Sudah dua hari ini aku berada di kampung halaman suamiku. Aku dan suami terpakasa harus pulang karena ayah mertuaku mendadak sakit. Sebenarnnya suamiku menyuruhku tinggal di rumah saja. Tetapi, aku memaksa ikut karena juga ikut khawatir dengan keadaan ayah mertuaku. Lagipula di rumah aku takut jika harus berdua dengan anakku yang masih berumur 5 tahun.
Semenjak kedatanganku ke sini, ayah mertuaku belum menunjukkan kemajuan soal kesehatannya. Sudah berulangkali suamiku memanggil dokter untuk datang ke rumah. Tetapi, tetap saja kesehatan ayah belum juga membaik. Akhirnya, suamiku dan saudara-saudaranya memutuskan untuk membawa ke rumah sakit di kota.
“Aku harus mengantar bapak dulu ke kota,” kata suamiku, “kamu di sini saja. Ada Ibu dan Mbak Ana di sini.”
Aku mengiyakan perintahnya. Mbak Ana adalah istri dari saudara suamiku. Jadi, yang ikut ke kota hanyalah Ma Eko, suamiku, dan Mas Baim dan satu lagi, Mila, adik bungsu suamiku yang masih belum berkeluarga.
Di rumah aku banyak menemani Kayla, anakku, bermain. Sebab untuk urusan rumah tangga sudah ada ART yang mengerjakan. Jadi, aku tak punya banyak kegiatan di sini. Ibu mertuaku biasanya juga melarangku untuk mengerjakan urusan rumah tangga. Aku benar-benar bisa dibilang santai jika pulang ke kampung suamiku ini.
“Ajak Kayla main ke muara, Yu,” kata ibu, “di sana banyak perahu yang menambat. Biasanya anak-anak senang kalau melihat perahu.”
Maka kuajak Kayla ke muara seperti yang dianjurkan ibu. Jadi, kampung halaman suamiku ini bisa dibilang agak di pesisir. Banyak warga di sekitar rumah yang menjadi nelayan, tentunya. Ayah mertuaku sendiri adalah salah satu juragan yang punya kapal penangkap ikan dan punya banyak anak buah.
Di sekitar muara memang sering kali banyak perahu yang berlabuh saat sore hari. Biasanya banyak para nelayan yang sibuk menyiapkan perahunya untuk digunakan melaut di malam hari. Kayla tampak senang saat sampai di muara. Ia bisa melihat banyak perahu-perahu. Wajahnya tampak antusias sekali. Bahkan ia mengajakku berlari-lari melihat perahu satu per satu.
Saat Kayla mengajakku berlarian, tanpa sengaja aku melihat pemandangan yang tidak seharusnya aku lihat. Di salah satu perahu yang letaknya agak tersembunyi, ada salah satu nelayan yang terlihat hanya mengenakan celana dalam saja. Ia tengah sibuk membuang air yang masuk ke dalam perahunya. Meski tidak begitu jelas karena jarak yang cukup jauh, tapi aku bisa memastikan kalau nelayan itu masih tampak muda. Mungkin tidak jauh beda dengan suamiku.
Aku tidak tahu seolah-olah mataku tertarik untuk terus menerus memandangnya. Jika situasinya mendukung, barangkali aku sudah menikmatinya sampai puas. Apa karena sosok tubuh nelayan itu yang tampak gagah? Terlihat dari otot-otot paha dan lengannya. Mungkin kejamnya lautan membuat tubunya terbentuk sedemikian rupa. Atau juga karena tonjolan di CD abu-abunya yang besar? Ah, entahlah. Seharunsya aku tak membayangkan hal itu.
Beruntung, Kayla membuyarkan lamunanku, “Mama, ayo pulang. Siapa tau papa sudah pulang.”
Tentu saja suamiku belum pulang. Menurut kabar, ayah mertua harus mendapatkan perawatan yang intensif. Alhasil, suamiku tidak bisa meninggalkannya. Apalagi jarak ke kota dari kampung lumayan jauh. Aku hanya bisa berkomunikasi dengannya lewat telpon dan chat.
Saat menemani Kayla tidur, tiba-tiba pintu depan ada yang mengetuk. Aku bangkit dari tempat tidur. Kulihat ibu sudah tidak ada di depan tv (biasanya ibu tertidur di depan tv). Ketika kubuka pintu depan, kulihat seorang lelaki berdiri di sana.
“Siapa ya?” tanyaku.
“Saya Ahmad, anak buah Pak Bagus,” jawabnyak. Pak Bagus adalah ayah mertuaku. “Apa bapak sudah pulang?”
“Oh. Belum. Bapak masih di rumah sakit,”
“Wah, baiklah kalau begitu. Saya balik dulu, mbak.”
“Iya,”
Tunggu. Sepertinya aku pernah melihat laki-laki itu. Bukankah dia laki-laki yang di kapal itu? Laki-laki yang hanya memakai CD saja? Laki-laki yang menarik perhatianku saat di muara tadi? Ya, aku bisa pastikan kalau dia adalah laki-laki di kapal tadi. Jadi, dia adalah anak buah ayah mertuaku?!
“Ahmad,” aku memanggilnya. Aku juga tidak tau kenapa aku melakukan hal ini. Seolah ini adalah panggilan dari batinku. Ahmad, yang belum jauh berjalan, berbalik menujuku. Aku menghampirinya.
“Ayah masih belum bisa pulang. Beliau harus dirawat secara intensif. Jadi, mungkin agak lama di sana. Tapi doakan semoga cepat membaik. Apa kamu ada sesuatu yang mau disampaikan?”
“Hmmm. Sebenarnya saya mau bertemu Mas Baim (kakak suamiku). Ada masalah pekerjaan yang harus saya laporkan. Tapi, sepertinya beliau masih di rumah sakit, jadi saya batalkan saja.”
“Apa itu penting? Kalau iya, lebih baik kamu sampaikan segera saja.”
“Baik, mbak. Biar nanti saya telpon saja.”
Ahmad pun ijin balik. Aku pun kembali ke dalam rumah dan segera masuk kamar. Di dalam kamar, aku masih terbayang pemandangan di kapal tadi. Aku terbayang tubuh kekar Ahmad dan tonjolan di CD-nya. Jujur birahiku naik saat membayangkan hal itu. Ah, apa-apaan aku ini! Dan setelah kulihat secara deket, memang benar-benar gagah. Wajahnya juga lumayan tampan. Meskipun kulitnya agak gelap.
Pagi hari suamiku menelpon memintaku mengantar baju ke rumah sakit. Saat kutanya bersama siapa aku harus ke sana, suamiku bilang bahwa ada anak buah ayah yang juga akan pergi ke kota. Kujawab saja kenapa tidak dititipkan pada anak buah ayah saja bajunya. Tetapi, suamiku menjawab, “Aku kangen, yang. Hehehe.”
Anak buah ayah yang dimaksud adalah Ahmad. Ahmad ditugaskan ke kota untuk membeli beberapa perlengkapan kapal oleh Mas Iwan. Aku tidak menyangka bahwa anak buah yang dimaksud adalah dia. Aku tak bisa menutup kebahagiaanku. Walaupun hanya berduaan dalam perjalanan, setidaknya aku bisa mengobrol berdua saja dengannya. Aku akan berdua dalam mobil bersamanya.
Ternyata yang dimaksud ‘kangen’ oleh suamiku adalah kangen yang lain. Rupanya dia tidak tahan berlama-lama tidak berhubungan intim. Alhasil, karena tidak ada tempat yang memungkinkan lagi, kami melakukannya di kamar mandi. Mas Baim dan adik bungsu suamiku, Mila, sepertinya paham dengan situasi. Mereka begitu saja keluar dengan alasan akan membeli sesuatu. Mereka kembali tak lama setelah kami selesai.
Ahmad kembali menjemputku pukul setegah 4 sore. Aku pamit pada suamiku dan yang lainnya untuk pulang. Ahmad lebih banyak diam daripada saat di perjalanan sebelumnya.
“Tadi beli apa, Mad?” tanyaku.
“Eh, beli alat untuk mesin kapal.”
“Oh,” jawabku. “Omong-omong, kamu sudah lama ya kerja sama bapak?”
“Belum lama. Mungkin satu tahunan.”
“Pantesan saya gak pernah lihat kamu,” jawabku. “Tapi hebat baru sebentar kerja, udah dipercaya bawa mobil.”
“Hehehe. Iya, mbak. Dipercaya juga bawa istrinya Mas Eko.”
“Iya. Makanya dijaga baik-baik.” godaku. “Pastikan selamat sampai tujuan. Jangan dibawa kabur. Hehehe.”
Ahmad hanya tertawa mendengar jawabanku.
“Mad, kamu belum punya istri?”
“Sudah, mbak. Tapi cerai.”
“Gak cari istri lagi?”
“Belum dapet, mbak.”
“Kesepian dong. Hehehe.”
“Yah, kalau kesepian dibawa melaut aja, mbak.”
“Kalau kepengin?” Aku mulai memancingnya.
“Hahaha. Ya, dibiarin keluar sendiri aja.”
“Emang bisa ya?”
“Bisa dong, mbak. Mau lihat?”
“Ih, apaan sih?” jawabaku sambil tersenyum.
“Kalau mbak lagi pengin enak ya tinggal minta. Hehehe.”
“Iyalah. Kan ada suami.”
“Hmm. Kayanya Mas Eko pinter muasin istri deh.”
“Ah, biasa aja.”
“Pasti punya Mas Eko besar ya, mbak?” tanya Ahmad sembari tersenyum.
“Ah, omonganmu kok makin nakal sih.” Jawabku. Tapi tidak marah pada Ahmad.
“Buktinya selalu bisa muasin istrinya. Hehehe.”
“Tidak besar. Tapi tidak kecil juga. Standar lah.”
Dalam hati aku sebenarnya berkata, “Jelas lebih besar punyamu.” Memang aku tak melihatnya langsung. Tapi setidaknya itu yang bisa aku tebak dari balik CD-nya waktu itu.
“Segini, mbak?” Tiba-tiba saja tangan Ahmad menarik tanganku dan membawanya ke selangkangannya. Aku terkejut karena kurasakan ada benda panjang dan keras. Kurasakan penis Ahmad sudah menegang.
Aku melihat ke wajah Ahmad. Seolah menanyakan apa maksud dari semua ini. Tapi Ahmad tidak menjawab. Dia memberi perintah padaku untuk meremasnya lewat tangannya. Aku pun seolah menurut saja dengan mulai melakukan gerakan meremas pada penis Ahmad. Ahmad tampak tersenyum padaku.
Semakin lama kurasakan penisnya makin menegang. Ahmad juga mulai tampak mendesah. Kuperintahkan dia juga fokus menyetir agar tidak terjadi kecelakaan. Perjalanan masih cukup jauh. Di tengah perjalanan Ahmad menghentikan kendaraan.
“Mau apa?” kutanya.
“Pipis.”
Ahmad turun dari mobil sementara aku masih di dalam. Ahmad berjalan menuju pinggir jalan dan dalam kegelapan kulihat dia mulai membuka celananya. Ah, andaikan aku bisa melihatnya, pikirku. Tak lama kemudia dia kembali. Tanpa kuduga dia membuka celana pendeknya begitu juga dengan CD-nya. Aku terkejut. Dalam remang-remang cahaya lampu di dalam mobil, aku bisa melihat penis Ahmad. Benar dugaanku kalau ternyata miliknya jauh lebih besar dari suamiku. Penisnya agak tidur semenjak mengeluarkan air kecingnya. Tapi tetap tampak perkasa di depanku. Bulu-bulu di pangkalnya tampak lebat. Aku ingin sekali menyentuhnya dan merabanya sampai dadanya yang bidang. Astaga. Kurasakan vaginaku mulai gatal.
“Kok diliatin, mbak?” kata Ahmad. “Pegang aja.”
Kembali tangannya menuntunku menuju ke selangkangannya. Sekarang gerakanku tidak meremas lagi melainkan mulai mengocok. Dan itu tanpa diperintah Ahmad.
“Kamu kenapa buka celana?”
“Ngasih hadian buat, mbak. Hehehe.”
“Hadiah? Hadiah buat apa?”
“Ya hadiah. Lagian mbak kan gak pernah pegang kontol yang gede? Katanya punya Mas Eko standar? Hehehe.”
Aku tak menjawab. Harusnya aku membela begitu mendengar ucapannya tentang Mas Eko, suamiku. Tapi aku tetap melakukan gerakan mengocok di penis Ahmad.
“Pasti belum pernah ngerasain kontol gede juga ya, mbak?” tanyanya sambil tertawa.
“Ih, sok tau.”
“Lha, sama siapa?”
“Ada deh.”
Sebelum dengan suamiku, aku sudah pernah melakukan hubungan suami istri saat masih kuliah. Aku melakukannya dengan mantan pacarku saat kuliah dulu. Penisnya hampir tak jauh berbeda dengan milik Ahmad. Sama-sama besarnya. Suamiku sudah tau soal ini. Dia menerima semuanya.
“Mad, udah mau sampe nih. Buruan pake celanamu.”
“Tenang, mbak. Ini udah malem. Udah pada tidur.”
Sampai masuk kampung dan bahkan sampai masuk ke halaman rumah, Ahmad belum juga memakai celananya. Gila bener orang ini, pikirku. Mesin pun mati dan kami belum ada yang turun.
“Mbak, kocokin lagi dong sampe keluar.”
“Nggak, ah. Nanti ada yang lihat.”
“Gak ada, mbak. Udah pada tidur.”
Seolah termakan dengan rayuannya, tanganku bergerak ke arah selangkangannya. Sambil memerhatikan keadaan sekitar, aku mulai melakukan gerakan mengocok. Penis Ahmad perlahan mulai mengeras. Gerakan tanganku semakin kupercepat. Tangan Ahmad juga tak mau tinggal diam. Dia bergerak ke balik bajuku dan meraih payudara dan segera meremasnya.
Kudengar nafas Ahmad mulai memburu. Tangannya semakin nakal mempermainkan payudara dan putingku. Aku mendesah begitu puting susuku dimainkan oleh jari-jarinya. Seiring dengan desahanku, gerakan tanganku semakin cepat dan kurasakan penis Ahmad benar-benar tegang. Sampai akhirnya, penis Ahmad berkedut-kedut dan kulihat cairan putih menyembur ke mana-mana. Ahmad menegang menikmati pucak birahinya itu.
“Ah...ah...ah...”
Spermanya berhamburan ke mana-mana. Segera ia meraih celananya dan membersihkan tanganku yang terkena semprotan pejuhnya. Selanjutnya ia membersihkan tempat-tempat lainnya.
“Sudah. Cepet pakai.” Pintaku pada Ahmad. Ahmad pun menuruti.
Sebelum turun, aku menggodanya, “Badan dan kontol aja yang kekar. Tapi gak tahan lama.”
“Wah, nanti kutunjukkan kemampuanku yang sebenarnya sama mbak.”
Oh ya, aku sendiri belum mengenalkan namaku. Namaku Rina. Aku sendiri hanya bekerja mengurus suami dan anakku. Walaupun sebetulnya aku adalah seorang Sarjana Pertanian. Aku bisa menggunakan gelar tersebut untuk mendapatkan kerja. Akan tetapi, suamiku menginginkan aku tinggal di rumah saja. Katanya, dia yang akan berusaha mencukupi semua kebutuhanku dan anakku. Dan, itu semua mampu diwujudkannya. Itu yang membuat aku sangat mencintai Mas Iwan, suamiku.
Selain itu, Mas Iwan juga bisa menerimaku apa adanya. Bagaimana tidak, saat menikah dengannya aku sudah tidak perawan lagi. Kehormatanku telah direnggut oleh mantan pacar saat kuliah dulu.
Memang, Mas Iwan baru mengetahuinya saat kami sudah menikah. Barangkali jika Mas Iwan tahu saat pernikahan belum berlangsung, dia kemungkinan akan meninggalkanku. Tapi, yang terpenting bagiku, Mas Iwan langsung mengatakannya sendiri padaku bahwa ia menerimaku apa adanya. Bahkan Mas Iwan pernah memintaku menceritakan semuanya. Awalnya aku menolak, tapi Mas Iwan tetap memaksa dan aku pun menurutinya.
“Sayang, kamu berapa kali pacaran dulu?” tanya Mas Iwan.
“Berapa ya? Lupa, Mas.”
“Masa lupa?”
“Tiga mungkin.”
“Hmmm. Selama pacaran, ngapain aja?”
“Ngapain ya? Ya samalah kaya orang-orang yang juga pacaran.”
“Belum tentu dong.” Jawab suamiku.
“Yah...pegangan tangan, ciuman.”
“Terus?”
“Ya itu-itu aja, Mas.”
“Hmm. Padahal ngakunya pernah ML.”
“Iya iya, Mas.”
“Siapa pacar pertama?” tanya suamiku.
“Temen SMA.”
“Ngapain aja selama pacaran sama dia?”
“Ciuman aja, Mas. Kan dulu masih SMA.”
“Yakin cuma ciuman? Ciumannya di mana? Di sini?” kata Mas Iwan sambil menyentuh bibirku.
Aku mengangguk.
“Sering?”
“Nggak, Mas.”
“Kalo ciuman di mana biasanya?”
“Di belakang sekolah, Mas. Pernah juga di rumahnya, pas lagi gak ada orang.”
“Pacar yang kedua siapa?”
“Temen KKN.”
“Ngapain aja sama dia? Pasti lebih dari yang sebelumnya. Apalagi pas KKN.”
“Ciuman juga, mas.”
“Hmmm. Bohong.”
“Eh...sama pegang-pegang juga sih, Mas.”
“Pegang apa? Ceritain dong.” Kata Mas Iwan sambil memiringkan badannya dan memelukku. Tangannya juga langsung menyelusup ke dalam bajuku dan meraih puting susuku. Kebetulan, kami saat itu memang akan tidur. Dan aku terbiasa tidak memakai BH.
“Ih, gak usah lah, Mas. Udah masa lalu itu. Gak mau inget-inget lagi.”
“Mas kan pengin tahu. Ayolah.”
“Nanti mas marah lagi.”
“Nggak kok.”
“Janji ya.”
Mas Iwan mengangguk.
“Jadi, aku dulu sempet pacaran sama temen KKN, mas. Kami pacaran setelah dekat selama 2 minggu KKN. Kami, satu kelompok KKN, mengontrak salah satu rumah penduduk. Kami, cowok dan cewek, tinggal dalam satu rumah itu. Oh ya, nama pacarku itu Denis, Mas. Awal-awal pacaran kami hanya sebatas berciuman saja. Tentu kami melakukannya saat tidak ada teman yang lain.
Tapi, setelah satu Minggu pacaran, Denis mulai berani melangkah lebih jauh. Saat itu malam hari. Biasanya tempat tidur cewek dan cowok berpisah. Tapi entah kenapa, malam itu, teman-teman cowok yang lain memilih tidur di luar. Lalu, Denis mengajakku tidur bersama. Aku menolaknya. Tapi, Denis tetap memaksaku dan aku pun tak bisa menolak lagi. Denis memelukku, mula-mula. Lama kelamaan tangannya makin naik ke arah dadaku. Aku menghentikannya. Tapi, kekuatan Denis lebih besar. Akhinya aku kalah dan Denis pun menyentuh payudaraku.”
“Dari dalam apa dari luar?” tanya Mas Iwan.
“Pertama, dia meremas-remas dari luar, Mas. Tapi lama-lama tangannya masuk ke dalam dan menyentuh payudaraku. Aku menolak lagi, tapi gagal.”
“Sudah?”
“Nggak, mas. Selain meremas dia juga memainkan puting susuku. Bahkan dia sempat berbisik katanya ingin 'nyusu'.”
“Kamu kasih?”
“Nggaklah, Mas. Mana berani. Gimana kalo ketahuan yang lain?”
“Terus?”
“Cuma sampe remas-remas susu aja sih, Mas. Sebenernya dia juga meraba selangkanganku dan memaksa masuk. Tapi, saat itu aku berhasil menolak. Dia juga membawa tanganku ke selangkangannya.”
“Kamu remas?”
“Iya, Mas. Penisnya udah tegang banget.”
