak.

“Iya Tia… kamu basah karena terangsang melihat kakakmu digilir sama aparat… Lalu kamu minta gantian?  Biar kamu ganti dientot sama mereka?”

“Ehm… iya?”

Loren bangkit lalu tiba-tiba menjambak sebagian rambut Tia.  Namun gerakannya tetap luwes, tidak sampai membuat Tia sakit.  Dan anehnya Tia tak melawan, dia seolah sudah jadi boneka yang bisa digerakkan Loren seenaknya.  Loren mendorong kepala Tia ke samping sampai Tia terempas di dudukan sofa.

“Kamu nakal, Tia…” kata Loren, pelan tapi tegas.  “Nakal… Kamu suka ya, keseksian badanmu dikagumi laki-laki?  Kamu suka ya, kalau laki-laki terangsang gara-gara kamu goda?  Kamu pengen ngentot sama siapa aja?  Sama banyak orang sekaligus?”  Sambil mengatakan semua itu, Loren kembali memainkan tangannya di klitoris dan vagina Tia, merangsang alat kelamin yang baru saja orgasme.  “Iya kan, Tia?  Ayo jawab!”

“Ah, uhh, ah… iyaahhh…” Tia mengiyakan, tanpa sadar apa yang dikatakannya.

“Terus gimana ceritanya, Tia…” Loren mengurangi intensitas godaannya, memberi kesempatan bagi Tia untuk bercerita.

“Aku… awalnya aku nggak mau… tapi terus aku kasih mereka… Mereka kusepong…” (“Apanya?” tanya Loren sambil langsung memberi jawaban, “Kontolnya?”) “Kontol… nya…” lanjut Tia, “terus aku buka baju… komandannya… ngentotin aku… badannya besar… kontolnya juga… sampai sesak ditindih dia… ah… Ren… tambah basah nih…”

Loren terus membuat Tia terangsang, membangun asosiasi antara kenikmatan dengan cerita mengenai pengalaman seksual.  Si psikolog terus mendengarkan cerita Tia.

“Tapi nya enakh… ah… enak banget digenjot dia… aku sampai keluar… enak… terusnya yang lain ikutan juga… aku dientot juga… sekali dua… ahh… di pantat juga…” (sambil Loren mulai main di lubang anus Tia) “mereka muncrat di dalam… di luar… enak… ah!!!”  Orgasme lagi-lagi melanda Tia.

“Hmm… terus?”

“Ahah… hh… ah… habis itu… selesai… aku diantar pulang sama mereka…”

“Ooh gitu… Terus gimana?”

“Mas Bram pulang… aku… aku… ehhh!?” Tia tiba-tiba seperti bingung.  “Aku… aku bingung… aku dientot orang lain… aku… ga berani cerita sama Mas Bram…uuhhh…. Hhuuu…”

Tiba-tiba Tia menangis.  Loren menyimpulkan, di situlah trauma Tia.  Dia dengan tegas berbicara ke Tia, dan berhenti menggerayangi Tia.

“Hmm… jadi itu masalahnya?  Kamu nggak bisa cerita sama suami bahwa kamu disetubuhi orang lain?”

“Iya…*hiks*” jawab Tia sambil terisak.

“Kenapa?”

“Aku… istri Mas Bram… seharusnya nggak boleh tidur dengan orang lain… tapi…” kata Tia di sela-sela nafasnya yang sesenggukan.

“Tenang, Tia.  Berhenti menangis,” Loren kembali membelai Tia dan Tia pun terdiam.  “Kamu merasa bersalah, Tia?”

“Iya…”

“Tapi kamu merasa apa waktu disetubuhi mereka, Tia?”

“Ahh,” ketika Tia mau menjawab, Loren menundukkan kepala dan mengecup lehernya.  Loren juga membuka kancing kemeja Tia semua dan melepas kemeja Tia.  “Enak kah?” tanya Loren.

“Iya…”

“Ya, Tia.  Kamu ngerasa enak kok disetubuhi mereka.  Sama aja kan dengan suami sendiri,” ujar Loren.

“Sama…?  AHH!!”  Jawaban Tia diganggu pagutan Loren ke bagian atas payudaranya.  Selanjutnya Loren membuka BH Tia sehingga kini tubuh Tia dari pinggang ke atas sudah tak berbusana.  Loren berhenti bicara dan memberi kenikmatan ke Tia dengan mulutnya di sepasang payudara Tia.  Tia menggigit bibir, keenakan, kemaluannya kembali membanjir.

“Enak kan… Tia?”  Loren membuka blazer dan kemeja putihnya, memperlihatkan bra seksi hitam berenda di bawah itu.

Si psikolog juga membuka celana panjangnya, memperlihatkan sepasang kaki yang jenjang dan indah, serta G-string hitam.  Kemudian Loren melucuti sisa pakaian Tia, rok dan celana dalam.  Tia terbaring telanjang di sofa Loren, dan Loren kembali mencium bibir Tia.  Lama, dalam, dan penuh nafsu.  Tia terengah keenakan ketika Loren akhirnya melepaskan mulutnya, seutas liur menyambungkan mulut kedua perempuan jelita itu.

“Tunggu sebentar ya cantik…” ujar Loren mesra, lalu si psikolog beranjak ke mejanya, mengeluarkan sesuatu dari laci, dan kembali lagi.  Loren memamerkan benda yang baru diambilnya kepada Tia.  Tia membelalak melihatnya: sesuatu yang mirip celana dalam kulit, namun di bagian depannya terdapat dildo—mainan tiruan penis—berujung dua, yang kalau dipakai satu akan menghadap ke luar dan satu lagi ke dalam.

Loren melepas celana dalamnya sendiri, lalu mengenakan celana dalam dildo itu.  Tia melihat ekspresi lapar di wajah Loren ketika Loren memasukkan satu ujungnya ke dalam kemaluannya sendiri.  Sungguh pemandangan yang ganjul, seorang perempuan cantik seperti Loren di hadapannya dengan hanya mengenakan bra dan celana dalam, tapi dengan batangan yang mencuat gagah di depan selangkangannya.  Tia menahan nafas, melihat betapa penis palsu Loren begitu panjang dan besar dan keras, tak kalah dengan semua yang pernah dirasakannya. Kedua perempuan itu pun kembali saling cium, Loren mengajak, Tia menerima.  Tia mulai terbiasa mendapat sentuhan intim dari sesama perempuan, dalam pikirannya dia merasakan kenikmatan yang sama seperti dari Bram… atau dari semua pengalamannya dengan laki-laki.

“Tia… Jangan anggap aku perempuan.  Anggap saja aku laki-laki yang punya penis, yang mau bercinta denganmu, ngerti?  Tapi aku bukan suamimu,” kembali sugesti datang dari Loren.  Loren tersenyum nakal selagi dia mengacak-acak pikiran pasiennya yang cantik itu.  Harus diakui, dia mulai tertarik dengan Tia.  Dan andai saja dia bisa berbuat semaunya, dia sendiri ingin mencoba merebut Tia dari siapapun yang memilikinya.  Tapi…Loren kembali menggunakan mulutnya pada vagina Tia, mencium dan menjilat dan memastikan kewanitaan Tia cukup basah.  Tia merintih keenakan, apalagi ketika Loren mengganti mulut dan lidahnya dengan satu jari, lalu dua jari.  Kemudian Loren mengangkangi perut Tia, sengaja memamerkan penis palsu di selangkangannya, dengan panjang 20cm dan garis tengah hampir 3 cm… mungkin sebesar penis orang bule atau Afrika.  Yang tercolok ke dalam vagina Loren sendiri tak sepanjang itu.  Tia gemetar membayangkan batang itu memasuki tubuhnya… dan itu akan terjadi sebentar lagi…Setelah memberi pelumas pada penis palsu itu Loren menempatkan ujungnya di bukaan kemaluan Tia, lalu pelan-pelan mendesak masuk.  “UNNGGHH!” jerit Tia tertahan.  Loren juga merintih selagi desakan dari depan membuat bagian yang tertancap dalam kemaluannya sendiri bergeser.  Pelan-pelan, senti demi senti, batang itu melesak ke dalam vagina Tia.  Tia melotot, matanya menganga, dilanda rasa sakit bercampur nikmat akibat penyusupan benda berukuran tak senonoh di kemaluannya.  Sampai menitik air mata Tia dibuatnya.  Loren tak sampai memasukkan seluruh batang itu dan mulai bergerak maju mundur, awalnya pelan, makin lama makin cepat.  Loren menatap mata Tia; Tia seolah akan gila terlanda nafsu.  “Enak kan, Tia?” kata Loren sambil menggenjot pasiennya.

“AAHHH!! AHKHH!! AIAAHH!!” Tia tak menjawab, hanya bisa menjerit-jerit keenakan.  Tubuh Tia menggeliat-geliat hebat, tapi tak mampu ke mana-mana karena tubuh Loren tepat di atasnya; Loren membungkam mulut Tia dengan ciuman selagi Tia mengalami orgasme ketiga.

“OOHHhHhMMmMMm!M!!!”

Tapi Loren tak berhenti, dia terus menghajar vagina Tia tanpa ampun sampai-sampai Tia orgasme untuk kedua kalinya, susul-menyusul dengan orgasme sebelumnya.

Tia nyaris pingsan andai saja Loren masih mau terus melanjutkan, tapi si psikolog merasa sudah cukup dan dia menarik keluar penis palsu-nya dari dalam tubuh Tia.  Tia terkapar kelelahan, keenakan setelah dua orgasme berturut-turut, pikirannya melayang ke mana-mana, rentan…

“Tadi enak kan, Tia…?  Orgasme itu enak ya, Tia,” kata Loren sambil membetulkan posisi kacamatanya.  “Kamu suka?”

“Ah… iya… hhh…” kata Tia lemah.

“Kamu tadi dibikin orgasme, bukan oleh suamimu.  Bagaimana rasanya, Tia?”

“Emm… enak…”

“Sama aja kan?  Sama-sama enak?”

“Iya…”

“Bagus… Sebenarnya nggak ada bedanya kamu orgasme karena suami ataupun orang lain… enak kan?  Nggak ada salahnya… nggak ada bedanya,” Loren terus memberi sugesti.

“Nggak ada bedanya…” Tia mengikuti, tanpa sadar.

“Yang penting hanya orgasme… hanya kenikmatan… Pahami itu, Tia.”

“Ya…”

“Nikmati saja semuanya… Nggak usah pikirkan suami kamu… Pikirkan saja kenikmatannya… Kenikmatan itu tidak salah…”

“Ya…”

“Bagus,” kata Loren sambil mencium kening Tia.  “Sekarang… pakai lagi bajumu,” perintah Loren.  Loren sendiri juga melepas celana dalam dildo-nya dan kembali mengenakan bajunya.  Setelah dia selesai berpakaian, dilihatnya Tia duduk manis di sofa, sudah kembali ke penampilan semula.

“Baik, Tia… sesudah ini kamu akan tidur sejenak, dan kalau bangun lagi kamu tidak akan ingat apa yang barusan kita lakukan, tapi kamu akan ingat semua saranku dan semua kenikmatannya.  Kamu tidak akan lagi ragu-ragu, tidak akan trauma lagi.  Ngerti?”

“Ya…”

“Bagus.  Tidur, Tia… Tidur…” Kepala Tia tertunduk, tidur, “Kuhitung mundur dari sepuluh sampai satu, kalau sudah satu kamu akan bangun.”

“Sepuluh. Sembilan. Delapan. Tujuh. Enam… Lima… Empat… Tiga… Dua…”

“Satu.”

Tia membuka mata.  Dia tersenyum, merasa nyaman dengan dirinya sendiri.  Dilihatnya Dr. Lorencia duduk di depannya, menggenggam tangannya.

“Gimana, sudah enakan?” tanya sang psikolog dengan ramah.

“Emm… iya… Ren…” Tia memang merasa beban pikirannya sudah lenyap.  Dan entah kenapa, dia merasa sangat ingin bertemu suaminya, karena kangen.  “Aku nggak tau, tapi kok rasanya aku sudah tentram ya…”

“Baguslah.  Masalahmu sudah selesai.  Kamu sudah bisa pulang… Nanti kalau masih ada masalah, jangan segan-segan mampir lagi… oke?”

Tia mengangguk, dan dia berterimakasih kepada Dr. Lorencia.  Sebenarnya dia agak penasaran apa saja yang sudah dilakukan sang psikolog, tapi entah kenapa dia tak merasa perlu bertanya.  Dia sudah merasa nyaman dan memang itulah yang dicarinya.  Dia kemudian membereskan urusan yang masih tersisa kemudian meninggalkan rumah Dr. Lorencia.

*****

Bram di kantor sedang menunggu Pak Jupri alias Mang Enjup yang belum juga datang. Padahal ada beberapa pekerjaan yang memerlukan atasannya itu, tapi ke mana dia? Sambil menunggu, Bram berpikir tentang Tia.  Semoga Tia bisa pulih setelah bertemu psikolog itu…Tapi Bram terpikirkan satu hal lagi. Malam itu, malam ketika trauma Tia dimulai… Citra ada di rumah.

Citra pasti tahu sesuatu. Bram merasa perlu bertanya.

*****

Tia belum lama pergi.  Dr. Lorencia kembali duduk di belakang mejanya sambil membayangkan indahnya tubuh Tia yang sempat dicicipinya sebentar tadi.

“He, Loren, kamu jangan bayangin macem-macem ya.  Tia itu buat Mang.  Kita udah ada perjanjian,” kata sesosok manusia yang tiba-tiba muncul dari belakang Dr. Lorencia.  Dia datang dari balik pintu samping ruang praktik Dr. Lorencia.  Seorang laki-laki tua botak berperut buncit, yang sedang ditunggu oleh bawahannya di kantor.  Mang Enjup.

“Yah, si Mang, gimana ya?  Ternyata dia cakep… Boleh nggak kubikin dia jadi lesbong juga?” Lorencia menimpali.

“Hus.  Jangan lah.  Kalau yang lain sih silakan ajah… Yang ini nggak boleh, ya?  Soalnya dia orang yang spesial buat Mang.”  Mang Enjup mendekat dan merangkul Dr. Lorencia dari belakang.

“Emangnya aku enggak, Mang…?” tanya Lorencia manja.

“Ooo… pasti dong, Loren kan kesayangan Mang.  Kalau nggak, mana mau Mang ajarin ilmu Mang ke Loren?  Kamu istimewa, Ren.  Nggak banyak awewe yg Mang cobain tapi udah ada bakat buat nerusin ilmu Mang.”

“Hehehe… Bilang aja waktu itu Mang kecele’ soalnya aku ga mempan digendam… Gapapa deh, yang penting aku jadi dapat ngewarisin ilmunya Mang.”  Bertahun-tahun lalu, Lorencia, seorang sarjana psikologi, melamar kerja kepada Mang Enjup.  Melihat parasnya yang cantik, Mang Enjup sempat mengisengi Loren dengan ilmu gendamnya, tapi entah kenapa, hipnotis Mang Enjup kurang mempan kepada Loren.  Mungkin karena Mang Enjup berusaha membuat Loren tertarik kepada dirinya, tapi ternyata Loren punya kecenderungan lesbian sehingga tak mempan.  Itulah yang membuat Mang Enjup menyangka Loren istimewa, dan karena rahasianya sudah terbongkar di depan Loren, Loren pun menuntut penjelasan serta imbalan, kalau tidak dia akan membongkar rahasia Mang Enjup.  Akhirnya Mang Enjup mengajarkan ilmu gendamnya kepada Loren.  Keduanya jadi akrab, dan terus berhubungan; Loren tak jadi bekerja kepada Mang Enjup dan memilih meneruskan studi dan menjadi psikolog praktik, dan ilmu hipnotisnya dia gunakan untuk membantu pasien.  Tapi, sebagaimana Mang Enjup, Loren pun sekali-sekali menyalahgunakan kemampuannya itu. Ketika Bram mengeluhkan Tia, Mang Enjup langsung menyambar kesempatan dan memberitahu tentang Dr. Lorencia.  Sesudahnya Mang Enjup menjelaskan apa yang sudah dia lakukan kepada Tia, dan Loren menyanggupi untuk membantu. Loren juga menceritakan semua pengakuan Tia kepada Mang Enjup.  Mang Enjup terlihat senang mendengar semua petualangan Tia, apalagi ketika dia tahu pengaruhnya telah membuat Tia jadi lebih berani dan menggoda.

“Tapi Mang,” tanya Loren, “Emang mau diapain si Tia itu?  Kan Mang udah dapet nyobain dia.”

“Ada rencana Mang buat dia.  Rencana gede.  Kapan-kapan Mang ceritain deh.  Nanti kalau udah jadi.”

*****

Sepulang kantor, Bram disambut oleh Tia.  Sekali lagi penampilan Tia membuat Bram melongo…  Tia malam itu tampak seksi dengan babydoll transparan, rambut tergerai, make-up tebal namun menarik… dan dia menunggu Bram dengan penampilan seperti itu di depan pintu rumah!

“Mas Brammm….” Tia menyambut suaminya dengan ciuman mesra, lalu dia langsung menarik Bram ke dalam rumah.  Sebelum Bram sempat berbuat apa-apa keduanya sudah bercumbu hebat.

Tapi Bram jadi curiga…
###########################################################

======================================
Slutty Wife Tia 6: Satu di Antara Tiga
======================================

Siang hari, sekitar pukul dua di suatu bangunan kecil di kompleks perumahan pinggir kota. Sehari-harinya tempat itu adalah salon, Salon Citra. Tapi pemiliknya tidak hanya menawarkan jasa perawatan kecantikan bagi wanita. Di balik tirai yang memisahkan ruang belakang dengan ruang utama salon, pemilik salon itu, Citra, sedang duduk selonjor di atas tempat tidur yang biasa dipakai untuk luluran atau facial. Citra berpenampilan cantik seperti biasa, rambutnya yang hitam lurus sebahu tergerai. Pakaiannya juga seksi, seperti biasa. Ia mengenakan kaos tanktop putih yang ketat membungkus tubuhnya, juga rok mini kuning yang mencapai setengah pahanya saja tidak, dan di bawah roknya Citra mengenakan pantyhose nilon warna kulit. Kaki kanannya yang terbungkus nilon itu terjulur, mengelus-elus selangkangan celana seorang laki-laki bertubuh tegap yang duduk mengangkang menghadapinya di ujung lain tempat tidur.

“Jadi Mas Kris yang ngatur?” tanya Citra dengan nada manja.

Laki-laki yang dipanggil dengan sebutan Mas Kris itu mengenakan kaos hijau dan celana dinas tentara, dia memang salah satu beking Citra yang masih aktif sebagai perwira menengah di kesatuan setempat. Sambil menggumam keenakan merasakan burungnya mengeras dielus-elus kaki Citra, dia menjawab.

“Iya dong.  Ngeberesin kroco sok jago seperti si Gde itu kecil.  Apalagi zaman sekarang, bikin amuk massa itu gampang.  Kamu udah lihat beritanya kan?” kata Kris.

“Ah, aku gak suka nonton berita Mas, bosen,” kata Citra.

“Mestinya kamu lihat, ha ha ha… Soalnya ada muka jelek si Gde babak belur dihajar massa, ampe berdarah-darah gitu.  Kamu minta yang kayak gitu kan, minta yang setimpal buat dia?  Habis ini juga si Gde bakal dipecat gara-gara bikin malu pemerintah.  Salah sendiri, udah tahu ngadapin kumpulan orang marah, malah ndableg.  Biar mampus dia.”



Beberapa hari sebelumnya, terjadi insiden ketika satuan aparat yang dipimpin Gde melaksanakan penggusuran. Entah mengapa, warga setempat malah melawan aparat dengan membawa senjata tajam dan batu. Akibatnya terjadi perkelahian berdarah yang menyebabkan 1 orang warga dan 1 orang aparat tewas, dan puluhan orang luka berat termasuk Gde yang kepalanya bocor kena timpuk dan sempat digebuki ramai-ramai. Masyarakat dan media ramai menyalahkan, ada yang menganggap warga mengamuk karena kekesalan yang sudah menumpuk terhadap aparat yang biasa semena-mena. Yang luput dari perhatian semua orang adalah bahwa amuk warga itu dipicu oleh beberapa provokator yang dikirim oleh Kris. Walaupun sama-sama aparat, memang kadang ada ketegangan antar kesatuan di balik permukaan, terutama dalam masalah urusan beking membekingi. Citra yang boleh dianggap pengusaha kecil bisnis esek-esek tidak lepas dari beking, dan dia cukup cerdik untuk tidak hanya memegang satu orang. Ketika Gde berlaku kelewatan terhadap dirinya dan Tia beberapa waktu lalu, Citra memutuskan untuk membalas lewat jalan lain: menyingkirkan Gde dengan menggunakan Kris, bekingnya dari kesatuan lain. Rupanya Kris memilih membuat kerusuhan kecil untuk menyakiti sekaligus menyingkirkan Gde. Sambil Kris bercerita bagaimana dia merekayasa massa untuk menghajar Gde dan satuannya, kaki Citra terus mengelus-elus gundukan keras di balik selangkangan celana si perwira. Sementara itu Citra mengangkat sedikit demi sedikit tanktop-nya. Perlahan-lahan tampaklah sepasang payudara Citra yang bersahaja, dengan puting yang sudah mengeras. Kris menjulurkan tangan kanannya, menyentuh payudara Citra. Tangan Kris yang besar itu meremas kedua payudara Citra sekaligus, di bagian dalam tempat keduanya bertemu. Kris membuka sendiri resleting celana dinasnya dan mengeluarkan penisnya dari balik celana dalam, sambil terus menggenggam kedua payudara Citra. Citra mulai mengeluarkan suara merintih-rintih nikmat. Citra mengangkat sedikit lututnya supaya kakinya bisa lebih enak membelai-belai kemaluan Kris yang sudah terbebas. Mata Kris tak lepas-lepas dari kaki nakal Citra di selangkangannya.

“Ughh…” Kris menggerung ketika ereksinya diinjak lembut oleh Citra, penisnya ditekan ke perut oleh sekujur kaki Citra yang seperti memeluk batang itu.



Citra berposisi duduk mengangkang dan Kris bisa melihat bahwa di balik pantyhose Citra tak mengenakan celana dalam.  Citra meningkatkan gesekan kakinya, dan melihat tubuh Kris yang besar itu belingsatan seperti kesetrum.  Citra merasa menikmati posisi dominan itu, dia sebagai seorang perempuan bisa memain-mainkan tubuh seorang laki-laki yang kekar seperti Kris dengan kakinya, seolah seorang ratu dan budaknya.

“Ahh… Citra…” Kris terlihat tegang, wajahnya meringis.

Citra merayu, “Udah mau keluar, Mas…?”

“Erghh sialannn… Sini!”  Tanpa diduga, Kris bergerak.  Tangannya yang dari tadi bermain di dada Citra kini merenggut tanktop yang sudah menyangsang di atas payudara, menariknya dengan kasar sehingga Citra dipaksa merunduk ke depan.  Citra kaget, “MAS!!?? “

Dan teriakan berikutnya, “AHH JANGAN DI MUKA MASSS!!”

Citra, yang suka bersolek, memang tak suka orang berejakulasi di mukanya.  Dia memang sudah pernah melakukan segala macam hal, tapi ada beberapa yang dia kurang suka, salah satunya adalah apabila mukanya dinodai sperma. Seperti yang terjadi saat itu. Kris menarik Citra sampai dia tersungkur ke depan, tertelungkup di alas tempat tidur dengan muka menoleh, lalu Kris menekan kepala Citra sambil berejakulasi di pipi Citra yang berbedak dan berperona. Kris tertawa puas melihat Citra yang tak senang. Begitu dilepas, Citra langsung bangkit lagi, menyeka cairan berbau amis yang barusan mengotori pipinya, lalu menampar Kris.

“Sialan!” maki Citra, “Dari dulu kan gue udah bilang gak suka orang ngecrot di muka gue!”  Wajah Citra berubah marah.

Kris tidak ikut marah, dia terus tertawa-tawa setelah si pemilik salon memakinya. Dengan kalem dia membalikkan kata-kata Citra.

“Suka-suka aku mau ngapain kamu. Aku udah repot-repot ngebalesin dendam kamu sama si Gde kucrut itu, dan kamu tetep aja banyak maunya?”

Kris mendekat dan mencengkeram rahang Citra.

 “Hei, Citra,” katanya dengan dingin namun tegas.  “Aku tahu.  Pasti kamu juga ngelunjak begini sama Gde, kan? Aku nggak heran. Kamu tuh udah tau cuma lonte, tapi sombongnya kelewatan. Masih ngerasa kayak dulu ya?”



“Uhh…” Citra meringis, gentar.  “Terserah Mas mau bilang apa.  Urusanku sama Gde…”

“…sekarang jadi urusanku juga, kan?” Kris memotong.  “Inget, kamu yang datang ke aku, ngerayu-rayu minta aku ngasih pelajaran ke si Gde.  Aku udah kasih apa yang kamu mau. Jadi ya aku boleh ngapain aja, kan?”

Citra tertunduk.  Sebetulnya dia kesal, tapi Kris memang benar. Lagi-lagi posisi tawar Citra lemah.

“Ngerti?” tanya Kris lagi. Citra mengangguk.

“Kalau ngerti… sekarang kamu nungging.”

Citra patuh, dia pun berubah posisi jadi menungging di atas tempat tidur sementara Kris turun dan berdiri di sampingnya. Kris mendekati bagian bawah tubuh Citra, meremas pantat Citra yang kencang dan masih terbungkus pantyhose itu. Kris terkekeh.

“He he he… Asyiik, pantat lonte.”  Dia menampar pantat Citra dua kali. Citra mendengking kaget. Kris lalu memelorotkan pantyhose Citra sehingga pantat Citra tak lagi tertutupi, lalu kembali dia menampari pantat Citra. Setelah puas, tamparannya berubah menjadi elusan dan remasan. Kris lalu mengulum jarinya. Dengan membasahi jarinya seperti itu, sudah jelas apa yang mau dia lakukan. Citra diam saja ketika satu jari Kris memasuki vaginanya. Kemudian tidak cuma satu, tapi dua jari Kris bergerak keluar-masuk kewanitaan Citra.  Kris tersenyum puas melihat wajah Citra yang menatap kepadanya seolah memohon. Permainan jarinya membuat si pemilik salon itu terangsang.

“Ah… ahh…” Citra mulai mendesah-desah, wajahnya yang berias tebal berkerut menahan nafsu yang mulai meninggi.  “Ahhh…”

Kris menjolokkan satu lagi jarinya, sehingga kini jari tengah, manis, dan telunjuknya keluar-masuk di kemaluan Citra. Kris merasakan bagian itu makin lama makin basah, pertanda pemiliknya sudah terhanyut oleh birahi.  Kris makin kencang menyodok-nyodok Citra dengan ketiga jari tangan kanannya.  Citra berusaha meraih ke belakang dan menahan agar tangan Kris jangan terlalu kasar.



“Eit, mau apa?” Tangan kiri Kris yang belum melakukan apa-apa gesit menahan tangan Citra.  Citra tidak kuat melepaskan diri dari genggaman Kris.  Kris meregangkan jari-jari tangan kanannya, berusaha membuat kemaluan Citra melebar. Citra mulai merasakan orgasme akan datang selagi cairan vaginanya membasahi jemari Kris. Kris tertawa dan memasukkan satu lagi, jari kelingkingnya, ke dalam sana. Lagi-lagi dia berusaha merentangkan celah sempit yang dimasukinya selagi dia mendengar nafas Citra memburu.

“Hehehe… Udah mulai longgar lu Cit.  Empat jari gue bisa masuk.  Lu kayaknya sebentar lagi kadaluarsa nih?” Kris berkomentar menghina.

“Bangke,” Citra balas memaki.

“Lonte,” hardik Kris, “Sekarang lu diem.  Gue ga mau denger bacot lu, gue mau memek lu aja.”

Kris naik ke tempat tidur ke belakang Citra, dan kemudian menyorongkan penisnya yang sudah tegak lagi ke hadapan vagina Citra. Di ujung penisnya menitik cairan bening, pertanda Kris pun sudah tak tahan ingin melampiaskan nafsu.

“Ah… Hanhhh!” Citra melontarkan desahan ketika kejantanan Kris menembus kemaluannya.

Penis Kris meluncur dengan mudah ke dalam celah yang sudah basah dan teregang itu, menembus sampai pintu rahim. Citra tak diam saja, dia mendesakkan pantatnya menikmati ereksi Kris.

“Haa… haaahhh…” Bibir merah Citra menganga, mengeluarkan suara-suara penuh nafsu.

Tangannya mencengkeram seprai. Pinggul Kris maju-mundur mendongsok Citra. Kris makin bernafsu, dan dia berubah posisi. Tanpa mencabut penisnya, Kris turun dari tempat tidur sehingga dia berdiri di samping tempat tidur. Lalu kedua tangannya meraih kedua paha Citra, di bagian belakang lutut. Kris yang memang bertubuh kuat lalu mengangkut seluruh tubuh Citra, sehingga dia kini menggendong Citra di depan tubuhnya.



Keduanya melanjutkan persetubuhan dalam posisi yang tidak biasa itu.  Citra sudah seperti boneka yang digendong Kris, pasrah dalam lengan-lengan perkasa Kris yang mengangkut kedua pahanya, punggungnya bersandar ke dada Kris.  Tapi memang hubungan intim dalam posisi menggendong itu tidak gampang, karena penis Kris cuma bisa masuk sedikit, jaraknya terlalu jauh.  Akhirnya Citra dia taruh lagi di atas tempat tidur.

“Hihihi… Sok jago sih,” goda Citra selagi Kris mencabut kemaluannya dari lubang Citra.  “Kurang panjang tuh adeknya…”

Citra saat itu berposisi menyamping dengan lutut tertekuk, pantatnya berada di pinggir ranjang.  Dia melihat Kris masih ereksi dan siap memasukkan lagi… ke lubang pantat.

“Emm…” Citra mengernyit ketika Kris akhirnya menekankan kepala burung yang masih membesar ke pintu belakang. Vagina Citra sudah basah karena baru di-invasi, tapi pantatnya tidak siap.

“Gue masuk ya… Uh!  Ahh… Sempit!” kata Kris.

“Iiuhh!”  Citra terengah ketika kepala burung Kris tiba-tiba memaksa menerobos lingkaran duburnya.  Dia secara refleks berusaha menghindar, memang wajar kalau ada yang mencoba mendesakkan sesuatu ke dalam pantat.  Tapi Citra tak bisa ke mana-mana selagi Kris mendorong pinggangnya ke depan sambil menggerung keras.  Masuklah penisnya ke dalam lubang dubur yang tak sepenuhnya rela itu sedikit demi sedikit.

“Auh!  Enak bangett!  Pantat lu masih nggigit juga ya?” seru Kris sambil mengerang keenakan.

“Hssshh…” Citra mendesis, sakit campur enak, matanya berkaca-kaca ketika merasakan sepotong daging yang keras dan panas di saluran belakangnya.  Kris mulai bergerak maju-mundur menggempur pintu belakang Citra tanpa ampun, kantong bijinya menampar-nampar belahan pantat Citra. Untungnya bagi Citra, setelah dua-tiga menit rasa sakitnya berkurang menjadi sekadar rasa kurang nyaman. Pantatnya sudah bukan perawan sejak lama, jadi sudah tahu mesti bereaksi apa.

“Enak gak Cit?  Lu masih suka pantat lu dientot kan?” tanya Kris sambil terengah.

“Iyah… Terus!  Teruus!” Citra mulai merasa enak.  Bagian bawah perutnya mulai merasakan sensasi nikmat dan jantungnya berdebar.



Kris melambat, menarik keluar penisnya pelan-pelan lalu ketika nyaris keluar dia masuk lagi dengan cepat dan kasar.  Dan…

“Uh…hhh!”

Citra merasakan sesuatu yang panas menyembur di dalam pantatnya.  Kris ejakulasi.  Kedua tangan Kris mencengkeram belahan pantat Citra yang berada di atas, seolah mau menyempitkan saluran yang sedang dimasuki kejantanannya. Kris baru mencabut kemaluannya sesudah puas melampiaskan nafsu di dalam pantat Citra. Ia merasakan sebagian sperma Kris ikut meleleh keluar bersamaan dengan perginya penis Kris dari dalam pantatnya. Citra tetap berbaring menyamping, tidak langsung bangun.  Dilihatnya Kris mengambili tisu untuk menyeka badannya sendiri. Beking Citra itu kemudian membereskan lagi pakaiannya.

“Sesuai perjanjian kita kemarin, ya.  Besok-besok kalau aku datang, kayak gini lagi ya.”

Citra dengan cepat mengambil selimut dan melilitkannya di sekeliling badan, lalu berdiri mengantar Kris yang beranjak ke pintu ruangan.  Citra tersenyum sinis sambil menaruh tangannya di pundak Kris.

“Oke boss,” katanya dengan genit.

Kris membuka pintu, lalu berbalik dan mengecup pipi Citra. Laki-laki tegap itu kemudian menuju pintu keluar salon, tanpa mengacuhkan seorang laki-laki muda yang berdiri di tengah ruangan utama salon. Citra melotot melihat laki-laki muda itu.

“Bram?”

Memang masih jam kantor, tapi entah kenapa, Bram ada di salonnya. Adik Citra itu memejamkan mata dan geleng-geleng kepala melihat kakaknya yang cuma terbungkus selimut dan tadi dicium seorang aparat berseragam.



“Ya ampun, Kak…” keluh Bram.

“Apa sih?” Citra menoleh ke kanan-kiri dengan cuek, melihat ada satu bungkus rokok di atas meja, mengambil sebatang dan menjepitnya di bibir, lalu sibuk mencari korek api.

“Ada korek nggak?” tanya Citra kepada Bram.

“Kakak nggak pernah berubah, ya…” Bram tidak menanggapi pertanyaan kakaknya.

“Jangan sok kaget gitu lah,” kata Citra setelah menemukan korek gas di satu laci. Dia menyalakan rokoknya.

“Eh bukannya ini masih jam kerja?”

“Kak,” kata Bram dengan nada serius.  “Aku mau tanya.  Soal Tia.”

Citra membelalak tanpa berkata apa-apa.  Wajahnya berubah serius juga.

“…Kakak pake baju dulu deh, sebelum jawab,” usul Bram.  Risi juga dia melihat kakaknya cuma berbungkus sehelai kain.



*****

Sejam kemudian…



Bram sudah kembali ke kantor setelah tadi mampir sebentar ke salon kakaknya, tanpa mampir ke rumah. Kepalanya terasa agak berat setelah dia mendengar jawaban Citra.

Tia, sedang apa kamu?

Tapi dia tahu sebagian penyebabnya adalah dirinya sendiri. Begitu masuk kantor, Febby, sekretaris Mang Enjup, memanggilnya.

“Mas Bram!  Dicariin bos,” kata perempuan berkacamata itu.

Bram langsung menuju ruangan Pak Jupri alias Mang Enjup, atasannya.

“Nah ini baru dateng anaknya.  Ke mana aja kamu?  Kenalin, ini Pak Enrico,” kata Mang Enjup yang sedang menghadapi seorang tamu yang berpenampilan pengusaha.

“Bram,” Bram memperkenalkan diri.

“Enrico,” kata orang itu.

Pembicaraan dimulai. Enrico rupanya sedang menggagas kerjasama dengan Mang Enjup untuk membuka perwakilan perusahaan itu di daerahnya.  Menurut Enrico, produk perusahaan mereka belum banyak tersedia di sana.  Mang Enjup sudah mengontak bagian-bagian lain perusahaan untuk menceritakan rencana Enrico, dan perusahaan menyetujui. Maka sekarang persiapan pembukaan cabang bisa dimulai.

“Jadi, saya ngundang Pak Jupri untuk berkunjung ke kota saya, biar bisa lihat sendiri keadaan di sana. Sekalian nanti saya kenalkan dengan rekan-rekan kita dan juga pihak berwenang di sana—lumayan, buat memperlancar urusan kita,” kata Enrico.



“Pak Enrico, terima kasih undangannya,” jawab Mang Enjup.  “Saya senang sekali kalau bisa ke sana. Katanya di sana pembangunan mulai rame, ya?  Pasti beda dengan waktu dulu saya masih muda ke sana—dulu sepi!  Ah, tapi sayang saya lagi jalani pengobatan, tidak boleh pergi jauh-jauh untuk sementara waktu.”

Bram yang dari tadi mendengarkan langsung menoleh ke Mang Enjup. Dia tahu Mang Enjup sebenarnya tidak sedang menjalani pengobatan (masalah kesehatan Mang Enjup cuma ejakulasi dini saja). Kata-kata barusan itu sekadar alasan untuk…

“…jadi nanti biar yang ke sana Bram, sebagai perwakilan saya.  Dia sudah biasa ngurus semuanya.  Gimana Bram, kamu bisa kan?”

Bram tersenyum.  “Bisa,” jawabnya pendek.  “Kapan, Pak Enrico?”

“Dua hari lagi saya pulang ke sana.  Barangkali kita bisa bareng. Kira-kira perlu berapa hari?” kata Enrico.

“Seminggu?” Mang Enjup langsung memotong sebelum Bram menjawab.  Enrico mengangguk setuju.

Seminggu sebenarnya terlalu lama—Bram membayangkan, sekadar survei lokasi dan berkenalan dengan orang-orang setempat paling-paling perlu tiga hari.

“Oke, kalau begitu nanti saya kontak lagi Pak Bram untuk persiapannya.  Semuanya biar saya yang urus,” kata Enrico.  Kemudian Enrico pamit dan pergi.



*****
Tia

Tia

Malamnya, di rumah Bram dan Tia… “Mas mau pergi seminggu?” tanya Tia.  Bram berbaring di tempat tidur, sementara Tia duduk di depan meja rias.  Keduanya hendak beristirahat setelah seharian beraktivitas.

“Iya…” Bram menyebutkan nama kota tujuannya, yang terletak di pulau lain.  Dilihatnya wajah Tia seperti kurang senang.

“Ajak dong Mas…” pinta Tia manja.

“Yah, gimana ya… kayaknya nanti bakal sibuk urusan kantor di sana.  Ntar kamu malah nganggur di kamar hotel dong,” jawab Bram.  “Nanti kalau sempat cuti deh, kita ke sana. Katanya sekarang di sana rame, banyak tempat wisata, soalnya pembangunannya maju. Kepala daerahnya hebat.”

“Iih, curang,” Tia merajuk.  “Katanya cewek dari sana cakep-cakep, ya?”

“Terus?” Bram nyengir.  Tapi dalam hatinya, dia mulai bisa membaca isi hati Tia, karena dia sudah mendengar penjelasan Citra. Makanya dia tidak heran melihat Tia bukannya membersihkan muka untuk persiapan tidur, malah memulaskan lipstik tipis saja di bibirnya.

“Pasti kamu mau ditraktir cewek di sana… Iya kan?” kata Tia sambil beranjak dari meja rias, lalu menghampiri suaminya di tempat tidur.

Bram tersenyum melihat istrinya, perempuan cantik yang malam itu berdaster kuning, berias wajah tipis, dan berbau wangi. Jelas Tia tidak ingin langsung tidur…  Tia berbaring menyamping, menghadap Bram, memberikan ciuman mesra kepada suaminya.

“Yah… kamu tahu kan, biasa orang bisnis, entertain-nya gimana,” Bram tidak berusaha mengelak. Toh Tia sudah tahu salah satu kelemahannya. Bram merasakan tangan Tia menyelip ke balik celananya.  “Eh…”

Tangan Tia terasa licin.  Licin dan mulai membelai-belai kemaluan Bram.  Bram merangkul istrinya dan mencium kening Tia.

“Hayo… mau ngapain tangannya di sana…” goda Bram.

Tia membalas dengan mengecup bibir Bram lalu menarik ujung kaos Bram, menyingkap tubuh atas Bram. Sementara itu Tia terus menciumi tubuh suaminya, dari bibir turun ke dagu, rahang, leher.



