Tuesday, March 31, 2020

Penikmat Dosa

Lama aku berdiam diri, duduk santai di atas kursi rotan di belakang rumah, sambil menatap langit yang malam ini tampak lebi indah dari malam sebelumnya. Terlintas bayangan seseorang wanita yang akhir-akhir ini selalu menggangguku, menggoda dan meracuni otakku, dia adalah Clara Shinta, teman satu sekolahku.

Bagiku dia begitu anggun dan menawan, senyumnya yang manis begitu sempurna bersanding dengan parasnya yang cantik. Di tambah lagi dengan tingkah lakunya yang penuh tata krama, lembut tutur katanya yang ramah. Sungguh, mahakarya tuhan yang sempurna. Hmm.. Dia begitu indah bagiku, namun aku terlalu takut, aku terlalu pengecut untuk mendekatinya.

Akhir-akhir ini aku hanya berani memandangnya dari jauh, selain karena aku tidak berani mendekatinya, kami juga di pisahkan oleh peraturan sekolah, yang melarang pria dan wanita yang bukan muhrim untuk saling berdekatan.

Kebetulan, walaupun kami berada di satu sekolah yang sama, tapi dia tinggal di asrama khusus perempuan, sementara rumah saudaraku, rumah yang sekarang aku tempati berada di wilayah khusus pria, sehingga sangat sulit bagiku untuk mendekatinya.

Oh iya, namaku Ahmad Raditya Putra, semenjak beberapa bulan yang lalu, aku tinggal bersama saudaraku yang sudah menikah, mereka tinggal di lingkungan madrasah, karena memang mereka berdua salah satu pengajar di sana sehingga mereka mendapatkan fasilitas rumah.

Lalu kenapa aku bisa berada di sini ? Sebenarnya aku sendiri juga tidak mau, tapi desakan kedua orang tuaku yang katanya sudah tidak mampu lagi menghadapi kenakalanku, memaksaku untuk melanjutkan sekolahku di madrasya Aliya.

Karena tidak punya pilihan lain, akhirnya aku terpaksa menerima tawaran dari Mas Jaka atas permintaan kedua orang tuaku.

Kehidupan di madrasa sebenarnya tak begitu buruk seperti yang kubayangkan sebelumnya, di sini memang peraturannya cukup ketat, dan hukumannya juga sangat berat, salah sedikit rotan melayang.

"Kamu di cariin, ternyata ada di sini."

"Eh, Kak Nadia... !"

Seperti biasanya, malam ini Kak Nadia terlihat begitu cantik, kerudung ungu di padu dengan gaun tidurnya yang juga sewarna membuat ia terlihat begitu sempurna, apa lagi ketika ia sedang tersenyum.

Kak Nadia duduk di sampingku, kami berpandangan sejenak, cukup lama aku menatap bibir tipisnya.

"Gimana sekolah di sini enakan ?"

"Ya enak gak enak si... !" Jawabku ngasal sambil menggaruk-garuk kepalaku.

"Gak enaknya kenapa ?' Tanyanya lagi.

"Pas kalau lagi ada hafalan, terus gak hafal, bisa-bisa rotan langsung melayang Hahaha... " Ujarku sedikit bercanda, Kak Nadia menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum geli.

"Kalau gak ngafal ya gak bakalan hafal, makanya kamu yang rajin dong."

"Iya Kak, ini aku lagi ngafal." Kataku sambil memperlihatkan buku yang ada di tanganku, karena memang rencananya tadi aku ingin menghafal bukan melamunkan Clara.

"Na gitu dong, terus enaknya apa ?"

"Enaknya... " Aku mengetuk-ngetuk daguku dengan jari telunjukku. "Di sini ceweknya cantik-cantik Kak." Aku tersenyum lebar memamerkan gigiku.

"Eeehmm... jadi ceritanya Adikku yang satu ini sedang jatuh cinta ya... " Godanya sambil mentoel hidungku, aku menunduk malu-malu. "Dasar kamu Dit, kalau masih sekolah gak boleh cinta-cintaan, ingat pacaran itu banyak negatifnya ketimbang baiknya." Katanya tak perna bosan menasehatiku.

"Iya ya... " Jawabku kecewa, kupikir Kakak iparku akan mendukungku.

"Ya sudah Kakak masuk dulu ya, belajarnya jangan kemalaman, besok kamu sekolah." Sambungnya, lalu tanpa menunggu jawabanku, dia meninggalkanku masuk kedalam rumahnya, sementara aku masih di sini, menatap langit dan menikmati tiupan angin spoi-spoi...

--------------


Irma

Di tempat yang berbeda...
"Aaaah... Bi, Uuhmm... Aaa... aaa... !"

"Ssstt... jangan kenceng-kenceng sayang, di rumah ada temennya Abi." Bisik Iwan sambil memompa vagina Istrinya, yang selalu bisa membuatnya terpuaskan.

"Ooohhkk... Bi ! Lebi kencang lagi." Erang Irma, seolah tak perduli dengan peringatan dari Suaminya.

Walaupun ia merasa risih dengan suara Istrinya, Iwan tetap saja menggenjot vagina Istrinya dengan irama cepat, sementara tangannya meremas payudara Istrinya yang berukuran 36b, cukup besar dan masih kencang di usia Irma yang ke 35 tahun. Karena Irma memang sangat merawat bentuk tubuhnya.

Iwan mencabut penisnya, lalu tanpa di minta Irma mengambil posisi menungging di hadapan Suaminya.

Kembali dengan gerakan perlahan Irwan memompa vagina Istrinya dari belakang, sementara tangannya membelai bongkahan pantat Istrinya yang semok. Dia merasa begitu beruntung bisa menikahi wanita cantik, anak pimpinan Madrasya tempat ia sekarang mengajar.

"Umi... Abi mau kekuar !"

"Bentar lagi Bi, Umi juga mau kekuar ini." Pinta Irma, dia mulai aktif ikut menggoyang pantatnya maju mundur, tapi akibatnya Irwan semakin tidak mampu mengontrol birahinya yang sudah di ujung tanduk.

Dia menahan pinggul Istrinya, berusaha bertahan lebi lama lagi hingga Istrinya mencapai klimaksnya terlebih dahulu, tapi Iwan sudah di ambang batasnya, dia tidak kuat lagi menahan badai orgasmenya. Dia menarik batang penisnya, lalu kembali menghujaminya dengan keras.

Crrrottt... crroot... crrtroooottt...
Tanpa bisa di bendung, pertahan Iwan akhirnya jebol juga, dia memuntahkan spermanya kedalam rahim Istrinya yang telah memberinya seorang putra yang sekarang baru berusia dua tahun, dia berharap spermanya kali ini bisa memberi adik untuk anak semata wayangnya.

Tubuh telanjang Iwan, yang bermandikan keringat ambruk kesamping tubuh Istrinya.

"Abi... Umikan belum selesai !"

"Abi capek Umi, besok lagi ya sayang, habis kamu malam ini hebat banget." Puji Iwan sambil membelai wajah cantik Istrinya yang sedang cemberut.

"Maunya sekarang Bi."

"Abi ngantuk, besok aja ya... " Jawab Iwan, lalu dia berbalik sambil memeluk bantal gulingnya, membelakangi Istrinya.

Tentu saja Irma jadi uring-uringan, di tinggal tidur dalam keadaan menggantung, padahal sebentar lagi ia akan mencapai klimaksnya, tapi sayang Suaminya lagi-lagi tidak cukup kuat untuk memuaskan birahinya.

Irma segera turun dari atas tempat tidurnya, lalu ia mengambil gaun tidurnya yang agak menerawang berbahan sutra, tak lupa ia mengenakan kerudungnya.

Dia berfikir, mungkin dengan segelas air dingin bisa sedikit meredam birahinya yang masih terbakar.

-----------------


Bayangin aja Irma lgi pake jilbab

Gara-gara suara berisik dari kamar sahabatnya, Reza jadi tak bisa tidur, suara itu selalin mengganggu tidurnya, tapi juga membangkitkan birahinya.

Dia menyulut sebatang rokok di bibirnya, dia hisap lalu ia hembuskan kembali. Memang harus ia akui, Irma Istrinya Iwan memang sangat cantik, dia sendiri merasa iri melihat sahabatnya yang bisa menikahi wanita secantik dan sebaik Irma. Sedangkan dirinydirinya ? Kisah cintanya terlalu kelam, dia tinggal pergi oleh Istrinya, karena dia seorang pengangguran.

Alasan dia berada di sini karena pekerjaan, Iwan sahabatnya waktu kulia dulu menawarkan ia untuk mengajar di Madraysa yang di pimpin oleh mertuanya sendiri, karena ia merasa tidak punya pilihan lain, akhirnya ia menerima ajakan sahabatnya, dan untuk sementara waktu ia akan tinggal di rumah sahabatnya.

Tak... tak... tak...
Reza menoleh kebelakang, di lihatnya Irma Istri sahabatnya berjalan gontai menuju dirinya yang sedang di dapur, sepertinya Irma tidak menyadari kehadirannya, karena wanita cantik itu tampak begitu cuek, mengambil sebotol minuman mineral dari dalam lemari es.

"Capek ya Mbak !" Goda Reza, ia hanya ingin sekedar mengisengi Istri sahabatnya.

"Belum tidur Mas ?" Tanya Irma gugup.

"Gimana mau tidur Mbak, kalau di samping kamar saya suaranya sangat berisik." Ujar Reza, lalu di mengambil botol yang ada di tangan Irma, dan meminumnya langsung. "Mbak mau kopi, nanti saya buatkan." Sambung Reza, tanpa menunggu jawaban dia membuat secangkir kopi.

Tentu saja Irma shok mendengar ucapan Reza, dia merasa sangat malu, karena tadi tamunya bisa mendengar suara erangannya saat melayani Suaminya.

Seandainya saja dia mendengarkan peringatan Suaminya, setidak ia sekarang tak perlu merasa malu, dan bisa segera pergi tanpa merasa sungkan menolak pemberian dari tamunya yang sekarang sedang membuatkannya segelas kopi hangat untuk dirinya.

"Ini Mbak kopinya." Tawar Reza.

"Terimakasi ya, seharusnya saya yang melayani Mas, karena di sini Mas adalah tamu keluarga kami."

"Hahaha... jangan terlalu di pikirkan, saya senang bisa membuatkan segelas kopi untuk wanita secantik anda." Goda Reza sambil tersenyum. "Kalau belum mengantuk, saya bisa menemani Mbak ngobrol." Lanjut Reza sambil meminum kopi hangatnya tanpa melepas pandangannya kearah Irma.

"Terimakasi tapi... "

"Gak baik menolak permintaan seorang tamu." Potong Reza, sebelum Irma menolak ajakannya.

"Tapi maaf banget Mas, saya tidak bisa, Suami saya sedang tidur, gak baik kalau duduk berduaan dengan pria yang bukan muhrimnya, saya berharap Mas tidak tersinggung."

"Baiklah, saya mengerti, mungkin lain kali saja."

"Saya duluan ya Mas." Reza tersenyum sembari mengangguk.

-----------------------

Di dalam kamar, Irma duduk termenung di pinggiran tempat tidurnya, sementara itu, di sampingnya Iwan sedang tertidur lelap. Padahal sekarang ia sedang butuh teman, karena perasaannya sekarang sedang bercampur aduk, antara marah, malu dan kesal terhadap dirinya sendiri.

Dia mengutuk dirinya sendiri karena tanpa sadar dia telah mempermalukan dirinya di hadapan Reza, yang notabanenya adalah sahabat Suaminya. Seandainya saja dia keluar dengan pakaian lebi sopan, mungkin Reza tidak akan berbuat sekurang ajar itu kepadanya.

Tatapan matanya tadi, jelas mengisyaratkan nafsu binatang. Apa yang kulakukan barusan, seharusnya aku langsung pergi saat melihat dirinya, tadi... dia pasti bisa melihat tubuhku, oh tuhaaan... sekarang aku harus bagaimana kalau nanti bertemu dengan dirinya lagi, aku seorang wanita yang shaleha, tak pantas mengenakan pakaian seperti ini di depan pria lain.

Irma merebahkan tubuhnya, dia gigit pelan bibirnya, sementara tangannya turun hingga keselangkangannya.

Bayangan tatapan Reza kembali menghantuinya, membuatnya merasa malu dan terangsang. Ya... tatapan Reza membuat vaginanya terasa gatal.

Tidak... apa yang kulakukan, ini salah, ini tidak benar... Maafkan aku tuhan... maafkan aku ...

Ia memejamkan matanya erat-erat, perlahan rasa kantuk mulai menguasai dirinya, detik berganti detik, menit berganti menit, hingga akhirnya ia benar-benar lelah bertarung dengan dirinya sendiri, hingga ia tertidur.

---------

Sementara itu, di rumah yang sama tapi di kamar yang berbeda, seorang pria sedang berbaring diatas tempat tidurnya dalam kondisi setengah telanjang.

Tangan kanannya memegang secarik kain, berwarna putih bergaris merah. Ia tampak begitu menikmati aroma yang menyengat dari celana dalam tersebut, sementara tangan kirinya berada di bawah, bergerak maju mundur mengocok penisnya dengan gerakan teratur.

"Aaahk... Irma !" Dia mendesis pelan.

Penampilan Irma malam ini memang di luar dugaannya, setelah sebelumnya ia mendengar suara erangan Irma, dan sekarang dia melihat langsung lekuk tubuh Istri sahabatnya itu secara langsung, hanya di tutupi kain tipis yang tak mampu menyembunyikan keindahan tubuhnya.

Reza palupi, seorang duda yang di tinggal pergi Istrinya, kelakuannya yang suka berjudi dan bermain wanita, membuat ia harus merasakan kerasnya hidup di balik jeruji besi, setelah ia diarak warga karena ketahuan melakukan percobaan pemerkosaan terhadap gadis desa di kampung halamannya.

Hampir tiga tahun lamanya dia tinggal di hotel predio, dan setelah keluar, dia tak lagi punya tempat untuk pulang kekampung halamannya, hingga akhirnya ia kembali di pertemukan dengan sahabat lamanya, teman seperjuangannya ketika ia menuntut ilmu di kota pelajar.

Reza sengaja mengarang cerita tentang kehidupannya, agar sahabatnya merasa kasihan dengannya. Dia bercerita kalau ia di tuduh memperkosa seorang gadis, hingga ia di penjara, dan Istrinya pergi meninggalkan dirinya dengan pria lain.

Mendengar cerita tragis sahabatnya, Iwan merasa kasihan, dan dia menawarkan Reza untuk ikut dengannya, mengajar ditempat ia mengajar.

Dan di sinilah Reza sekarang, dia begitu menikmati hari-harinya di lingkungan madrasa tempat ia tinggal sekarang. Tapi ada satu yang akhir-akhir ini sering mengganggu pikirannya, yaitu Istri sahabatnya Irma.

Hampir setiap malam, setelah ia tinggal di rumah Reza ia mendengar suara rintihan Istri sahabatmya, awalnya ia berusaha untuk tidak menghiraukan desahan mereka, tapi lama kelamaan dia mulai terganggu, pikiran jahatnya mulai kembali menguasai dirinya, di tambah lagi dengan kejadian barusan, dia sudah tidak tahan lagi dan berniat ingin memiliki Istri sahabatnya tersebut.

"Istrimu memang benar-benar luar biasa, di balik pakaiannya yang tertutup, ia sangat cantik, seksi dan sangat menggairahkan." Gumam Reza sambil menghirup dalam-dalam aroma celana dalam milik Istri sahabatnya.

Dia mengocok penisnya semakin cepat, dan berselang semenit kemudian, ia memuntahkan spermanya. Dia segera membersihkan sisa spermanya dengan menggunakan celana dalam Irma hingga bersi. "Aku tidak kalau terus-terusan begini, burungku bisa lecet, kalau setiap hari kukocok. Aku harus mendapatkannya, bagaimanapun caranya." Gumam Reza, kemudian dia menyembunyikan celana dalam tersebut kedalam lemarinya.

Dia mengambil hpnya, lalu berjalan keluar rumah. Cukup lama dia memandangi langit malam ini. Lalu segera ia membuka kontak hpnya, mencari nama dan kemudian menelponnya.

"Hallo... "

"Ya... halo, ini siapa ya ?"

"Ini saya Bang Reza." Jawab Reza.

"Reza mana ya ?" Tanya orang di sebrang, Reza mendesah pelan, sepertinya dia tidak menyimpan nomor Reza.

"Masa Abang lupa sama pelanggan sendiri."

"Sebentar.... ! Kamu Reza Palupi ? Tapi bukannya kamu masi di penjara ?"

""Udah keluarlah Bang, ini sudah tiga tahun."

"Wa... saya kira kamu masi tinggal di hotel prodio, Hahaha... "

"Sudalah Bang, itu masa lalu tak perlu di bahas." Kesal Reza, "Abang masi jualan ?" Tanya Reza, tidak mau terlalu lama berbasa-basi.

"Tentu, saya mau makan apa kalau tidak jualan, emangnya sekarang kamu butuh apa ? Obat untuk menggugurkan, atau obat perangsang."

"Obat perangsang Bang, satu botol kecil."

"Baiklah, kamu kirim alamatmu sekarang, dan jangan lupa transfer uangnya, karena kamu orang lama, saya.kasi harga lama. Kamu masi ingat nomor rekening saya ?"

"Saya masi nyimpan Bang, nanti segera saya kirim alamatnya, uangnya besok saya transfer."

"Berbisnis denganmu memang selalu menyenangkan"

"Uda dulu ya Bang, sekarang saya masi ada urusan." Buru-buru Reza menutup telponnya.

Sambil bersiul ringan, dia kembali kekamarnya, dia sudah tak sabar menunggu barang pesanannya tiba, pasti akan sangat menyenangkan bisa meniduri Irma. Tunggulah sayang, sebentar lagi kamu akan menjadi milikku, hahaha... Pikir Reza.

Aku segera melompat dari atas tempat tidurku, ketika melihat jam di dinding kamarku sudah menunjukan pukul enam lewat empat puluh tujuh menit, itu artinya, waktuku kurang lima belas menit lagi, kalau aku tidak ingin terlambat kesekolah, dan menerima hukuman dari guruku, apa lagi di jam pertama adalah wali kelasku Bu Irma.

Karena sedikit buru-buru, aku nyaris saja terpeleset tapi untunglah tanganku dengan sigap berpegangan dengan lemari, menahan tubuhku, agar tidak sampai terjatuh.

Aku menarik nafas lega, lalu kembali melangkah menuju kamar mandi. Tanpa mengetuk terlebih dahulu, aku langsung mendorong pintu kamar mandi, dan tanpa kuduga di dalam kamar mandi Kak Nadia dalam keadaan telanjang bulat sedang berdiri di bawa air shower sambil menyabuni tubuhnya.

"Adeeeek... " Teriaknya dengan suara melengking.

Aku tidak segera buru-buru keluar kamar mandi, sejenak aku sempat melihat tubuh telanjangnya yang sempurna, payudarahnya yang besar menggantung indah, dan di bagian bawah perutnya tampak begitu licin sehingga aku dapat melihat jelas belahan vaginanya.

"Ma... maaf Kak !" Kataku, lalu segera kututup kembali pintu kamar mandinya.

Aku masih berdiri di depan pintu kamar mandi dengan nafas memburu, bayangan tubuh Kakak iparku membuat tubuhku menggigil, ada perasaan senang, tegang dan takut, semua bercampur aduk menjadi satu.

Aku takut kalau Nanti Kakak iparku mengadukan perbuatanku barusan, tapi kalau di pikir-pikir ini bukanlah kesalahanku sepenuhnya, seharusnya dia mengunci pintu kamar mandi terlebi dahulu, sehingga kejadian barusan tidak perlu terjadi.

"Adek, lain kali kalau mau masuk kekamar mandi di ketuk dulu pintunya." Kulihat dia berdiri di sampingku dengan mengenakan kain panjang yang lilitkan di tubuhnya, dan kerudung yang ia kenakan dengan cara asal-asalan.

"I... iya Maaf Kak, lain kali kamar mandinya di kunci dong, biar kejadian tadi gak terulang." Belaku sambil menggaruk-garuk kepalaku.

"Eehmm... jadi nyalahin Kakak ni." Dia melipat kedua tangannya di dadanya, "mau Kakak aduhin sama Abang kamu ?" Ancamnya.

"Ya jangan dong Kak !" Aku memelas.

"Hihihi... makanya jangan macem-macem sama Kakak ya, ayo sekarang minta Maaf !" Suruhnya, sambil merenyitkan dahinya.

Aku mendengus kesal. "Iya aku minta maaf Kak." Ujarku males-malesan.

"Na gitu dong, jadi anak yang baik." Katanya sambil mengucek-ucek rambutku. "Ya udah sekarang kamu mandi, nanti telat kesekolahnya." Sambungnya, lalu ia berlalu menuju kamarnya.

----------

Gara-gara Kak Nadia, aku jadi telat kesekolah, dan terpaksa aku harus menerima hukuman, kembali aku mencabuti rumput liar yang tumbuh di halaman depan kelasku, sementara mataku tak lepas memandangi Clara Shinta yang sedang berada di dalam kantor, karena kebetulan kantor sekolahku berada di seberang ruang kelasku.

"Gimana Radit, masi mau datang terlambat ?" Tegur seseorang wanita yang tiba-tiba saja sudah berdiri di depanku sambil tersenyum dan menatapku dengan tatapan yang menusuk.

"Janji Umi, tidak akan telat lagi."

"Janji itu harus di tepati Radit, ini sudah yang kedua kalinya kamu terlambat."

"Maaf Umi." Jawabku lirih.

"Kali ini masi Umi kasi kesempatan, tapi lain kali kalau kamu tetap terlambat, Umi akan aduhin kamu dengan Umi Nadia, biar kamu di tegur." Ancamnya, aku menunduk tak berani menatap matanya.

"Ya sudah, sekarang kamu masuk."

Aku segera menghentikan kegiatanku mencabut rumput dan berjalan perlahan, masi dengan menunduk melewati Umi Irma dan segera masuk kedalam kelasku.

Sekilas aku kembali memandangi punggung Umi Irma ketika memasuki kantor.

Plaak... tepukan di pundakku.
"Berani banget lu telat Bro !"

"Kopet !" Umpatku kesal terhadap teman sebangkuku Arman. "Ni rasanya tangan gue mau keram, mana rumputnya panjang-panjang lagi." Omelku kesal, tapi di sisi lain aku juga merasa senang, karena hukuman dari Umi Irma, aku bisa melihat Ria yang tadi sempat berada di kantor.

"Lo-nya sendiri cari masalah, udah tau si galak yang mengajar di jam pertama, na lo-nya malah nyari penyakit, datang terlambat."

"Gue tadi kesiangan, belum lagi tadi Kakak ipar gue lama banget di kamar mandinya, gak tau de ngapain aja dia di kamar mandi." Ujarku kesal, sekaligus berdebar-debar mengingat kejadian tadi pagi.

"Oh ya... terus tadi lo intipin gak ?" Kejar Arman antusias.

"Intipin kepala lo peang, dia Kakak gue bego !" Bletaak... Aku menjitak kepalanya.

"Sakit nyet... " Katanya sambil memegangi kepalanya.

"Siapa suruh tadi lu ngomong sembarangan."

"Sembarangan gimana ? Umi Nadia itu bukan Kakak kandung lu, dia cuman Kakak ipar, gak ada salahnya kalau elu sedikit intipin doi, mumpung ada kesempatan emas tinggal bareng wanita secantik Umi Nadia." Jelasnya panjang lebar, aku hanya bisa tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalaku.

Harus kuakui, sahabatku satu ini memang raja mengintip, sedikit saja ada kesempatan, pasti dia mengintip, bahkan dia perna mengajakku mengendap-endap keasrama putri, lalu mengitip mereka yang sedang mandi di kamar mandi umum yang berada di belakang asrama.

Seru si, deg-degkan juga waktu melihat mereka mandi, walaupun tidak sampai telanjang bulat, karena mereka mengenakan kain.