“Besar ya punya dia?”
“Gak tahu, Mas. Aku cuma pegang dari luar celana.”
“Cuma sekali itu?”
“Ngga, Mas. Sering. Bahkan tiga hari sebelum pulang, aku berturut-turut tidur berdua dengan Denis.”
“Sama? Ciuman sama pegang2 juga?”
“Iya, Mas.”
“Temen-temenmu gimana?”
“Entahlah, Mas. Mereka seolah biasa-biasa saja.”
“Lalu, kenapa putus?”
“Ternyata dia sudah punya pacar sebelumnya.”
“Terus kalo pacar yang ketiga? Ini yang memerawani kamu?”
Aku mengangguk. “Namanya Yogi, Mas. Satu fakultas denganku. Kami juga berada dalam satu UKM. Karena itulah kami saling dekat dan akhirnya menjalin hubungan.”
“Bagaimana sampe bisa ML?”
“Mas yakin mau denger?”
Suamiku mengangguk.
“Awalnya Yogi mengajakku menginap di kost-nya, Mas. Tapi aku menolak. Aku bilang aku takut ketahuan ibu kost-nya. Ternyata kost-nya tidak dijaga oleh si pemilik. Tapi aku tetap menolak. Yogi terus merayuku dan pada akhirnya aku luluh. Aku pun dijemput dan dibawa ke kost-nya. Saat itu kira-kira pukul sembilan.
Maaf ya, Mas. Dulu aku sangat mencintai Yogi. Dia baik, perhatian, atlet voli, dan ya intinya idamanku banget, Mas. Orangnya sih tidak ganteng-ganteng banget. Tapi, entahlah. Aku sangat mencintai dia, Mas.”
“Terus?”
“Saat tiba di sana. Yogi mempersilakanku duduk di kasurnya. Kasurnya berada di lantai. Yogi sendiri langsung mengganti celananya. Yogi mengganti celananya langsung di hadapanku. 'Ih, Yogi. Malu ah,’ Kataku. Tapi Yogi cuek-cuek aja. Malah setelah mengganti celana pendek dia langsung memelukku dan menidurkanku sambil mulutnya menyerang bibirku.
Kami mulai berciuman. Yogi menciumiku dengan ganas. Aku sampai kesulitan untuk bernafas. Tangan Yogi juga mulai bergerilya di dadaku. Lama-lama aku juga mulai bernafsu.”
Mas Iwan semakin asyik memainkan puting susuku. Kuraih juga penisnya, sudah tegang. Rupanya dia terangsang oleh ceritaku.
“Lanjutkan, sayang.” Kata suamiku.
“Sambil berciuman, Yogi mengangakat ujung bawah kaosku ke atas. Aku mencegahnya. Tapi Yogi malah menghentikan ciumannya dan mulai beralih untuk membuka kaosku. Aku terus menolak, tapi Yogi meyakinkanku bahwa semuanya akan baik-baik saja. Aku percaya, Mas. Aku membiarkan Yogi membuka kaos yang kukenakan. Tampaklah payudaraku di hadapan Yogi, Mas.”
“Terus apa yang Yogi lakukan?”
“Dia langsung membuka BH-ku, Mas. Setelah terbuka, dia langsung meremas kemudian melahapnya. Itu pertama kalinya aku menampakkan bagian tubuh atasku pada orang lain. Bahkan sampai menciuminya juga, Mas.”
“Kamu gak protes?”
“Awalnya aku agak risih, Mas. Tapi setelah Yogi memainkan lidahnya di putingku, gairahku kian naik, Mas. Rasanya enak. Kadang Yogi juga menggigit kecil puting susuku dan membuatku kesakitan. Kulihat juga dia melakukan cupang di pinggiran susuku, Mas.”
“Yogi gak merabah selangkanganmu?”
“Nggak, Mas.”
“Gak mungkin. Pasti meraba-raba.”
“Iya, Mas,” jawabku malu. “Sambil mencium susuku, tangannya turun ke selangkangan. Dia juga mencoba untuk menyelinap ke dalam celana.”
“Kamu cegah?”
“Iya, Mas. Kali ini aku memohon-mohon dan Yogi pun mau. Tapi...”
“Kenapa?”
“Eh...Yogi minta diganti yang lain.”
“Apa?”
“Aku harus mengocok penisnya, Mas.”
“Oh ya?”
Aku mengangguk.
“Kamu mau?”
“Gak ada cara lain, Mas. Daripada dia menyentuh punyaku.”
“Terus?”
“Yogi ya langsung berdiri dari posisinya yang menindihku. Dia langsung membuka celana pendeknya, berikut juga CD-nya. Aku bisa melihat langsung penis Yogi, Mas. Itu juga pertama kalinya aku melihat barang laki-laki secara langsung.”
“Langsung kamu pegang?”
“Iya, Mas. Yogi langsung menuntunku. Penisnya sudah sangat keras.”
“Besar ya penisnya Yogi?”
“Gak tahu, Mas.”
“Mana besar dengan punya mas?” tanya Mas Iwan.
“Eh...sama mungkin, Mas. Entahlah. Aku sudah lupa.”
“Ah, masa udah lupa. Itu kan perdana kamu pegang penis?”
“Eh, lebih besar punya Yogi sepertinya, Mas.”
“Sama mantanmu yang KKN?”
“Aku gak pernah pegang langsung, Mas. Tapi sepertinya sama.”
Mas Iwan langsung mengarahkan tanganku ke penisnya yang sudah berada di luar. Dia memintaku mengocoknya.
“Langsung kamu kocok?”
“Iya, Mas. Langsung aku kocok. Saat itu tidak sampai 5 menit, Yogi sudah muncrat, Mas. Spermanya banyak sampai terkena ke badanku.”
“Cuma sampai ngocok?”
“Iya, Mas. Kalo yang ML, itu saat aku ketiga kalinya main ke tempat kost-nya.”
“Apa saat itu cuma sekali ngocok?”
“Nggak, Mas. Setelah Yogi keluar, kami berdua tidur. Pagi harinya kami mengulang kejadian semalam. Tapi kali ini Yogi keluar agak lama.”
“Terus yang kedua kalinya?”
“Yang kedua kalinya juga di kost-nya, Mas. Kali ini aku langsung mau begitu diajaknya. Yogi tak perlu memaksaku lagi. Begitu sampai di kamar, aku merasa tidak canggung lagi. Aku langsung menerima ciuman dari Yogi. Kami langsung berciuman dengan penuh nafsu.
Ketika membuka bajuku, aku juga tidak menolak lagi. Yogi pun langsung dengan mudah meraih susuku. Dia langsung menyedot dengan mulutnya. Kanan dan kiri secara bergantian.”
Kurasakan tangan Mas Iwan meraih vaginaku. Tangannya mulai menari-nari di sana. Perlahan aku mulai naik birahi.
“Teruskan, sayang.”
“Yogi kemudian membuka semua pakaiannya sampai telanjang. Maaf, Mas. Ah... aku benar-benar jatuh cinta melihat badan Yogi yang sangat atletis. Ditambah... ahhh.... pemandangan di selangkangannya yang menghitam karena jembutnya. Lalu dia menyuruhku kembali mengocok. Sambil dia berdiri, aku mengocok penisnya.
Untuk yang kali ini, Mas..... ohh... Yogi benar-benar tahan lama. Tanganku sampai capek gara-gara mengocok penisnya. Justru karena tak kunjung keluar, Yogi memintaku untuk oral, Mas.”
“Oh ya?”
“Ahh...iya, Mas...” desahku merasakan nikmat di vaginaku. “Mas, jangan dimainin... ah... gitu... gak konsen ceritanya.”
Suamiku menuruti permintaanku. “Kamu mau?” tanyanya.
Dengan malu-malu aku menjawab, “Iya, Mas.”
“Yogi mendudukkanku di depan selangkangannya. Penisnya berada tepat di depan wajahku. Awalnya aku pegang-pegang dulu, kemudian perlahan aku masukkan ke dalam mulutku, Mas. Aku mulai mengulumnya. Aku dengar Yogi mendesah menikmati kulumanku. Aku hisap penis Yogi, Mas. Kujilati seluruh batangnya. Entah kenapa aku jadi makin bernafsu, Mas. Yogi memajumundurkan kepalaku. Jadilah penisnya keluar masuk di mulutku. Itu aku lakukan kira-kira 15 menit, Mas.
Kemudian, Yogi menarik penisnya dan.... muncratlah spermanya di wajahku, Mas. Rasanya hangat.”
“Terus?”
“Kami langsung tidur. Kemudian paginya, aku terbangun karena sesuatu bergerak-gerak di selangkanganku. Dan setelah kulihat, tangan Aku benar-benar tidak percaya dengan yang aku lihat di dapur. Sungguh itu sama sekali di luar dugaanku. Siapa yang akan menyangka bahwa ternyata ibu mertuaku adalah seorang wanita yang binal? Dan siapa juga yang akan menyangka bahwa beliau berselingkuh di belakang kami semua? Dan sungguh makin tidak aku bayangkan, ibu mertuaku bercinta saat di rumah masih ada orang.
Ya, aku menyaksikan sendiri bagaimana ibu mertuaku menjadi kuda binal bersama seorang lelaki yang tak lain adalah Pak Tono, tukang kebun di rumah ini. Dibandingkan ayah, Pak Tono lebih muda. Tapi mungkin sebaya dengan ibu. Pak Tono masih punya badan yang sehat. Tubuhnya gempal dengan kulit gelap. Sementara ibuku, meski sudah berumur 50 lebih, tapi penampilannya selalu seksi. Pantat yang besar ditambah dengan buah dada yang juga besar.
Melihat kondisi ayah, aku berpikir wajar saja jika ibu mertuaku merindukan kehangatan dari seorang lelaki. Tapi, tetap saja itu tak bisa dibenarkan.
Ah, bukankah aku juga sama dengan ibu mertuaku? Padahal, suamiku masih baik-baik saja, berbeda dengan ayah mertuaku.
Aku menyaksikan sampai tuntas adegan percintaan ibu semalam. Ibu mertuaku terus naik turun di pangkuan Pak Tono sambil meracau. Di balik remang lampu, aku samar-samar melihat wajah Pak Tono yang begitu menikmati persenggamaan itu. Mereka terus bercinta, saling mereguk kepuasan satu sama lain. Sampai akhirnya, Pak Tono terlihat mengejang dan menghujamkan pantatnya ke atas. Mereka berdua lalu terkapar sambil berpelukan di atas kursi. Setelah cukup waktu untuk bangkit, ibu mertuaku beranjak berdiri dan meraih baju yang berada di atas meja. Ia mengelap vaginanya, sementara Pak Tono juga melakukan hal yang sama.
Setelah ibu selesai memasang bajunya, ia tampak mengambil sesuatu di atas meja.
“Nih, ambil.” Ibu menyerahkan sesuatu pada Pak Tono. Apakah ibu memberikan uang? “Sudah sana cepet pulang.”
Aku juga buru-buru untuk balik ke kamar. Takut ibu mengetaui keberadaanku.
Sejak itulah, pandanganku kepada ibu berubah. Ternyata di balik sikapnya yang cukup pendiam, ia adalah seorang pecinta yang binal. Kejadian itu terus membayang dalam benakku. Tapi aku tak mungkin menceritakannya.
Hubunganku dengan Ahmad sendiri semakin dekat. Tapi bukan berarti kami bercinta setiap hari. Itu jelas tidak mungkin. Tapi aku selalu mencari cara agar selalu bisa bertemu dengannya. Dan Ahmad sendiri juga yang kadang mencariku.
Suatu siang, Ahmad datang ke rumah. Aku mempersilakannya masuk.
“Ada apa?” tanyaku. “Jangan bikin curiga orang deh.”
“Aku kangen.”
“Kamu apa-apaan sih. Nanti ada yang denger.” Aku memelankan suaraku.
“Kangen nih.” Telunjuknya mengarah ke selangkangnnya.
“Udah, Ah. Sana balik.”
“Ayo ketemu.”
“Di mana?”
“Muara.”
“Kapan?”
“Nanti malem.”
“Nggak, ah. Di sana kan banyak temen-temenmu.”
“Gak ada. Udah aku atur semuanya.”
“Tapi aku takut ketahuan.”
“Tenang saja.”
“Ya sudah.”
Kami pun berjanji untuk bertemu malam hari di muara. Aku berani melakukannya semata-mata karena rasa rinduku pada Ahmad.
Malam harinya, sekitar pukul 9 malam, saat anakku sudah tertidur. Aku sengaja menidurkannya dengan ibu. Aku diam-diam keluar rumah. Aku berjalan menuju muara. Beruntung dalam perjalanan ke sana, tidak ada satu orang pun yang melihat.
Sesaimpainya di sana, kulihat Ahmad sudah menunggu. Dia langsung mengajakku naik ke perahu yang berada di pinggir muara.
“Gak ada orang, kan?” tanyaku.
“Gak ada kok.”
“Kamu kok nekat sih?”
“Udah gak kuat soalnya.” Kata Ahmad sambil mendekat ke arahku.
Perahu yang aku naiki lumayan besar. Orang sini menyebutnya kapal. Walaupun sebenarnya tidak sebesar kapal. Tapi perahu ini juga punya ruangan-ruangan di dalamnya sebagai tempat istirahat para ABK.
Ahmad melucuti pakaiannya satu per satu sampai ia telanjang. Dia langsung menyerangku secara ganas. Bajuku pun juga satu per satu terlepas.
Kami berdua bercinta di atas perahu malam itu. Mereguk kenikmatan satu sama lain. Ahmad kembali menyemburkan spermanya di vaginaku. Dan aku juga orgasme sebanyak dua kali.
“Mbak, mbak kapan pulang ke kota?” tanya Ahmad. Dia duduk sambil hanya mengenakan CD.
“Gak tau. Nunggu ayah sembuh yang pasti.”
“Gimana kalo mbak ijin pulang duluan?”
Aku yang tengah memasang BH, diam tak mengerti. “Maksud kamu?”
“Ya pulang duluan. Ke kota.”
“Kan suamiku di sini. Mas Iwan di sini.”
Tiba-tiba Ahmad menghampiriku. Dia memelukku dari belakang. “Gapapa Mas Iwan tetep di sini. Biar aku yang jaga mbak nanti,” katanya sambil mencium tengkukku.
“Gila kamu!”
“Ayolah, mbak. Kapan lagi kita ada waktu? Nanti cari saja alasan ke Mas Iwan.”
“Mana mungkin Mas Iwan mau. Dia jelas gak akan mengizinkan.”
“Pulangnya jangan lama-lama. Sehari dua hari. Alasan mau nengok rumah atau apa.”
Aku terdiam mendengar perkataan Ahmad itu.
“Gimana, mbak?”
“Untuk apa juga? Di sini kita juga bisa ‘main’.”
“Tapi kan kaya petak umpet,” jawabnya.
“Ya?”
“Nanti aku pikirkan lagi.”
Aku segera memasang semua pakaianku sebelum akhirnya aku meminta Ahmad mengantarkanku pulang. Saat aku kembali jam sudah pukul 11 malam. Sungguh aku benar-benar menjadi wanita jalang, pulang selarut. Tentu saja dalam perjalanan pulang, aku berusaha agar tak ada yang tahu.
Perlahan-lahan aku membuka pintu rumahku. Tapi saat hendak membuka pintu, ada suara yang mengejutkanku.
“Habis enak-enak ya, mbak?”
Aku terkejut mendengarnya. Saat menoleh kulihat sosok tubuh laki-laki gempal berdiri di dekat mobil pick up: Pak Tono.
“Pak Tono, bikin kaget aja. Ngapain malam-malam gini, pak?” tanyaku agak gugup.
“Habis dari muara. Lihat orang main kuda-kudaan.”
Apakah Pak Tono memergokiku bersama Ahmad? Gawatlah kalau sampai dia tahu.
“Maksud bapak?”
“Ah, jangan pura-pura bingung, mbak.”
“Saya gak ngerti maksud bapak.”
“Sudah berapa kali ‘main’ sama Ahmad?”
Benar. Dia tahu hubunganku gelapku dengan Ahmad. Matilah aku. Tapi, aku harus tetep tenang. Aku tidak boleh menampakkan kegugupan.
“Maksud bapak apa? Jangan ngomong sembarangan ya!”
“Terus mbak ngapain malam-malam begini dari muara?”
“Saya gak dari muara kok.”
“Udah lah, mbak. Gak usah bohong.”
“Maaf ya, pak, saya mau masuk dulu.”
“Kira-kira gimana kalo Pak Iwan tahu ya?” katanya sebelum aku benar-benar masuk ke dalam rumah.
“Jangan ngaco. Bapak bisa saya pecat. Bapak kira saya gak tahu rahasia bapak? Bapak serong sama ibu kan?”
Dia malah tertawa. “Memang. Dan itu bukan kemauan saya. Itu kemauan ibu mertua kamu. Dia rindu kehangatan laki-laki. Dia sampe rela membayar saya.“
Aku tidak percaya dengan apa yang disampaikannya. Aku terdiam.
“Silakan kalo mau melaporkan. Toh paling saya cuma dipecat. Kalo mbak? Apa siap diceraikan?”
Mas Iwan sudah tahu bagaimana masa laluku. Dia juga bisa menerima. Tapi, aku sudah berjanji padanya takkan mengulangi masa laluku. Apakah dia akan memaafkanku?
“Kurang ajar!” makiku pada Pak Tono karena merasa aku kalah telak.
“Tapi semuanya bisa baik-baik saja kok.”
Aku mulai menaruh kecurigaan pada kata-katanya.
“Minta uang berapa?” kataku.
Dia mendekat ke arahku. “Saya minta kamu.”
“Ngga!” Aku segara beranjak masuk. Tapi, Pak Tono dengan cepat menahan pintu agar tidak tertutup. Aku berusaha menutupnya dari dalam. Tapi kekuatan Pak Tono tak mampu kulawan. Aku kalah dan membiarkannya masuk. Dia langsung menutup pintu.
“Bapak mau apa?”
“Aku pengin mendapatkan apa yang Ahmad dapatkan.” Katanya sambil menatapku dengan wajah yang ingin menerkam.
Aku berusaha untuk lari tapi Pak Tono langsung menangkap tanganku. “Mau kemana?”
“Pak, saya bisa teriak.”
“Teriak saja.”
Entah kenapa aku tak berani melakukan ancamanku sendiri. Akhirnya aku hanya bisa meronta tanpa bisa terlepas dari Pak Tono. Pak Tono langsung mendekapku. Memelukku dan menyusuri wajahku dengan mulutnya. Aku terus meronta.
Kondisi Pak Tono sendiri, di luar kriteriaku. Tubuhnya gempal dan kulitnya gelap. Pakaiannya juga selalu tampak kumal. Di atas mulutnya tumbuh kumis yang cukup lebat. Beberapa kali aku berada di dekatnya, tubuhnya agak sedikit bau. Aku tak mengerti bagaimana ibu bisa berselingkuh dengannya.
“Jangan gaduh. Nanti yang lain bangun.” Katanya.
Entah kenapa aku menuruti saja kata-katanya. Tapi aku terus berusaha menghindar dari ciumannya.
Pak Tono membawaku ke kursi. Dibaringkannya aku di atas kursi panjang ruang tamu. Sementara Pak Tono langsung menindihku.
Wajahnya langsung menyusuri wajahku. Aku berusaha menghindar agar dia tak mencium bibirku. Sementara tangannya bermain liar di dadaku. Tangannya meremas-remas kedua payudaraku.
“Pak, udah. Stop.”
Tapi tentu saja Pak Tono tak mendengarkannya.
Tangannya mengangkat naik ujung bajuku. Mencoba melihat isi di baliknya. Aku berusaha mencegahnya, tapi aku kalah. Pak Tono pun langsung dapat melihat payudaraku yang terbungkus BH. Dia langsung saja meremas-remasnya.
Sambil meremas, salah satu tangannya turun ke area perut dan terus ke selangkangan. Ia coba menyelinap lewat celanaku. Awalnya agak kesusahan. Tapi setelah berhasil membuka kancingnya, maka tangannya dengan mudah melenggang masuk ke selangkanganku.