Bram menahan nafas. Ia sekarang paham sebagian besar ceritanya.  Perubahan Tia sesudah memergoki kebiasaan buruknya itu sebagian disebabkan Citra juga. Citra bercerita bagaimana Tia minta saran agar Bram tidak perlu lagi melirik perempuan lain. Dan kakaknya itu, yah, sudah tahu apa yang Bram suka. Jadilah Citra membantu Tia membentuk-ulang dirinya agar lebih bisa memenuhi impian Bram. Misalnya seperti yang terjadi sekarang. Sebelumnya, Tia sangat konservatif dan lebih banyak pasif di ranjang. Sekarang, Tia dengan genitnya merayu dan menggerayangi Bram.  Aksinya sudah tidak kalah dengan perempuan-perempuan penghibur yang dulu (dan kadang sekarang) memberi Bram kenikmatan badan. Tia yang dulu tidak terpikir melakukan apa yang dilakukannya kini. Tangan Tia sudah menyentuh kemaluan Bram yang sedikit tegak, jari-jari Tia merangkum batang Bram. Tia mulai membelai-belai organ intim suaminya, dari bawah ke atas dan kembali lagi, dan membuatnya tegang sempurna.  Bram tersentak sedikit ketika kocokan Tia makin cepat.

“Ah…”  Bram melihat istrinya melirik nakal dan kembali mencium bibirnya.  Ah, betapa manis bibirnya.  Ah… dia kok jadi jago ngocok juga?

“Pelan… sayang…” bisik Bram.

Tia mengabulkan permintaan itu dan mengurangi intensitas kocokannya.  Bram tadi sudah nyaris keluar, tapi dia tidak ingin buru-buru.  Tangan Bram mencengkeram lengan atas Tia, wajahnya terlihat berusaha menahan kenikmatan, sementara rambut panjang Tia menyapu hidung Bram selagi Tia mengulum salah satu telinga Bram.  Beberapa waktu lalu, Tia sempat memberikan servis ‘mandi kucing’, dan Tia baru menemukan bahwa Bram punya titik sensitif di sana. Bram mengerang keras selagi Tia kembali kencang mengocoknya. Percikan-percikan cairan hangat lengket melompat keluar dari ujung penisnya dan mendarat di mana-mana, di kaos dan dada Bram, di daster Tia, di seprei. Tia tak melepas dan terus mengocok sampai ejakulasi Bram selesai.



“Yah… berantakan nih.  Kamu sih nakal, gak bilang-bilang dulu,” goda Bram sambil menikmati perasaan keenakan.

“Habisnya Mas Bram mau pergi… jadi ya mumpung sempat sama Mas Bram,” jawab Tia.

Tia sendiri merasakan putingnya mengeras dan selangkangannya membasah. Membuat suaminya bisa orgasme dengan tangan sudah cukup merangsang baginya, dan andai Bram mau melanjutkan, dia merasa dia bisa langsung ‘dapat’. Bram meraih wajah Tia. Ciuman yang menyusul sungguh panas. Lidah mereka berdua saling menjelajah, tetap seperti menemukan hal-hal baru walau keduanya sudah berkali-kali berciuman.

“Beresin dulu nggak?” goda Tia.

“Nggak usah, kan mau dilanjutin?” Bram menanggapi.

Detik berikutnya Tia didorong sehingga telentang, kedua pergelangan tangannya ditahan kedua tangan Bram, kedua lutut Bram mengepit kedua pahanya.

“Aku kan masih dua hari lagi perginya, sayang,” kata Bram pura-pura tak butuh.

“Biarin aja… Mas…” Bram melihat Tia menggigit bibir kemudian kembali berkata. “Mas aku pengen…”

Bram tidak perlu diminta lagi. Sedetik kemudian tubuh keduanya sudah bersatu.



*****

Pagi, dua hari kemudian…



Bram mencium kening istrinya lalu masuk ke dalam mobil dan memundurkan mobil keluar garasi. Dalam beberapa menit, dia sudah di jalan menuju bandara, hendak berangkat ke kota tempat Enrico akan membuka cabang baru perusahaan. Diiringi lambaian tangan Tia, Bram meninggalkan rumah.  Pinggang Bram terasa agak pegal dan matanya masih mengantuk. Kemarin malam dia tidak sempat cukup tidur karena Tia terus mengajaknya bercinta. Dan pagi itu, dia jadi enggan meninggalkan istrinya yang cantik itu lama-lama. Tapi tugas kantor harus dijalankan. Setibanya di bandara, Enrico sudah ada di sana dan menyambut Bram. Keduanya segera bergerak ke dalam untuk boarding. Satu jam kemudian Bram sudah duduk di pesawat, memejamkan mata dan berusaha memimpikan Tia.



*****

Dua, tiga jam sesudah Bram pergi, Tia resah sendiri di rumah. Bukan pertama kali dia ditinggal Bram pergi bertugas ke luar kota, tapi entah kenapa, kali ini terasa ada yang tak tertahan. Apalagi karena sejak dua hari lalu, malam-malam di kamar mereka tak pernah sepi… Entah kenapa, Tia merasa sangat bergairah dan terus berusaha mencari kenikmatan. Itu semua terjadi sesudah Tia berkonsultasi dengan Dr. Lorencia, yang tanpa sepengetahuannya telah memperkuat sugesti yang ditanamkan Mang Enjup. Sebelum Bram berangkat, tadi Tia masih sempat memberi kenikmatan kepada suaminya dengan memberi blowjob di kamar mandi. Hampir saja Tia membuat Bram telat pergi karena dia mengajak suaminya bercinta sekalian.  Tapi Bram masih bisa mengendalikan keadaan dan mengingatkan Tia. Tia menyentuh bibirnya sendiri dan mengulum jari telunjuknya, membayangkan kejantanan Bram yang tadi ada di dalam mulutnya, mengingat rasa benih suaminya yang tadi keluar di sana. Sambil duduk sendirian di sofa ruang tengah, Tia membayangkan adegan tadi pagi. Tangannya yang satu lagi bergerak ke kemaluannya sendiri untuk masturbasi. Celana dalamnya sudah basah lagi, terbawa khayalannya dan hasrat yang belum kesampaian.

“Emmh… Mas… Mas Bram…” Tia menggumamkan nama suaminya ketika dia merangsang dirinya sendiri, matanya setengah terpejam dan kepalanya rebah ke sandaran sofa selagi jari-jarinya bergerak keluar masuk liang kewanitaannya.

Tapi Tia tak kunjung mendapat orgasme.  Yang dia inginkan bukan jarinya sendiri, melainkan kejantanan, kejantanan Bram…atau siapapun.

“Ohh,” keluh Tia yang frustrasi, terhenyak di sofa dengan tak puas.

Dia menyerah dan berusaha melupakan hasrat yang mengganggu pikirannya dengan melakukan kegiatan lain. Tia mulai membereskan rumah, menonton TV, menyiapkan makan siang untuk dirinya sendiri. Setidaknya ada kesibukan, walau perasaannya masih terasa terganjal. Seminggu. Tanpa Bram. Kenapa sekarang terasa susah sekali dilalui? Jam-jam berlalu. Ada telepon dari Bram, mengabarkan dia sudah sampai di tujuan. Pembicaraan hanya singkat karena Bram keburu dijemput oleh rekan kerja di sana.  Sesudahnya, Tia kembali bermasturbasi, tapi dia gagal lagi mencapai klimaks.



*****

Sore menjelang malam.



Tia makan malam sendirian. Sesudah makan, cuci piring, lalu beberes.  Lalu… apa? Tia menyalakan televisi. Hanya berita atau sinetron. Tidak ada yang menarik untuk ditonton. Apa telpon Citra saja supaya ada teman bicara? Terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Ada tamu? Mengintip dari balik jendela depan, Tia melihat tiga orang keluar dari mobil itu. Salah seorangnya Mang Enjup. Ketiganya membuka pintu gerbang dan langsung menuju pintu rumah, lalu mengetok pintu. Tia yang sudah di dekat pintu langsung membukakan pintu.

“Puuunten,” Mang Enjup memberi salam.

“Eh, Mang Enjup.  Ada apa, Mang, tumben mampir ke rumah?  Ayo, ayo masuk.”

Mang Enjup didampingi dua anak buahnya—Danang yang urakan dan Reja yang tegap.

“Mangga calik,” Tia mempersilakan tamu-tamunya duduk.  “Sebentar, saya bikin teh dulu.”

“Aduh, ngga usah repot-repot,” Mang Enjup berbasa-basi, tapi membiarkan saja Tia pergi ke belakang untuk membuatkan minum.

Danang dan Reja duduk di sofa, senyam-senyum karena masih ingat apa yang terjadi terakhir kali mereka datang ke rumah itu. Lima menit kemudian Tia keluar membawa baki dengan tiga cangkir teh hangat di atasnya.  Dengan cekatan Tia menyuguhkan minum kepada ketiga tamunya. Ketika Tia duduk kembali, Mang Enjup langsung membuka pembicaraan. Mang Enjup sengaja menggeser posisi duduknya sehingga berada di sebelah tempat duduk Tia.

“Lagi sepi ya, si Aden baru pergi kan,” kata Mang Enjup, merujuk ke Bram.  “Neng Tia enggak kesepian kan?”

“Ah, nggak Mang…” kata-kata Tia tidak sesuai dengan isi hatinya.  “Udah biasa kan kalau Mas Bram pergi keluar kota.”



“Gini,” kata Mang Enjup.  “Besok malam teh ada undangan dari Bapak Walikota.  Pesta apa selametan atau semacamnya.  Beliau ngundang orang-orang bisnis juga, termasuk dari perusahaan-perusahaan rekanan pemda.  Perusahaan kita diundang juga.”  Sebagai putri seorang pengusaha, Tia paham bahwa acara Walikota itu bukan pesta biasa, melainkan ajang lobi bisnis.

“Tadinya Mang mau ajak si Aden ke sana,” kata Mang Enjup, “tapi rupanya ada tawaran dari luar kota yang harus diurus juga, jadi Mang dan dia bagi tugas, dia keluar kota, Mang urus Pak Walikota.  Cuma tadi teh Mang kepikiran, gimana kalau ajak Neng Tia sekalian?  Kan Neng Tia juga penerus perusahaan kita, jadi ada baiknya mulai jalin kontak bisnis.  Banyak gunanya buat nanti.  Ya biar kenal sama sesama pengusaha, pejabat, anggota DPRD, dan pastinya Pak Walikota. Mau ikut kan?”

Tia mengangguk setuju. Kata-kata Mang Enjup memang masuk akal. Dia dan Bram sama-sama disiapkan untuk mewarisi perusahaan orang tua mereka, jadi sudah kewajibannya untuk mempersiapkan diri agar bisa melakukan tugas itu sebaik-baiknya. Mang Enjup tidak berlama-lama. Sesudah berbasa-basi sedikit, dia pamit pulang. Mang Enjup bilang akan menjemput Tia besok sore. Tia mengantar para tamunya keluar sampai ke pintu pagar, lalu masuk kembali. Di dalam mobil, Danang mengeluh kepada Mang Enjup.

 “Mang, udah begitu aja?  Si Tia nggak kita apa-apain?”

“Hush!”  Mang Enjup menghardik.  “Ngga sabaran amat sih?  Tunggu ajah.  Nanti juga kalian kebagian lagi.  Sekarang kita pulang.  Reja!  Ayo jalan.”

Mobil melaju meninggalkan rumah Tia.



*****

Besok sorenya…



Setelah menerima telepon dari Mang Enjup yang mengatakan akan menjemput dua jam lagi, Tia langsung bersiap. Penjelasan Mang Enjup kemarin membuatnya merasa bertanggungjawab untuk memberi kesan baik.  Siapa tahu dari orang-orang yang ditemuinya malam itu, akan ada yang jadi rekan bisnis masa depan. Mengenakan kebaya sutra tipis panjang bersulam warna emas di atas kemben berwarna sama, dipadu rok panjang batik yang tidak mengekang namun tetap bernuansa etnis, Tia tampak anggun menawan. Mang Enjup yang datang menjemputnya, lagi-lagi bersama Danang dan Reja, tidak bisa tidak menyatakan kekaguman.

“Uwaaah… meni geulis pisan euy, si Neng,” Mang Enjup memuji.

Tia tersipu dipuji seperti itu. Mang Enjup langsung mengajak pergi.

“Ayoh kita berangkat.”

Mang Enjup sendiri mengenakan kemeja batik dan celana panjang hitam, sementara Danang terlihat tidak cocok mengenakan kemeja putih lengan panjang, dasi, rompi, dan celana bahan. Reja hanya berkaos dan bercelana jeans—dia sadar bahwa sebagai sopir paling-paling dia cuma bakal menunggu di tempat parkir. Malam itu rumah dinas Walikota menjadi ajang suatu pesta.  Sebenarnya alasan pesta itu diselenggarakan tak begitu jelas, hanya saja melihat dari daftar tamu yang mencakup para pejabat, anggota DPRD, pengusaha, dan profesional, sebagian besar yang hadir sudah maklum bahwa pesta itu ada hubungannya dengan tender suatu proyek besar yang akan dilaksanakan beberapa hari mendatang.  Suasana pesta yang formal namun akrab pun menjadi ajang penguasa dan pengusaha saling mendekat, menjalin hubungan, dan di balik itu semua berusaha mendapatkan keuntungan dengan cara halal maupun lainnya. Di antara dekorasi indah, karangan bunga, makanan lezat, dan minuman mahal, manusia-manusia berkepentingan saling berbaur dan berbincang. Tiada yang gratis di dunia, bahkan di tengah pesta.



Ini bukan pertama kali Tia hadir dalam pesta kalangan atas, tapi baru kali ini dia hadir sebagai seorang “ahli waris bisnis”. Dia memandangi orang-orang yang ada dengan antusias. Banyak sekali laki-laki berumur 40-an ke atas dalam setelan yang terlihat mahal atau batik sutra. Ada juga beberapa laki-laki muda yang terlihat perlente. Tamu-tamu perempuan yang hadir semuanya tampil gemerlap, dengan gaun mahal dan perhiasan berkilauan.  Kebanyakan tamu perempuan juga berumur 40-an ke atas, mungkin mereka juga adalah pejabat atau pengusaha atau istri pejabat/pengusaha. Kehadiran Tia sendiri justru menarik perhatian. Ketika Mang Enjup, Tia, dan Danang masuk ke ruangan, tetamu langsung menengok dan tidak bisa melepaskan pandangan dari perempuan anggun yang baru hadir. Tia yang anggun dalam kebaya emasnya langsung menjadi pusat perhatian, dan terdengar gumaman serta decak dari sebagian tamu. Dan entah berapa pembicaraan bisnis yang tersela, tergantikan kekaguman. Baik kekaguman yang menghormati, maupun yang membayangkan hal yang tidak-tidak. Mang Enjup yang luas pergaulannya memperkenalkan Tia ke sana-sini. Ini anggota DPRD; ibu ini guru besar kedokteran di universitas; suami-istri itu pengusaha ekspor-impor; bapak itu kepala dinas. Semua perkenalan berlangsung singkat, Tia sampai kerepotan mengingat nama mereka semua. Setiap kali, Mang Enjup selalu memperkenalkan Tia sambil menyebut orangtuanya, Bram, dan orangtua Bram.  Banyak yang langsung paham apa arti semua itu, dan biasanya mereka akan mengangguk-angguk setuju. Tia adalah calon penerus bisnis orangtuanya, salah satu bisnis besar di kota itu dan daerah-daerah lain.

“Hei, Tia!” terdengar panggilan akrab.

Tia menoleh dan melihat Dr. Lorencia yang juga hadir di pesta itu. Dr. Loren memuji kebaya dan kecantikan Tia—sambil tangannya seperti mau menggerayangi Tia. Bagi yang tidak tahu orientasi si psikolog spesialis, kelihatannya seperti dua perempuan yang bersahabat akrab. Tapi sentuhan Dr. Loren jelas tidak cuma menyampaikan keakraban.



Mang Enjup tidak menunjukkan bahwa dia kenal Dr. Loren, tapi sempat memberi isyarat kepada perempuan berkacamata itu agar tidak menahan Tia, karena ada urusan lebih penting. Tia dan Mang Enjup meninggalkan Dr. Loren, dan Tia bilang nanti dia akan ngobrol lagi dengan Dr. Loren. Tapi Danang, yang dari tadi mengintil Mang Enjup tanpa diperkenalkan ke siapa-siapa, tetap bersama Dr. Loren dan mengajak ngobrol. Mereka berdua sudah saling kenal rupanya. Di tengah ruangan dalam rumah dinas Walikota, Mang Enjup mengantar Tia berkenalan dengan Pak Walikota. Tia sudah sering melihat wajah Pak Walikota di televisi dan koran, tapi dia merasa baru satu kali bertemu dengan pejabat itu. Pak Walikota bertubuh tegap dan besar; dia mantan perwira yang kemudian masuk ke partai politik dan memenangkan pemilihan kepala daerah tahun lalu. Umurnya kira-kira 50-an, dengan rambut mulai beruban, tapi wajahnya masih terlihat ganteng. Dia menjabat tangan Tia dan tersenyum lebar. Jabat tangannya erat dan lama sekali, seolah dia tak mau melepas tangan Tia; tindakannya itu disaksikan oleh seorang perempuan setengah baya bertubuh gemuk yang berdiri di sampingnya dan mengenakan kebaya mewah, dengan rambut disasak dan beruntai-untai kalung di lehernya. Perempuan itu istri Pak Walikota.

“Senang bisa kenalan dengan Bu Tia,” kata Pak Walikota.

“Sama-sama, Pak,” jawab Tia sopan.

“Bu Tia masih ingat tidak?  Waktu Bu Tia menikah dengan Pak Bram, saya datang,” kata Pak Walikota.

Tia diam saja, dia sendiri tak yakin apa dia ingat pernah bertemu dengan Pak Walikota sebelumnya. Pak Walikota terus berusaha memperpanjang pembicaraan, dengan menyebut bahwa dia kenal orangtua Tia dan Bram.  Tia hanya mengangguk-angguk.

“…saya sudah lama tidak ketemu bapak Bu Tia.  Tolong kasih tahu ya kalau Bapak sedang ada di sini.  Saya pingin ajak ngobrol dia,” pinta Pak Walikota.

“Iya, Pak,” ujar Tia singkat.

“Tapi saya sudah senang kok bisa ketemu lagi dengan putrinya.  Tidak sangka, ternyata cantik sekali.  Bapak dan Ibu pasti bangga,” Pak Walikota berusaha memuji.



Mang Enjup masuk ke dalam pembicaraan, membawa topik tender proyek yang akan dilaksanakan beberapa hari lagi. Pak Walikota dan Mang Enjup membahas itu, sementara Tia dan istri Pak Walikota jadi penonton. Lalu beberapa orang lain datang mendekat.

“Hai… Pak Jupri mau nyolong start rupanya,” kata seorang laki-laki bertubuh kecil, berkulit kuning, bermata sipit, yang datang dari belakang Mang Enjup.  Dia merangkul Mang Enjup dengan gaya sok akrab, lalu menoleh ke Pak Walikota. Mang Enjup mengomentari orang baru itu.

“Hahaha… Koh Simon bisa aja.  Kan tadi situ yang udah duluan ngobrol.  Siapa dong yang nyolong start?” Mang Enjup menyindir laki-laki kecil itu, yang bernama Simon Sunargo, seorang pengusaha yang juga ikut tender proyek.

Tapi selagi dua orang itu saling sindir, datang lagi seorang laki-laki berjas biru yang mengabaikan keduanya dan langsung menjabat tangan Pak Walikota.

“Selamat malam, Pak.  Maaf saya baru datang.  Biasa, gandengan saya kelamaan dandan,” kata laki-laki berjas biru itu, yang lebih muda daripada Mang Enjup dan George.

“Saya dari tadi udah tanya-tanya, Majed ke mana.  Rupanya nungguin gandengan,” celetuk Pak Walikota menyambut laki-laki muda itu, yang bernama Majed.  Majed berpenampilan seperti orang asing, tubuhnya jangkung, hidungnya mancung, wajahnya brewokan tapi ganteng.  Kontras dengan Mang Enjup yang sudah tua dan gemuk, atau Simon yang kurus kecil. Dan Majed juga salah seorang peserta tender.

“Gandengannya ganti lagi, Jed?” komentar Pak Walikota melihat sosok yang menggelayut di lengan Majed, seorang perempuan berkulit sawo matang, tapi tidak tampak seperti pribumi. Tubuhnya berbentuk seperti gitar Spanyol dengan dada besar, pinggang ramping, dan pinggul seksi. Perempuan itu berbicara sedikit ke Majed. Celetukannya, berbahasa Spanyol juga. Majed membisikkan sesuatu dan perempuan itu tertawa. Majed memperkenalkan gandengannya itu.



“Kenalkan, Pak, ini Gaby.  Lengkapnya Gabriela Iffa Almaraz. Latino tapi masih ada keturunan Timur Tengah, kayak penyanyi itu, Shakira.  Dia dikirim sama kantor pusat di Amerika buat training setahun di kantor cabang Indonesia, terus saya yang suruh handle.”

Majed memang mewakili perusahaan internasional yang juga bersaing dengan perusahaan orangtua Tia dan perusahaan Simon di tingkat lokal.  Penjelasan Majed mengenai asal-usul Gaby terkesan dibuat-buat, tapi Pak Walikota tak memusingkan itu; dia sibuk memandangi rambut coklat panjang dan mata kelabu-biru Gaby. Simon yang diserobot kesempatannya oleh Majed tiba-tiba mengangkat telepon selulernya, memencet satu nomor, lalu menelepon.  Mang Enjup menguping pembicaraan singkat Simon.

“Ada di mana… Ayo sini cepet!” yang kemudian dilanjutkan beberapa patah kata bahasa Cina.

Tak lama kemudian muncullah seorang perempuan bertubuh langsing dan berwajah menarik, ras oriental.  Dia mengenakan baju sutra longgar dan celana panjang, rambut hitamnya dikepang satu di belakang kepala dan dihias jepit besar berbentuk anggrek. Simon memperkenalkannya kepada Pak Walikota sebagai “asistennya yang baru”, Shenny. Dengan kehadiran Shenny, jadilah Pak Walikota dirubung tiga laki-laki, juga tiga perempuan cantik: Tia, Gaby, dan Shenny. Entah kapan, istri Pak Walikota sudah tidak berada di samping suaminya, memilih untuk mengobrol dengan sesama istri pejabat daripada harus menemani suaminya. Tia menyimak obrolan Pak Walikota dengan Mang Enjup, Simon, dan Majed. Dia merasa perlu terlibat dengan urusan proyek itu. Ditangkapnya berbagai hal yang tersirat; bahwa ketiga orang itu sebelumnya bekerja sama melobi DPRD sehingga menggolkan proyek besar yang akan ditender, namun sekarang ketiga pihak akan melupakan kerjasama dan bersaing dalam tender. Ketiganya sama-sama licin dalam berkata-kata, hampir tak pernah keceplosan mengumbar maksud dan siasat di depan lawan-lawannya.

“Oke, keputusannya tiga hari lagi.  Negosiasi final dengan Anda bertiga akan saya lakukan sehari sebelumnya.  Nanti lokasi dan waktunya akan diberitahu asisten saya,” Pak Walikota menutup pembicaraan dengan mereka bertiga, lalu pamit untuk beralih mengobrol dengan tetamu lain.  Bu Walikota entah sudah ada di mana. Tiga laki-laki dan tiga perempuan itu pun bubar.



“Neng, tadi ikut denger obrolan kita kan?” tanya Mang Enjup.

“Iya, Mang,” jawab Tia.  “Perusahaan kita bakal bersaing dengan perusahaannya Pak Simon dan Pak Majed itu di tender.”

“Nah, Neng Tia, Mang tuh sebenarnya pengen minta bantuan. Selama ini Mang dan Bram sudah usaha keras supaya kita bisa menang. Sekarang tinggal satu tahap lagi.  Kalau pertandingan bola, kita udah masuk final.  Tinggal gimana supaya kita menang juga di final. Makanya… Bram kan lagi tidak di sini, padahal masih ada satu negosiasi lagi sebelum keputusan.  Boleh tidak kalau Mang minta Neng Tia bantuin Mang di negosiasi terakhir itu?”

Mang Enjup mengatakan itu sambil menatap wajah Tia dan tangannya mengurut-urut lengan Tia; tanda dia menggunakan sedikit keahlian gendamnya. Tia merasa sudah sewajarnya dia ikut terlibat, jadi dia pun mengangguk setuju.

“Boleh Mang… Nanti Tia bantuin sebisanya, apa aja, supaya perusahaan kita yang dapat proyeknya,” ujar Tia.

“Hatur nuhun, geulis,” kata Mang Enjup.  “Nah, ini sudah malam.  Mang mau pulang. Tia mau pulang juga, atau masih mau di sini?”  Mang Enjup melepas pegangannya dari Tia, menghentikan upaya mempengaruhi.

“Emm…” Tia memperhatikan sekelilingnya.  Sebenarnya malam belum larut, baru sekitar pukul 9, dan dia juga kesepian di rumah.  Tadi dia belum sempat ngobrol dengan Dr. Lorencia.  “Tia belakangan aja deh, Mang.”

“Ya udah.  Mang pulang dulu sama Reja, nanti Reja Mang suruh balik lagi ke sini buat nganter pulang Neng Tia. Danang mah biarin aja di sini dulu.”

Mang Enjup kemudian meninggalkan rumah dinas walikota untuk pulang bersama Reja ke rumahnya sendiri yang tidak jauh dari sana.



Tia kembali beredar dan melanjutkan obrolan dengan beberapa orang di sana. Ada seorang temannya waktu kuliah yang hadir juga di sana, mendampingi suaminya yang menjadi pejabat menengah setempat.  Temannya itu menanyakan Bram. Tia bilang Bram sedang tugas kantor di luar kota. Mereka mengobrol, memuaskan rasa kangen sesudah beberapa lama tak bertemu. Di tempat lain, Danang memanfaatkan kesempatan mencicipi berbagai suguhan, termasuk minuman keras, di pesta itu.  Sekarang efek alkohol dan membuat dia merasa gerah. Ditambah lagi, sedari tadi dia menyaksikan bahwa sebenarnya banyak juga “pemandangan indah” di pesta itu. Ada perempuan-perempuan muda dan cantik di antara para tetamu. Di antaranya Gaby Almaraz yang dibawa Majed, dan Shenny asisten Simon. Dan tentunya Tia. Tadi Danang sempat mengobrol dengan Dr. Lorencia. Mereka berdua sudah kenal sebelumnya, karena Danang sering ikut ke mana pun Mang Enjup pergi. Termasuk ketika beberapa waktu lalu Mang Enjup meminta Dr. Loren menggarap kesadaran Tia. Danang tahu mengenai ilmu gendam Mang Enjup, bahkan dia pernah minta diajari, tapi ternyata dia tidak berbakat. Makanya dia iri kepada Dr. Loren yang bisa menyerap ilmu pamannya. Keduanya tadi mengobrol banyak, dan akhirnya mereka jadi saling tahu pengalaman masing-masing dengan Tia. Danang masih penasaran dengan Tia. Kemarin dia kesal sekali waktu ikut datang ke rumah Tia tapi tidak terjadi apa-apa. Sekarang apalagi. Melihat Tia, ditambah efek alkohol, membuat Danang belingsatan menahan sange. Danang sebenarnya pengecut, dia tidak berani mengapa-apakan Tia kalau sendirian.  Tapi begitu tadi bertemu Dr. Loren dan berbagi cerita, segera muncul rencana di kepalanya untuk bisa meniduri Tia malam itu. Dia tahu Dr. Loren juga berminat dengan Tia. Jadi, begitu melihat Tia ditinggal Mang Enjup, Danang langsung mendekati Dr. Loren lagi. Keduanya punya keinginan yang sama, jadi bisa bersepakat. Waktu Tia terlihat mendekati Dr. Loren, Danang menyingkir.



Tia dan Dr. Loren mengobrol lagi, agak berbisik-bisik. Dr. Loren menanyakan apakah Tia masih ada masalah dengan traumanya. Tia menjawab sudah tidak ada masalah. Obrolan mereka tidak berlangsung lama karena Dr. Loren bilang dia mau pulang, naik taksi. Tia menanyakan alamat rumah Dr. Loren; ternyata sama dengan tempat praktiknya. Karena arah pulang mereka sejalan, Tia menawari Dr. Loren pulang bareng. Dr. Loren menyanggupi. Tia melihat Danang tidak jauh dari sana lalu memanggil Danang, menanyakan apakah Reja sudah balik lagi dari mengantar Mang Enjup. Danang menelepon sebentar lalu bilang Reja sudah ada di tempat parkir lagi. Sesudah berpamitan dengan Pak Walikota dan orang-orang lain, Tia menuju pintu keluar diikuti Dr. Loren dan Danang yang saling pandang sambil cengar-cengir. Tidak cuma Mang Enjup yang jago menjerat orang—mereka berdua juga bisa. Di depan pintu, Reja sudah menunggu dengan mobil Mang Enjup. Si sopir membukakan pintu belakang untuk Tia dan Dr. Loren, sedangkan Danang duduk di kursi depan. Mobil segera bergerak meninggalkan rumah dinas walikota. Sambil jalan, Dr. Loren melanjutkan obrolan dengan Tia, sementara Danang dan Reja diam saja.  Mobil menuju rumah Dr. Loren. Tapi Dr. Loren lantas bicara sambil tangannya menggenggam pergelangan tangan Tia.

“Tia, aku pengen mampir ke rumahmu, boleh nggak?”  Sambil mengatakan itu Dr. Loren tiba-tiba menyentak halus tangan Tia—satu teknik untuk menjatuhkan sasaran ke dalam keadaan setengah terhipnotis.

“Iya… Boleh…” kata Tia.  “Kita ke rumahku dulu deh…”

Danang menengok ke belakang dan nyengir. Reja mengarahkan mobil ke jalan menuju rumah Tia.



*****

Dr. Lorencia

Dr. Lorencia

Singkat cerita, mereka semua tiba di rumah Tia dan turun. Tia masih dalam keadaan setengah terhipnotis dan sama sekali tidak curiga akan maksud Danang dan Dr. Loren. Tadi di mobil, Dr. Loren sudah memberi sugesti,

“Kamu mau turuti semua yang kami suruh, kan?” dan Tia menyanggupi.

Dan sejak di mobil Dr. Loren sudah mulai menggerayangi Tia, mulai dari meremas-remas paha, meraba leher, sampai mengulum telinga Tia.  Tia bereaksi dengan tertawa kegelian dan mendesah.  Danang bolak-balik menengok untuk curi pandang, tapi Dr. Loren selalu memelototinya kalau dia ketahuan. Waktu mereka masuk rumah, Tia sudah terangsang berat gara-gara Dr. Loren. Keadaan itu, ditambah pengaruh hipnotis, membuat dia mau saja disuruh menunjukkan kamar tidurnya. Dr. Loren menggiring Tia ke kamar tidur, diikuti Danang dan Reja. Dr. Loren menengok ke arah dua laki-laki itu dan berkata,

“Aku duluan, dan jangan coba-coba ikutan.  Sori, aku nggak suka cowok.  Kalau ada yang berani ikutan, bakal kuhipnotis jadi banci. Silakan nonton tapi jangan ada yang macam-macam.”

Danang nyengir mendengar ancaman itu, tapi menganggapnya serius, karena sudah melihat bagaimana Dr. Loren bisa membuat Tia mengikuti semua kata-katanya. Tia duduk di pinggir tempat tidur, masih berkebaya lengkap. Loren menyuruhnya membuka baju. Dengan patuh, Tia membuka kebaya, rok panjang, dan kembennya, sampai hanya tersisa celana dalam G-string dan bra. Sementara itu Loren membuka-buka lemari pakaian Tia, mencari sesuatu.

“Tia,” kata Dr. Loren, “Merem.”  Tia menurut dan memejamkan mata.

Loren sudah mengambil beberapa syal dari dalam lemari, lalu mengikatkan satu syal sehingga menutupi kedua mata Tia. Loren lalu mendorong Tia sehingga Tia rebah di tempat tidur. Kemudian Loren mengikat kedua pergelangan tangan Tia dengan syal lain. Loren tersenyum dan menjilat bibir.



Loren kemudian membuka seluruh pakaiannya sampai telanjang, tanpa peduli Danang dan Reja berdiri menonton di belakangnya. Dia lalu berlutut di tempat tidur dan menyibak kedua paha Tia. Loren membungkuk ke depan, ujung-ujung jarinya menggerayangi leher Tia. Dia bisa merasakan nafas Tia mulai memburu. Jemari Loren terus menyusuri sekujur tubuh Tia, tanpa menyentuh payudara Tia. Lalu dengan cekatan Loren mencopot kancing bra Tia. Payudara Tia tumpah keluar. Loren menundukkan kepala, dan memasukkan satu puting Tia ke mulutnya. Tia mengerang keenakan. Loren pindah ke payudara satunya sambil mengelus-elus sekujur tubuh Tia. Puting Tia mulai mengeras. Loren lalu beralih ke bagian bawah tubuh Tia dan melepas celana dalam Tia. Tia terus mendesah dan merintih, ingin lebih.  Setelah membuka celana dalam Tia, Loren memperhatikan vagina Tia yang sudah basah. Loren memasukkan satu jari, kemudian dua jari ke sana. Tia bereaksi dengan menggerakkan panggulnya menanggapi colokan jari Loren.  Loren mencabut jemarinya dan mulai menciumi perut Tia, makin lama makin ke bawah.  Dia mencapai kemaluan Tia dan mulai menjilati klitoris Tia. Tia mulai tegang. Lidah Loren menjalar menyapu bibir kewanitaan Tia, kemudian keluar-masuk rekahannya. Makin lama suara Tia makin kencang. Dua jari Loren kembali masuk ke kemaluan Tia yang becek. Tia tersentak dan menjerit kaget, diikuti tarikan nafas panjang yang gemetar. Bibirnya tersenyum lebar.

“Mau diteruskan?” tanya Loren.

“Iya…” jawab Tia.

Loren mencium Tia, menghisap lembut bibir bawah Tia.

“Baiklah, sayang,” kata Loren, sambil jari-jarinya beraksi di dalam vagina Tia.

Loren merasakan kedua paha Tia bergerak hendak merangkul tubuhnya, dan pinggul Tia bergerak menanggapi tusukan jarinya.  Dengan lembut, ia terus merangsang klitoris dan vagina Tia.  Nafas Tia makin memburu dan wajahnya memerah selagi dia mendekati orgasme.  Akhirnya, Tia mencapai klimaks. Dia menahan nafas selagi sekujur tubuhnya bergetar, kemudian mengeluarkan lolongan panjang tanda kenikmatan.

“Oooo…. Eufhhh!!”



Dr. Lorencia mulai tak tahan, memandangi tubuh indah Tia yang menggelinjang karena nikmat di depannya. Dia mulai bermasturbasi, menjolokkan jari ke dalam vaginanya sendiri, merangsang kewanitaannya sampai basah. Kemudian dia bergerak sampai akhirnya berposisi mengangkangi dada Tia. Dr. Loren membuka penutup mata dan ikatan di tangan Tia, membisikkan perintah, lalu bergeser lagi, menyodorkan klitorisnya ke mulut Tia. Tia langsung melakukan apa yang tadi diperintahkan.  Dia majukan kepalanya, dan melahap kemaluan Loren di depannya, menyedot klitoris Loren.

“Mmmmm… yes… oh… ayo terus mainin lidahnya…” ujar Loren saat dia mulai menggerakkan pinggulnya maju-mundur, mengentoti muka Tia.  Tia tidak peduli apa yang terjadi… rasa, bau, dan gesekan vagina Loren saja yang penting baginya saat itu.  Jari Tia pun ikut main di sana. Sugesti yang tadi Loren berikan membuatnya tidak canggung ketika bercinta dengan sesama wanita.

“Aku… ah… sebentar lagi… oh… ohh…”

Dan, segera setelah berkata seperti itu, tubuh si psikolog cantik mulai gemetar tak terkendali, makin cepat dan bergairah menggesek-gesekkan selangkangannya ke mulut Tia, seolah-olah mau memastikan rasa kewanitaannya akan menempel terus di mulut Tia sampai berjam-jam ke depan. Ketika akhirnya mencapai klimaks, Loren melolong dan mendesah, suaranya begitu bernafsu sampai-sampai Danang yang menonton merinding mendengarnya. Tia pelan-pelan menjilati sisa-sisa orgasme Loren (yang masih mengangkangi mukanya, biarpun nyaris ambruk karena lemas) sampai bersih, membuat Loren terengah dan bergidik dengan tiap sapuan lidahnya.  Loren akhirnya turun dari ranjang, lalu mencium bibir Tia dengan mesra. Dia tak menyangka percobaannya tadi dengan Tia berefek dahsyat kepada dirinya sendiri, dan dia puas dengan “mainan baru”-nya. Sesudahnya, Dr. Loren menengok ke Danang dan Reja.

“Nih, silakan.  Aku udah puas, sekarang aku mau pulang ya.”

Danang dan Reja sudah tidak peduli lagi dengan Dr. Lorencia.  Tia—anak bos mereka—sudah ada di depan mereka dalam keadaan telanjang, terhipnotis, dan terangsang. Kapan lagi dapat kesempatan seperti ini? Tangan Danang langsung menjamah vagina Tia. Dia usapkan jari tengah sepanjang rekahannya, lalu dia tekuk jari itu dan celupkan ke dalam.



“Wuihh,” Danang berbisik di telinga Tia, “Basah kuyup memeknya. Udah sange’ berat ya, Tia?”

Tia tidak menjawab; tapi jari Danang makin mudah bergerak di dalam kemaluannya. Danang menjilati kuping Tia dan membuat istri rekan kerjanya itu makin tegang. Bibir luar vagina Tia terentang ke luar tiap kali Danang menarik keluar jarinya, seolah-olah enggan melepaskan. Nafas Tia makin memburu, bibirnya mengeluarkan suara-suara merintih kecil. Danang terus menjolok-jolokkan jarinya di vagina Tia, sementara tangan satunya membuka celananya sendiri. Dengan tak sabar Danang memelorotkan celana dan celana dalamnya. Penisnya lepas dari kungkungan, berdiri mencuat di tengah rambut kemaluannya yang lebat.

“Kamu lihat kan ini, Tia?  Doyan kontol kan sekarang?  Sebentar lagi ini bakal masuk ke memek kamu, Tia.  Punya Reja juga. Mulai sekarang kamu lonte kami, Tia. Memek kamu buat dimasukin titit semua orang.  Nggak cuma Bram,” kata Danang, seolah meniru cara Dr. Loren mensugesti Tia.  “Nih, buktinya memek kamu becek.  Lihat nih jari gue.”  Danang mencabut jari-jarinya dari vagina Tia, mengendusnya, lalu memeperkan cairan kewanitaan dari kemaluan Tia yang menempel di sana ke pipi kanan dan kiri Tia.

Danang mengambil bantal dan menaruhnya di bawah pantat Tia.  Danang lalu menggenggam penisnya dengan satu tangan dan menusukkannya ke lubang Tia yang menghadap ke depan-atas. Tia tidak melawan sama sekali.  Kedua pahanya tetap mengangkang menyambut Danang. Kepala penis Danang menghilang dari pandangan, memasuki liang kenikmatan Tia. Tia merintih lembut dan menggerakkan pinggulnya, sehingga setengah batang Danang masuk ke saluran cintanya.  Danang membungkuk dengan bertumpu ke kedua tangan di kiri-kanan tubuh Tia, perlahan-lahan memasukkan seluruh kejantanannya ke vagina Tia.

“Wuehh… Masih tetep enak memek luh Ti… sempit!” komentar Danang. Dia mulai bergerak keluar masuk beberapa kali. Penisnya basah terlumasi cairan kewanitaan Tia. Tia membalas tiap gerakan Danang. Dia menggerakkan pinggulnya, menyodorkan kehormatannya, membuka pahanya lebar-lebar agar Danang bisa mendorong sedalam mungkin.



“Sialan… rasanya enak banget,” Danang terus mencerocos.  “Baru kali ini gue ngerasain memek lonte sempit kayak gini!  Gratisan lagi!”  Dia bergerak cepat untuk sejenak.

“Lu suka kan, Ti?” Danang bertanya dengan nada memaksa. “Ayo bilang!”

“Iyahh… aku suka dientoth…” kata Tia yang tubuhnya terguncang-guncang menerima genjotan.

“Enak gak kontolnya?”

“Enaa…kh… entot terus…”

Tia mengangkat kakinya memeluk tubuh Danang, lalu menggunakan kakinya untuk membantu mendorong tubuh Danang. Danang menengok ke Reja.