Tapi gara-gara mengintip mereka mandi, kami nyaris saja di gebuk masa, karena aksi kami ketahuan, tapi untunglah, satpam di sekolahku tidak sampai berhasil menangkap kami, kalau sampai tertangkap, mungkin kami sudah di keluarkan dari sekolahan ini.

"Ssstt... diam, Ustad Wendi udah datang tu." Bisikku, mengingatkan sahabatku.

Sontak dia langsung diam, sambil memperhatikan Ustad Wendi yang baru saja duduk di singgasananya sambil memperhatikan kami satu persatu.

"Assalamualaikum !"

"Waalaikumsalam Ustad."

"Sebelum memulai pelajaran saya hari ini, mari kita berdoa sejenak, berdoa di mulai." Suasana kembali hening selama kurang lebi satu menit. "Berdoa selesai... " Lanjut Ustad Wendi.

"Eehmm... sekarang kumpulkan tugas kalian yang kemarin, letakan di atas meja saya." Katanya datar.

Aku segera membuka kembali tasku, dan mengambil buku tulisku, sementara sahabatku Arman memandangku dengan tatapan memelas. Aku melihatnya sejenak, lalu dengan cepat tanganku menutup mulutku agar tawaku tidak sampai meledak.

Mampus !Sekarang giliran dia yang bakalan di hukum, karena dari tatapannya aku tau kalau dia tidak mengerjakan tugas yang di berikan Ustad Wendi beberapa hari yang lalu.

Arman berdiri, lalu dia berjalan gontai menuju kedepan kelas dengan raut wajah yang di tekuk.

Ia berdiri di depan kelas bersama dua orang lainnya, sementara Ustad Wendi tidak menghiraukan mereka, dia memilih untuk melanjutkan mengajar kami.

-----------------------------

Di kantin sekolah, seorang wanita cantik sedang duduk di salah satu bangku kantin, sedari tadi dia hanya memainkan sedotan, tanpa meminum jus pesanannya. Matanya memandang lurus kedepan, tapi pikirannya bercabang-cabang.

Kejadian tadi pagi membuatnya galau, gara-gara lupa mengunci pintu kamar mandi, dia tidak sengaja membiarkan adik iparrnya, melihat dirinya dalam keadaan yang sangat memalukan, dan parahnya lagi dia tidak langsung mencoba menutup selangkangannya, malah bengong memperhatikan selangkangan adik iparnya yang sempat membesar.

"Aaarrr... " Teriaknya pelan sambil memegangi kepalanya.

"Kamu kenapa Nad ? kayaknya ada beban yang berat banget, coba cerita ?" Tanya Irma yang baru saja kembali dari membeli minuman dan duduk di samping Nadia.

"Aku gak rau harus memulai ceritanya dari mana."

"Ceritanya pelan-pelan saja, siapa tau Mbak bisa bantu kasi solusi untuk kamu." Jelas Irma, sambil menepuk pundak juniornya.

"Ini sangat memalukan."

"Oh ya, apa itu ? Soal Radit lagi ?" Pancing Irma, Nadia mengangguk lemah, membenarkan tebakan seniornya. "Mbak jadi ingin mendengarnya." Lanjutnya, sembari tersenyum manis.

"Tapi Mbak janji tidak akan tertawa." Ujar Nadia, Irma mengangguk setuju.

Nadia menghela nafas panjang, sebenarnya ia malu kalau harus menceritakan kejadian tadi pagi dengan adik iparnya, tapi dia juga tidak bisa memendam perasaannya sendiri tanpa membaginya dengan orang lain.

"Radit, tadi pagi dia melihat anuku Mbak ?" Kata Nadia pelan nyaris tak terdengar.

"Maksud kamu ? vagina kamu ?" Tanya Irma kaget, Nadia mengangguk lemah. "Wa... ini gak bisa di benarkan Nid, kamu harus bilang kesuamimu masalah ini, Radit sudah sangat keterlaluan." Jawab Rima sangat emosi, dia tau kalau Radit anak yang nakal, tapi dia tidak menyangka kalau Radit berani melecehkan Kakak iparnya sendiri.

"Ta... tapi, dia tidak sepenuhnya salah."

"Gak salah gimana Nid, sudah jelas dia berbuat kurang ajar sama kamu, seharusnya kamu jangan lembek kayak gini, kalau tidak nanti dia jadi semakin melunjak."

"Dengarkan dulu Mbak, tadi pagi aku bangun kesiangan, jadi aku buru-buru mandi dan aku jadi lupa mengunci pintu kamar mandi kami, dan saat itu aku tidak tau kalau Radit belum berangkat kesekolah, jadi saat dia ingin mandi, dia tidak tau kalau aku ada di dalam, dan dia langsung buka pintu kamar mandi."

"Terus, setelah itu kamu langsung mengusirnyakan."

"Iya, tapi... " Nadia menggantung kalimatnya, dia benar-benar merasa malu kalau harus kembali mengingat kejadian tadi pagi. "Aku saat itu kaget Mbak, jadi... aku cuman bilang 'adek' terus diam... " Nadia menundukan wajahnya, dia benar-benar merasa sangat malu.

"Hanya itu ? Kamu tidak teriak memintanya keluar ?" Tanya Irma, Nadia menggeleng. "Tapi kamu sempat menutup itunya kamukan ?" Lagi Nadia menggeleng, Irma.terlihat mendesah pelan.

"Sumpah Mbak, aku benar-benar kaget."

"Berapa lama dia melihat anumu Nad ?"

"Mungkin satu menit atau dua menitan." Jawab Nadia, dia tidak berani memandang langsung kearah Irma.

"Cukup lama bagi dia untuk mengetahui setiap detail kemaluan kamu Nad." Jawab Irma pelan.

"Maafkan aku Mbak, sekarang aku tidak tau harus bagaimana lagi." Tutur Nadia, karena dia sendiri benar-benar kebingungan, dia tidak menyalakan Raditya, karena adik iparnya memang tidak salah.

"Lupakan saja Nad, ini musibah... ini kecelakaan yang tidak kamu inginkan."

"Apakah aku berdosa ? apa aku telah menghianati Suamiku ?" Tanya Nadia pelan.

"Mbak tidak tau, karna yang tau soal dosa hanya tuhan Nadia, dia yang berhak menentukan kamu berdosa atau tidak, tapi yang pasti kamu tidak mengkhianati Suamimu, karena ini murni kecelakaan Nadia, kamu sendiri pasti juga tidak menginginkannya." Jelas Irma, sambil membelai pundak sahabatnya, untuk sedikit mengurangi beban sahabatnya.

"Terimakasi ya Mbak."

"Sama-sama Nad, kalau kamu ada masalah, jangan sungkan untuk bercerita dengan Mbak."

"Iya Mbak, itu pasti." Jawab Nadia yang kini bisa sedikit tersenyum.

"Udah yuk, kita kekantor sekarang, sebentar lagi bel masuk." Ajak Irma, Nadia dengan senang hati menyambut uluran tangan Irma.

Mereka berjalan beriringan menuju kantor, sambil bercerita tentang Raditya, tapi kali ini bukan tentang kejadian kamar mandi, tapi melainkan tentang keterlambatan Raditya tadi pagi kesekolah.

Nadia pulang dengan wajah ceria, setelah berbagi cerita dengan sahabatmya, ia merasa sedikit terbebas dari dosanya tadi pagi.

Tapi kalau di pikir-pikir dia tidak salah juga, ini hanya kecelakaan seperti yang di katakan Mbak Irma, tidak ada niat sedikitpun untuk sengaja memperlihatkan bagian intim tubuhnya kepada Adik iparnya.

"Assalamualaikum... " Sapanya...

Tapi tak ada jawaban dari dalam rumahnya, mungkin Radit belum pulang, pikirnya.

Dia berlalu kekamarnya, lalu menanggalkan seluruh pakaiannya begitu juga dengan kerudungnya, hanya menyisakan pakaian dalam yang berwarna hitam, begitu kontras dengan warna kulitnya yang putih bak pualam, tanpa ada cacat sedikitpun.

Dia berjalan menuju lemari, lalu berhenti memandangi pantulan dirinya dari balik cermin besar yang menempel langsung dengan lemari pakaiannya. Dia tertegun memandangi bentuk tubuhnya yang ternyata begitu sempurna, bulatan dadanya yang besar berukuran 34C, dengan pinggul yang ramping, terlihat sangat menggoda.

Entah kenapa ia jadi teringat dengan kejadian tadi pagi, dimana ia tidak sengaja membiarkan Adik iparnya melihat vaginanya.

Rasa penasaran membuat dirinya menurunkan celana dalamnya, dan inilah yang di lihat Radit tadi pagi, gundukan kecil tanpa rambut terlihat indah dengan garis tipis berwarna kemerah-merahan.

Tanpa ia sadari, Nadia membelai bibir vagina, sambil mengingat tatapan nanar dari adik iparnya, ia tidak bisa membayangkan, bagaimana beruntungnya adik iparnya tadi pagi, dan anehnya dia merasa senang, walaupun ia juga merasa bersalah karena telah membiarkan pria lain melihat dirinya telanjang.

Oooo... dia mendesah pelan, ketika jari telunjuknya menyelip masuk kedalam liang vaginanya.

"Adeeek... Aahk... Eeengk... !" Ia merintih semakin keras tatkala jari telunjuknya menjelajahi bagian dalam vaginanya, ia menusuk lalu menarik kembali jarinya.

Karena tidak tahan lagi, akhirnya Nadia menyerah dengan nafsunya sendiri, ia buru-buru melepas branya, membiarkan payudarahnya menggelantung bebas, kemudian ia berbaring di atas tempat tidurnya, sambil bermasturbasi ria, tapi kali ini tanpa ia sadari Nadia membayangkan Adik iparnya sendiri.

Nadia mengobel-ngobel liang senggamanya dengan kedua jarinya, sementara tangan kirinya meremas dan memainkan puttingnya, ia tampak sangat menikmati masturbasinya kali ini.

Dia membayangkan, Raditya Adik iparnya sedang menindi tubuhnya, menusuk, menghujami vaginanya dengan penis Adik iparnya yang ia bayangkan lebi besar dan panjang ketimbang dari Suaminya sendiri.

"Aaaaa... !"

Pinggulnya terangkat semakin tinggi, darahnya mendidih terbakar nafsu birahi, tak lama kemudian dia akahirnya menyerah, tepat di saat ia mendapatkan orgasmenya, pintu kamarnya terbuka lebar, dan seseorang pemuda berdiri menatap nanar kearahnya, melihat dirinya menggelinjang di atas tempat tidurnya.

---------

Sumpah demi apapun, aku nyaris tidak percaya dengan apa yang kulihat saat ini, seorang Nadia, Kakak iparku bisa bermasturbasi seliar ini, dengan hanya mengenakan kerudung, tanpa ada lagi kain yang menutupi tubuhnya.

"Aaahkk.... " Ia memikik, tubuhnya menggeliat lalu kembali terhempas dengan nafas memburu.

"Kak Nadia !" Panggilku pelan.

Dengan tatapan sayu ia melihat kearahku, sedetik kemudian, ia terperanjak, menyadari keadaannya saat ini. Ia buru-buru menutupi tubuh telanjangnya dengan selimut, hanya menyisakan bagian atasnya, dari leher hingga kepalanya yang tertutup kerudung.

Sementara aku, aku sendiri hanya bisa diam memandang takjub dengan apa yang barusan kulihat.

"Se... semenjak kapan kamu di sana?" Tanyanya gugup.

Aku menarik nafas panjang, untuk meredakan kekagetanku barusan. "Baru aja kok Kak, maaf ya ganggu tadi." Jawabku sesantai mungkin.

"I... iya gak apa-apa, ada apa ya Dek ?"

"Cuman mau nanya, ada pakaian kotor gak? yang mau di cuci, sekalian aja aku mau nyuci sekarang." Kataku menjelaskan tujuanku masuk kedalam kamarnya.

"Ya uda kamu ambil aja di situ, di dalam keranjang."

"Boleh masuk?" Tanyaku sedikit ragu.

"Iya masuk aja gak apa-apa kok, tapi pakaiannya kamu ambil sendiri ya." Aku mengangguk mengerti, tentu saja saat ini Kak Nadia tidak dapat berbuat apa-apa, karena kondisinya saat ini dalam keadaan telanjang bulat.

Aku segera masuk kedalam kamarnya, mengambil tumpukan pakaian kotor yang ada di dalam keranjang, di samping lemari besarnya, lalu tak lupa aku mengambil pakaian kotor yang tergeletak di atas lantai, termasuk pakaian dalamnya. Aku sempat melirik kearah Kak Nadia yang sedang memandangiku.

Kak Nadia menatapku malu-malu, ketika aku mengambil celana dalamnya yang nampak basah.

Deg... nafasku terasa sesak, saat mataku melihat selimut yang di kenakan Kak Nadia tersingkap, sehingga aku dapat melihat paha mulusnya yang bening, bahkan aku hampir bisa melihat vaginanya yang tersembunyi di balik selimut tebalnya.

"Eehmm Dek!" Tegurnya, lalu dia membenarkan selimutnya.

Sial aku ketahuan sedang memandangi paha mulusnya, aku buru-buru memalingkan wajahku, lalu tampa permisi aku segera keluar dari dalam kamarnya, tanpa bisa melupakan apa yang kulihat barusan, seseorang wanita baik-baik tanpa mengenakan pakaian di balik selimutnya.

-------

Akhirnya selesai juga tugasku, setelah mencuci dan menjemur pakaian. Sekarang enaknya ngapain ya ? Hmm... ngomong-ngomong soal Kak Nadia, dia lagi apa ya sekarang ? Jangan-jangan dia sedang bermasturbasi lagi sambil membayangiku.

Hahaha....
Tidak mungkin, wanita seperti Mbak Nadia tidak mungkin melakukan hal bodoh seperti itu, dia wanita baik-baik, harga dirinya pasti menolak melakukan hal bodoh tersebut, karena dia tau hukumnya.

Soal kejadian barusan, kupikir itu hal yang wajar, sudah satu minggu Mas Jaka keluar kota, sebagai wanita normal tentu saja Kak Nadia juga punya birahi. Masalah tadi ia melihatku, tentu saja ia tidak berani mengusirku karena aku adik dari Suaminya, perasaan bersalah membuat dia melakukan tindakan bodoh seperti tadi, tapi aku senang.

Sudalah, mending sekarang aku makan dulu, karena sedari tadi aku belum makan apapun.

"Dek, kita bisa bicara sebentar ?"

"Boleh, tapi tidak sekarang ya Kak, aku mau makan dulu, dari pulang sekolah tadi aku belum makan Kak." Kataku, sambil mengelus-elus perutku.

"Ya sudah, Kakak siapkan dulu makannya."

"Terimakasi ya Kak." Jawabku, lalu aku menunggu di ruang makan.

Tak begitu lama Kak Nadia datang sambil membawakanku makanan, tanpa berkata lagi aku segera menghabiskan makan siangku, hingga tak bersisa sedikitpun, sementara Kak Nadia tetap setia menungguku menghabiskan makananku.

Setelah makan, aku mengajak Kak Nadia untuk mengobrol di ruang keluarga, kami duduk di sofa sambil menonton televisi.

"Mau ngomong apa Kak ? Soal tadi ya ?" Tanyaku, karena aku memang tipe orang yang tidak suka berbasa-basi.

Kak Nadia tidak langsung mejawab, dia membenarkan posisi kerudungnya yang sedikit berantakan, lalu dia menghela nafas panjang, membuatku sedikit merasa takut kalau nanti dia mengadukan perbuatanku barusan kepada Mas Jaka, bisa-bisa aku di gorok oleh Mas Jaka kalau dia tau aku menggoda Istrinya.

"Iya, soal tadi pagi." Na benarkan... "Tadi pagi Umi Irma sudah cerita ke Kakak, katanya kamu terlambat datang kesekolah." Katanya, sukses membuatku bengong, karena kupikir dia akan mengancamku, mengadukan perbuatanku dengan Suaminya.

"Soal itu, iya memang benar Kak." Jawabku, menarik nafas lega.

"Kok bisa kamu telat, jangan bikin malu Masmu."

"Soalnya tadi pagi aku bangun kesiangan Kak, terus tadi di kamar mandi Kakak terlalu lama." Kataku memberi alasan kenapa aku bisa datang terlambat.

"Jangan di jadikan alasan, kalau kamu tidurnya lebi awal, bangunnya juga pasti lebi awal."

"Kakak lupa ya, semalam aku menggantikan posisi Mas Jaka, buat gantiin dia ronda malam, bukannya Kakak yang menyuruhku semalam."

"Oh iya... " Katanya kaget, dasar Kakak iparku yang satu ini memang rada oon. "Hehe... Kakak lupa kalau semalam kamu gantiin Masmu, tapi tetap tidak boleh di jadikan alasan untuk terlambat kesekolah."

"Iya Kak !" Jawabku pasrah.

"Kakak cuman mau ngasi tau itu aja, lain kali jangan di ulangi." Ujarnya, lalu dia beranjak hendak pergi. "Oh iya soal kejadian tadi, anggap saja tidak perna terjadi." Kalimat terakhirnya sukses membuatku kembali bengong.

Tapi setidaknya dia tidak sampai marah kepadaku, karena tadi aku sempat khilaf, hingga berani memandangnya dengan tatapan nafsu setan.

--------------------------

Tuhaan... ada apa denganku, kenapa tadi aku deg-degkan saat dekat dengannya, kenapa perasaanku bergetar saat melihat senyumnya.

Nadia berbaring diatas tempat tidurnya, sambil memeluk erat bantal gulingnya, membayanhkan tatapan mata adik iparnya, senyumannya dan cara bicaranya, membuat perasaannya menjadi tak menentu. Padahal rencananya tadi ia ingin marah terhadap Adik iparnya, tapi setelah bertatap mata langsung dengan mata Adik iparnya, hatinya lasung mencair.

Mas... maafkan aku, tapi ini terjadi begitu saja, aku tidak bermaksud menghinati hatimu, aku berjanji ini tidak akan terulang lagi, cepat pulang Mas.

Tak terasa perlahan matanya mulai berat, ia di serang rasa kantuk yang amat sangat, hingga akhirnya ia tertidur lelap di temani .bayangan senyuman dari Adik iparnya.

Beberapa hari ini, Irma selalu berusaha menghindar setiap kali bertemu Reza, dia merasa malu setelah kejadian malam itu, walaupun setiap malamnya ia tetap saja mengerang cukup keras setiap kali bercinta, tanpa memperdulikan kehadiran Reza yang berada di samping kamarnya.

Seperti malam ini, Suaminya Iwan kembali menunaikan kewajibannya dengan menyetubuhi Istrinya.

"Teruuss Abi... Aah... Aah... !"

"Pelan-pelan sayang, suaranya di kecilin, malu nanti kedengeran sama temannya Abi." Ujar Iwan, yang tak perna bosan mengingatkan Istrinya.

"Gak bisa Bi, Aaaa... enak banget Bi !" Erang Irma tak perduli.


"Uuhk... iya sayang, Abi mau keluar ni."

"Nanti Bi, Aaahk... Umi masi belum ni." Rengek Irma, malam ini dia sudah bertekad, akan mendapatkan klimaksnya, bagaimanapun caranya.

Irma mendorong tubuh Suaminya hingga terlentang, lalu dia naik keatas tubuh Suaminya, di arahkan penis Suaminya.ke lobang vaginanya, lalu dengan satu hentakan dia menduduki penis Suaminya hingga amblas.

Dia segera menggerakan pimggulnya naik turun, sesekali ia memutar pinggulnya. Rasa nikmat yang ia rasakan bertambah nikmat, apa lagi Suaminya memberinya stimulasi terhadap kedua payudarahnya, memainkan puttingnya, membuat Irma semakin berteriak kencang.

Tapi apa daya, ketika keterbatasan Suaminya, membuat Irma harus kembali menelan pil pahit.

"Bi keluaaar !" Erang Iwan, tubuhnya mengejang sejenak.

"Belum Bi, jangan keluar dulu." Pinta Irma.

"Maaf sayang."

"Gak boleh Bi, Umi belum dapat... " Irma tidak mau menyerah, ia semakin bersemangat mengaduk-aduk penis Suaminya, berharap nafsu Suaminya kembali bangkit.

Tapi Iwan bukan tipe pria yang muda untuk membangunkan hasratnya, dia butuh waktu, walaupun dia sangat bernafsu melihat Istrinya.

Tak urung, ketika Irma menarik pantatnya keatas, penis Suaminya yang kecil terlepas dari cengkraman dinding vaginanya. Tapi Irma tetap tidak mau menyerah, dia berusaha memasukan kembali penis Suaminya, tapi gagal. Berkali-kali ia mencoba membangunkan penis Suaminya, tapi tetap saja tidak bisa, membuatnya akhirnya menyerah.

Dia merebahkan tubuhnya kesamping Suaminya, dia kesal karena Suaminya tidak perna mampu memuaskan birahinya.

"Umi... !"

"Jangan sentuh aku Bi."

"Maafin Abi ya sayang, Abi sudah berusaha, bahkan Abi sudah minum obat kuat, tapi ternyata tetap gagal." Sesal Iwan, ia sendiri sebenarnya merasa bersalah karena tidak perna bisa memuaskan birahi Istrinya, walaupun ia sudah melakukan berbagai cara agar bisa tahan lebi lama.

Irma tetap diam, ia masi amat kesal dengan Suaminya, dari dulu dia tak perna merasakan yang namanya orgasme, sementara teman-temannya yang sudah menikah sering bercerita bagaimana nikmatnya saat mencapai orgasme, sementara dirinya hanya bisa menjadi pendengar yang baik, padahal ia sudah lama menikah dan memiliki seorang anak.

"Umi ngantuk Bi."

"Ingat Umi, surganya Istri ada pada ridhonya Suami, walaupun Abi tidak bisa memuaskan kamu, bukan berarti kamu bisa marah seperti ini dengan Suami kamu."

"Aku tau Abi, tapi apa salah kalau Umi kecewa."

"Itu haknya Umi, tapi bukan berarti Umi boleh mendiamkan Abi seperti ini. Ya sudah Abi mau ronda dulu, malam ini giliran Abi yang ronda." Iwan segera keluar kamar, meninggalkan Istrinya sendiri yang masi diam memikirkan ucapannya.

Dia segera kekamar mandi, menunaikan kewajibannya, mandi wajib, selama ia menyiram tubuhnya, dia memikirkan perubahan yang terjadi kepada Istrinya. Selama ini Istrinya tak perna mengeluh walaupun ia tidak bisa memuaskan Istrinya, tapi akhir-akhir ini Istrinya sering mengeluh.

Dia tidak tau apa yang menyebabkan Istrinya berubah seperti saat ini, dia hanya berharap Istrinya bisa mengerti dan menerima kekurangannya.

Saat dia kembali kekamarnya untuk berganti pakaian, Istrinya tetap diam tak mau mengajaknya bicara, bahkan ketika ia berpamitan ingin pergi, Irma tak berkomentar apapun, dia hanya memandang sesaat kearah Suaminya.

"Mas, mau kemana ?" Tanya Reza.

"Mau pergi ronda, biasa jadwal bulanan. Nanti juga kamu kebagian, mungkin untuk bulan depan." Jelas Iwan sambil tersenyum ramah.

"Kalau begitu biar aku ikut denganmu Mas."

"Tidak perlu biar saya sendiri saja, kamu di rumah." Tolak Iwan, dia tentu tidak ingin merepotkan tamunya, walaupun sebentar lagi Reza akan menjadi salah satu penghuni Madrasya.

"Saya gak enak Mas, sama Mbak Irma, kalau cuman berduaan saja di rumah, takut nanti salah paham."

"Hei tenanglah, aku mengenalmu sudah sangat lama, aku tau kamu orang yang baik, dan aku sangat mempercayaimu. Aku merasa lebi khawatir kalau aku harus meninggalkan Istriku sendirian di rumah."