Sementara tangan yang lain mengangkat BH-ku hingga tampaklah kedua payudaraku. Bibir Pak Tono langsung menyerangnya. Dilahapnya susuku secara bergantian. Sementara tangan kirinya bermain di lubang vaginaku.
“Ah...” desahku. Saat salah satu jarinya menyentuh klitorisku.
“Udah, pak.
Aku merasakan sebutir air mengalir dari mataku. Aku benar-benar tidak percaya bahwa aku telah hina di depan pembantuku sendiri. Tapi aku tak berdaya. Aku tak bisa melakukan apa-apa.
Pak Tono menghentikan permainannya. Aku lega. Barangkali ia tahu jika aku menangis. Tapi, ternyata dugaanku salah. Justru dia menggendongku dan membawaku ke kamarku.
Saat itu, anakku tengah tidur bersama neneknya. Jadi, di kamarku tidak ada siapa-siapa. Dia langsung merebahkanku di atas tempat tidur. Sementara dia mengunci pintu dan menghidupkan lampu.
“Anggap saja seperti malam pertama kita.”
Kulihat Pak Tono berdiri dan langsung membuka bajunya. Karena keadaan terang, aku bisa melihat kondisi tubuhnya. Perutnya sedikit buncit. Sedangkan penisnya, kulihat, tidak panjang tapi terlihat gemuk dengan bulu lebat.
Dia langsung meraih ujung celanaku dan segera menariknya turun. Tapi aku meronta. Menendang-nendang Pak Tono. Namun Pak Tono terlalu kuat untuk aku kalahkan hingga perlahan celanaku turun dan bahkan sampai terlepas dari kakiku. Tampaklah sudah tubuh bagian bawahku yang hanya terbungkus CD berwarna putih.
“Waduh, udah basah ya?” kata Pak Tono saat menyentuh vaginaku.
Aku hanya bisa tersedu-sedu menjalani semua ini. Aku sudah pasrah atas apa yang terjadi denganku. Semua ini juga salahku karena aku tak bisa menjaga rahasia hubunganku dengan Ahmad. Barangkali aku juga harus bertanggungjawab dengan cara ini. Bahkan saat Pak Tono menarik turun CD-ku, aku sudah tak memberikan perlawanan lagi.
Pak Tono langsung membuka pahaku lebar-lebar begitu CD itu terlepas. “Wah, memekmu indah banget.” Dia tampak mengelus-elus terlebih dahulu sebelum mengarahkan penisnya menuju vaginaku.
“Ah...” aku mendesah begitu merasakan sebuah benda tumpul memasuki liang senggamaku. Pak Tono mulai menyutubuhiku. Vaginaku terasa sesak. Mungkin rasanya sama saat penis Ahmad masuk ke vaginaku.
Pak Tono mulai menggenjotku dengan perlahan. Tangannya memegangi kedua kakiku. Pantatnya maju mundur. Tubuhku pun bergerak seirama dengan gerakan Pak Tono.
“Ah...” aku mulai mendapatkan kenikmatan dari vaginaku. Vaginaku mulai mengirimkan sinyal nikmat. Aku pun tak bisa membohongi itu. Tapi aku tak mungkin menampakkan bahwa menikmati itu semua di depan Pak Tono.
Pak Tono sendiri terdengar mendesah menikmati permainannya di vaginaku. Makin lama gerakannya makin cepat. Tangannya juga beralih untuk membuka bajuku yang masih menempel. Aku pun seolah menurutinya, membiarkannya membuka semuanya sampai aku telanjang bulat. Dia pun langsung menyerang kedua susuku.
“Ini merah-merah bekas si Ahmad ya?” kata Pak Tono melihat tanda merah di kedua susuku. “Kasihan Pak Iwan, susunya istrinya disedot orang lain. Hehehe.” Katanya sambil tertawa licik.
“Tapi biar aku tambahin saja.”
Pak Tono pun langsung menciumi kedua susuku bergantian dan melakukan cupang di sana. Aku seperti melambung ketika lidahnya menari-nari di atas putingku. Entah kenapa lidah Pak Tono lebih terasa nikmat dibandingkan dengan Ahmad saat memainkan puting susuku.
“Ah...ah...” aku pun kembali mendesah.
Sementara goyangannya tak kendur sedikitpun. Malah kurasakan makin cepat. Dan aku juga merasakan bahwa rasanya aku akan sampai pada puncaknya.
Pak Tono makin mempercepat gerakannya dan aku.... Ah... Kugenggam seprai untuk melampiaskan orgasmeku. Kakiku menegang begitu tiba puncak kenikmatan itu.
“Sampe ya? Wah, aku masih belum nih.”
Pak Tono seolah tahu bahwa baru saja aku meraih orgasmeku. Kini dia menarik penisnya keluar dan terlepas dari vaginaku. Dia memperbaiki posisiku tepat di tengah kasur. Barangkali agar dia lebih nyaman. Setelah selesai, dia kembali menggenjotku lagi.
Kedua kakiku dia taruh di atas bahunya membuat dia lebih leluasa memasukkan penisnya ke vaginaku. Mulutnya kembali menyedot susuku, menggigitny, menjilatnya, sampai aku tak tahan untuk tidak mendesah.
“Ah...ah...”
“Oh, memekmu....enak sekali.... Pantas Ahmad doyan...” kata Pak Tono di tengah genjotannya.
Pak Tono tiba-tiba merubah menarik penisnya. Dia merubah posisiku menungging. Rupanya dia akan menyetubuhiku dari belakang. Aku menurut saja dengan kemauan Pak Tono. Aku seperti kerbau yang sudah dicocok hidungnya.
Terasa penis Pak Tono melesak masuk ke vaginaku. Dia pun langsung menggenjot lagi. Memaju mundurkan pantatnya. Pantatku beradu dengan pahanya menimbulkan bunyi “plak plak plak”. Tangannya meraih payudaraku yang menggantung. Makin lama genjotan Pak Tono makin cepat. Tubuhku bergoyang-goyang juga makin cepat.
Tiba-tiba Pak Tono menarik tubuhku hingga aku terduduk di pangkuan Pak Tono. Dia memintaku untuk bergerak naik turun agar penisnya bisa keluar masuk. Dengan membelakanginya, aku terus bergerak naik turun. Penis Pak Tono pun jadi keluar masuk di vaginaku.
Entah kenapa, Pak Tono belum juga sampai di puncaknya. Malahan aku yang sudah akan tiba di puncakku lagi.
“Ah...ah...pakk...” tiba-tiba aku menyebut namanya. Pak Tono juga turut membantu menaikturunkan pantatnya. Sampai akhirnya, kubenamkan seluruh batang penis Pak Tono ke dalam vaginaku. Ah, nikmat rasanya....aku kembali orgasme.
Malam itu, aku orgasme berkali-kali. Anehnya, Pak Tono seperti punya tenaga kuda. Dia sangat kuat untuk tidak keluar bahkan saat aku orgasme ketiga kalinya. Kami melakukan beberapa gaya malam itu. Bahkan Pak Tono memaksaku anal. Tapi aku menolaknya. Hanya saja Pak Tono setuju syarat aku mengulum penisnya dan dia mencium bibirku.
“Aku pengin coba pantat kamu dong...”
“Jangan, pak. Kalo itu aku tidak mau.”
“Belum pernah ya? Enak kok.”
“Nggak, pak. Saya mohon. Jangan. Minta yang lain saja.”
“Yang lain? Hmm. Boleh. Aku pengin cium bibir kamu dan kamu oral kontolku ya.”
Sebenarnya permintaan itu juga berat. Tapi tak ada pilihan lag bagiku. Aku menurutinya. Kukulum penisnya dan kujilati juga setiap inchi batangnya. Pak Tono pun akhirnya bisa dengan puas menciumi bibirku. Aku benar-benar ingin muntah.
Pak Tono juga menyemprotkan spermanya di dalam vaginaku.
“Di mana Ahmad keluarin pejuhnya?” katanya saat hendak sampai.
“Di...luar....” kataku agar dia takut mengeluarkan di dalam. Tapi aku salah.
“Ahmad bodoh....” katanya. “....haruussnyyya...di...dalam....” Dia pun menumpahkannya juga di dalam vaginaku.
Ada satu hal yang tak bisa aku pungkiri. Permainan Pak Tono lebih hebat dari Ahmad. Aku harus mengakuinya. Meski penisnya tak seberapa, tapi aku benar-benar puas atas pemerkosaan itu.
Pak Tono tampak bahagia bisa menciumi bibirku. Dia bahkan melakukannya berkali-kali meski aku tak membalasnya.
“Kasihan sama Pak Iwan, istrinya udah dinikmati banyak orang.” Katanya sambil memelukku. Kami sama-sama telanjang sehabis bersenggama.
Aku diam saja. Tak menjawab apa-apa.
Tak lama, Pak Tono bangkit dan mengenakan pakaiannya. Sebelum keluar kamar, dia bilang, “Kapan-kapan lagi ya? Tenang. Kamu tak perlu bayar seperti mertuamu. Oh ya, Ahmad itu juga pernah main lho sama ibu mertuamu.”
Aku juga tak menjawab. Apakah karena kehebatan Pak Tono yang membuat ibu mertuaku rela membayar demi mendapatkan pelayanan dari Pak Tono?
Entahlah. Yang jelas, badanku malam itu terasa remuk. Vaginaku terasa sakit. Aku mengenakan pakaiannya sebelum akhirnya tertidur.
Ahmad main dengan ibu?
Rencana pulang ke kota akhirnya terwujud. Dengan beralasan aku ingin menjenguk rumah dulu pada suamiku, aku pun bisa berangkat ke kota dengan Ahmad. Tentu saja, kepulanganku dengan Ahmad tidak diketahui siapapun. Aku berkata pada suamiku akan berangkat sendiri dengan naik bus saja. Akhirnya, semuanya pun berjalan dengan lancar.
Ahmad dan aku berjanji untuk bertemu di terminal. Tapi selama dalam bus, kami tidak berani untuk duduk satu bangku. Baru setelah bus memasuki beberapa terminal, aku memberanikan diri menyuruh Ahmad duduk denganku. Kami duduk berdua seolah seperti pasangan sampai tiba di rumahku.
Kami tiba pada malam hari. Hal ini disengaja agar tidak banyak tetangga yang tahu. Kusuruh Ahmad mengenakan jaket dan topi agar wajahnya tak diketahui siapapun. Tapi beruntunglah malam itu daerah rumahku sepi.
Aku langsung merebahkan diri di kamar. Ya, kamarku dengan suamiku. Ahmad tampak canggung untuk memasuki.
“Aku tidur di sini juga, kan?”
“Iya.” Jawabku singkat.
Sebenarnya ada rasa bersalah dalam hatiku jika mengingat aku telah membawa orang lain masuk dan tidur di ranjangku dan suamiku. Bahkan, kemungkinan besar aku juga akan berhubungan suami istri dengan lelaki yang bukan suamiku itu.
Aku memasuki kamar mandi untuk cuci muka dan mengganti pakaian. Aku mengenakan kaos panjang sepaha. Sengaja aku hanya mengenakan CD di bagian bawahku agar lebih leluasa karena baru selesai perjalanan jauh.
Ahmad terperangah melihatku. Mungkin ia baru melihatku dengan pakaian seksi seperti ini.
“Wah, enaknya Mas Iwan. Tiap hari bisa menikmati pemandangan seperti ini.” Katanya.
“Apaan sih kamu. Udah sana cuci muka terus ganti baju.”
Ahmad masuk ke kamar mandi. Tak lama, ia keluar hanya mengenakan sarung sementara dadanya ia biarkan terbuka. Dengan suasana demikian, darahku tiba-tiba berdesir. Melihat dada bidang Ahmad dan puting susunya yang kecoklatan membuatku bergairah. Ia langsung rebah di sampingku.
“Aku berasa seperti Mas Iwan,”kata Ahmad.
“Ih, gantengan Mas Iwan lah.”
“Oh ya?”
“Iya dong.”
“Tapi...” katanya sambil langsung tangannya memeluk tubuhku. “...enakan mana sama Mas Iwan?”
“Ya Mas Iwan.”
“Ah, bohong.”
“Terserah kamu kalau ga percaya.”
“Memang. Buktinya Mbak Rina mau aku ajak ke sini dengan berbohong sama Mas Iwan.” Sahutnya.
Aku terdiam tak bisa menjawab pertanyaanya.
“Mad...”
“Iya, mbak?”
“Aku mau cerita sesuatu sama kamu.”
“Cerita apa, mbak?”
“Eee...soal ibu mertuaku.”
“Eh, kenapa...dengan ibu, mbak?”
“Tapi kamu jangan cerita sama siapa-siapa ya?”
“Siap.”
“Jadi, gini. Beberapa hari yang lalu, sepulang kita dari rumah gubuk ibumu itu, aku tak sengaja memergoki ibuku sedang bercinta.”
“Hah? Dengan siapa, mbak?”
“Dengan...dengan....dengan Pak Tono.”
Ahmad terdiam. Ia tak menjawab apapun.
“Mad...”
“Iya, mbak?”
“Kamu jangan cerita ya?”
“Oh iya, mbak. Tenang aja.” Jawab Ahmad. “Tapi, apa mereka tahu kalo Mbak Rina melihatnya?”
“Ngga, Mad.”
“Syukurlah. Kasihan dengan ayah mertua Mbak Rina.”
“Aku juga gak nyangka, Mad. Apa karena ibuku juga butuh ‘nafkah’?”
“Mungkin, mbak. Sementara ayah mertua Mbak gak bisa memberinya.”
Sesungguhnya, aku mengatakan ini pada Ahmad karena ingin mencari tahu kebenaran, apakah benar ia juga pernah bercinta dengan ibu mertuaku.
“Ya, kau benar juga.” Jawabku. “Tapi, apakah hanya dengan Pak Tono?”
“Maksud, mbak?” tanya Ahmad.
“Bisa saja ibu juga berselingkuh dengan yang lain.”
“Entahlah, mbak.”
Ahmad seolah ingin menghindari perbincangan ini. Kurasa ada baiknya aku menahan rasa ingin tahuku dulu.
Tiba-tiba tangan Ahmad menyelinap ke dalam kaosku.
“Mau ngapain?” tanyaku sambil mencegahnya.
“Pengin nih, mbak.”
“Besok aja. Aku capek.” Kataku dan langsung berbalik membelakangi Ahmad.
Entah bagaimana bisa, bangun-bangun aku sudah dalam posisi memeluk Ahmad yang hanya bertelanjang dada. Sementara Ahmad sendiri tidur pulas sambil mendengkur.
Aku lihat jam dinding sudah pukul 6 pagi. Aku berpaling lagi ke wajah Ahmad, kulihat ada jambang halus di sekitar dagunya. Aku meraba jambang itu. Terus turun ke dada dan berhenti di puting susunya. Aku beranjak dari tidurku dan langsung mengecup lembut bibir Ahmad.
Ahmad jadi terbangun dari tidurnya. Ia membuka mata perlahan dan melihat ada aku di depannya. Dengan separuh sadar, dia langsung menyosor bibirku. Kami mulai berciuman. Saling memagut, saling hisap, dan saling lumat.
Nafsuku bangkit. Ahmad juga. Kulihat dari sikapnya yang makin membabibuta. Ciumannya mulai turun ke dadaku. Kaosku ia singkap ke atas dan sampai terlepas. Aku memang tidak memakai BH sejak semalam. Jadilah aku hanya mengenakan CD saja. Ahmad juga langsung membuka CD-ku. Aku pun telanjang tanpai sehelai benang pun.
Ahmad juga segera membuka sarungnya. Dia tidak mengenakan apapun di dalamnya. Jadilah ia juga bertelanjang bulat. Ia bermain-main di daerah payudaraku. Cukup lama di sana sambil memainkan kedua putingku dengan lidah kasarnya.
Kemudian ia turun ke area selangkangan. Aku menghentikannya begitu tau ia akan melakukan oral seks.
“Jangan. Langsung masukin aja....”
Tapi Ahmad tak menuruti kemauanku. Ia tetap melanjutkan menikmati vaginaku dengan bibirnya. Lidahnya mulai bermain-main, menyibak bibir-bibir vaginaku, menganduk-aduk klitorisku, membuatku terasa seperti melayang.
“Ah... Ah... Ah...” aku hanya bisa mendesah menikmatinya.
Sampai akhirnya, karena permainan lidah dan mulut Ahmad, aku mencapai orgasmeku. Ahmad menghentikan ciumannya di vaginaku begitu aku tahu telah sampai.
Setelahnya, Ahmad langsung menggagahiku. Ia kembali menyemprotkan spermanya di dalam vaginaku. Aku benar-benar sudah mengkhianati suamiku. Kamar dan ranjang tempatku dan dia sering bercinta, kini telah dinodai oleh lelehan cairan cinta aku dan Ahmad.
Ahmad kembali tertidur pulas setelah persenggamaan itu. Aku sendiri pergi ke dapur untuk memasak dan menyiapkan sarapan. Saat sedang asyik menyiapkan makan, tiba-tiba Ahmad memelukku dari belakang.
“Ih, kok udah bangun? Sarapan belum siap.”
“Iya. Habis si ‘dedek’ ikut bangun juga sih.” Katanya sambil menusukkan penisnya ke pantatku. Rupanya Ahmad tidak mengenakan apapun. Dia telanjang.
“Kan tadi pagi udah.”
“Ya gimana? Ini minta lagi.” Katanya seraya berbisik di telingaku.
“Makan dulu ya?”
“Ngga.” Jawab Ahmad. Dia langsung menggendongku dan membawaku ke kamar mandi.
“Kita mandi bareng, mbak.”
Aku langsung menghidupkan shower. Kami berdua saling berpelukan di bawah guyuran air pagi itu. Kami mulai berciuman. Semakin lama semakin ganas. Nafsuku yang mulai naik, membawa tanganku untuk meraih penis Ahmad yang sudah tegang. Aku mulai melakukan gerakan mengocok dengan tanganku di sana.
Ahmad juga menurunkan ciumannya ke payudaraku. Ia melahapnya secara bergantian. Ahmad mirip seperti bayi yang kehausan asi ibunya. Setelah puas, ia kembali menurunkan ciumannya ke vaginaku. Kembali dijilatnya vaginaku dengan liar. Lidahnya bergoyang-goyang memberikan sensasi yang luar biasa. Klitorisku ia mainkan juga dengan lidahnya. Kadang aku sedikit malu dengan Ahmad karena jembutku yang lumayan lebat. Aku memang lupa mencukurnya.
“Ah..ah....enaakkk....” desahku.
Aku bahkan sampai menekan-nekan wajah Ahmad agar lidahnya semakin masuk.
“Teruuusss...Mad....”
Tapi Ahmad malah berhenti. Ia justru bangkit dan menyuruhku untuk berjongkok. Aku tahu maksud Ahmad, dia ingin aku mengoral penisnya. Awalnya aku agak ragu. Tapi setelah penis itu berada tepat di depanku, nafsuku mengalahkan keraguanku. Penis itu tampak gagah dengan jembut yang lebat. Aku pun segera melahap penis itu.
Kukulum senti demi senti batangnya. Kujilati mulai dari kepala sampai pangkalnya. Kumainkan lidahku di lubang kencingnya. Ada sedikit rasa asin. Aku juga menyedot penis sesekali. Ahmad kudengar hanya bisa mendesah menikmati oral seks yang kuberikan padanya.
Setelah puas, Ahmad menyuruhku berdiri, dia membalikkan badanku untuk membelakanginya. Kemudian dia mulai mengarahkan penisnya ke arah vaginaku. Dia menyuruhku untuk sedikit menungging dan membuka sedikit pahaku. Dengan posisi itu agak susah penis Ahmad untuk masuk. Tapi setelah bersusah payah, kepala penisnya mampu menyibak bibir vaginaku dan melesat ke dalam.
“Ah....” desahku, keenakan.
Ahmad terus mendorong penisnya masuk. Vaginaku mulai terasa penuh dengan penis Ahmad. Apalagi dengan posisi seperti itu, rasanya makin puas.
“Plok...plok...plok...”