“Mau ikutan nggak, Ja?” tanya Danang.

Reja mengangguk. Sementara Reja membuka sepatu, baju, dan celana, Danang keluar dari vagina Tia dan mengubah posisi tubuh Tia. Tia ditarik dan ditelungkupkan sehingga bagian atas tubuhnya berbaring di atas tempat tidur, sementara pantatnya menungging ke arah Danang dan Reja.  Kemaluannya terlihat dari belakang, merah dan basah. Danang kembali mencolokkan satu jari ke sana.

“Lu mau dientot lagi, Ti?” tanya Danang. “Sama Reja?”

“I… iya…” Tia berkata sambil terengah. Jari Danang menggosok daerah sekitar klitorisnya.

“Minta dia ngentot kamu,” suruh Danang.

“A-aaahhh…” Tia merajuk manja.

“Ayo, kalau nggak minta, kami cabut nih,” dorong Danang.

“…entot aku… Ja…”

“Yang keras!  Yang jelas!”

“Entot aku… Reja, Danang… entotin aku… yah?” pinta Tia.

“Bagus… Gitu emang harusnya lonte,” kata Danang melecehkan.  “Sok atuh, Ja, silakan dientot, dia udah minta.”  Danang mencabut jarinya dari vagina Tia dan ganti menggerayangi pantat Tia.



Reja mendekat, menggenggam penisnya yang sudah tegak. Danang berkomentar,

“Sialan, Ja, bikin iri aja barang lu.”

Tanpa banyak bicara si sopir itu menusuk kemaluan Tia.  Tia masih basah dan siap disetubuhi lagi. Reja mulai mendorongkan kejantanannya ke dalam Tia dari belakang, dorongan tubuhnya cukup kencang sehingga membuat pantat dan payudara Tia berguncang. Danang sudah pindahkan tangannya ke muka Tia, dan Tia mengulum jari Danang yang beberapa saat lalu ada dalam vaginanya. Danang duduk di tempat tidur dan memindahkan tubuh atas Tia ke pangkuannya, tepat di depan penisnya yang masih tegak karena belum ejakulasi. Reja tetap di dalam Tia selagi tubuh Tia berubah posisi, menggenggam pinggul Tia.

“Ayo, Tia, isep kontol gue.  Emut tuh kontol gue…”

Sementara Reja mengentot Tia dari belakang, Tia mengulurkan tangan dan menggenggam pangkal kemaluan Danang. Tia menjulurkan kepalanya ke depan dan memasukkan penis Danang ke mulutnya. Tia mulai menggerakkan kepalanya naik-turun batang Danang. Danang berbaring dan membiarkan Tia menggarap kemaluannya. Tia tampak menikmati sekali: dia menyedot kepalanya, sampai pipinya mengempot. Gerakannya kadang cepat, kadang pelan menggoda.

“Ahh… Udah jago ya lu nyepong,” kata Danang.  “Terus.  Pake lidahnya lagi.  Anjrit… Bisa cepet keluar nih gua.  Jangan berhenti.  Gue mau keluar di dalem mulut lu.”

Danang menggertakkan giginya dan memejamkan mata.

“Nah… oohhh… udah mau…” Danang mencerocos, “Udah mau! Keluarrr!…”  Tubuhnya mulai menyentak.  Dia mendorong pinggulnya, memasukkan penisnya sejauh mungkin di dalam mulut Tia. Tia mengeluarkan suara aneh, bunyi seperti meneguk minuman, dan kepalanya mundur, sehingga cipratan mani Danang mendarat di mukanya. Danang cepat-cepat mencengkeram belakang kepala Tia dan menariknya kembali ke batangnya.  Tia tidak melawan dan mengulum kembali batang yang sedang menyemburkan isinya itu. Terdengar suara menelan, tapi sebagian semburan Danang tumpah keluar dan berleleran di bibirnya. Tia mengisap kepala penis Danang dan mengocok batangnya, mengosongkan isinya ke dalam mulut.



Tia merasakan Reja makin terangsang melihatnya mengisap ejakulasi Danang, lalu kembali memperhatikan senjata tumpul keras yang begitu nikmat membelah kemaluannya. Dia mendesak balik dorongan Reja, menginginkan lebih.

“Lu isep crot nya si Reja juga, ya,” perintah Danang. Dia menarik Tia ke depan, sehingga terlepas dari penis Reja, lalu mendorong kepala Tia ke arah reja.  “Sono isep!”

Reja ikut duduk di tempat tidur. Tia merayap ke pangkuan Reja, payudaranya menekan paha Reja. Wajahnya masih belepotan cairan putih Danang. Tia memegang penis Reja dengan dua tangan—lebih panjang daripada penis Danang yang panjangnya hanya segenggaman Tia lebih sedikit—dan mengocok batang yang basah karena cairan vagina itu.  Tia mengecup ujungnya, lalu mendorong mulutnya menyelubungi kepala penis itu. Dia melepas genggamannya dan terus memasukkan batang panjang itu sampai sedalam-dalamnya, sampai ujungnya menyentuh pangkal tenggorokan.  Jari-jari Tia merangsang pangkal tebal batang Reja yang tak masuk ke mulutnya.  Bibir Tia ketat menjepit penis Reja yang bergerak keluar-masuk mulut. Di dalam mulut, lidah Tia lincah mengelus-elus dan bermain-main di bagian bawah batang Reja. Tia masih dalam keadaan akan mematuhi apapun yang diperintahkan kepadanya, jadi ketika Danang menyuruhnya menyepong Reja, dia pun berusaha sebaik mungkin. Dia hanya mengulum kepala burung Reja, mengisapnya, sambil tangannya mengocoki batang Reja. Kedua tangannya bermain, tidak hanya di batang tapi juga di kantong biji, memeras, menggelitik. Tia sudah siap dengan apa yang akan terjadi.  Sperma Reja meletup keluar dari penisnya ke dalam mulut Tia.  Tia menelan dan terus mengocok.  Reja menembak beberapa kali lagi dalam mulut Tia, dan semuanya disedot habis oleh Tia.



Setelah Tia melepas penis Reja yang melemas, Danang menyuruhnya telentang dan merentangkan kedua lututnya.  Danang kemudian mulai melahap vagina Tia, menjolokkan lidah ke dalam.  Tia mengerang dan mencengkeram rambut Danang yang dicat merah, menekan kepala Danang ke selangkangannya.  Danang menjilat sepanjang bagian luar vagina Tia, menelusuri bibir-bibir yang basah dengan liur campur cairan cinta.  Dia menowel-nowel klitoris Tia dengan ujung lidahnya.  Mulutnya menutup seluruh vagina Tia, tapi dari cara Tia menggeleng-gelengkan kepala, jelas di dalam sana lidahnya bermain-main menggoda.  Tia merintih nikmat tanpa henti, tubuhnya gemetar akibat lidah nakal Danang.  Lalu Danang berhenti.

“Ohh… jangan…” keluh Tia, “terusin…”

“Terusin apa?” Danang bertanya, pura-pura bego.

“Tia udah… dikit lagi…” pinta Tia.  “Terusin… jilatin memek Tia…”

“Apa?  Nggak kedengeran,” goda Danang.

“…Jilatin… memek Tia!” Tia berkata lebih keras.

“Nggak ah,” tolak Danang.  Tia mengeluh, “Aa~aahh…”

“Gue gak mau jilat lu, tapi gue mau ngentot lu.  Tapi lu mesti minta!” perintah Danang.  “Ayo minta!”

“ento… ia…”

“Apa?”

“Entotin Tia…”

“Apa?  Gak kedengeran!”

“ENTOTIN MEMEK TIA DONG… PLIS… TIA PENGEN BANGET NIH…!” Akhirnya Tia sampai berteriak, merendahkan dirinya sendiri demi kepuasan.

“Boleh aja,” kata Danang. “Tapi ada syaratnya!  Lu mesti biarin gue dan Reja ngentot lu di bagian apa aja.  Ngerti??”

“IYA!!… DUH… CEPETAN!!” Suara Tia makin putus asa.

“Oke,” kata Danang sambil menengok ke Reja.  “Ayo barengan, Ja.”



“Sini, Tia,” panggil Danang.  Dia telentang di tempat tidur.  “Naik ke atas gue, terus lu masukin titit gue ke memek lu.”  Tia bergerak menunggangi Danang.  Danang menarik wajah Tia dan menciumnya, lidah mereka berdua saling jilat.  Danang mengulurkan tangan dan meraih senjatanya, lalu memasukkannya ke celah di selangkangan Tia. Kepala burungnya masuk di antara bibir vagina, dan pelan-pelan sisanya menyusul. Danang menyodok sedikit-sedikit, sementara Tia mulai menggoyang pinggul, memutar penis Danang, sambil membiarkannya terus masuk. Akhirnya, batang Danang masuk semua.  Lalu Tia mulai menggerakkan pinggulnya, bergerak naik turun dan memutar batang keras di dalam kemaluannya, menari di pangkuan Danang.

“Sekarang lu tusuk bokongnya, Ja,” kata Danang.

Pantat Tia tepat di depan Reja, dan tangan-tangan Danang mencengkeram sambil melebarkan kedua belahannya, memperlihatkan lubang kecil di tengah.

“Lu suka kan,” Danang berbisik kepada Tia.  “Awalnya sakit, tapi lama-lama enak.”

“Agghh,” Tia mengeluh halus ketika jari Reja mencolok lubang pantatnya.  Danang menyuruh Tia tidak melawan, dan meskipun masih sempit, jari Reja bisa masuk sedikit demi sedikit sampai seluruhnya masuk di sana.  Reja kemudian memutar-mutar jarinya. Setelah menyiapkan lubang itu, Reja mencabut lagi jarinya dari dalam sana. Tia tidak bergerak selagi Danang terus menggenjot dari bawah dan merentangkan kedua bongkahan pantatnya yang bahenol. Reja maju dan meletakkan kepala burungnya di lubang belakang Tia, lalu mendorongnya.

“Ahh…hh!!” pekik Tia.  “Gede… banget!!”  Tia mencoba menghindar, tapi tidak bisa, bagian depannya sudah terpantek penis Danang, dan dari belakang senjata Reja menusuk tajam.



*****

Di jalan…



Dr. Lorencia tersenyum-senyum sendiri dalam taksi yang sedang membawanya pulang ke rumah. Dia sudah sukses membuat Tia menjadi perempuan binal hamba nafsu malam itu, dan memang itulah yang diinginkan Mang Enjup. Tadi dia mendapat penjelasan lagi mengenai rencana Mang Enjup, secara tidak langsung, ketika dia mengawasi gerak-gerik laki-laki tua itu bersama Tia di pesta. Dasar bajingan cabul, pikir Dr. Loren.  Anak bos sendiri akan dikorbankan…Tapi Dr. Loren tidak ambil pusing. Dia menyentuh kemaluannya sendiri di balik pakaian, mengingat bagaimana tadi Tia memberikan kenikmatan kepadanya. Andai saja dia lebih dulu kenal perempuan muda yang polos itu, dia pasti tidak akan segan merebut Tia dari suaminya dan menjadikannya budak seksnya sendiri. Satu hal lagi yang dipikirkan Loren. Pengaruh hipnotisnya punya batas waktu.  Dan sekarang waktunya hampir habis. Kalau Danang dan Reja sudah selesai sih tidak masalah, tapi apa jadinya kalau Tia sadar ketika sedang dicabuli dia laki-laki itu?  Dr. Lorencia tersenyum nakal. Entah Tia akan memprotes dan melawan, atau terus berperan sebagai pelacur murahan. Tiba-tiba dia ingin balik lagi melihat apa yang terjadi.  Tapi taksi sudah keburu mencapai rumahnya.



*****



Reja mendorong maju lagi, terus makin dalam ke lubang pantat Tia.  Reja merasa saluran itu mulai menyerah terhadap desakan kepala burungnya.

“Auhh… Sakit!”  Tia memekik.  “Jangan… dimasukin… lagih!  Ngga kuatt…!  Sakii…tt!”

Sentakan rasa sakit itu juga membuat Tia sadar dari keadaan terhipnotis.  Danang melihat perubahan di sinar mata Tia, yang tadinya sayu dan kosong kini terlihat seperti mendapat api-nya lagi. Tia tersadar. Dan dia mendapati dirinya telanjang, terjepit di antara dua laki-laki dalam persetubuhan.  Bukan dengan suaminya. Rasa nikmat campur sakit dari depan dan belakang.  Refleksnya membuat dia meronta, tapi Danang dan Reja memeganginya kuat-kuat. Dia menjerit, tapi jeritan paniknya tercampur dengan jeritan nikmat ketika Danang mengemut putingnya dan Reja menciumi bahunya.  Pikiran Tia kacau karena tidak menyangka tiba-tiba berada dalam keadaan seperti itu. Dan di dalam kepalanya, seperti terus bergema suara yang menyuruh dia menyerah saja dan menikmati keadaan. Menyuruh dia mengerti bahwa dia sebenarnya wanita jalang yang haus kenikmatan. Jeritan dan gerakan Tia yang baru sadar disalahartikan oleh Danang dan Reja, mereka kira perempuan muda itu makin terangsang. Akibatnya makin hebat saja gempuran mereka terhadap Tia. Reja sudah memasukkan setengah penisnya. Lingkaran otot dubur Tia mencengkeram erat di sekitar batang penis Reja yang mendesaknya. Reja memundurkan pinggul, menarik batangnya sampai batas kepala, dan mendorong maju lagi, lebih dalam daripada sebelumnya. Kali ini batangnya masuk dengan lebih mudah, biarpun saluran belakang Tia sangat sempit dan lebih melawan daripada vaginanya.

“Ah… gede banget…” keluh Tia.  Dia belum sepenuhnya menguasai diri, kepalanya masih terlanda birahi membara.

“ Reja mundur lagi sedikit lalu mendorong sisanya ke dalam dubur Tia.  Tia meringis, kepalanya ambruk ke dada Danang.

“Yahh…!” Tia meringis.  “Sakit… ahh….!  Jangan… didorong… lagi!”

Reja diam beberapa saat, menikmati jepitan tabung pengeluaran Tia terhadap batang yang sudah dia susupkan seluruhnya ke dalam.  Kemudian dia menggenjot pelan-pelan.  Tubuh Tia mulai merasa lebih nyaman, tapi perasaannya tetap ingin berontak.  Danang juga mulai bergerak lagi, seirama dengan Reja, masuk, keluar, masuk, keluar kedua lubang Tia.  Tia hanya bisa menggelinjang dan mengeluarkan bunyi-bunyi tak jelas.

“Gimana Tia.  Enak kan sekarang?” tanya Danang.

“Iyahh… mendingan… ayoh… lagi,” Tia menjawab sekaligus meminta.

Danang dan Reja menggenjot dengan penuh semangat.  Tia membalasnya dengan mengeluarkan suara-suara penuh nafsu.



“Yahh… ah… iya… ah… oh… enak banget… Oh… OH!… Sodok terus… Terus!”



Tia terjepit di antara dua laki-laki, menggelepar, menerima sodokan keras dan kencang dari dua arah.  Dia makin bergairah dengan tiap gerakan.  Dan dia sadar sepenuhnya apa yang dia alami.  Dia sedang bersetubuh dengan dua laki-laki yang bukan suaminya.  Tapi dia tak peduli.  Yang menguasai kepalanya adalah keinginan untuk mencapai orgasme, untuk mencapai kenikmatan badan.  Dan biarpun Bram baru pergi satu hari, tubuhnya sudah tak kuat menahan.  Maka dia tidak pedulikan kalau yang menyetubuhinya bukan orang yang berhak.  Sejak di pesta pun Tia sudah resah, karena dia menyadari bagaimana sebagian tamu memandangi dirinya penuh nafsu.  Dia tahu di kepala mereka yang ada justru keinginan untuk menindihnya, merobek paksa bajunya, menggagahinya.  Ditambah lagi, Mang Enjup berkali-kali mencolek tubuhnya, terutama di bagian pantat.  Dan dia malah merasa senang dilecehkan seperti itu.



Tia membungkuk, merapatkan tubuh memeluk Danang.  Reja mendorong dari belakang, penisnya masuk semua ke lubang pantat.  Disertai teriakan, Tia mengalami klimaks.  Tubuhnya tersentak-sentak di tengah kedua laki-laki yang menghimpitnya.



“Ohhh…” Tia meringis dengan wajah menempel ke dada Danang.  “Auhh… enak banget… unghh…”  Tia terbenam dalam kenikmatan, mulutnya mengeluarkan suara-suara penuh nafsu, dan saluran-salurannya menjepit kedua kejantanan di dalam tubuh.  Reja juga merasa akan klimaks sebentar lagi, dia menghantam makin kencang keluar-masuk, mendorong sedalam-dalamnya kemudian menariknya keluar lagi.  Sementara itu, ekspresi Danang berubah seperti menahan sakit dan tanpa banyak cingcong dia berejakulasi di dalam vagina Tia.  Disusul Reja yang menghunjamkan penisnya dalam-dalam dan melepas pejunya ke dalam pantat Tia.



*****

Sesudahnya, Danang dan Reja pulang begitu saja, meninggalkan Tia yang menggeletak ternoda di atas tempat tidurnya sendiri. Danang dan Reja menyangka mereka meninggalkan Tia dalam kondisi masih terhipnotis, padahal sebenarnya tidak. Tia meringkuk di tempat tidurnya… tersenyum merasakan cairan kelelakian Danang dan Reja di dalam rongga-rongga tubuhnya, mengingat orgasme dahsyat yang dia dapat, mengingat betapa bernafsunya kedua laki-laki tadi. Entah kenapa, dia tidak lagi merasa bersalah seperti sesudah disetubuhi aparat sesudah kena ciduk.  Sesuatu di dalam kepalanya—sugesti yang ditanamkan Dr. Lorencia—membuat dia merasa apa yang dia lakukan wajar saja.  Peduli amat dengan statusnya sebagai istri Bram.  Yang dipentingkannya hanya kenikmatan badan.  Setiap hari.  Dari Bram suaminya, atau dari siapapun.

Tia terjerumus makin dalam…

##################################################

===========================================
Slutty Wife Tia 7: Kenikmatan yang Tertunda
===========================================

Pukul tujuh, di suatu kamar hotel, di satu kota

Bram duduk-duduk sendirian di tempat tidur hotelnya yang lebar, melepas lelah sesudah dua hari nonstop mengurus persiapan pembukaan cabang bersama Enrico, si pengusaha daerah.  Selama dua hari dia menyurvei lokasi; bertemu staf Enrico yang memberi presentasi rencana bisnis, peluang pasar, dan kemungkinan pesaing; dan tentunya bertemu para penguasa setempat—kepala daerah, kepala kantor-kantor dinas terkait, anggota legislatif, aparat, dan tokoh masyarakat, yang semuanya harus dilobi.  Sebelumnya Bram dan Enrico sudah menyepakati: Bram mengurus pembicaraan formal sementara Enrico menyiapkan negosiasi nonformalnya.  Itu artinya Enrico akan menanggung segala insentif lain yang  diperlukan demi kelancaran pembukaan usaha.  Baik itu berupa uang pelicin, fasilitas, maupun bentuk kenikmatan lain. Termasuk yang sekarang disajikan. Pintu kamar hotel diketuk.  Bram bangkit dan membukakan pintu.

“Permisi. Selamat malam Pak.  Tadi saya dipesan ke kamar ini buat massage~?”

Di balik pintu Bram mendapati seorang gadis, paling-paling umurnya 20-an, berdiri dan tersenyum. Gadis itu membawa tas kecil. Nada bicaranya ramah dan cenderung genit, tapi terkesan tak dibuat-buat.

“Oh, iya.  Silakan masuk,” kata Bram sambil memandangi gadis tukang pijat itu.  Gadis itu memakai kemeja lengan pendek putih bercorak dengan aksen renda di dada, dan rok hitam pendek.  Rambut hitamnya yang diluruskan rebonding tergerai sampai ke punggung.

“Mau langsung, Pak?” tanya gadis itu.  “Oh iya, maaf, dengan bapak siapa?  Saya Difa.”

“Bram,” kata Bram sambil menjabat tangan gadis itu untuk berkenalan.  Difa bertubuh pendek—hanya setinggi bahu Bram.  Bram terus mengamati gadis tukang pijat itu.  Difa terlihat berusaha tampil ramah, bibir merahnya selalu tersenyum.  Mata sipit dan pipi tembemnya terlihat menggemaskan.

Bram tahu, di kamar-kamar lain hotel yang sama sedang terjadi adegan serupa.  Enrico mengundang beberapa orang yang perlu dilobi untuk menikmati “hiburan” yang disediakan, dan Bram juga kebagian. Tapi sebenarnya Bram sedang tidak berminat. Dia cukup lelah setelah mengikuti Enrico ke sana-ke mari, jadi dia bilang saja kepada Enrico, minta dipanggilkan tukang pijat hotel. Dan yang datang adalah gadis ini.  Difa.

Difa membawa seprei yang dilipat, yang dia tebarkan di ranjang kamar hotel setelah minta izin Bram.  Dia lalu menanyakan apakah Bram mau langsung dipijat. Bram mengangguk.

“Iya, sekarang aja deh,” kata Bram.

“Kalau begitu, maaf Pak, tolong dibuka bajunya,” kata Difa dengan nada malu-malu.

Di balik sikap yang kelewat sopan itu Bram menangkap rasa gentar—apa gadis ini kurang pengalaman? Ataukah hanya pura-pura saja untuk memberi kesan “polos”? Bram cukup banyak bergaul dengan dunia hiburan malam sehingga dia lumayan tahu bagaimana para perempuan penghibur bersikap.  Kemudian Bram memutuskan untuk tidak ambil pusing dengan tulus tidaknya Difa; toh gadis itu datang untuk memijat… kalau nanti berlanjut ke yang lain-lain, itu urusan nanti.  Bram pun membuka baju dan celana, tinggal menyisakan celana dalam, dan berbaring telungkup di atas tempat tidur yang sudah dialasi seprei.  Difa mulai dengan memijat telapak kaki Bram.  Tak lama kemudian tangannya sudah pindah ke betis Bram, mengurut sekujurnya, sampai ke belakang lutut, terus ke paha.

“Tangan kamu enak juga,” Bram berkomentar, “Hangat.”

“Iya, banyak yang bilang begitu Pak,” kata Difa.  “Anu, pijatan saya sudah cukup kan Pak?  Perlu lebih keras?”

“Nggak, segini sudah cukup.”

Difa meneruskan memijat, kali ini makin ke atas mendekati selangkangan Bram.  Bram merasakan kejantanannya bereaksi ketika sentuhan halus Difa mengelus bagian dalam pangkal pahanya.

Difa berhenti dan bertanya.  “Pak, mau pake krim?”

“Iya boleh,” kata Bram.

“Maaf kalau gitu celananya dibuka saja, biar nggak kotor,” saran Difa.

Bram sudah tahu itu kode apa. Tanpa menjawab, dia melepas celana dalamnya lalu kembali telungkup. Kejantanannya sudah setengah tegak.  Difa melumurkan krim pijat ke tangan, lalu mulai lagi dari bawah, dari betis Bram.

“Hihihi, Pak, bakal cepet habis nih krimnya,” celetuk Difa, “habisnya rambutnya banyak di sini…”

“O gitu?” jawab Bram.

Yang Difa maksud itu pasti betisnya. Difa melanjutkan pijatannya, sekarang kembali ke paha. Lagi-lagi Bram merasa terangsang dengan sentuhan Difa, apalagi setelah tangannya licin dengan krim, sensasinya makin lancar terasa.

“Maaf ya Pak saya pijat pantatnya,” kata Difa, yang kemudian mencengkeram dan meremas-remas dua belahan pantat Bram.

“Ehmm…” Bram enggumam.

“Kenapa Pak?” Difa berhenti karena gumaman Bram itu.

“Nggak apa-apa… terusin aja.  Enak kok,” kata Bram.  Difa tanpa sungkan kembali menggarap pantat Bram, terus ke selangkangan.

“Udah lama mijet?” tanya Bram.

“Lumayan Pak, udah setahun,” jawab Difa.

Bram berusaha mencairkan suasana dengan ngobrol dengan Difa. Gadis itu baru 22 tahun, warga setempat—dan jadi tulang punggung keluarganya karena dia anak tertua. Keluarganya sendiri tidak tahu pasti apa pekerjaannya, hanya tahu dia “kerja di hotel”. Sambil ngobrol, Difa terus memijat ke atas, meninggalkan pantat Bram ke punggung, lalu ke bahu.

Bram menengok ke belakang, berusaha melihat Difa. Dirasakannya rambut panjang Difa menyentuh punggungnya.

“Ada apa, Pak?” Difa memperhatikan Bram yang menoleh.

“Nggak apa-apa,” tukas Bram, kemudian tiba-tiba kebiasaannya ketika berbicara dengan perempuan penghibur muncul.  “Pengen ngelihatin yang mijet aja…”

“Ah Bapak bisa aja,” kata Difa tersipu, tersenyum malu.  “Balik badan Pak.”

Bram berbalik badan. Kali ini dia tak lagi bisa menutupi kenyataan bahwa ada bagian tubuhnya yang bereaksi terhadap kehadiran dan sentuhan Difa. Tapi Difa tak mengacuhkan alat kelamin Bram yang kini tampak di hadapannya, dan kembali lagi memijat dan menekuk-nekuk kaki Bram. Bram terus berusaha mengajak bicara Difa. Difa ternyata masih lajang; pernah punya pacar beberapa tahun lalu yang lantas kabur untuk menikah dengan gadis lain.

“Sebenarnya sih saya pengen cepet nikah Pak, cuma gimana ya, kerja saya seperti ini, mana ada yang mau sama saya… Bapak sudah nikah?” ujar Difa.

“Udah…” kata Bram.

Sekitar sepuluh menit kemudian, Difa sudah tuntas menggarap sekujur tubuh Bram. Mata Bram tak lepas-lepas memandangi si pemijat. Wajah Difa mengingatkannya akan seorang artis, Anya. Hanya saja Difa pendek, tak seperti Anya yang jangkung.

“Sudah selesai Pak…” kata Difa lirih.  “Anu… ada lagi yang bisa saya bantu?”

Bram sudah hafal apa yang biasanya terjadi sesudah sesi pijat semacam itu.  Terlebih lagi dia keburu terangsang oleh sentuhan-sentuhan Difa.

“Main aja yuk,” ajak Bram sambil tersenyum dan menggenggam tangan Difa.

Jawaban Difa ternyata tidak nyambung dengan harapannya.

“Jangan ya Pak, saya… belum pernah…”

Bram cuma tersenyum, dan akal sehatnya sedang kalah dengan nafsunya yang mulai menggunung, jadi bukannya dia berhenti, dia malah terus berusaha.  Dia mengelus sekujur lengan Difa.

“Ayo dong… Nggak apa-apa kok…” rayu Bram.

Difa berusaha mengelak sambil menawarkan servis lain.

“Saya kocokin aja ya Pak?”  Terlihat betul bahwa gadis pemijat itu tidak ingin menyinggung kliennya, walau Bram mulai kurang ajar tapi dia masih bersikap sopan.

“Hmm… iya deh,” Bram memutuskan untuk mundur dulu; langkah strategis.

Dalam hatinya dia tak percaya dengan kata-kata Difa yang mengaku “belum pernah” tadi, dan dia pun sibuk memikirkan cara membongkar pertahanan gadis itu.  Difa kembali melumurkan krim ke tangannya dan berkata,

“Maaf ya Pak,” sebelum mulai menyentuh penis Bram.

Entah dia masih perawan atau sudah tidak, yang jelas tangannya sudah ahli.  Satu tangannya menggenggam batang kemaluan Bram, tangan lainnya mengelus kantong pelir Bram dan sesekali ke bawahnya, menuju lubang dubur Bram.  Bram menggumam keenakan.  Difa terus mengocok batang Bram, naik dan turun, kadang cepat kadang lambat.

“Sakit nggak, Pak?” tanya Difa.

“Ehmmmm…” Bram menggumam lagi, “Enggak kok, enak…”

Difa terus membelai dan merangsang, tangan kanannya yang licin bergerak-gerak di sekujur kejantanan Bram, tangan kirinya memijat-mijat di bawah buah pelir.  Bram bisa merasakan orgasme sedang menunggu terjadi di bawah perutnya.

“Ouhhh,” keluh Bram, mulai tak kuat menahan.  Tapi dia tidak mau buru-buru selesai. Tangannya bergerak merangkul Difa yang berposisi duduk memunggungi di sebelah tubuhnya.

“Enak banget, Difa,” bisik Bram sambil menegakkan badan atas lalu menyenderkan kepala ke bahu Difa.

Orgasme yang tadi tinggal sebentar lagi itu sukses diredam. Difa diam.

“Kamu wangi…” kembali Bram berbisik sambil menghirup aroma tubuh Difa.

Gadis itu diam saja. Bram jadi tambah berani lalu mencium leher si gadis pemijat. Selanjutnya Bram mengulum telinga Difa.

“Ehmmm…” desah Difa.  Bram nyengir, menyadari titik sensitif gadis itu persis sama dengannya, di telinga.

“Ahh… Pak…” Difa seperti memprotes tapi tak berdaya, kocokan tangannya melemah ketika Bram terus menggoda titik lemahnya.  Dia pun tak hirau ketika tangan Bram mulai berusaha melepas kancing kemejanya satu demi satu. Dari bawah. Posisi badan atas Bram kini sudah tegak merangkul Difa dari belakang, dua, tiga, empat kancing kemeja Difa lepas… dan yang terakhir pun akhirnya lepas.  Bram menyelipkan tangan ke balik BH yang dipakai Difa dan terjamahlah payudara gadis itu yang terasa kencang.

“Paak…” Difa memprotes lagi, berhenti mengocok dan melepas kejantanan Bram, tapi Bram sudah keburu nafsu.

Bram merebahkan Difa di tempat tidur dan langsung memposisikan tubuh atasnya di atas Difa, sambil menyibak kemeja Difa yang sudah tak terkancing. Tangan Bram meremas payudara Difa. Difa mendesah, menatap muka Bram. Bram membenamkan muka di dada Difa, menciumi belahan dada dan bagian atas payudara gadis itu. Dirasakannya Difa menggeliat dan nafasnya memburu. Tangan Bram bergerilya ke bawah, menyibak rok pendek Difa, mencari celana dalam. Ketemu. Jemari Bram mengelus-elus bagian celana dalam Difa yang menutupi vagina. Sambil ciuman demi ciuman terus mendarat di leher, pundak, dan telinga Difa. Terdengar gadis itu mendesah. Bram berhasil membuat Difa terangsang. Bram berhenti sebentar, menjauh dari tubuh Difa.  Dia memandangi ekspresi gadis itu; seolah pasrah.  Andai wajah Difa tak berbedak terlalu tebal, mungkin Bram bisa melihat wajah itu merona merah karena malu. Bram lalu melepas kaitan di depan BH Difa, dan menyingkirkan penutup dada gadis itu. Sepasang payudara Difa yang kencang itu tak lagi terlindungi. Bram dengan cepat menggoda keduanya, menyentuh, mencium, mengulum. Difa mendesah tertahan.  Roknya sudah tersibak juga akibat aksi tangan Bram yang sambil terus mengelus-elus kemaluannya dari luar celana dalam. Bram kembali menindih tubuh Difa yang nyaris telanjang itu, lalu memelorotkan celana dalam Difa.  Kejantanan Bram sudah tegang dan dia sudah tak tahan ingin menyetubuhi gadis itu.

Tapi ketika dia menyelipkan jarinya langsung ke belahan kewanitaan Difa—Sempit. Dan…Terasa sesuatu menghalanginya. Bram melihat setitik air mata mengalir dari sudut mata Difa. Gadis pemijat itu memang masih perawan. Ekspresinya mirip sekali dengan Tia waktu dulu—Bram berhenti.  Dia kembali teringat Tia. Difa merasakan beban tubuh Bram bergeser dari atas tubuhnya.

“Maaf…” bisik Bram.  “Kamu emang beneran belum pernah, ya…”

“Pak…” Difa membuka matanya yang masih berkaca-kaca, tak mengerti perubahan reaksi Bram.

“Ah, nggak, nggak apa-apa, Difa,” Bram berkata itu sambil berubah posisi jadi berbaring di samping Difa.  “Aku… kepikiran istriku.”

Difa terdiam sebentar lalu berbicara sambil memejamkan mata.  “Nggak apa-apa Pak, saya… sudah dibayar kok…”

“Apa kamu nggak bakal nyesal nantinya?” kata Bram sambil memandangi langit-langit, melihat bayangan wajah Tia di sana.

Difa diam saja.

“Jangan dikasih ke aku, Difa,” kata Bram lagi.  “Aku nggak tega. …Yah, mungkin aku yang dulu gak bakal keberatan, tapi sekarang… aku udah nggak pengen begitu lagi.”

“Jadi… gimana ini Pak?”  Difa bingung.

“Sudah, nggak apa-apa.  Yang terjadi atau nggak terjadi di dalam sini, orang lain nggak usah tahu.  Kamu pakai lagi lah bajumu.”

Difa bangkit dan kembali memakai semua pakaiannya.

“Kamu tunggu di sini, aku mau mandi dulu sebentar terus kita bicara lagi,” kata Bram.

Bram langsung masuk ke kamar mandi, menyalakan shower dan membasuh seluruh tubuhnya.  Semburan air shower meredakan lagi nafsunya dan mendinginkan kepalanya. Tak lama kemudian, Bram keluar dari kamar mandi dengan hanya memakai handuk yang menutupi seputar pinggang ke bawah.  Difa masih duduk di tempat tidur, tanpa bicara.

“Bapak… nggak suka sama saya?” kata Difa lirih ketika Bram duduk di sebelahnya.  Bram tersenyum sambil menaruh tangannya di atas tangan Difa.

“Bukan…” kata Bram, “tapi ada yang lebih berhak nyentuh kamu nanti.  Siapapun dia, aku nggak mau ngambil haknya.  Aku udah punya istriku, Difa.”

Difa menengok agak tak percaya.

“Tapi saya udah dibayar…” katanya lagi.

“Nggak usah ungkit-ungkit itu.  Kamu kan datang ke sini mau mijat aku, dan tadi kamu udah mijat. Pijatanmu enak. Kuanggap kerjaan kamu sudah selesai.”  Bram beranjak ke meja, mengambil dompet dan mengeluarkan beberapa lembar uang.  “Ini, lumayan buat uang jajan kamu.”

“Aduh, Pak… apa nggak terlalu banyak ini?  Saya kan cuma mijet…” kata Difa sungkan.

“Terima saja,” kata Bram.  Difa pun mengantongi tips dari Bram itu.

“Ka-kalau gitu… saya pamit pergi dulu Pak…” kata Difa.

“Eh tunggu dulu,” kata Bram.  “Minta nomor telepon kamu.”

Difa menyebutkan nomor telepon, yang langsung dimasukkan Bram ke dalam HP-nya.

“Aku mau buka usaha di sini,” kata Bram.  “Mungkin aku bakal perlu karyawati.  Barangkali kamu mau ganti pekerjaan…”

“Makasih, Pak… makasih banyak,” kata Difa.

Bram mengantar gadis pemijat itu ke pintu kamar dan membukakan pintu. Dilihatnya gadis itu tersenyum lega. Setelah Difa pergi, Bram kembali memikirkan Tia. Bram merasa sudah berbuat yang benar dengan tidak mengambil kehormatan Difa tadi. Tidak, dia tidak perlu perempuan lain lagi. Dia hanya perlu Tia. Dan urusan di sini sebenarnya sudah selesai. Bram meraih telepon kamar hotel dan minta disambungkan dengan biro perjalanan.  Dia ingin tahu apa kepulangannya bisa dipercepat.

*****
Tia

Tia

Pada hari yang sama ketika Bram bertemu Difa, Tia diminta Mang Enjup datang ke kantor untuk membicarakan rencana negosiasi proyek dengan Walikota.  Tia pergi sendirian dan langsung menuju kantor Mang Enjup.  Febby sekretaris Mang Enjup yang biasanya duduk di satu meja di luar kantor tidak ada.

“Non Tia sudah ditunggu,” terdengar kata-kata seorang laki-laki.

Di luar kantor Mang Enjup juga ada Danang yang, seperti biasa, tidak jelas apa kerjaannya di sana.  Dialah yang memberitahu bahwa Tia sudah ditunggu.  Melihat Tia datang, Danang nyengir dan tersenyum mesum ke arah Tia. Yang membuat Danang rada kaget, Tia membalas dengan senyum dan kerling genit. Danang memperhatikan penampilan Tia yang tampak menarik dalam kemeja lengan panjang abu-abu dan rok pendek hitam.  Kemejanya ketat. Danang berani sumpah, dia yakin Tia tak sedang memakai bra karena dia melihat puting Tia mencuat di balik bahan kaos itu…

“Aku masuk ya…” kata Tia sambil menoleh ke Danang dan melangkah menuju pintu.

Danang lantas merasakan semua darah ke tubuhnya mengalir menuju bawah perut.  Tak tahan dia dengan keseksian Tia yang menggodanya.

*****

“Punten…” Tia mengucap salam ketika masuk.  Begitu dia masuk, dia melihat pemandangan tak biasa.

Ada dua perempuan yang sedang berada  di kanan kiri Mang Enjup. Mang Enjup sendiri berada dalam keadaan berantakan, kemejanya terbuka sehingga dadanya yang sudah keriput terlihat, mulutnya terengah-engah, keringat menitik di wajahnya. Tia mengenali salah seorang dari dua perempuan itu sebagai Febby, sekretaris Mang Enjup, seorang perempuan berkacamata, berhidung mancung, berambut megar sebahu. Tapi Febby bukan sedang mengenakan pakaian kantor seperti biasa, melainkan tank top ketat berbelahan rendah dan rok mini. Make-upnya juga lebih tebal dari biasa.

“Selamat pagi, Mbak Tia,” sapa Febby.

Perempuan satunya lagi Tia tidak kenal. Dan dia jelas sedang tidak memakai pakaian orang kantoran. Nyaris tidak berpakaian, malah. Cuma celana dalam berenda dan bra pink. Perempuan itu nyengir konyol ketika melihat ada yang datang, dan dia terlihat membungkuk di samping Mang Enjup, tangannya seperti memegang sesuatu di pangkuan Mang Enjup.  Rambutnya dicat merah, ukuran dadanya tampak terlalu besar untuk tubuhnya yang ramping.  Riasan menor menutupi wajahnya yang terlihat lebih tua daripada Tia dan Febby: bibir merah, bulu mata palsu, alis ditato.

“Ka dieu, Neng,” panggil Mang Enjup dengan suara lirih, seperti orang kecapekan.

Sebenarnya adegan yang sedang berlangsung di sana sangat tidak wajar, karena sedang ada dua perempuan berpakaian seksi merubung Mang Enjup.  Tia sendiri heran dan dia melangkah maju pelan-pelan, tapi begitu tatapan matanya bertemu dengan tatapan mata Mang Enjup yang tetap tajam, dia merasa tidak perlu ke mana-mana.

Ketika makin dekat, Tia jadi bisa melihat apa yang sedang dilakukan Febby dan si rambut merah. Celana Mang Enjup terbuka, kemaluannya tegak, dan kedua perempuan itu sedang membelai-belainya.  Tapi si rambut merah sesekali menjepit bagian pangkal batang dan menekan daerah di bawah buah pelir Mang Enjup. Rupanya itu semacam cara untuk mencegah ejakulasi.  Agaknya Mang Enjup sedang menjalani “terapi” untuk mengatasi masalah ejakulasi dini-nya. Tia terpaku, tak tahu mesti berbuat apa. Dia memang dipanggil oleh Mang Enjup, tapi apa maunya Mang Enjup? Febby berdiri dan membuka satu laptop yang ada di meja, lalu duduk di atas meja sambil menyilangkan kaki.

“Duduk, Mbak Tia,” kata Febby sambil menunjuk kursi di depan meja Mang Enjup.