"Hahaha... Mas Iwan bisa saja." Jawab Reza sambil menggaruk kepalanya.

"Ya sudah aku pergi dulu ya."

"Iya Mas, hati-hati di jalan."

"Sama-sama, aku titip Istriku kepadamu."

"Baik Mas, aku akan menjaga Istrimu..."

"Assalamualaikum."

"Waalaikum salam."

Setelah Iwan pergi, Reza segera menutup pintu rumah, dan 'kleek' dia menguncinya.

Reza berjalan kekamarnya, lalu mengambil sebutir kapsul di dalam botol obat. Kemudian ia keluar menuju dapur, membuat segelas susu yang nantinya akan di berikan kepada Irma, istri sahabatnya sendiri.

Reza... reza... malam ini adalah malam keberuntunganmu, selagi temanmu berjaga-jaga di luar sana, kamu di dalam rumahnya, akan mencuri tubuh Istrinya, Hahaha... bodoh sekali kamu Mas, menitipkan Istrimu kepadaku, tapi tenang saja Mas, malam ini aku akan membuat Istrimu bahagia dan melupakanmu...

----------------

Tok... tok... tok...
"Siapa ?"

"Ini aku mbak, Reza !"

"Ada apa Mas ? Sebentar ya... " Irma segera turun dari atas tempat tidurnya, ia sempat menghapus air matanya.

Dia mengambil sepasang piyama tidur yang lebi sopan dari sebelumnya, tak lupa ia juga mengenakan kerudung, bagaimanapun juga Reza bukan muhrimnya, sudah selayaknya sebagai seorang Istri yang taat, ia menutup seluruh auratnya, untuk menjaga diri.

Perlahan Irma membuka pintu kamarnya, dia melihat Reza sedang tersenyum sambil membawakannya segelas susu hangat. Harus diakuinya, Reza memang lebi perhatian ketimbang Suaminya yang rada cuek.

"Ini sengaja saya buatkan khusus buat Mbak." Reza menyerahkan segelas susu hangat kepada Irma.

"Terimakasi Mas."

"Sama-sama Mbak, ehm... kalau lagi butuh temen ngobrol, saya ada di kamar, panggil aja." Ujar Reza sembari tersenyum, lalu ia berbalik dan hendak kekamarnya, tapi sebelum itu ia kembali berkata. "Jangan nangis lagi Mbak, nanti cantinya hilang loh." Rayu Reza.

"Iya makasi."

Irma kembali menutup pintu kamarnya, dia duduk di atas tempat tidurnya sambil menikmat segelas susu hangat pemberian Reza. Dia tidak menyangka kalau Reza begitu perhatian kepadanya, berbeda dengan Suaminya, yang tega meninggalkan dirinya dalam keadaan kacau seperti ini.

Seandainya saja Mas Iwan bisa seromantis Mas Reza, mungkin aku akan menjadi Istri yang paling bahagia

Tanpa di sadarinya, Irma perlahan mulai menbandingkan Suaminya dengan pria lain, kekecewaan terhadap Suaminya membuat dirinya lupa hakikat menjadi seorang Istri yang setia, baik perbuatan maupun hati, seperti yang telah di ajarkan oleh ajaran Agamanya.

Dia kembali meminum susu pemberian Reza, entah kenapa bayangan Reza tak mau hilang dari bayangannya, padahal ia sudah berusaha menggantinya dengan wajah Suaminya, tapi yang terjadi dia malah kesal.

Irma telah menghabiskan susu hangatnya, efek dari obat perangsang yang di berikan Reza mulai bereaksi, Irma mulai merasa tak tenang, puttingnga mengeras, dan vaginanya membanjir, ingin rasanya dia memuaskan birahinya dengan bermasturbasi, tapi dia tau itu dosa dan ia lebi memilih bertahan.

Perlahan ia merebahkan tubuhnya, berusaha menenangkan dirinya, tapi lama-kelamaan dia semakin tergoda untuk menyentuh organ tubuhnya.

"Tidak... tidak... aku tidak boleh melakukannya, lebi baik sekarang aku menemui Reza, setidaknya aku punya teman ngobrol untuk melupakan birahiku " Gumam Irma, teringat dengan pesan Reza barusan kepada dirinya.

Dia segera keluar kamar menuju kamar Reza, awalnya dia agak ragu untuk mengetuk kamar Reza, tapi birahinya yang tinggi menuntut pengalihan.

Tok... tok... tok...
Tak lama kemudian pintu kamar terbuka, Reza menyambut Irma dengan mengenakan kaos putih yang super ketat memeluk tubuh Reza, sehingga baju itu memperlihatkan bentuk tubuh Reza yang sempurna dan kekar.

"Ada apa mbak ?" Tanya Reza.

"Maaf Mas, cuman pingin ngobrol aja, tapi kalau Mas mau tidur saya akan pergi." Jelas Irma, entah kenapa ia merasa bersalah dengan perbuatannya kali ini.

"Saya lagi santai aja kok Mbak, ayo masuk." Ajak Reza.

Walaupun menyisakan keraguan Irma menerima tawaran Reza untuk masuk kedalam kamarnya.

Perasaan Irma semakin tak menentu, aroma melati yang tercium oleh hidungnya, membuat birahinya semakin meledak-ledak, tanpa bisa ia tahan, cairan vaginanya terus menerus keluar tanpa bisa ia hentikan, membuat celana dalamnya terasa lembab.

Jantungnya berdetak semakin keras, tatkala Reza duduk di sampingnya, apa lagi ketika ia melihat senyuman Reza yang menggoda, membuat dirinya semakin tak tenang.

Sadar Irma, kamu tidak boleh di sini, di kamar pria lain yang bukan muhrimmu, ingat cowok yang di sampingmu ini dulu perna menggodamu, kamu Istri yang baik, kali ini kamu tidak boleh terbuai oleh godaannya, kamu harus keluar sekarang, ingat Suamimu Irma... ingat anakmu, ingat keluargamu kecilmu

"Maaf Mas, saya kekamar dulu ya !" Irma hendak buru-buru pergi sebelum hal buruk terjadi. Tapi Reza dengan cepat menahan pergelangan tangan Irma.

Irma terdiam, melihat pergelangannya yang sedang di pegang oleh pria lain, darahnya berdesir, nafasnya semakin berat. Segera ia mengibaskan tangannya, melepas pegangan Reza di pergelangan tangannya.

"Mau kemana ? katanya mau ngobrol."

"Gak jadi Mas." Jawab Irma buru-buru.

Tapi Reza tak ingin kehilangan mangsanya, dia menarik kembali tangan Irma, dan memintanya untuk duduk. "Kenapa ? kitakan cuman ngobrol." Jelas Reza, matanya menatap dalam-dalam mata Irma. Tapi Irma segera mengalihkan pandangannya.

"Kita bukan muhrim Mas, gak pantas kita berdua berada di kamar berduan seperti ini."

"Kenapa tadi kamu masuk kekamar saya ?"

"Saya khilaf." Jawab Irma lirih.

"Jangan munafik Mbak, saya tau kalau Mbak kesepian, biarkan saya menemani Mbak malam ini." Ujar Reza yang mulai kehilangan kesabarannya.

"Maksudnya ? Maaf Mas saya wanita baik-baik, dan saya sangat mencintai Suami saya. Oh iya, kelakuan anda malam ini sangat kurang ajar, saya berharap besok anda sudah meninggalkan rumah saya dan jangan datang lagi." Ucap Irma emosi mendengar perkataan Reza kepadanya.

Irma hendak keluar kamar, tapi ketika ia menarik handlenya, pintu kamar Reza tak mau terbuka. Irma mulai panik, ia merasa akan terjadi hal yang buruk dengan dirinya.

Reza berjalan mendekatinya, semakin dekat, lalu tanpa berkata apapun dia memeluk Irma dari belakang. Wanita cantik itu langsung meronta-ronta, ia menangis sambil berteriak berharap ada yang mendengar teriakannya, tapi usahanya akan sia-sia saja karena tak akan ada yang mendengar teriakannya.

Reza yang lebi kuat dari Irma dengan mudanya menghempaskan tubuh Irma jatuh di atas tempat tidurnya.

"Jangan melawan, saya hanya ingin memuaskan nafsumu yang besar, saya tau Suamimu tidak perna bisa memuaskan kamu, sampai kapanpun." Ujar Reza, dia menindi tubuh Irma sambil berusaha mencium bibirnya.

"Jangan Mas... ini dosa, Saya... hhmmpp.... hhmmpp... " Reza berhasil melumat bibir Istri sahabatmya.

Sambil berciuman jari-jari Reza mempereteli kancing piyama Irma, lalu dia membetot bra yang di kenakan Irma hingga putus, dan membuangnya entah kemana.

Tapi walaupun begitu Reza tak mau buru-buru, dia ingin menikmati tubuh Irma dengan perlahan, sentuhan lembut ia berikan di atas payudara Irma, ia meremasnya pelan, walaupun sedikit kasar, membuat mata Irma melotot, merasakan payudaranya yang sedang di sentuh oleh pria lain yang bukan Suaminya.

"Kamu cantik sayang, jangan melawan ya !" Bisik Reza lirih, dia masi menindih tubuh Irma agar tak bergerak.

"Sadar Mas, aku Istri sahabatmu, kita sama-sama tau kalau ini berdosa Mas, tolooong... Aaahkk... hentikan Mas, sebelum semuanya terlambat." Isak Irma, dia tidak menyangkah kalau dirinya akan di perkosa di rumahnya sendiri.

"Malam ini aku akan memuaskanmu cantik."

"Ooohh Mas, jangan di pelintir, aku tidak tahaaan... " Erang Irma, yang memang sebelumnya sangat terangsang karena birahinya yang belum sempat di tuntaskan oleh Suaminya, di tambah lagi dengan obat perangsang, dan sekarang dia di rangsang habis-habissan oleh sahabat Suaminya.

Reza menyingkap kerudung Irma, tapi tidak sampai melepasnya, hanya saja kerudung itu sedikit memperlihatkan leher jenjangnya yang putih. Reza segera menciuminya, membuat beberapa tanda merah di leher Irma.

Sementara payudaranya di remas semakin keras, dan anehnya remasan kasar Reza malah membuatnya semakin terangsang, dan tak bisa mengendalikan dirinya.



Irma menangis semakin menjadi-jadi, bukan karena ia sedang di perkosa tapi karena tubuhnya yang mulai menikmati setiap sentuhan di dadanya, bahkan bibirnya tak dapat menolak ketika Reza melumatnya kembali.

Ciuman Reza berpinda kedada kirinya, dia mengulum payudara Irma, memainkan puttingnya yang mengeras.

"Jangaaan Mas, aku mohooon !"

"Nikmatin saja sayang, malam ini aku akan membuatmu merasakan yang namanya orgasme, kamu sudah lama menginginkannya bukan ?" Ejek Reza, lalu dia kembali mengulum putting Irma.

"Aaampuun... Aaah... aku tidak mau, tolooong !"

Reza tak perduli dengan teriakan miris dari Irma, yang dia inginkan hanya satu, menaklukan wanita yang di kenal Shaleha, Istri dari sahabatnya. Tangan Reza turun kebawa, dia menekan selangkangan Irma, dia menekan vagina Irma, membuat wanita berhijab itu menggeliat, bukan karena rasa sakit, tapi karena rasa nikmat nan geli yang di rasakan tubuhnya.

Ciuman Reza berpindah, dari payudara kiri, kini berpindah kepayudarah kanannya, ia menghisap dan mencucup putting Irma yang menggemaskan, sementara jarinya menusuk-nuduk vagina Irma dari luar celana piyama yang di kenakan Irma.

"Aku akan menjadikan kamu wanita binal, malam ini tubuhmu resmi menjadi milikku."

"Ampuuuun Mas, aku sudah bersuami... !"

"Hahaha... statusmu itu yang membuatku semakin bergairah sayang, kamu bisa bayangkan, wanita soleha sepertimu takluk dengan nafsumu sendiri." Jelas Reza, dia memainkan jarinya di bibir tipis Irma.

"Kamu pria laknat !" Umpat Irma.

"Hahaha.... "

"Lepaskan aku, jangan perkosa aku Mas." Irma semakin kalut, ia memukul dada Reza.

"Ini bukan pemerkosaan, aku hanya ingin membantu wanita setia sepertimu mengeluarkan sisi liarnya, dan sekarang aku ingin melihat memekmu yang basah." Bisik Reza, dia semakin intens mempermainkan perasaan Irma yang merasa berdosa.

Dia memegang kedua sisi celana piyama Irma, dia menarik perlahan celana piyama Irma, tanpa bantahan, tanpa penolakan, karena Irma secara tidak langsung tubuhnya sudah pasrah menerima nasibnya, hanya hatinya saja yang sedari tadi berteriak menolak perlakuan Reza terhadap dirinya.

Perlahan tapi pasti, celana dalam Irma yang berwarna biru langit di hiasi pitah di bagian atasnya terlihat mengagumkan, ketika celana piyama itu melewati selangkangan Irma, terlihat bercak basah di celana dalamnya, tepat di bibir vaginanya. Irma memalingkan wajahnya dari tatapan nanar Reza, dia benar-benar merasa malu di perlakukan layaknya perempuan murahan oleh sahabat Suaminya sendiri.

Reza menciumi betis Irma, lalu naik kepahanya dan berhenti tepat di selangakangannya, dia mengendus celana dalam Irma yang menebarkan aroma kewanitaanya.

Perlahan diapun menarik lepas celana dalamnya, sehingga vagina berbulu lebat milik Irma terekpose di hadapan Reza. Wanita berkerudung itu menangis semakin keras, dia malu dan sangat marah terhadap dirinya sendiri, karena gagal mencega Reza menelanjangi dirinya.



"Bagaimana rasanya di telanjangi sama orang lain yang bukan Suami ? Rasanya menengangkan bukan, dan membuat kamu semakin terangsang dengan keadaan saat ini." Bisik Reza sambil membelai paha mulus Irma.

"Bajingan kamu Mas, tegaaa kamu Mas !" Isak Irma.

"Hahaha... terusnya mengumpat, kalau dengan cara itu bisa membuatmu semakin terangsang Ustadza Irma, Suami dari sahabat baikku Iwan, yang mengerahkan Istrinya untuk kujadikan budak nafsuku." Katanya tajam, dan kemudian kembali menciumi paha mulus Irma.

Benar apa yang di katakan Reza, perlakuan Reza membuatnya tegang, perasaan bersalah yang di rasakannya membuat dirinya semakin terangsang, bukan merasa semakin terhina.

Tak bisa di pungkiri, sebagai seorang Istri yang taat terhasap Agama, perlakuan Reza benar-benar membuat harga dirinya tercabik-cabik, tapi sisi liar yang ada di dalam dirinya sangat menyukai setiap pelecehan dan hinaan yang di lontarkan Reza kepada dirinya, hanya saja Irma belum menyadari sepenuhnya dengan apa yang terjadi terhadap perubuhan di dalam dirinya.

Ciuman Reza semakin lama semakin keatas, ujung lidanya mulai menyentuh bibir vagina Irma yang berkedut, sementara kedua jari jempolnya menekan pinggiran bibir vagina Irma.

"Aaah... hentikan Mas, itu menjijikan !" Teriak Irma, seumur-umur baru kali ini ada seseorang yang mau menjilati vaginanya, karena Suminya Iwan tidak perna sekalipun menjilati vaginanya, walaupun dia menginginkannya.

"Ooooh Tuhaaaan... hentikan, aku mohon Mas." Irma mengerang, kedua tangannya mengais-ngais, terkadang ia memukul kepala Reza dengan pukulan ringan.

Tetapi Reza tak berhenti merangsang Irma, seorang Istri yang setia dan taat dengan ajarannya. Dia menghisap clitoris Irma, sementara dengan jari telunjuk dan tengahnya dia menusuk lobang vagina Irma dengan gerakan perlahan tapi menghentak, dan terkdang ia mengais-ngais, mengorek liang vagina Irma hingga semakin becek.

"Katanya gak mau, tapi memeknya basah banget, pengen di entot sekarang ya ? Sabar yaa... saya belum puas menjilati memeknya kamu." Goda Reza, lidanya semkin intens menjilati clitoris Irma, sementara jarinya semakin dalam menggali vagina Irma.

"Aaah... Aampun Mas, ngiluuu... Aaa... pelan-pelan !" Irma menggeliat-liat menahan semua godaan yang melanda ujung syaraf di tubuhnya yang mulai basah kuyup dengan keringat.

Tapi Reza tetap tak mau berhenti, ia senang melihat korbannya yang tak berdaya melawan nafsunya, dia senang saat melihat Istri sahabatnya itu berusaha membongi dirinya sendiri dengan terus meronta dan berteriak, tapi sama sekali tidak berusaha menghentikan perbuatannya, malahan Irma wanita shaleha itu menjambak rambutnya, dan menekan kepalanya.

Setelah lima menit berlalu, tubuh Irma mengejang kaku, kakinya tertekuk, dan kemudian dari dalam vaginanya keluar cairan yang sedari tadi ia nantikan.

Untuk pertama kalinya di dalam hidup Irma, wanita berhijab itu merasakan nikmatnya orgasme, dia merasa seperti buang air tapi ini rasanya sangat nikmat sekali, bahkan ia sendiri rasanya tak ingin kehilangan apa yang ia rasakan sekarang. Dia tanpa sadar mendekap kepala Reza, menekan wajah seorang pria yang bukan Suaminya tenggelam kedalam hutan rimba miliknya.

"Bagaimana rasanya ? enakkan ?"

"Tidaaak... ini menjijikan Mas, aku mohon Mas lepaskan aku, sadar Mas, ini zina ketika tidak boleh melakukannya." Isak tangis Irma sambil menutup wajahnya.

Reza berbaring di samping tubuh Irma, dia membelai wajah korbannya, sementara matanya menelusuri setiap lekuk tubuh mangsanya. Reza tidak ingin terburu-buru, wanita seperti Irma tak bisa di perlakukan dengan cara terburu-buru, harus dengan cara perlahan agar membekas di hati wanita shaleha seperti Irma.

Tangan kiri Reza meremas payudara Irma, memainkan puttingnya, membuat tubuh Irma kembali menggelinjang.

"Jangan setubuhi aku Mas, jangan nodai aku !"

"Tidak... tidak... aku tidak akan menyetubuhimu, aku hanya ingin ngentot denganmu, aku ingin merasakan jepitan memek seorang Ustadza, Istri yang alim." Bisik Reza menggoda korbannya baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan.

"Aku tidak mau... !"

"Tidak mau apa ?" Tanya Reza meringis.

"Nge... ngentot Mas, aku tidak mau melakukannya dengan orang lain, selain Suamiku Mas." Tak sadar Irma mulai mengikuti cara bicara Reza yang sedikit vulgar.

"Tidak sekarang tapi nanti... !" Bisiknya, lalu melumat pelan bibir Irma. "Sekarang kamu boleh keluar, kunci kamarnya ada di atas meja saya." Sambung Reza sambil melepas pelukannya.

Irma terdiam, sekarang dia yang malah kebingungan, bagaimana mungkin seorang pria yang tadinya ingin memperkosanya tiba-tiba saja melepaskannya begitu saja. Apa yang salah sebenarnya dengan Mas Reza ? Kenapa ia begitu mudanya melepaskanku ? Bukankah ini kesempatan yang bagus bagi dirinya untuk menikmati tubuhku ? Irma merasa tidak rela kalau dirinya di lepaskan begitu saja.

"Pergilah sebelum saya berubah pikiran, atau kamu mau aku perkosa sekarang ?" Kata Reza mengejek Irma.

"Bajingan, aku tidak sudi di perkosa olehmu."

Irma segera bangun dari tempat tidurnya, ia memungut pakaiannya dan hendak mengenakannya kembali. "Tinggalkan celana dalammu." Ucap Reza terdengar seperti perintah, dan bodohnya Irma mengikuti perintah Reza.

Ia segera mengenakan kembali piyamanya tanpa mengenakan dalamannya, karena branya sudah putus dan celana dalamnya di ambil Reza.

Buru-buru Irma mengambil kunci kamar Reza, kemudian dia bergegas menuju pintu kamar Reza dan hendak membukanya, tapi lagi-lagi Reza menghentikannya.

"Tunggu sebentar." Kata Reza.

Dia membuka lemari pakaiannya dan kemudian dia mengambil sebuah botol berukuran kecil yang berisi obat perangsang, Irma tampak kebingungam saat menerima botol tersebut, tapi ia tetap mengambilnya dari tangan Reza.

"Itu obat perangsang, kamu minum setiap bangun tidur dan saat kamu ingin tidur." Perintah Reza.

"A... apa ? gila kamu Mas."

"Cobalah dulu, dan kamu rasakan sensasianya... "

"Persetan dengan obat ini, aku akan membuangnya, dan aku akan mengadukan perbuatanmu kepada Mas Iwan." Ancam Irma geram dengan perlakuan Reza

"Terserah apa katamu, tapi aku meragukannya."

Braaak... Irma membanting pintu kamar Reza, ia berlari sambil menangis kembali kekamarnya.

Semetara Reza ia tersenyum penuh kemenangan, ia yakin sebentar lagi, Irma Istri sahabatnya yang shaleha akan jatuh kedalam pelukannya.

Setiap hari jumad tiba, aku menyambutnya dengan suka cita, karena hanya di hari ini aku bisa keluar dari lingkungan sekolah, dan berjalan-jalan kepasar, walaupun hanya sekedar melihat-lihat tanpa membeli apapun.

Dan hari ini terasa lebi spesial, karena tadi saat aku baru tiba di terminal pasar, aku bertemu dengan pujaan hatiku, Clara Shinta yang juga sedang berkeliling di pasar.

Aku memberanikan diri untuk menghampirinya, hanya sekedar menyapa dan berjalan keliling pasar bersama-sama.

"Kamu lapar gak?" Tanyaku.

"Eehmm... jam berapa si sekarang?" Katanya bertanya balik.

"Baru jam 11 an, emang kenapa ?"

"Ya udah yuk, kita makan dulu sebelum pulang." Ujarnya, aku mengangguk senang.

Kami berjalan beriringan, lalu kami memasuki tenda yang menjual bakso. Aku sengaja memilih tempat duduk di belakang, di dekat sungai yang mengalir, agar terlihat lebih sedikit romantis.

Tak lama.kemudian seorang pelayan menghampiri kami sambil membawakan pesanan kami.

"Kok ngeliatnya gitu banget si?" Tegur Clara, aku tersenyum sambil menikmati pentol bakso di dalam mulutku, setelah mengunyanya sebentsr, aku menelannya dengan perlahan.

"Kamu cantik!" Kataku langsung.

"Eehkk... " Dia tersedak, aku buru-buru memberinya segelas air putih untuk ia minum. "Terimakasih...!" Ujarnya, sembari tersenyum, membuatnya terlihat semakin cantik.

"Iya sama-sama."

"Gara-gara kamu bilang cantik, aku jadi keselek ni."

"Hahaha... "

"Nyebelin ni kamu!" Katanya cemberut tapi aku suka.

"Iya maaf." Ujarku lalu aku menyeka sisa air di bibirnya sembari tersenyum. "Tapi aku serius kamu memang cantik kok." Sambungku, lalu aku kembali menyantap bakso milikku.

Selesai makan dan membayar ke tukang bakso, kami berpisah di pinggir jalan, dia lebi naik angkot yang pertama, sementara aku menunggu angkot selanjutnya.

Seperti yang kuceritakan sebelumnya, peraturan di sekolahku sangat ketat, siapa saja yang ketahuan berjalan berdua-duaan yang bukan pasangan resminya atau keluarganya, makan ia akan di hukum sangat berat, bahkan kalau sampai ketahuan beberapa kali bisa di keluarkan dari sekolah.

------------------

Seminggu telah berlalu semenjak terjadinya pelecehan yang di alami Irma oleh Reza, dan selama itu juga Irma menjaga rahasianya dari Suaminya tercinta. Ancaman yang beberapa hari lalu sempat ia lontarkan kepada Reza, tidak sampai dia lakukan, ia hanya memendamnya sendiri.