Begitu suara yang dihasilkan antara pertemuan pantatku dan area selangkangan Ahmad. Payudaraku sendiri dibiarkan menggantung oleh Ahmad. Dia fokus pada genjotannya di vaginaku.
“Oh...enakk...mbak....memek...nya...”
“Ah...ah...ah...” aku hanya menjawab lewat desahan yang makin keras.
Setelah cukup lama, kini Ahmad menyuruhku menghadap dirinya. Dengan posisi masih berdiri, Ahmad mengangkat satu kakiku agar penisnya mudah masuk. Jleb. Penisnya pun kembali masuk. Dia langsung mendorong penisnya dengan cepat dan membuatku kembali mendesah, bahkan meracau.
“Madd...enaakk...ah...teruuss....”
Rasanya aku ingin segera mencapai menikmati permainan Ahmad. Penisnya seolah mengaduk-aduk isi vaginaku. Aku makin tidak tahan.
Tiba-tiba Ahmad merengkuh tubuhku dan membawaku ke dalam gendongannya. Aku pun bergelayutan pada leher Ahmad dengan penisnya masih tertancap di vaginaku. Dan dengan posisi demikian, penisnya makin masuk ke dalam vaginaku.
Kini aku mulai bergerak naik turun agar penisnya keluar masuk. Aku makin tidak kuasa menahan orgasmeku, hingga akhirnya, “Ah....” aku sedikit berteriak saat sampai di puncak. Kupeluk tubuh Ahmad erat-erat dan membenamkan penis Ahmad dalam-dalam.
Tampaknya Ahmad masih belum ada tanda-tanda akan keluar. Kini dia menurunkanku dan menyuruhku untuk menungging di lantai. Kami melakukan doggie style. Ahmad menyetubuhiku dari belakang. Aku kembali terbawa oleh nafsu.
Sampai beberapa kali berganti gaya, Ahmad belum keluar juga. Aneh. Dia baru bisa orgasme setelah posisi WOT dengan duduk di atas WC dan aku berada di pangkuannya. Itu pun setelah aku memberikan sedikit goyangan pada penisnya. Barulah ia bisa mengeluarkan lahar panasnya di dalam vaginaku.
Setelah itu, kita membersihkan diri dengan saling menyabuni satu sama lain. Aku membersihkan penisnya sampai bersih. Bahkan aku memotong jembut di selangkangan Ahmad.
“Tadi kok lama banget?” tanyaku pada Ahmad. Kami berdua sudah berada di meja makan untuk sarapan. Hanya saja, kami belum mengenakan baju apapun.
“Kenapa?”
“Minum obat ya?”
“Ya masa momen gini gak dimanfaatkan, mbak. Heheh.” Tawanya.
“Dasar!”
“Mbak....”
“Kenapa?”
“Di belakang rumah ada kolam renang ya?”
“Iya.”
“Nanti siang renang yuk.”
“Boleh. Tapi aku takut dilihat tetangga.”
“Gak mungkin, mbak.”
“Okedeh.”
“Tapi, renangnya kita bugil ya?”
“Heh? Gila kamu! Nggak!”
“Ayolah, mbak. Sesekali. Mbak belum pernah kan?”
“Nggak. Nanti ketahuan tetangga malah tambah runyam.”
“Tenang. Gak akan ada yang lihat.”
Aku tidak menjawab. Sebenarnya aku ingin melakukannya untuk menambah variasi bercinta. Jujur, dengan Mas Iwan, aku tak pernah melakukan percintaan yang demikian.
“Ya?”
“Baiklah.”
“Nah, gitu dong.”
Tiba-tiba HP yang kebetulan terletak di meja makan, berdering. Kulihat dari Mas Iwan.
“Halo... iya, Mas?.... sudah pulang?.... Syukurlah.... Rumah baik-baik saja.... Nanti aku pulang, Mas.... Iya.... Bye...”
“Siapa, mbak? Mas Iwan?”
“Iya.”
Selesai makan, kami berdua membersihkan meja makan. Ada satu perasaan ganjil melihat tingkah laku kami. Melakukan aktivitas sambil bertelanjang. Ganjil, namun juga membangkitkan nafsu. Kami melakukan semua aktivitas dengan bertelanjang.
Selesai makan, kami berdua menonton televisi. Tetap, kami tak mengenakan pakaian satu pun. Sesekali Ahmad iseng menyentuh vaginaku. Kubalas dengan menarik penisnya.
“Mad....” kataku sambil memeluk tubuh Ahmad. Kami tiduran di depan televisi.
“Iya, mbak?”
“Beberapa hari lalu, aku bicara dengan Pak Tono.”
“Pak Tono? Bicara soal apa?”
“Eh.... Aku mengatakan bahwa aku tahu hubungan gelapnya dengan ibu.”
“Oh ya?”
“Iya. Pak Tono tampak ketakutan. Dia takut aku melaporkan semuanya.”
Aku berbohong pada Ahmas. Tentu saja yang sebenarnya tidak demikian.
“Lalu, Pak Tono mengungkapkan lagi satu hal yang membuatku terkejut?”
“Soal...apa, mbak?”
“Ibu sebenarnya tak Cuma berhuhungan dengan Pak Tono. Tapi beberapa lelaki juga.”
Ahmad terdiam. Tidak menjawa apa-apa.
“Kamu tahu maksudku, kan?”
Ahmad mengangguk pelan, “Ya.”
“Kapan itu terjadi?”
“Satu tahun yang lalu?”
“Di mana?” tanyaku.
“Di rumah ibu mertuamu.”
“Kamu jahat. Kamu tidak kasihan pada ayah mertuaku?”
“Mbak, ibumu yang menggodaku.”
“Maksudmu?”
“Ya. Saat itu, di rumah sepi. Aku datang ke sana untuk mengambil beberapa peralatan di gudang. Gudang sedang dikunci. Aku mencari orang ke seluruh rumah. Dan ternyata ada di kamar mandi. Aku panggil, tidak mendengar. Aku tunggu saja. Begitu keluar, rupanya ibu mertuamu. Aku kaget. Lebih kaget karena pada saat keluar, ia tak mengenakan apapun. Bahkan handuk untuk menutupi tubuhnya. Ia telanjang bulat di depanku. Anehnya, dia santai-santai saja. Malahan berjalan ke arahku dan bertanya mau apa. Aku sendiri yang malu dengan keadaan itu. Aku jawab saja mau mengambil kunci gudang. Lalu ibu mertuamu menjawab ada di kamar. Ia menyuruhku ikut. Begitu di depan kamar, dia menyuruhku masuk dan menutup pintu. Aku terkejut. Dan apa yang terjadi? Dia berbisik padaku, ‘Puasin aku, Mad.’ Mendengar itu, aku tidak bisa berpikir lagi. Bayangkan saja aku berada di depan wanita yang telanjang dengan bodi aduhai, dan si wanita telah meraba-raba penisku. Aku di luar kendali. Aku tak bisa mengontrol. Sampai akhirnya, kejadian itu terjadi. Aku bercinta dengan ibumu.”
Aku terdiam mendengar cerita Ahmad. Butuh waktu agak lama sampai akhirnya aku bertanya, “Apa cuma sekali itu?”
“Ngga, mbak.”
“Kapan lagi?”
“Aku lupa tepatnya. Yang jelas setelah kejadian itu, aku melakukannya dua kali lagi. Kami melakukannya di hotel saat kita sedang pergi ke kota. Ibu mertua mbak memang haus akan belaian lelaki. Bahkan, dia rela membayar demi mendapatkan kepuasan.”
Aku tidak tahu bagaimana harus menanggapinya. Aku lebih memilih diam. Dalam hati aku agak marah pada ibu mertuaku. Kenapa dia mengkhianati ayah? Tapi, di sisi lain, bukankah aku juga tak jauh beda dengan ibu.
Tiba-tiba Ahmad berganti yang memeluku. Lalu, dia mengecup keningku kemudian bibirku. Kami bercinta sekali lagi di depan televisi sampai kami kelelahan dan tertidur.
Kami bangun saat hari sudah siang. Kulihat di sampingku Ahmad masih tertidur dengan pulas. Aku bangkit menuju dapur dan mengambil gelas. Aku duduk di ruang makan. Aku terdiam. Entah kenapa pikiranku dihantui oleh rasa bersalah. Apa yang telah aku lakukan? Mengapa aku berani membawa laki-laki ke rumahku dan bercinta dengannya? Aku memang wanita yang tidak benar-benar baik. Sejak kuliah aku sudah sedikit liar. Tapi aku mestinya bersyukur mendapatkan suami yang bisa menerimaku. Sekarang aku malah mengkhianatinya. Apa-apaan aku ini.
Dalam lamunku, tiba-tiba Ahmad mengagetkanku.
“Kok melamun, mbak?” katanya menghampiriku lalu mengecuk keningku. Astaga. Kenapa Ahmad bersikap sudah layaknya suami padaku?
“Gak apa-apa. Kok udah bangun?”
“Habis bangun-bangun udah gak ada siapa-siapa.”
Aku hanya tersenyum.
“Berenang yuk, mbak.”
“Hmm. Tapi pakai baju ya?”
“Lho, kan tadi udah janji.”
“
Aku takut ada orang, Mad.”
“Ngga kok, mbak. Ini kan kota. Siang-siang begini orang pada sibuk di kantornya.”
“Ngga, ah. Aku pake baju renang aja.”
“Iya iya deh. Tapi yang seksi ya? Heheh.”
“Dasar otak mesum!”
“Biarin. Tapi mbak doyan.”
“Ih, tau ah.”
Aku segera ke kamarku untuk mengenakan baju renang. Aku memilih baju renang yang sekiranya cocok. Akhirnya kupilih bikini yang dibelikan oleh suamiku. Bikini berwarna merah terang dengan CD yang memiliki tali di sampingnya. Setelah mengenakan, aku langsung ke kolam renang.
Rupanya Ahmad sudah mulai berenang. Aku segera menyusulnya menyebur ke kolam. Ah, rasanya jarang aku melakukan hal ini dengan suamiku. Suamiku sendiri jika berenang pasti selalu mengenakan celana renangnya. Tak pernah berani menyuruhku untuk bugil. Ada kenikmatan tersendiri bagiku saat melihat lelaki berenang tanpa mengenakan apapun. Singkatnya, aku bernafsu melihat Ahmad berenang dengan cara seperti itu.
Aku menghampiri Ahmad dan langsung menyerbunya dengan ciumanku. Kami mulai berciuman di kolam renang. Kali ini aku yang terlihat lebih ganas. Aku sampai menyedot-nyedot lidah Ahmad. Sementara tangan Ahmad bergerilya di bagian bawah. Dia pun membuka ikatan CD-ku. Jari-jarinya langsung bermain nakal di vaginaku.
“Naik, yuk!” ajakku.
Kami langsung menepi dan naik ke atas. Begitu tiba di atas, bagian bawahku sudah tidak tertutup. Ahmad langsung menyerangku dan menidurkanku di lantai pinggir kolam. Aku kembali diserbu dengan ciuman ganasnya. Ia juga merayap ke leher dan payudaraku. BH-ku dibukanya langsung dan dia segera mengenyot puting susuku yang sudah menegang.
“Ah...ah...” aku pun mulai mendesah.
Vaginaku sepertinya sudah mulai basah. Ingin segera dimasukin oleh kontol Ahmad.
“Cepet, Mad...masukin...”
Sepertinya Ahmad juga sudah tidak tahan. Dia langsung menuruti permintaanku. Penisnya mulai dimasukkan ke vaginaku. Jleb....
“Ah...” desahku.
Aku menarik tubuhnya mendekat padaku dan langsung kuciumi bibirnya sampai lehernya juga. Pantat Ahmad mulai maju mundur yang membuat penisnya keluar masuk di vaginaku. Meskipun penis Ahmad sudah berulangkali masuk tapi rasanya vaginaku tetap terasa penuh.
“Ah...ah...Mad...”
Ahmad juga mulai mendengus-dengus seiring dengan genjotannya. Kemudian aku meminta pada Ahmad untuk di atas. Ahmad menuruti permintanku. Kini giliran dia yang berbaring di lantai dan aku berada di atasnya. Aku langsung menduduki penisnya dan memasukkannya ke vaginaku. Perlahan aku mulai bergerak naik turun. Semakin lama dan semakin cepat. Aku juga sempat merunduk menikmati puting susu Ahmad. Aku jilati dan mengemutnya.
“Ah...ah..ah...” aku mendesah. Gerakanku makin cepat. “E..nakk....Mad...”
Sampai akhirnya, aku tidak kuat dan membenamkan penis Ahmad dalam-dalam vaginaku. Tak lama setelah itu, setelah beberapa kali Ahmad kembali menggenjotku dari bawah, Ahmad menumpahkan spermanya.
“Bersihin dong, mbak...”
Aku langsung melepaskan penis Ahmad dari vaginaku. Segera kukulum penisnya untuk membersihkannya dari sisa-sisa cairan cinta kami. Belum pernah aku dengan suamiku melakukan hal ini sehabis bercinta.
Setelah bersih, Ahmad bangun dan langsung menggendongku ke dalam rumah. Tanganku bergelayut ke leher Ahmad. Ahmad membawaku ke kamar. Di kamar, Ahmad kembali mengajakku bercinta. Kami bercinta sekali lagi. Lalu kami tertidur. Saat bangun, hari sudah agak gelap. Kami bersiap-siap untuk pulang. Kami pastikan semua rumah tidak mencurigakan bahwa di dalamnya ada yang sudah bercinta. Sebelum pulang, kami makan dulu. Setelah itu, sekitar pukul 9, kami berangkat menuju desa.
Berita duka tiba-tiba datang dua hari setelah aku kembali dari kota. Ayah mertuaku meninggal setelah berhari-hari dirawat di rumah sakit. Ayah sudah tak bisa bertahan melawan penyakitnya. Kami sekeluarga telah mengikhlaskan beliau pergi selamanya. Ibuku menangis sejadi-jadinya di hari ayahku meninggal.
Kami mengadakan pengajian selama 7 hari berturut-turut untuk kepergian ayah. Rencananya, setelah 7 hari aku dan Mas Iwan akan kembali ke kota. Setiap hari selama 7 hari, kami banyak disibukkan oleh persiapan acara pengajian. Maklum, ayahku adalah tokoh yang dikenal oleh seluruh kampung. Wajar sekali jika banyak yang datang. Ditambah karena di kampung, kami mesti menyediakan makanan bagi para tamu.
Karena kecapean, di hari kelima aku sempat terjatuh di kamar mandi. Kakiku terkilir. Aku jadi kesakitan. Mas Iwan mencoba untuk memijit kakiku. Tetapi yang ada malah tambah sakit.
“Dibawa ke tukang urut saja ya?” kata Mas Iwan.
“Di mana tukang urut yang paham soal kaki terkilir di sini?”
“Sepertinya ibu tau.”
Mas Iwan beranjak menemui ibu. Tak lama ia kembali membawa kabar bahwa ibu tahu tempatnya.
“Ibu tahu tempatnya. Tapi karena ibu sibuk, dia menyuruh Pak Tono yang menemani kita.”
Mas Iwan dan aku, ditemani juga oleh Pak Tono pergi menuju rumah tukang urut. Dalam perjalanan, Pak Tono banyak menjelaskan tentang kemahiran si tukang urut.
Sesampainya di sana, kami sudah disambut oleh Pak Kasman di depan rumahnya. Pak Kasman sangat ramah kepada kami. Kami disambut dengan baik. Setelah berbincang, Pak Kasman langsung memulai memijit kakiku.
Rasanya sakit sekali. Tapi tidak lama pijatannya selesai. Dan kakipun mulai terasa lebih enak.
“Wah, terima kasih, Pak. Kaki saya sudah lebih enakan.”
Pak Tono kutaksir masih berumur sekitar 50 tahunan. Ia punya badan yang tinggi besar meski tidak berotot. Ia sangat ramah dan cara bicara mengisyaratkan bahwa dia orang baik. Pak Kasman memiliki istri. Tetapi, istrinya sedang bekerja di luar negeri sebagai TKW.
“Pak Tono bisa pijat satu badan juga kan?” tanya suamiku.
“Bisa, Pak.”
“Bolehlah kami pijat nanti sebelum balik ke kota.”
“Boleh, Pak. Boleh.”
Rencana itu pun terealisasi. Sehari sebelum balik ke kota, aku dan suamiku pergi ke rumah Pak Kasman. Kami berdua berencana untuk pijat seluruh badan. Kali ini kami tidak lagi ditemani Pak Tono. Aku pun bersyukur akan hal itu. Sebab ada perasaan bersalah saat berada di antara Pak Tono dan suamiku.
Sesampainya di rumah Pak Kasman, kami lagi-lagi langsung disambut. Pak Kasman langsung mempersilakan kami masuk.
“Siapa duluan nih yang mau pijat?” kata Pak Kasman.
“Istri saya dulu, Pak.” Kata Mas Iwan.
Kami semua masuk ke dalam kamar. Sebuah ruangan khusus tempat Pak Kasman memijat, sepertinya. Pak Kasman memintaku mengganti baju dengan kain sarung saja. Lumrahnya seperti saat orang akan dipijat. Aku pun menuruti perintahnya. Sebelum memijat, Pak Kasman menyiapkan minuman dulu untuk suamiku. Ia menaruh kopinya di ruang tamu.
Pak Kasman mulai memijatku. Dimulai dari bagian punggungku menggunakan minyak urut. Untuk mengurut di bagian itu, kain sarungku harus diturunkan. Saat itu aku tak melepaskan BH-ku. Suamiku duduk di samping. Tetapi, barangkali bosan dia meminta untuk menunggu di luar saja.
“Kenapa ga di dalam saja, Mas?” kataku.
“Di dalam panas,” Suamiku pun pergi ke kamar.
“Sekalian diminum kopinya, Pak.” Kata Pak Kasman.
Pak Kasman terus memijatku. Pijatannya enak. Tidak sakit, namun tidak terlalu pelan juga. Aku menikmatinya sampai aku ketiduran sebentar. Dan kulihat pijatan Pak Kasman sudah sampai di pahaku. Kurasakan juga kaitan BH-ku sudah terlepas.
“Mbak, saya boleh ijin buka baju?” kata Pak Kasman. “Soalnya saya terbiasa buka baju jika memijat. Lebih leluasa, mbak.”
Aku sempat kaget. “Hmmm. Silakan saja, Pak.”
Pak Kasman lalu membuka bajunya. Aku kira dia hanya membuka kaosnya. Tetapi, dia malah membuka celana pendeknya juga yang membuatnya hanya mengenakan CD saja.
“Yah, seperti inilah saya kalo lagi mijet, mbak.” Ucap Pak Kasman.
“Meskipun yang dipijat wanita?” tanyaku.
“Iya, mbak.”
“Ngga malu, Pak?”
“Udah biasa, mbak. Hehehe.”
Aku benar-benar kaget dengan yang dia lakukan. Apa dia tidak takut mengingat ada suamiku di luar? Tapi, dia malah biasa saja.
Badannya benar-benar tegap. Di bagian dadanya ditumbuhi bulu lebat yang terus turun ke perut dan hilang di balik CD-nya yang berwarna biru muda. Di bagian pahanya juga ditumbuhi bulu yang cukup lebat. Apalagi ditambah gundukan besar di selangkangannya.
“Aku cuma ga enak sama suamiku di luar, mbak.” Kataku.
“Ngga apa-apa, Bu. Tenang saja.”
Entah kenapa Pak Kasman biasa saja. Dia malah terus melanjutkan pijatannya. Aku sendiri tidak konsen di tengah pemandangan, yang harus kuakui, membangkitkan gairah. Apalagi kini pijatannya kian lembut di bagian pahaku. Kain sarungku telah naik ke atas dan sedikit memperlihatkan pantatku yang terbungkus CD. Tangan Pak Kasman kadang masuk ke bagian dalam paha.
Pijatannya terus turun ke betis sampai akhinya dia menyuruhku berbalik. Dia hendak memijat bagian depan. Aku mencoba menutupi bagian atas terutama dadaku dengan sarung. Dengan posisi ini, aku bisa leluas melihat Pak Kasman. Di tubuhnya kulihat ada keringat-keringat kecil. Pak Kasman mulai memijit tanganku. Setelah selesai keduanya, ia mencoba memijat dadaku tepat di atas payudaraku. Aku memegangi kain sarung agar tetap menutupi dadaku.