Mang Enjup terengah-engah, sepertinya keenakan penisnya dikocok, kadang meringis karena ejakulasinya dibatalkan pencetan jari si rambut merah.  Tia duduk dan pandangannya mengikuti tangan Febby yang menunjuk layar laptop. Di situ ditayangkan beberapa tabel dan presentasi terkait proyek yang sedang diperebutkan perusahaan mereka dengan perusahaan-perusahaan milik dua orang yang Tia temui di pesta Walikota. Febby menjelaskan situasi terbaru dan rincian tender proyek kepada Tia. Wajah Tia berkerut selagi mengikuti penjelasan Febby, tanpa menghiraukan Mang Enjup yang asyik sendiri. Febby selesai memberi penjelasan dan Tia merasa cukup mengerti tentang semua hitungan dan rencana yang dijabarkannya.  Mang Enjup ikut bicara,

“Tapi, ada yang lebih penting lagi, Tia.”  Mang Enjup lalu menyentuh lengan si rambut merah. “Jana…” kata Mang Enjup, menyebut nama si rambut merah.

“Kenalan dulu, Mbak Tia… saya Jana,” katanya.  Jana langsung mendekati Tia, lalu meminta Tia berdiri.

Jana mengamati sekujur tubuh Tia, berjalan mengelilingi Tia sambil pandangannya naik turun.

“Mantap…” kata Jana sambil tiba-tiba meremas pantat Tia.

“Aih!!?” Tia kaget.

“Bahenol juga ya… pantesan cuma kamu yang dimau’in,” kata Jana.  Tia tidak mengerti maksudnya.

“Biasanya saya yang ditugasin untuk bantu lobby pejabat,” kata Jana lagi, “atau anak buah saya.  Tapi buat yang satu ini emang susah dari dulu.  Dia pilih-pilih banget. Kalau sembarang orang, pasti ditolak. Tapi kalau Mbak Tia pasti bisa deh.”

“Ah… Maksudnya?”

“Pak Walikota maunya si Neng,” kata Mang Enjup.  “Biasanya Mang minta bantuan Jana atau teman-temannya, tapi ternyata ga ada yang cocok ama Pak Walikota. Emang dia seleranya lain, ga mau sama yang biasa, maunya sama yang luar biasa kayak Neng Tia.”

“Tapi… kenapa harus saya?  Kan mestinya sama aja…” tanya Tia.

Jana tertawa. Febby menahan ketawa. Mang Enjup bicara.

“Tia, dengerin Mang yah.  Tia sudah lihat yang ditunjukin Febby tadi kan.  Kamu tahu seberapa bernilai proyek itu buat perusahaan kita ini?  Gede banget, dan semua berharap kita bakal dapat.  Barangkali kamu belum tahu, untuk proyek-proyek sebesar itu biasanya kita sebagai pengusaha mesti ngejalin hubungan baik sama orang-orang yang pegang kuasa—pejabat dan semacamnya itu lah.  Selama ini kerja Mang di perusahaan ini ya seperti itu.  Nah, buat proyek ini, kita perlu persetujuan dari Pak Walikota.  Makanya kita perlu Neng Tia.  Soalnya, Pak Walikota sudah sering ngasih petunjuk, salah satu yang paling dia harapin itu adalah bisa ada hubungan baik dengan Neng Tia.”

Sesudah mendengar penjelasan Mang Enjup yang dibungkus-bungkus itu Tia masih tetap belum mengerti. Ganti Jana yang bicara.

“Biasanya, Mbak Tia, saya ngurus bagian entertain dalam lobi proyek,” kata Jana.  “Yah kita udah tahu lah, pejabat pasti minta bagian.  Bisa uang, fasilitas, hadiah.  Udah biasa juga kalau kita nyediain hiburan juga.  Pejabat itu kebanyakan laki-laki kan.  Nah yang namanya laki-laki pastinya suka yang cantik-cantik, jadi saya yang biasa nyediain. Cuma… Pak Walikota ini agak susah. Dari dulu emang gitu dia. Bukannya dia sok alim atau ga suka yang cantik-cantik sih. Tapi emang seleranya maunya yang susah. Saya udah coba nyodorin yang tua, yang muda, yang masih perawan, tapi semuanya ditolak sama dia. Pusing kan kita mikirnya.”

“Nah,” sambung Mang Enjup, “Sebelum pesta kemarin itu Mang kan sering ketemu Pak Walikota buat ngomongin ini proyek. Pak Walikota kalau ketemu Mang seriiing banget nanyain, mana Neng Tia, kok nggak dibawa. Mang tahu sih Pak Walikota udah perhatiin kamu dari dulu. Mang juga udah jelasin status kamu. Tapi kelihatannya sih Pak Walikota maunya cuma sama kamu.”

Tahu-tahu, Jana sudah merangkul dan menggerayangi Tia.  “Mbak Tia cakep banget deh,” ujar Jana sambil satu tangannya meremas pantat Tia lagi.

“Pantes aja Pak Walikota cuma maunya sama Mbak Tia.  Cakep, anggun lagi.  Bener-bener high class.  Saya aja jadi minder ngelihat Mbak.”

Andai pikiran Tia masih normal, mungkin dia akan berusaha mengelak begitu tahu arah kata-kata Mang Enjup.  Tapi tidak… Tia yang sekarang bukan lagi Tia yang polos, malu-malu, dan konservatif.

Sejak Citra mengubah penampilannya, Mang Enjup dan Dr Lorencia mengacak-acak pandangannya, dan berbagai pengalaman berpetualang dilaluinya, kepribadian Tia berubah. Dia tak lagi merasa perlu membatasi dirinya dengan hanya menyerahkan tubuhnya kepada suaminya yang sah.  Dia sudah tahu bahwa kenikmatan badan bisa didapat dari mana saja, dan buat dia itu tak salah. Dia tetap seorang istri, tapi dia tak ubahnya seorang pelacur juga. Dia tak lagi sungkan berhubungan seks dengan semua orang. Jana yang berposisi di belakang Tia kini menyandarkan mukanya ke bahu Tia, menghirup wangi rambut Tia dan meremas payudara Tia. Tia mendesah sebagai reaksi gerakan Jana itu. Febby tetap duduk di atas meja, sementara Mang Enjup juga tetap duduk di kursinya tanpa merapikan pakaiannya.

“Makanya… Tolong yah, Neng?” pinta Mang Enjup.

Tia tak bisa konsentrasi karena digerayangi terus oleh Jana.

Mang Enjup menyambung, “Peran seperti ini cuma Neng yang bisa.”

Tia berpikir sebentar, wajahnya berkerut, tapi dengan cepat dia mencapai kesimpulan.

“Iya, Mang.  Tia siap.”

Mang Enjup tersenyum lebar. Jana bertepuk tangan.

Tia tersenyum nakal.  “Omong-omong, Mang lagi ngapain sih, kok telanjang?” tanyanya.

Mang Enjup tertawa mendengar Tia bicara seperti itu, tak sungkan dan tak malu-malu.

“Ini Mang lagi terapi, hehehe,” kata Mang Enjup.  “Dibantuin Jana…”

“Terapi kejantanan, …hihihi,” Jana menimpali.  “Mbak Tia mau ikutan?”

“Boleh juga,” tanpa diduga Tia setuju, “Hitung-hitung latihan… Ih si Mang udah tegang gitu…”

Tia mendekat ke arah Mang Enjup.  Melihat itu, Febby dan Jana juga bergerak, sehingga Mang Enjup kini dikelilingi tiga perempuan cantik. Seperti raja dengan selir-selirnya saja.Tidak seperti sebelumnya, kali ini Tia dengan sadar siap menyerahkan diri dan menggoda Mang Enjup, laki-laki tua pembantu orangtuanya yang sudah dikenalnya dengan baik sejak kecil itu.  Sebenarnya sejak ditinggal Bram, Tia agak frustrasi karena kebutuhan seksnya tidak ada yang melayani. Makanya ketika dia digarap Dr Loren dan Danang-Reja beberapa hari lalu, sebenarnya dia melayani dengan suka rela, asalkan bisa mengecap kenikmatan.

“Coba kita lihat hasil terapi tadi…” kata Jana, lalu tiba-tiba dia mendekati Tia dan kembali menggerayangi.

Febby terpikir untuk meramaikan suasana, jadi dia menuju laptopnya dan mulai memutar musik dance. Dia kemudian mendekati Tia dan Jana sambil bergoyang ikut irama. Jana juga ikut-ikutan, sambil menggerak-gerakkan tubuh Tia, mengajak Tia ikut dance. Tia terbawa juga, mulai meliuk-liukkan tubuhnya yang indah.

Mang Enjup jadi ngiler melihat tiga perempuan cantik bergoyang aduhai di depannya.  Febby dan Jana bergerak luwes seperti sudah biasa ajojing. Jana apalagi, dia yang sejatinya bekerja jadi agen cewek panggilan dan penari tanggal baju setelah sebelumnya malang melintang di dua profesi itu, sudah kenyang pengalaman memikat hati dan tubuh laki-laki lewat goyang tubuhnya.  Tia saja yang agak kaku.

“Mbak Tia cantik… Kita buka yah?” Jana bergoyang sambul memeluk Tia dari belakang, dan mengatakan itu sambil meraba tubuh Tia.

Jana melepas satu-satu kancing kemeja Tia.

“Uhh…” Mang Enjup melenguh ketika melihat apa yang tampak di balik kemeja abu-abu Tia.

Tadi waktu di luar, Danang mengira Tia tidak memakai bra karena bisa melihat puting Tia mencuat di balik kemeja.  Ternyata itu benar, dan sekarang Mang Enjup melihat sepasang buah dada sintal Tia.

“Wuaaah… berani banget ya Mbak Tia…” puji Jana sambil membelai-belai payudara Tia.  “Nggak nyangka dari tadi sudah nggak pake beha!”  Memang Tia dari tadi tak memakai bra.  Dari rumah.  Dan sepanjang perjalanan, dia terangsang karena menikmati pandangan orang-orang yang tergiur kecantikannya.  Jana membantu Tia melepas kemejanya sehingga Tia pun akhirnya berdiri topless di depan Mang Enjup yang mulai kelabakan.

“Aduh… duh meni geulis Neng Tia…” keluh Mang Enjup.

Tia melangkah maju mengikuti hentakan irama musik dari laptop Febby ke hadapan Mang Enjup. Mang Enjup tetap duduk, kemaluannya yang dari tadi ereksi mengacung ke depan. Tia menjulurkan tangan dan menadah bagian bawah batang kejantanan Mang Enjup yang tak seberapa besar.  Satu tangannya lagi bertumpu di paha Mang Enjup selagi dia membungkukkan badan, membuat kedua susunya bergelantungan.  Tia menengadahkan muka, mulutnya terbuka, matanya liar dan lapar. Ketika bekerja di rumah orangtua Tia dulu, Mang Enjup mengingat Tia sebagai gadis kecil yang manis dan polos. Kesan manis dan polos itu kini sudah hilang, tertutup ekspresi seksi dan binal. Wajah gadis kecil yang diingat Mang Enjup itu kini berubah, dengan bibir merah penuh, pipi merona, mata tajam berhias warna. Tia mengerling, menjilat bibir, menggoda Mang Enjup. Jemarinya membelai halus penis Mang Enjup. Mang Enjup sudah tak perlu lagi menggunakan ilmunya. Wajah Tia merambat dari dekat selangkangan Mang Enjup ke dada Mang Enjup, dan Tia mulai menjilat dan mengisap putting Mang Enjup.  Mang Enjup kemudian melihat wajah mesum Tia sudah berada tepat di depan wajahnya, bibir Tia bertemu bibirnya, dan lidahnya disedot Tia yang dengan ganas menciumnya.

Mana tahan Mang Enjup!  Benihnya yang sudah dari tadi berhasil ditahan meski menghadapi Febby dan Jana, langsung memaksa keluar.  Rangsangan dari Tia, tangan dan wajah dan aksi, memicu ejakulasi.

“Auhhh…” keluh Mang Enjup lirih, hasil terapi ejakulasi dini-nya langsung buyar seketika di tangan Tia, membuat cairan kental tersembur mengotori lantai di depan kursi.  Tia segera melepas ciumannya dan tersenyum sinis.

“Mang… Payah deh ah… Masa’ udah keluar…” kata Tia.

Mang Enjup yang masih terengah-engah sesudah keluar tanpa perlu memasukkan kemaluannya ke mana-mana itu masih mendapat hiburan berupa kesenangan kecil, dari kata-kata nakal Tia barusan.

Dia telah berhasil merusak Tia. Kini Tia pun menjadi satu lagi perempuan baik-baik yang dijadikannya binal. Laki-laki tua itu terengah-engah lelah.  Tapi puas.  Puas sekali.

“Belum juga masuk, mana enak… Tia bikin bangun lagi, ya, Mang?” kata Tia dengan suara menggoda.

Bunyi musik dance dari laptop Febby masih membahana, sehingga bagian dalam kantor itu seperti diskotik saja rasanya.  Tia kembali bergoyang seksi, kali ini dia menarik Febby yang dari tadi diam saja.  Febby mengerti dan keduanya pun menari sensual di depan Mang Enjup.  Benar-benar posisi Mang Enjup ibarat seorang raja zaman dulu, dirubung selir-selirnya, menikmati pertunjukan tari yang menawan hati di depan mata. Tapi kemaluannya kisut lemas sesudah dibuat muncrat Tia tadi. Tia memeluk Febby dalam posisi berhadapan, sambil menoleh ke arah Mang Enjup dan mengerling nakal.

“Mang, lihat nih,” kata Tia sambil menggerayangi Febby.

Sekretaris Mang Enjup itu mendesah-desah ketika Tia mencupang lehernya, menyibak rambut tebalnya.

“Ahh… uh… ah…” desah Tia seksi selagi tangannya mencengkeram rambut Febby dan memaksa si sekretaris menyedot dan mengenyot pentilnya.

Jana berkomentar, “Boleh juga nih!  Ikutan dong!  Ayo kita bikin Mang bangun lagi!”  dan langsung membuka kaitan bra-nya sambil menari-nari.  Dia ikut topless seperti Tia, sayang payudaranya sudah mulai turun dan berpentil gelap, tubuhnya memang mulai kalah dengan tubuh Tia dan Febby yang lebih muda.

Jana tidak mendekati Tia dan Febby yang bercumbu, malah dia mendekati Mang Enjup.

“Mang masih suka aku gini’in kan…” kata Jana yang kemudian berlutut di depan selangkangan Mang Enjup, kemudian mulai memasukkan kemaluan yang masih lemas itu ke dalam mulutnya.  Sebagaimana banyak perempuan di sekeliling hidup Mang Enjup, Jana juga dulu dirusak oleh Mang Enjup.  Namanya sekarang, Jana, adalah perubahan nama aslinya yang berarti cahaya di suatu tempat indah bagi manusia-manusia budiman kelak; Jana aslinya seorang gadis taat dari keluarga miskin dengan kampung halaman di pulau seberang, yang suatu hari datang membawa CV dan surat lamaran ke kantor Mang Enjup demi mendapat penghidupan lebih baik. Sayang, bibir sensualnya yang polos menarik perhatian laki-laki mesum berilmu gendam itu, sehingga, seperti kupu-kupu tersangkut jaring laba-laba, Jana pun terjerat. Menjelang akhir wawancara pertama, pakaiannya yang sopan telah bertebaran di lantai kantor, bagian-bagian tubuhnya yang biasa tak dia tunjukkan untuk sembarang orang sudah terungkap semua, dan bibir tebalnya yang polos namun sensual ternoda cairan kelelakian Mang Enjup.  Jana diterima bekerja di kantor Mang Enjup, dengan jabatan resmi sebagai asisten namun pekerjaan sebenarnya adalah menjadi salah satu wanita penghibur pelancar negosiasi.  Kehidupannya pun berubah, dia mulai memakai baju minim dan berdandan seksi sehingga memicu masalah dengan keluarganya yang konservatif.  Namun jiwanya sudah dicengkeram Mang Enjup sehingga dia malah memilih melupakan keluarganya.  Terjerumuslah Jana ke dunia hitam dan dia pun sepenuhnya berkecimpung di sana, sesudah cukup berpengalaman, dia mulai coba-coba mengajak gadis-gadis muda untuk mengikuti jejaknya melacur. Kini sudah sepuluh tahun sejak Jana pertama kali masuk ke kantor itu dengan harapan mendapat pekerjaan.

Jana terus mengisap, kepalanya maju-mundur sekujur kemaluan Mang Enjup yang masih tetap lemas, sambil matanya menatap penuh harap ke orang yang telah menggelapkan hidupnya.  Jana tak pernah merasa benci kepada Mang Enjup; bertahun-tahun sudah berlalu dan cengkeraman mental Mang Enjup sudah sirna, tapi Jana sendiri sudah pasrah dengan jalan hidupnya.  Kepala Jana makin terbenam ke selangkangan Mang Enjup, bibir dan lidahnya kini menggarap buah pelir laki-laki tua itu. Dulu sekali, Mang Enjup yang melihat indahnya bibir Jana memutuskan untuk membuat gadis itu menjadi ahli memuaskan laki-laki dengan bibirnya.  Jadi sepanjang Jana bekerja di bawah Mang Enjup, Mang Enjup sering menyuruh Jana menyervis dengan bibirnya, dan melatih Jana agar mau berbuat apa saja dengan bibir seksinya itu. Maka sekarang Jana mempraktikkan hal-hal yang diajarkan Mang Enjup kepadanya: dia menciumi dan menggigit-gigit lembut bagian pangkal paha Mang Enjup, mengulum dan menjilati biji, memuja seluruh selangkangan itu dengan bibirnya yang merah.  Mang Enjup mengerang keenakan, tangannya memegang belakang kepala Jana, memberi tanda kepada Jana untuk melanjutkan. Jana melanjutkan pelan-pelan, tahu bahwa Mang Enjup yang sudah tidak muda lagi itu tak akan cepat pulih.  Mukanya terbenam di antara dua sisi pangkal paha dan di bawah kemaluan Mang Enjup, lidahnya melejit menyusuri ke bawah, dari dasar kantong biji Mang Enjup terus ke bawah, menuju dubur laki-laki tua itu.  Ujung lidah Jana bergerak ke kanan-kiri dan menyapu lubang dubur Mang Enjup, kemudian naik lagi sampai menjilati bagian belakang buah pelir Mang Enjup.  Jana tak jijik sama sekali melakukan itu.  Selama beberapa menit Jana terus menggarap kemaluan, buah pelir, dan lubang dubur Mang Enjup. Tapi Jana sendiri terangsang berat dengan aksinya sendiri itu.  Lagi-lagi itu ajaran Mang Enjup; karena mau mengeksploitasi bibir Jana, maka dulu Mang Enjup menanamkan sugesti bahwa Jana bisa terangsang apabila dia sedang meng-oral laki-laki.  Mang Enjup sendiri merasa keenakan sampai-sampai dia tidak bisa berdiri, karena memang di antara kemaluan dan dubur ada titik sensitif yang berkali-kali dirangsang Jana, tapi kejantanannya belum juga bangun. Jana menoleh dan melihat Tia dan Febby sudah saling membugili.  Dia memanggil kedua perempuan yang lebih muda itu supaya tidak asyik sendiri.  Kemudian Jana menunjuk ke satu sofa di samping meja kerja Mang Enjup, yang bersandar ke tembok.

Febby dan Jana membantu Mang Enjup berdiri, dan laki-laki tua itu tertatih-tatih lemas dipapah dua perempuan cantik ke sofa.  Begitu Mang Enjup duduk lagi, Jana kembali berlutut di depannya, sementara Febby duduk di sebelahnya, menjulurkan tangan dan mengelus-elus kemaluan Mang Enjup yang masih juga ngadat.  Dengan Mang Enjup dikerubungi seperti itu, di mana posisi Tia?  Tia melangkah naik ke sofa, berdiri mengangkangi pangkuan Mang Enjup.

“Mang,” kata Tia, “lihat nih… memekku…”

Mang Enjup membelalak.  Dalam posisi seperti itu, bagian bawah perut Tia tepat berada di depannya, dan tangan Tia meraih ke bawah merentang vaginanya sampai bagian dalamnya yang berwarna pink dan basah terlihat.  Tia menjolokkan jarinya sendiri ke dalam, mengobel vaginanya sendiri.

“Ayo Mang… bikin Tia enak Mang… Jilatin memek Tia Mang…” pinta Tia.  Melihat Mang Enjup kewalahan karena bagian bawah tubuhnya diurusi Jana dan Febby, Tia berinisiatif sendiri, menyodorkan kewanitaannya langsung ke muka Mang Enjup sementara tubuhnya merapat ke tembok di belakang sofa.

“Haohhh!  Ayo jilatin Mang!  Terus Mang!” jerit Tia selagi lidah Mang Enjup memasuki vaginanya.

Tia mulai memain-mainkan payudaranya sendiri.  Sekali-sekali dia berseru,

“Terus jilatin,” dan “Entot Tia Mang” sementara nafasnya memburu.

Setelah dirangsang terus, kewanitaan Tia mulai mengeluarkan cairan sehingga bibir Mang Enjup pun basah belepotan, tapi Tia tak peduli, dia terus memaksakan memeknya mendesak muka orang yang dulu dihormatinya itu. Lama sekali ketiga perempuan itu berusaha membangkitkan kejantanan laki-laki yang telah merusak mereka.  Mungkin sampai setengah jam.  Jana merangsang di dekat anus, Febby mengocok serta menjilati batang penis, sementara Tia menyodorkan vaginanya untuk dilalap Mang Enjup.

“Sudah naik lagi nih!” teriak Febby girang sesudah dia melihat kemaluan Mang Enjup akhirnya keras lagi.

Di antara ketiga perempuan yang ada di sana, Febby-lah yang saat ini paling sering menjadi pasangan seks Mang Enjup, karena kedekatannya sebagai sekretaris. Aslinya Febby mulai bekerja di perusahaan itu di bagian lain, tapi suatu hari dia dipindah menjadi sekretaris Mang Enjup. Mang Enjup langsung mengacak-acak hidup Febby begitu gadis berkacamata berhidung mancung itu jadi bawahannya, sedikit demi sedikit: pertama, Febby dibuat tak lagi tertarik dengan pacarnya, sehingga pemuda malang itu akhirnya diputus oleh Febby. Kemudian Febby yang aslinya berpenampilan tomboy dipengaruhi sehingga berubah: dulu Febby berambut pendek dan biasa mengenakan celana panjang ke kantor, sekarang Febby memelihara rambutnya jadi panjang dan megar, dan dia selalu memakai rok mini dan sepatu hak tinggi.  Dan Mang Enjup juga membuat Febby jadi mudah cepat orgasme, karena Mang Enjup ingin sekretarisnya itu bisa puas biarpun disetubuhi hanya beberapa menit. Kalau Febby susah puas, bisa-bisa dia tidak setia dan mencari-cari kenikmatan dari orang lain. Sementara itu kemampuan kerja dan sikap dingin Febby tetap seperti semula.

Nah, seperti sudah dijelaskan, oleh Mang Enjup, Jana dibuat mudah terangsang apabila sedang melayani laki-laki dengan bibirnya, sementara Febby dijadikan cepat mendapat orgasme.  Keduanya sedari tadi tidak diam saja.  Febby sempat mengalami orgasme kecil ketika tadi digerayangi Tia, sementara Jana memainkan lidahnya di selangkangan Mang Enjup sambil bermasturbasi dan menuju klimaks. Sementara Tia tidak juga puas biarpun sudah memaksa Mang Enjup menjilati kemaluannya.

“Tia, Tia, kamu entot Mang, sekarang!”  pinta Mang Enjup.  Tia mengerti, dia langsung menurunkan tubuhnya menyambut tegak kembalinya kejantanan Mang Enjup.  Penis Mang Enjup yang sedang tegak itu diarahkan oleh Febby ke arah belahan vagina Tia.  Tia yang mengangkangi selangkangan Mang Enjup pelan-pelan menurunkan tubuh sehingga masuklah penis tua itu ke dalam belahan kewanitaannya yang basah. Tapi memang punya Mang Enjup tidak sebesar penis banyak orang yang pernah dicobanya.  Jadi “kurang berasa” untuk Tia. Ekspresi wajahnya tak berubah ketika dimasuki batang Mang Enjup. Jana ikut nimbrung, dia mengalihkan perhatian ke pantat Tia.  Ketika lidah Jana mulai menyapu belahan pantat Tia, Tia merinding. Tia mulai menaikturunkan tubuhnya, menjepit kejantanan Mang Enjup dengan vaginanya, sambil menciumi wajah Mang Enjup. Suara desahannya tak sebegitu intens, jelas karena dia masih belum puas dengan ukuran barang yang mempenetrasinya. Tapi ereksi yang diusahakan dengan susah payah sampai setengah jam itu tidak bertahan lama. Mang Enjup mengeluarkan suara mengeluh panjang dan berejakulasi di dalam vagina Tia, setelah hanya empat-lima kali digenjot Tia. Semprotan maninya cepat berhenti, dan kemaluannya cepat sekali melemas dan kisut. Umur tak bisa dibohongi, sang perusak wanita itu tak lagi jantan, tiga perempuan seksi merubungnya pun disia-siakan begitu saja.

“Heh?… Yaaah… Kok cepet lagi keluarnya?  Aaahhh…” Tia merajuk.

“Aduh… maafin Mang,” kata Mang Enjup yang lemas.

Tubuhnya yang tua itu terasa capek sekali; dua kali orgasme dalam waktu singkat sangat menguras tenaga.  Mata Mang Enjup jadi sayu, dan dia jadi merasa mengantuk.  Dan kepalanya terasa berkunang-kunang.  Tanpa dapat menahan, Mang Enjup tertidur…

“Haahhh… malah tidur… Iiihh… “ keluh Tia.  Febby merangkulnya dan membantunya turun dari pangkuan Mang Enjup.

“Sudah… Mbak Tia, biarin aja Bapak istirahat, jarang banget dia bisa ngecrot sehari dua kali dalam waktu berdekatan gitu. Sekarang Mbak Tia pulang aja ya?  Penjelasannya kan udah, Mbak Tia juga udah tahu apa yang harus dilakukan,” bujuk Febby.

Febby dan Jana mengajak Tia ke kamar mandi kecil di dalam kantor itu, lalu mereka bertiga membersihkan diri dengan shower, Tia mencuci vaginanya.  Cairan yang dikeluarkan Mang Enjup di dalam dirinya hanya sedikit.  Sesudahnya mereka mengeringkan diri dan berpakaian lagi. Ketika akan meninggalkan ruangan, Tia menengok ke Mang Enjup yang tertidur.  Kedua “selir”nya—Febby dan Jana—memakaikan kembali baju dan celana Mang Enjup.  Tia tersenyum melihat Mang Enjup yang menganga mulutnya dan ngorok ketika ketiduran di sofa, juga ketika melihat betapa perhatiannya Febby dan Jana kepada Mang Enjup.  Entah apa yang dipikirkan keduanya terhadap laki-laki tua yang telah mengubah hidup mereka itu.  Benci?  Dendam? Acuh? Atau malah sayang? Tia melangkah keluar dengan tak puas.  Sekali lagi dia melewati Danang yang duduk menumpangkan kaki di meja, dan kembali dia melirik genit ke arah Danang.  Sayangnya Danang terlalu pengecut untuk menanggapi ajakan Tia itu.  Padahal dia bisa saja jadi pelampiasan Tia yang tidak sempat dibikin puas oleh Mang Enjup.  Tapi karena Danang tidak berani berinisiatif, maka dia cuma bisa gigit jari. Tia pulang sambil mengingat-ingat penjelasan mengenai perannya dalam negosiasi tender mendatang.  Dia perlu menggunakan tubuhnya untuk meyakinkan Pak Walikota. Pesan itu, tanpa diucapkan jelas oleh Mang Enjup maupun Febby dan Jana, sudah tertanam di kepala Tia. Dan ketika Tia berbaring malam itu, tubuhnya yang belum terpuaskan membuat dia sulit tidur.  Besok dia akan menghadap Pak Walikota, dan dia berharap Pak Walikota tidak punya masalah ejakulasi dini seperti Mang Enjup…
#######################################

====================================
Slutty Wife Tia 8: The Major’s Party
====================================

Pagi, di Salon Citra.
Tia

Tia

Ketika Tia dan Citra bersekolah di SMA yang sama dulu, berbeda dua angkatan, keduanya dikenal sebagai kembang di sekolah itu.  Kedua gadis yang orangtuanya saling kenal itu sama-sama jelita, namun tipe kecantikan mereka berbeda.  Citra selalu bergaya, glamor, dan menggoda; Tia polos, malu-malu, dan bersahaja.  Tak heran sejak dulu mereka berdua tidak pernah kehabisan perhatian dari laki-laki, mulai dari sesama siswa sampai orang-orang lebih tua.  Tia tidak pernah menanggapi karena dulu dia menganggap belum waktunya dia pacaran.  Sedangkan Citra beredar dari satu laki-laki ke laki-laki lain, menikmati kekaguman dan cinta mereka.  Kedua gadis cantik itu akhirnya menjadi saudara ipar, dipertalikan lewat pernikahan Tia dengan Bram adik Citra, namun keduanya juga jadi bersahabat, berbagi suka dan duka, saling membela dan menjaga. Pagi-pagi Citra sudah ditelepon Tia yang minta dirias dan didandani untuk suatu acara.  Tia awalnya tidak cerita acara apa, tapi di tengah pembicaraan ketika dirias Citra berhasil mengorek sedikit-sedikit apa yang mau dilakukan adik iparnya.

“Omong-omong, ada acara apa, kok tengah minggu begini?” Citra mengulik.

“Aku diminta bantu negosiasi tender proyek sama Mang Enjup,” kata Tia.

“Tapi kenapa persiapannya kayak mau ke resepsi?  Sampai pake kebaya segala…”

“Diminta Mang Enjup,” kata Tia sambil tersipu malu, “Mau ketemu orang penting…”

Citra tidak bertanya lagi, tapi dia merasakan sesuatu yang mencurigakan.  Dia tahu apa yang Mang Enjup pernah lakukan kepada Tia, dan dia tahu reputasi Mang Enjup, tapi dia tak menyangka Tia akan terjerumus sedemikian jauh. Citra tidak masalah kalau Tia mengubah diri demi Bram, tapi sepertinya perubahan Tia tidak cuma itu… Tapi untuk saat itu Citra memilih diam dulu. Dia meneruskan pekerjaannya. Tak lama kemudian Citra berkacak pinggang sambil memperhatikan hasil karya-nya, Tia yang sudah dirias lengkap dan tampak mempesona dalam kebaya modern. Tubuh Tia yang pada dasarnya indah terlihat makin gemulai dalam balutan kebaya dan bawahan kain batik yang pas badan itu. Tapi Citra sudah bisa menebak, dalam beberapa jam dandanan anggun itu akan rusak diacak-acak.  Entah oleh siapa.  Barangkali oleh “orang penting” itu. Mungkin Mang Enjup juga bakal ikutan. Kain batik yang membungkus pahanya bakal disingkap agar paha mulus Tia dapat dijamah. Kebaya berdada rendah yang membusungkan dada Tia itu tak bakal melindungi payudara Tia dari ciuman dan gigitan; begitu pula leher mulus Tia yang terlihat seksi tanpa tertutup rambutnya yang disanggul modern. Make-up yang dibubuhkan Citra dengan hati-hati itu bakal jadi awut-awutan karena keringat dan sperma, lipstik merah yang memperindah bibir Tia bakal terhapus ketika berkali-kali bergesekan dengan batang kejantanan.

Citra menceletuk, “Udah siap nih, pengantinnya siap naik ke pelaminan.”  Tia tertawa kecil.  Citra merasa sedikit miris.

“Di mana acaranya?” tanya Citra lagi.

Tia menyebut nama satu hotel yang terletak dekat pusat kota. Citra tersenyum kecut. Dia hafal benar nama hotel itu. Hotel berbintang yang dulu sering sekali Citra datangi dengan berbagai laki-laki.

“Nanti mau dijemput sama Mang Enjup dari rumah, makanya siap-siapnya dari sekarang,” kata Tia.

“Bram belum pulang ya?”

Tia menggelengkan kepala menjawab pertanyaan kakak iparnya.

“Kapan dia pulang?” Citra terus bertanya.

“Iih, Kak Citra kok tanya-tanya melulu,” seru Tia, “Biarin aja dia mau pulang kapan…”

Citra diam saja sesudah itu, agak prihatin dan khawatir tentang apa yang akan terjadi pada Tia.  Bukan seperti ini yang dia harapkan ketika beberapa waktu lalu dia memberi saran kepada Tia agar lebih mengikuti kemauan suaminya.  Sebandel-bandelnya Citra, dia masih sayang pada adik iparnya, dan tidak mau Tia terjerumus seperti dirinya. Ketika Tia kembali ke rumahnya sendiri untuk menunggu dijemput, Citra langsung menelepon Bram, ingin tahu sedang di mana adiknya itu. Teleponnya tidak dijawab. Tentu saja, karena Bram mematikan telepon genggamnya di atas pesawat yang sedang membawanya pulang lebih cepat daripada dijadwalkan.

*****

Tidak lama kemudian, Tia yang menunggu di rumahnya mendengar suara mobil berhenti di luar.  Mang Enjup datang menjemputnya.  Seperti biasa Mang Enjup ditemani dua anak buahnya yaitu Danang dan Reja.  Reja menyetir sementara Danang memang kerjaannya mengintil pamannya ke mana-mana.

“Haduuh… Rupanya habis ada bidadari turun ke dunia?  Mang sampe ga percaya.  Geulis kieu,” puji Mang Enjup.

Dia memandangi sekujur tubuh putri pemilik perusahaan tempat kerjanya itu penuh nafsu. Kalau saja hari itu bukan hari pelaksanaan rencananya, Mang Enjup ingin sekali merasai lagi tubuh indah Tia. Dia teringat-ingat terus betapa tubuh tuanya bertekuk lutut dua kali akibat kemolekan Tia kemarin, ketika Tia mendatanginya di kantor. Danang dan Reja juga terbit gairahnya melihat Tia, mereka belum lupa pengalaman mereka beberapa kali mencicipi tubuh Tia.

“Ayoh kita langsung berangkat.  Neng Tia sudah makan?” tanya Mang Enjup.  Tia mengangguk.  “Kan tadi Mang bilang suruh siap lahir batin,” kata Tia, merujuk percakapan mereka tadi pagi.  Saat itu sudah lepas tengah hari.  Mobil sedan Mang Enjup segera meluncur meninggalkan rumah Tia, menuju pusat kota.

Semua itu tak lepas dari pengamatan Citra yang sengaja duduk-duduk di luar, mengawasi rumah Tia.  Dengan gemas Citra kembali berusaha menelepon Bram.  Belum juga berhasil.

*****

Sepanjang perjalanan Mang Enjup berbicara sesuatu ke Tia. Tia tak memperhatikan. Dia sedang menikmati bagaimana ketiga laki-laki di dalam mobil itu mengagumi dirinya. Tia duduk di belakang bersama Mang Enjup sementara Reja di depan mengemudi sedangkan Danang di kursi penumpang depan. Danang berkali-kali menengok ke belakang tanpa alasan jelas, hanya untuk melihat wajahnya.  Sementara Reja terus memperhatikan jalan, tapi Tia beberapa kali melihat lewat kaca spion dalam, mata Reja tajam mengamatinya. Dan Mang Enjup sendiri mengajak berbicara Tia sambil tangannya menggenggam tangan Tia.  Genggaman itu kadang dilepas menjadi belaian ke paha Tia yang masih terbungkus kain.

Kak Citra, beginikah rasanya jadi dirimu?

Sejak berubah penampilan, cara berpikir Tia ikut berubah. Kini dia menikmati perhatian dan kekaguman laki-laki. Dia mulai memandang dirinya sebagai objek nafsu lawan jenisnya, keberadaannya hanya demi memuaskan syahwat laki-laki. Seakan kodratnya adalah untuk menyediakan kecantikan dan keseksian tubuh. Dan bukan hanya untuk suaminya. Tapi untuk semua laki-laki. Dia tak menolak siapapun. Seperti seorang pelacur, Tia kini bersedia dijamah siapapun tanpa memandang status dan tampang. Sejak perubahannya, sudah banyak laki-laki yang menikmati tubuhnya.  Laki-laki tua seperti Mang Enjup. Laki-laki kalangan bawah seperti Pak Kumis, si tukang sayur. Begundal seperti Danang dan para aparat yang menciduknya. Tia sudah bisa mengira bahwa tubuhnya akan diumpankan kepada Pak Walikota. Kata-kata terselubung yang disampaikan Febby dan Jana kemarin membenarkan itu. Dan Tia sama sekali tak keberatan. Dia sudah pernah meladeni manusia-manusia yang lebih tak pantas bagi dirinya, jadi Pak Walikota malah bukan tantangan baginya. Bagaimanapun, Pak Walikota tak bisa dibilang buruk rupa. Memang umurnya sudah matang, tapi masih lebih muda daripada Mang Enjup. Dibanding Mang Enjup yang buncit, Pak Walikota lebih tegap dan atletis, karena pensiunan perwira. Ditambah lagi, Pak Walikota jelas lebih berkuasa daripada Mang Enjup, apalagi suami Tia sendiri, Bram.

Masih Tia ingat bagaimana Pak Walikota menatapnya di pesta.Tatapan seorang laki-laki yang lapar yang menginginkannya, yang seolah hendak menelanjanginya saat itu juga. Memang, ketika itu bukan hanya dia yang dipandangi seperti itu; dua perempuan lain yang ada di sana juga dipandangi seperti itu. Tak apa. Tia menduga dia mungkin akan bertemu dengan kedua perempuan itu lagi. Biar saja.Dia sudah merasa cukup percaya diri untuk bersaing. Oh, dia sudah tak sabar untuk bertemu Pak Walikota! Mereka menuju satu kawasan yang dikenal sebagai pusat hiburan malam kota. Di tengah siang, suasananya tak begitu ramai, tak seperti kawasan bisnis dan perdagangan di sekelilingnya. Diskotik, panti pijat, karaoke, dan hotel di kiri-kanan jalan terlihat belum hidup. Tapi tempat parkir yang penuh mobil menunjukkan bahwa tetap ada orang-orang yang sedang melepas lelah dan suntuknya di sana, mencuri waktu untuk mereguk kenikmatan di tengah sibuknya jam kerja. Mobil Mang Enjup berbelok ke arah satu gedung yang sepertinya bertingkat empat atau lima, tapi bagian mukanya tertutup dinding kamuflase utuh yang menghalangi pandangan. Tia mengira inilah hotel tempat dia akan bertemu dengan Pak Walikota. Tia baru tahu mengenai hotel itu, tapi bagi Mang Enjup, nama hotel itu sudah sangat akrab. Hotel itu terkenal sebagai salah satu pusat hiburan malam terbesar di kota. Prostitusi, judi, narkotika—semua terjadi di balik dinding yang menutupi muka hotel itu.  Pihak berwenang bukannya tak tahu. Mereka sangat tahu. Dan mereka ikut menikmati bisnis gelap itu, baik uangnya maupun kegiatan usahanya. Mobil berhenti di depan lobi dan Mang Enjup turun bersama Tia dan Danang.  Reja kemudian membawa mobil ke tempat parkir. Tia dan yang lain melangkah masuk ke lobi hotel itu yang terlihat agak sepi. Di depan meja resepsionis berdirilah seorang laki-laki berambut cepak dan bertubuh besar, mengenakan kacamata hitam dan pakaian serba hitam.

“Pak Jupri.  Selamat datang, silakan ikut saya,” kata laki-laki cepak itu.  Mang Enjup tersenyum dan mengikuti laki-laki itu yang langsung berjalan dengan langkah-langkah besar ke arah satu pintu di seberang lobi.  Tia dan Danang mengikuti.

Di balik pintu yang mereka lewati ada koridor sepi dengan beberapa pintu lain di kanan-kiri. Mereka menuju pintu paling ujung dan di balik pintu itu ada satu lounge yang terbuka ke arah kolam kecil dan taman, dengan bar menempel di satu dindingnya dan sofa-sofa putih tersebar. Karena masih siang, lounge itu sepi, hanya ada bartender yang bekerja dan beberapa orang yang duduk di sofa. Laki-laki dan perempuan. Yang laki-laki biasanya berpenampilan rapi seperti orang kantoran atau pengusaha. Yang perempuan umumnya muda-muda, cantik, berpakaian dan berdandan seksi. Inilah salah satu lokasi paling sering dikunjungi di hotel itu, yaitu tempat pra hidung belang mencari dan tempat para wanita penghibur dan mucikari mangkal. Terlihat seorang laki-laki botak berkumis memanggil seorang perempuan paro baya, mucikari, yang datang diikuti tiga anak buahnya. Laki-laki botak itu memandangi ketiga perempuan yang disodorkan, bingung mau memilih yang mana.