Sementara untuk obat perangsang yang sempat di berikan Reza kepadanya, awalnya ia sama sekali tidak tertarik untuk menggunakannya, tapi ia juga tak membuangnya. Hingga di hari keempat setelah kejadian itu, rasa penasarannya terhadap obat tersebut, membuatnya mencoba meminumnya.

Dan ternyata benar apa yang di katakan Reza, sensasi yang dia dapat begitu luar biasa, sepanjang hari ia terangsang dan harus menahan birahinya sepanjang mengajar, puttingnya selalu mengeras, dan vaginanya selalu mengeluarkan pelumas.

Semenjak itu ia ketagihan untuk mengonsumsinya setiap hari, pagi dan malam hari, seperti yang di anjurkan Reza.

Sehabis makan malam, Irma tampak sibuk mencuci piring kotor bekas mereka makan barusan, sambil mencuci piring, pinggul Irma tak mau diam, bergerak kekiri dan kekanan, akibat obat perangsang yang ia konsumsinya sebelum makan tadi.

"Gimana sayang ? kamu sukakan dengan obat yang aku berikan kemarin ?" Tiba-tiba dari belakang seseorang memeluknya, dari suaranya dia sangat mengenal suara itu.

Irma berusaha memberontak tapi Reza memeluknya dengan sangat erat, sehingga dia tak dapat melepaskan diri dari pelukan Reza, belum lagi birahinya yang semakin meledak, ketika ia menyadari saat ini sedang di peluk oleh orang lain yang bukan Suaminya. Tentu saja sebagai seorang wanita Shaleha, dia merasa sangat terhina.

"Lepasin Mas, Suamiku ada di rumah."

"Berarti aku boleh memelukmu, kalau Suamimu sedang tidak ada di rumah ? Dasar wanita nakal." Katanya kasar, tapi terdengar menggoda di telinga Irma.

"Bu...bukan begitu !"

"Tenanglah, kamu gak perlu panik seperti itu, Suamimu baru saja pergi, katanya ada rapat di kantor." Bisik Reza, kemudian tangan kanannya meraih payudarah kiri Irma.

Irma sempat memejamkan matanya, sejenak menikmati remasan kasar yang di lakukan Reza kepadanya.

Melihat mangsanya terbuai oleh sentuhannya, Reza langsung menyerang Irma bertubi-tubi, dia menciumi tengkuk Irma dari balik kerudung yang di kenakan Irma, sementara tangan kirinya turun menekan vagina Irma.

"Aaww... hentikan Mas, Aaahkk ... Aahkk... !"

"Hehehe, kamu menyukainyakan sayang, tenanglah... kita punya waktu dua jam untuk bersenang-senang." Ujar Reza, lalu dia melepas pelukannya dan memutar tubuh Irma hinga mereka berdua berhadap-hadapan.

Dalam sekejap, Reza sudah melumat bibir Irma, sementara kedua tangannya mencengkram erat pantat Irma, sambil menggesek-gesekan selangkangannya ke selangkangan korbannya. Sementara lidanya mencari lida Irma, setelah dapat ia membelit lida Irma.

Perlahan Irma membuka matanya, dia sadar saat ini ia sedang dipeluk seorang pria yang bukan Suaminya, sedangkan bibirnya saat ini membalas ciuman seorang pria yang sangat ia benci itu dengan sangat panas. Sungguh apa yang ia lakukan saat ini sangat tidak pantas, mengingat statusnya sebagai seorang Ustadza yang sangat di hormati.

Sadarlah Irma, apa yang kamu lakukan sekarang, kamu tidak boleh kalah dari nafsumu, tapi... ini nikmat sekali. Tidak Irma, ini salah, kamu sudah bersuami, ingat Suamimu, ingat anakmu, ingat keluargamu.

Tiba-tiba Irma tersadar dan kemudian mendorong tubuh Reza, sehingga Reza melepaskan pelukannya.

"Hentikan Mas, di rumah masi ada anakku." Ujar Irma dengan sisa-sisa kesadarannya.

"Kita bisa melakukannya di kamarku."

"Aku tidak mau, aku mohon Mas, sadarlah... kita tidak boleh melakukannya Mas, ini dosa besar Mas... Mas... " Rengek Irma, tapi dia tidak bisa berbuat banyak ketika Reza menyeretnya masuk kedalam kamar.

Reza segera menutup pintu kamarnya, sementara Irma berusaha menghindar, ia berdiri di pojokan, matanya sayu menatap Reza, berharap belas kasih dari Reza.

Pria itu membuka pakaiannya satu persatu hingga telanjang bulat, membuat Irma segera memalingkan wajahnya, karena ia merasa tidak pantas untuk melihat tubuh telanjang seorang pria yang bukan Suaminya, walaupun ia sendiri sebenarnya merasa penasaran dengan bentuk tubuh dan penis Reza.

Reza tersenyum girang, melihat mangsanya yang tampak malu-malu kucing, membuatnya semakin gemas ingin segera menikmati tubuh Istri sahabatnya itu, tapi Reza sadar betul, saat ini bukanlah saat yang tepat untuk melakukannya.

"Jangan sakiti aku." Bisik lirih Irma, saat Reza sudah berada di depannya dalam keadaan telanjang bulat.

Reza mengakat dagu Irma, meminta wanita itu memandang matanya, tapi Irma malah memejamkan matanya, dia terlalu malu untuk melihat wajah Reza.

"Buka matamu." Perintah Reza.

"Tolong hentikan semua ini Mas."

"Buka matamu lonte... liat mataku." Reza kembali mengulang perintahnya, membuat Irma merasa tertekan, dan mulai membuka matanya dengan perlahan, sehingga mata mereka berdua bertemu. "Sekarang, lihatlah kebawa." Ujar Reza pelan.

Bagaikan orang yang sedang terhipnotis, Irma menuruti perkataan Reza, dia mengalihkan padangannya kebawa hingga matanya melihat benda besar yang menggantung diantara paha Reza. Mata Irma mendelik kaget, dia tidak menyangkah kalau penis Reza begitu besar, tiga kali lipat lebi besar dari Suaminya.

"Ooo... Tuhan !" Pekik Irma kaget.

Segera Reza melumat bibir Irma, memeluk erat pinggang wanita shaleha yang ada didepannya.

Irma yang kembali tersadar, kembali berusaha memberontak, dia berusaha mendorong tubuh Reza, tapi gagal karena pelukan Reza sangat erat sekali, sehingga ia kesulitan untuk melepaskan diri dari cengkraman Reza.

Pria itu menghempaskan tubuhnya di atas kasur, dan kemudian memaksa, menelanjangi Irma untuk kedua kalinya, tanpa ada kesulitan berarti, dia berhasil menelanjangi Irma, dan hanya menyisakan kerudungnya yang nerwarna merah. Reza walaupun sudah perna melihat tubuh Irma dalam keadaan telanjang bulat, tapi tetap saja melihat kembali tubuh telanjang Istri sahabatnya itu, selalu menjadi hal yang special baginya.

Dengan sekuat tenaga, wanita berhijab itu mendorong kepala Reza, ketika pria itu ingin mengulum payudarahnya, tapi usahanya untuk mencega Reza kembali gagal.

Pria itu berhasil mengulum payudarah Irma, dia menyedot dan memainkan putting Irma, sementara tangan kirinya membelai bibir vagina Irma yang sudah sangat lembab.

"Aaoooh... jangaaan, hentikaaaan Mas... aku punya Suami, aku mohooon !" Erang Irma, ia menangis sejadi-jadinya karena ketidak mampuannya menghentikan perbuatan Reza.

Tapi erangan yang memilukan yang keluar dari wanita shaleha itu tak di gubris oleh Reza yang keburu di kuasai oleh iblis. Pria itu semakin intens merangsang tubuh Irma, kini kedua jarinya menusuk vagina Irma, mengocok dengan gerakan cepat, membuat Irma terbawa arus nafsu birahinya.

Ciuman dan jilatan Reza turun hinggap keperutnya yang rata, lidanya berputar dan terus turun hingga kepermukaan vagina Irma, ia sama sekali tidak jijik menjilati rambut vagina Irma, sementara tangannya membuka lebar kedua kaki Irma hingga setenga mengangkang.

Dengan gerakan cepat, wajah Reza sudah berada diantara kedua kaki Irma,.bibirnya menciumi sekujut bibir vagina Irma, yang di kenal sebagai wanita terhormat, Istri dari Ustad Iwan.

"Jangaaan di jilaaat Maaass.... Geliii.... Aaaa.... Aaa... enaaak... oooo... Tuhaaan.... cukuuuupp.... !" Irma mulai gelisah, karena ia kembali merasakan seperti yang ia rasakan minggu lalu, ketika ia mendapatkan orgasme pertamanya.

Reza melanjutkan aksinya,.dia mencari clitoris Irma di antara lipatan vagina Irma, setelah menemukannya, ia menggigit mesrah clitoris Irma, sementara kedua jarinya bergerak seperti gerakan yang sedang mencangkul, hingga terdengar suara plokk... plokk.. ploookkk... ketika jarinya mengocok vagina Irma.

Hingga akhirnya, pertahanan Irma tidak bertahan lama, ia mengerang hebat, dan memuntahkan cairan cintanya. Tubuhnya langsung terkulai lemas, setelah badai orgasmenya berhenti.

Seperti sebelumnya, untuk menimbulkan rasa nyaman pada diri Irma, Reza memeluk tubuh korbannya, sambil mengecup mesrah kening Istri sahabatnya tersebut, sementara tangan kanannya meremas pelan payudara Irma.

"Kenapa Mas ?" Tanya Irma pelan.

"Karena aku ingin kamu menjadi lonteku, menjadi budak nafsuku, dan menjadi istri yang durhaka terhadap Suaminya."Jawab Reza tanpa ada keraguan sedikitpun.

"Kamu gila Mas, aku sangat membencimu ! Aku tidak sudi menjadi lontemu." Pekik Irma, berurai air mata, hatinya teramat sakit mendengar ucapan Reza yang sangat melukai perasaannya sebagai wanita baik-baik. Padahal Suaminya sudah sangat baik kepadanya, tapi Reza malah tega mengkhinati kepercayaan Suaminya terhadap dirinya.

"Tidak sekarang tapi nanti."

Lalu Reza melepaskan pelukannya, dan menuju lemarinya, ia mengambil dua jenis vibrator dan satu dildo tempel. Sambil tersenyum ia mendekati Irma, sambil memperlihatkan ketiga mainannya di depan Irma yang kebingungan.

"Ini namanya vibrator kapsul, dan yang ini namanya vibrator rabbit sementara ini namanya dildo tempel." Jelas Reza memperkenalkan alatnya kepada Irma.

"Ini untuk apa ?"

"Ini untukmu sayang, na sekarang duduklah di sini." dia menarik kursinya, lalu menegakkan dildo tersebut diatas kursi. "Ayo kemarilah." Reza membimbing Irma untuk duduk di kursi yang sudah di pasangi dildo.

"Ja... jangan Mas aku tidak mau." Tolak Irma.

Tapi wanita yang sehari-harinya selalu mengenakan pakaian tertutup itu sama sekali tidak mencoba untuk lari ketika di bimbing Reza untuk menduduki dildo tersebut, karena jauh di dalam dirinya, ia juga sangat menginginkan kepuasan yang lebi dari sebelumnya.

Dengan perlahan Irma menduduki dildo tersebut dengan di bimbing Reza, perlahan inci demi inci dildo tersebut membela bibir vagina Irma, menggesek dinding vaginanya, menikmati sensasi yang di dapat dari dildo tersebut.

"Aaaah... " Irma merintih tertahan, sambil memejamkan matanya.

"Bagaimana rasanya ? Enakkan ? Hahaha... bayangkan kalau dildo itu penis milik orang lain bukan punya Suamimu." Bisik Reza sambil meremas sebentar susu Irma.

"Eehnm... kamu bajingan." Umpar Irma.

"Hahaha... ayo buka mulutnya sayang, aku akan mengajarkan kamu bagaimana cara mengoral kontol." Dia memegangi bagian belakang kepala Irma dan mendorongnya agar mendekat.

"Gaak... jangan Mas, aku belum perna."

"Cobala dulu sayang, Mas yakin kamu pasti menyukainya." Bujuk Reza tak melepas pandangannya kearah mata mangsanya.

Dengan sekuat tenaga Irma menutup mulutnya, walaupun sebenarnya dia mulai tergoda ingin melakukannya, apa lagi Reza sekalipun tidak perna berbuat kasar kepadanya, hingga detik ini Reza tak perna sekalipun memukulnya, bahkan pria itu melakukannya cukup lembut dan sedikit hinaan.

Reza mendorong pinggulnya, menyentuhkan penisnya ke bibir Irma yang terkatup rapat.

Irma menggigit bibir bawahnya, dia sudah tidak tahan lagi ingin melahap penis yang ada di depannya saat ini, dia berharap Reza mau sedikit memaksanya, tapi pemuda yang ada di depannya saat ini tidak akan perna mau memaksanya, membuat Irma merasa frustasi.

Dia mengalami tekanan batin, harga dirinya sebagai seorang wanita yang bersuami bertarung sengit dengan keinginan nafsunya yang ingin merasakan penis Reza di dalam mulutnya.

Reza memegangi penisnya, lalu membelai pipinya, meminta Irma mau membuka mulutnya. Kembali Irma terisak, dia menangis karena dia kembali menyerah oleh nafsunya, perlahan wanita bersuami itu membuka mulutnya, menerima penis Reza di dalam mulutnya yang hanya mampu menampung setengahnya saja.

Untuk pertama kalinya di dalam hidupnya, Irma mengoral penis seorang pria, bahkan Suaminya saja tidak perna memasukan penis kedalam mulutnya.

"Bagaimana kamu sukakan ?" Tanya Reza sambil membelai kerudung Irma.

Perlahan Reza menggoyang pinggulnya yang di ikuti Irma memaju mundurkan kepalanya. Ternyata rasa penis Reza tidak seburuk yang di pikirkannya, bahkan dalam waktu singkat dia sudah terbiasa dengan penis Reza yang berada di mulutnya.

"Bagus, ya seperti itu lonte ! Awas jangan sampai terkena gigi, ya begitu... Ooo... mulutmu enak sekali sayang, ehmm... yeaa... pinggulnya ikut di goyang, kocok dildo itu." Kata Reza memberi arahan untuk calon pelacurnya.

Irma mengikuti semua arahan Reza, sambil menikmati dildo yang saat ini sedang mengocok vaginanya, tidak, tepatnya dia yang sedang mengcok dildo tersebut, mencari kenikmatannya sendiri, sambil mengulum penis Reza yang terasa semakin nikmat di mulutnya. Sementara itu, Reza memainkan payudarahnya, meremas kasar tapi nikmat.

"Mulut kamu enak sayang ! Aaa... " Racau Reza, dia semakin cepat menggoyang pinggulnya.

Berselang sepuluh menit kemudian, Tubuh Irma kembali mengejamg-ejang, ketika badai orgasme kembali menghempaskan dirinya, kedalam jurang nista dan dosa yang sedang ia lakukan saat ini.

Dan pada saat bersamaan Reza memuntahkan spermanya kedalam mulut Irma, sehingga wanita bersuami itu tanpa sadar malah menelan sperma Reza, membuat pria itu terkagum-kagum melihatnya, bagaimana wanita yang di kenalnya selama ini begitu baik dan setia kepada Suaminya, mau menelan spermanya.

Reza mencabut penisnya dari dalam mulut Irma. "Kamu hebat, sebagai pemula kamu sangat luar biasa, bisa menelan sperma pria lain yang bukan Suamimu." Sebuah penghinaan yang terdengar seperti pujian bagi Irma.

Reza membantunya berdiri, membuat vagina Irma terasa begitu kosong, ada perasaan kesal di dalam hatinya.

"Sini duduk di pangkuanku." Ajak Reza, Irma bagaikan budak yang patuh kepada majikannya. Dia duduk di pangkuan Reza dalam keadaan pasrah. "Kamu cantik sekali malam ini, tak heran kalau sahabatku sangat mencintaimu." Puji Reza sambil membelai payudara Irma.

"Kau bajingan Mas, kau tega menodai Istri sahabatmu sendiri." Umpat Irma, dia sangat marah, walaupun ia menerima setiap perlakuan Reza terhadap dirinya.

"Ini belum selesai, aku belum menikmati memekmu."

"Terkutuk kamu Mas, aku tidak mau melakukannya." Isak Irma, sambil memukul dada Reza, tapi ia tak beranjak sedikitpun dari dalam pelukan Reza.

"Tidak sekarang, tapi nanti... Hahaha... " Tawa Reza menggema di dalam kamarnya.

Tangisan Irma terdengar semakin memilukan, wanita itu sadar betul, kalau Reza cepat atau lambat akan merenggut satu-satunya yang tersisa pada dirinya, tapi dia sendiri juga tidak dapat berlari, tepatnya dia tidak mau berlari menghindari takdinya ketakdir yang lebih baik untuknya.

Reza membelai kembali kepalanya, menenangkan Irma, hingga tangisan wanita itu perlahan mereda.

"Bangunlah, waktu kita sudah habis, sebentar lagi Suami kamu pulang." Ujar Reza sambil menepuk paha mulus Irma.

Irma segera tersadar, dan ia buru-buru melepaskan diri dari dalam pelukan Reza. Lalu tanpa di perintah Irma buru-buru mengenakan pakaiannya, dan merapikannya.

Dan seperti malam sebelumnya, Reza kembali menghentikan langkah Irma ketika wanita itu ingin keluar kamar meninggalkannya sendiri di dalam kamarnya. Reza berjalan mendekatinya, lalu mendorong wanita itu hingga sedikit menungging, kemudian ia menyingkap gaun tidur Irma keatas sebatas pinggangnya, dan menarik celana dalamnya.

"Mau apa.kamu Mas ?" Tanya Irma.

Dia pikir, Reza ingin mengambil celana dalamnya sama seperti sebelumnya, tapi ternyata tidak.

Reza memasukan benda kecil kedalam vagina Irma, lalu ia kembali mengenakan celana dalam Irma, dan mengaitkan benda berwarna hijau kesamping celana dalamnya, dan benda tersebut terdapat kabal yang tersambung dengan benda bulat yang berbentuk kapsul di dalam vaginanya.

"Ini pengatur geteran, kamu bisa menekan tombolnya sekarang." Perinta Reza.

Irma menekan tombol 'high' lalu benda yang di dalam vaginanya tiba-tiba bergetar hebat, sehingga membuat Irma sampai terduduk menahan getaran di vaginanya yang terasa begitu geli.

"Aaa... apa ini Mas ?" Tanya Irma kebingungan.

"Itu vebrator kapsul, mulai sekarang kamu harus menggunakannya, setiap saat kecuali saat kamu harus mengganti batreinya, dan untuk sementara waktu kamu belum boleh di sentuh oleh Suamimu, kamu mengerti ?" Tanya Reza.

"Kamu bajingan Mas."

"Sudalah, nanti kamu juga menyukainya." Jelas Reza sembari tersenyum yakin. "Dan yang ini, vibrator rabbit, cara menggunakannya hampir sama, untuk sementara mainan ini yang akan memuaskanmu, menggantikan penis Suamimu yang tak berguna itu." Reza menyerahkannya ke Irma.

Walaupun ragu, Irma tetap menerimanya dan menyimpan pemberian Reza.

"Sekarang kamu boleh keluar." Sambung Reza.

Sambil terisak, Irma berusaha berdiri menahan rasa geli dan nikmat di dalam vaginanya, dengan kaki gemetar ia meninggalkan kamar Reza, bak pelacur yang baru saja memuaskan birahi pelanggannya.

Sore harinya para siswa berkumpul untuk melakukan olah raga pagi, yang putra berkumpul di depan kantor Aliya, sementara yang putri berkumpul di lapangan, di depan asrama khadija.

Setelah di beri arahan sebentar, dan sedikit pemanasan, mereka memulainya dengan lari pagi mengelilingi sekolah.

"Shifa mana ?" Tanya Popi, menanyakan Shifa kepada Latifha.

"Gak tau gue, katanya tadi dia di panggil sama Umi Andini kekamarnya." Jawab Latifha sambil berlari-lari kecil mengikuti rombongan santri lainnya.

"Perasaan, dia sering banget akhir-akhir ini di panggil sama Umi Andini, ada apa ya ?" Tanya Ria.

"Waduh, gak tau juga Ya, tapi iya juga si, semalem dia juga menginap di kamarnya Umi Andini, pulangnya pas habis subuh, terus tadi ke kamarnya Umi lagi." Jelas Lathifa, walaupun penasaran, dia tak menaruh curiga sedikitpun terhadap sahabatmya.

"Apa dia di hukum ya ?"

"Eehmm... bisa jadi tu." Jawab Popi.

"Nanti kita tanyain aja de sama orangnya langsung." Timpal Ria, sambil sesekali menyeka keringat di dahinya.

Tak terasa saat ini mereka memasuki kawasan Santri, mereka melihat para siswa laki-laki yang masih berkumpul di lapangan, otomatis mereka yang jarang melihat lawan jenis mulai saling menggoda, seperti bersiul atau bersorak, tapi ada juga yang tersenyum malu-malu sambil berbisik.

Para siswa laki-laki yang tadinya sedang serius memperhatikan arahan Gurunya, kini malah memalingkan wajah kearah siswa perempuan yang sedang berlari kecil melewati mereka.

"Lihat tu ada cowok keren, gila ganteng banget ya !" Pekik Popi sambil melambaikan tangan kearah Cakra, pemuda itu hanya tersenyum tipis menanggapinya.

"Apaan si, itu cowok gue... " Omel Latifha kesal.

"Hihihi... ya deh sayang, gitu aja ngambek !" Jawab Popi, memang paling suka menggoda Sahabatnya.

"Ciee... ada yang cemburu niye... " Timpal Ria.

"Apaan si, kalian nyebelin banget si, awas ya kalian nanti." Ancam Lathifa, tapi malah membuat kedua sahabatnya semakin tertawa terpingkal-pingkal.

Sudah menjadi rahasia umum, kalau Lathifa menjalin hubungan special secara diam-diam dengan Cakra, bahkan beberapa malam yang lalu, mereka berdua sempat janjian bertemu di belakang danau yang ada di lingkungan sekolah.

Mengingat kejadian malam itu, pipi Lathifa merona merah, karena untuk pertama kalinya, dia mencium bibir seorang pria.

----------

Sementara itu di tempat lain, sepasang wanita yang berbeda usia sedang memadu kasih di dalam kamar berukuran 3X4. Mereka berpelukan, sambil berciuman.

Wanita yang usianya lebi tua beberapa tahun, membuka pakaian pasangannya, yang usianya jauh lebi muda, hingga telanjang bulat. Kemudian ia menuntun pasangan mudanya, naik keatas tempat tidurnya.

"Umi... Aaah... " Ashifa merintih tertahan.

"Kamu cantik sekali, Umi gak perna bosan melihat kamu telanjang seperti ini sayang." Puji Andini, sembari tersenyum manis, membuatnya terlihat makin cantik.

Andini kembali melumat bibir muridnya, sementara tangannya meremas-remas payudara muridnya, membuat gadis kecil itu merintih keenakan, sambil membalas lumatan mesrah gurunya yang sekarang menjadi kekasihnya.

Aneh memang, seorang guru yang seharusnya mendidik muridnya, malah melakukan perbuatan yang tak terpuji bersama muridnya, yang seharusnya ia didik menjadi anak yang baik.

"Umi gak adil ni." Rengek Asyifa.

"Loh, gak adilnya di mana sayang ?" Tanya Andini, sambil memebelai wajah cantik muridnya.

"Umi masi pake pakaian lengkap, sementara Shifa uda telanjang kayak gini." Gadis muda itu cemberut, membuat Andini semakin gemas dan menciumi sekujur wajahnya.