“Diturunin ya mbak sarungnya?” kata Pak Kasman.
“Saya malu, Pak.”
“Lho, gimana saya mau pijat kalo ditutup gini, Mbak?”
Aku tidak menjawab. Pak Kasman malah langsung menurunkan sarungku hingga membuat payudaraku yang dibungkus bra terlihat. Sarungku diturunkan terus sampai perutku juga terlihat. Pak Kasman mulai memijit perutku. Pelan. Tangan kasar Pak Kasman terasa sekali beradu dengan kulitku. Momen ini sedikit membuat birahiku bangkit. Sesekali aku melirik selangkangan Pak Kasman kian menggunung.
Selesai dengan perut, Pak Kasman beralih ke paha. Ia memijit bagian depan pahaku. Sudah pasti sarungku diangkat agar Pak Kasman lebih leluasa memijit. Entah kenapa, pijatan Pak Kasman semakin lama terasa seperti usapan. Aku terasa terbuai dengan usapannya itu. Pak Kasman justru menaikkan lebih ke atas lagi sarungku hingga sebagian selangkanganku terlihat. Anehnya aku malah tidak protes dengan sikapnya. Tangan Pak Kasman kini tidak lagi memijat melainkan mengelus-elus area pahaku. Bahkan ia juga sedikit menyentuh selangkanganku. Dan lama kelamaan Pak Kasman jadi berani mengelus vaginaku dari luar CD.
“Pak... ” kataku dengan sedikit mendesah.
Pak Kasman tahu bahwa aku mulai terbawa birahi. Ia memanfaatkannya untuk menarik ke bawah sarungku hingga terlepas. Kini terlihatlah aku hanya mengenakan CD dan braku di depan Pak Kasman. Pak Kasman lagi-lagi mengulangi mengelus betisku terus naik ke atas ke paha dan sampai ke selangkangan.
“Ah... ah... ah... ” aku mendesah. “Pak... suamiku... .”
Pak Kasman menuju pintu dan mengamati keadaan di luar lewat lubang kunci. “Suami ibu tertidur.”
Entah aku harus bahagia atau sedih, yang jelas ini seperti semacam surga bagi Pak Kasman. Ia kembali dengan senyum kemenangan di bibirnya.
Pak Kasman kini naik ke atas tempat aku berbaring. Ia membuka pahaku dan menempatkan dirinya di antara kedua pahaku. Tangannya meraih braku dan menariknya hingga terlepas. Kini tampaklah payudaraku di hadapannya. Pak Kasman pun mulai meremas-remas dan memainkan putingnya. Ia menarik tubuhku mendekati tubuhnya hingga membuat selangkanganku bersentuhan langsung dengan selangkangannya. Ada satu aliran yang menyebar ke seluruh tubuhku saat vaginaku menyentuh kejantanannya. Kurasakan penisnya mulai mengeras.
Pak Kasman memposisikan tubuhnya agak condong ke depan sehingga penisnya makin menekan selangkanganku. Tangannya terus memainkan payudaraku. Terkadang sesekali juga mengelus. Pak Kasman tampaknya mencoba memancingku dengan menggesek-gesekkan penisnya ke vaginaku. Aku mulai merasakan kenikmatan.
“Ah... ah... ”
Kini aku tidak lagi memikirkan bagaimana seandainya suamiku masuk dan melihat semua ini. Kini yang aku mau hanyalah meneruskan kenikmatan yang baru dimulai. Pak Kasman terus menggesek-gesekkan penisnya hingga kurasakan vaginaku mulai membasahi CD-ku.
“Ah... ah... ah... .” Aku terus mendesah keenakan sambil semakin mendekatkan vaginaku ke selangkangan Pak Kasman.
“Pak... udah... pak... ga.. kuuattt... ” desahku saat Pak Kasman makin intens melakukan gerakan menggesek vaginaku. Penisnya yang mengeras begitu kuat menempel ke vaginaku meski masih tertutupi celana dalam. Tapi, rasanya aku sudah tidak kuat.
“Pak... .” Aku menggenggam lengan Pak Kasman menahan gejolak birahiku. Rasanya aku ingin mendesah sekeras-kerasnya untuk melampiaskan kenikmatan yang kurasakan.
Pak Kasman akhirnya menuruti permintaanku. Ia berhenti menggesekkan penisnya ke vaginaku. Tetapi, ia malah menarik turun celana dalamku sampai terlepas. Aku diam saja tak melawan saat dia melakukan hal itu. Dan tampaklah vaginaku di depan mata Pak Kasman. Ia terlihat bahagia. Tak lama kemudian, ia juga melucuti celana dalamnya dan telanjanglah dia di depanku. Penisnya sangat besar dan panjang. Jauh lebih besar dari Ahmad dan Pak Tono. Pemandangan bulu yang tumbuh di sebagian tubuhnya membuatku makin bernafsu.
“Ayo, mbak, kita sama-sama meraih kenikmatan.” Kata Pak Kasman sembari membuka pahaku.
Kuraskan Pak Kasman mulai mengarahkan penisnya untuk masuk ke vaginaku. Ujungnya kurasakan mulai menyentuh. Perlahan ada gerakan mendorong untuk memasukkan penis itu. Begitu kepala penis itu masuk, ah rasanya vaginaku seperti dibuka lebar-lebar oleh penis Pak Kasman. Penis itu terus didorong masuk.
“Ah... ” Penis itu memenuhi seluruh ruang di vaginaku karena ukurannya yang besar. Pak Kasman terus mendorong sampai kurasa ia telah mentok. Lalu mulailah Pak Kasman menggenjot vaginaku dengan penisnya.
Awalnya genjotannya masih pelan. Tetapi, lama-lama genjotan itu makin terasa cepat. “Ah... ah... ah... ” aku mulai mendesah.
Pak Kasman menurunkan badannya agar bibirnya bisa meraih bibirku. Aku pun langsung menyambut ciumannya dengan mesra. Barangkali karena aku telah terbawa oleh nafsu sehingga begitu saja menerima ciuman Pak Kasman. Kami saling berciuman bermesraan, saling memagut, dan lidah kami saling bertautan. Bulu-bulu dada dan perut Pak Kasman menyentuh payudaraku membuat aku kian bernafsu. Kini aku tak lagi malu dan khawatir akan kemunculan suamiku. Aku memeluk tubuh Pak Kasman seolah ingin meminta kehangatan yang sepenuhnya kepadanya. Penis Pak Kasman semakin mengobrak-abrik vaginaku. Genjotannya makin kuat dan aku makin tidak tahan untuk tidak mendesah. “Pak... ee... nakkk... .”.
Genjotan di vaginaku berhenti. Pak Kasman meminta mengganti posisi. Ia memintaku menungging. Aku menuruti permintaannya. Pak Kasmanpun langsung menusuk vaginaku dari belakang. “Ah... .”. Ia kembali menggenjotku. Penis gagahnya kembali mengoyak vaginaku. Tubuhku jadi maju mundur mendapat serangan dari Pak Kasman. Tangannya menggenggam seprai menahan birahiku yang kian menjadi.
“Pak... sa... yaa... ga... ah... .” Dan akhirnya aku sampai. Aku telah mencapai orgasmeku. Sementara Pak Kasman masih terus menggenjot.
“Ah... ah... ah... ”
Kudengar desahan Pak Kasman. Ia tampak masih belum akan orgasme. Tenaganya masih belum takmpak kendor. Genjotannya masih kuat di vaginaku. Tiba-tiba ia meminta mengganti posisi. Ia membangunkanku dan menyuruhku duduk di pangkuannya. Atau lebih tepatnya, duduk di atas penisnya.
Kini aku yang mulai lebih aktif. Aku mulai bergerak turun naik agar penis Pak Kasman bisa keluar masuk. Mulanya pelan, tetapi lama-lama semakin cepat. Sementara Pak Kasman memeluk tubuhku dan mulutnya menciumi kedua payudaraku, kiri dan kanan. Putingku tak luput dari hisapannya. Kadang ia juga menggigitnya dan membuatku aku menggelinjang.
“Ohh... .”
Aku terus bergerak naik turun. Masih belum ada tanda-tanda Pak Kasman akan orgasme. Malahan Pak Kasman mengangkat tubuhku. Pak Kasman bangkit dan mulai berdiri. Ia menggendongku dan sambil penisnya tetap tertancap di vaginaku. Aku terus bergerak naik turun sambil bergelayut di tubuh Pak Kasman. Kini tubuhnya yang penuh bulu itu menempel begitu dekat di tubuhku. Nafsuku kian bangkit menerima kehangatan itu.
“Ah... ah... ah... ”
Genjotan penis Pak Kasman makin kuat di vaginaku. Aku semakin tidak tahan sampai akhirnya aku mencium bibir Pak Kasman. Kini justru aku yang terlihat ingin sekali menikmati permainan ini. Kuciumi bibir Pak Kasman. Aku memagutnya seolah ingin mengalirkan nafsu birahiku padanya. Lidah kami saling berpagutan. Aku menyedot lidahnya dalam-dalam. Pak Kasman kini membaringkanku lagi di ranjang. Kini dia berada di atasku. Aku tak melepaskan ciumanku di bibirnya. Ia kembali menggenjotku. Genjotannya semakin cepat.
“Bu... sa... ya... kke... ” Dan penis itu tercabut dari vaginaku dan crot... crot... crot... . Sperma Pak Kasman muncrat di perutku. Banyak sekali. Ketimbang milik Ahmad dan Pak Tono, miliki Pak Kasman jauh lebih banyak. Rasanya juga hangat di perutku.
“Bersihin dong, bu.”
Pak Kasman menyodorkan penisnya ke wajahku. Ia ingin aku membersihkan penisnya dengan mulutku. Aku langsung melahapnya dan membersihkan semua batang penisnya dari cairan cinta kami. Setelah bersih, Pak Kasman tidur di sampingku.
“Makasih ya, bu.” Ucap Pak Kasman.
Aku tidak menjawab. Rasanya aku juga ingin mengatakan terima kasih telah memberiku kepuasan dengan penis gagahnya.
“Suami saya gimana, pak?” tanyaku.
“Sepertinya masih tertidur, bu.” Pak Kasman bangkit dan kembali melihat suamiku. “Benar, bu. Suami ibu masih tidur. Tampaknya lelap sekali.”
Aneh sekali suamiku bisa tertidur. Apakah dia terlalu capek? Dan apakah dia tidak mendengar suara persenggamaan aku dan Pak Kasman.
“Sepertinya masih nutut sekali lagi, mbak.” Kata Pak Kasman padaku. Ia kembali menindihku.
“Saya capek, pak.”
Pak Kasman langsung mencium bibirku. “Saya ingin keluar di dalam, bu.”
Aku terkejut dengan ucapannya. Jauh di dalam hatiku, aku juga ingin meraskan hal yang sama. Aku ingin Pak Kasman menyemburkan spermanya di dalam. Aku membayangkan betapa hangatnya nanti. Tetapi, aku tidak menjawab dan hanya diam saja.
Pak Kasman tidak menunggu aba-aba dariku. Ia langsung kembali mengerjaiku. Kami kembali bercinta. Aku kembali mereguk kenikmatan dari Pak Kasman. Kali ini aku meraih orgasme sampai tiga kali. Dan Pak Kasman benar-benar muncrat di dalam. Aku benar-benar bahagia meski di luar kamar ada suamiku.
Setelah persenggamaan selesai, aku kembali mengenakan bajuku dan keluar kamar. Sebelum aku keluar, Pak Kasman meminta CD-ku sebagai kenang-kenangan untuknya. Jadi, aku pulang tanpa mengenakan CD.
Kubangunkan suamiku. Ia tampak mengantuk sekali.
“Kok lama banget, Ma?” tanya Mas Iwan.
“Udah tadi, Mas. Cuma mas yang dibangunin ga mau bangun.” Jawabku mengelak.
“Oh, gitu ya, Ma. Gak tau juga nih. Tiba-tiba mas ngantuk banget.”
“Yaudah pulang aja deh, Mas. Kapan-kapan aja. Kayanya mas ngantuk berat.”
Akhirnya Mas Iwan tidak jadi pijat. Ia memilih untuk pulang saja. Aku yang menyetir mobil sampai rumah. Sampai di rumah, Mas Iwan langsung tidur. Sementara aku masih terbayang-bayang persenggamaan dengan Pak Kasman, tukang pijat yang perkasa.
Aku belum kembali ke kota. Suamiku menunda karena harus membantu kakak ipar melanjutkan pekerjaan yang ditinggalkan ayah mertua untuk sementara. Situasi ini membuat perselingkuhanku dengan lelaki lain masih terus berlanjut. Padahal aku ingin segera berhenti.
Suatu malam, aku diajak adik ipar perempuanku pergi ke pasar malam di lapangan desa. Aku terpaksa ikut karena anakku merajuk.
Tetapi aku berangkat tidak bersama mereka. Aku harus menunggu suamiku terlebih dahulu. Namun, saat aku sudah menunggu ternyata suamiku langsung pergi ke Pak Kasman untuk pijat.
Terpaksa aku harus berangkat sendiri ke pasar malam.
Tiba-tiba saat aku akan berangkat, Pak Tono datang dan langsung masuk ke ruanb tamu.
“Ga ada orang ya di sini?” katanya.
“Mau apa, Pak?” jawabku, ketakutan.
Dengan gegas, dia menutup pintu rumah. Aku makin ketakutan. Apalagi saat Pak Tono berjalan ke arahku seperti ingin menerkam. Dengan sekejap saja aku sudah berada di dekapannya.
“Pak, mau apa? Jangan!”
Pak Tono langsung memeluk dan menciumi leherku. Aku meronta-ronta agar bisa lepas darinya. Tapi aku tak mampu melawan kekuatannya.
Tangannya pun mulai meremas-remas payudaraku. Bahkan dia menggendongku dan menidurkanku di kursi ruang tamu. Ia pun langsung menindihku.
“Sudahlah. Ga usah melawan. Nikmati aja.” Katanya. “Atau aku laporkan sama suamimu?”
Begitu mendengar ucapannya, aku langsung terdiam. Dia mulai mengancam dan tak mungkin aku melawan. Maka kini aku hanya bisa pasrah. Dan Pak Tono pun mulai leluasa.
“Ayo masuk ke kamarmu.”
“Pak, aku takut ketahuan. Jangan.”
“Ayo!”
Pak Tono tak menghiraukan permintaanku. Dia langsung mengajakku masuk ke dalam kamar dan dia juga langsung mengunci pintunya.
“Pak, nanti suamiku datang bagaimana?”
“Biar saja. Sekalian dia tahu kelakuan istrinya.”
Hatiku terasa sakit mendengar ucapan itu. Ya, aku sudah mengkhianati suamiku.
Kulihat Pak Tono langsung menelanjangi dirinya sendiri. Penisnya sudah berdiri tegak.
“Ayo, buka bajumu.” Katanya padaku.
Dengan ragu-ragu aku pun mulai melucuti pakaianku sampai akhirnya aku juga bertelanjang.
“Wah, kamu makin seksi saja ya.”
Pak Tono langsung menghampiriku. Dia mulai menciumi leher dan bibirku. Aku tak kuasa menolak. Maka kubiarkan saja dia berbuat apapun. Tangannya juga bermain nakal di selangkanganku dan membuatku basah.
Lalu, aku dibaringkan di atas tempat tidur. Kakiku mulai dibuka lebar dan wajahnya langsung tenggelam di selangkanganku.
“Pak… Ah…” Aku mendesah menikmati jilatan Pak Tono.
Ia memainkan lidahnya di klitorisku membuatku beberapa kali menggelinjang. Enak rasanya. Aku yakin vaginaku sudah sangat basah.
Karena tak tahan, aku meminta Pak Tono segera menyetubuhiku. “Pak… ga kuat.. masukkan…”
Mendengar itu, Pak Tono langsung berdiri dan mengarahkan penisnya ke vaginaku.
“Ah…” Sekali dorong langsung masuk ke dalam vaginaku.
Pak Tono pun segera menggenjot. Ia memaju-mundurkan penisnga di vaginaku. Aku mulai menikmati permainannya. Kini aku sudah lupa semuanya dan yang aku mau hanyalah kenikmatan persenggamaan.
“Enak mana sama suamimu?” tanya Pak Tono.
“Ah… sama…”
“Bohong…”
“Enak mana?"
“Sa…ma.. pak.”
“Ah, kamu bohong…” kata Pak Tono sambil menghentikan genjotannya.
“Ayo..enak mana?”
“Lanjut…pakk…”
“Jawab dulu…”
“E…nakk…bapak…”
“Nah, gitu dong…”
Pak Tono pun menggenjot kembali sampai akhirnya kami sama-sama meraih puncak persenggamaan. Kami sama-sama orgasme. Pak Tono lagi-lagi menumpahkan spermanya di dalam vaginaku. Badan kami jadi berkeringat. Pak Tono langsung bangun dan mengelap penisnya. Dia tanpa melihat-lihat kain yang digunakan mengelap adalah kaos milik Mas Iwan.
“Seru ya ML di ranjang orang. Sama istrinya pula.” Katanya sambil mengenakan kembali pakaiannya.
“Aku balik dulu, Sayang. Terima kasih.”
Pak Tono keluar rumah meninggalkanku sendirian. Setelah agak lama aku segera mengenakan pakaianku lagi. Takut suamiku datang. Aku pun batal untuk menyusul anakku karena tertidur akibat kelelahan.
Keesokan harinya, aku dikejutkan dengan pertanyaan Mas Iwan padaku tentang Pak Kasman.
“Dek, semalam waktu mas berangkat pijat, mas ketemu sama orang di perjalanan. Mas bilang tujuan mas ke mana. Lalu, orang itu agak terkejut. Mas tanya memangnya kenapa. Dan, dia pun bercerita, dek.”
“Cerita apa, Mas?”
“Kata orang itu, jangan sekali-kali perempuan pijat sama Pak Kasman.”
“Kenapa?”
“Pasti diajak bersenggama, dek.”
Deg. Aku langsung terdiam.
“Setiap perempuan ke sana, pasti diajak berhubungan badan. Bener, dek?”
Astaga. Kenapa Mas Iwan menanyakan ini? Apa yang harus kukatakan.
“Eh…ngga kok, Mas. Bohong itu.”
“Jujur, Sayang.”
Aku makin gugup. Apa aku harus jujur pada suamiku? Aku belum siap.
“Tidak, Mas. Hanya saja…”
“Hanya apa?”
“Pak Kasman memang mengajakku bercinta. Tapi aku menolak. Hanya saja, dia menyentuh kemaluanku, Mas. Aku minta maaf.”
Suamiku sempat terdiam sejenak. “ Cuma itu? Apa dia juga menelanjangimu?”
“Tidak, Mas. Aku masih mengenakan CD-ku. Dia hanya meminta menggesek-gesekan penisnya ke vaginaku.”
“Kamu mau?”
Aku mengangguk. “Maaf, Mas. Tapi aku tidak sampai melakukan yang lebih dari itu.”
“Tidak apa. Yang penting aku tahu kebenarannya. Kita jangan pijat ke sana lagi.”
Hatiku sedikit lega mendengar jawaban Mas Iwan meskipun sebetulnya aku sudah membohonginya lagi. Aku langsung memeluk suamiku dan menangis.
***
Sudah beberapa hari aku tidak bertemu dengan Ahmad. Ada sedikit rasa kangen di hatiku padanya. Tapi aku tidak mungkin mencarinya. Aku pun hanya bisa menunggu agar aku beruntung bisa bertemu dengannya.
Aku memang bertemu dengannya. Tapi tidak dalam situasi yang tepat. Dia memang datang ke rumah. Tapi hanya untuk menjemput ibu. Ibu memintanya untuk mengantar ke kota. Aku tahu bahwa itu cuma alasan. Sebenarnya mereka ingin bersenggama saja.
Selama mereka pergi, aku terus kepikiran. Apa yang mereka berdua lakukan? Apakah ibu sudah meneguk kepuasan dari Ahmad. Ah, kenapa aku berpikiran seperti itu?