“Tiga-tiganya saja Om, kalau bingung,” goda si mucikari.

Di pojok lain seorang laki-laki berdiri meninggalkan sofa sambil merangkul pelacur yang sudah dipilihnya, menuju pintu lift di sebelah bar, yang akan membawa mereka ke lantai-lantai berisi kamar.

“Pak Jupri, ini yang mau mewakili di atas?” kata si cepak sambil menengok ke Tia.

“Iya,” kata Mang Enjup.  “Namanya Tia.”

“Non Tia bisa ikut dengan saya ke atas,” kata si cepak lagi.  “Pak Jupri boleh tunggu di sini, atau tidak usah tunggu juga tidak apa-apa, barangkali terlalu lama.”

“Kita tunggu di sini aja sebentar,” kata Mang Enjup sambil menoleh ke Tia.  “Neng, ikut sama bapak ini ya ke atas. Mohon bantuannya, ya Neng.  Inget pentingnya tender ini buat perusahaan, buat kita semua.”

Mang Enjup menggenggam tangan Tia erat-erat, sambil memandangi dengan mata penuh harap.

“Iya, Mang,” kata Tia sambil tersenyum.

Mereka berpisah di situ. Mang Enjup dan Danang mencari tempat duduk di sofa, Tia dan si cepak menuju pintu lift. Setelah duduk, mata Danang langsung jelalatan. Beberapa pelacur yang berseliweran tersenyum menggoda ke arahnya. Sementara Mang Enjup mengawasi sekelilingnya. Dia mencari-cari kedua saingannya. Benar saja, Simon Sunargo ada di kursi depan bar, duduk menghadap bartender, tubuh kecilnya kelihatan tambah kecil karena posisinya yang seperti meringkuk menggenggam gelas berisi minuman keras. Dia sendirian dan tak mengacuhkan perempuan-perempuan cantik yang ada di sana. Beda dengan saingannya yang satu lagi, Majed.  Majed yang ganteng dan bertampang seperti bule itu pindah duduk ke sofa tempat laki-laki botak berkumis tadi yang ternyata temannya, dan perempuan-perempuan yang merubungnya mengintil seolah harem-nya. Pertarungan sudah dimulai, pikir Mang Enjup.

*****

Pintu lift membuka di lantai lima, lantai tertinggi hotel. Tia dan si cepak keluar ke koridor sepi dengan sedikit pintu—tanda bahwa di lantai ini kamar-kamarnya besar sehingga jarak antar pintu lebih jauh. Memang lantai lima adalah lantai khusus kamar suite, kamar-kamar termahal di hotel itu. Salah satu pintu kamar terbuka dan keluarlah dua laki-laki bertubuh tegap seperti aparat.  Salah seorangnya terlihat teler dan mesti dipapah temannya.  Tia dan si cepak menepi ketika kedua laki-laki tegap itu berpapasan dengan mereka, menuju lift.  Mungkin di dalam kamar itu sedang ada sesuatu yang dinikmati, sesuatu yang membikin teler. Tapi keempat orang yang bertemu tanpa sengaja di lorong lantai lima hotel itu tak saling bertanya. Tahu sama tahu. Mereka tidak peduli apa yang dilakukan orang lain di kamar-kamar tertutup di sana, asalkan tidak mengusik apa yang mereka sendiri lakukan.  Dalam kerahasiaan dan ketertutupan, di balik dinding yang menghalangi pandangan dari luar, segalanya bisa terjadi. Tia merasakan jantungnya berdebar-debar ketika dia dibawa menuju satu pintu yang terletak paling ujung. Di depan pintu itu, si cepak mengetok pintu beberapa kali lalu mengangkat walkie-talkie yang dari tadi ada di pinggangnya.

“Pak, dari Pak Jupri, sudah datang,” katanya ke walkie-talkie itu.

“Suruh masuk,” kata suara yang membalas.

Mereka berdua masuk setelah kunci pintu dibuka. Pintu itu adalah pintu kamar suite terbesar di hotel. Yang menyambut Tia di dalam adalah pemandangan interior mewah area depan kamar itu, ruangan kecil bernuansa warna hijau zaitun dengan kertas dinding mewah dan lukisan besar. Di ruangan itu ada satu sofa lebar.

“Silakan duduk di sofa sama yang lain,” kata si cepak kepada Tia, kemudian dia keluar lagi dari kamar itu.

“Yang lain” yang dimaksud adalah dua perempuan lain yang sudah duduk di sofa. Dua perempuan yang sudah Tia lihat waktu pesta. Dua saingannya. Duduk di sebelah kiri sofa, Gabriella Iffa Almaraz. Perempuan Amerika Latin yang dibawa Majed itu tampak menawan dalam gaun merah dan sepatu hak tinggi yang juga merah, membuat Tia teringat telenovela yang dulu ditayangkan di TV dan sangat terkenal, di mana pada pembukaan tokoh utamanya menari sambil menyanyikan lagu tema dengan mengenakan pakaian seperti itu. Gaby berkulit sawo matang, dengan mata kelabu-biru bening, rambut coklat bergelombang, dan hidung mancung. Kecantikannya memang menonjol, namun di negara asalnya yang terkenal sebagai gudang perempuan tercantik sedunia, Gaby sebenarnya tidak istimewa, apalagi dia sebenarnya berasal dari latar belakang miskin dan tak punya ketrampilan.  Keadaan itulah yang membuat Gaby terjerat iming-iming pekerjaan yang ditawarkan mafia setempat, dan pada akhirnya dia terdampar di negara asing yang jauh dari kampungnya. Masih untung, di negara asing yang jauh itu justru wajah uniknya membuat dia berharga lebih tinggi sebagai penghibur, makanya hanya orang-orang yang mampu bayar mahal macam Majed-lah yang bisa menanggap jasanya.
Gabby/ Gabriella

Gabby/ Gabriella

Sementara di sebelah kanan sofa bersandarlah Wang Shen Yi alias Shenny, yang mewakili Simon Sunargo. Salah satu bisnis Simon adalah agen model, namun Simon juga mengaryakan sebagian modelnya sebagai pelacur kelas tinggi. Tarif mereka yang bisa mencapai jutaan untuk semalam membuat gadis-gadis itu beredar di kalangan eksklusif saja.  Shenny adalah salah satunya, gadis keturunan oriental yang terbujuk rayuan agen “pencari bakat” bawahan Simon yang menawarkan pekerjaan model dengan menyatakan tampang khas Asia Timur yang dimiliki Shenny sedang diminati. Diminati, oleh banyak laki-laki, keturunan maupun pribumi, yang memang menggemari kulit kuning langsat dan mata sipit, dan mampu mengeluarkan uang banyak.  Uang dan kehidupan glamor membuat Shenny sulit lepas dari pekerjaannya, memuaskan mata dan tubuh laki-laki. Tubuh langsing Shenny siang itu berbalutkan cheongsam sutra coklat, sementara tata rambutnya persis seperti ketika Tia pertama kali melihatnya, dikepang satu di belakang kepala dan dihias jepit rambut berbentuk anggrek. Dengan hadirnya Tia, maka lengkaplah perwakilan dari tiga peserta tender yang akan bersaing memperebutkan proyek besar. Tia jelas berbeda dengan Gaby dan Shenny.  Kedua perempuan itu boleh dikata memang berprofesi prosititusi kelas tinggi.  Sementara Tia bukan. Tia seorang auditor internal paro-waktu di perusahaan perkongsian orangtuanya dan orangtua Bram, juga istri Bram, dan calon pewaris perusahaan. Sebenarnya bukan tugas Tia untuk mengorbankan tubuhnya demi perusahaan. Namun siasat Mang Enjup yang sudah mengetahui kesukaan Pak Walikota terhadap Tia-lah yang membuat Tia berada di sana. Dan semua itu berawal dari foto-foto pelacur yang Tia temukan di HP Bram!

*****

Ketika Tia datang, Gaby dan Shenny sedang ngobrol dengan bahasa Inggris.  Keduanya berhenti bicara sewaktu Tia mendekat. Shenny menatap Tia dengan tatapan angkuh, sementara Gaby tersenyum lebar, berdiri, dan menjulurkan tangan.

“Hi there.  I think I already saw you at the party?” “Hai, bukankah saya pernah lihat kamu di pesta itu?” sapa Gaby dengan bahasa Inggris berlogat Latin.

Tia menyambut uluran tangan itu dan berjabat tangan dengan Gaby.  “How do you do?  I’m Tia.”  “Apa kabar?  Saya Tia.”

“Nice to meet you Tia.  You’re here for the business also?” “Senang bertemu kamu, Tia. Kamu ada di sini untuk urusan itu juga?” sambut Gaby ramah.  Gadis Latino itu sepertinya mudah akrab dengan orang.

Kemudian Tia menyodorkan tangan ke arah Shenny, berusaha berkenalan.  Beda dengan Gaby, Shenny tampak meremehkan Tia dari tadi, tapi mukanya terlihat seperti kecele’ ketika mendengar Tia juga bisa ngobrol lancar dalam bahasa asing dengan Gaby. Tia duduk di antara Gaby dan Shenny di tengah sofa, kebaya warna emasnya membuat dia tak terbanting oleh keelokan kedua saingannya.

“Udah biasa urusan begini?” tanya Shenny datar ke Tia.

Tia bingung menjawabnya.  ‘Biasa urusan begini’ maksudnya… biasa menggunakan keindahan tubuhnya untuk melobi?

Jadi Tia menjawab dengan tersenyum saja.

Shenny tersenyum sinis.  “Masih baru ya… Asal jangan minta diajarin aja entar.”

“Nice room they have here.”  “Kamarnya bagus juga,” celetuk Gaby, yang tidak mau ketinggalan obrolan.

“I’ve seen better…” “Saya sudah pernah lihat yang lebih bagus…” balas Shenny, seolah mau menyombongkan pengalamannya.  “But this one seems really big.  Too big.”  “Tapi kamar ini kelihatannya besar sekali.”

Terlalu besar kalau hanya untuk empat orang…

Ruang depan itu membuka ke arah bagian dalam kamar suite yang tak terhalang dinding. Dari dalam muncullah seorang laki-laki bertubuh tegap, berusia setengah baya, mengenakan kimono. Rambutnya hitam bercampur uban, wajahnya keras namun tampan.  Dialah Pak Walikota.

“Selamat datang, ladies,” katanya ramah.  “Moga-moga tidak bosan karena kelamaan nunggu.  Ayo masuk.”

Ketiga perempuan cantik itu berdiri dan mengikuti Pak Walikota masuk ke ruangan utama kamar suite. Kamar itu besar sekali, mungkin lebih mirip suatu unit apartemen penthouse daripada kamar hotel. Ada ruang tengah yang berisi sofa, kursi, dan televisi, dan terlihat beberapa pintu yang mungkin menuju kamar mandi atau kamar tidur tersendiri.  Seluruh lantainya tertutup karpet empuk. Di ruang utama, Tia, Gaby, dan Shenny disuruh duduk lagi di sofa yang ada di sana, sementara Pak Walikota duduk di kursi di seberangnya. Posisi duduk ketiga perempuan seperti di depan tadi: Gaby di kiri, Shenny di kanan, Tia di tengah.

“Saya rasa kalian bertiga sudah tahu kan kenapa kita semua ada di sini.  Saya mau tahu yang mana di antara perusahaan yang kalian wakili yang paling pantas untuk jadi mitra kerja pemerintah daerah untuk proyek penting yang akan kita garap. Jadi, silakan.”

Pak Walikota mendatangi sofa tempat ketiga perempuan cantik itu duduk.  Pertama dia mendekati Gaby. Tanpa disuruh, Gaby berdiri.

“What’s your name?”  “Namamu siapa?” tanya Pak Walikota sambil mengelus lengan perempuan Latino itu.

“Gabriella, Pak. Di panggil Gaby,” kata Gaby dengan logat asing tapi lancar.  Dia sudah cukup mahir setelah beberapa tahun bekerja. Walikota tersenyum.  “Good, good.  Jadi kita nggak usah ngomong bahasa Inggris kan nih.”  Gaby duduk kembali.

Kemudian Pak Walikota ke orang di sebelah Gaby, Tia. Tia juga berdiri meniru Gaby. Pak Walikota justru meraih tangan kanannya.

“Kita ketemu lagi, Bu Tia… Boleh saya panggil Tia saja kan?” kata Pak Walikota, lalu dia mencium tangan kanan Tia yang di jari manisnya tersemat cincin pernikahan itu.

“Tapi nggak nyangka juga ada kesempatan seperti ini… semoga bisa lancar dan sesuai harapan,” kata Pak Walikota.  Tia tak paham apa yang dimaksud.

Tanpa menjelaskan kata-katanya, Pak Walikota berlanjut menuju perempuan terakhir di sofa itu, Shenny. Shenny juga berdiri dan tersenyum semanis mungkin. Di antara tiga perempuan itu, Shenny yang paling muda. Tapi pengalamannya sebagai penghibur tak kalah dengan Gaby, apalagi dari Tia.  Jadi dia tahu benar cara bersikap di hadapan laki-laki.

“Saya Shenny, Pak Walikota,” katanya sambil mengerling genit.

Dilihatnya Pak Walikota balas tersenyum, lalu menjulurkan tangan dan membelai pipinya.

“Shenny ya.  Cantik juga kamu,” kata Pak Walikota.

“Makasih Pak,” ujar Shenny, membalas basa-basi.

“Oke,” kata Pak Walikota sesudah menyapa ketiganya.  “Saya kira kalian sudah diberitahu, atau tahu sendiri, kita semua mau apa di sini.  Iya kan?”  Gaby dan Shenny mengangguk dan tersenyum.

“Nah, mesti saya beritahu… yang mau kita lakukan ini mungkin nggak seperti yang kalian kira.”  Walikota memandangi ketiganya, lalu bertepuk tangan.  Isyarat untuk sesuatu.

“Kalian udah siap fisik dan mental kan?” tanya Walikota.

Dari bagian dalam kamar itu terdengar langkah-langkah dan suara-suara.  Laki-laki. Dan muncullah mereka, lima belas orang, di belakang Walikota. Tia, Gaby, dan Shenny memperhatikan orang-orang yang datang itu. Dan ketiganya cukup terkejut. Mungkin yang sedang mereka saksikan itu sekumpulan manusia paling jelek, menjijikkan, dan mengerikan yang pernah mereka lihat. Entah dari mana asalnya mereka. Preman? Gelandangan?  Klub orang jelek? Ada satu orang yang di mukanya ada bekas luka besar melintang dari mata ke hidung. Ada lagi yang mukanya bopeng seperti bekas jerawat parah atau cacar. Ada seorang tua dengan pakaian lusuh, seperti peminta-minta.  Ada anak muda kurus dengan mata kosong dan tangan penuh bekas luka suntik.  Satu orang di antara mereka nyengir, mukanya hitam, tiga gigi depannya ompong.  Di belakang ada seseorang yang kegemukan.  Ada yang pendek sekali, nyaris cebol, dengan mata liar.  Sekumpulan manusia-manusia bernasib kurang mujur bertampang hancur.  Untuk apa mereka ada di sana?  Tia dan kedua yang lain bertanya-tanya.  Mereka memandangi Pak Walikota. Lalu terdengar salah seorang dari kelompok itu menceletuk.

“Gile, cakep-cakep banget.  Beneran buat kita nih Pak?”

Walikota tersenyum dan berkata kepada ketiga perempuan itu.

“Oke.  Begini caranya.  Kalian mungkin datang ke sini sudah tahu mau berbuat apa. Mungkin kalian dikasih tahu harus melayani saya sebaik-baiknya. Kalian pasti tahu, kalian ada di sini untuk bersaing. Kepentingan orang yang kalian wakili tergantung pelayanan kalian. Nah, kebetulan saya punya satu keinginan, dan saya pikir itu bisa dijadikan bagian persaingan ini.”

Tertegun ketiga perempuan itu mendengar kata-kata Pak Walikota.  Apalagi ketika mendengar lanjutannya…

“Saya mau lihat kalian layani orang-orang ini.  Saya akan tentukan pemenangnya berdasarkan siapa yang paling saya sukai aksinya.”

Tia kaget. Shenny mengeluarkan suara menahan nafas. Gaby tidak bereaksi. Pak Walikota berbalik menghadapi kumpulan orang jelek di belakangnya, lalu berkata,

“Silakan, teman-teman.”

Orang kegemukan yang berdiri paling belakang maju melewati teman-temannya, menuju ke depan. Pak Walikota bergeser, berjalan menuju satu kursi dan duduk di sana. Di ruangan tengah kamar suite hotel itu, terhampar karpet empuk. Sofa-sofa berjajar merapat ke dinding di sekelilingnya, seperti kursi penonton mengelilingi suatu arena. Pak Walikota duduk di kursi yang nyaman, sepertinya dia malah bersiap menjadi penonton kegiatan yang akan terjadi. Tidak butuh waktu lama untuk memulai. Orang-orang itu pasti horny sekali, melihat keseksian tiga perempuan di depan mereka, apalagi mereka kalau dilihat dari tampangnya bisa dikata orang-orang yang jarang bisa menikmati wanita cantik. Si gemuk yang maju ke depan itu mendekati Gaby.  Berat badannya jelas lebih daripada 100 kilogram. Dia berdiri tepat di depan Gaby. Kumis dan jenggotnya seperti tidak dicukur selama seminggu, dan bau badannya juga seperti orang yang tidak mandi seminggu juga. Tapi Gaby masih bisa tersenyum manis menghadapi dia.

“Kamu suka aku ngga,” tanya Gaby kaku sambil mengelus pipi berjenggot si gemuk.

Mana bisa dia tidak suka? Gabriella, dengan rambut panjang coklat yang ikal terurai di bahu, mengenakan gaun merah pendek yang hanya menutup sampai jauh di atas setengah pahanya.  Sepasang kakinya yang panjang, kecoklatan, dan indah sungguh menggoda, dalam stoking dan sepatu hak tinggi. Dan belahan dada yang tampil di leher bajunya menantang setiap laki-laki. Segala bagian penampilannya seolah mengumumkan, “Aku seksi, setubuhi aku.”

“Kamu cakep banget,” kata si gemuk, “apa bener kamu mau gituan sama semua orang di sini?”

Gaby meraih selangkangan si gemuk, meraba-raba kemaluan di balik celana training super lebar yang si gemuk pakai, dan bilang,

“Ya.  Dan kamu boleh apa saja sama saya. Semua saya mau!”  Jari-jari Gaby mengelus pangkal paha si gemuk sementara dia menatap wajah si gemuk.

“Apa pernah di blowjob?” tanya Gaby.

“Enggak,” jawabnya penuh semangat, sambil melihat Gaby meloloskan tali bajunya dan memelorotkan bagian atas bajunya sehingga payudaranya yang besar dan cantik terlihat.

Gaby meremas payudaranya sendiri, memamerkan ukuran keduanya kepada si gemuk, lalu melepas gaun merahnya  Dia jadi nyaris telanjang, hanya mengenakan celana dalam, stoking, dan sepatu hak tinggi. Lalu dia tanya si gemuk,

“Mau ga aku isep?”

Si gemuk hanya mengangguk sambil bergumam, “Gile, cakep banget…”  Orang-orang lain di ruangan itu juga ikut berbisik-bisik dan menceletuk, dan semua mata mereka tertuju ke tubuh indah Gaby. Gaby berlutut di depan si gemuk. Dia menarik turun celana training lebar yang dipakai si gemuk. Dia memandang ke atas, matanya sungguh seksi menggoda laki-laki kelebihan berat badan itu. Sementara itu si gemuk sedang membuka kaosnya. Gaby melihat perut si gemuk yang berlemak dan berambut menggelambir tepat di depan mukanya. Dia kemudian memelorotkan celana dalam. Bau tak enak dari tubuh si gemuk tercium makin tajam. Makin ketahuanlah bahwa mandi bukan aktivitas yang sering dilakukan si gemuk. Perempuan lain pasti akan berhenti dan pergi karena jijik disuruh melayani manusia gemuk bau seperti dia. Tapi Gaby bertahan, karena dia memang profesional. Dia tahu dia harus membantu orang yang memakai jasanya, Majed, memenangkan tender, dan dia sudah dibayar untuk menghadapi semua risiko. Lagipula, di negara asalnya, di mana Gaby mulai menjual diri di jalan, banyak juga manusia-manusia buruk rupa yang pernah dia layani. Yang satu ini memang tak ketulungan jeleknya, tapi belum termasuk yang paling buruk dalam pengalaman Gaby. Gaby memang naik kelas setelah merantau ke negara ini dan lebih sering mendapat klien yang rapi, tapi dia tidak melupakan apa yang dia pelajari dulu “Sebagai pelacur, harus mau melayani laki-laki apa saja, tidak ada kata tidak suka.” Gaby mulai memain-mainkan batang kejantanan si gemuk yang kelihatan menegang. Perut si gemuk membuat ukuran penisnya tak kelihatan jelas. Sepertinya tidak besar. Dan baunya jelas menjijikkan.  Tapi Gaby tak gentar, dan pelacur Latino itu pun membenamkan mukanya ke selangkangan si gemuk, memasukkan penis kotor itu ke dalam mulut.

“Mmmmm. Mmmm! I love it,” desah Gaby palsu.

Beberapa orang lain dari kawanan buruk rupa mendekat. Mungkin mereka semua tak percaya perempuan cantik impor ini menikmati kontol dekil si gemuk. Selagi mereka menonton, Gaby mengangkat batang si gemuk untuk meraih buah pelir. Kantong biji si gemuk yang cukup besar menggelantung dan menyebar bau tak sedap. Gaby berbalik badan, lalu berposisi duduk di bawah selangkangan si gemuk dan mengemut kedua bijinya sekaligus.  Terlihat lidahnya beraksi mengusap-usap barang jorok itu.  Kemudian setelah beberapa saat, dia lepas keduanya dari mulutnya. Servis Gaby benar-benar tanpa rasa jijik. Kuluman biji tadi dilanjutkan jilatan-jilatan di belakang pangkal kantong pelir, menuju pantat. Dia goda si gemuk dengan menjilat sepanjang bagian luar belahan pantatnya. Sesudahnya Gaby bertanya,

“You like?”

Gaby langsung meraih batang si gemuk dan mulai memasturbasikannya.  Si gemuk tak tahan dan dia berteriak, “Anjrit… ngentot… Ga tahan!”

Beberapa detik kemudian si gemuk memuncratkan isi bijinya ke lantai, dibantu cekikan dan kocokan Gaby terhadap burungnya. Gaby agak lega, dia berhasil membuat si gemuk cepat keluar, jadi dia tidak perlu lama-lama menggarap kemaluan si gemuk yang menjijikkan itu, apalagi kalau si gemuk menyetubuhinya dengan posisi perut yang besar itu menindih tubuh Gaby…  Tapi dia tahu tugasnya belum selesai.

“Siapa lagi?” ajaknya.

*****

Nah, sebenarnya pada waktu yang hampir bersamaan, orang-orang lain dalam kawanan buruk rupa tidak hanya menonton apalagi membiarkan dua perempuan lain yang ada di sana, Tia dan Shenny, tak terjamah. Mereka jelas tak mau melewatkan kesempatan, kapan lagi mereka akan bisa menikmati perempuan-perempuan cantik yang normalnya cuma mereka bisa dapat dalam mimpi? Mereka berasal dari mana-mana, ada yang diambil dari panti sosial, ada yang dipinjam dari tahanan polisi, ada beberapa preman dan anggota geng, dan ada pula anak buah Pak Walikota sendiri yang berkedudukan rendah. Sejak pertama kali kawanan orang jelek itu muncul, Shenny sudah deg-degan. Berbeda dengan Gaby yang mulai dari bawah, Shenny selalu menjadi pelacur kelas tinggi. Toh awalnya juga dia mulai sebagai model di agen Simon Sunargo, dan yang membuat dia mau membuka baju dan menjual kehormatannya adalah iming-iming uang banyak dan kehidupan glamor. Tarif kencan dengan Shenny cukup tinggi, mungkin senilai gaji sebulan seorang eksekutif tingkat menengah. Wajar saja mengingat wajahnya memang cantik, predikatnya sebagai model, dan garis keturunannya yang membuat dia lebih dicari oleh klien kalangan berpunya.  Daripada seks-nya, dia lebih menikmati uang yang dia dapat dan dia juga biasa pilih-pilih klien. Waktu Simon memberitahunya untuk meladeni Pak Walikota, Shenny menyangka dia sekadar akan melayani satu orang, yang kaya, berkuasa, dan tidak jelek-jelek amat. Apapun hasilnya, dia akan dibayar, tapi kalau tender berhasil dimenangkan, Simon berjanji akan menambah bayarannya. Jelas dia tidak menduga Pak Walikota rupanya berencana membuat acara seperti ini, pesta seks dengan tiga perempuan cantik dan belasan laki-laki jelek. Shenny tak dapat memendam ekspresi berang campur gamang ketika tadi barisan manusia tak sedap dilihat itu datang. Dia terbiasa dengan para klien muda maupun tua yang memperlakukannya ibarat diva dan membayarnya berjuta-juta. Sementara orang-orang itu? Ih!  Shenny selalu menganggap dirinya anggota kelas atas dan memandang rendah mereka. Tapi kali ini dia kena batunya. Dia memandangi orang-orang itu dengan benci.

Ketika Pak Walikota berkata “Silakan, teman-teman” tadi, Shenny terpaku, tak tahu harus berbuat apa.

Begitu si gemuk maju dan berinisiatif mendekati Gaby, Shenny sadar bahwa dia pun harus melakukan hal yang sama supaya bisa bersaing, tapi… apa dia rela membiarkan dirinya merendahkan diri seperti Gaby yang mau-maunya melayani si gemuk yang jorok itu?

Persetan dengan tendernya Koh Simon!

Apalagi, di antara kerumunan, beberapa orang, di antaranya si muka bopeng, kelihatan mendekati dirinya.

“Wah, yang ini amoy, mirip anaknya bos gue, boleh dong!” seru si muka bopeng.

“Tapi tampangnya senga’ gitu yah,” celetuk temannya yang di mukanya ada codet atau bekas luka, memanjang dari dahi melintas mata sampai ke pangkal hidung.  “Amoy songong nih.  Kayak yang nolak gue waktu itu.”

Mereka melihat ekspresi Shenny yang tak menutupi ketidaksukaannya, dan malah nafsu mereka makin terpancing. Si bopeng memang selama ini menahan mupeng terhadap anak bosnya yang mirip Shenny, sementara si codet pernah ditolak cintanya oleh seorang gadis keturunan dan dia masih dendam. Jadilah kedua pemuda dengan muka tak sempurna itu maju ke arah Shenny dengan mata lapar, penuh dendam dan birahi, siap melampiaskan hasrat terpendam mereka. Ketika tangan si bopeng terjulur, Shenny tak tahan lagi. Dia berbalik dan berjalan pergi, menuju pintu kamar hotel.  Dia mau pergi saja. Dia tak peduli dengan tugasnya, dia ogah melayani orang-orang rendahan, titik!  Dia sudah membayangkan akan marah kepada Simon Sunargo yang mengumpankannya kepada mereka. Si bopeng dan si codet tidak membiarkan incaran mereka pergi, jadi mereka mengikuti Shenny yang mempercepat langkah, dan akhirnya berlari, menuju pintu keluar. Tapi di depan pintu ada pengawal Pak Walikota yang menghalangi.

“Minggir Pak.  Saya mau keluar!” teriak Shenny.

Tapi si pengawal melihat Pak Walikota menggelengkan kepala, jadi dia tidak bergeser.

“MINGGIR!” Kembali Shenny berteriak, wajahnya amat kesal.  Sesaat kemudian teriakannya berubah.  “JANGAN!  LEPASIN!”

Si bopeng dan si codet sudah sampai di sana, diikuti beberapa orang lain, dan mereka pun segera memegangi Shenny.  Shenny shock merasakan tangan kasar mereka mencengkeram lengannya, pinggangnya, dan juga ada yang mencengkeram pantatnya.  Makanya dia berteriak dan meronta, tapi apa daya, usahanya melepaskan diri malah membuat si codet dan si bopeng dan teman-temannya makin bernafsu.

“Lepas…in!!  Ihh!!  Pergi!!  Jangan!!”  Shenny berteriak-teriak selagi si bopeng, si codet, dan teman-temannya merubung.

Si bopeng sudah merangkul dan mengusap-usap lengan Shenny.

Si codet berbisik, “Non, kenapa teriak-teriak? Ga suka ya sama kita-kita?  Kita ga level ya Non?  Gitu?”

Nafasnya yang bau membuat Shenny bergidik. Pengawal Pak Walikota diam saja seperti patung. Tak sedikit pun dia terpikir untuk menolong Shenny, karena memang bukan urusannya. Malah diam-diam dia menikmati pemandangan itu. Orang-orang kasar bin seram yang didatangkan Pak Walikota itu merubung seorang perempuan berkulit kuning yang amat cantik. Rambut hitam Shenny yang dikepang dielus-elus tangan-tangan mereka.  Sekujur tubuhnya yang berbusana cheongsam coklat juga digerayangi.  Bahkan mulai ada yang kurang ajar merogoh ke balik baju dan menyentuh tubuhnya langsung. Mata sipitnya berkaca-kaca, karena ketakutan dengan orang-orang yang merubungnya.
Shenny

Shenny

Si bopeng kemudian menyentuh dagu Shenny dan memaksanya menengok sehingga wajah mereka berhadapan.

“Mmmhh!!” Melihat sorot mata Shenny yang jijik, si bopeng gemas. Dilumatlah bibir tipis Shenny dengan paksa, sementara gadis oriental itu tak rela. Dia ingin kabur, tapi dia tak kuat menghalau semua orang yang merubungnya. Shenny makin kaget ketika tangan kasar si codet, yang menyelinap dari bawah cheongsam, menyentuh bagian depan celana dalamnya. Akibatnya si bopeng berhasil membuka paksa mulut Shenny dan menjulurkan lidahnya yang menjijikkan ke dalam sana. Shenny terus berusaha, dia mau menahan tangan si codet, tapi malah tangannya dipegangi oleh orang-orang lain sehingga si codet bebas mengelus-elus kewanitaannya yang masih tertutup celana dalam. Satu lagi orang yang memeganginya berjongkok memeluk pahanya. Kalau Gaby tadi mengenakan stoking, paha Shenny tak terbungkus apa-apa, sehingga paha mulus itu pun langsung merasakan hangat dan basah lidah orang itu yang mulai menjilatinya. Kelompok pengeroyok Shenny, lima orang yang terdiri atas si bopeng, si codet, dan tiga rekan keduanya, begitu antusias dan terbakar birahi oleh sasaran mereka yang mulai tak berdaya itu. Mereka menginginkan dia, yang normalnya tak bakal mereka bisa jangkau, dan mereka tak peduli Shenny bersedia atau tidak. Mereka tarik Shenny kembali ke ruang tengah, ke tengah “arena” di depan Pak Walikota yang terus duduk menyaksikan.  Pada saat yang sama Gaby sedang menyepong dua orang sekaligus.

“Buka dong bajunya Non,” kata si bopeng dengan nada memaksa.

Teman-temannya tertawa, sepakat. Shenny tak berdaya menolak, dengan enggan dia menggerakkan tangan ke barisan kancing cheongsam yang melintang dari leher ke samping dada, dan dia membukanya satu demi satu dalam keadaan dipegangi dan diraba-raba para pengeroyoknya. Rambutnya yang dikepang sudah mulai terlepas dari tataan, sementara jepit rambutnya yang berbentuk anggrek terjatuh ketika dia diseret dari depan pintu.

BRETTT!  “AIIIHHH!!” Terdengar jerit panik Shenny menimpali bunyi kain dirobek. Saking tak sabaran, si bopeng dan si codet memutuskan untuk mempercepat proses penelanjangan Shenny dan cheongsam sutra itu pun mereka tarik sehingga robek sepanjang jahitan sisinya. Tubuh mulus Shenny pun tersaji di atas lembar kain sutra yang tadinya cheongsam, masih terlindung di balik bra dan celana dalam hitam berenda, tapi kedua potong pakaian dalam itu pun segera disingkirkan oleh orang-orang yang merubungnya. Setelah Shenny telanjang, dan tubuh mudanya yang indah terbuka bagi tatapan cabul para pengeroyoknya, mereka pun menerkamnya.  Tangan-tangan kapalan mereka dengan kasar menjelajahi tubuh Shenny.  Meremas dan membelai payudara Shenny yang kecil, kencang, dan mencuat ke atas, membelai pahanya yang tak kalah mulus dengan sutra.  Mendengus penuh nafsu, tak sabar menunggu.  Mereka persiapkan incaran mereka itu untuk dinikmati. Meski masih meronta-ronta, Shenny tak berdaya ketika orang-orang itu membaringkannya di atas karpet dan menahannya.

“Aunghhh!  Lepppassinnn!!”  Shenny meringis dan menjerit tak rela saat orang-orang itu merentangkan kedua pahanya.

Ini sudah sangat di luar rencana! Gundukan kemaluannya yang berambut ikal halus pun terpapar jelas. Shenny menahan nafas selagi merasa bibir luar vaginanya merekah, menunjukkan celah dalamya yang sempit dan menjanjikan sensasi kenikmatan kepada para pengeroyoknya.  Kemaluan yang karcis masuknya berharga jutaan. Tak terpikir sama sekali oleh Shenny bahwa dia akan dipaksa mengobral memeknya untuk orang-orang kelas rendah. Gaby lebih beruntung karena masih pegang kendali. Sementara Shenny sudah seperti akan diperkosa saja oleh orang-orang yang merubungnya. Lalu Shenny melihat si bopeng berlutut di depan selangkangannya yang sudah dibentangkan, dengan celana sudah dilepas.  Dia menatap ngeri melihat organ laki-laki si bopeng. Anunya cukup panjang dan gemuk, dibanding kebanyakan klien yang pernah dilayani Shenny.  Batangnya berurat dan kepalanya besar. Lubang kencingnya sudah mengeluarkan sedikit lendir. Si bopeng tak buang-buang waktu dan beringsut maju; di dalam kepalanya, dia membayangkan akan menyetubuhi anak bosnya. Dia mendorong kepala burungnya ke bukaan kewanitaan Shenny yang mencuat ke atas, memaksa masuk. Bibir vagina Shenny yang rapat pelan-pelan merekah dan tiba-tiba kepala burung yang besar itu bisa masuk ke dalam.

“AAAHHH!”

“Aughhh…”

Si bopeng dan Shenny mengerang bersamaan, yang satu merasakan sempitnya kemaluan Shenny yang berharga tinggi, yang satu lagi diterobos kemaluan orang kere tapi gede.

“Gimana bro rasanya?” tanya si codet melihat wajah si bopeng yang mupeng keenakan.

Si bopeng tidak menjawab, dia masukkan senjatanya makin dalam, menerobos vagina Shenny yang sempit. Shenny menjerit dan memberontak, mencoba lepas dari tangan-tangan bejat yang mencengkeramnya. Tapi dia tidak berdaya melawan kekuatan mereka.

“Ssh… uh… ugh…” Si bopeng mendesis keenakan.

Dinding dalam kewanitaan Shenny sungguh rapat dan lembut, membelai kejantanannya. Si bopeng menggenjot kencang, menusuk dalam-dalam sampai mentok. Kenikmatan menjalar di bagian bawah tubuhnya. Dia merasakan tubuh amoy ramping itu tersentak-sentak di bawah dirinya, mendengar bibir tipis Shenny terengah dan mengeluarkan bunyi-bunyian tak jelas. Kawan-kawannya terus mencengkeram bagian-bagian tubuh Shenny, membelai betis dan paha, merasakan otot-otot gadis itu berkedut dan bergerak selagi Shenny masih berusaha membebaskan diri, supaya bisa lolos dari penetrasi tak dikehendaki.

Penis besar si bopeng sudah merojok masuk dalam-dalam. Rasa ngeri dan muak melanda sekujur tubuh Shenny saat si bopeng menggerakkan pinggul, menggesek-gesekkan kepala burungnya menyodok rahim, menusuk-nusuk dengan sentakan pantatnya. Gadis manis itu tak diberi pilihan, dia hanya bisa menerima pelecehan menjijikkan terhadap tubuhnya yang dia jadikan barang mahal. Si bopeng terus mengentot Shenny. Keluar, masuk, naik, turun, menyodok sampai sedalam-dalamnya vagina si pelacur kelas tinggi. Dia terlalu semangat gara-gara berkesempatan mewujudkan mimpinya menyetubuhi perempuan berfisik mirip anak bosnya, akibatnya dia tak tahan lama.  Mana bisa dia tahan lama dalam sesak dan halusnya kemaluan yang tadinya khusus bagi orang-orang yang kuat membayar itu? Kejantanan si bopeng muntah dengan dahsyatnya, berkedut-kedut di dalam, menyemburkan mani panas kental. Shenny sendiri tak menyangka akan secepat itu si bopeng keluar, apalagi si bopeng tak memakai kondom, sehingga dia pun menjerit ngeri dan jijik saat merasakan semburan benih dari seorang laki-laki kurang berkualitas membanjiri dan mencemari rahimnya.  Semburannya tak berhenti-berhenti, memang si bopeng jarang sekali berkesempatan bersetubuh sehingga maninya lebih sering menumpuk di dalam.  Senjatanya menyentak dan menyentak, tiap sentakan melepas semburan peju.  Shenny menendang-nendang dan menggeliat, menjerit karena dipermalukan seperti itu.

“Ahh… Nggaakk!!  Jangan!!… Ah! AH!”

Akhirnya selesai juga ejakulasi si bopeng, dan dia menarik organ laki-lakinya yang berlumur peju dari dalam tubuh Shenny yang dinodainya.  Shenny gemetar sekujur tubuhnya, reaksi atas pengalaman hubungan seks tanpa rela. Tidak terbayang oleh dia bahwa dalam kariernya menjual kemolekan tubuh, dia akan melayani orang bertampang jelek dan berkantong bokek.  Bukan orang-orang yang berpunya dan memuja kecantikannya. Melainkan pemaksaan oleh sekelompok manusia yang di pandangannya hanya sederajat di atas binatang, yang dia anggap tidak berhak menikmati dirinya.  Shenny menengok dan melihat Pak Walikota tersenyum sinis. Tapi dia tak diberi kesempatan beristirahat, orang berikutnya sudah bersiap-siap menggilirnya.

*****

Sesudah Gaby mulai melayani si gemuk dan Shenny ditangkap si bopeng dan si codet, kawanan orang jelek terbagi tiga. Sebagian mendekat ke Gaby, sebagian lagi ikut merubung Shenny. Sisanya memilih Tia.  Tia memandangi mereka. Jelas tidak lebih ganteng daripada yang lain. Dia tersenyum manis kepada mereka semua.

“Selamat siang, bapak-bapak,” sapanya sopan.  “Saya butuh kerja sama kalian…” katanya sambil berjalan ke tengah-tengah mereka, menguasai keadaan. Walau dia masih berpakaian lengkap, aura keseksian yang dipancarkannya tak kalah dengan Gaby dan Shenny.

“Ayo… jangan malu-malu,” rayunya.

Dia berkata itu sambil menggerakkan tangannya, meraba tubuh para laki-laki yang mengelilinginya. Dia memandangi mereka semua dengan mata seolah meminta.