Lalu dia mulai melepas gamisnya dan juga branya, hingga payudaranya melompat keluar, kemudian ia menurunkan celana dalamnya, dan saat itulah terlihat benda besar berbentuk penis yang terhubung dengan ikat pinggang yang melilit di selangkangannya.

Sambil tersenyum, Andini memainkan mainannya di depan muridnya. Ashifa seperti anak kecil yang mendapat mainan baru, dia langsung merangkak, medekati dildo tersebut dengan wajah girang, lalu tangannya yang halus menggenggam dildo tersebut sambil mengocok dan menjilatinya, seperti menjilati es cream kesukaannya itu.

Sementara Andini membelai rambut Ashifa yang terurai indah, sepanjang punggungnya.

"Kamu sukakan sayang ?"

"Iya Mi, Ashifa suka kontol Umi, rasanya geli-geli di mulut." Jawab Ashifa di sela-sela mengulum mainan Umi.

"Kalau suka, masukin sekarang dong, Umi gak tahan ni."

"Sebentar lagi dong Umi, akukan masi seru mainin kontolnya Umi." Pinta Asyifa seperti anak kecil, yang tak ingin di jauhkan dari mainan barunya, membuat Andini semakin gemas.

Tanpa berkata lagi dia menarik penis mainannya, kemudian dia mendorong tubuh mungil Asyifa, dia mengangkangkan kedua kaki Ashifa, hingga vagina mungilnya terkuak. Andini sudah tidak sabar lagi menikmati madu manis vagina Ashifa, murid kesayangannya, sekaligus kekasihnya.

Lidanya terjulur menyapu bibir vagina Ashifa, rasanya asin tapi menyenangkan, membuat Andini tidak perna bosan menjilati vagina Muridnya.

Tak butuh waktu lama, tubuh gadis muda itu mengejang hebat, kepalanya mengada keatas, ketika orgasmenya tiba, membuatnya berteriak cukup nyaring, tapi untunglah, suasana sore itu tampak sepi sehingga suaranya tidak terdengar oleh siapapun.

"Umi jahaaat !"

"Tapi kamu sukakan sayang." Goda Andini sambil membelai rambut Ashifa.

Perlahan Andini mengangkat kaki kanan Ashifa keatas pundaknya, sementara kaki kiri Ashifa di rentangkan kearah berlawanan sehingga vaginanya terkuak.

Dia memegang batang dildonya, mengarahkan kearah bibir vagina Ashifa, membelanya dengan cara perlahan, ia dorong inci demi inci memasuki lembah nikmat milik muridnya. Raut wajah itu, ya... Andini sangat suka setiap kali melihat wajah imut Ashifa meringis.menahan rasa sakit bercampur nikmat setiap kali dia mebyetubuhinya, dia semakin puas tatkala Ashifa mulai merintih.

Dengan tempo perlahan, Andini menggoyang pinggulnya maju mundur, sambil meremas kedua payudara Ashifa.

Dua bulan yang lalu, untuk pertama kalinya Andini merenggut keperawanan muridnya, dengan dildo yang ia gunakan saat ini sebagai saksinya. Semenjak saat itu, Ashifa menjadi budak nafsunya hingga saat ini.

"Aaahkk... aaaaa.... aaa... "

"Kamu cantik sekali sayang, tubuh kamu bagus, Umi tidak bisa berhenti memikirkan kamu !" Ujar Andini, sambil menatap dalam mata muridnya.

"U... Umiii.... Aaaah.... Puaskaaan Ashifaaa... sodok teruuss Umi, Ashifaaa milik Umi... !" Erang Ashifa lalu melingkarkan kedua tangannya di leher Andini.

Andini menyambutnya, dengan melumat mesrah bibir muridnya, hingga akhirnya Ashifa kembali di terjang badai orgasme yang dahsyat, tubuhnya seperti terkena tegangan tinggi, bergetar hebat, dan terhempas.

Walaupun Andini tidak sampai mengalami orgasme, tapi Ibu Guru itu merasa sangat puas, setiap kali melihat muridnya menggelepar, meringis, merintih dan menggeliat di dalam kekuasaannya, dia puas bisa menaklukan gadis muda nan cantik dan baik seperti Ashifa.

-----------------

Dddrrrttt..... Ddrrtt... Drrrrttt....

Suara rington hp cukup nyaring, membuat sang pemilik tergesa-gesa kembali kekamarnya, lalu dengan cepat ia mengangkat telponnya.

"Assalamualaikum!"

"Waalaikum salam, gimana kabar kamu nak ?"

"Baik Ma, kabarnya Mama sama Papa gimana ?" Jawab Nadia, sambil menanyakan balik kabar mertuanya.

"Alhamdulillah baik, kalian kapan pulang? Sudah hampir setengah tahun loh kalian gak pulang."

"Iya Ma, maaf belum sempat pulang."

"Ya udah gak apa-apa, tapi nanti kalau kalian ada waktu jangan lupa untuk pulang." Ujar Farah mertuanya Nadia. "Oh iya ngomong-ngomong sudah ada kabar gembira belom ?" Lanjutnya dengan suara yang terdengar penuh harap.

Deg... perasaan Nadia berubah menjadi tidak tenang. "Maksud Mama kabar apa ?" Tanya Nadia ragu-ragu.

"Gini loh, maksud Mama kapan kamu mau kasih Mama cucu, Mama sudah kepingin menimang cucu." Pertanyaan yang di takutin Nadia akhirnya keluar juga.

Nadia tak langsung menjawab permintaan Mamanya, karena ia sendiri juga tidak tau, apakah ia bisa memberi cucu untuk mertuanya atau tidak, karena kesempatan dirinya untuk bisa hamil sangat tipis.

Bukan karena Nadia seorang wanita mandul, melainkan karena Suaminya yang mandul, selain itu Suaminya juga mengalami ejakulasi dini. Satu bulan yang lalu, Nadia dan Suaminya mendatangi dokter spesialis kandungan untuk mengecek kesuburannya, dan mencari tau penyebab kenapa ia tidak bisa hamil, padahal ia sudah lama menikah.

Dan ternyata, dari penjelasan dokter, Suaminyalah yang mandul, dan mengalami ejakulasi ringan, sehingga sangat sulit baginya saat ini untuk bisa hamil.

"Nadia... " Panggil dari sebrang telpon.

"Eh iya Ma!" Jawab Nadia tergagap dari lamunannya.

"Jadi gimana, kapan Mama bisa menimang cucu." Ujar Farah antusias, membuat Nadia semakin merasa bersalah, walaupun kesalahan terletak pada Suaminya.

"Secepatnya Ma, mohon doanya saja."

"Kamu itu dari dulu jawabannya gitu-gitu terus, Mama butuh kepastian Nad." Paksa Ferah seperti biasanya, padahal yang salah sebenarnya adalah putranya sendiri.

Beruntung Jaka memiliki seorang Istri yang setia dan baik seperti Nadia yang selalu menyembunyikan kekurangan Suaminya, dan membiarkan dirinya yang tersiksa demi kebahagian dan harga diri Suaminya.

"Maaf Ma, ini kami lagi usaha." Jawab Nadia.

"Pokoknya Mama tidak mau tau, tahun ini kamu harus hamil bagaimanapun caranya. Teett.... teeett... " Tiba-tiba saja lawan bicara Nadia mematikan teleponya.

Dan seperti biasanya, dia segera menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidurnya, lalu ia menyembunyikan wajahnya di dalam bantal dan menangis sejadi-jadinya. Sebagai seorang wanita tentu saja ia sangat sedih, apa lagi ia selalu di salahkan tanpa ada yang mau mengerti penderitaannya.

-------------------

Sore hari menjelang malam, ketika para siswa perempuan berkumpul di kamar mandi umum sebelum melaksanakan ibadah magrib. Diantara kumpulan tersebut terdapat sekelompok anak yang tampak asyik bermain air, saling menyiram dan tertawa cekikikan, terkadang mereka saling kejar.

Ria berlarian masuk kedalam kamar ganti, lalu dia menutup pintunya, sialnya kamar ganti yang di masuki Ria tidak memiliki kunci, karena telah rusak, sehingga ia harus menahan pintu tersebut dengan tubuhnya.

"Bukaaa... Ria !" Pekik Ashifa dari luar.

"Gak mauuu... Hahaha... "

"Dobrak aja pintunya !" Dukung Lathifa.

"Kalau lo gak mau keluar, gue dobrak pintunya." Ancam Ashifa sambil menendang-nendang pintunya.

"Dobrak aja kalau lo bisa !" Tantang Ria, sambil cekikikan mentertawakan sahabatnya.

Braaak... braaak... braakk...
Beberapa kali Ashifa mendobrak pintunya, tapi Ria menahannya cukup kuat, melihat Ashifa yang kesulitan, Lathifa ikut membantu mendorong pintu, hingga akhirnya Ria kalah kuat, sehingga dikit demi sedikit pintunya terdorong.

Ashifa dengan cepat mengambil kesempatan, dia menahan pintu tersebut, dan meminta Lathifa untuk segera masuk dari cela pintu yang sedikit terbuka.

"Dapaat... " Teriak Lathifa girang, ketika berhasil masuk dan memeluk erat tubuh Ria.

Ashifa segera menyusul masuk kedalam, dan kemudian menutup pintunya. Ashifa tersenyum licik kearah Ria, membuat gadis itu panik, berusaha melepaskan diri, tapi dekapan Lathifa terlalu kuat, sehingga gadis itu hanya bisa meronta-ronta kecil.

"Saatnya kita telanjangi." Ujat Ashifa.

Lalu dia bersama Lathifa berusaha menarik kain basah yang dikenakan Ria, wanita berusia 16 tahun itu berusaha memberontak, tapi kedua sahabatnya lebi kuat darinya sehingga perlawanannya tak begitu berarti untuk bisa menyelamatkan dirinya dari kedua sahabatnya.

Dengan begitu mudanya, mereka melepas kain yang menutupi tubuh Ria hingga telanjang bulat.

Ashifa yang memang memiliki kelainan seksual semenjak mengenal Andini, langsung tergoda untuk menggoda tubuh molek sahabatnya Ria, sekuat tenaga ia membuka kedua kaki Ria, sementara sahabatnya Lathifa tidak kalah gilanya, dia meremas-remas kasar payudarah sahabatnya yang terasa kenyal, sementara puttingnya dia pelintir pelan.

Perlahan tapi pasti, rontahan Ria melemah, dan setuasi itu di manfaatkan Ashifa untuk memebenamkan wajahnya, dan menjilati vagina sahabatnya.

"Ooohh tidaaak... Aaaa... Aaa... " Erang Ria frustasi.

"Gimana Ria sayang, enak gak memeknya di jilatin sama Shifa, pasti rasanya enakan ? Apa lagi kalau puttingnya sambil di pelintir kayak gini." Kata Lathifa menggoda sahabatnya, sambil memberi rasangan di kedua payudara Ria.

Sluuupp... Slupp... Sluupps...
"Eehmn... memeknya enak banget, rasanya kayak semanis madu, elo harus mencobanya Latifha. Hihihi... !" Komentar Ashifa di sela-sela memanjakan vagina sahabatnya.

"Ogaah gue, lu aja sendiri !"

"Yakiiiin, ya udah kalau lu gak mau." Jawab Ashifa, lalu dia kembali menjilati vagina Ria.

Sementara gadis yang bernama Ria, tidak dapat berbuat apa-apa selain berusaha melawan gairahnya yang perlahan mulai terbakar oleh sentuhan kedua sahabatnya. Perlahan Ria memejamkan matanya, dia sudah meyerah dan membiarkan kedua sahabatnya mengerjain habis-habisan tubuhnya.

Jari jempol Ashifa menggelitik clitoris Ria, sementara lidanya menusuk-menusuk lobang vagina sahabatnya yang masih perawan, belum sekalipun di sentuh oleh seorang pria manapun.

Ria membelai rambut sahabatnya, membiarkan sensasi apapun mengusik dirinya, menikmati setiap jilatan dan sentuhan lembut di vaginanya, sementara kedua payudaranya menjadi mainan sahabatnya Latifha.

Aaaahhkk... rasanya nikmat sekali ! Gumam Ria, sambil membayangkan Radityalah yang melakukannya.

"Eehmm... rasanya enak banget ya ?" Tanya Lathifa penasaran melihat sahabatnya yang menggeliat keenakan.

"Aaaah... iya ituku di hisap Fa." Erang Ria, dia sangat menikmati ketika klitorisnya di isap kuat-kuat oleh sahabatnya Ashifa, yang sedang menghisap clitorisnga.

"Lu nyebelin banget si... " Kesal Lathifa karena pertanyaannya tidak di jawab, dan sebagai balasannya Lathifa meremas kencang payudarah sahabatnya, hingga Ria histeris karena kesakitan akibat remasan Lathifa di dadanya.

"Aaauuww... gila lu ya sakit tau !" Protes Ria.

"Makanya kalau orang nanya di jawab !"

"Kalau pengen tau coba aja sendiri." Sindir Ria, lalu dia bangkit melepaskan diri dari mereka, membuat Ashifa tampak kecewa, padahal dia sedang menikmati vagina sahabatnya.

Ria mengambil kainnya kembali, lalu mengikatnya seperti semula. Sebenarnya, Ria tadi sangat menikmati ketika vaginanya di jilat Ashifa, tapi gara-gara remasan kasar dari Lathifa, modnya mendadak hilang. Entah ia harus berterimakasih atau kecewa atas perlakuan sahabatnya, yang pasti sekarang dia merasa lega karena bisa terbebas dari Ashifa.

Ashifa memandang Lathifa dengan sebal, padahal dia sudah lama ingin sekali menikmati vagina Ria, tapi gara-gara Lathifa dia terpaksa menundanya kembali.

"Eee... setan, siapa di sana ?" Pekik Lathifa, sontak kedua sahabatnya melihat keatas, kearah telunjuk Lathifa yang mengarah keatas.

Terlihat tiga kepala orang dewasa muncul dari balik tembok kamar mandi mereka, padahal kamar mandi umum ini memiliki tembol yang cukup tinggi, walaupun di bagian atasnya tidak.tertutup apapun, sehingga sangat memudakan bagi yang mau mengintip setelah mereka berhasil memanjat tembok.

Berselang beberapa detik, sebelum mereka mengenali ketiga pria itu, mereka bertiga telah menghilang di balik tembok.

"Gimana ni ?" Tanya Ria panik, dia yakin sekali, kalau mereka bertiga tadi sempat melihat di telanjangi oleh kedua sahabatnya, setelah di kerjai oleh kedua sahabatnya.

"Tadi siapa ya ? kok berani banget masuk kewilayah santriwati." Timpal Lathifa tak kalah paniknya.

"Uda tenang dulu." Lerai Ashifa.

"Mau tenang gimana, tadi dia melihat apa yang kita lakukan barusan bagaimana kalau nanti dia cerita dengan Umi, bisa-bisa kita di keluarkan dari sini." Timpal Ria panik, bagaimanapun juga, tadi dia yang telanjang, selain malu dia juga takut, kalau nanti apa yang mereka lakukan barusan tersebar.

"Ya uda yuk, nanti kita pikirkan lagi." Ajak Lathifa.

"Maafin gue ya Ria ?" Lirih Ashifa.

"Udalah, nasi uda jadi bubur." Jawab Ria tak bersemangat, lalu mereka keluar dari ruang ganti dan kemudian melanjutkan mandi mereka yang sempat tertunda.

--------------------

"Nyaris aja !" Ujar seorang pria sambil mengelus dadanya.

"Kira-kira mereka tau gak ya, kalau kita yang mengintip mereka barusan ?" Timpal Budi, satu-satunya diantara mereka yang memiliki tubuh paling besar, sehingga wajar saja kalau dia merasa khawatir, takut ketahuan oleh para santriwati barusan.

"Udah, gak perlu khawatir, walaupun mereka tau juga gak akan berani bilang, kaliankan tau sendiri tadi mereka habis ngapain ? Mereka pasti takutlah buat ngadu." Jawab Rozak, menenangkan kedua rekannya Dewa dan Budi.

"Tapi makasi banyak Zak, uda ngajakin kita ngeliat yang bening-bening, hahaha.... !" Ujar Dewa seraya tersenyum mesum.

"Gak sia-sia ternyata kemarin sempat memergoki santri ngintip di sini, hahaha... " Jawab Rozak sambil tertawa girang. Ya semenjak saat itu, ketika ia mengejar dua orang santri yang sedang mengintip, Razak jadi tau kalau tempat ini sangat tersembunyi buat mengintip.

"Eehmm... ngintipin apa ni ?" Tiba-tiba dari belakang seseorang menegur mereka.

Sontak mereka bertiga kaget, ketika nenyadari yang datang seorang Ustad baru di madrasyah, sahabat baik dari Ustad Iwan yang di kenal tegas dan di siplin.

"Ya Pak, kita ketahuan." Desah Budi pasrah.

"Ma... maaf Tad." Ujar Rozak tak berani memandang Reza yang sedang berdiri di depan mereka, seperti seorang hakim yang sedang mengadili tersangkah.

"Ampun Ustad, jangan aduhin kami Ustad." Kata Budi ketakutan.

"Maafin kami Ustad." Timpal Dewa.

Kemudian dari sudut bibirnya membentuk sebuah senyuman, senyuman yang memiliki sejuta arti, penuh makna dan rencana-rencana licik.

Reza menepuk pelan pundak Rozak, satpam Madrsya tempat ia mengajar, sebagai ucapan terimakasi.

"Jangan takut, kalau saya jadi kalian berdua, mungkin saya juga akan melakukan hal yang sama, seperti yang kalian lakukan sekarang, tapi bedanya, kalau saya tidak akan puas kalau hanya sekedar mengintip mereka." Ujar Reza sambil memperlihatkan tanduk iblisnya di depan mereka bertiga.

"Maksud Ustad ?" Tanya Dewa.

"Hahaha... kalau kalian mau, saya bisa berbagi dengan kalian, tapi dengan syarat." Jawab Reza.

"Maaf banget ni Ustad ya, kita-kita beneran gak ngerti ni."

"Saya yakin kalian pasti mau nidurin para santri di sinikan ?" Tanya Reza sambil tersenyum.

"Maksud ustad ngentot ?" Tanya Budi.

"Waaa... kalau di suruh ngentot pasti maulah Ustad, tapi Santri mana yang mau kita cicipin." Timpal Dewa, yang kini lebi tenang dari sebelumnya.

"Itu tugas kalian yang nyari nantinya, tapi kalau kalian mau bekerja sama, saya punya satu Ustadza yang bisa kalian cicipi bersama, bagaimana ?" Tawar Reza.

"I... ini serius Ustad ?" Tanya Rozak masi merasa tidak percaya mendengar ajakan Reza, dia takut ini hanya sekedar jebakan buat mereka bertiga.

"Emang Ustadzanya siapa Ustad ?" Timpal Budi.

"Pokoknya kalian gak akan menyesal... "

"Tapi kapan Ustad ?" Tanya Rozak.

"Sini biar saya bisikan... "

Mereka bertiga segera mendekat, mendengarkan sebuah rencana yang membuat mereka tampak bahagia, tapi akan menjadi bencana bagi para Santri dan Ustadza yang akan mereka jadikan korban untuk memenuhi nafsu birahi mereka.

Sesuai yang di janjikan, mereka sudah tidak sabar menunggu beberapa hari lagi, karena hari itu akan menjadi hari yang paling bersejarah di dalam hidup mereka.

Hari-hari Irma kini di warnai rasa takut, tegang, dan perasaan bersalah. Setiap kali bertemu dengan Reza, ingin rasanya ia menghindar, tapi senyuman pria tersebut selalu mampu menghipnotisnya, membuat dirinya selalu tak bisa menghindar untuk saling menatap.

Seperti malam ini, lagi-lagi ia merasa terjebak di dalam kondisi yang sulit. Suaminya sedang tidak berada di rumah, sementara di rumah ia hanya besama Reza.

Dari tadi siang semenjak Suaminya pergi, Irma jarang sekali keluar kamar, ia hanya keluar sesekali saja, di saat memang ia harus keluar kamar, seperti ingin buang air, mandi dan memasak makanan untuk mereka.

Jam di dinding kamarnya sudah menunjukan pukul 9 malam, tidak ada tanda-tanda kalau Reza akan mengganggunya, padahal semenjak Suaminya pergi, ia sempat beberapa kali berpapasan dengan Reza, bahkan ketika makan malam bersama, mereka sempat berada satu meja, tapi Reza bersikap seperti biasa saja, seolah tak tertarik ingin menggoda dirinya.

Rasa haus mulai mengusik dirinya, dengan sangat terpaksa, dengan cara mengendap-endap ia keluar kamar, menuju dapur yang ada di bagian belakang rumahnya.

Irma bisa sedikit bernafas lega, ketika ia tak melihat Reza saat ia berjalan tadi menuju dapur, mumpung Reza masi di kamarnya, Irma buru-buru mengambil sebotol mineral dingin dari dalam kulkas, dan ia segera hendak balik kekamarnya.

"Mau kemana Mbak ?" Tegur seseorang yang sebenarnya ingin ia hindari.

"Maaf, saya mau lewat." Ujar Irma, tanpa berani mengangkat wajahnya, dan hendak segera pergi, tapi Reza mencekal tangannya, sehingga ia tak bisa bergerak.

"Temani saya sebentar."

"Ja... jangan Mas, saya mohon." Jawab Irma ketakutan.

"Tenanglah cantik, jangan takut, saya tidak akan menyakitimu sayang, bahkan saya hanya ingin membantumu." Reza menarik tubuh Irma dan memeluknya, membuat Irma mulai memberontak sehingga botol minumannya jatuh dan tumpah kelantai.

Irma yang kaget berusaha memberontak, ia tidak mau lagi terjebak oleh permainan Reza seperti sebelum-sebelumnya, tetapi tenaga Reza, lagi-lagi berhasil membuatnya tak berdaya, membawa dirinya keruang keluarga.

Dengan gerakan cepat, Irma berusaha kabur, tapi lagi-lagi Reza berhasil menarik tangan Irma, dan mendudukan wanita itu di pangkuannya.

Dari belakang, kedua tangan Reza meremas kedua payudarahnya, sementara bibirnya menciumi sekujur wajah Irma, membuat wanita bersuami itu mulai menitikan air mata, ia ingin lepas dari cengkraman Reza, tapi tubuhnya tak mampu, ia terlalu lemah melawan dirinya sendiri, yang terlalu muda dirangsang, sehingga ia tidak bisa berbuat banyak ketika bibirnya di panggut Reza.

Reza begitu pintar memancing birahinya, sehingga tanpa sadar Irma membalas pagutan Reza, dan membiarkan lelaki itu tanpa perlawanan berarti membuka setiap kancing piyama yang ia kenakan, lalu satu-satunya pelindung yang menutupi dadanya, di tarik keatas sehingga payudarahnya mencuat.

Kedua tangan kekar itu langsung menyambutnya, meremas dan memilin puttingnya yang menggemaskan, hingga wanita cantik itu terpekik nikmat.

"Aauww... Hhmmpp... "

"Jangan di lawan, seperti biasanya, kamu nikmatin aja ya." Bisik Reza, lalu di susul dengan kuluman di daun telinganya.

"Jangaan... jangaan... aku tidak mau, tolonglaah Mas lepaskan aku, apa salahku Mas, kenapa kamu tega mengkhianati Suamiku, sadaarlah Mas... Aaww... Aaah... " Rinti Irma ketika Reza tiba-tiba saja melahap payudara kirinya.

Setengah dari dirinya tak rela membiarkan pria lain menikmati tubuhnya, dan setengahnya lagi dia menikmati setiap sentuhan yang di berikan Reza kepada dirinya, sentuhan yang sangat ia jarang dapatlan dari Suaminya yang sah, yang sangat ia cintai melibihi apapun di dunia ini.

Tak sadar Irma memegangi kepala Reza yang sedang menyusu di payudaranya, dia merasakan puttinya terasa hangat ketika lida Reza menjilatinya.