Suatu hari suamiku memiliki rencana untuk berlibur bersama keluarga di sini. Suamiku mengajak pergi ke kota sebelah dan menyewa vila di sana. Ibuku dan yang lainnya setuju.
Kami semua berangkat ke kota sebelah. Vila yang kami tempati lumayan besar. Bahkan ada kolam renang di dalamnya. Aku mendapat kamar dengan suamiku. Mas Baim dan istrinya, ibu dan adik iparku yang perempuan. Kamarku punya pemandangan ke kolam renang. Jadi, aku bisa langsung mengamati secara langsung.
Sesampainya di sana, anak-anak langsung berenang. Aku menemani anakku juga. Sementara para pria beristirahat di kamar masing-masing.
Malam harinya, kami membuat acara kecil2an di taman tepi kolam. Kami membakar ikan, jagung untuk disantap bersama. Setelah itu, kami kelelahan dan langsung tertidur lelap.
Sekitar pukul 01.00 dini hari, aku terbangun ingin membuang air kecil. Kamar mandi hanya ada satu. Terpaksa aku keluar kamar. Saat akan masuk ke dalam kamar, aku terkejut karena di sana berdiri Mas Baim yang separuh telanjang dan sedang membuang air kecil.
“Mas Baim….” Aku langsung menutup mataku. Sementara Mas Baim berusaha menutupi selangkangannya. Tapi aku sudah sedikit melihatnya.
“Maaf…”
Aku langsung menunggu di luar kamar mandi. Saat keluar, Mas Baim ternyata hanya mengenakan CD dan kaos singlet saja.
“Maaf ya. Aku tidak bermaksud…”
“Gapapa kok, Mas. Aku juga masuk yang ngga lihat-lihat.”
Sesekali aku melirik gundukan di selangkangannya. Mas Baim pun berlalu kembali ke kamar.
Semenjak kejadian itu, Mas Baim kulihat semakin nakal padaku. Padahal sebelumnya tidak. Ia mulai dengan tersenyum nakal padaku. Kemudian, ia ganti dengan melihatkan gerakan mengelus-elus penisnya di hadapanku. Tentu saja itu dilakukan dengan cara diam-diam. Pernah juga saat di dapur vila, saat tak ada siapa-siapa, ia berani meremas pantatku, memelukku dari belakang, bahkan sampai meremas kedua payudaraku. Entah kenapa aku tidak merasa risih dengan hal itu.
Suatu malam, ia mengirim pesan padaku, “Aku baru sadar bahwa kau sangat cantik.” Tapi tidak aku balas. Meski dalam hati aku merasa senang.
Pernah saat berada di dapur, Mas Baim langsung memelukku dan membisikkan sesuatu padaku, “Kau sudah pernah melihat milikku. Aku juga ingin melihat milikmu.”
“Jangan, Mas. Nanti ada orang yang melihat.”
“Tenang saja.”
“Mas, ini ngga boleh.”
Tapi Mas Baim tidak peduli. Ia membalikkan tubuhku dan mengangkat rokku. Kemudian menurunkan CD-ku hingga lutut.
“Indah sekali,” kata Mas Baim begitu tangannya mengentuh vaginaku. “Apa aku boleh menikmatinya?”
Aku tidak menjawab. Tapi Mas Baim malah tersenyum nakal kepadaku. Dia pun pergi berlalu sebelum memberiku satu kecupan di bibir. Aku segera merapikan pakaianku takut ada yang tiba-tiba datang.
Pernah juga satu malam, HP-ku berbunyi. Rupanya Mas Baim yang menelpon. Aku angkat.
“Halo,”
“Lihat ke arah kolam.”
Ada apa, pikirku.
Aku menoleh ke arah suamiku terlelap. Saat aku membuka jendela, kulihat Mas Baim sedang berada di sana. Yang membuatku terkejut adalah Mas Baim dalam keadaan telanjang. Dan apa yang dia lakukan….dia sedang bermasturbasi. Ia mengocok penisnya sendiri dengan tangan kirinya.
Kemudian dalam telpon Mas Baim berucap, “Aku butuh bantuan untuk menuntaskan ini. Keluarlah.”
Dadaku berdegup. Tidak menyangka.
Aku kembali ke tempat tidur. Namun tak melanjutkan tidurku. Aku seperti tersihir. Aku ingin menerima tawaran Mas Baim. Tapi, aku takut. Akhirnya aku mengirim pesan padanya, “Kutunggu di dapur.”
Aku segera ke dapur. Tak lama setelah itu Mas Baim datang. Ia masih sama: bertelanjang dengan penis menegang. Mas Baim menghampiriku dan langsung mendaratkan ciuman di mulutku. Aku, tanpa ragu, langsung mengimbanginya. Tanganku juga dengan sigap meraih penisnya.
Aku mulai mengocoknya. Mas Baim mencoba meraih bajuku untuk dibuka, tetapi aku mencegahnya.
“Jangan. Aku tidak berani untuk itu.”
Mas Baim tidak memaksa. Ia menikmati saja permainan tanganku di selangkangannya. Penis Mas Baim lumayan besar. Lebih besar dari milik suamiku. Tetapi sama dengan punya Ahmad.
“Kulum.” Kata Mas Baim. Aku menolak.
Aku terus mengocok. Mas Baim tampak menikmatinya. Sampai akhirnya, penisnya berkedut-kedut dan muncratlah spermanya. Banyak sekali. Beberapa ada yang mengenai tanganku. Mas Baim tampak puas sekali.
Semenjak kejadian di vila itu, Mas Baim berusaha untuk mendapatkanku. Berulang kali ia memaksa agar bisa bercinta denganku. Dan tentu saja aku menolak karena belum punya cukup keberanian untuk itu.
Namun hal-hal kecil seperti saat di vila tetap Mas Baim lakukan padaku. Misalnya, ia mengirimiku foto penisnya dan disertai ajakan untuk bercinta. Bahkan ia juga memintaku untuk mengirimkan foto vaginaku. Awalnya aku menolak, tetapi karena rayuannya aku pun luluh. Kukirimkan foto kemaluanku pada Mas Baim.
“Ah, sudah terbayang betapa lezatnya vaginamu, Sayang.” Begitu respon dari Mas Baim. Aku tersenyum sendiri.
Sampai akhirnya, sehari sebelum kembali ke kota, Mas Baim mampu merayuku dan mengagahiku.
Berawal ketika suamiku pulang larut malam. Aku tidak tahu ia pergi ke mana. Ia hanya pamit dan mengatakan akan pulang sangat larut. Malam itu juga aku lupa mengunci pintu kamarku.
Tiba-tiba saja, Mas Baim masuk. Saat melihat diriku terkejut, ia menaruh telunjuknya di depan bibir. Isyarat agar aku tak bersuara. Entah kenapa, aku hanya diam saja menuruti ucapan Mas Baim.
“Mas, ngapain?” tanyaku pelan.
“Nekat.”
“Kalo suamiku pulang gimana?”
“Tenang. Dia pulang besok.”
“Kalo ada yang lihat gimana?”
“Tenang saja.”
Mas Baim langsung menuju ke arahku.
“Sudah lama aku mendambakan momen ini, Rina.”
Ia langsung meraih pinggangku dan mendekatkan pada tubuhnya. Wajahnya juga langsung menyusuri wajahku. Bibirnya langsung menciumi bibirku.
Aku yang seolah tersihir, menerima saja semua perlakuan Mas Baim padaku. Aku meladeni ciumannya. Bahkan kubiarkan saat tangan kanannya masuk ke dalam kaos yang kukenakan. Ia langsung meremas payudaraku.
Tanpa kurasa, tanganku pun meraba-raba penis Mas Baim yang berada di balik celananya. Sudah sangat tegang.
“Buka.” Kini justru aku yang terlihat lebih nafsu.
Mas Baim menuruti permintaanku. Ia mulai melucuti pakaiannya satu per satu sampai telanjang bulat. Aku tak mau tinggal diam, kubuka juga semua pakaianku. Kini kami berdua sudah sama-sama tak mengenakan apapun.
Aku langsung meraih penis Mas Baim kembali. Mas Baim mulai melahap kedua payudaraku satu per satu. Sesekali ciumannya naik ke leher.
“Jangan dimerahin,” kataku saat tahu Mas Baim ingin menyupang di sekitar payudaraku.
Kini Mas Baim menidurkanku di tempat tidur. Ia langsung membuka pahaku lebar-lebar. Ia menyentuh dengan jemarinya sebelum mulutnya mendarat di bibir vaginaku.
Ah. Mas Baim mulai melakukan jilatan-jilatan kecil di vaginaku. Lidahnya perlahan menusuk-nusuk dan bermain dj atas klitorisku.
“Ah...ah...ah...” Aku mendesah. Namun kutahan agar tak timbul suara keras.
Jilatan Mas Baim kurasakan semakin nikmat. Bahkan sesekali ia seperti menyedot dan menggigit kecil klitorisku. Aku jadi semakin menggelinjang.
“Mas...ah....ah...” Desahku sambil memegangi kepala Mas Baim agar lebih terbenam di selangkangaku.
Saat aku hendak mencapai puncak, Mas Baim bangkit dan memintaku untuk bangun.
“Sekarang kulum.” Katanya.
Aku menerima permintaanya. Kini mulai kumasukkan penis Mas Baim ke mulutku. Kukulum perlahan. Kujilati seluruh batangnya termasuk juga buah zakarnya. Kumajumundurkan kepalaku agar penisnya bisa keluar masuk di mulutku. Kumainkam pula lidahku di ujung penisnya.
Mas Baim lalu kembali menidurkanku di kasur. Sepertinya ia ingin segera menggagahiku. Pahaku ia buka dan Mas Baim langsung mengarahkan penisnya ke vaginaku.
Karena sudah basah, Mas Baim dengan mudah memasukkannya dalam vaginaku. Ah, vaginaku terasa penuh. Mas Baim langsung melakukan gerakan menggenjot.
“Ah...ah...ah...” Aku mulai merasakan enak di vaginaku.
Mas Baim terus saja menggenjot dan membuat napasnya memburu. Aku memeluk Mas Baim seolah ia adalah suamiku.
“Ah...mas...e..nakk...tee...ruusss...”
Mas Baim menaikkan kakiku ke atas bahunya membuat vaginaku makin menjepit penis Mas Baim. Ia semakin kuat menggenjotku tanpa ampun.
“Mas...ahh....” Aku sampai.
Penis Mas Baim terus keluar masuk di vaginaku. Vaginaku terasa seperti diaduk-aduk. Sampai akhirnya Mas Baim mencapai puncaknya.
“Aahh.......” Mas Baim melenguh panjang. Penisnya berkedut-kedut di dalam vaginaku bersamaan dengan spermanya yang tersembur.
Hangat. Lalu kami berdua berpelukan saling berbagi kenikmatan dan kelelahan. Aku segera membersihkan vaginaku dari cairan cinta kami.
Mas Baim rebah di sebelahku. Aku memeluknya. Penampakan kami seperti sepasang suami yang beru selesai bercinta.
“Aku minta maaf.” Kataku.
“Untuk apa?”
“Aku telah meminta kenikmatan dari suami orang.”
“Sudahlah. Aku juga begitu.”
“Tapi aku senang.” Kataku. “Kau hebat.”
“Bukan aku yang hebat.”
“Terus?”
Mas Baim mengarahkan tanganku ke penisnya. “Ini,” katanya. Lalu aku meremasnya dengan gemas.
“Aku ingin tidur di sini.”
“Hah? Kau gila, Mas? Kalo suamiku datang gimana?”
“Semuanya sudah kuatur. Dia baru kembali besok pagi. Jadi tenang saja.”
Maka kubiarkan saja Mas Baim tidur di kamarku tanpa takut suamiku akan kembali. Kami berdua tidur dengan tetap saling berpelukan dan bertelanjang.
Pagi harinya, aku terbangun dan kulihat Mas Baim tertidur pulas.
Aku pun kembali ke kota. Ada perasaan bahagia bahwa aku tidak akan lagi menjadi budak seks para lelaki-lelaki di sekitarku. Tapi, harus kuakui, aku juga sedih karena harus meninggalkan Mas Baim, Kakak iparku. Entah kenapa, justru percintaan dengan Mas Baim yang paling berkesan untukku.
Semalam ia benar tidur di kamarku menemani aku hingga terbangun pagi hari. Aku sempat khawatir begitu membuka mata, takut suamiku sudah pulang. Tapi syukurlah semuanya masih aman. Aku bangunkan Mas Baim sebelum suamiku pulang. Ketika aku membangunkannya, Mas Baim malah meminta jatah lagi dariku. Kami kembali bercinta meski aku awalnya menolak karena takut suamiku pulang tiba-tiba.
Pagi itu Mas Baim kembali menumpahkan spermanya di vaginaku. Ah. Hangat sekali. Ingin rasanya penisnya terus menancap di vaginaku. Sembari kami terus berpelukan.
Suamiku datang agak siangg. Setelah dia bersiap-siap, kami langsung persiapan untuk pulang. Kutanyakan pada suamiku apakah dia tidak lelah. Suamiku bilang bahwa ia sudah beristirahat.
Saat di perjalanan pulang, tiba-tiba saja Mas Baim mengirimiku pesan.
“Aku bakal kangen.”
Tapi aku tidak menjawab. Kubiarkan saja. Tapi tak lama kemudian, dia mengirim pesan gambar. Kubuka dan ternyata fotonya sedang telanjang. Astaga. Beruntung Mas Iwan tidak melihatnya.
Foto itu menampakkan Mas Baim yang sedang berdiri tanpa memakai baju apapun. Penisnya tegak sempurna dengan sekeliling ditumbuhi bulu yang lebat. Ah. Aku seketika merindukannya.
Kami pun sampai di rumah. Cukup lama aku berada di kampung dan membuatku rindu rumahku. Kondisi rumah sendiri, agak sedikit berdebu karena tak pernah dibersihkan. Setelah membersihkan kamarku, aku, suamiku, dan anakku langsung istirahat karena telah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan.
Hari-hariku di rumah kini telah berbeda. Setelah beberapa hari menjalani rutinitas di kampung, aku kembali dipaksa menjalani rutinitas seperti semula: bangun pagi, menyiapkan sarapan, memandikan anak, menyiapkan pakaian suami, hingga menemani mereka sarapan. Setelah mereka berangkat, otomatis aku sendirian saja di rumah. Yang kulakukan tak lain menonton tv, baca buku, berselancar di dunia maya, selain itu tak ada.
Di hari-hariku yang seperti itu, aku mudah sekali dilanda rindu dengan suasana kampung, apalagi Mas Baim. Astaga. Ada apa denganku ini? Walaupun sebetulnya, suamiku masih tetap memberiku nafkah batin sebagai kewajibannya.
Mas Baim sendiri kadang masih menghubungiku. Terakhir, seperti biasa, dia mengirimiku foto vulgar. Dia memotret penisnya yang sedang bangun. Ya, aku tau tujuannya. Dia rindu bercinta denganku. Pernah juga dia mengirimiku video saat dirinya mengocok sampai tumpah spermanya.
“Kangen.” Kata pesannya, suatu kali.
“Sini.” Balasaku.
“Kapan ke sini lagi?”
“Ga tau.”
“Pengin nih.”
“Ih, genit. Kan udah ada istri di sana.”
“Enakan sama kamu.”
Ada perasaan bangga saat Mas Baim mengucap hal itu. Apakah itu benar?
“Iri sama Si Iwan. Bisa main tiap hari sama kamu.”
“Yeee....kan suami. Wajarlah.”
“Enakan mana?”
“Apanya?”
“Ininya.” Dia mengirim foto selangkangannya.
“Hmmm. Sama.”
“Bohong.”
Tentu saja. Mas Baim lebih bisa memuaskanku.
“Besar mana?”
“Sama.”
“Bohong lagi.”
Kali ini, aku tak berbohong. Ukuran penisnya tak jauh berbeda dengan Mas Iwan, suamiku. Selama aku bercinta dengan lelaki, milik Pak Kasman, tukang pijit, yang memiliki ukuran paling besar.
***
Suatu hari, kompleks perumahanku kemalingan beberapa kali di beberapa rumah. Bahkan pernah di samping rumah. Untuk meningkatkan kewaspadaan, kompleks perumahanku menambah personil keamana. Yang semula 2 orang, menambah jumlah menjadi 4 orang. Dari tambah 2 orang itu, yang menarii perhatianku adalah Pak Restu. Dia punya penampilan tegap, kumis yang tidak terlalu tebal, kulitnya agak gelap, dan badan yang berotot. Dia juga sangat ramah. Setiap kali berkeliling kompleks, pasti selalu menyapa dan menyakan keadaannya. Yah, mungkin itu sudah masuk dalam prosedurnya. Tapi aku merasa ada yang berbeda pada dirinya.
Kekagumanku nampaknya tak hanya dirasakan oleh diriku saja. Tetapi, beberapa ibu-ibu komplek. Aku mengetahuinya saat sedang asyik mengobrol pada saat selesai arisan.
“Bu, tau sama satpam baru? Oke banget ya, bu?”
“Pak Restu itu kan?”
“Iya. Lihat bodinya. Duh, jadi pengin manjat gitu.”
Aku hanya terdiam mendengar obrolan para ibu-ibu.
“Kalo bodinya segitu, gimana isinya ya?”
“Sama kaya pentungannya kali, bu.”
Perkataan itu disambut oleh tawa mereka semua. Aku juga pura-pura ikut menertawakannya. Padahal, aku mengakui, aku kurang suka pada mereka yang juga menaruh perhatian pada Pak Restu. Ah, apa-apaan aku ini!
Kegilaanku untuk berhubungan dengan lelaki lain semakin tak terbendung. Kejadian-kejadian di kampung membuat diriku semakin haus akan belaian lelaki lain, selain suamiku. Hal itu mengakibatkan aku mendambakan belaian dari Pak Restu. Yah, aku mengharapkan untuk bisa bercinta dengan dirinya. Tapi, itu tak gampang dilakukan. Lagipula aku harus tetap menjaga citraku.
Lalu, suatu ketika, kabar yang mengejutkan datang dari tetanggaku, Bu Gani. Bu Gani berumur hampir 50 tahun. Tapi karena sering merawat tubuh, ia masih bisa dikatakan bohay dan cantik. Suaminya, Pak Gani, sering pergi ke luar negeri karena profesinya. Sehingga membuat Bu Gani sering sendirian.
Bu Gani tiba-tiba saja membuat pengakuan pada kami bahwa dirinya sudah bercinta dengan Pak Gani. Memang, beberapa dari kami tak segan untuk membuka rahasia. Dan kami semua bisa menjaganya. Tetapi, aku sendiri belum berani melakukan hal itu.
Bu Gani bercerita:
Suatu malam, Bu Gani baru saja datang dari rumah temannya. Saat memasuki gerbang, ia melihat Pak Restu sedang bediri di depan rumahnya.
“Ada apa, Pak?” tanya Bu Gani.
“Ngga, Bu. Cuma ngecek aja.”
“Oh. Saya kira cari saya, Pak.” Bu Gani menggoda.
“Ibu baru datang?”
“Iya nih. Dari rumah temen. Capek banget.”
“Ya sudah. Selamat istirahat, Bu.” Pak Restu berlalu untuk kembali berkeliling.
Bu Gani langsung terbersit pikiran licik. Ia pura-pura menyuruh Pak Restu membelikan makanan untuknya.
“Pak Restu!”
“Iya, bu.”
“Bisa minta tolong? Belikan saya makan ya. Saya lapar. Barusan lupa mampir untuk beli.”
“Baik, Bu. Tapi kalau boleh saya selesaikan berkeliling dulu.”
“Oh ya, tidak apa-apa. Beli dua ya.”
Bu Gani berlalu setelah menyerahkan sejumlah uang. Pak Restu juga berlalu.
Setelah menunggu lebih kurang 30 menit, akhirnya Pak Restu datang. Ia mengetuk pintu. Ketika pintu dibuka, betapa terkejutnya Pak Restu saat melihat Bu Gani. Bu Gani membuka pintu hanya mengenakan handuk yang dililitkan di badannya. Ia agak tercengang sejenak sebelum Bu Gani menegurnya.