“Tolongin yah…” bujuknya, “Saya butuh kontol kalian…”

Meski kalah pengalaman dari Gaby dan Shenny, Tia jelas mendalami perannya, berkat semua perubahan yang dilakukan Citra dan Mang Enjup.  Mereka yang merubungnya seolah tak percaya, perempuan muda di hadapan mereka itu berkata sendiri menginginkan kejantanan mereka.  Padahal penampilannya begitu anggun. Rambutnya digelung sehingga memperlihatkan lehernya yang mulus. Dadanya sedikit membusung di balik atasan kebaya. Pinggulnya yang aduhai terbungkus ketat kain batik. Make-upnya makin menonjolkan kecantikan wajahnya, dengan eyeshadow gelap, alis terlukis, dan blush on. Orang-orang yang merubungnya sudah sangat terangsang, tapi pembawaan Tia yang elegan membuat mereka segan.  Biarpun mereka bisa, mereka tak bersikap seolah bisa menyuruh Tia berbuat apa saja, seperti pada Gaby, ataupun memaksa, seperti pada Shenny. Tia melihat keraguan mereka, mata mereka seolah bertanya Boleh nggak sih? tapi tonjolan-tonjolan di selangkangan mereka mulai muncul tanda nafsu tak terbendung. Tia tak langsung mengumbar diri seperti Gaby maupun menunjukkan ketidaksukaan seperti Shenny. Dia tertawa kecil melihat orang-orang itu betul-betul kebingungan. Mereka segan padanya, biarpun mereka mengagumi. Mereka seolah rakyat jelata yang menyaksikan bidadari kahyangan, tertegun dan tak tahu boleh berbuat apa. Sambil tersenyum, Tia melepas satu per satu kancing kebayanya. Setelah terbuka semua, Tia pun menggerakkan lengan dan pundaknya, membiarkan kebayanya meluncur ke lantai. Tanpa menunggu reaksi lain-lain, Tia kemudian melepas kain bawahannya, dan sedetik kemudian kain batik sudah merosot melingkungi kedua kakinya yang masih bersepatu hak tinggi. Tubuh bahenol Tia pun tampak, hanya tertutup bra dan celana dalam. Orang-orang di sekeliling Tia kagum akan berubahnya pemandangan indah di depan mereka. Tia yang anggun berkebaya berubah menjadi Tia yang seksi berlingerie, dengan beha demi-cup putih yang hanya menutup separo dari masing-masing payudaranya, juga celana dalam tipis transparan yang juga putih, dengan desain yang memikat birahi.

Tia berputar, melihat reaksi orang-orang yang mengelilinginya. Sekalian dia memilih, siapa yang akan dia layani. Di antara mereka, Tia memilih yang bertubuh paling jangkung. Seorang pemuda kurus berkacamata bertampang culun dan wajahnya ada kemiripan dengan Pak Walikota. Tia tersenyum ke arah si culun, meraih tangannya, dan berjalan menarik si culun ke arah sofa. Tia berdiri di depan di sofa dan si culun ada di depannya. Si culun ini kurang pengalaman asmara langsung dengan wanita, tapi kalau teorinya saja dia sudah fasih karena sering nonton video dewasa. Tia berinisiatif dulu dengan merangkul pinggang si culun. Ditatapnya wajah pemuda jangkung itu lalu ditariknya… dan kemudian bibirnya mendarat di bibir si culun. Si culun membalas dengan kaku; mungkin dia jarang atau belum pernah ciuman.  Tapi dia segera hanyut saling memagut dengan Tia. Tia yang mulai ahli melakukan french kiss mengajari si culun. Lidah Tia menerobos menelusuri rongga mulut si culun.

“Mmmnh…” Tia mendesah ketika si culun membalas ciumannya.

Si culun mulai berani menyentuh Tia, dan Tia membimbing tangannya menelusuri leher dan dada. Tanpa sungkan, Tia membiarkan jemari si culun mempelajari bentuk tubuh wanita. Si culun menggenggam gumpalan payudara Tia yang sebagian masih tertutup bra. Payudara Tia lebih kecil daripada milik Gaby yang montok, dan lebih besar daripada milik Shenny.  Si culun lalu menyelipkan tangannya ke balik bra dan mengeluarkan payudara kiri Tia dari bra. Tia terpejam merasakan betapa kaku gerak-gerik tangan si culun.

“Mmm…” gumam Tia ketika merasakan remasan jemari si culun menikmati kenyalnya payudara.  “Aah… enak… terusin ya?”

Tubuh Tia tak berbohong, tiap sentuhan si culun memang memicu sensasi keasyikan. Berbeda dengan kedua perempuan lainnya yang profesional, sejatinya Tia bukanlah seorang wanita penghibur yang membiarkan tubuhnya dijamah sembarang lelaki. Tapi apa yang dirasakannya sekarang murni dari kepribadiannya sendiri yang telah berubah. Kini dia hanya memikirkan kenikmatan badan, dari segala laki-laki. Tia tak lagi hanya menjaga diri untuk suaminya. Dan dia sungguh terangsang melihat tatap mata orang-orang itu, yang seolah memujanya.bTia kembali mengecup si culun, tersenyum, lalu menghentikan tangan si culun. Pemuda itu menatap seolah tak rela.

“Kamu suka?” tanya Tia manja.

Godaan ditambah dengan dibukanya kaitan bra. Kedua buah dada Tia yang molek mencelat keluar, mengundang jamahan. Tia lalu menunduk, melepas celana dalamnya,dan tanggallah penutup kemaluannya itu. Tia bergerak mundur dan duduk dengan paha sedikit terentang di sofa. Jarinya bergerak memanggil si culun untuk mendekat. Si culun langsung maju dan mengikuti isyarat Tia, dia berlutut di antara kedua paha Tia. Dia mau mencoba mempraktekkan apa yang selama ini hanya dilihatnya sambil ngiler dalam film porno. Dia genggam kedua pergelangan kaki Tia dan dia angkat keduanya sehingga Tia jadi mengangkang di sofa. Lalu dia mulai menciumi paha mulus nan kenyal Tia, dari dekat lutut menuju pangkal. Dibelainya lembut paha dan pantat Tia.

“Mbak cakep banget,” bisiknya.

“Kenapa malu-malu?  Jilatin itu… dong?” Tia memberi saran sambil menunjuk vaginanya.

Si culun segera merespon. Tia langsung bisa merasakan lidah si culun menjilati celah vaginanya. Lembut sekali cara si culun melakukannya.  Namun Tia menginginkan lebih. Jilatan si culun naik, turun, mencecap khasnya rasa cairan kewanitaan. Tia cepat menyadari bahwa mungkin si culun tak berpengalaman dan perlu diajari agar bisa lebih berani dan memperlakukannya seperti yang dia mau. Aku mau dia memperlakukanku seperti pelacur betulan.

“Kalau mau… mainin pantatku juga, ya?  Boleh kok.”  Tia mencoba mengarahkan perhatian si culun ke pantatnya.

Si culun tadi meremas dan menciumi pantat Tia, jadi Tia pikir si culun mungkin suka.

“Colok pake jari kamu…” usul Tia.

Si culun mundur dari vagina Tia dan mulai mengelus-elus pantat Tia dengan kedua tangan. Lalu dia dengan hati-hati melebarkan keduanya, sehingga lubang dubur Tia terlihat.

“Emm… Beneran boleh… dicolok, Mbak?” tanya si culun.

“Iya, silakan…” jawab Tia, lalu menyuruh, “Colokin.”

Si culun menempatkan jari tengah kirinya yang sudah dibasahi liur di lubang dubur Tia, lalu mendorongnya ke dalam. Tia sudah rileks dan bersiap ditembus sehingga jari si culun bisa masuk.

“Eunghh,” keluh Tia dengan nada seksi karena merasakan sensasi ganjil jari dalam dubur.  “Umh enak.”

Lalu dia geser dan geliat-geliatkan pinggulnya sehingga jari si culun masuk makin dalam. Saat itulah si culun menyadari Tia suka dibegitukan.

“Enak kah Mbak?” si culun bertanya.

“Oh… iyah,” seru Tia.

Dia kemudian mendorong jarinya lebih dalam lalu menariknya sedikit.  Ketika dia mengulangi itu terus, makin lama makin kencang, Tia mengerang makin keras.  Jari si culun sedang menyetubuhi dubur Tia.

“Terusss… ah terus,” seru Tia.  “Tamparin pantatku juga…”

Si culun ragu-ragu, lalu menepak lembut pantat kiri Tia.

“Yang kencang!” kata Tia.  “Ayo tampar!!”

Akhirnya, PLAKK!!  Si culun memberanikan diri dan mengemplang pantat Tia cukup keras.

“Segitu?” tanya si culun.

“Ya… ayo lagi!” perintah Tia.

Dia berulangkali menampar pantat Tia dengan satu tangan, sementara jari tangan satunya tetap dalam lubang dubur Tia. Tia terangsang ketika merasakan sensasi perih nikmat seperti itu. Tia memperhatikan gembungan di selangkangan si culun. Si culun jelas terangsang juga.

“Ayo,” ajak Tia. “Entot aku yah?”

Si culun cepat-cepat menarik jarinya keluar. Tia turun dari sofa ke karpet, dan merentangkan pahanya untuk si culun.

“Ohh… aku pengen nih… masukin ya?  Ayo dongg…”

“Ah… Mbak, saya, saya…” kata si culun ragu, “Belum pernah…”

Tia meraih ke atas dan menarik wajah si culun untuk dicium.  “Kalau gitu biar aku ajarin…”

Dibimbingnya si culun untuk berposisi di atas tubuhnya, sambil digenggamnya kemaluan si culun yang masih perjaka itu. Si culun gemetar ketika merasakan Tia menggesek-gesekkan kepala kemaluannya ke belahan vagina.

“Sini… udah ada di sana, kamu dorong pelan-pelan ya?” kata Tia sambil menatap si culun dengan mata berbinar.  “Yahh… uahh gede-nya…” kata Tia, menyenangkan ego laki-laki si culun, selagi si culun mulai merasakan surga dunia di selangkangan wanita untuk pertama kali.

“Ayo… semuanya dimasukin… oohhh!” Masuk semua-lah penis si culun ke vagina Tia.

Kenikmatan tiada tara dirasakannya. Erangan Tia menambah panas suasana.

“Ayohh… Kamu gerak…”

Pinggul si culun maju-mundur, kemaluannya menusuk-nusuk vagina Tia. Tia merangkul leher si culun, lalu menaikkan kepalanya menjilati puting si culun.  Payudara Tia bergoyang-goyang akibat gempuran si culun.  Suara-suara penuh birahi mulai terlontar. Sepatu hak tinggi yang masih terpasang di kedua kaki Tia terayun-ayun. Si culun terengah-engah. Si culun terus menyetubuhi Tia selama beberapa menit, meremas payudara Tia keras-keras dan menarik puting. Pemuda jangkung culun itu tak percaya dia sedang meniduri perempuan pertamanya, seseorang yang begitu cantik tapi mau menerima dirinya.  Segala kegagalan dan penolakan yang selama ini dirasakannya pun terlupa.

“Ah… Mbak… Mbak cantik banget… Ugh… Seksi…” komentarnya.

“Entot aku… ahh… ah…” desah Tia.

Tia senang si culun tak malu-malu lagi. Si culun berada di atas tubuh Tia, kemaluannya menyeruduk vagina Tia. Pada saat yang sama dia memegang wajah Tia dengan kedua tangan dan menciumi Tia, lidahnya kembali menjelajah bagian dalam mulut Tia. Bisa terdengar dia mendengus dengan setiap dorongan ke dalam lubang kenikmatan Tia. Tia mulai berseru,

“YAHH!  Entot… akuhh!  Terus!  Kontol kamu enak banget!  Uh!”

Lalu Tia meminta si culun mencabut batangnya. Begitu keluar, Tia langsung menyambar kemaluan si culun yang tegang dan mengocoknya. Tia menatap si culun.

 “Pernah dibegini’in ama cewek?”  Saking senangnya, si culun tak bisa menjawab, hanya mengerang keenakan.

“Apa kamu pernah ngentot?” tanya Tia yang menyadari betapa girang si culun.

Si culun menggelengkan kepalanya.  “Nggak… Ini pertama kali.”

Tia terus mengocok kemaluan si culun, makin lama makin cepat. Batangnya terasa membesar.

“Keluarin yah…” pinta Tia. “Aku pengen peju kamu…”

Gerak tangan Tia makin giat

“Ayo, tunjukin kejantanan kamu… Aku pengen disembur peju kamu!”

Mungkin si culun tidak pernah ejakulasi selama berbulan-bulan. Setelah dikocokkan, hasrat badaninya meledak menyirami Tia. Burungnya memuncratkan enam atau tujuh gumpalan kental sperma, mendarat mulai dari atas pusar Tia, belahan dada, pangkal leher, sampai yang terakhir mengenai dagu dan bibir Tia. Percikan yang jatuh di bibir langsung dijilat Tia dan sambil menatap si culun, Tia menunjukkan bahwa dia mencecap dan menelan mani si culun.

“Mmm… aku suka peju…” komentar Tia.

Pada saat ejakulasinya selesai, sebagian besar sperma si culun bertebaran di atas tubuh Tia, mengalir turun dari dada dan perutnya.

*****

Beberapa jam sebelum segala peristiwa yang dialami Tia terjadi,Bram mendarat di bandara. Dia menuju tempat parkir di mana mobilnya dititip dan langsung menjalankan mobilnya ke rumah. Masih siang, tapi dia memang sudah kangen sekali dengan Tia. Apalagi sejak dia naik pesawat tadi, perasaannya tak enak. Seolah dia merasakan bahwa istrinya itu sedang menghadapi bahaya. Sesampainya di rumah, didapatinya rumah terkunci dan Tia tidak keluar membukakan pintu.  Bram melihat ke salon Citra di sebelah dan hanya mendapati kakaknya sedang duduk-duduk.

“Kak, Tia ke mana?”

Wajah Citra berubah tegang.  Apa yang harus dia bilang kepada adiknya?  Bahwa dia kira Tia sekarang sedang dipekerjakan Mang Enjup melayani Pak Walikota demi tender proyek? Tidak ada jalan lain, pikir Citra. Dia sendiri merasa ikut bertanggungjawab. Mau tidak mau, Citra harus bicara.

“Bram, ayo masuk dulu.  Ada yang perlu kubilang.”

Di dalam salon, Bram mendengarkan selagi Citra menceritakan apa saja yang terjadi beberapa hari itu. Citra menceritakan bagaimana Mang Enjup bertamu ke rumah, menemui Tia, dan esoknya Tia diajak Mang Enjup pergi ke pesta Pak Walikota. Citra juga sempat melihat Tia diantar pulang oleh beberapa orang yang kemudian ikut masuk ke rumah.

“Tadi pagi aku habis ngerias Tia…” Citra mengaku.  “Dia bilang mau ada acara di Hotel V siang ini… Dia nggak bilang acaranya apa, tapi tadi yang jemput dia itu mobilnya Mang Enjup.”

Bram tertegun.  Mang Enjup. Pak Walikota. Pesta. Acara di hotel. Banyak yang Citra tak katakan, tapi Bram tahu bagaimana menyambungkan titik-titik dengan garis. Dia tahu cara-cara yang biasa dilakukan bosnya itu, Mang Enjup. Dia tahu mengenai tender proyek yang dimaksud, siapa saja saingannya, apa yang biasa mereka lakukan untuk menggolkan proyek.  Minggu lalu saja dia masih terlibat lobi tender itu, menemani beberapa anggota DPRD mabuk-mabukan di satu tempat hiburan malam. Dia tahu tokoh kunci terakhir yang harus dilobi adalah Pak Walikota.

Berarti Tia sekarang diumpankan Mang Enjup kepada Pak Walikota…!

Bram merasa kepalanya berputar, wajahnya berubah jadi keras dan geram.  Citra melihat reaksi adiknya dan merasa bersalah. Dia genggam tangan adiknya itu sambil meminta maaf, nyaris menangis,

“Bram… maaf… Kakak ikut salah… Kalau saja dulu Kakak nggak ngajarin Tia jadi begini… hiks…”  Tapi kata-kata Citra itu tak terdengar, dan Bram membatin.

Apa harus seperti ini? Bram merenungkan praktek bisnis yang penuh tipu daya dan menghalalkan segala cara. Dia sendiri beranggapan apapun layak dilakukan demi kesuksesan, tapi kalau sudah seperti ini, ketika orang yang paling dia sayangi di seluruh dunia ikut terjerumus demi bisnisnya, apakah itu masih layak? Berhak-kah Mang Enjup memanfaatkan istrinya demi kesuksesan satu proyek saja, sebesar apapun nilainya?  Bagaimana perasaan Tia sendiri? Apa dia terpaksa? Ataukah dia terbujuk, dan mengingat status Tia sebagai calon pewaris perusahaan, apakah Tia merasa perlu membantu? Di dalam hatinya, Bram tak rela. Dia baru saja menyadari bagaimana Tia selama ini dia sia-siakan karena dia terus mengikuti kebiasaan buruknya, dan betapa Tia rela berubah—dibantu Citra—demi mengikuti kemauannya. Dan sebenarnya Bram sudah bertekad akan menghargai perubahan Tia dengan tidak lagi mencari perempuan lain.  Ujian pertamanya sudah dia lalui ketika dia berhasil menahan diri untuk tak menyentuh Difa kemarin. Dan selama ini Mang Enjup memang seperti menyembunyikan sesuatu darinya. Bosnya itu rupanya memanfaatkan perubahan Tia demi kepentingannya sendiri. Memang kalau dirunut, yang Mang Enjup lakukan ini demi perusahaan milik orangtua Bram dan orangtua Tia juga, tapi apakah mesti seperti itu caranya?  Mengorbankan Tia? Dilema moral yang berbelit dan ruwet itu akhirnya Bram tebas dengan satu tekad.

Aku harus selamatkan Tia.  Dia istriku, tanggungjawabku.  Masa bodo dengan tender, dengan kepentingan perusahaan.

“Kak,” kata Bram.  “Aku mau ke sana.”

“Kamu mau apa, Bram…?  Kamu tahu kan bakal berhadapan dengan siapa?” kata Citra khawatir.  Citra takut Bram akan nekad dan menantang Pak Walikota.  Memang tindakan yang Citra bayangkan itu bakal bisa merugikan perusahaan orangtua mereka, tapi Citra tak peduli itu.  Kekhawatirannya didasarkan rasa sayangnya kepada Tia dan Bram.  Citra takut keselamatan keduanya terancam kalau sampai harus konflik dengan pejabat tertinggi di kota.

“Aku mau jemput Tia,” kata Bram dingin.

Citra melihat sorot mata adiknya begitu tegas.  Sorot mata orang yang siap berbuat apa saja demi membela kekasihnya. Begitu Bram berbalik untuk pergi, Citra langsung menahan lengannya.

“Bisa tunggu sebentar?  Kakak mau ikut.”

*****

Kembali di kamar suite hotel…

Pak Walikota berdiri dari tempat duduknya dan berjalan berkeliling seolah sedang menginspeksi anak buahnya. Anak buahnya, kumpulan manusia buruk rupa, sedang sibuk menikmati suguhan tiga perempuan yang dapat kejutan. Suasana makin seru. Gabriella pindah ke sofa, dia sedang berlutut di dudukannya selagi lengannya bersandar di sandaran. Satu orang sedang mengentotnya dari belakang, menyodokkan penisnya dalam-dalam. Satu lagi kawannya, si muka hitam yang bergigi depan ompong, sedang nyengir-nyengir tak jelas di depan wajah Gaby. Wajahnya sungguh menjijikkan. Dia membungkuk mendekati Gaby dan bertanya,

“Senorita, mau isep kontolku? You wan’ suck my dick?”

Dia kemudian mencium paksa Gaby sambil memegang belakang kepala Gaby agar gadis Latino itu tak bisa menghindar. Gaby merasakan bau busuk nafas si ompong yang sungguh memuakkan, tapi dia tak menolak ciuman itu.  Dia bahkan mendorong lidahnya ke dalam mulut si ompong, bergulat dengan lidah lawan ciumannya. Ketika ciuman mereka berakhir, Gaby berkata dengan nada palsu bernafsu,

“Fuck yes!  Give me your dick I’ll suck it!”

Gaby langsung menjepit kejantanan hitam si ompong dengan bibirnya ketika disodori dalam keadaan belum keras. Alat kelamin si ompong langsung tegang begitu disentuh bibir lembut si pelacur impor. Gaby melahap batang keras itu, mengisap dan menyedot. Penis hitam itu sampai menonjol urat-uratnya, dan bisa meledak kapan saja. Si ompong meracau keenakan dengan bahasa yang kurang dikenal, mungkin bahasa daerah asalnya, tapi apapun yang dia katakan jelas cabul dan tak perlulah diterjemahkan. Beberapa saat kemudian mulut Gaby mendadak terisi cairan hangat, dan Gaby menelan seluruhnya. Pada waktu yang sama orang yang menyetubuhi Gaby dari belakang juga menyemprotkan cairan kelelakiannya di dalam.

“Benar-benar hebat,” gumam Pak Walikota.

Dengan penasaran Pak Walikota menyimak aksi Gaby. Perempuan dari negeri seberang laut itu seolah tak gentar menghadapi segalanya, dan tak punya rasa jijik, bahkan terhadap orang-orang seperti si gemuk dan si ompong. Seolah-olah bau badan menusuk tak membuatnya kapok, kulit hitam dekil tak membuatnya ngeri, gelambir lemak tak membuatnya muak.  Dia menanggung semuanya tanpa mengeluh, sungguh profesional. Pak Walikota jadi teringat masa dinasnya sebagai tentara dulu, ketika dia mengenal seorang prajurit rekannya yang gigih, terus maju untuk melaksanakan tugas biarpun sudah kecapekan, luka-luka, dan tidak mendapat bantuan.

Pak Walikota berjalan lagi menuju kerumunan lain, yang terlihat lebih riuh. Di situ Shenny, si model bisyar, sedang disetubuhi. Shenny mulai kehilangan kendali, meraung dan mengerang kencang. Sudah dua orang yang berejakulasi di dalam dirinya dan sekarang penis ketiga sedang keluar-masuk vaginanya yang penuh cairan. Namun tubuhnya tidak bisa dibohongi. Meski dia tak rela disetubuhi orang-orang jelek itu, tubuhnya sudah di ambang klimaks. Penis yang sedang menusuk kemaluannya itu cukup tebal dan menggenjot dengan gencar.

“Oh… ah… ah… Ahh!  AHH! AHHHHH!!!” seru Shenny.

Penis besar itu menghajar vaginanya sekali lagi, dan

“OHHhhh!!…”

Orgasme-nya dimulai!  Shenny menggelinjang tak terkendali, menjerit histeris, dikhianati tubuhnya yang menyerah pada kenikmatan. Erangan keras bernada tinggi si gadis keturunan menandakan betapa gengsinya sebagai penghibur kelas tinggi hancur lebur di tangan manusia-manusia jelek yang bergiliran menyetubuhinya. Tidak ada lagi yang dipikirkan Shenny sesudah itu. Dia tak bisa apa-apa, dan hanya bisa menunggu cobaan itu selesai. Dia tergeletak lemas seperti boneka, mandi keringat sesudah mencapai puncak, sementara orang yang menyetubuhinya belum juga klimaks. Pak Walikota memperhatikan tatapan mata Shenny yang kosong.  Dia menduga Shenny sedang shock. Tapi dia hanya tersenyum.  Diangkatnya telepon genggam yang sedari tadi digenggamnya.  Dihubunginya satu nama.

“Halo?”

“Halo, Pak Walikota.  Ada apa?  Moga-moga berita bagus.”

“Pak Simon. Sayangnya bukan kabar bagus. Sepertinya saya harus bilang penawaran Anda dengan sangat menyesal tidak bisa diterima.”

Terdengar suara seperti mengeluh di telepon. Lalu Simon Sunargo, yang ditelepon Pak Walikota, berbicara lagi.

“Tidak apa-apa Pak Walikota, mungkin kali lain kita bisa kerjasama lagi.  Mohon maaf kalau mengecewakan. Saya janji akan siapkan yang lebih baik.”

“Tenang saja Pak Simon, toh sebelumnya kita juga sudah pernah kerjasama, mungkin untuk proyek ini belum rezekinya Pak Simon. Yang penting hubungan antara kita tetap baik kan.”

“Iya, iya Pak Walikota. Saya juga mau kita tetap berhubungan baik.  Makanya, buat menunjukkan itikad baik saya, silakan Pak Walikota kalau mau bisa manfaatkan jasa asisten saya si Shenny itu sepuas Pak Walikota.  Tidak usah pikir urusan lain-lainnya, biar saya yang traktir.”

“Oke.  Sampai ketemu lagi, Pak Simon.”

Pak Walikota menyudahi pembicaraan telepon dengan Simon. Satu dari tiga peserta tender sudah gugur. Dia lalu melanjutkan ke perwakilan peserta ketiga… Tia.

*****

“Sudah sampai,” gumam Bram sambil menyetir memasuki tempat parkir hotel yang beberapa jam lalu didatangi Tia.

“Kak?” Ketika Bram menengok, Citra sedang memulaskan lipstik merah tua di bibirnya.

Citra tetaplah Citra. Ketika tadi dia minta ikut, Citra ganti baju dulu, dan dia memilih berpakaian seksi, rok pendek hitam ketat yang memeluk paha dan blus hitam yang juga ketat. Sepanjang perjalanan tadi Citra sibuk membedaki wajah, melukis alis, merias diri. Memang berdandan sudah kebiasaan Citra, tapi Bram tak tahu apakah kakaknya itu punya rencana tertentu dengan menyiapkan penampilan. Bram menghentikan mobil di tempat parkir dan langsung berjalan dengan langkah-langkah lebar menuju ke dalam. Citra berlari menyusul, hampir tersandung akibat sepatu hak tinggi-nya. Dan begitu Bram masuk… dia bingung. Di mana dia akan cari Tia? Tanya ke resepsionis? Citra menggamit lengan Bram.

“Bingung kan? Ini bukan hotel biasa. Kakak tahu kamu pasti mau langsung tanya ke resepsionis. Dia nggak bakal tahu. Makanya Kakak sengaja ikut.  Ayo. Kakak tahu di mana kita bisa cari info.”

Citra menarik Bram ke arah pintu yang menuju lounge terbuka. Kakak beradik itu masuk ke lounge yang masih tetap sepi seperti ketika Tia dan Mang Enjup melewatinya. Tidak salah rupanya Citra memilih berpenampilan seksi. Dia langsung bisa berbaur dengan perempuan-perempuan lain di sana, yang juga berpakaian seksi dan menunggu tamu. Citra celingukan kesana-kemari, mencari-cari. Lalu dia melihat seseorang yang dikenalnya.

“Papi Patris!” panggil Citra ke arah seorang laki-laki paro baya agak gemuk, berkepala bulat, berambut cepak, memakai jas.

Laki-laki yang dipanggil Papi Patris itu menengok dan langsung tersenyum lebar.

“Citra? Aih, sudah lama kamu nggak muncul!  Ke mana aja,sayang?”

Citra memeluk Papi Patris dan cium pipi kanan-kiri.

“Ah nggak ke mana-mana Pap, sekarang jadi perempuan baik-baik, buka salon,” kata Citra sambil menjulurkan lidah.

“Hahaha, Citra insyaf?  Tanda-tanda dunia mau kebalik nih,” balas Papi Patris. “Itu tamu kamu ya? Orang kantoran yang sama kamu?”

“Eish, ngaco, itu adikku. Pap, aku mau tanya dong. Seharian ini lihat ada cewek pake kebaya di sini nggak?” Citra segera bertanya.

“Iya, belum lama malah, paling sejam-dua jam lalu,” kata Papi Patris.

“Terus ke mana orangnya?  Sama siapa dia datang?”

“Tadi sih dia datang bareng om-om tua gendut ubanan dan cowok rambut panjang merah sama orang gede yang tampangnya kayak bodyguard. Dia ke lift sama si bodyguard, dua orang tadi nggak ikutan. Mereka berdua sih udah pergi lagi. Kalau cewek yang pakai kebaya belum turun,” Papi Patris menjelaskan.  “LT barangkali.”

Citra berusaha mengorek info lebih lanjut sementara Bram tetap diam.  “Ada lagi nggak yang nggak biasa hari ini?”

Papi Patris memandangi Citra, wajahnya berubah serius.

“Cit, kamu kayak polisi aja. Nggak baiklah kita ikut campur urusan orang, daripada kita nyikut orang yang salah, mending tau sama tau kan.”

Citra mengajak Papi Patris duduk dan mengubah pembicaraan.  “Gimana bisnis, Pap?  Masih lancar?”

“Di sini sih lancar terus, ni aja ada anak baru yang lagi aku promosi-in. He, sini!” Papi Patris memanggil salah seorang perempuan di dekatnya, yang masih terlihat amat muda. Citra melihat kegugupan di mata gadis muda yang didandani menor itu.

“Kenalin ini Citra, dulu sempat jadi anak buahnya Papi sebentar. Citra, ini Nurma.”

Citra menjabat tangan Nurma, lalu langsung memberi tips.

“Jangan pakai nama asli, kalau bisa.”

Papi Patris segera menanggapi.  “Iya yah, emang belum kepikiran namanya mau diganti siapa. Kamu ada usul, Cit?”

“Natasya,” kata Citra setelah berpikir sejenak.

“Cakep tuh, boleh,” kata Papi Patris.  “Kesannya mirip impor Uzbek.  Oke, Nurma mulai sekarang kamu pake nama Natasya, ya.”

Setelah itu, Papi Patris menyuruh Natasya pergi.

“Cit, langganan masih ada yang suka nanyain kamu lho.  Masih mau terima nggak?  Ntar kita sharingnya beda deh… Kamu dulu sebentar banget, tapi banyak yang terkesan dan tanya terus sama Papi, mana tu Citra yang dulu, pengen sama dia lagi,” kata Papi Patris.

Menanggapi penawaran, Citra pun berkata, “Sebenarnya aku nggak butuh lagi, Pap. Tapi aku mau aja… Asal…”

“Asal?”

“Asal Papi mau jawab pertanyaanku yang tadi.”

Papi Patris tertawa terbahak-bahak.  “Hahahahaha. Citra, Citra. Tetep aja kamu jago tawar-tawaran kalau buat urusan beginian. Oke deh. Tapi janji ya, mau terima klienku. Tenang aja, orang lama semua kok, kamu udah tau mereka kayak gimana. Lima tamu aja, hitungannya seperti dulu. Deal?”

“Tiga tamu, deal,” kata Citra sambil menjabat tangan Papi Patris.

“Hahaha, iya deh, tiga. Aku nggak pernah bisa menang ngomong lawan kamu, Cit.”  Papi Patris dan Citra sama-sama tersenyum sinis.

“Oke Pap.  Jadi… ada apa aja hari ini di sini?”

Dengan suara berbisik, Papi Patris pun menjelaskan bahwa dia sudah ada di sana sejak pagi, mengumpulkan beberapa anak buahnya yang di-booking semalaman. Sesudah memulangkan mereka, dia terus nongkrong di sana mengelola anak buahnya dan mencari tamu. Dia bilang, selain perempuan berkebaya (yang Citra ketahui sebagai Tia), ada lagi dua perempuan yang diantar bodyguard itu ke atas.

“Yang satu jelas impor, tampangnya kayak artis telenovela.  Kalau nggak Latin ya Uzbek. Yang satunya lagi panda, nggak tau lokal apa cungkuo.  Dua-duanya belum ada yang turun lagi. O iya, tadi ada klien Papi mau booking kamar suite paling gede yang lantai lima, katanya mau bikin pesta bujang, tapi ga dapet soalnya kata hotelnya itu kamar lagi dipake pejabat tinggi. Itu aja yang Papi lihat.”

Citra tersenyum.  “Makasih banyak, Pap.  Aku tunggu lanjutan deal kita tadi, tapi jangan hari ini yah. Nih nomor teleponku yang baru,” kata Citra sambil kemudian menyebutkan sederetan angka yang langsung dimasukkan Papi Patris ke HP-nya.

“Saran aja Cit,” kata Papi Patris ketika Citra mau pergi, “Kamu udah tau bisnis ini. Jangan sampai nyikut orang.  Hati-hati ya sayang.”

Citra kembali ke Bram.  “Kakak sudah tahu ancer-ancernya Tia ada di mana sekarang.  Ayo ikut.”

Keduanya menuju pintu lift di seberang lounge.

“Tadi siapa, Kak?” tanya Bram.

“Orang dari masa laluku…” kata Citra, tak memberi jawaban jelas.

Biarlah, pikirnya, Bram belum perlu tahu tentang masa ketika dia sempat menjadi anak buah Papi Patris, seorang germo…

*****

Pak Walikota merasakan organ kelelakiannya mendesak celana. Tangannya mengelus gundukan itu. Dia mulai berfantasi tentang Tia sejak dia hadir di pernikahan Tia dan Bram.  Memang, sebelumnya dia sudah kenal dengan kedua orangtua Tia, dan ketika dia masih berdinas tentara dia sudah pernah melihat Tia yang masih sekolah. Sebelumnya dia anggap Tia biasa-biasa saja. Namun entah kenapa, dia mulai terobsesi dengan Tia sejak dia melihat Tia yang menjadi “ratu sehari” pada hari pernikahannya. Gadis polos itu berubah menjadi putri yang cantik luarbiasa pada hari itu, dan Pak Walikota harus mengakui dia jadi menginginkan Tia. Tapi obsesinya terpendam bertahun-tahun tanpa bisa diwujudkan karena dia jelas tak bisa terang-terangan merebut Tia dari Bram. Apalagi dia punya keluarga, jabatan, dan status. Ditambah lagi hubungan baiknya dengan dua keluarga pengusaha, keluarga Tia dan keluarga Bram. Lalu pada suatu hari, ketika melobi, Pak Jupri dari perusahaan keluarga Tia dan Bram menyebut-nyebut Tia. Godaan untuk memanfaatkan kekuasaan demi memuaskan nafsu menjadi sukar ditolak, dan Pak Walikota pun sengaja mempersulit upaya lobi Mang Enjup dan para pesaing. Uang suap ditolaknya dengan alasan takut penyidikan lembaga pemberantas korupsi. Perempuan penghibur kelas tinggi pun ditolaknya dengan alasan bukan seleranya. Tapi Pak Walikota tetap memberi angin kepada ketiga juru runding perusahaan, terutama Mang Enjup. Mang Enjup yang berpengalaman pun bisa menangkap maksud Pak Walikota, dan dia pun mulai merancang rencana untuk melibatkan Tia. Kebetulan sekali, pada saat yang sama Tia sedang berusaha berubah demi mengikuti selera Bram. Di situlah kepentingan bisnis dan obsesi pribadi bertemu. Keinginan Pak Walikota bertemu Tia dipenuhi oleh Mang Enjup. Namun Pak Walikota memang sengaja mengadakan acara pesta seks antara tiga perempuan cantik versus sekumpulan laki-laki jelek.  Ada alasan…

Saat itu, Tia sedang menungging di sofa sementara si codet, yang sebelumnya ikut mengeroyok Shenny tapi keduluan terus oleh teman-temannya, berdiri sambil mengocok kemaluannya. Tia menoleh. Sepotong daging keras siap memasuki tubuhnya. Si codet berbisik ke Tia.

“Gue mau ngentotin pantat Non ya.”

Dan… Tia mengangguk sambil tersenyum!  Si codet dengan penuh semangat mengambil posisi di belakang Tia, menaruh kejantanannya di lubang dubur Tia, dan menerjang maju.

“UHHHH~H!” Tia menjerit seksi ketika penis si codet meretas lubang belakangnya.

Liang kecil sempit itu merentang untuk memuat penis yang masuk, dan Tia bisa merasakan batang yang keras itu meluncur di saluran duburnya.

“Gimana rasanya Non?” tanya si codet, menyadari bahwa kemaluannya berhasil meregang lubang sempit itu. “Berani taruhan, belum pernah ada yang masuk sana ya?”

Tia tak menjawab, hanya meneruskan jeritan-jeritan seksinya,

“Oh, ohh!” tapi andai dia benar-benar diajak taruhan, si codet bakal taruhan karena sebelumnya Tia sudah beberapa kali melakukan seks anal.

Si codet berhasil menjejalkan tiap bagian batang penisnya ke dalam pantat Tia. Namun kekencangan jepitan saluran itu, ditambah waktu menunggu yang cukup lama, mengakibatkan dia tidak tahan. Setelah beberapa menit dia menyerah kalah,

“Uh… sialan… gue keluar!” dan penisnya mulai muncrat di dalam bokong Tia, berdenyut berulangkali dan mengisi saluran dubur Tia dengan benihnya.

Nah, sejak tadi Pak Walikota memperhatikan bahwa meski sudah ada tiga orang yang menyetubuhi Tia, tak seorang pun yang diizinkan berejakulasi di dalam vaginanya. Orang pertama, si culun, dikocokkan dan dibikin berejakulasi di atas tubuh Tia. Orang kedua tadi berejakulasi di mulut.  Sementara yang ketiga, si codet, berejakulasi di pantat Tia. Selain itu ada lagi satu hal yang menarik bagi Pak Walikota. Tadi, orang pertama yang dipilih Tia, si culun, tak lain adalah keponakan Pak Walikota. Dan Pak Walikota suka bagaimana Tia “mengajari” keponakannya yang masih polos soal menyentuh wanita itu. Sungguh dia tak menyangka Tia yang diidamkannya ternyata tak hanya seksi tampilan luar, tapi juga di dalam. Aksi Tia yang percaya diri dan menguasai keadaan lebih dinikmatinya daripada Gaby yang terkesan bekerja sesuai setoran tanpa menghayati (biarpun sebaik-baiknya), apalagi Shenny yang sok jual mahal sehingga malah terpaksa. Pendek kata, Pak Walikota puas sekali setelah mengetahui apa yang Tia bisa. Walaupun dia sebenarnya tak berhak atas Tia. Pak Walikota mendekati Tia yang sedang berubah posisi, dari menungging menjadi duduk di sofa. Melihat Pak Walikota mendekat, orang-orang lain mundur. Pak Walikota menjulurkan tangannya meraih tangan Tia.

*****

“Sekarang kita mau gimana?” tanya Citra sambil menjepit rokok di bibirnya.

Dia baru mengeluarkan korek gas ketika pintu lift di depan dia dan Bram terbuka. Kakak beradik itu masuk ke lift.

“Dilarang merokok di sini, Kak,” Bram merampas korek gas dari tangan kakaknya sambil menunjuk tanda dilarang merokok dalam lift. Citra melengos.

“Kamu punya rencana nggak?” tanya Citra lagi.

Bram tidak bisa menjawab. Keputusan spontannya untuk segera menjemput Tia tak dipikirkan matang. Sesudah mendengar evaluasi situasi dari Citra, dia jadi tahu bahwa mungkin Tia ada di satu kamar di hotel tersebut, bersama Pak Walikota. Lalu Bram merasakan kepalanya ditoyor Citra.

“Adikku goblok,” cela Citra dengan nada datar.  “Emangnya kita mau nggerebek orang selingkuh?  Cuma berdua pula?  Ini yang kita hadapi pejabat. Gimana caranya kita mau ambil Tia dari Pak Walikota?”

Bram memegangi kepalanya dengan kedua tangan dan meringis. Citra menepuk-nepuk punggung adiknya.

“Hhhh… Tenang aja.  Kita pikir sama-sama,” kata Citra berusaha membesarkan hati Bram, sambil mulai memutar otak.