"Putting kamu enak sekali sayang, tapi sayang tidak ada susunya." Reza berujar di sela-sela menikmati payudarah istri sahabatnya.

"Uuhkk... Mass... Aahkk... Aaahkk... " Erang Irma nyaring.

Tolooong... aku tidak mau, ini salaah, aku tidak menginginkannya, maafkan aku Mas... maafkan aku Mas... !

Irma memejamkan matanya, bayangan Suaminya kembali menyadarkannya, apa yang sedang terjadi saat ini, memberinya sedikit kekuatan untuk mendorong pundak Reza hingga menjauh, bahkan sampai terjengkang kesamping.

Kesempatan itu ia memanfaatkan untuk kabur, ia berdiri lalu berlari menjauh dari Reza yang hanya tersenyum memandanginya dari kejauhan.

Sadar atau tidak sadar, Irma berlari kekamarnya, ia merasa di sinilah tempat yang paling aman baginya. Segera ia menutup pintu kamarnya, dan ketika hendak mengunci pintu kamarnya, tiba-tiba batinnya begejolak, antara ingin terus berlari, atau mengakhiri pernderitaannya malam ini.

Tok... tok... tok...
"Aku tau kamu di dalam, buka pintunya Irma !"

"Bajingaaaan... lepasin aku Mas, aku mohoon... " Tangis Irma semakin tak terbendung, ia benar-benar bingung dengan kondisinya saat ini.

Seandainya saja ia bisa lebi tegas, lebi berani, mungkin semua kejadian ini tak perlu ia alami.

"Buka sayang, ini adalah malam pertama kita, malam ini aku ingin membuka segelmu, biarkan aku masuk." Ujar Reza, memancing sisi liar Ibu muda itu, karena Reza tau kalau Irma sebenarnya sudah menjadi miliknya seutuhnya, hanya tinggal di sempurnakan saja maka Irma benar-benar menjadi miliknya.

Dengan jemari yang gemetar, Irma menekan handle pintu kamarnya, membuka perlahan hingga ia kembali melihat wajah Reza yang sedang tersenyum.

Irma tau apa yang ia lakukan saat ini, dengan membuka kamarnya, itu artinya dia sudah benar-benar menyerah, dan malam ini adalah malam penyerahan dirinya seutuhnya kedalam pelukan pria lain yang bukan Suaminya.

Entah kemana dirinya yang dulu, wanita yang setia terhadap suaminya, wanita yang menjaga dirinya dari maksiat, wanita yang taat terhadap aturan.

Reza masuk, lalu dia menutup pintu kamar Irma dan menguncinya sehingga tak ada jalan keluar bagi Irma untuk lari darinya, lari dari jalan yang telah ia pilih. Wanita cantik itu mundur beberapa langkah, lalu duduk di tepian tempat tidurnya, dia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

Reza segera menelanjangi dirinya hingga telanjang bulat, lalu dia berjalan, berdiri di samping korbannya yang telah pasra menunggu eksekusi darinya.

"Kamu istri yang baik !" Ujar Reza memebelai kepala Irma yang tertutup kerudung putih.

Irma menjauhkan kedua tangannya dari wajahnya, dan hendak kembali mengeluarkan unek-uneknya, tapi ia sedikit terkejut saat melihat kesamping, tepat di depan wajahnya saat ini dia melihat benda besar yang sebelumnya ia lihat. Penis Reza memang sangat mengagumkan baginya, ukurannya panjang dan cukup gemuk di bandingkan dengan suaminya, dan benda inilah yang membuatnya tidak bisa tidur semalaman.

Lagi pria berengsek itu menggoda Istri sahabatnya, dia dengan sengaja menabrakan kepala pionnya kebibir Irma, memamerkan kegagahan penisnya yang telah berhasil menaklukan beberapa wanita sebelumnya.

"Kamu perna melakukannya, dan saya yakin kamu pasti ingin melakukannya lagi."

"Cukup Mas, aku mohon hentikan kegilaan ini." Pinta Irma, ia menatap mata Reza, meminta belas kasihan dari Reza agar mau menghentikan dosa ini.

"Sudah terlambat, kamu taukan ?" Jawab Reza sembari tersenyum.

Dengan jemari yang gemetar Irma menggenggam penis Reza, rasanya hangat dan keras, berbeda dengan milik suaminya yang sedikit lembek. Perlahan ia menjulurkan lidanya, menyapu kepala pion itu dengan penuh perasaan.

Sudah kepalang basah, nyebur saja sekalian, mungkin itu yang ada di benak Irma, dia sudah kehilangan jati dirinya sebagai seorang Istri yang setia, yang ia inginkan saat ini hanya satu, yaitu kepuasan. Walaupun masi tersisa sedikit penyesalan karena harus menghianati Suaminya, seseorang yang sangat mencintainya dengan tulus, bukan karena nafsu.

"Aah... kamu semakin pintar sayang !" Puji Reza, ketika kepala pionnya di sapu Irma dengan lidanya, terus turun kebatang kemaluannya, hingga kekantung pelirnya.

"Ya... begitu, Ooo... oo... masukan kemulutmu."

Tangan kanannya mengocok penis Reza, lalu mengarahkannya ke dalam mulutnya, kemudian dengan gerakan seirama, tangan dan mulutnya mengocok penis Reza sehingga pria itu keenakan, merasakan servis oral darinya.

Walaupun tidak punya pengalaman dalam mengoral penis pria, tapi Irma melakukannya dengan baik, nalurinyalah yang menuntun dirinya, harus melakukan apa dan bagaimana untuk membuat pria yang ada di depannya merasa puas dan senang dengan pelayanannya memberikan oral sex.

Sementara itu Reza membelai kepala Irma, sambil ikut memaju mundurkan pinggulnya.

"Cukup sayang, aku belum ingin keluar." Ujar Reza, lalu menarik penisnya dari jangkauan Irma.

"Ka... kamu suda puaskan Mas ?"

"Belum dong, ini baru permulaan, malam ini kamu milikku sayang, kita akan bersenang-senang, mumpung Suamimu pulangnya besok sore." Ujar Reza, lalu dia menerkam tubuh Irma, membuat Irma kaget karena di serang mendadak.

Reza menindih tubuh Irma, lalu bibirnya memanggut bibir Irma, membelit mesrah lidanya, sementara tangan kanannya meremas payudara Irma.

Puas melumat bibirnya, ciuman Reza perlahan turun kelehernya, memberi beberpa cupangan merah di leher jenjang Irma, membuat kerudungnya semakin acak-acakan. Lalu ciuman Reza beralih keatas payudarahnya, dia mengulum secara bergantian kiri dan kanan payudarah Irma.

Puas bermain dengan gunung kembarnya, Reza beralih kebawa, ia menarik lepas celana tidur sekaligus celana dalam Irma, membuat wanita cantik itu memekik pelan sanking kagetnya.

"Hahaha... kupikir kamu gak suka dengan mainan baru yang kuberikan kemarin." Ujar Reza, setelah melihat selangkangan Irma yang terdapat kabal yang menggelantung, yang tersambung dengan remot kecil.

Mainan yang di maksud Reza adalah vibrator kapsul yang beberapa hari lalu ia berikan kepada Irma, dan tidak di sangka-sangka ternyata Irma yang di kenalnya sebagai wanita baik-baik, ternyata diam-diam dia malah menyimpan dan menggunakannya demi kepuasaan birahinya.

Irma memalingkan wajahnya, dia merasa malu karena telah nenikmati permainan Reza, seseorang lelaki yang seharusnya sangat ia benci.

"Aaahkk... " Irma merintih, ketika Reza mencabut vibrator dari dalam vaginanya.

Lalu vibrator itu di gantikan dengan jilatan di bibir vaginanya. Reza memang juaranya dalam merasang korbannya, kemampuannya terbukti membuat Ibu muda itu mengerang, kedua tangannya terkepal ketika lidanya menari-nari di clitorianya, menghisapnya lembut, sambil mengocok-ngocok liang kemaluannya.

Hanya butuh waktu lima menit, Irma mendapatkan klimaksnya, pantatnya terangkat, dan beberapa kali tanpa bisa kontrol vaginanya memuntahkan lendirnya.

"Sepetinya kamu sudah siap ?"

"Kumohon jangan Mas, hoss... hoss.. hoss... !" Deruh nafas Irma memburu, orgasmenya barusan, benar-benar menguras tenaganya, dia hanya bisa memandang pasrah kearah Reza.

"Mas yakin kamu akan menyukainya." Bujuk Reza, dia mengait kaki kanan Irma di lengannya, sambil mendekatkan tubuh bagian bawahnya, hingga penisnya yang besar terasa menggesek-gesek bibir vagina Irma.

Perlahan Reza memaju mundurkan peninya menggesek-gesek penisnya di belahan vagina Irma.

"Aaahk... Mass... Uubkk... " Irna melenguh panjang, ketika kepala penis Reza menyodok, menggesek clitorisnya. Irma mencengkram erat lengan Reza, menahan seribu satu rasa yang ia rasakan saat ini, seandainya saja dia belum betsuami, mungkin sudah sedari tadi ia meminta Reza untuk menyetubuhinya.

Iram memejamkan matanya, menggigit birinya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Hatinya menolak keras apa yang sedang terjadi saat ini, tapi tubuhnya seolah menghinatinya dan menuntutnya untuk segera menuntaskan nafsu birahi iblisnya yang sudah lama ia pendam.

Reza penisnya sedikit, lalu mendorongnya kembali, menubruk lipatan vagina Irma, kemudian membelanya perlahan dan mulai memasuki lobang vagina Irma yang sudah amat becek.

"Aaahkk... " Irma terpekik, vaginanya terasa ngilu saat penis itu Reza yang ukurannya lebi besar dari milik Suaminya memaksa masuk kedalam vaginanya.

"Kamu kejam Irma, membiarkan kontol pria lain menikmati memekmu, sementaran Suamimu di luar sana mencari nafka untukmu." Bisik Reza, ia membelai wajah Irma yang bermandikan keringat, menahan rasa sakit, sekaligus geli ketika terjadi gesekan antara kepala penis Reza dengan dinding bagian luar vaginanya.

"Maaas... Aahkk... Aaahkk... pelan-pelan Mas ! Vaginaku Aahk... Rasanya ngilu Mas." Erang Irma, dia mencengkram kedua lengannya Reza, sambil mencari posisi yang membuatnya merasa nyaman ketika sedang di setubuhi.

Irma memejamkan matanya, menikmati setiap gesekan antara kulit penis Reza dengan dinding vaginanya. Ia merasa, vaginanya terbuka semakin lebar ketika penis Reza terus memaksa masuk hingga kepala penis Reza terasa menabrak rahimnya. Tubuhnya mengejang, dia kembali mendapatkan orgasme walaupun tidak sehebat sebelumnya.

Jemari Reza membelai wajah cantik Istri sahabatnya, ia tidak menyangka kalau dia akan semuda ini menaklukan Irma.

Perlahan jemarinya turun, menyentuh bibir seksi Irma yang gemetar, ia membukanya perlahan, lalu meminta wanita cantik itu untuk mengulum jarinya, Irma dengan patuhnya membuka mulutnya, membiarkan jari itu membelai lidahnya.

Sementara itu, pinggul Reza mulai bergerak maju mundur menubruk selangkangan Irma, mengaduk dan memompa vagina Irma dengan Ritme teratur, seiring dengan nafas Reza yang semakin memburu, dia sangat menikmati ketika dirinya berhasil membuat Istria sahabatnya yang di kenal baik dan seorang panutan bisa takluk di hadapannya.

Perasaan yang berlawanan juga di rasakan Irma, dia tidak menyangkah kalau dirinya yang seorang guru Agama bisa berbuat zina dengan pria lain, di dalam rumahnya sendiri di atas tempat tidurnya, yang biasa ia gunakan untuk melayani Suaminya, kini dengan suka rela membiarkan pria lain berada di dalam kamar pengantinnya menikmati tubuhnya.

"Mas... Enaaak Mas ! Aahkk... Aahkk... aku dapeeet Mas !" Lolongan panjang Irma menggema, nafasnya menghentak di ikuti dengan goyangan pinggulnya yang liar.

Bukannya berhenti Reza malah semakin cepat mengocok vagina Irma, hingga Ibu muda itu untuk pertama kalinya ia mendapatkan multy orgasme, selama kurang lebi lima menit, dan beberapa detik di awal dia sempat squirt membuat seprei tempat tidurnya menjadi basah.

Reza menarik pinggulnya, lalu dengan satu gentakan dia kembali membenamkan penisnya sedalam mungkin.

Crrooott... crooott... crooott...
"Lihatlah, Aku akan menghamili Istrimu Iwan... " Erang Reza sambil menyemburkan lahar panasnya kedalam rahim Irma yang sedang dalam masa subur.

Reza menyeka keringat sambil mencabut penisnya, sementara Irma segera menjauh dari Reza, dia duduk di pojokan sambil memeluk lututnya dan menangis sejadi-jadinya, dia memang menikmatinya, tapi rasa sesalnya jauh lebih besar sehingga membuatnya menangis di dalam keheningan.

Dari sudurnya ia memandang benci kearah Reza yang pergi begitu saja setelah menodai tubuhnya.

Braaak...
Reza membanting pintu kamar Irma, lalu menghilang entah kemana perginya dia. Irma bergegas masuk kedalam kamar mandi, yang ada di dalam kamarnya. Dan lagi-lagi di dalam kamar mandi ia menangis, menghukun dirinya dengan membiarkan tubuh indahnya basah terkena air shower yang dingin.

------------------

Hampir satu jam lamanya ia mengurung diri di dalam kamar mandi, setelah puas menumpahkan air mata penyesalannya, ia segera mengiringkan tubuhnya dengan handuk, lalu melilitkan handuk tersebut ketubuhnya. Saat ia melangkah, Irma masi dapat merasakan rasa ngilu di vaginanya, seperti ada sesuatu yang mengganjal di dalam vaginanya.

Irma menarik nafas panjang, lalu perlahan ia membuka pintu kamar mandinya, dan saat itulah perasaannya mendadak tidak tenang, dia merasa akan terjadi sesuatu yang tidak ia inginkan.

Dua orang pria dengan cepat menyergap seseorang wanita yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi, lalu menariknya hingga terjatuh keatas tempat tidurnya. Saat tersadar, Irma sangat panik ketika melihat empat orang pria bertopeng tiba-tiba saja sudah berada di dalam kamarnya, dia berusaha memberontak melepaskan diri, tapi dia gagal karena tenaga keempat pria itu terlalu kuat untuk dirinya.

"Diaam, atau kamu mau kami bunuh ?" Ancam seseorang dari mereka sambil menunjukan pisau di tangannya.

"Si... siapa kalian ? tolong lepaskan saya !" Mohon Irma, dia sangat ketakutan, dia tidak menyangkah kalau malam ini akan menjadi malam tersial baginya.

"Jangan takut, kami hanya ingin bersenang-senang hehe... " Jawab mereka sambil membelai wajah cantik Irma, membuat Irma dengan terpaksa memalingkan wajahnya karena menahan rasa jijik dan takut.

"Mau apa kalian ? Tolooong... tooolong... !" Teriak Irma merontah-rontah ingin melepaskan diri.

"Percuma Bu, gak akan ada yang denger."

"Mending Ibu nurutin apa kata kita-kita." Timpal seseorang dari mereka.

"Jangan sakiti saya Mas, silakan ambil apa yang kalian mau di rumah ini, tapi setelah itu kalian boleh pergi dari rumah saya." Ujar Irma pasrah, dia berharap mereka berempat hanya ingin mengambil hartanya.

Keempat pria bertopeng itu saling pandang, lalu sedetik kemudian mereka tertawa lebar.

Seseorang dari mereka tiba-tiba menarik handuk Irma hingga terlepas, membuat wanita itu terpekik kaget, tapi tak bisa berbuat apa-apa ketika tubuh telanjangnya untuk kedua kalinya menjadi santapan pria lain.

"Maaf Bu Ustadza yang terhormat, kami tidak butuh harta benda atau uang Ibu, yang kami inginkannya hanya bersenang-senang dengan tubuh anda. Saya berharap anda bisa bekerjasama, sehingga kami tidak perlu menyakiti, apa lagi harus membunuh anda dengan pisau ini."

Irma terdiam, ada perasaan takut saat mendengar ancaman mereka, bisa saja mereka memang benar-benar nekad membunuhnya dan membuang mayatnya. Membayangkannya saja sudah sangat menakutkan, apa lagi kalau harus benar-benar merasakannya.

"Bagaimana Bu ? Ini tidak akan lama kok, setelah kami puas kami akan segera pergi." Ujar seseorang dari mereka.

"Kalian tidak akan bohongkan, kalian tidak akan membunuh saya, kalau kalian sudah puas." Tanya Irma, memperjelas ucapan keempat pria bertopeng tersebut.

Keempat pria tersebut saling pandang, seakan tidak percaya dengan apa yang mereka dengar. Begitu juga dengan Irma, dia seakan tidak yakin dengan ucapannya sendiri, dia merasa bahkan perkataan itu seperti bukanlah keluar dari mulutnya.

Tapi apa yang bisa di lakukan Irma ? Dia juga sadar, pemerkosaan terhadap dirinya juga tak akan bisa terelakan, bagaimanapun juga mereka berempat akan tetap menggilirnya dengan cara paksa dan setelah itu mereka akan membunuhnya, untuk menutupi perbuatan mereka. Irma terntu saja dia belum siap untuk mati, dia sadar betul dosa yang ia perbuat selama ini sangat besar.

Dari pada nantinya dia perkosa secara berutal dan akhirnya di bunuh, Irma lebi memilih menyerah, toh... dia juga bukan Istri yang suci lagi, dia wanita kotor yang jauh lebi menjijikan ketimbang wanita penghibur sekalipun.

"Seriuuuss... !" Tanya seseorang tampak tidak percaya.

"Iya, tapi dengan syarat." Jawab Irma ragu-ragu.

"Oke, syaratnya apa ni ?"

"Kalian boleh menggilir saya, tapi jangan main kasar, dan tolong setelah ini lepaskan saya, jangan bunuh saya." Ujar Irma, dengan bibir gemetar, dia sangat ketakutan sekali.

"Cuman itu ?" Irma mengangguk. "Baiklah, kami setuju." Jawab salah satu dari mereka.

Lalu pria itu seperti memberi aba-aba, kemudian ketiga pria lain segera membuka pakaian tanpa melepas topeng mereka hingga telanjang bulat, Irma melotot saat melihat ukuran penis mereka yang ternyata ukurannya lebi besar ketimbang milik Suaminya walaupun tak sebesar punya Reza.

Mereka bertiga langsung mengepung tubuh Irma, seseorang bermain di atas payudarah Irma, dia meremas dan menciumi payudara Irma secara bergantian, membuat Irma kegelian, tapi dia menyukainya dan sama sekali tidak protes.

"Ayo dong Ustadza, kulumin kontol saya hehe... " Seseorang yang berada di samping Irma menyodorkan penisnya di hadapan Irma.

Walaupun masi tersisa rasa tidak rela membiarkan pria lain menyentuh tubuhnya, tapi Irma berusaha menikmati pemerkosaan yang terjadi kepada dirinya.

Dia menggenggampang penis pria tersebut dengan jari-jarinya yang lembut, lalu mengocoknya perlahan sambil menjilati kepala penisnya beberapa detik, dan kemudian membuka mulutnya, melahap habis penis pria tersebut. Sementara itu, di bawah sana kedua kakinya di buka lebar, dan Irma sama sekali tidak melawan, walaupun dia tau kalau pria tersebut ingin menyetubuhi dirinya.

"Eehmmpp... " Irma merintih pelan dalam keadaan mulut tersumbat penis, ketika benda tumpul itu memaksa masuk, menbongkar pintu vaginanya

"Anjrriiit... sempit banget !" Keluh seorang pria yang sedang ingin memasukan senjatanya kedalam tubuh Irma.

Sleep… Begitulah kira-kira bunyinya ketika penis pria itu menancap kedalam vagina Irma, masuk semakin dalam hingga menubruk dinding rahimnya.

Semakin lama penis pria itu terasa semakin dalam, Irma hanya dapat merenyitkan dahinya menahan rasa sakit dan nikmat ketika vaginanya mulai di sodok-sodok kasar oleh pria tersebut sambil mencengkrang kedua pahanya.

Suasana terasa semakin erotis, tatkalah seseorang menaiki perutnya, lalu meminta Irma menjepit penis pria tersebut diantara kedua payudarahnya, lalu pria itu mulai menggesek-gesekkan penisnya diantara jepitan payudara Irma sambil memandangi wajah Ustadza tersebut yang sedang mengoral penis sahabatnya.

"Gila enak banget memeknya !" Celetuknya sambil menikmati jepitan vagina Irma.

"Habis kamu, giliran saya ya... !"

"Eeitts... gak bisa, jangan lupa perjanjian kita sebelumnya, habis dia aku dulu." Potong pria yang sedang menikmati di oral oleh Irma. "Mulutnya juga enak kok, habis ini kamu harus coba mulutnya dulu." Sambung pria tersebut sambil membelai rambut Irma yang terurai.

"Terserah kalian aja."

"Hahahaha... "

Irma yang mendengar obrolan mereka hanya bisa berpura-pura tidak mendengarnya, walaupun hatinya sedih tapi ia berusaha tegar, dan berharap malam keji ini cepat berakhir.

Seorang pria yang tadi menyodok vaginanya semakin cepat menyodok vaginanya, tubuh pria itu yang bermandikan keringat mulai mengejang, Irma tau sebentar lagi pria itu akan mencapai klimaksnya membuat ia mulai ikut agresif, menggerekan pinggulnya, membantu pria itu agar cepat memuntahkan spermanya kedalam rahimnya.

Dan benar saja, beberapa detik kemudian pria itu mencabut penisnya lalu memuntahkan spermanya keatas perur Irma.

"Gilaa... puas banget rasanya, memek Ustadza ternyata rapet banget ya, hak... hak... hak... " Tawa pria tersebut, mengejek Irma yang tak berdaya. "Ayo sekarang giliran siapa ? Aku mau istirahat dulu ni, capek juga." Tawarnya, lalu dia menggeser posisinya dan duduk di pinggiran tempat tidur yang kosong.

"Giliran aku ya." Ujar seseorang sambil mencabut penisnya.

Irma menarik nafas panjang, dia tau siksaannya belum berakhir karena masi ada tiga lagi yang belom menikmati vaginanya. Sekarang giliran pria yang tadi menikmati mulutnya, untuk menikmati jepitan vaginanya.

Irma menurut saat di minta menungging, lalu dari belakang seseorang sudah bersiap untuk menyetubuhinya.

Tapi ketika penis itu hampir menusuknya dari belakang, tiba-tiba sudut matanya menangkap seseorang pria yang berdiri di dekatnya sedang mengarahkan handicam kepadanya, Irma yang kaget berusaha memprotes, tapi sebelum Irma ngeluarkan suara protesnya, seseorang yang tadi menikmati jepitan dadanya tiba-tiba saja menjejalkan penisnya kedalam mulut Irma.

Sementara itu orang di belakangnya sudah menjejalkan vaginanya dengan penisnya, dan menyodok-nyodok kasar vaginanya dari belakang tanpa ampun.

"Buka topeng kalian." Perinta pria yang sedang memegang handicam di tangannya.

Irma semakin kaget ketika satu persatu dari mereka membuka topeng mereka, di mulai dari pria yang memegang handycam yang ternyata adalah Reza, lalu di lanjut dengan seorang pria yang barusan menikmati tubuhnya yang ternyata adala satpamnya yang bernama Rojak, lalu kemudian di susul dengan pria yang sedang ia oral yang ternyata adalah Budi, dan yang terakhir adalah Dewa yang saat ini sedang menikmati vaginanya.

Tentu saja Irma marah dengan perbuatan Reza yang berani merencanakan pemerkosaan terhadap dirinya, tapi di sisi lain dia merasa lega karena ternyata Reza yang merencanakan kejutan besar malam ini untuknya. Setidaknya ia tidak perlu khawatir kalau Reza akan menyakiti dirinya.