“Pak Restu...”
“Eh iya, Bu. Ini makanannya. Maaf.”
“Terima kasih. Ayo masuk.”
“Saya balik, Bu.”
“Ah ayolah. Temani saya makan. Kamu kan udah beli dua bungkus.”
“Tapi, Bu...”
“Ayo, Bu.”
Pak Restu tak bisa menolak. Ia masuk dan langsung mengikuti Bu Gani setelah menutup pintu. Bu Gani menyuruhnya duduk di meja. Sementar Bu Gani berganti pakaian. Bu Gani memilih menggunakan daster. Ia sengaja memilih yang berbahan tipis.
Mareka akhirnya mulai makan. Pak Restu agak canggung dengan situasi seperti. Tapi Bu Gani bisa mencarikan suasana. Bu Gani mengajaknya bicara tentang apa saja. Mulai dari kerjaan sampai rumah tangga Pak Restu. Ternyata Pak Restu memiliki istri dan 3 anak. Mereka berada di kota lain. Ke kotaku, Pak Restu merantau.
“Sering kangan ya, Pak?”
“Iya, Bu. Sama anak-anak.”
“Sama istri?”
“Kangen juga, Bu.”
“Saya juga sering ditinggal suami, Pak.”
“Nasib kita sama, Bu.”
Mendengar hal itu, Bu Gani makin berani untuk bertindak ke tahap selanjutnya.
“Kalo kangen istri, Pak Restu gimana? Kalo aku sih, biasanya telpon. Video call.”
“Ya saya bisanya cuma telpon, Bu.”
“Cuma kalo lagi pengin aja ya, Pak, ga bisa lewat telpon.” Goda Bu Gani.
“Ah, ibu.”
“Kenapa, Pak? Kan bener?”
“Iya, Bu.”
Selesai makan, Bu Gani meminta Pak Restu untuk membantu mencuci piring. Mereka berdua berjalan ke dapur.
“Makasih ya, Pak.” Kata Bu Gani.
“Kenapa, Bu?”
“Sudah nemenin makan.”
“Sama-sama, Bu.”
“Istri kamu beruntung. Kamu baik. Dan... ganteng pula.”
“Ah, ibu. Ada-ada aja.”
“Beneran. Banyak ibu-ibu kompleks yang suka sama kamu.”
“Kok suka sama saya sih?” jawabnya sambil tertawa.
“Termasuk saya.”
Pak Restu terkejut. Ia diam tak menjawab.
Tiba-tiba saja, tangan Bu Gani menuju ke selangkangan Pak Gani. Ia mulai mengelus-elus batangnya. Pak Restu tak mencoba untuk menolak. Ia hanya diam saja. Lama kelamaan dirasakannya batang itu mengeras. Dan saat itu pula, Bu Gani berani untuk membuka celana Pak Restu. Setelah terbuka, tampak bagian bawah Pak Restu hanya mengenakan celana dalam berwarna abu-abu. Kini makin tampak jelas tonjolan di selangkangannya.
Bu Gani juga menurukan CD-nya hingga Pak Restu telanjang di bagian bawahnya. Terpampanglah batang yang sudah berdiri dengan tegak. Bu Gani terpukau melihatnya. Sungguh ukurannya luar biasa. Sangat jauh berbeda dengan milik Pak Gani, suaminya. Mungkin berukuran hampir 22 cm dan dihiasi dengan urat-urat yang kekar. Bulunya lebat di bagian pangkalnya. Langsung saja Bu Gani menggenggamnya. Hangat.
Bu Gani langsung menarik tangan Pak Restu menuju ke kamar. Di dalam kamar, sudah terbayang di depan mata bahwa sebentar lagi ia akan meneguk kepuasan dari satpam kekar ini.
Bu Gani terbangun karena cahaya matahari yang menembus kaca jendela kamar menerpan wajahnya. Dirasakannya tubuhnya masih telanjang tanpa sehelai benang pun. Badannya juga terasa agak remuk. 'Pergulatan' semalam membuat dirinya bangun sesiang itu.
Masih terbayang betapa nikmatnya percintaan dengan Pak Restu. Betapa gagahnya pula batang milik Pak Restu mengoyak vaginanya.
Ketika semalam Bu Gani menarik Pak Restu menuju kamarnya, begitu tiba di sana, Bu Gani langsung mencium bibir Pak Restu. Tangannya langsung terkalung di leher satpam kompleks tersebut. Pak Restu juga langsung menerima serangan tersebut. Maka terjadilah adegan ciuman yang panas. Mereka saling melumat dan menghisap. Tangan-tangan mereka juga pada akhirnya bergerak saling meraba. Tangan Bu Gani turun ke selangkangan Pak Restu. Sedangkan Pak Restu mulai meremas payudara Bu Gani dari balik dasternya. Tangan Bu Gani langsung melakukan gerakan mengocok karena penis Pak Restu sudah tegang.
Bu Gani kemudian berinisiatif untuk membuka baju milik lawannya itu hingga akhirnya Pak Restu telanjang bulat. Astaga, pikir Bu Gani. Bagus betul badan Pak Restu. Perutnya sixpack. Dadanya ditumbuhi bulu-bulu meski tidak banyak. Lengannya kekar. Pahanya kokoh dan ditumbuhi bulu-bulu yang terus sampai betis. Pemadangan itu makin membuat Bu Gani tak tahan untuk segera menuntaskan nafsu.
Pak Restu juga tak mau kalah, ia lucuti semua pakaian Bu Gani sampai Bu Gani juga tak mengenakan apa-apa. Dipandanginya tubuh Bu Gani. Rupanya di umur segitu, tubuhnya masih bagus. Meski payudaranya sedikit kendor. Skendor. Indah sekali. Bulu-bulunya tercukur rapi.
Tiba-tiba saja Bu Gani menarik Pak Restu ke tempat tidur. Dimintanya ia menindih dirinya sambil berciuman. Maka kemudian mereka kembali tenggelam dalam ciuman yang panas. Dirasakannya, lewat tangan Pak Restu, kemaluan Bu Gani sudah mulai basah. Desahan-desahan yang dikeluarkan Bu Gani juga menunjukkan bahwa ia sudah sangat bernafsu.
“Pak....masukkkkiiinnn...” pinta Bu Gani.
Pak Restu kemudian, tanpa basa-basi, mengarahkan penisnya ke vagina Bu Gani. Tampaknya Pak Restu juga sudah tidak tahan. Saat ujung kepala penisnya menyentuh bibir vagina, seperti ada sengatan listrik yang menyerang Bu Gani. Apalagi saat Pak Restu mulai mendorongnya masuk. Bu Gani otomatis mendesah, “Ah...”
Meski penis Pak Restu terbilang besar, tetapi Bu Gani merasa tidak ada kesulitan saat hendak masuk. Bu Gani berpikir, mungkin karena sudah sedikit basah atau memang dirinya sudah banyak menikmati jenis batang lelaki. Yang jelas, Bu Gani merasakan nikmat yang luar biasa penis itu telah memenuhi rongga vaginanya. Terasa sesak.
Pak Restu kemudian mulai melakukan gerakan maju mundur. Penisnya jadi keluar masuk di vagina Bu Gani. Semakin lama semakin cepat gerakannya.
“Ah...ah...ah...” Bu Gani mendesah seirama dengan dorongan penis Pak Restu.
Payudara Bu Gani tak luput dari sasaran. Mulut Pak Restu melahap keduanya secara bergantian. Sesekali ia juga melakukan ciuman di bibir dan leher Bu Gani.
Semakin lama, gerakan itu semakin cepat. Desahan yang keluar juga semakin keras. Bu Gani hanya bisa memejamkan mata menahan nikmat yang dirasakan.
Kaki Bu Gani melingkar di pinggang Pak Restu, menahan agar Pak Restu terus menggenjotnya bahkan semakin dalam.
“Pak...terussss...ahh....”
Pak Restu tak meracau meski terdengar desahannya walau tak keras. Ia seolah fokus untuk memuaskan lawannya. Hingga akhirnya Bu Gani menegang dan ia merasa sampai di puncaknya. Nikmat yang luar biasa. Kaki yang tadi mengalungi pinggang Pak Restu makin mendorong tubuh satpam itu untuk semakin menghujamkan senjatanya ke vaginanya.
Pak Restu lalu mencabut penisnya yang tenggelam di liang kenikmatan Bu Gani. Bu Gani bertanya kenapa dicabut, Pak Restu menjawab, “Istirahat dulu.” Pak Restu keluar kamar.
Tak lama, tenaga Bu Gani sudah kembali. Ia menghampiri Pak Restu yang terlihat duduk di ruang tamu sambil merokok. Langsung saja, Bu Gani duduk di pangkuan Pak Restu. Diambil rokok di tangan Pak Restu, lalu dibuangnya. Bu Gani langsung saja mencium bibir Pak Restu. Bau rokok. Tapi hal itu justru membuat Bu Gani kian bernafsu.
Bu Gani merasakan ada yang bergerak di vaginanya. Ah, rupanya batang Pak Restu kembali menegang. Bu Gani mengangkat tubuhnya kemudian diarahkannya penis Pak Restu menuju vaginanya.
Bles. Masuk semuanya.
Kini ganti Bu Gani yang aktif. Ia bergerak turun naik agar penis lawannya keluar masuk. Sementara Pak Restu hanya diam sambil memainkan payudara Bu Gani. Sesekali Bu Gani melakukan goyangan di penis Pak Restu. Hal ini membuat Pak Restu merem melek.
“Ah...ah...ah...” desah satpam tersebut.
Cukup lama gerakan bercinta sambil duduk, lalu Pak Restu bangkit sambil menggendong Bu Gani. Ah, kuat sekali lelaki ini, pikir Bu Gani. Suaminya tak mungkin melakukannya.
Mereka kemudian bercinta sambil berdiri. Tubuh Bu Gani turun naik. Terdengar suara pantat dan pinggul yang beradu. Meraka juga saling melumat bibir. Adegan mereka kian panas.
Pak Restu kembali ke dalam kamar tanpa mengubah posisinya. Lalu direbahkannya Bu Gani di tempat tidur dan memintanya untuk menungging. Bu Gani menuruti permintaan satpam itu. Pak Restu mulai menyetubuhinya dari belakang.
“Ah...ah...ah...” Pak Restu kembali mendesah bersamaan dengan setiap gerakan keluar masuk penisnya di vagina Bu Gani.
Bu Gani merasa seperti ia akan kembali meraih puncaknya. Apalagi saat Pak Restu semakin mempercepat gerakannya.
“Terruuuss...paakkk...ceepppaattt....”
Akhirnya Bu Gani kembali meraih orgasmenya yang kedua. Ia tersungkur seperti orang bersujud karena tak kuat menahan. Tanpa diduga, Pak Restu mengganti posisi Bu Gani. Ia menelentangkan Bu Gani kemudian menaikkan kedua kaki Bu Gani ke atas bahunya. Kemudian dimasukkannya penisnya kembali. Lalu dimulailah gerakan maju mundur.
Bu Gani hanya bisa pasrah. Ia hanya bisa menikmati. Tenaganya seperti terkuras habis. Sedangkan Pak Restu masih terus saja menggenjotnya. Tak pernah ia bercinta selama ini sebelumnya dengan suaminya, atau laki-laki yang lain yang pernah tidur dengannya. Pak Restu sungguh hebat, pikir Bu Gani.
Tiba-tiba gerakan Pak Restu makin cepat dan akhirnya Bu Gani merasakan ada semprotan yang kuat di dalam vaginanya. Penis Pak Restu berkedut-kedut selama beberapa kali. Agak lama sebelum Pak Restu mencabutnya. Bu Gani merasa ada sesuatu yang mengalir di selangkangannya. Ya itu sperma Pak Restu yang terlampau banyak.
Setelah agak lama, Bu Gani melangkah ke dapur mengambil pakaian bagian bawah Pak Restu. Ia kembali ke kamar menyerahkan pakaian tersebut ke Pak Restu. Namun, sebelum menyerahkan ia mengambil CD-nya dan mengusapkannya pada vaginanya. Ia bersihkan sperma-sperma dengan CD itu. Kemudian dibersihkannya juga penis Pak Restu.
“CD sudah kotor. Biar saya cucikan. Nanti kamu ambil ke sini.”
Tentu saja, maksud Bu Gani agar ia punya kesempatan lagi besama Pak Restu.
Akhirnya Pak Restu tidak mengenakan CD. Setelah berpakain rapi, Pak Restu pamit ke Bu Gani.
“Kamu hebat.” Kata Bu Gani lalu mengecup bibirnya sekali dan bonus remasan di penisnya.
Jam menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Bu Gani langsung pergi tidur.
***
Begitulah kisah yang diceritakan Bu Gani pada kami. Aku sebetulnya tidak mau percaya. Tapi rasanya kisah itu seolah nyata sekali. Apa mungkin aku tidak menerima kenyataan itu?
“Bu, apa CD-nya sekarang masih ada di ibu?” tanya seorang ibu pada Bu Gani.
“Masih, Bu. Tinggal nunggu pemiliknya mengambil.” Jawab Bu Gani sambil tertawa-tawa.
Ah, betapa irinya aku dengan Bu Gani. Meski sudah berumur, tapi masih bisa mendapatkan kenikmatan yang luar biasa. Keinginanku untuk bercinta dengan Pak Restu kian tak terbendung. Beberapa kali aku bermimpi bercinta dengannya.
Pernah aku bermimpi bercinta dengan Pak Restu di dalam perkemahan di tengan hutan. Pernah juga kami bemimpi bercinta di dalam rumahku, bahkan saat ada suamiku. Dan yang terakhir, aku ingat mimpiku, aku bermimpi bercinta dengan Pak Restu di depan suamiku sendiri.
Saat bercinta dengan suamipun, aku tak ragu untuk membayangkan Pak Restu, sesuai gambaran dari cerita Bu Gani: dadanya, perutnya, selangkangannya.
Dan, aku tetap tak bisa mewujudkan keinginanku sampi Bu Gani menceritakan kembali percintannya kembali dengan Pak Restu. Justru hal yang tak diharapkan terjadi.
Dan tanpa diduga, aku bertemu lelaki yang pernah bercinta denganku saat di desa, hingga terjadi persetubuhan kembali
Suatu siang di hari Minggu, aku mengantar anakku pergi ke toko mainan. Dia merengek meminta mainan baru. Kebetulan ayahnya, suamiku, sedang ada pekerjaan. Jadilah aku yang mengantar.
Aku pergi dengan naik taksi online. Siang itu tokonya lumayan ramai. Mungkin karena hari Minggu, banyak anak-anak berlibur dan memilih pergi ke toko mainan. Setelah anakku selesai membeli apa yang diinginkannya, kami segera keluar toko.
Rencananya aku mau langsung pesan taksi online, tetapi anakku haus dan meminta membeli minuman. Ketika di dalam sebuah minimarket, aku melihat seseorang yang memiliki cerita denganku saat di kampung. Sepertinya ia juga melihatku.
“Wah, Bu Rina.”
“Pak Kasman. Kok di sini?”
“Saya kerja di sini.”
“Oh ya? Kerja apa?”
“Ya sesuai kemampuan saya, Bu. Pijet.”
Bayangan pergumulanku dengan Pak Kasman mendadak merasuki pikiranku. Masiu terasa pula bagaimana ia memberikan kenikmatan bagiku dulu.
“Ibu sendirian?”
“Iya. Suami lagi sibuk.”
“Naik apa?”
“Tadi naik taksi.”
“Saya antar ya, Bu.”
“Wah, ga usah, Pak. Saya naik taksi aja.”
“Jangan lah, Bu. Saya kan tetangga sekampungnya Pak Iwan. Solidaritas. Hehe.”
“Baiklah.”
Sepanjang perjalanan, kami tak banyak bicara. Baru kusadari kalau anakku sudah terlelap. Aku memperbaiki posisi duduknya di pangkuanku.
“Bu...” Pak Kasmana memulai pembicaraan. Saat saya tengah asyik bermain HP.
“Iya?”
“Saya minta maaf ya.”
“Soal apa?”
“Kejadian di rumah saya dulu.”
Saya paham apa yang ia maksud. “Sudahlah, Pak. Semuanya sudah terjadi. Lagipula, itu juga kesalahan saya.”
“Hmm. Apa Pak Iwan tahu?”
“Tidak. Tapi...dia sempat bertanya. Ya saya jawab bahwa Pak Kasman berbuat tidak senonoh. Tapi tak sampai bercinta.“
“Pak Iwan marah?”
“Tidak.”
“Jujur, Bu. Melihat wajah dan tubuh ibu, saya tak bisa berbohong bahwa saya ingin menikmatinya.”
Aku menoleh ke arahnya. Dia juga menoleh. Aku ingin segara sampai di rumah.
“Bu, ijinkan saya menikmati tubuh ibu sekali lagi.” Tangannya meraih pahaku. Aku meletakkan HP-ku di dashboard mobil. Lalu aku coba menyingkirkan tangannya, namun ia kembali lagi.
Astaga. Apakah kejadian di kampung akan terulang.
Dari paha, tangannya naik ke payudaraku. Ia mulai meremas-remas.
“Pak...jangan...”
Tiba-tiba saja, mobilnya berhenti. Kupandangi jalanan terlihat sepi. Aku tidak tahu daerah mana ini.
Pak Kasman kini sibuk memasukkan tangannya ke balik bajuku. Namun agak susah karena ada anakku sedang kupangku.
“Pak...sudah...ayo pulang!”
“Bu, saya ingin sekali lagi. Saya ketagihan.”
Pak Kasman adalah satu dari sekian lelaki yang pernah bercinta denganku yang memiliki penis paling besar. Itu didukung dengan postur tubuhnya yang tegap.
“Tapi ga mungkin di sini.”
Pak Kasman menghentikan gerakannya. “Kita cari hotel ya?”
Aku tersentak. “Tidak sekarang. Aku takut suamiku sudah pulang.”
“Pasti belum.”
“Jangan, Pak.”
Pak Kasman diam sejenak. Sebelum akhirnya, dia merelakan kemauannya.
“Baiklah. Tapi ada satu syarat.”
“Apa itu?”
“Ibu oral punya saya.”
Astaga. Dasar lelaki!
“Oke. Tapi setelah itu pulang.” Jawabku tanpa pikir panjang.
Aku memindahkan anakku ke kursi tengah agar bisa berbaring. Pak Kasman membantuku. Setelah selesai, aku langsung menuju selangkangan Pak Kasman.
Kuraih gundukan di selangkangannya. Kuremas. Rupanya sudah mulai mengeras. Kuremas-remas terus. Kemudian tanganku meraih resleting celananya. Kuturukan resleting itu agar memberi ruang bagi batang yang sedang berkembang ukurannya.
Gundukan itu dibungkus CD berwarna merah maroon. Aku meminta Pak Kasman menurunkan celananya beserta CD-nya juga. Maka mencuatlah sesuatu yang pernah mengaduk-aduk vaginaku dulu.
Kugenggam dan mulai mengocoknya. Pak Kasman tidak diam, tangannya meraih payudaraku. Meremasnya. Aku tidak lagi khawatir dengan keadaan di luar, bagaimana jika orang-orang melihat kami.
Kuterus mengocok penis Pak Kasman. Penis itu sudah tampak tegang. Aku pun segera menurunkan kepalaku. Mulutku membuka dan langsung melahap batang kejantanannya yang besar itu.
Tangan Pak Kasman masih di payudaraku. Kudengar ia mulai mendesah, menikmati kulumanku di penisnya.
Kukulum penis Pak Kasman. Penis itu terlalu besar hingga mulutku tak dapat menampung seluruhnya. Kesepong juga sesekali dan kujilati juga seluruh bagian batangnya bahkan buah zakarnya. Itu, kurasa, makin membuat Pak Kasman nikmat.
Tangan Pak Kasman sudah menyelinap di balik bajuku. Tangannya sudah bisa meraih payudaraku dan menyentuh putingnya secara langsung. Ia memelintirnya dan membuatku merasa geli dan enak.