Pintu lift terbuka di depan mereka berdua.  Lantai lima.
#########################################

========================================
Slutty Wife Tia 9: Hujan dan Kilat (Final)
========================================

Jam berapa sekarang…?
Di tengah himpitan dan hentakan, Shenny malah memikirkan waktu.  Dia sudah lelah melawan nafsu liar kumpulan manusia buruk rupa yang menjadi tamu istimewa pesta gila Pak Walikota di kamar Hotel V.  Jadi dia sudah tak peduli lagi ketika untuk kelima kalinya ada seseorang di antara mereka yang menindih dan menyetubuhinya.  Yang dia pikir hanya ‘kapan semua ini akan selesai’. Mata sipitnya kini menatap kosong berkeliling ruangan.  Dilihatnya pelacur impor itu, Gaby, masih saja aktif melayani orang-orang di sana.  Perempuan Latino itu berlutut di depan seseorang, dan dari belakangnya Shenny melihat kepala Gaby yang berambut coklat bergelombang bergerak-gerak di depan selangkangan orang itu.
Masih kuat nyepong, dia…
Tapi ketika Shenny mencari dua orang lagi, Tia dan Pak Walikota, keduanya tidak ada di sana.  Ke mana mereka?  Dia tidak melihat mereka keluar kamar.  Tadi memang Pak Walikota menarik tangan Tia dan mengajaknya ke arah belakang, lalu mereka tidak terlihat lagi.  Apa Tia ada di satu kamar di belakang…Lamunan Shenny terhenti ketika gigitan dan jilatan orang yang menyetubuhinya pada payudaranya yang kecil tapi kencang membuatnya nyaris klimaks lagi.  Dia benci situasi itu.  Pikiran dan harga dirinya tak suka mesti melayani manusia-manusia jelek ini, tapi tubuhnya berkhianat dan mau saja diajak menikmati sensasi.
“Ohh~” jerit Shenny, berusaha menahan rasa malu.  Dengan segala cara dia menyangkal bahwa apa yang dialaminya sekarang itu nikmat.  Dia gengsi kalau pertahanannya dibobol lagi seperti beberapa menit lalu, ketika dia orgasme sesudah disetubuhi tiga orang.
Aku ingin keluar dari sini… aku ingin keluar dari sini… aku ingin keluar dari sini…

*****

“Makasih buat kerjanya,” kata si manajer kepada kedua teknisi yang baru melapor.  “Emang kerjaan rutin sih, tapi kita tetap harus jamin sistem alarm kebakaran kita berfungsi.”
“Sama-sama, bos,” kata salah seorang teknisi itu.  “Jangan lupa jadwal pemeriksaannya tiap enam bulan ya.”
Dua teknisi dari perusahaan alarm kebakaran meninggalkan kantor manajer pemeliharaan gedung Hotel V.  Ketika menunggu lift, salah satunya nyeletuk. “Kita lupa periksa semua yang di lantai lima…”
“Lho, kan udah tadi?” temannya menanggapi.
“Kamu baru sekali ya ke sini?  Dulu saya ikut pas pertama kali hotel ini pasang alarm.  Nah, di lantai lima itu kan kamar-kamar suite-nya.  Tadi emang kita masuk ke beberapa yang kosong kan.  Tapi ada yang kita nggak bisa periksa karena lagi ada isinya.  Di kamar-kamar di sana, ada satu yang bertingkat.”
“Bertingkat?  Maksudnya gimana?”
“Itu kamar masuknya dari lantai lima, tapi di dalamnya ada tangga sendiri ke kamar lain di atas… di atap, lantai 6, kamar penthouse.  Harusnya di sana ada sambungan alarm kebakaran dan pipa air juga.  Tapi kita nggak periksa kamar itu, soalnya tadi kamar-kamar yang kita masukin nggak ada yang ada tangga ke lantai 6-nya.”
“Apa sebelum pulang kita periksa penthousenya dulu?  Biar tuntas kerjaan kita…”
“Kita bisa sih naik ke atap lewat tangga darurat, cuma kita ga bisa masuk ke kamar itu dari luar.  Mesti dari kamar induknya di lantai lima.  Nah, tadi kamu lihat juga kan?  Di depan pintu kamar itu ada orang.  Kayaknya pengawal.  Barangkali lagi ada orang penting di dalamnya.  Makanya tadi kita nggak masuk ke sana.”
“Ooo…”
“Besok-besok lagi aja kita periksa yang di sana, kalau lagi nggak ada orang.”
“Eh, Bang… Kenapa mesti ada kamar yang bentuknya aneh kayak gitu ya?”
“Yah… Kayak ga ngerti aja kamu.  Pemandangan di atas kan bagus, lumayan ga kehalang bangunan lain, cocok tuh buat…”
“Buat apa?”
“…Kamu kayak ga tau aja ini hotel apa.”
“Oh.”
Pintu lift terbuka dan mereka turun.  Samar-samar tercium wangi parfum perempuan dalam lift.  Bekas seorang perempuan yang baru naik ke lantai lima bersama adiknya.

*****

Bram dan Citra melangkah keluar dari lift yang sepi.  Sesudah mereka meninggalkan lift, lift itu akan turun lagi dan dimasuki dua teknisi di lantai di bawahnya. Bram celingukan melihat koridor hotel yang sepi.  Lampu temaram, kertas dinding bercorak ramai, karpet yang mulai usang.  Citra sebaliknya, berjalan di sana ibarat berjalan di dalam rumahnya sendiri.  Dulu ketika kehidupannya lebih liar daripada sekarang, Citra mungkin bisa seminggu 3-4 kali keluar-masuk berbagai hotel, menemui laki-laki yang berbeda tiap hari. Di ujung koridor terdapat pertigaan.  Citra memberi isyarat kepada Bram agar tidak buru-buru.  Dia tahu ada apa di situ.  Koridor tempat mereka berada berakhir di satu dinding, bertemu koridor lain yang merentang ke kanan dan kiri.
“Sebelah kanan, ada tangga ke bawah.  Ke sebelah kiri, di ujung koridor, ada pintu ke kamar suite.  Kalau perkiraanku benar, Tia pasti ada di dalam situ.”
Di ujung koridor, tepat sebelum pertigaan, Citra mengeluarkan tempat bedak yang bercermin dari dalam tasnya.  Dia berdiri membelakangi dinding di sebelah kiri, membuka cermin, lalu mengintip ke arah ujung lorong sebelah kiri.  Bram ikut melihat.
“Kaca spion” itu menunjukkan seorang laki-laki berambut cepak berdiri di depan pintu kamar suite.
“Ada yang jaga,” kata Citra.  “Gimana cara kamu ngelewatin dia?”
Bram memikirkan kemungkinan dia melumpuhkan si cepak.  Citra bisa membaca pikiran adiknya.
“Kamu yakin bisa menang berantem sama begituan?  Itu bodyguard, Bram.  Bisa aja kamu menang, tapi ga gampang.  Lagian kamu cuma bisa datang dari depan.  Nggak bisa sergap dia dari belakang.”
“Terus… Gimana kita bisa singkirin dia Kak?”
“Aku bisa bikin dia pergi dari sana,” kata Citra yang sekarang menggunakan cerminnya untuk mengecek penampilan.  “Tapi aku ga tau gimana caranya supaya kamu bisa masuk ke sana.”
Mata Bram melihat ke sekelilingnya.  Kertas dinding, karpet, hiasan, langit-langit.
“…bisa nggak, ya?” katanya seperti melamun sendiri.  Citra senyum.
“Kamu ada ide?” tanya Citra.
“Nggak tau bakal mempan atau enggak,” kata Bram, wajahnya lebih cerah dari tadi.  “Kalau berhasil, aku nggak perlu dobrak pintu buat ngambil Tia dari dalam sana.  Tapi aku tetap perlu bantuan Kakak buat nyingkirin bodyguard itu.”

*****
PENTHOUSE

Pak Walikota duduk selonjor di atas tempat tidur king size, mengenakan kimono.  Terdengar suara percikan air dari kamar mandi.  Di depan tempat tidur terdapat jendela lebar yang gordennya dibuka, menampilkan pemandangan langit menjelang sore dan gedung-gedung bertingkat di kota. Kota-nya. Kalau hanya melihat penampilan luar, semua orang akan merasa Pak Walikota sudah mengecap hidup yang sempurna.  Karier yang lancar dan terus menanjak, dari aparat menjadi pejabat, dengan kekuasaan dan kemakmuran yang makin lama makin besar.  Semua laki-laki pasti mendambakan apa yang telah didapatnya. Namun di balik penampilan penuh kejayaan, selalu saja ada yang tidak sempurna.  Kadang kekayaan dan kekuasaan tidak juga bisa mendatangkan kebahagiaan bagi pemiliknya.  Karena acap kali kebahagiaan terletak pada hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan dua itu. Itulah yang dirasakan Pak Walikota.  Meski dia boleh dikata bisa mendapat segalanya, sebenarnya ada hal-hal yang tak bisa dia dapatkan, meski dengan segala jabatan dan hartanya.  Makanya dia terus terobsesi oleh sesuatu...Tia. Pesta seks antara tiga perempuan dan kumpulan orang jelek membuatnya yakin bahwa dia tak akan dikecewakan.  Kini tinggal langkah terakhir.  Dia tadi mengulurkan tangannya ke Tia.  Dia membawa Tia menuju satu pintu di kamar suite itu.  Di balik pintu terdapat tangga ke atas, menuju satu kamar khusus di lantai enam.  Kamar itu adalah kamar istimewa yang tersendiri, dengan pemandangan kota dari atas.  Tiada yang mengganggu.  Dua perempuan lainnya, Gaby dan Shenny, biarlah melayani orang-orang suruhannya sampai mereka puas. Tia tak banyak bicara, tapi terus tersenyum selagi dia dituntun Pak Walikota menaiki tangga menuju kamar lantai 6 itu.  Kamarnya indah dan luas, sama seperti kamar induknya di bawah.  Sesudah membukakan pintu, Pak Walikota berbalik badan dan menatap Tia.  Pemandangan yang membuatnya sekali lagi menahan nafas.  Ketika diajak ke atas tadi, Tia sedang telanjang bulat, dan Tia tidak mengenakan lagi pakaiannya.  Dalam keadaan habis disetubuhi itu, entah kenapa, Tia tampak lebih menggairahkan bagi Pak Walikota.  Rambut panjangnya sudah dia gerai.  Wajah dan bentuk tubuhnya lebih mengatakan keanggunan, beda dengan keseksian Gaby dan Shenny.  Sikapnya yang tenang namun berani tadi juga beda dengan Gaby yang terkesan hanya bekerja memuaskan nafsu atau Shenny yang tak rela. Pak Walikota menikmati sosok Tia di hadapannya.  Tubuh Tia yang ramping tapi berisi, dengan payudara berukuran sedang dan pinggul montok, dan kaki panjang indah. Tia melihat di sana ada kamar mandi.
“Ehm… Pak… Boleh saya mandi dulu?” pintanya.
“Silakan,” Pak Walikota mengizinkan.  Tia pun berjalan ke kamar mandi.  Pak Walikota mendengar shower dinyalakan dan tirai ditarik.  Dia sendiri kemudian duduk santai di atas tempat tidur.
Dan selagi Tia membersihkan tubuh, Pak Walikota memejamkan mata, membayangkan betapa bergairahnya Tia tadi di bawah, dan apa yang mau dia lakukan kepada Tia. Lamunannya berhenti ketika Tia keluar dari kamar mandi, berbungkuskan handuk.
“Ayo ke sini,” panggil Pak Walikota.

******
KORIDOR

Bram berdiri menunggu di dekat pertigaan lorong sementara Citra menjauh dari sana, menelepon seseorang.  Si bodyguard masih berdiri mematung di depan pintu yang harus dijaganya.  Beberapa lama kemudian, Citra selesai menelepon dan kembali mendekati Bram.
“Oke.  Kamu cari tempat sembunyi dulu, jangan sampai kelihatan di sepanjang koridor ini.  Kakak mau singkirin orang itu.” Citra tersenyum mantap.
“Hati-hati, Kak,” pesan Bram selagi dia menjauh ke ujung koridor, pindah ke bagian yang tak terlihat dari dekat pertigaan.  Mereka sudah menyusun rencana dan sekarang saatnya beraksi. Citra menyelipkan sebatang rokok ke bibirnya lalu melangkah ke pertigaan koridor.

*****
Citra

“Punya korek, nggak?”
Si pengawal pribadi Walikota yang sedang berdiri menjaga pintu kamar sewaan atasannya terperangah melihat seorang perempuan cantik berjalan keluar dari koridor sebelah menuju tempatnya berdiri.
“Bang,” ulang Citra, “Punya korek nggak?”
Kalau perempuan lemahnya dengan kata-kata, laki-laki lemahnya dengan penampilan.  Si pengawal yang memang sedang bosan karena disuruh menjaga di luar jadi melongo memandangi Citra di hadapannya.  Dengan rok pendek dan blus ketat serba hitam, Citra tampak menawan.  Dia pasang tampang bosan sambil berkacak pinggang di depan si pengawal.
“Emh,” si pengawal merogoh ke dalam kantong dan mengeluarkan korek gas, lalu menyodorkannya ke Citra.  Tapi Citra tidak bergerak.
“Sini dong,” panggilnya.  “Nyalain,” katanya sambil memberi isyarat ke arah rokok yang terselip di bibir merahnya.  Citra sangat percaya diri dengan kemampuannya menguasai laki-laki.  Pegang nafsunya, dan laki-laki paling kaya, paling pintar, paling perkasa pun takluk.  Dia menunggu pesonanya bekerja.  Benar, si pengawal menurut.  Pemuda tegap itu maju mendekati Citra dan menyalakan korek api untuk menyulut rokok Citra.
“Makasih,” kata Citra sambil mulai mengisap rokok.  “Eh… lagi bosen yah?”
“Hehe, iya,” celetuk si pengawal.
“Mau bantuin aku gak?” celetuk Citra.
“Bantu apa nih?” kata si pengawal.
Si pengawal jadi bersender di dinding di sebelah Citra.
“Barusan abis dibooking ama om-om nih aku,” kata Citra, “Nggak sampai lima menit dia udah crot, lagian itunya kecil banget cuma segede jempol.  Cuma, dia jago ngegini giniin,”—sambil Citra menjulurkan lidahnya, menjilat-jilat udara di depan mulutnya—“bisa sampai aku nyaris keluar, tapi terus dia malah pengennya ngentot aja.”
“Terus?” tanya si pengawal.
“Kentang nih,” kata Citra. “Bisa bikin aku keluar gak?”

Si pengawal bengong disodori tawaran seperti itu.
“Itu om-om udah pulang, nggak bisa bangun lagi burungnya.  Tapi kamar bekas aku sama dia masih bisa dipakai.  Mau nggak?  Di sebelah sana… Sebentar aja deh.”
“Euhm… Beneran nih?” si pengawal tak percaya.
“Iyalah… Kenapa? Ga doyan cewek ya?” goda Citra.
“Hahaha… Siapa takut?” kata si pengawal.  Citra mendekat lalu merangkul pinggang si pengawal.
“Badan kamu gede…” puji Citra.  “Itunya gede juga nggak?”  Sambil tangan Citra nakal menyentuh permukaan celana bagian selangkangan.
Si pengawal mulai merasa panas dingin menghadapi godaan Citra.  Tugasnya untuk menjaga pintu mulai terlupakan.
“Ohhh…” desah Citra.  “Ayo… ke kamar yuk?”
“Eng, tapi…”
“Ayoooo~” pinta Citra dengan manja.  Dia menarik lengan si pengawal.  Awalnya lengan kokoh itu tak bergerak.  Namun digerayangi terus oleh Citra, luluh juga pertahanannya.  Dia mulai melangkah mengikuti Citra. Citra tadi menelepon pegawai hotel kenalannya.  Minta disediakan kamar kosong; yang belum dibereskan juga tidak apa-apa.  Mengingat kamar-kamar hotel itu lebih sering dipakai short time, kamar dengan keadaan seperti yang dimintanya kebetulan tersedia.  Di lantai yang berbeda memang.  Tapi si pengawal itu mau saja diajak Citra meninggalkan posisinya.  Keduanya berjalan menyusur koridor menuju tangga ke bawah.  Di depan tangga, Citra berbalik, berjinjit supaya bisa menjangkau ke atas, dan memberi french kiss kepada si pengawal.

*****

Sepuluh menit lebih Bram menunggu di ujung koridor yang jauh dari pintu kamar Pak Walikota.  Dia bertanya-tanya, apa kakaknya sudah berhasil menyingkirkan si pengawal?  Bram merasa waktunya sudah cukup lama, dan dia berjalan mendekat ke pertigaan.  Sepi.  Tidak ada suara.  Tidak ada orang? Bram memberanikan diri untuk melongok ke arah pintu kamar Pak Walikota.  Kosong!  Citra sudah berhasil menyingkirkan si pengawal.  Artinya kakaknya itu berhasil merayu si pengawal untuk pergi ke—  Bram menghentikan pikirannya di situ, tidak mau membayangkan kakaknya mau apa dengan si pengawal.  Bram kemudian mendekat ke pintu itu.  Sampai merapat ke pintu.  Dicobanya mendorong pintu.  Tidak bergerak.  Dilihatnya ke arah gagang pintu.  Di sebelah gagang pintu ada slot kartu.  Terkunci dengan kartu. Bram ganti memperhatikan lantai.  Tidak terlihat apa-apa di karpet di depan pintu.  Tidak ada barang jatuh.  Tidak ada kartu kunci.  Andai rencana mereka itu melibatkan mencopet kunci dari si pengawal, Citra jelas tidak berhasil melakukannya. Pintu itu terlihat kokoh.  Dobrak? Tapi memang bukan itu rencananya sejak awal. Tentu saja pintu itu akan terkunci.  Dan apakah membukanya, dengan kunci ataupun dengan paksa, itu strategi terbaik? Bram memandangi seluruh bagian pintu, lalu mundur dan memperhatikan sekeliling. Kiri, kanan. Atas, bawah.  Lantai, dinding, pintu. Bram meraba suatu barang dalam kantongnya.  Barang yang tadi dia ambil dari tangan kakaknya.

Karena perlindungan yang bisa diberikan seorang laki-laki kepada kekasihnya tidak mesti dengan kekuatan belaka…

*****
PENTHOUSE

Tia

Pak Walikota menahan nafas ketika Tia berjalan mendekat.  Langkah-langkahnya seperti macan lapar mengintai mangsa.  Seksi dan menggoda.  Tatap mata Tia membangkitkan nafsu badani Pak Walikota yang mulai tak tertahan.  Ketika sudah dekat dengan tempat tidur, Tia berhenti.  Sambil melempar senyum nakal dia berbalik, menggoyang tubuh, lalu membuka balutan handuk yang menutup tubuhnya.  Dia membuka dadanya membelakangi Pak Walikota.  Sambil menengok ke belakang, matanya mengerling genit.  Tapi lantas handuk itu dia naikkan lagi kembali menutup dadanya.  Kemudian dia berbalik, dan mengelus pahanya di tepi bawah handuk.  Sambil mengelus, terangkat sedikitlah handuk itu.  Tia menggigit bibir, lalu kembali membelakangi Pak Walikota.  Handuk dilepas lagi, turun memperlihatkan punggung, lalu ditarik sampai menutupi bahu; kali ini bagian bawah-lah yang terbuka, pantat dan pinggul Tia.  Tia berbalik lagi, handuknya turun lagi menutupi dada, tapi kali ini tangannya menurunkan handuk sambil menutupi payudara kanan.  Tangan Tia kemudian meremas lembut dan mengusap-usap payudara kanannya; gundukan daging yang cantik itu bergerak berputar lambat mengikuti gerak tangan Tia.  Kembali lagi Tia menutup dadanya dengan handuk. Tanpa berkata apa-apa Pak Walikota menikmati pertunjukan striptease Tia di depannya.  Benar-benar “strip” & “tease”.  Menelanjangi sambil menggoda.  Sesudah membungkus lagi tubuhnya dengan handuk, Tia kemudian menahan handuk di depan dada dengan lengan tapi melepas sisanya, sehingga handuk itu menggantung menutupi dada ke bawah, tapi tubuh belakang dan sampingnya tak tertutupi.  Tia lalu sengaja memutar tubuh ke samping sehingga Pak Walikota bisa melihat sekujur sisi tubuhnya yang sedang tak tertutup handuk.  Terakhir, Tia pelan-pelan membiarkan handuk itu merosot ke lantai sehingga dirinya pun bugil seluruhnya di hadapan Pak Walikota. Pak Walikota bergeser mendekati Tia, sehingga posisinya berubah jadi duduk di pinggir tempat tidur.  Dia menjulurkan kedua tangan ke depan dan mencengkeram pinggang Tia.  Tia berbalik, menungging membokongi Pak Walikota, memamerkan pantatnya yang bahenol, meremas-remas kedua belahannya.  Tia masuk ke dalam peran dengan sungguh-sungguh, bertindak seperti seorang pelacur betulan, mengumbar tubuhnya untuk mendapatkan perhatian penuh nafsu laki-laki.

Dapat dilihat Pak Walikota mulai panas melihat pertunjukan cabul yang disajikan Tia.  Matanya terpaku pada tubuh Tia, menatap lapar!  Dia tampak siap menerkam Tia dan melampiaskan gairahnya. Namun seolah masih ada sesuatu yang membuat Pak Walikota masih menahan diri…Tia berbalik badan dan menggenggam kerah kimono yang dipakai Pak Walikota.  Wajah laki-laki paro baya itu berubah khawatir.  Tapi Tia tak mempedulikannya selagi dia pelan-pelan membuka kimono itu. Ketika tubuh atas Pak Walikota terbuka, Tia terhenyak kaget.  Ini rupanya yang membuat Pak Walikota ragu. Tubuhnya besar dan atletis.  Gagah, karena masa lalunya sebagai perwira.  Namun tubuh Pak Walikota ternyata penuh bekas luka menjijikkan. Bertahun-tahun lalu, ketika masih berpangkat rendah dan bertugas di daerah konflik, Pak Walikota mengalami musibah.  Dia ikut dalam konvoi kendaraan yang disergap kelompok perlawanan.  Truk yang ditumpanginya terkena tembakan dan meledak.  Dia masih lebih beruntung daripada kawan-kawan sekesatuannya yang tewas atau cacat karena ledakan truk itu, tapi dia mengalami luka bakar parah di sebagian besar tubuh.  Bola api ledakan membakar tubuhnya dan dia terlempar keluar truk dalam keadaan membara, menjerit kesakitan.  Dia diselamatkan kawan-kawannya dan segera diangkut untuk dirawat, tapi sesudahnya dia hidup dengan tubuh rusak. Itulah yang sedang Tia saksikan sesudah dia membuka kimono Pak Walikota.  Tubuh tegap itu penuh bekas luka dan pertumbuhan kulit yang tak teratur, yang sebagian besar ada di sisi kanan tempat dulu ledakan menyambarnya.  Kulit tubuhnya berbercak tak teratur, putih, coklat gelap.  Puting kanannya sudah tak ada, mungkin rusak dan diangkat.  Di sana-sini terlihat benjolan parut bekas luka.  Sungguh mengerikan dan siapapun yang melihatnya bakal membayangkan kejadian macam apa yang bisa merusak tubuh orang sampai jadi seperti itu.
“Kamu… takut?” Pak Walikota menghela nafas, suaranya terdengar pasrah.  “Jijik?”
Tia tidak menjawab, malah dia mengelus salah satu benjolan bekas luka.  “Sakitkah… Pak?” tanya-nya dengan nada lembut.
“Nggak… Aku udah biasa…” kata Pak Walikota.  “Tapi… Tolong jawab pertanyaanku, Tia.”
Tubuh yang rusak itu terus-menerus membuat kehidupan Pak Walikota tak sempurna.  Pertama, sejak tubuhnya jadi penuh bekas luka mengerikan, istrinya tak lagi mau tidur dengannya.  Hubungan suami-istri mereka jadi mendingin dan sebatas hubungan formal, mereka tetap tampil sebagai suami-istri di depan umum namun inti hubungan itu telah hilang dengan enggannya sang istri bersetubuh dengan suaminya.  Pada akhirnya sang istri tak dapat menerima kenyataan bahwa tubuh suaminya telah rusak, dan hilanglah keintiman di antara mereka, yang tersisa hanyalah status suami-istri yang kosong.  Kehilangan kasih sayang, perwira muda dengan tubuh rusak itu berusaha keras membangun karier dan reputasinya sehingga pangkatnya naik dengan cepat dan jabatannya makin tinggi hingga akhirnya dia berhasil meraih kedudukan Walikota.

Semakin dia kaya dan berkuasa, mulailah dia berusaha mencari lagi kenikmatan yang tak didapatnya dari istrinya.  Tidak susah baginya mendapatkan perempuan.  Tapi… kekecewaan yang didapatnya.  Dia bisa membayar perempuan mana saja, tapi dia tak bisa menghilangkan rasa jijik mereka ketika melayaninya.  Dan dia tak suka ketika itu terjadi. Itulah alasannya dia mengadakan acara tadi.  Pak Walikota tahu, selain uang suap, para pengusaha yang mengincar proyek pemerintah bakal menyodorkan perempuan juga.  Dia tidak mau menikmati suguhan mereka begitu saja.  Baginya sebagai pejabat tinggi, mendapatkan perempuan cantik sekelas Gaby dan Shenny itu mudah.  Tapi itu tidak membuatnya senang.  Untuk apa membawa perempuan cantik ke ranjang lalu ketika disetubuhi dia memalingkan muka, memejamkan mata, atau pasang tampang tak suka?  Makanya dia menyiapkan sekelompok orang jelek untuk menguji perempuan-perempuan yang disodorkan kepadanya.  Dia ingin tahu apakah Gaby, Shenny, dan Tia sama saja dengan yang lain. Dan Pak Walikota juga telah terobsesi dengan Tia, sebagaimana sudah diceritakan. Karena itulah dia lega Tia lulus dari ujian harus melayani orang-orang jelek tadi. Dan sekarang dia sedang meminta kepastian lagi dari Tia.
“Apa kamu jijik sama badanku, Tia…?”
Tia tersenyum dan mengelus dada Pak Walikota.
“Enggak, Pak…” jawab Tia.
Pak Walikota tidak tahu, tapi pikiran Tia yang telah dibentuk oleh Mang Enjup dan Dr. Loren membuat Tia tidak jijik dan ngeri terhadap apapun.
“Rata-rata perempuan jijik sama badanku…” Pak Walikota curhat.
“Bapak tenang aja…” hibur Tia.
Kata-kata itu Tia sambung dengan ciuman hangat ke bibir Pak Walikota.  Di tengah pergumulan bibir, Tia meraih tangan Pak Walikota dan menyentuhkan tangan itu ke payudaranya.  Tangan Tia yang satunya lagi mengelus paha Pak Walikota, ke arah pangkal menuju selangkangannya yang masih bercelana dalam.  Tangan itu mengusap-usap kejantanan yang menegang di balik sana.  Pak Walikota serasa berada di surga, dan seorang bidadari cantik telah ditugaskan untuk melayaninya… Tia mengeluarkan batang yang tegak itu dari bungkusnya, dan terus mengelus-elusnya.  Sekalian dia melepaskan celana dalam Pak Walikota hingga mereka pun bugil berdua. Untungnya kemaluan Pak Walikota luput dari musibah yang menimpa tubuhnya dulu, tidak ada bekas luka apapun… Barang yang tegak kencang itu cukup besar, berwarna gelap.

Tia menghentikan ciumannya.  Dia berubah posisi badan dari berdiri ke berjongkok di depan Pak Walikota yang duduk.  Muka Tia mendekat ke selangkangan Pak Walikota. Tia mencekal pangkal batang kejantanan Pak Walikota, dan menggoyang-goyangkannya.  Dengan penuh rasa sayang Tia lalu mengusap-usapkan ereksi hangat itu ke pipinya.  Pak Walikota mengerang nikmat.  Tia bahkan menampar-namparkan batang Pak Walikota ke pipi dan bibirnya.
“Ahhh… Paak… Gede yaa…” kata Tia menggoda.
Tia menjulurkan lidahnya selagi menampar-namparkan penis itu ke bibirnya sehingga beberapa kali lidahnya menyentuh batang itu.  Matanya merem melek, melirik seksi ke arah Pak Walikota, seolah sedang membayangkan bagaimana rasanya menikmati kelelakian Pak Walikota. Kemudian Tia berlutut di depan Pak Walikota, menaikkan tubuhnya sehingga kedua payudaranya mendekat ke penis tegak Pak Walikota. Kemudian dia sorongkan kedua payudaranya mendesak ereksi Pak Walikota.  Ujung penis mencuat di atas belahan dadanya, dan disambut bibir lembut Tia.  Dengan penuh semangat Tia menjulurkan lidahnya, berputar-putar mengusap kepala penis itu, sebagaimana dia tahu disukai banyak laki-laki.  Kemudian penis panjang itu terbenam di himpitan dua gunung kembar yang digerakkan ke atas oleh pemiliknya.  Tubuh Pak Walikota mulai bergoyang, menyetubuhi buah dada Tia.  Nafasnya makin cepat dan kasar; tidak akan lama lagi…
“Ayo keluarin Pak,” dan Tia mencucup kepala penis itu lagi.  “Mau keluarin di mulutku apa dadaku…?” selagi kejantanannya merasakan jepitan dada Tia.  Pak Walikota cuma bisa pasrah menghadapi godaan Tia.  Tak tahan lagi…
“Ungh… !!??”
Ejakulasinya ditahan! Ketika mau menyembur, tiba-tiba Tia memencet dan meremas kepala burung Pak Walikota.  Meski kemaluannya berdenyut hendak menyembur, semburannya tertahan karena jalan keluarnya ditutup.  Pak Walikota mengerang frustrasi.
“Jangan dulu ya…” kata Tia dengan nada nakal.
Kemudian dia meminta Pak Walikota berdiri dengan punggung menempel di dinding.  Serbuan sensual berikutnya pun dilancarkan.  Tia berdiri membelakangi Pak Walikota, merapat, lalu membungkuk sambil menonjolkan pantatnya ke belakang.  Belahan pantatnya menyentuh kelelakian Pak Walikota.  Sepasang daging pantat yang mulus empuk itu mengelus bawah perut Pak Walikota.  Naik turun menyusuri panjang batang.  Kadang bergeol ke kanan dan kiri.  Kadang mundur mendesak.  Sementara yang empunya pantat meremas-remas sendiri kedua sisi luar pantatnya sambil mendesah-desah bergairah.

“Aahnn… Enak nggak Pak?  Enak nggak geolan pantat Tia?” Tia mencumbu dengan kata-kata saru, cukup mengejutkan Pak Walikota yang tak mengira kata-kata seperti itu bisa keluar dari mulut perempuan baik-baik.
Tia kemudian meraih ke belakang dan mengubah posisi kejantanan Pak Walikota.  Yang tadinya tegak dan di atas pantat kini dipindah mengacung ke depan bawah dan dijepit di antara kedua paha dan kewanitaan Tia.  Pak Walikota menahan nafas.
“Pak… Gerakin maju mundur ya?” pinta Tia.
Sesuai permintaan, Pak Walikota mulai bergerak, kemaluannya tercengkeram “paramek” (paha rasa memek), ujung burungnya mencuat-cuat di depan bawah perut Tia.  Laki-laki paro baya itu menggumam senang.  Rasanya seperti bermasturbasi, hanya dengan bantuan paha, bukan jari.  Kemudian Pak Walikota menyadari bahwa Tia menikmatinya juga, karena penisnya bergesekan dengan bibir vagina Tia, dan bibir itu terasa mulai basah dan licin.  Bahkan bisa terasa cengkeraman paha Tia makin becek, karena kemaluan Tia mengeluarkan cairan.  Tanpa malu-malu Tia mengerang nikmat, dan Pak Walikota mulai menambah kecepatan gerak. Tangan Pak Walikota yang tadinya nganggur bergerak ke atas, awalnya ragu mau menyentuh Tia atau tidak.  Lalu kemudian dia putuskan itu tidak apa-apa, dan dia meletakkan kedua tangannya di atas pantat Tia, dengan jari terentang yang kemudian mencengkeram kedua buah pantat Tia.  Dia menghela nafas, melihat bagaimana Tia menggeliat dan gemetar kesenangan selagi pahanya disetubuhi.  Apalagi tangan Tia juga ikut bermain, mengusap-usap bagian bawah penis Pak Walikota yang maju-mundur.
“Mmmmh, enak Paakh,” erang Tia lembut.
“Ah. Mau keluar…” kata Pak Walikota.  Mendengar itu, Tia malah makin gencar memasturbasi Pak Walikota, dan air mani Pak Walikota pun tiba-tiba menyemprot.
“Ah, aahhh…!” Pak Walikota menyodokkan pinggulnya ke depan, menuju jepitan paha Tia.  Semprotannya mendarat di tangan Tia yang memang sengaja menghadang di depan lubang.  Tia menjepit-jepitkan pahanya memompa semburan demi semburan yang kemudian dia tadah dengan tangan.  Perempuan muda itu tampak menggeliat lembut selagi Pak Walikota mendapatkan orgasme.
“Ih kental…” komentar Tia selagi setetes mani merambat jatuh dari tangannya.  Dia berbalik lalu menjilati cairan kental yang ditampung di tangannya itu sampai bersih.  Lalu dia tersenyum dan menjilat bibir seolah-olah habis mencicip sesuatu yang amat nikmat.  Tapi Tia belum puas.  Dia kembali menggarap kejantanan Pak Walikota, agar batang itu kembali tegak dan siap beraksi.

*****
LANTAI 4

“jemput tia. gausah pikirin kakak, kakak bs pulang sendiri”
Citra sempat mengirim SMS itu sebelum dia membuka pintu kamar kosong yang sudah disediakan untuknya.  Beda dengan kamar-kamar suite di lantai lima, kamar-kamar di lantai empat lebih kecil dan sederhana, karena sebagian besar penggunanya hanya berada 3 jam di sana.  Sesudah memilih perempuan di bawah, para hidung belang yang ingin memuaskan nafsunya biasa menuju ke kamar-kamar ini yang tersedia lumayan banyak di Hotel V.  Selain perlengkapan kamar hotel biasa seperti tempat tidur, lemari, dan TV, di kamar-kamar itu terdapat cermin di dinding dan langit-langit.  Kamar mandinya bukan berupa kamar sendiri, melainkan kotak 1x2 meter berdinding bening dengan shower. Dia langsung mengajak duduk si pengawal di tempat tidur dan menanyakan nama.
“Afri,” kata si pengawal malu-malu.
Citra mengaku bernama “Fenti” kepada Afri, lalu bergeser duduk merapat ke Afri.  Dilihatnya Afri tegang dan tidak santai—karena merasa meninggalkan tugas, jadi Citra merayu-rayu si pengawal agar makin terlena. Kata-kata manis tidak perlu banyak.  Citra menyambung dengan kecupan ke pipi.
“Kok diem aja… Kamu suka aku nggak?” tanya Citra dengan nada manja.
“Eh, iya, suka Fen…”
Mulai terlihat bahwa Afri sedang mempelajari kecantikan Citra.  Dalam kamar yang temaram itu, wajah Citra tampak bercahaya.  Tak salah tadi dia repot-repot bedakan dulu di mobil Bram.  Bra-nya membuat dadanya kelihatan lebih membusung, dan Afri juga terlihat melirik ke sana.  Dasar laki-laki, Citra membatin.  Walaupun diam saja tapi sebenarnya melirik juga, dan pasti ketahuan kalau sedang lihat-lihat.
“Cium dong,” tantang Citra.
Sepasang bibir merah yang manis menyediakan diri di depan Afri.  Pengawal itu ragu, masih tak percaya ada perempuan menyodorkan diri seperti itu kepadanya.  Ditambah lagi Citra menggenggam tangannya, lalu lanjut mengelus lengannya.  Afri merinding merasakan halusnya tangan Citra.  Citra lalu menarik tangan Afri ke balik roknya, agar si pengawal bisa mengelus pahanya.  Dan selagi membimbing tangan Afri ke arah pangkal paha, Citra mencondongkan badan ke depan dan mencium bibir Afri. Afri masih bujangan, dan sedang tak punya pacar.  French kiss dari Citra mengejutkannya.  Ketika lidah Citra membuka bibirnya dan bergulat dengan lidahnya, si pengawal menahan nafas.  Selesai menjelajahi rongga mulut Afri, Citra melepas ciumannya dan ganti menjilati leher Afri.  Lalu balik lagi ke mulut, satu lagi french kiss dan mengulum lidah Afri.  Citra merasakan nafas si pengawal jadi memburu, lalu menjulurkan tangannya ke bagian selangkangan celana Afri.  Tangan satunya lagi dengan gemas meremas kepala Afri yang berambut cepak.  Tahu-tahu saja posisi Citra sudah menunggangi selangkangan Afri, kepalanya berada sedikit di atas kepala si pengawal.  Citra merasakan kedua tangan Afri menjamah pantatnya.  Bagus. Si pengawal mulai berani.  Dan itu wajar.  Seharian dia bertugas mengawal tiga perempuan cantik, lalu tadi di dalam dia sempat menonton pesta seks ketiganya melawan kumpulan orang jelek.  Anunya protes minta ikutan, tapi dia tak berani ikut kalau tidak diperintahkan bosnya, Pak Walikota.  Bahkan tadi dia sempat mencegah Shenny kabur.  Karena tidak tahan, dia pindah berjaga di luar.  Tapi di luar dia malah bertemu perempuan ini, “Fenti”…

“Aku buka ya?” kata Citra.
Tanpa menunggu jawaban Afri, Citra membuka satu demi satu kancing kemeja safari yang dipakai si pengawal, lalu langsung melepas kemeja itu.  Dilihatnya tubuh Afri yang gempal seperti petinju.  Citra tersenyum; pemuda bertubuh gempal itu ternyata sifatnya malu-malu.  Lalu Citra kembali mencium bibir Afri sambil mengelus-elus bahu dan wajah Afri.  Citra membantu Afri melepas kaos dalam lalu dia teruskan menggodai pemuda itu dengan menjilati putingnya.  Sekalian, Citra membuka resleting celana Afri dan membebaskan kejantanan Afri dari dalam bungkusnya.
“Udah keras nih,” kata Citra sambil mengocok-ngocok batang kejantanan Afri.
Bentuknya pendek tapi berdiameter lumayan.  Citra melepas Afri dan merebahkan diri di tempat tidur.  Dia melipat lututnya dan menjangkau ke bawah, langsung mencopot rok dan celana dalam.  Dipanggilnya Afri supaya mendekat.  Si pengawal sudah melepas semua bajunya juga dan sekarang berlutut di hadapan Citra, penisnya yang tegang menunjuk ke arah kewanitaan Citra yang sudah menunggu.  Citra meraih tasnya dan merogoh ke dalam, lalu mengeluarkan sebungkus kondom.
“Pakai dulu ya?” kata Citra.
Dengan cekatan Citra merobek bungkus kondom dan memasangkannya ke penis Afri.  Lalu dia menggeser bagian bawah tubuhnya, meraih batang yang sudah diberi pengaman itu, dan memasukkannya ke dalam kewanitaannya.  “Ayo goyang,” perintah Citra.  “Entot aku Fri…”
Afri memang bujangan, tapi dia sudah tidak perjaka, gara-gara pernah diajak jajan oleh teman-temannya ke lokalisasi beberapa kali.  Jadi dia sudah tahu apa yang harus dilakukan.  Dia langsung bergerak maju-mundur menikmati gratisan dari “Fenti”.
“Ah… ah… ahah enakh!” Citra ber-acting sebagaimana layaknya seorang pelacur pemuas nafsu, kedua lengannya meraih ke atas dan kedua tangannya mencengkeram bantal, kepalanya menengadah dan berpaling, bibirnya mengerang-erang keenakan.  “Ah… hah… ah jangan… ah enak…!!”  Meskipun tak begitu terangsang, vagina Citra menjepit penis Afri.
“Ayohh… Lagii… lagi… terus…” Citra menjerit-jerit seolah bernafsu, sambil tangannya meremasi buah dadanya yang masih terbungkus baju.  Pinggulnya bergerak mendesakkan seluruh bagian kejantanan Afri ke dalam vagina.  Afri juga mulai berani, tangannya mulai menjamah bagian-bagian lain tubuh Citra. Apalagi Citra sengaja “berisik” demi memancing nafsu Afri agar makin bergejolak.  “Enak banget… terus sayang… aku suka sayang…” dengan kata-kata seperti itu, Citra memacu ego kelelakian Afri.  Sebagai wanita penggoda berpengalaman, Citra tahu bagaimana membuat laki-laki lawan mainnya merasa “perkasa”. Citra lalu berganti posisi, dia menyuruh Afri rebahan sementara dia bergerak mengangkangi selangkangan Afri sambil menghadap wajah Afri, posisi woman on top. Dia menggenggam penis Afri yang masih tegak dan mengarahkan lagi ke rekahan kewanitaannya.  Sambil tersenyum seksi Citra mulai menunggangi bawah perut Afri.  Sekalian dia membuka kaos ketatnya.  Afri langsung menyambut, kedua tangannya menjamah kedua payudara Citra bersamaan, menekan-nekan puting Citra.  Citra tampak kegelian dan kedua lengannya bergerak seolah mengusir tangan Afri.