"Kamu pasti menyukainyakan ?" Ledek Reza sambil mengeshot wajar Irma dari jarak dekat. "Kamu seksi sekali kalau lagi ngemut kayak gitu, saya yakin pasti banyak cowok di luar sana kepingin merasakan oral dari kamu." Lanjut Reza sambi tersenyum cengengesan.

"Gila Boss, mulutnya enak banget !" Ujar Budi yang sedang memperkosa mulut Ustadza alim itu.

"Itu belum seberapa, kamu harus coba memeknya Bud." Celoteh Rozak yang membuat telinga Irma terasa panas mendengar ucapannya.

"Hahaha... kamu kenapa Irma ? Seharusnya kamu senang, karena sudah bikin mereka puas, wanita itu baru di akui keberadaannya kalau bisa memuaskan pasangannya, dan kamu bisa memuaskan mereka semua." Puji Reza, lalu dia beralih kebelakang dan mulai mengeshot kearah vagina Irma yang sedang di sodok keluar masuk dari belakang.

Setelah mendengar penjelasan Reza, perasaan Irma semakin bercampur aduk, antara marah, kecewa, nikmat dan bangga karena melayani mereka, para pria pengejar nafsu birahi.

Irma seoalah telah melupakan dosa besar yang ia perbuat, saat ini yang ada di benaknya hanya mengejar kenikmatan birahi,.walaupun ia harus mengkhianati pernikahannya yang suci, melupakan kalau saat ini ia sedang di lecehkan.

"Aaahk.... Hhnmpp... Aku dapeeeett... Aaahkk... " Pekik Irma, saat ia mendapatkan orgasme yang kedua kalinya.

Wajah Irma jatuh keatas bantal, dia tak mampu lagi mengangkat kepalanya hanya untuk sekedar memberi servis oral kepada Budi Tapi sepertinya pria itu mengerti, kalau saat ini Irma sangat kelelahan setelah mendapatkan orgasme keduanya

Berbeda dengan Dewa, pria itu seolah tak perduli kondisi tubuh mangsanya yang kelelahan.

Dewa mencabut penisnya lalu membalik tubuh Irma hingga terlentang, dan kemudian dia kembali menjejalkan penisnya, dan memompa dengan ritme perlahan.

"Eehmm... Ooo.... Aaahk... Aaa... "

"Gimana rasanya Ustadza, enakkan di entot rame-rame." Goda Dewa sambil membelai pipi Irma yang memerah menahan rasa malu dan nikmat. "Jawab dong Ustadzah, enakan mana, di entot rame-rame apa di entot sama Suaminya ?" Tanya Dewa tanpa jeda memompa vagina Istri Ustad Iwan.

Mendengar pertanyaan Dewa, Rozak yang tadi sedang duduk santai tiba-tiba dia mendekat kesisi kanan Irma, sepertinya ia juga ingin mendengar pengakuan Irma, sementara Budi sibuk menampar-namparkan penisnya di wajah cantik Irma.

Pendirian Irma perlahan mulai goyah, awalnya dia berusaha mati-matian untuk mengingkari apa yang ia rasakan saat ini, tapi melihat keempat pemerkosanya, Irma merasa tak ada yang perlu di tutupi lagi, kalau dia memang sangat menikmati cara mereka memperkosa dirinya.

Irma mendesah pelan ketika Rozak merempas susu kanannya dengan cukup kasar.

"Jawab dong... kok diam ! Hehehe... " Ujar Rozak.

"Gak usah malu gitu Ustadza, di jawab aja, biar kita semakin semangat genjot memeknya, nanti habis ini giliran Budi yang dapat jatah buat puasin memeknya Ustadza." Timpal Dewa, dia menekan bagian belakang lutut Irma hingga kedua lutut Irma hampir mnyentuh dadanya.

"Aaah... Aaaaa... Aaaaa.... kaliaaaan ! Ooohkk... "

Gilaa... itulah yang ada pikiran Irma, semakin ia di lecehkan semakin ia terangsang, sedari tadi vaginanya terus-terusan memproduksi lendir cintanya, membuat para pemerkosanya semakin muda menggenjot vaginanya tanpa ampun.

Dia menggigit bibirnya, dan perlahan bibirnya bergerak "Iyaaa... kalian hebat, Aaagkk... ayo setubuhi saya Pak." Ucap Irma, dia mencengkram erat lengan Dewa.

"Ini namanya ngentot, bukan bersetubuh." Ralat Budi.

"Ayo di ulang, yang lebi liar biar saya nyodoknya semakin liar, hehe... !" Timpal Dewa, dia sangat yakin kalau saat ini Irma sudah bertekuk lutut di hadapannya.

"Iya Pak, Aahk... Aaahkk... entot saya Pak, saya mohon sodok memek saya Pak. Kontol Bapak lebih besar di bandingkan punya Suami saya." Kata Irma sambil menatap dengan tatapan memelas, dia merasa vaginanya sangat gatal


"Na gitu dong Haha !"

Dewa semakin bersemangat menggenjot memek Irma, sementara Irma sendiri tanpa henti mengerang-erang dengan bermandikan keringat, menikmati setiap sodokan yang ia dapatkan dari pemerkosanya, bahkan ia tak segan-segan melingkarkan kedua tangannya di leher Dewa.

Sambil merangkul erat leher Dewa, Irma mendekatkan bibirnya lalu melumat bibir Dewa.

Tak lama kemudian, Irma kembali mencapai klimaksnya, pinggulnya terangkat keatas, dadanya terguncang dan teriakannya sangat keras.

"Ni rasain spermaku Sayang !" Erang Dewa sambil membenamkan dalam-dalam penisnya hingga menyentuh dinding rahim Irma.

--------

Setibanya di sekolah aku tidak langsung pulang kerumah, aku langsung ikut bergabung bersama temanku untuk melaksanakan olah raga sore, sehabis olah raga aku mampir keasrama temanku. Aku baru pulang ketika langit sudah gelap.

Sesampainya di depan rumah kulihat rumahku masi tampak gelap, kupikir rumah dalam keadaan sepi, mengingat Saudaraku yang masi di luar kota.

Aku berjalan santai masuk kedalam rumah, dan keanehan mulai kurasakan, pintu rumah dalam keadaan tidak terkunci.

Apa rumah kami baru di masuki maling ? Ah... tidak mungkin, mana berani maling masuk kedalam lingkungan sekolahku, bisa-bisa ia keluar tanpa nyawa.

Aku mencari tombol lampu, lalu menyelakannya dan saat itulah kudengar suara isak tangis sayup-sayup terdengar dari dalam kamar Saudaraku. Karena merasa khawatir, aku buru-buru membuka pintu kamarnya, dan kudapatkan Kakak iparku sedang meringkuk diatas tempat tidurnya. Aku segera menghampirinya, duduk di tepian ranjangnya.

"Kak!" Panggilku lirih.

Dia menatapku sebentar, lalu sedetik kemudian dia berhamburan memelukku sambil menangis dengan suara yang lebi kencang dari sebelumnya. Membuatku semakin bingung dengan keadaan saat ini, tapi tak mau banyak komentar dulu, kubiarkan ia memelukku dengan erat sambil menangis, menumpahkan emosinya kepadaku.

Tangan kananku merangkul pundaknya, sementara tangan kiriku membelai kepalanya, walaupun aku tidak tau, tapi aku yakin saat ini Kak Nadia sedang ada masalah.

Tak lama kemudian tangisnya mulai mereda, berganti dengan suara dengkuran halus. Apa ia ketiduran ? Ah... biarkan saja, mungkin dia kelelahan.

Irma duduk di tepian tempat tidurnya, ia menangis dalam diam di dalam pelukan seorang pria yang bukan muhrimnya, dia adalah Reza, seorang pria yang sudah merubah hidupnya yang dulu sebagai wanita baik-baik, kini menjadi wanita liar.

Dia mendekap, membelai pundak telanjang Irma dan sesekali ia juga menyeka air mata Irma.

"Kenapa Mas ?" Katanya lirih.

"Karena kamu wanita hebat, kamu bisa melayani 4 orang sekaligus, kamu sangat luar biasa, pelacur sekalipun tidak akan sanggup melayani 4 orang sekaligus, tapi kamu bisa melakukannya dengan baik." Jelas Reza dengan nada yang tampak begitu bangga.

"Ini semua gara-gara kamu." Umpat Irma, entah dia harus marah atau senang dengan perubahan yang terjadi kepada dirinya.

"Tapi kamu menyukainyakan ?" Goda Reza, tangan kirinya turun membelai paha mulus Irma, lalu menuju keselangkangan Irma. Ia membelai pelan bibir vagina Irma, membuat wanita baik-baik itu menggigit bibirnya menahan rasa geli yang amat sangat.

"Cukup Mas." Rintih Irma.

"Oke... oke... kamu pasti capek." Reza menghentikan aksinya, lalu ia berdiri dan mengenakan kembali pakaiannya. "Malam ini cukup sampai di sini, tapi lain kali, aku akan meminta lebih. Ingat jangan coba-coba lari, kecuali kamu mau video ini sampai ketangan Suami kamu." Sambung Reza sembari tersenyum licik.

"Bajingan kamu Mas." Umpat Irma.

Tapi Reza tidak memperdulikannya, setelah mengenakan pakaiannya, ia berjalan gontai meninggalkan Irma sendirian di dalam kamarnya sambil menangis.

-------------

Nadia sangat terkejut, ketika sadar seseorang pria ada di dekatnya, parahnya lagi ia tertidur di dalam pelukan pria tersebut. Dengan perlahan ia melepas pelukannya, tapi tak ada reaksi dari pemuda tersebut.

Ternyata Raditya juga tertidur sambil memeluknya raut wajahnya yang tampan mengisyaratkan kelelahan.

Dengan sangat hati-hati dia mengembalikan lengan Raditya dari pundaknya kesamping tubuh Raditya, tapi ternyata gerakan tersebut malah membuat Raditya terbangun dari tidurnya.

"Eh... maaf Kak." Ujar Raditya buru-buru menyingkir dari samping Kakak iparnya.

"Gak apa-apa kok Dit, seharusnya Kakak yang minta maaf karena tadi sempat memelukmu." Kata Nadia bersemu malu mengingat kejadian beberapa waktu yang lalu.

"Eh... iya!" Jawab Raditya.

Lalu suasana mendadak hening, mereka hanya saling menatap malu, ada keinginan untuk saling menghangatkan, memeluk dan di peluk, tapi batasan-batasan yang mereka yakini membuat mereka bertahan di posisi mereka masing-masing.

Tiba-tiba saja tangannya Nadia di genggam Raditya, membuat Nadia menjadi salah tingkah.

"Kakak kenapa nangis?" Tanya Raditya.

"Eehmm... gak apa-apa kok Dit, Kakak cuman lagi ada sedikit masalah." Jawab Nadia, sambil hendak berusaha menarik tangannya, tapi Raditya malah mengenggamnya semakin erat.

"Masalah apa Kak? Siapa tau aku bisa bantu, setidaknya bisa meringankan beban Kakak." Ujar Raditnya, ia menggeser posisi duduknya sehingga tubuh mereka kembali berdekatan.

"Gak apa-apa kok Dek, beneran."

"Kak... "

"Ini masalah Masmu Dek." Jawab Nadia yang akhirnya menyerah.

"Kenapa dengan Mas Jaka Kak ?" Tanya Raditya semakin penasaran.

"Kamu taukan kalau sampai saat ini Kakak belum juga hamil, dan semua orang menyalahkan Kakak, termasuk Mama kamu. Tapi yang sebenarnya patut di salahkan adalah Masmu, karena dia tidak mampu menghamili Kakak, tapi kenapa Kakak yang harus menanggung semuanya." Jelas Nadia, dia kembali terisak membuat Raditya kasihan kepadanya.

Raditya tau betul apa yang di rasakan Kak Nadia, kebanyakan orang bertanya dan menyalahkan Kak Nadia karena belum memilik keturunan, termasuk dirinya yang mengira Kakak Iparnya mandul.

Raditya sedikit merasa bersalah karena dulu ia juga perna memojokkannya.

Tanpa sadar Raditya kembali memeluk Kakak iparnya sebagai bentuk perhatiannya terhadap masalah yang di alami Nadia, tapi Nadia salah mengartikan pelukan Raditya, ia merasa Raditya menyukainya, karena pelukan yang di lakukan Raditya terasa hangat dan nyaman, sangat berbeda ketika Suaminya yang memeluk dirinya.

Maafkan aku Mas, tapi saat ini aku sangat membutuhkan sandaran.

Nadia dengan sadar membalas memeluk pinggang Raditya, menyandarkan kepalanya di atas dada bidang Adik iparnya.

"Maaf ya Dek."

"Iya gak apa-apa kok Kak, Kakak yang sabar ya, kalau butuh sesuatu kasi tau aku, sebisa mungkin aku akan membantu Kakak." Ucap Raditya, dia memberanikan diri mengecup kening Kakak iparnya.

"Terimakasi Dek!"

-----------


Erlina

Keesokan harinya di tempat yang berbeda.

"Bangun sayang ini sudah jam berapa." Panggil seorang wanita yang baru saja masuk kedalam kamar anaknya, dia duduk di tepian tempat tidur anaknya, sambil membelai sayang kepala anaknya.

Sang anak yang bernama Aldi, tampak menggeliat pelan, ia membuka matanya perlahan, melihat memandang Ibunya yang sedang membangunkannya.

Aldi mengangkat kepalanya, lalu menaruhnya kembali di atas pangkuan Ibunya, sementara Erlina sendiri tanpak tidak keberatan dengan sikap manja anaknya, karena memang ia yang selalu memanjakan anaknya, menganggap putranya masi anak-anak walaupun saat ini Aldi sudah beranjak remaja.

Satu persatu Erlina membuka kancing piyama anaknya, hingga Aldi bertelanjang dada.

"Mandi yuk sayang, nanti kamu telat loh !" Bujuk Erlina.

"Iya Umi." Jawab Aldi, masi dalam keadaan mengantuk, Erlina mengajak putranya kekamar mandi.

Di dalam kamar mandi, Erlina segera membuka pakaiannya, dari kerudung hingga gaun panjangnya, dan hanya menyisakan pakaian dalam yang berwarna serba ungu yang menutupi bagian intim tubuhnya.

Erlina memang sudah terbiasa telanjang di depan putranya, baginya bukan hal yang baru berada di satu ruangan dengan putranya dalam keadaan telanjang, walaupun akhir-akhir ini ia lebih sering mengenakan pakaian dalam ketika sedang memandikan putranya.

Berbeda dengan apa yang di rasakan Aldi, bagi anak remaja itu, melihat Ibu kandungnya telanjang, atau nyaris telanjang selalu memberikan sensasi yang berbeda, dia selalu terangsang setiap kali melihat kemolekan bentuk tubuh Ibu kandungnya. Apa lagi ketika berada di luar, Ibunya selalu menakan pakaian tertutup, dan itu membuat sensasi yang ia rasakan semakin bertambah.

Erlina menarik turun celana piyama putranya, hingga burung kecilnya yang sedang berdiri langsung mencuat keluar malu-malu.

Erlina mulai menyirami tubuh putranya, menggosok seluruh tubuh putranya dengan tangan telanjang, lalu usapan tangan Erlina turun menuju burung anaknya, menggosok pelan, membuat Aldi diam-diam mendesah nikmat, sambil memandangi belahan dada Ibunya yang bergoyang-goyang.

Setelah tubuhnya rata terkena air, Erlina mengambil sebotol sabun cair dan menumpahkan sabun cair ketangannya, dan mengusapkan busa sabun tersebut keseluruh tubuh anaknya.

Selama proses memandikan itu, mata Aldi tidak perna berhenti bergerak, menatap, menikmati belahan payudara Iburnya, dan selangkangannya. Celana segitiga itu samar-samar menampakan rambut kemaluannya yang hitam dan begitu lebat.

Selesai mandi, Erlina segera mengeringkan tubuh putranya dengan handuk.

"Umi aku ganti baju sendiri ya?" Pinta Aldi.

"Eehmm... kenapa?" Erlina merinyitkan dahinya, mendengar permintaan Putranya.

"Aldikan uda besar Umi, masak sudah SMP Aldi masi di mandiin, di gantiin baju, kan malu Umi... " Jelas Aldi, Erlina seperti tidak perduli.

Dia melepas handuk putranya, lalu mengambil seragam putranya di dalam lemari.

Sebenarnya Erlina mengerti saat ini Aldi bukan lagi anak-anak ia sudah tumbuh menjadi anak remaja, terbukti akhir-akhir ini setiap kali memandikan anaknya, burung kecil anaknya selalu berdiri, dan kedua bola mata anaknya selalu menatap dirinya dengan tatapan nanar, seolah ingin menerkam dirinya.

Tapi entah kenapa ia tidak ingin mengakui kalau anaknya suda remaja, baginya Aldi tetaplah Aldi yang dulu, dia masi anak-anak, sehingga ia tidak perlu membatasi diri ketika bersama putranya.

"Siapa bilang kamu sudah besar sayang?"

"Aldi sudan SMP Umi." Jawab Aldi yakin.

"Walaupun kamu sudah SMP, tapi kamu masih tetap anak-anak sayang, buktinya titit kamu ini, masih kecil sama seperti dulu, belum ada rambutnya juga seperti punya Umi atau punya Kakak kamu." Jelas Erlina sambil mengamati dan memegang burung putranya yang berukuran tak lebi dari ujung jari telunjuk.

"Tapi Umi... "

"Udah gak tapi-tapian, angkat kaki sayang." Aldi menurut, ia mengkat kakiknya ketika Ibunya ingin mengenakan celana dalamnya.

Selesai mengganti pakaian, Erlina mengambil handuk besar yang ia bawak tadi dan mengenakan handuknya, melilitkan ketubuhnya. Sementara Aldi hanya diam sambil memandangi Ibu kandungnya.

"Umi mandi dulu ya sayang, cup.. cup... cup..." Erlina mencium sekujur wajah putranya, lalu ia keluar dari kamar putranya.

---------------------

"Buruan Shifa, nanti kita telat lagi...!" Teriak Ria saat melihat sahabatnya yang masi sibuk mandi, dan belum ada tanda-tanda kalau ia akan segera selesai.

"Ayo dong Shifa, yang lain udah selesai semua." Timpal Lathifa yang juga merasa khawatir.

"Kalian duluan aja!"

"Lo mau di hukum lagj ?" Kesal Lathifa.

"Ya gaklah, kaliankan tau kalau gue sama Umi Andini itu deket, jadi kalian gak perlu khawatirin gue, udah sana kalian duluan aja." Terang Asyfa mengusir kedua sahabatnya.

"Udalah yuk, kita duluan." Ajak Ria sambil mengamit tangan sahabatnya Lathifa.

"Yuk... "

"Da... " Ashifa melambaikan tangannya, lalu kembali mengguyur tubuhnya dengan air.

Tak lama kemudian, ketika suasana benar-benar sepi, seorang wanita masuk kedalam pemandian umum, ia tersenyum melihat seorang gadis yang sedang berdiri sambil menyiram tubuhnya. Ia berjalan santai dengan kedua tangan ia lipat didadanya.

"Ck... ck... ck... lagi-lagi kamu." Tegur wanita tersebut.

"Eh... Umi, bentar lagi ya Umi." Pinta Ashifa cuek sambil tetap mengguyur tubuhnya dengan air.

"Udah mandinya, nanti kamu terlambat kesekolah loh, atau mau Umi hukum?" Katanya mengancam, tapi terdengar seperti bukan ancaman.

"Bentar lagi Umi."

"Eehmmm uda berani ngebantah ya sekarang." Ujar Andini sambil nendekari muridnya yang pura-pura cuek sambil menyiram tubuhnya dengan air.

Ashifa cemberut, tapi dia menurut ketika Andini menariknya dan membawanya keruang ganti.

Andini segera mengunci pintu kamar ganti, lalu ketika ia berbalik, Ashifa sudah berdiri telanjang bulat, menampakan payudarahnya yang ranum dan lipatan bibir vaginanya yang tampak begitu menggoda.

Tanpa banyak bicara, Andini langsung memeluk tubuh muridnya, ia memanggut bibir Ashifa, sementara kedua tangannya meremas gemas bongkahan pantat Ashifa.Sementara Ashifa sendiri juga tidak mau diam, dia membalas memanggut bibir gurunya, sambil mempreteli jubah gurunya dan menjatuhkannya kelantai.

Andini melepas pagutannya, sembari tersenyum ia menatap dalam-dalam mata muridnya. "Kamu nakal sekali sayang." Gumam Andini nyaris tidak terdengar.

Kemudian Andini melepas bra, hingga payudarahnya menggantung bebas, menyisakan celana dalamnya yang terikat oleh dildo besar di depan celana dalamnya, bersiap untuk menghukum muridnya.

"Kita tidak punya waktu banyak Umi."

"Iya sayang, Umi mengerti." Bisik Andini, lalu ia mengangkat satu kaki Ashifa, sementara tangan satunya mengarahkan dildo tersebut kecela-cela bibir vagina muridnya, lalu dengan perlahan dildo itu melesat masuk kedalam vagina Ashifa.

"Aaaahkk...!"

"Mengeranglah sayang, Umi senang melihat kamu menikmati setiap tusukan yang Umi berikan." Ujar Andini, kemudian ia mengulum payudarah Ashifa.

Ashifa melingkarkan kedua tangannya di leher Andini, sambil mengerang ia ikut menggoyangkan pinggulnya, menyambut dildo besar milik Andini yang sedang menghujami vaginanya.

Kemudian Andini meminta muridnya untuk membelakanginya, menghadap tembok, dan tanpa protes sedikitpun Ashifa mengikuti keinginan gurunya, dia sedikit menunggingkan pantatnya yang bulat, lalu dari belakang Andini kembali menghujani vagina muridnya dari belakang. Tanpa di sadari Andini, Ashifa mencapai klimaksnya untuk kedua kalinya.

"Aaahkk... Umi, Aaahkk... aahkk... !"

"Kamu sukakan sayang, memek kamu Umi sodok seperti ini, tetek kamu Umi peres-peres." Bisik Andini di telinga muridnya yang sedang mengerang nikmat.

"Eehmm... Ashifa mau di hukum setiap hari kalau kayak gini cara menghukumnya."

"Dasaar anak nakal." Ujar Andini.

Tak lama kemudian tubuh Ashifa kembali bergetar, kedua kaki Ashifa tak lagi bisa menopang tubuhnya, sehingga ketika orgasme itu datang, tubuh Ashifa melorot mau jatuh kelantai, tapi Andini dengan cepat menahan tubuh murid kesayangannya.

Plopp...
Dengan perlahan Andini mencabut penis mainannya dari dalam vagina Ashifa.

"Terimakasi ya sayang."

"Iya sama-sama Umi, cup... " Ashifa mengecup pipi Andini.

"Ya udah kamu keluar duluan ya, nanti Umi nyusul, kalau kita barengan nanti ada yg melihat." Jelas Andini sambil menyerahkan kain dan kerudung muridnya.

Ashifa segera melilitkan kainnya, lalu memasang kerudungnya. "Umi, aku duluan ya." pamit Ashifa.

'Iya sayang, hati-hati." Jawab Andini.

Andini tersenyum melepas kepergian muridnya, lalu setelah muridnya menghilang dari pandangannya, ia melepas ikat pinggang dildonya berikut dengan celana dalamnya. Perlahan ia memasukan benda tumpul itu kedalam liang vaginanya.

Perlahan ia memompa vaginanya, menikmati setiap gesekan dildo tersebut dengan dinding rahimnya. "Aaaa... Eeehmm... Shifaa... Aaaa... " Ia mengerang, menikmati masturbasinya.

Dan tanpa ia sadari, sedari tadi sepasang mata sedang mengamatinya, dia merekam adegan panas antara seorang guru dan murid di dalam ruang ganti melalui kamera hpnya. Pria itu tersenyum, lalu ia menyimpan kembali hpnya kedalam saku celananya.