Aku semakin cepat menaikturunkan kepalaku. Pak Kasman semakin kuat mendesah. Aku jadi semakin bersemangat. Tapi tak lama setelah itu, Pak Kasman menakan kepalaku agar penisnya makin terbenam di mulutku. Aku membelalak. Dan kurasakan penisnya menyemburkan sperma. Cukup banyak. Sperma itu langsung masuk ke tenggorokanku. Mau tak mau, aku menelannya.
Aku mengangkat wajahku. Kubersihkan sisa sperma Pak Kasman di lubang penisnya. Kujilati sampai bersih.
“Makasih ya, Bu. Ibu memang hebat.”
Aku diam tak menjawabnya. Aku mengambil tissue di tasku. Kubersihkan mulutku.
“Ayo pulang.”
Tanpa diduga, wajah Pak Kasman bergerak ke arahku. Kemudian ia mengecupku. Lalu ia pun melajukan mobilnya.
Saat sampai di rumah, Pak Kasman juga ikut turun dari mobil. Ia mengantarku sampai depan rumah.
Setelah Pak Kasman pulang, aku baru sadar bahwa HP-ku masih di dashboard mobilnya. Aku lupa. Bagaimana caranya aku mengambilnya?
Aku pun berpikiran untuk meminjam HP tetangga. Aku keluar rumah. Saat di luar, kulihat Pak Restu sedang berjalan. Pikiran nakalku langsung muncul. Aku memanggilnya.
"Iya, Bu?"
"Saya perlu bantuan Pak Restu, bisa ngga?"
"Insyaallah, saya bisa, Bu."
"Saya boleh pinjam HP-nya ga? HP saya ketinggalan di mobil teman. Sementara suami saya masih di luar. Saya mau pinjam untuk memastikan keberadaan HP saya."
"Oh, boleh kok, Bu."
Pak Restu langsung menyodorkan HP-nya padaku. Aku menerimanya dan mulai menghubungi nomorku.
"Halo, Pak HP saya ada di mobil bapak tadi. Tolong disimpan...... Nanti saya ambil. Alamat Bapak di mana.... Baiklah. Kapan dan di mana?..... Hah? Baiklah.... Terimakasih, Pak."
"Ini, Pak. Sudah." Kukembalikan HP milik Pak Restu. "Terimakasih."
"Sama-sama, Bu." Jawabnya sambil tersenyum kepadaku.
"Bapak dari mana?" Tanyaku.
"Hmm..ini dari rumah Bu Gani. Ambil barang."
Lalu aku teringat dengan cerita Bu Gani perihal CD Pak Restu yang disimpannya. Pak Restu pasti baru saja mengambilnya. Tapi, di mana CD itu? Disimpan di sebelah mana? Ah, apakah CD itu langsung dipakainya? Apa Pak Restu saat ke rumah Bu Gani tidak memakai CD? Sehingga ia langsung memakainya di rumah Bu Gani? Atau Bu Gani sengaja menyimpan CD baru? Setelah ia bercinta dengan Pak Restu? Astaga. Kenapa pikiranku jadi seperti ini?
"Saya permisi dulu, Bu." Pak Restu pamit dan berlalu dari hadapanku.
Kemudian, aku teringat dengan Pak Kasman. Ia mengajakku bertemu di hotel. Aku tahu rencananya. Sudah bisa kupastikan bahwa ia akan mengajakku bercinta.
Aku mesti memenuhu janjiku dengan Pak Kasman. Bersama anakku yang pergi ke sekolahnya, aku sekalian juga pergi menemui Pak Kasman. Pada suami, aku pamit pergi mencari barang. Suamiku hanya mengiyakan. Dan kukatakan pula bahwa mungkin aku tak bisa menjemput anak kita. Sebab aku juga ada rencana bertemu teman. Dan suami pun bersedia menjemputnya.
Diriku mulai menyadari bahwa sepenuhnya telah menjadi istri yang liar. Hal itu tampak dari kebohonganku pada suami di atas, dan dari caraku mempersiapkan pertemuan dengan Pak Kasman.
Aku sengaja memilih pakaian dalam yang agak seksi. Entah kenapa. Barangkali agar lawan mainku itu puas. Kukenakan stelan CD dan BH dengan warna yang senada. Warna yang kupilih berwarna putih. CD yang kukenakan adalah model g-string. Bahkan kupakai juga parfum yang tercium seksi.
Aku segera menuju hotel yang dimaksud. Hotelnya adalah hotel kelas melati. Lokasinya juga agak menjauh dari kota. Tentu saja aku tak mungkin berharap diajak di hotel berbintang. Tapi hal ini memberikan sensasi berbeda pada diriku.
Sesampainya di hotel, Pak Kasman sudah menungguku. Tanpa banyak basa-basi kami langsung menuju kamar. Aku tak mau ada orang yang tau keberadaanku di sini.
Begitu masuk kamar, Pak Kasman langsung mengunci pintu. Aku menaruh tasku di meja yang tersedia. Di kamar itu juga ada kipas angin dan sebuah televisi 21 inchi.
“Mana HP-ku?” tanyaku.
Pak Kasman langsung menyerahkannya padaku. Ternyata sudah banyak pesan. Saat aku asyik memainkan HP, tiba-tiba Pak Kasman memelukku dari belakang.
“Akhirnya aku bisa menikmati tubuh ibu lagi,” ucap Pak Kasman.
Ia mulai menciumi leherku. Ia meraih HP dan menaruhnya. Aku menurutinya. Kemudian ia mencium bibirku. Kami saling memagut. Dan tanpa terasa, aku telah berbaring dan tangan Pak Kasman sudah masuk ke dalam bajuku.
Pak Kasman lalu melucuti pakaianku satu per satu. Aku bagai kerbau yang dicucuk hidungnya: menurut begitu saja. Malahan aku justru membantu Pak Kasman agar lebih mudah.
Kini yang tersisa hanyalah g-stringku. Meski vaginaku masih tertutup, tak membuat Pak Kasman mendiamkannya. Sembari melahap payudaraku, jari-jarinya bermain liar di vaginaku. Salah satu jarinya memainkan itilku.
“Ah....ah....ah...” Aku mulai mendesah. Sesuatu yang menggelikan menjalar di selangkangan ditambah permainan lidah Pak Kasman di putingku.
Jari itu terus saja menyiksaku dengan membuat itilku sebagai bulan-bulanan. Aku makin mendesah tak keruan. Bergerak ke sana-sini dan terkadang bergetar sesekali.
Tanganku mencari apa saja yang bisa kugenggam. Tak terkecuali penis Pak Kasman yang sudah tegang. Kugenggam dan bahkan aku masuk ke dalam CD-nya.
“Pak...uuuudaaahhhh.....” kataku memohon lantaran jarinya makin membuatku tersiksa.
Pak Kasman menuruti permintaanku. Ia menghentikan jarinya. Kini ia membuka g-stringku kemudian menjadikannya untuk membersihkan vaginaku. Lalu pahaku dibula lebar-lebar. Pak Kasman kini menenggelamkan kepalanya di selangkanganku. Tak lama, kurasakan sebuah benda basah dan lunak menyentuh bibir vaginaku.
“Ah....” Aku langsung mendesah.
Lidah itu kini makin liar bergerak-gerak di vaginaku. Pak Kasman sapukan seluruh bagian lidahnya di seluruh vaginaku. Tak luput yang menjadi mainannya adalah itilku.
“Ah....ah....paakkkk....” Aku mendesah saat lidah itu bergerak-gerak naik turun di bagian itilku.
Tanganku menggenggam seprai yang mulai kisut. Aku masih saja terus mendesah. Pak Kasman masih saja bermain di vaginaku. Kadang lidahnya jugae mencoba menusuk-nusuk lubang vagina lalu memutarnya.
Aku merasa tidak tahan lagi. Permainan ini membuatku makin mendekati puncak birahiku.
“Paaaakkk....aa.....” Aku pun mencapai orgasme pertamaku. Aku jepit kepala Pak Kasman.
Pak Kasman lalu berdiri. Aku terengah-engah. Kulihat Pak Kasman membersihkan mulutnya dengan kaosnya. Lalu ia menurunkan CD-nya dan terpampanglah penisnya yang gagah. Tapi aku masih tergolek lemas.
Setelah agak lama aku beristirahat, Pak Kasman langsung bergerak lagi. Rupanya ia tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini.
Ia menindihku. Pahaku sudah dibuka. Penisnya sudah menyentuh vaginaku. Ia kini mulai menggesek-gesekkannya ke vaginaku. Aku pun mulai mendesah dan semakin lama aku meminta Pak Kasman memasukkannya.
“Pak...maassuukkkk....innn....”
Pak Kasman tanpa babibu, langsung menekan penisnya ke vaginaku. Masih terasa penuh. Butuh beberapa dorongan sampai akhirnya penis itu amblas ke dalam liang senggamaku.
Pak Kasman mulai memaju-mundurkan pantatnya agar penisnya itu keluar masuk di vaginaku. Perlahan tapi pasti rasa nikmat mulai menjalari seluruh tubuhku. Setiap dorongan penisnya membuatku mendesah.
Bibir Pak Kasman meraih bibirku dan melumatnya. Aku yang sudah dibakar nafsu, turut mengimbangi lumatannya.
Ingin aku melepaskan ciumana itu agar bisa puas mendesah, namun Pak Kasman tak mengijinkannya. Ia terus saja melumat bibirku.
Sementara penisnya masih tampak tak berkurang tenaganya menusuk-nusuk vaginaki. Justru gerakannya semakin cepat. Aku juga makin tak tahan.
“Ah....paaakkkk.....”
“Kenapa, bu?”
“Ahh.....ahh....”
“Enak?”
“Iiyyaaahh....ahh....”
Pak Kasman makin mempercepat gerakannya. Aku makin tak kuat menahan orgasmeku. Selang beberapa saat, aku merangkul tubuh Pak Kasman kuat-kuat. Pinggulku terangkat: aku kembali orgasme.
Pak Kasman lalu menarik penisnya. Aku agak kecewa ia melakukannya. Tetapi aku salah. Ternyata ia memberiku waktu untuk memulihkan tenagaku. Ia sendiri pergi ke kamar mandi. Mungkin buang air kecil.
Tak lama, ia keluar lagi dan menghampiriku. Ia tersenyum lalu kembali menindihku. Kuraskan penisnya kembali masuk ke dalam vaginaku.
“Ahh.....” desahku.
Pak Kasman langsung melakukan gerakan keluar masuk. Gerakannya langsung sangat cepat. Aku langsung segera mengimbanginya.
Gerakan itu lama kelamaan berubah menjadi sebuah goyangan yang makin membuat vaginaku terkoyak. Aku makin tidak mampu menahan kenikmatan yang datang. Aku mendesah dan meracau bergantian.
“Pakkk....eennnaakk...aahh....uuhhhh...”
Sementara Pak Kasman sendiri mendengus seirama dengan genjotannya di vaginaku. Setelah agak lama, Pak Kasman menyuruhku nungging. Aku menurutinya. Penisnya menyibak bibir vaginaku dari belakang. Rasanya penis itu makin susah masuk. Tapi semakin nikmat.
Kini kami bagai sepasang anjing berahi yang sedang kawin. Suara plok plok plok, pertemuan pantatku dan pinggul Pak Kasman, terdengar keras. Aku bergerak maju mundur mengikuti irama Pak Kasman.
Entah Pak Kasman memakai obat atau apa, tapi kekuatannya kali ini terasa lebih. Lebih dari 30 menit, Pak Kasman belum menunjukkan tanda-tanda akan sampai puncak. Aku kembali dimintanya untuk telentang sembari mengangkang. Ia kembali menindihku dan menggenjotku lagi. Aku keenakan dan makin tak kuasa. Akhirnya, aku kembali meraih orgasmeku.
Kini Pak Kasman tak lagi berhenti. Ia terus melanjutkannya. Aku bagai kehilangan tenaga. Tapi tak lama kemudian, Pak Kasman menegang dan membenamkan penisnya dalam-dalam. Terasa siraman spermanya di dalam vagainaku.
Pak Kasman terbaring di sampingku dengan penis yang mulai tidak tegang. Kami pun tertidur berdua.
***
Aku terbangun pukul 11 lebih. Kulihat Pak Kasman masih terlelap. Entah kenapa, melihatnya demikian membuat bernafsu. Tidur dalam kedamaian dan bertelanjang.
Aku meraih penisnya yang terkulai lemas. Kuarahkan langsung mulutku ke arah penis dan mulai menjilatnya. Itu membuat Pak Kasman terbangun. Ia menggeliat sembari membuka matanya. Tetapi ia tak memintaku berhenti. Aku terus saja mengulum penis itu.
Selanjutnya yang terjadi adalah pergumulan seperti sebelumnya. Pak Kasman kembali menggagahiku. Aku kembali dibuatnya orgasme berkali-kali. Ia menumpahkan spermanya lagi di rahimku. Aku benar-benar puas.
Kami tidak keluar kamar sama sekali. Keluar hanya untuk makan saja. Setelah makan, kami melanjutkan pergumulan lagi. Kami baru selesai sekitar pukul 3 sore. Aku mandi dan membersihkan diri dari sisa-sisa 'cinta' Pak Kasman.
Pak Kasman mengucapkan terimakasih kepadaku karena telah membuatnya puas. Aku pun demikian. Kami berpisah setelah melalukan ciuman panjang.
Sesampainya di rumah, aku disambut oleh anak dan suamiku. Sepertinya suamiku sedang ingin, tapi aku beralasan bahwa aku lelah. Untung saja dia tidak marah dan curiga. Ya, aku mencintai suamiku. Sangat mencintainya.
Popular Posts
-
Awalnya memang sangat takut kalo memek aku di entot rame-rame. karena sebenenya aku juga kurang punya nafsu seks yang bisa melayani banyak k...
-
SEPOTONG ROTI Hidup itu indah, kalau belum indah berarti hidup belum berakhir. Begitu lah motto hidup yang Nayla jalani. Setiap kali ia meng...
-
Istriku bernama Diana, aku sudah menikah 3 tahun denganya. Ia seorang perempuan keturunan chinese yang berpenampilan sangat menarik. Umurnya...
Recent Posts
Categories
- 46
- Ainun
- Aisyah
- Alice
- Alya
- Amel
- Ana
- Andari
- Andhini
- Ani
- Anisa
- Anita
- Anna
- Arin
- Artika
- Astrid
- atik
- Ayu
- Bunga
- Cheating
- Citra
- Claudia
- Cuckold
- Dayu
- Della
- Desi
- Devy
- Dewi
- Dhea
- Dhini
- Diah
- Dian
- Diana
- Dinda
- Dita
- Elizabeth
- Ely
- Erlina
- Erna
- Fafa
- Fatimah
- Fitri
- Frieska
- Friska
- Gina
- Hanifah
- hardcore
- Hasna
- Hesti
- Ika
- Indri
- Ines
- Inneke
- Irma
- Istri
- Istri Rudi
- Jeng Yati
- Jeny
- Juleha
- Keke
- Lala
- Lani
- Lathifa
- Lia
- Lidya
- Lily
- Lina
- Lis
- Lisa
- Lulu
- Mama Kirana
- Marlene
- Marscha
- Maya
- Mayang
- Meira
- Melyana
- Mertua
- Mila
- Mirna
- Murni
- Nabila
- Nadia
- Nana
- Narti
- Naura
- Nayla
- Nia
- Nidya
- Nina
- Nisa
- Nita
- Novi
- Nunik
- Nuning
- Nuri
- Party
- Putri
- Rahma
- Rani
- Ratih
- Renata
- Reni
- Rina
- Rini
- Ririn
- Risa
- Riska
- Risnawati
- Rista
- Rita
- RT
- Ruri
- Sandra
- Sarah
- Sari
- Shifa
- Shinta
- Silvi
- Sinta
- Sisca
- Siska
- Sita
- Sonya
- Stella
- Swinger
- Syalwa
- Tari
- Tia
- Ummi Kuntum
- Unfinished
- Utami
- Vani
- Venny
- Vera
- Vina
- Vira
- Wahyu
- Warni
- Wati
- Widya
- Yola
- Yuli
- Yulia
- Yuna
- Yuni
Unordered List
Pages
Blog Archive
-
►
2023
(25)
- ► September 2023 (2)
- ► August 2023 (2)
- ► March 2023 (4)
- ► February 2023 (1)
- ► January 2023 (2)
-
►
2022
(18)
- ► September 2022 (1)
- ► August 2022 (2)
- ► April 2022 (2)
- ► March 2022 (2)
- ► February 2022 (3)
-
►
2021
(1)
- ► December 2021 (1)
-
▼
2020
(87)
- ► August 2020 (3)
-
▼
March 2020
(82)
- Aisyah Oh Aisyah
- Keluargaku
- Aku Yang Tak Berdaya
- Kekasihku Di Kantor Polisi
- Penikmat Dosa
- Bedahh Rumahh
- Investasi Asing
- Love Sensation
- Berselimut Nafsu
- Terapi Untuk Dhini
- Teman Kerja Alim
- Bahtera Rumah Tanggaku (Dimas Story)
- Permainan Untuk Mama Ciko
- (Tak Kusangka) Istriku yang Baik Ternyata Selingkuh
- Tak Sengaja Menjadi Bintang Porno
- Istriku Dengan Kuli Bangunan
- Kegilaan Dengan Mamaku
- Istriku Dipijat
- Menggoyang Ummi Kuntum
- Disetubuhilah Istriku
- Slutty Wife Tia
- Petualangan Isteriku Eksibisionis Disebuah Pesta P...
- Nina My Wife
- Istri Menggoda
- Petualangan Mila
- Hanifah Citra Istri Yang Terpedaya
- Tragedi di Pagi Hari Lebaran
- Rame-rame
- Husband Watch Therapy
- Ternyata Mamaku
- Ines story
- Punya Kamu Lebih Gede
- Ketika Semuanya Berubah Malam Itu
- Petualangan Keliaran Istriku
- Mama... Aku Juga Mau
- Perubahan Pacarku
- Tubuhku Yang Indah
- Di Sekolah
- Kejutan di Malam Pengantin
- Istri Pemain Kartu
- Pulang Mudik Lebaran Digagahi Pak Lik
- Sperma Maling
- Orgasme Dengan Bertukar Pasangan
- Keponakanku Meniduri Istriku
- Berbagi Nikmatnya Memek Istriku
- Aku Istriku, dan Tetanggaku
- Mamaku Novi SPG Seksi Dan Binal
- Kenikmatan Dengan Mamaku
- Kehidupan Desa
- Suami-suamiku
- Istriku Swinger
- Istriku Ternyata Eksibisionis
- Ketika Istriku Sedang Tertidur
- Istriku Selingkuh dengan Bule
- Anisa, ibu nakal (Bramloser)
- Ketika Istriku yang Alim Berubah Menjadi Binal
- Aku, suami yang menyaksikan semuanya
- Nafsu Istriku
- Aku Dipertaruhkan Judi Suamiku
- Mbah Blabar Dukun Cabul
- Main Gila Sama Dukun Cabul
- Mbah Gemblung Dari Lereng Bromo
- Mbah Demo, Jeng Yati Story
- Kisahku Dengan Lelaki Lain
- Istriku Sayang….Akhirnya
- Istriku Threesome Pertama Kali
- Cemburu Ini Sungguh Nikmat
- Aghhh Mama Gitu Deh (unfinished)
- Petualangan Mama
- Imajinasi Istriku
- Kamera Tersembunyi
- Melihat Malam Pertama Istriku (Pengantin Baru)
- Hukuman Untuk Istriku
- Aku Dititipin Suamiku Untuk Di Gangbang
- Nikmatilah Istriku yang Cantik dan Polos Ini
- Lelaki Untuk Istriku
- Permainan Istiku Saat Dipijat
- Fantasi Gila
- Boss Wedding
- Gelar Baru Istriku
- Silakan Perkosa Istriku
- Rumahku, Surga dan Nerakaku
Search This Blog
Powered by Blogger.
Demi Anakku - Gravekeeper76
Namaku Ana, seorang ibu rumah tangga yang sudah berumur 38 tahun. Secara fisik, aku masih merawat diriku. Jadi tubuhku tidak kurus dan tid...
0 comments:
Post a Comment