“Ah… janganh… geli… pentilku gelii… Nanti aku cepet keluarh…”
Citra akhirnya menjauhkan tangan-tangan Afri dari payudaranya.  Dia kegelian betulan, dan terangsang, ada titik sensitif di payudaranya.  Sekalian dia mengubah posisi kaki, dari tadinya berlutut seperti menunggangi sekarang menjadi berjongkok mengangkang untuk mengubah posisi tusukan di kemaluannya.  Kedua tangan Afri digenggamnya dan dia mengubah gerakan jadi naik-turun.  Tapi akhirnya Citra melepas tangan Afri dan keasyikan ajrut-ajrutan di atas Afri.  Bunyi “cpok-cpok-cpok” kulit bertemu kulit terdengar tiap kali pantat Citra menghantam perut Afri.  Bosan dengan posisi itu, Citra lalu berhenti dan memutar tubuh sehingga membelakangi Afri, posisi reverse cowgirl, tanpa mencabut tusukan kejantanan Afri.  Dia langsung beraksi, pantatnya mengulek selangkangan Afri, nafasnya terengah memburu.  Afri menikmati pemandangan punggung dan pantat mulus Citra menggelinjang di depannya. Citra berhenti lagi, lalu mengangkat pinggulnya sehingga kemaluan Afri keluar dari dalam tubuhnya.  Dia mengubah posisi dengan canggung karena masih mengenakan sepatu hak tinggi—dia tahu banyak laki-laki suka dia tetap memakai sepatu hak tinggi ketika bersetubuh—berbalik kemudian merayap ke arah wajah Afri.
“Aku mau dientot dari belakang… dogy… ayo,” pinta Citra.
Afri langsung bergerak, berposisi berlutut di belakang Citra yang menungging, dan tanpa banyak basa-basi menyetubuhi perempuan cantik yang baru dia kenal itu dari belakang.  Afri kembali melihat wajah mesum Citra yang pasang ekspresi keenakan, menoleh ke belakang seolah ingin melihat bagaimana penis Afri menggempur liang kenikmatan.  Tubuh Citra terguncang-guncang dihantam serangan demi serangan.  Jeritan-jeritannya pun makin seru.  Lama-lama posisi doggy style berubah karena Citra tergolek ke sisi kiri.  Paha kanan Citra menyelip di bawah selangkangan Afri sementara pergelangan kaki kirinya digenggam Afri.
“Hah… ah… ah mau keluar…!” seru Afri di tengah dengusan nafasnya.
Citra juga berpura-pura mau orgasme, melengking-lengking tak karuan seolah sampai ke puncak kenikmatan.  Lalu Citra merasa goyangan Afri berhenti dan Afri menancapkan dalam-dalam penisnya.  Mendengar suara erangan Afri, Citra tahu si pengawal itu sedang berejakulasi, maka dia pun menjerit pura-pura klimaks.  Pinggulnya dia gerakkan memutar, memeras batang yang berejakulasi di dalam vagina.Afri mundur mencabut barangnya.  Citra memutar tubuh, berbalik jadi menghadap Afri, lalu meraih ke kemaluan Afri untuk mencabut kondom yang penuh.
“Hmm~!  Pejunya banyak yaa…” kata Citra sambil nyengir, menggoyang-goyang kantong lateks berisi cairan putih yang barusan dilepasnya dari kejantanan Afri.  Dengan profesional dia mengikat ujung kondom sehingga isinya tak bisa keluar.  Dilihatnya Afri yang masih kelihatan fit.
Mungkin Bram masih perlu waktu, pikir Citra.
“Masih ada sisanya nggak?” tantang Citra sambil menjilat bibir.  Afri nyengir.

****
KORIDOR

Bram membaca SMS dari kakaknya barusan, yang memesankan supaya dia fokus ke Tia.  Dia menyimpan lagi HP-nya di dalam dompet di ikat pinggangnya.  Lalu Bram melihat ke langit-langit koridor. Pertama-tama Bram memastikan tidak ada kamera CCTV di langit-langit.  Artinya, apapun yang mau dia lakukan, tidak ada yang bakal merekamnya.  Kedua, dia mencari satu lagi benda di langit-langit.

Ketemu!

Di langit-langit, kira-kira setengah jalan dari pintu kamar suite ke pertigaan koridor, Bram melihat sprinkler, keran air darurat untuk pemadam kebakaran. Dia berusaha menjangkau sprinkler itu tapi letaknya cukup tinggi.  Bram lantas menyeret satu pot tanaman yang besar ke sana.  Setelah sekali lagi memastikan tidak ada orang berkeliaran di koridor, Bram berdiri di atas pot besar itu dan merogoh ke dalam kantong. Tadi di dalam lift dia mengambil korek api gas milik Citra.  Korek itu sekarang menjadi bagian rencananya. Bram menyalakan korek gas dan menggunakan apinya untuk memanaskan sprinkler.

*****
PENTHOUSE

Tangan lembut Tia mendatangkan kehidupan.  Kejantanan Pak Walikota tidak dibiarkan lemas begitu saja sesudah tadi ejakulasi.  Beberapa kali kocokan sudah cukup untuk membangunkannya lagi.  Tia merasakan hangat batang itu, terbakar panas gairah pemiliknya untuk mencicip kenikmatan terlarang. Pak Walikota berbaring telentang di tempat tidur.  Tia berjongkok mengangkang di atas selangkangannya.  Tia membukakan pintu kewanitaannya bagi penis Pak Walikota selagi dia merendahkan jongkoknya…
“HHAA… GHNN!!”
Tubuh cantik Tia tiba-tiba gemetar dan ambruk menindih dada Pak Walikota, tepat ketika kejantanan Pak Walikota terhunjam seluruhnya menembus vaginanya.  Pak Walikota bingung dan segera menggenggam Tia.
“Tia… Tia?  Ada apa?”
“Ahh… Pakk… T-Tia keluarr…” rintih Tia.  Pak Walikota tersenyum kecil.  Terbersit sedikit rasa bangga karena merasa bisa membuat Tia orgasme.  Padahal sebenarnya Tia memang sudah terangsang berat sejak tadi melayani orang-orang jelek di bawah, dan klimaksnya ibarat tinggal menunggu kena “satu sentilan” lagi.
“Nggak apa-apa… Bapak terusin ya? Entot Tia…” dengan wajah memerah sesudah terlanda orgasme, Tia mengatakan itu.
Tentu saja Pak Walikota tak menolak.  Dia akhirnya mendapat juga apa yang diidam-idamkannya, bersanggama dengan Tia.  Dengan lembut Pak Walikota mulai bergerak, makin lama makin kencang mengguncang Tia di atasnya.  Tia yang masih lemah pasca-orgasme pasrah, menerima dirinya dijadikan pelampiasan nafsu Pak Walikota.  Wajahnya bersandar di atas dada Pak Walikota yang penuh bekas luka, namun tak ada sedikitpun rasa jijik.  Itulah yang membuat Pak Walikota makin antusias.  Makin tinggi kedudukan seseorang dan makin terpenuhi kebutuhannya, biasanya impiannya makin tinggi dan sukar.  Dalam hal Pak Walikota, impiannya adalah kembali menikmati pelampiasan nafsu badani bersama perempuan yang mau menerimanya tanpa jijik karena tubuhnya yang rusak.  Lebih spesifik lagi, dengan Tia, perempuan muda yang sebenarnya bersuami namun telah menjadi obsesinya selama beberapa tahun.  Dan tiada yang mengalahkan puasnya merasakan impian yang kesampaian.
“Emh, mmmmh…” Tia menengadah dan mencium Pak Walikota.
Pak Walikota membalas ciuman itu dengan lembut, tangannya mengelus rambut Tia.  Iri.  Pak Walikota iri sekali dengan Bram.  Anak muda itu mendapat istri yang dari luar terlihat begitu cantik dan anggun, dan dalamnya ternyata binal dan seksi. Tia sendiri sedang tak ingat dengan Bram suaminya.  Dia sedang mematuhi pemrograman bejat yang terpasang.  Semua perubahan yang terjadi—makeover dari Citra, sugesti dari Mang Enjup dan Dr Loren—dia sudah tak tahu lagi apa alasannya.  Memang awalnya dia berubah demi memuaskan selera Bram.  Dan itu berhasil, Bram kelihatan lebih menyukai penampilan dan pembawaannya yang baru.  Tapi Tia belum juga menyadari bahwa ada pihak yang memanfaatkan kecenderungan barunya demi kepentingan sendiri.  Sugesti Mang Enjup membuatnya terobsesi memuaskan nafsu laki-laki.  Semua laki-laki, bukan hanya yang paling berhak yakni Bram.  Dan Dr Loren memperkuat sugesti itu dengan menghapus trauma-nya.  Tia yang seharusnya menjadi seorang istri setia dijerumuskan.  Mang Enjup melacurkannya kepada Pak Walikota.  Dan Tia tidak menolak itu.  Dia seorang istri, namun sudah menjadi tak ubahnya seorang pelacur juga…

*****
KAMAR SUITE LT. 5

Stamina orang-orang yang ada di sana seolah tidak ada habisnya.  Gaby sedang menyepong entah penis keberapa sambil berposisi menungging dan di belakangnya ada yang menyetubuhinya.  Rambut perempuan Latino itu sudah kusut, tubuhnya mandi keringat, dan kemaluannya mulai terasa panas.  Dia sudah pernah terlibat pesta seks, tapi jarang-jarang durasinya bisa selama itu.  Entahlah.  Apa mungkin karena yang terlibat ini orang-orang yang dalam keadaan normal sulit mendapat perempuan, sehingga mereka memanfaatkan kesempatan langka sebaik-baiknya?  Dari tadi dia menunggu kapan orang-orang itu puas semua.  Tapi mereka terus kembali dan kembali.  Bergantian, melahap dia dan melahap perempuan sipit itu.  Sementara Tia dan Pak Walikota sudah tidak di sana.
“Aa… ahhh…” terdengar rintih lemah Shenny yang dipaksa orgasme lagi.
Gaby kasihan mendengarnya.  Shenny sudah hampir pingsan tapi orang-orang itu tak ada yang peduli.  Ditambah lagi, karena tadi Shenny bersikap angkuh, mereka lebih gemas dan kasar menyetubuhinya.  Wajah putih Shenny belepotan sperma; tadi ada yang berejakulasi di sana.  Shenny sendiri sudah tidak bisa protes, apalagi melawan.  Dia tergolek seperti boneka yang ditinggal pemiliknya.  Itulah dia sekarang: boneka cantik yang tak berdaya, mainan laki-laki.  Ditelanjangi, digagahi, dihujani mani. Tidak adakah yang bisa menghentikannya?  Yang bisa menarik mereka keluar dari lingkaran keji itu?

*****
KORIDOR

Di sprinkler pemadam kebakaran, ada sumbat pemicu berupa tabung kaca yang menghalangi bukaan pipa air.  Tabung kaca itu dirancang agar pecah apabila mencapai suhu tertentu—yang menandakan di dekatnya ada api.  Api di ujung korek gas yang disodorkan Bram sudah hampir sepuluh menit membakar tabung kaca di sprinkler depan pintu kamar suite…
PYARR! BYUUUURRR…
Bram nyengir ketika tabung kaca itu pecah dan air keluar memancar membasahi koridor.  Sedetik kemudian terdengar—
KRIIIIIINGGGGGGG…
Seiring tersemburnya air dari pipa pemadam kebakaran, alarm berbunyi dan sprinkler-sprinkler lain di sekitarnya jadi aktif, ikut mengguyur interior hotel dengan air.  Bram turun dari pot tanaman yang dari tadi diinjaknya untuk mencapai sprinkler yang disundut dan bergerak ke arah pintu kamar suite menembus hujan buatan.  Di depan pintu itu dia merapat ke arah sisi berengsel, menunggu reaksi.

*****
KAMAR SUITE LT. 5

Dering alarm kebakaran membahana mengalahkan suara desah nafsu manusia.  Beberapa sprinkler di dalam kamar suite ikut aktif, menyemprotkan air ke seluruh ruangan.  Gaby menjerit ketika air dingin menerpa kulitnya.  Shenny memejamkan mata.  Kumpulan orang jelek kebingungan sejenak, kemudian salah seorang di antara mereka teriak “Kebakaran!?” dan semuanya jadi panik.  Beberapa yang paling panik langsung berlari menuju pintu tanpa peduli keadaan mereka.  Meskipun pintu kamar tak bisa dibuka kecuali dengan kunci kartu dari luar, di sisi dalam pintu bisa langsung dibuka dengan memutar gagang.  Orang yang paling dekat pintu membuka pintu dan langsung keluar. Bram di samping pintu melihat seorang laki-laki jelek basah kuyup dan telanjang muncul dari pintu.  Bram langsung berteriak-teriak “Ada kebakaran! Ayo cepat semuanya keluar!  Ke tangga darurat di ujung sana!”  Sambil berpura-pura menjadi pegawai hotel, Bram menahan pintu tetap terbuka sambil menggerak-gerakkan tangan menunjukkan arah.  Seisi ruangan terburu-buru keluar.  Sebagian masih sempat berpakaian, walaupun kadang mereka asal comot saja sehingga mengambil pakaian orang lain sehingga ada yang keluar dengan memegangi celana yang terlalu besar, ada yang cuma sempat pakai kaos, dan lainnya.  Gaby sempat menyambar kemeja orang dan memakainya, dan dia termasuk yang cepat keluar walaupun sekujur tubuhnya lelah.  Penghuni kamar-kamar lain juga terlihat keluar menyelamatkan diri.  Koridor jadi ramai dengan orang-orang yang panik, semua bergegas menuju pintu tangga darurat di ujung. Semuanya terjadi begitu cepat.  Dalam sekejap kamar suite yang tadinya penuh tubuh-tubuh manusia yang saling belit dalam nafsu itu kosong, penghuninya lari menyelamatkan diri dengan berbagai kadar ketelanjangan.  Tapi dari semua orang yang melewatinya di pintu, Bram tidak melihat Tia maupun Pak Walikota.  Bram melangkah masuk, menembus hujan gerimis sprinkler yang mulai melemah. Di dalam, Bram melihat ruangan besar yang berantakan dan basah kuyup.  Di tengah ruangan itu Bram mendapati seorang perempuan yang tersungkur dan berusaha berdiri; perempuan itu telanjang.  Shenny terlalu lemah untuk bisa buru-buru menyelamatkan diri.  Bram menghampirinya.
“Masih ada orang lain di dalam sini?” tanya Bram.
Shenny tidak menjawab, hanya menunjuk ke arah belakang.  Bram membantunya berdiri, mengambilkan sehelai baju (entah punya siapa karena baju Shenny sendiri sudah robek-robek) lalu menutupi tubuh Shenny dengan baju itu.  Bram lalu memapah Shenny ke pintu.
“Xiexie…” bisik Shenny, mengucap terima kasih dalam bahasa ibunya.
Tapi Bram hanya mengantar sampai ke pintu dan membukakan pintu.  “Tangga darurat di ujung sana.  Saya mau periksa ke dalam, siapa tahu masih ada orang,” pesannya kepada Shenny yang kemudian berjalan tertatih-tatih ke tangga darurat. Di bawah hujan dari pipa-pipa air pemadam kebakaran, air mata Shenny mengalir.

*****
KAMAR LT. 4

Ketika alarm berbunyi, Afri sedang memeluk erat tubuh Citra yang digumulinya. Sprinkler di sana tidak ikut aktif, tapi alarm kebakaran menyala juga di lantai 4.  Karuan, Afri kaget.
“Ada apa ini?” katanya sambil melepas pelukannya dan keluar dari tubuh Citra.
Citra agak dongkol, karena sedikit lagi dia klimaks.  Tapi dia sudah tahu rencana Bram, jadi dia tidak heran.  Tugasnya satu lagi…Afri berpakaian dengan buru-buru.  Citra juga.  Sebisanya Citra tidak mau sampai kalah gesit dari Afri.  Begitu Afri bergegas keluar, Citra tidak ketinggalan.  Di luar, orang-orang yang sedang ada di kamar lain—umumnya para PSK dari lounge bawah dan tamu—berkerumun dan semuanya bergerak menuju tangga darurat.  Dengan sendirinya Afri dan Citra juga terbawa arus manusia.  Afri berbicara dengan beberapa orang dan menyimpulkan bahwa barusan itu alarm kebakaran. Di tangga darurat, Afri menunjukkan gelagat seperti yang Citra sudah duga.  Dia mau melawan arus dan naik ke lantai 5.  Pasti karena dia mau memeriksa keadaan orang yang seharusnya dia kawal, Pak Walikota.  Citra langsung menarik lengannya.
“Mau ke mana, ini orang-orang pada ke bawah?” tanya Citra.
“Aku mesti balik ke, … bosku.  Dia di atas,” kata Afri.  Afri tak mau menyebut “Pak Walikota”.
“Dia pasti udah ke bawah juga, lihat tuh orang-orang dari atas juga pada turun, ayo kita turun dulu aja nanti baru dicari di bawah,” bujuk Citra.  Afri masih mau naik tapi dia terdorong-dorong oleh arus orang-orang yang turun, maka akhirnya dia pun mengikuti kata Citra.

*****
KAMAR SUITE LT. 5

Bram membuka tiap pintu dalam kamar suite itu sambil harap-harap cemas, bersiap menemukan Tia di balik pintu.  Entah dalam keadaan apa.  Orang-orang berbagai bentuk dan ukuran yang tadi melewatinya jelas habis melakukan sesuatu yang membuat mereka telanjang… Bram menebak-nebak apa yang barusan terjadi, dan dia sudah memikirkan kemungkinan-kemungkinan.
“Brak!”
Setiap pintu dibukanya dengan gebrakan, seolah mau mengagetkan siapapun di dalamnya.  Kamar tidur.  Kamar tidur.  Kamar mandi.  Semua kosong dan tak terlihat seperti bekas dipakai orang.  Di satu kamar dia menemukan tas baju dan barang-barang pribadi seseorang.  Pak Walikota.
Dia masih ada di sini.  Tapi di mana?
Dan Tia juga pastinya masih ada di dalam sana. Bram melihat telepon seluler mahal, mungkin milik Pak Walikota, yang kebasahan terguyur air dari sprinkler di kamar itu.  Dia meraba pinggangnya sendiri.  Dompet HP-nya tertutup rapat sehingga biarpun dia sendiri basah kuyup kena semburan sprinkler, ponselnya aman. Tapi dia belum juga menemukan Tia.  Satu pintu lagi. Di balik pintu terakhir yang Bram buka, ada tangga ke atas. Berdebar-debar, Bram menaiki tangga itu.  Di sana tidak ada sprinkler sehingga tangganya kering.  Di ujung tangga ada pintu…Ketika menggenggam gagang pintu di ujung atas tangga, Bram menenangkan diri dulu.  Kalau di semua ruangan di bawah tidak ada Tia, maka Tia ada di sini…Dan waktu Bram merapatkan tubuhnya ke pintu itu, samar-samar dia mendengar…
“…ooh… ahh… aah…”
Tapi Bram tak terburu nafsu.  Dia masih sempat memikirkan sesuatu.  Tangannya kembali bergerak mengambil satu barang bawaannya…

*****
PENTHOUSE

“AAHH!!  AHH!  PAAKK!! TERUS PAK!”
Pak Walikota makin bernafsu melihat Tia yang sampai menjerit-jerit keenakan.  “Pelacur”-nya itu ternyata berisik di ranjang, tepat seperti yang dia sukai.  Dia berposisi tegak berlutut di ranjang sementara Tia rebah telentang.  Kedua kaki Tia memeluk pinggang Pak Walikota, seolah mau mendesakkan kejantanan Pak Walikota makin dalam.  Kedua tangan Tia mencengkeram seprai, tak kuasa menahan derasnya aliran kenikmatan.  Pak Walikota menyukai bagaimana kedua payudara Tia bergoyang-goyang ikut irama gerak tubuhnya, dan ekspresi wajah Tia yang dimabuk birahi.  Mereka berdua tidak tahu apa yang terjadi di lantai-lantai lain hotel, karena—sungguh ini hanya kebetulan—koneksi alarm kebakaran ke penthouse memang sedang rusak, dan dua teknisi yang hari itu memeriksa alarm tidak memeriksa ke sana.  Maka yang mengagetkan mereka bukanlah bunyi.  Melainkan…dua kilatan cahaya mengagetkan Pak Walikota.  Dia langsung menoleh ke arah cahaya itu dan sekali lagi terjadi kilatan cahaya.Di pintu penthouse, Pak Walikota melihat seorang laki-laki muda yang membidikkan ponsel berkamera ke arahnya.  Kilatan-kilatan cahaya tadi berasal dari lampu kilat kamera. Pak Walikota kaget setengah mati.  Lalu dia menyadari apa yang barusan terjadi.

Anak muda itu mengabadikan dirinya dalam posisi memalukan!

Maka reaksi pertamanya adalah murka.
“Apa-apaan ini?  Siapa kamu?  Sini.  Ke sinikan HP-nya!”
Pak Walikota yang kalap langsung mencabut “senjata”-nya dari dalam vagina Tia.  Bram melihat Pak Walikota berjalan dengan marah ke arahnya, tubuh besarnya tegap, telanjang, dan penuh bekas luka.  Dengan nekad Bram sekali lagi memotret, tepat di depan muka Pak Walikota.  Lampu kilat memaksa Pak Walikota memejamkan mata.
“Ah!  Sial!”  Pak Walikota sekejap tak bisa melihat karena pandangannya disergap cahaya terang, dan sejenak matanya berkunang-kunang.  Bram memanfaatkan kesempatan yang cuma sedetik itu untuk menghindar dari depan Pak Walikota dan melesat menuju Tia yang tergeletak di ranjang.  Mengetahui orang yang memotretnya menghindar, Pak Walikota berbalik dan kembali memburu ke arah Bram. Bram sempat menggenggam lengan Tia, tapi tidak sempat berbicara sebelum Pak Walikota menerkamnya.  Pak Walikota memiting leher Bram di ranjang.  Tapi Pak Walikota lupa tubuhnya sangat tak terlindung dan…DUGG! Entah refleks atau sengaja, Bram mengayunkan kakinya dan menendang selangkangan Pak Walikota keras-keras.  Pak Walikota melolong kesakitan dan cengkeramannya terlepas.  Bram langsung mendorong Pak Walikota sampai terjengkang di lantai, lalu menarik lengan Tia.

“Auhh… Bajingan!  Siapa kamu?  Wartawan?  Kamu berani macam-macam…” Pak Walikota mengancam, tapi ancamannya itu terdengar menggelikan karena dikeluarkan dalam posisi bergelung memegangi selangkangan di lantai.
Bram berdiri di depan Pak Walikota yang meringkuk di lantai, tangan kiri membidikkan lensa kamera telepon ke arah Pak Walikota, tangan kanan merangkul Tia.  Tia terlihat kaget sampai tak bisa berkata-kata.
“Saya suaminya, Pak,” kata Bram.  Dia baru menyadari betapa menjijikkan pejabat tinggi di hadapannya.  Bukan karena tubuhnya yang rusak, tapi karena orang ini, entah bagaimana caranya, telah mencabuli istrinya.
“Sini.  Sinikan HP kamu!!” Pak Walikota berusaha bangun sambil menahan nyeri, lengannya terjulur mau merebut telepon Bram.  Tapi Bram mengancam balik.
“Bapak maju lagi, foto-foto ini langsung saya sebar ke internet,” kata Bram.  Bram memencet beberapa tombol lalu membalik handphone sehingga Pak Walikota bisa melihat foto yang tadi Bram ambil, jelas menunjukkan wajahnya ketika sedang menyetubuhi Tia.  Di pojok foto itu terlihat tulisan “Upload?” dan Bram siap menekan tombol di bawahnya.
Baik Pak Walikota maupun Bram sama-sama merasa panas dingin.  Pak Walikota merasa seperti ditodong, aib bagi dirinya akan tersiar dalam beberapa detik kalau sampai foto-foto itu di-upload.  Bram sendiri gemetaran, sebagian karena dingin akibat bajunya basah, tapi lebih banyak karena dia sedang menggertak seorang pejabat dan dia sendiri tidak yakin ancamannya bakal mempan. Tapi Bram merasakan hangat tubuh Tia yang merapat ke tubuhnya dan dia menjadi tambah berani.
“Saya cuma mau jemput istri saya, Pak,” kata Bram tenang.  “Kita anggap saja kejadian ini tidak pernah ada.  Saya tahu Bapak orang terhormat… dan saya sendiri mau Bapak tetap terhormat.  Jadi saya minta Bapak biarkan kami pergi.”
Pak Walikota tak bisa berkata apa-apa.  Dia sendiri masih bingung kenapa Bram bisa masuk ke penthouse.  Dalam keadaan panik akalnya tak jalan.  Dia bukannya orang yang tak bisa mengancam.  Tapi dia tadi kaget ketika Bram tidak gentar dengan ancamannya dan malah balik mengancam.  Dan dalam hati kecilnya dia menyadari sendiri bahwa yang dilakukannya memang tak bisa dipertanggungjawabkan.  Dia akan sukar membela diri kalau sampai tersebar ada fotonya beradegan intim dengan seorang perempuan yang bukan istrinya—istri orang lain, malah.  Tapi dia tak bisa menekan laki-laki itu karena, akibat kemajuan zaman, dalam sekejap seluruh dunia bisa langsung melihat segala yang disembunyikannya. Jadi dia hanya bisa bengong menonton ketika Bram berjalan pelan-pelan membawa Tia menuju pintu. Bram membuka pintu.  Sebelum keluar dari kamar itu membawa Tia, dia melontarkan peringatan sekali lagi.
“Saya nggak akan sebar foto-foto ini selama Bapak tidak ganggu kami… Mohon Bapak ingat hubungan baik Bapak dengan keluarga kami.  Itu buat kebaikan kita semua.”
Bram dan Tia kemudian keluar dari penthouse. Pak Walikota merasakan kepalanya berat.  Dan selangkangannya sakit.  Dia ambruk lagi, meringkuk, seperti tidak ada tenaga untuk bangun.  Dia mulai berteriak-teriak.  “Afri!  Afriii!” Dia memanggil pengawalnya.  Sia-sia, orang yang dipanggil sedang ada di bawah bersama para tamu dan karyawan yang menyelamatkan diri dari “kebakaran”, dan malah mencari-cari Pak Walikota di bawah.

*****

“Mas…” seru Tia lirih kepada Bram ketika mereka berdua kembali di kamar suite lantai 4.
Bram menoleh dan melihat wajah cantik istrinya yang tampak kelelahan.  Dia membuka kamar mandi; di sana tadi dia melihat ada beberapa kimono handuk, jadi diambilnya satu dan dipakaikannya kimono handuk itu kepada Tia.
“Ayo kita pulang, Sayang,” kata Bram lembut.
Semburan air dari sprinkler yang aktif mulai lemah.  Tanpa banyak kata, dengan genggaman tangan amat erat, keduanya melangkah keluar dari kamar suite.  Koridor yang basah.  Tangga darurat, lantai demi lantai.  Pada tiap langkah, Bram tak melepas rangkulannya atas Tia. Sampai di bawah, Bram tak mencari Citra.  Kakaknya bisa mengurus dirinya sendiri.  Suasana ramai oleh orang-orang yang kebingungan mengira ada kebakaran; tanpa menarik perhatian siapapun, Bram langsung menuju mobilnya di tempat parkir.  Ketika dia duduk di belakang kemudi dan Tia duduk di sampingnya, dia merasa sedikit lega.  Secepat mungkin Bram meninggalkan hotel itu, menuju rumah.  Sepanjang perjalanan Bram dan Tia sama-sama membisu. Tak lama kemudian mereka sampai di rumah.  Bram memasukkan mobil ke garasi lalu membantu Tia keluar. Lalu Bram merasakan sesuatu dalam dadanya yang membuat dia tidak ingin membiarkan Tia berjalan sendiri dari mobil ke dalam rumah.  Tiba-tiba digendongnya istrinya itu, seolah mereka pengantin baru, dengan dua tangan di depan tubuh.  Dengan agak repot Bram membuka pintu sambil menggendong Tia, lalu dia langsung memboyong Tia ke kamar tidur mereka.  Di sana dia membaringkan Tia dengan lembut di tempat tidur.
Dilihatnya mata Tia berkaca-kaca.  “Mas… Aku… aku…” Tia tak sempat melanjutkan apapun yang mau dikatakannya, karena Bram keburu memeluk dan menciumnya.
Dalam kepala Bram sendiri terngiang potongan-potongan kata-kata yang didengar dan diucapkannya, sekitar setahun lalu…

“Saya nikahkan ananda… Bramanda Arditya… dengan anak saya yang bernama Setiawati Rasni… “
“Saya terima nikahnya Tia… maaf, Setiawati Rasni…”

Bram masih ingat bagaimana hadirin dan penghulu waktu itu tertawa ketika dia salah menyebut nama panggilan Tia dan bukan nama lengkapnya ketika mengucap ijab kabul.  Suasana bahagia namun tegang jadi cair, tapi janji kesepakatan nikah itu dia ucapkan sungguh-sungguh, dan dia menerima Tia dalam hidupnya dengan segala tanggung jawab yang menyertai. Termasuk, tentunya, menjaga istrinya. Bram sendiri baru menyadari betapa nekad tindakannya tadi.  Mulai dari membuat kehebohan dengan menyabot sistem pemadam kebakaran hotel, sampai berkonfrontasi langsung dengan seorang pejabat tinggi.  Mengancam walikota!  Kalau untuk alasan lain, Bram mungkin akan pikir-pikir melakukan semua itu.  Tapi kalau demi Tia…
“Maafkan aku…” bisik Bram ke telinga Tia.  “Mulai sekarang aku nggak akan lepaskan kamu lagi…”

*****

-

-

-

I just want you close
Where you can stay forever
You can be sure
That it will only get better

Rasanya seolah malam pertama lagi bagi Bram.  Biarpun dia hanya meninggalkan Tia beberapa hari, namun pertemuannya kembali dengan istrinya harus didahului perjuangan.  Namun dia sadar, demi Tia dia mau menahan diri dan menempuh semua bahaya.

You and me together
Through the days and nights
I don't worry 'cause
Everything's going to be alright
People keep talking they can say what they like
But all i know is everything's going to be alright

Setelah tenang, Tia menceritakan segalanya.  Mulai dari keputusannya mengubah penampilan atas saran Citra.  Lalu semua yang dia sadari telah dia alami.  Segala kejadian aneh, segala perbuatan yang seharusnya tak dia lakukan, peristiwa-peristiwa yang Bram belum tahu.  Bram sendiri, berdasarkan cerita Citra, tahu hal-hal lain yang Tia sendiri tak tahu, tapi dia biarkan istrinya menumpahkan semuanya.  Termasuk bagaimana Mang Enjup melibatkannya untuk melobi Pak Walikota, yang menyebabkan dia jadi ada di hotel.

When the rain is pouring down
And my heart is hurting
You will always be around
This I know for certain

Tia menyelesaikan ceritanya dan diam menunggu reaksi Bram.  Marah?  Kecewa?  Tidak, bukan itu.  Bram memeluknya erat, menciumnya, dan malah meminta maaf.  Bram tahu, akar perubahan Tia ada di dirinya sendiri, keinginan dan kesukaannya.  Dia senang dengan perubahan penampilan dan sikap istrinya, tapi dia tak tahu bahwa perubahan itu kebablasan dan telah menjerumuskan Tia.

You and me together
Through the days and nights
I don't worry 'cause
Everything's going to be alright
People keep talking they can say what they like
But all i know is everything's going to be alright

Kata-kata sudah cukup, dan digantikan oleh sentuhan.  Karena mereka sepasang kekasih, dan yang mereka butuhkan bukan kata-kata.  Mereka butuh bersatu kembali, dan itulah persatuan jiwa-raga dua manusia yang sebenarnya…

I know some people search the world
To find something like what we have
I know people will try, try to divide, something so real
So till the end of time I'm telling you there ain't no one

Maka ketika mereka kembali bersatu, satu-tubuh, Bram di dalam Tia, semua terasa lancar dan wajar kembali.  Bram tidak menginginkan apa-apa lagi selain istri yang dicumbunya.  Tia merasa nyaman memasrahkan diri kepada suaminya.  Dan semua rindu, sesal, gairah, serta cinta disempurnakan dengan sampainya mereka berdua bersamaan ke puncak kenikmatan.  Sepenggal surga yang dititipkan di dalam tubuh manusia.

No one, no one
Can get in the way of what I'm feeling
No one, no one, no one
Can get in the way of what I feel for you
--“No One”, Alicia Keys

-

-

-

*****

-

-

-
SATU SETENGAH TAHUN KEMUDIAN

Aku berusaha keras menahan supaya tidak buru-buru mencapai klimaks.  Sedikit lagi, ingin kubiarkan dia mendapat kenikmatan duluan.  Kalau tidak, dia bakal kesal dan merecokiku terus untuk cepat-cepat mampir lagi.
“AHH!!  IYA TERUSS!!  KONTOL KAMU… AHG!  MENTOK!  PANJANG BANGET!  NGHAHH!!  KAMU APAIN AKUUU…”
Kuperhatikan wajah Citra di bawahku yang terguncang-guncang selagi kugenjot dia kencang-kencang.  Lipstik merah menornya sudah terhapus ciuman demi ciuman kami, lapisan bedak tebal di mukanya pudar kena keringat.  Namun rias matanya masih utuh dan seksi.  Dia berteriak-teriak keras sekali sehingga aku yakin siapapun yang ada di bangunan ini bisa mendengarnya.  Kata-katanya, aku tak percaya sepenuhnya, karena aku tahu dia perempuan penggoda berpengalaman yang pasti lihai memikat dengan ucapan.
“HNNNGGGGHHH!!!!” Tiba-tiba Citra mengejang, memelukku erat dan mencium bibirku, saking kerasnya sampai kukira dia bukan mencium tapi menggigit.  Selangkanganku terasa basah.  Ah, dia sudah keluar…
Sesudah puas, Citra melepasku, wajahnya ambruk kembali ke bantal.  Kucium keningnya yang basah oleh keringat, tepat di antara kedua alisnya yang dilukis.
“Ahh… Sayang… maaf aku keluar duluan… Sekarang giliran kamu ya?” Seperti biasa, dia selalu minta maaf kalau dia dapat orgasme duluan.  Tapi kami sama-sama lebih suka seperti itu, karena kalau aku yang duluan, malah repot membuat dia ikut klimaks.  Dia langsung menjalankan prosedur standarnya.  Dia mulai mendesah-desah lagi, berlebihan, sambil membisikkan kata-kata kotor sementara liangnya yang becek kusumbat dengan batangku…
“Ah… oh… fuck me baby… Entot aku… Entot Citra… Aku pengen peju kamu… Semburin peju kamu di dalam memek aku… Ahhn…”
Dan biasanya kalau dia sudah keluar, kulepas juga kontrol atas kontolku, kubiarkan orgasme yang kutahan berjalan dengan sendirinya.
“Ahh… ah Cit… aku… NGHH!!”
Kurasakan kemaluanku menegang dan meledak di hangat jepitan vagina Citra, entah kenapa terasa lebih hangat, dan kutembakkan benihku di dalam sana sambil kepalaku menyuruk ke dada Citra.

“Ah… terus Sayang… aku suka banget kalo kamu keluarin di dalam…” Citra menyemangatiku sambil satu tangan memeluk kepalaku dan mengelus-elus rambutku, tangan lain mengitik-ngitik lubang anusku, dan pinggulnya digoyang perlahan memeras penisku.
Penisku berkedut-kedut di dalam vaginanya, melontarkan seluruh isinya.  Ketika semuanya sudah keluar tubuhku ambruk menimpa tubuh Citra.
“Unghhh…” keluhku, keenakan sekaligus kelelahan.  Citra tersenyum lalu mendorong tubuhku.  Ketika kucabut senjataku yang masih tersisa ketegangannya…
“Lho, kok copot?” gumamku melihat kondom yang tadi kupasang sudah tidak ada.
“Eish… nyangkut di dalam.  Pantesan tadi enak banget…” kata Citra yang kemudian menuju kamar mandi untuk segera cuci-cuci.
Aku ambruk lagi, telungkup, sambil nyengir dan berharap kalau Citra langsung membasuh kewanitaannya, kecelakaan crot di dalam itu tidak bikin aku jadi harus bertanggung jawab…Setelah berbaring beberapa lama, aku bangun dan membersihkan diri juga.  Citra sudah selesai.  Ketika aku keluar dari kamar mandi mengenakan handuk, kulihat Citra sudah kembali mengenakan pakaian, kaos ketat dan rok mini.  Selesai berpakaian, Citra mengajakku keluar dari kamar itu.
“Ayo, kita ngobrolnya di depan aja,” ajak Citra.  Kami pun keluar dari kamar itu menuju bagian depan.  Tempat itu adalah salon Citra.
Di depan, dua perempuan sedang duduk-duduk.  Yang satu bertubuh pendek montok dengan payudara besar dan rambut diwarnai pirang.  Satunya lagi bertubuh langsing.  Mereka adalah Widy, anak buah Citra yang sudah lama ikut dengan Citra, dan Haula, mantan SPG kosmetik yang baru diajak kerja Citra di tempatnya.
Widy nyeletuk, “Udah lega, Mbak Citra?  Kan Masnya udah dateng nengokin.  Pasti kepalanya udah nggak pusing lagi ni~”
“Hus, jangan sembarangan,” seru Citra.  Aku dan Citra lalu duduk agak jauh dari Widy dan Haula.

“Lanjutin ceritanya,” kumulai lagi pembicaraan.  “Tadi kepotong di bagian adik kamu bawa pulang istrinya.”
“Kamu kenapa sih penasaran banget ama mereka?” tanya Citra sambil mengerling genit.  “Kok bukannya penasaran sama akuu?”
Aku senyum saja.  Tapi, sejak aku mulai dengar kisah Bram dan Tia dari Citra, aku memang tertarik.
Citra mesem-mesem, lalu kembali bercerita.
“Beberapa hari sesudah itu, Bram ketemu sama orangtua kami.  Dia ngasih tahu tentang pembukaan cabang baru perusahaan di kota-nya Enrico.  Lalu dia minta untuk diserahi tanggung jawab pegang cabang itu.  Orangtua kami setuju.  Jadi Bram langsung boyong Tia, pindah ke sana.”
“Bram juga mau jauhin Tia dari Mang Enjup dan Pak Walikota ya,” kutimpali.
“Iya, emang itu niat adikku.  Sesudahnya ya … mereka berdua di sana,” Citra menyudahi ceritanya.  Aku mengangguk-angguk.
“Tapi mereka masih sering pulang nengok rumah.  Rumah sebelah, rumah mereka.  Aku yang diminta jagain, tapi aku lebih suka di sini.  Dan mereka kemarin bilang mau datang hari ini,” kata Citra.

Beberapa lama kemudian, kudengar suara mobil berhenti tak jauh dari salo.  Citra keluar.  Aku mengikuti.  Kulihat mobil terparkir di depan rumah sebelah.  Dari dalamnya keluar beberapa orang.  Pertama, dari balik pintu pengemudi, muncul seorang laki-laki muda.  Citra mendekati dan merangkulnya.  Laki-laki muda itu pasti Bram.  Kuperkirakan dia seumuran denganku. Lalu dari pintu penumpang, muncullah seorang perempuan cantik.  Rambutnya yang lurus sebahu digerai, tubuhnya yang aduhai terbungkus pakaian yang anggun namun aku bisa melihat lengkung pinggulnya yang cantik membentuk di balik rok.  Wajahnya dirias dengan apik.

Inikah Tia?

Aku sudah mendengar ceritanya dari Citra.  Semua yang mereka alami.  Dan rasanya cocok kalau perempuan muda ini jadi tokoh utamanya.  Meski pakaiannya tergolong sopan dan dandanannya tak semeriah Citra, Tia memancarkan aura keseksian yang sangat kuat, dari penampilan maupun pembawaan.  Perubahannya tidak hilang.  Tapi aku yakin sekarang dia hanya menyajikan dirinya seperti itu bagi suaminya. Yang belum Citra ceritakan adalah yang sedang digendong Tia.  Seorang bayi yang lucu, berumur kira-kira tiga atau empat bulan… Kucoba melihat wajah bayi itu dengan lebih jelas, dan ketika kulihat kemiripan anak itu dengan Bram, entah kenapa hatiku terasa lega. Dari jauh kuperhatikan keluarga muda itu; Bram, Tia, dan buah hati mereka.  Kelihatannya mereka bahagia.  Namun di balik itu ada kisah yang seru.  Tentang sepasang kekasih yang saling berjuang demi pasangannya.  Rasanya sayang kalau berlalu begitu saja.

Maka itu, kutuliskan kisah mereka.

SLUTTY WIFE TIA – TAMAT

0 comments:

Post a Comment