Deg...

Plaak... plaak... plaak...
Tangan kanannya tidak perna berhenti mengocok penisnya, bergerak dengan teratur turun naik tanpa jedah sedetikpun sambil menonton video lesby yang ada di hpnya, apa lagi artis yang ada di dalam video itu adalah orang yang ia kenal.

Ashifa, sahabat pacarnya Lathifa dan lawan mainnya adalah seorang guru yang selama ini ia pikir adalah wanita alim, dan baik.

Pagi tadi tanpa di sengaja, ketika ia hendak ingin mengendap-endap ke asrama putri agar bisa bertemu dengan pacarnya, ia tidak sengaja mendengar suara yang aneh, karena penasaran ia memanjat tembok dan mengintip kearah sumber suara yang ia dengar.

Dan siapa yang menyangkah, ia melihat seorang Ustadza sedang bersetubuh dengan muridnya.

"Aku keluaaaaar Umii... " Pekiknya tertahan.

------------

Lama aku berdiri mematung didepan pintu kamar mandi, melihat, memandangi seorang wanita lengkap dengan kerudung segi empat berwarna hijau dan kemeja hijau, sedang duduk di atas closet tanpa mengenakan rok panjang yang biasa ia kenakan, dan celana dalam yang menyangkut diantara kedua betisnya.

Entah ini mimpi buruk, atau hari keberuntunganku karena akhir-akhir ini aku sering di suguhi pemandangan erotis dari Kakak Iparku.

Seeeerrrr.... Ssseeerr.... Seeeeerr....
Sambil memalingkan wajahnya dari tatapanku, ia menumpahkan semua yang ada di dalam kantung kemihnya kedalam kloset tanpa ia bisa tahan lagi di depan mataku.

Aku tidak boleh di sini dan melihatnya, tapi tubuhku telah mengkhinatiku, sekeras apapun hatiku menolak, tubuhku tetap berdiri mematung, mataku tetap terbuka lebar memandangi tubuh mulus Kak Nadia.

Selesai buang air kecil, ia buru-buru berdiri mengenakan celana dalamnya kembali, saat dia menarik celana dalamnya keatas, aku dapat melihat jelas belahan vagina Kak Nadia yang mulus tanpa ada rambut hitam yang menutupinya.

Kak Nadia segera mengenakan kembali rok panjangnya, dan bergegas melewatiku tanpa sepata kata apapun.

Siaaal...! Kak Nadia kali ini ia pasti sangat marah kepadaku, karena kecerobohanku, lagi-lagi aku melakukan kesalahan yang sama seperti kemarin, bedanya kalau kemarin aku melihat ia sedang mandi dan memergokinya sedang bermasturbasi, dan pagi ini aku melihat ia sedang buang air kecil.

Aku bergegas menyusulnya kekamar, aku harus minta maaf sekarang, kalau tidak ingin hubunganku dengan Kak Nadia semakin buruk.

Tok... tok... tok...
Aku mengetuk pintu kamarnya dengan perasaan tidak menentu, ada rasa cemas kalau nanti ia akan membentak dan memarahiku.

"Eeh... kamu belom mandi." Kepalanya keluar dari balik daun pintu kamarnya.

"Hehehe... belom Kak." Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal.

"Kenapa?" Dia meringis menatapku dalam.

"Aku mau minta maaf Kak." Kataku memberanikan diri mengakui kesalahanku beberapa hari ini, ketika saudaraku sedang tidak ada di rumah.

"Ya udah masuk aja dulu."

Dia membuka lebar kamarnya, aku segera masuk kedalam kamarnya, lalu duduk di kursi kerja tempat biasa saudara kandungku duduk. Sementara Kak Nadia duduk si tepian tempat tidurnya.

"Mau ngomong apa tadi?" Tanyanya.

Aku menarik nafas dalam, menghilangkan rasa gugup yang aku rasakan saat ini.

"Soal barusan, aku benar-benar minta maaf, aku tidak bermaksud kurang ajar kepada Kakak. Tadi itu benar-benar tidak sengaja. Tapi aku janji Kak, kejadian hari ini tidak akan terulang lagi."

"Kalau masalah itu gak perlu di bahas ya Dek, jujur Kakak malu kalau ngebahas masalah itu." Ujarnya sembari menunduk.

Aku tau perasaan Kak Nadia, sebagai seorang wanita dan Istri yang baik, tentu saja suatu musibah yang besar bagi dirinya di lihat oleh orang lain yang bukan muhrimnya dalam keadaan telanjang. Apa lagi tadi dia dalam kondisi yang sangat memalukan.

Sebenarnya aku ragu melakukan ini, tapi aku coba untuk memberanikan diri.

Aku beranjak dari kursiku, lalu duduk di sampingnya. Dengan perlahan aku meraih tangannya, menggenggamnya dengan perlahan, awalnya ia tampak kaget, tapi setelah mata kami berdua beradu ia mengurungkan niatnya melepas genggamanku.

"Soal tadi, ataupun kemarin aku benar-benar minta maaf." Kataku sambil meletakan tangannya diatas pahaku. "Aku mengerti perasaan Kakak, tapi jujur Kak, Kakak memang wanita yang sempurna, aku tau kalau ini salah, tapi aku menyukaimu Kak." Deg... aku tidak menyangkah kalau aku akan mengatakan kalimat ini kepadanya.

Wajahnya memerah, lalu ia hendak menarik tangannya tapi aku menahannya agar tidak terlepas.

"Jangan sembarangan bicara Dit."

"Aku tau Kak, memang ini sudah gila, tapi aku juga tidak bisa membohongi perasaanku, setiap kali di dekat Kakak aku merasa sangat nyaman, dan waktu aku melihat Kakak menangis, dadaku terasa sesak." Jelasku, aku semakin mendekatkan diriku.

Ia menatap mataku, kulihat butiran air matanya mengalir dari kelopak matanya yang indah. Segera dengan jemari kiriku, aku menghapus air matanya, aku tidak ingin melihat ia menangis seperti kemarin karena aku menyukainya, walaupun aku sendiri tidak tau apakah rasa suka ini hanya sebatas mengagumi, atau karena aku memang mencintai Kakak iparku.

Perlahan tanpa di komando, wajah kami semakin dekat, hanya tinggal satu centi lagi bibir kami bertemu.

Kerangkul lehernya, denga sedikit memiringkan kepalaku aku mengecup.lembut bibirnya. Hanya sebuah kecupan lembut, dan perlahan berganti dengan lumatan.

Tubuh kami semakin merapat, dan perlahan tanpa sadar kami berpelukan, aku dapat merasakan dadanya yang menempel di dadaku, terasa empuk dan nyaman, membuatku semakin erat memelukku.

"Eehnmpp... "

Aku menjulurkan lidahku kedalam mulutnya, lalu ia membalasnya dengan membelit lidahku, sehingga beberapa kali aku menelan air liurnya, sementara tangan kiriku turun membelai punggungnya, dan tangan kananku bergerak menuju kedepan dadanya, meremasnya pelan penuh perasaan.

Kak Nadia mendorongku, sehingga aku tiduran sementara ia menindiku, sambil berciuman kami berpelukan saling merabah satu sama lain.

"Astagaaa...!" Aku terkejut ketika ia melepas pagutannya. "A... apa yang kita lakukan, kita tidak boleh melakukannya Radit, ingat ini dosa besar." Dia buru-buru hendak pergi meninggalkanku.

"Kak... " Aku menarik tangannya. "Maaf Kak!" Dia tidak mengubris panggilanku, dengan sedikit hentakan dia melepas tanganku dan pergi meninggalkanku.

Siaaal... sial... sial...[/] Apa yang terjadi denganku, kenapa aku bisa berbuat sebodoh ini, seharusnya aku memperbaiki hubungan kami, bukan malah semakin memperburuk keadaan.

Sekarang apa yang kulakukan? Mungkin kali ini dia akan mengadukan perbuatanku kepada Mas Jaka.

-------------

Yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah menangis, mengutuk dirinya sendiri yang semakin lama semakin tidak bisa mengontrol dirinya, yang semakin terbuai oleh nafsunya sendiri.

Bayangan adik iparnya seakan tak perna mau pergi, bahkan beberapa saat sebelumnya, ia masi sempat bermasturbasi, mengingat dan membayangkan kelajutan yang ia lakukan tadi pagi bersama Adik iparmya, sesuatu yang seharusnya tidak ia lakukan.

Perlahan tangan kanannya kembali turun membelai bibir vaginanya, bayangan Raditya kembali menghantuinya, membuat dirinya tidak tenang.

"Eeehnggk... Radit, Aaahkk...!" Ia merintih perlahan.

Ia membayangkan saat ini Adik iparnya sedang menindih dirinya, menusukan terpedonya kedalam vaginanya, keluar masuk seiring dengan jarinya yang bergerak cepat keluar masuk mengikuti khayalannya.

Dia mendesah semakin keras, walaupun ia sudah berusaha setenga mati untuk melupakan bayangan Adik iparnya dan menggantikannya dengan Suaminya, tapi tetap saja ia tidak mampu, bayangan Adik iparnya terlalu dominan akhir-akhirnya.

Tubuh Nadia menggeliat, ia sudah tidak tahan lagi, menumpahkan perasaannya.

"Radiiiiittt... " Ia memekik seiring cairan cintanya yang keluar cukup banyak. Perlahan ia memejamkan matanya, kembali mengingat dosa yang ia lakukan hari ini.

-------------

Waktu jam pulang sudah lama berlalu, tapi aku memutuskan untuk tidak segera pulang, aku takut kalau nanti bertemu dengan Kakak Iparku, apa yang harus kukatakan nanti, bisa jadi kalau ia melihatku, ia akan mengusirku, dan hubunganku dengannya akan semakin memburuk lagi.

Kuputuskan untuk main ke villa belakang, yang terletak di pinggiran sungai.

Aku duduk santai sambil menikmati angin yang menerpa wajahku, udara di sini memang sangat segar di bandingkan di kota tempat asalku, udaranya sudah tercemar oleh polusi.

"Radit."

Aku menoleh kebelakang. "Loh... kok ada di sini Ra?" Tanyaku bingung, karena tiba-tiba saja ia sudah ada di belakangku.

"Lagi bosen di asrama, jadinya keliling aja."

"Eehmm... tapi inikan wilayah cowok, nanti kalau ketahuan di sini, kamu bisa di hukum loh." Jelasku, mengingatkan ia tentang peraturan dan batas-batasan wilayah sekolahku.

"Hahaha... itukan kalau ketahuan." Ledeknya... "Emang kamu mau ngaduin aku ke bagian keamanan?" Katanya, sembari tersenyum.

Aku menggelengkan kepalaku, lalu kembali membuang wajahku kearah danau, menatap indahnya danau seindah wajahnya Clara, wanita pertama yang ku sukai saat pertama kali menginjakan kakiku di sini. Seseorang yang selalu membuatku tidak bisa memejamkan mataku.

Dia berdiri di sampingku, kulihat dia juga tampak menikmati pemandangan indah yang ada di hadapan kami saat ini.

"Bagus ya." Gumamku pelan.

"Eheem... Aku sering main kesini kalau lagi merasa jenuh, soalnya aku suka pemandangannya."

"Yup, aku juga menyukainya."

Lalu kami saling melempar senyum, dan lagi-lagi aku terpesona dengan kecantikannya yang mendekati sempurna, bibir tipisnya tampak bergumam tapi aku tak dapat mendengarnya dengan cukup jelas, hingga akhirnya kami mendengar suara orang yang memanggil kami berdua.

Semakin lama suara itu terasa semakin dekat, dan saat kami memalingkan wajah, aku melihat Pak Rojak, satpam sekolahku sedang berjalan kearah kami.

"Gawat... ayo kabur." Pekiknya, lalu ia menarik tanganku untuk segera menjauh.

"Eeh... "

Aku hanya mengikuti setiap langkahnya untuk segera menjauh dari villa tempat kami bersantai, sementara Pak Rojak yang melihat berlarian, mencoba mengejar dan berteriak memanggil kami, meminta kami untuk segera berhenti berlari.

Karena jarak antara kami dan Pak Rojak yang terlalu jauh, membuat Pak Rojak dengan mudanya kehilangan jejak kami berdua.

Aku tidak dapat membayangkan kalau seandainya saja Pak Rajak berhasil menangkap kami berdua, bisa-bisa kami akan dikenakan pelanggaran berat, karena berdua-duaan di tempat.sepi.

Hosss... hoss... hoss... Ternyata larinya Clara cukup cepat, sehingga aku nyaris tak bisa mengejarnya. Kami kembali berpandangan, dan kemudian tawa kami berduapun meledak.

"Mau kemana? cantik banget." Celetuk Ria.

"Ini malam minggu, ya mojoklah!" Jelas Lathifa girang, sambil mengoleskan bibirnya dengan lipstik bewarna merah muda, membuat bibirnya terlihat lebi segar.

"Gue gak di ajak ni?" Rengek Ria.

"Mau jadi racun nyamuk?" Dia menyimpan kembali lipstiknya kedalam lemari, kemudian ia menghampir sahabatnya yang sedang tiduran diatas tempat tidurnya. "Makanya cari pacar dong Cin, biar gak kesepian lagi." Sambung Lathifa.

"Gue lagi males pacaran."

"Ah lu gak asyik, eh ngomong-ngomong Ashifa kemana ya?" Tanya Lathifa.

"Gak tau juga, dari habis magrib dia udah ngilang." Jawab Ria.

"Eeehmm... akhir-akhir ini gue perhatiin Ashifa sering banget ngilang, atau jangan-jangan dia udah punya pacar?" Selidik Lathifa sambil menatap sahabatnya.

"Tapi kayaknya gak mungkin deh, kalau memang dia udah punya pacar, seharusnya dia pasti cerita sama kita, tapikan nyatanya dia gak perna cerita kalau lagi deket sama cowok."

"Bener juga sih kata lo, atau jangan-jangan dia kekamarnya Umi Andini? Biasanyakan dia kesana."

"Eh lu udah denger belom, isunya tentang Umi Andini?" Ujar Ria antusias.

"Isu apa?"

"Denger-denger katanya Umi Andini itu lesby loh." Kata Ria, dia mengubah posisi tidurnya. "Gue takut, kalau memang bener Umi Andini seorang lesbian, nanti Ashifa juga ngikut jadi suka sesama jenis kayak Umi Andini." Sebenarnya Ria sudah lama mencurigai sahabatnya yang akhir-akhir ini sangat dekat dengan Umi Andini, dia curiga kalau sahabatnya punya hubungan khusus dengan Umi Andini, mengingat keduanya akhir-akhir ini sering bersama-sama.

"Gue juga mikirnya gitu, tapi mau negur langsung ke Ashifa gue merasa gak enak." Jelas Lathifa.

"Ya udalah, toh kita gak punya buktikan."

"Nanti aja kita omongin lagi ya, gue udah telat ni." Ujar Lathifa sambil beranjak berdiri.

"Hati-hati ya Cin, jangan sampe di gerbek hihihi"

"Siap Bos, gue pergi dulu ya... Byee... "

-----------------

Irma

Makan malam kali ini terasa hambar bagi Irma, walaupun saat ini Suaminya sedang menemani dirinya, tapi dia merasa seperti ada yang hilang di dalam dirinya.

Beberapa kali matanya memandang kursi kosong tepat di samping Suaminya, biasanya setiap malam kursi itu selalu di duduki oleh orang paling ia benci sekaligus paling ia rindukan. Pemilik kursi itu adalah Reza, seorang yang telah merubah hidupnya dari Istri yang baik, hingga menjadi seorang Istri yang binal, haus akan sex.

Dimana Reza sekarang? Ya... sesuai janji Iwan, Reza saat ini memiliki rumah sendiri walaupun rumahnya tidak terlalu besar tapi cukup nyaman untuk di tinggali. Selain itu Reza juga di angkat menjadi ketua keamanan dan guru olah raga.

"Kamu kenapa sayang, dari tadi manyun terus." Tegur Iwan, yang dari tadi memperhatikan Istrinya.

"Gak apa-apa kok Mas."

"Gak apa-apa gimana, dari tadi makanannya tidak kamu sentuh sedikitpun, apa kamu lagi gak enak badan?" Tanya Iwan, ia merasa khawatir melihat perubahan Istrinya akhir-akhir ini yang kurang bersemangat

Irma buru-buru menggelengkan kepalanya. "Aku baik-baik aja kok Mas." Jawab Irma sembari tersenyum.

"Kamu lagi ada masalah?"

"Gak ada kok Mas, semuanya baik-baik aja."

"Kalau begitu habiskan makan malamnya sayang, soalnya Mas udah kangen." Ujar Iwan sembari memberi kode kepada Istrinya, Irma hanya tersenyum mendengar penuturan Suaminya.

"Udah gak sabar ya." Goda Irma.

"Hahaha... mana mungkin Mas bisa sabar kalau di hadapan wanita secantik kamu." Puji Iwan, sembari menatap wajah Istrinya yang bersemu merah.

Irma segera menghabiskan makan malamnya, dia tidak ingin membuat Suaminya menunggu lama, selesai makan ia membereskan sisa makan malam mereka, sementara Suaminya sudah lebi dulu masuk kedalam kamar.

Selesai membereskan sisa-sisa makan malam mereka, Irma menyusul kedalam kamar mereka.

Di dalam kamar Iwan langsung menyambut Istrinya, ia segera memeluk dan mencium bibir Istrinya, sementara Irma lebi memilih menerima perlakuan Suaminya, bahkan ia tidak bereaksi ketika Suaminya mulai menelanjanginya dan kemudian menbawanya naik keatas tempat tidur mereka.

"Malam ini kamu cantik banget sayang!" Bisik mesrah Iwan, berharap Istrinya semakin bersemangat melayaninya Malam ini.

"Gombaal!" Ujar Irma tak kalah mesrahnya.

Irma segera membuka kedua kakinya, dan mengarahkan penis Suaminya untuk segera menyetubuhinya. "Eeehkk...!" Irma mendesah pelan ketika penis Iwan memasuki dirinya.

Walaupun penis Iwan tak sebesar dan senikmat penis Reza, tapi Irma tetap berusaha menikmatinya, ia menggoyang pinggulnya menyambut setiap sodokan dari Suaminya, bahkan tidak sampai di situ saja, Irma mengaitkan kedua tangannya di leher Suaminya dan melumat bibir Suaminya dan berharap ia benar-benar bisa menikmatinya.

"Mas...! aku mencintaimu." Bisik Irma menyemangati Suaminya.

"Aku juga sayang, sangat mencintaimu !" Jawab Iwan yang kemudian semakin cepat menggerakan pinggulnya, hingga terdengar suara nyaring. "Aku mau keluar." Dengus nafsu Iwan yang sudah berada di ujung.

Irma tersenyum kecut, ternyata harapannya lagi-lagi tak bisa di penuhi oleh Suaminya.

Tapi demi menebus kesalahannya akhir-akhir ini, Irma lebi memilih berpura-pura menikmati persetubuhan mereka, ia mengerang dan tubuhnya menggeliat, seakan ia sangat menikmati persetubuhan mereka berdua.

"Aku keluaaaaar!" Pekik Irma bohong, tepat ketika ia merasa sperma Suaminya menembus rahimnya.

-------------------------

Lathifa

Ketika banyak remaja menghabiskan malam minggu mereka dengan pergi ketaman, atau nonton bioskop tapi tidak dengan kedua remaja tanggung ini. Mereka lebih memilih untuk menghabiskan malam mereka berdua-duaan di pinggir danau jauh dari keramayan yang hanya di terangi rembulan malam ini.

Dengan erat Chakra menggenggam tangan pacarnya, saat ini dia tak sedetikpun ingin jauh dari pacarnya.

Begitupun yang di rasakan Lathifa, ia merasa amat bahagia malam ini, bisa menghabiskan malam berdua dengan seseorang yang sangat ia cintai, walaupun ada rasa takut, kalau nanti ada yang memergoki mereka berdua.

"Kamu yakin di sini aman?" Tanya Lathifa getir.

"Iya aku sangat yakin, kamu gak perlu khawatir di sini tempatnya cukup tersembunyi." Terang Chakra, menenangkan kekhawatiran kekasihnya.

"Iya aku percaya."

Chakra tersenyum, lalu ia mengecup kening kekasihnya, terus turun kematanya dan terakhir melumat bibir kekasihnya. Lathifa membalas pagutan pujaan hatinya, sambil memeluk erat tubuhnya, dan dengan perlahan merebahkan tubuhnya di atas tikar yang di siapkan oleh kekasihnya, membiarkan pemuda itu menindih tubuhnya.

Tangan kanan Chakra meraih payudarah Lathifa, ia meremasnya pelan, merasakan kelembutan bulatan payudarah pacarnya yang sedang dalam pertumbuhan.

"Eehhmmpp...!"

"Bajunya aku buka ya sayang?" Pinta Chakra, gadis itu hanya mengangguk dalam diam.

Perlahan ia menarik keatas kaos yang di kenakan Lathifa, berikut dengan cup branya, hingga di hadapannya saat ini terpampang pepaya muda yang sedang seger-segernya untuk ia nikmati, puttinya yang kemerah-merahan sungguh sangat menggoda nafsu birahinya, untuk segera mencicipinya.

Tanpa meminta izin lagi, Chakra segera melahap putting kekasihnya, menghisap dan mengulum puttingnya, membuat gadis itu merintih semakin keras, kedua kakinya bergerak liar menahan desakan nafsunya yang semakin bergolara.

"Uuuh... Chakra! Aaahkk... pelan-pelan geli." Rintih Lathifa sambil memegangi kepala Chakra yang sedang menyusu di atas payudarahnya.

Tangan kanan Chakra merayap melewati perut Lathifa, lalu jari jemarinya begitu lihai membuka resleting celana yang di kenakan Lathifa, gadis muda itu sedikit membantu dengan mengangkat sedikit pinggulnya, membiarkan Chakra menurunkan celananya hingga sebatas pahanya.

Jari tengah Chakra menggesek-gesek belahan vagina Lathifa yang sudah nampak basah, membuat Lathifa menggeliat semakin parah, mengerang hebat.

Walaupun ini adalah kali kedua Lathifa di cumbu oleh Chakra, tetap saja ada perasaan malu, dan gerogi setiap kali matanya melihat senyum mesum kekasihnya yang tampak begitu bahagia karena bisa menikmati keindahan tubuhnya.

"Aku bolehkan buka celana dalam kamu." Tanya Chakra.

"Jangan sayang, kamukan udah janji hanya sebatas ini saja." Ujar Lathifa mengingatkan janji yang sebelumnya perna di ucapkan oleh kekasihnya.

"Aku hanya ingin melihatnya." Bisiknya, sembari tangannya menyingkap pinggiran celana dalam Lathifa sehingga jarinya dapat menyentuh bibir vagina Lathifa.

Kepala Lathifa mengada keatas, dia tak bisa membohongi dirinya, kalau ia sangat menikmati ketika bibir vaginya di sentuh oleh jari nakal Chakra. Bahkan ia tak dapat berbuat banyak ketika Chakra menarik lepas celana dalamnya.

Lathifa memalingkan wajahnya, ia merasa amat malu dengan kondisinya saat ini.

Kerudung yang ia kenakan kini sudah tak berbentuk lagi, begitu juga dengan kaosnya yang sudah tersingkap keatas berikut dengan bra yang ia kenakan, dan nasib yang sama di alami oleh celananya yang suda di tarik turun hingga sebatas betisnya, menampakan sepasang paha mulusnya dan vaginanya yang di tumbuhi hutan rimbun di permukaan vaginanya.

"Jangan Chakra, kamu sudah janjikan?" Pinta Lathifa takut-takut saat melihat Chakra yang mulai membuka pakaiannya hingga telanjang bulat.

Walaupun ini untuk kedua kalinya bagi Lathifa melihat penis Chakra, tapi tetap saja ia merasa takut, dan tegang.

"Kamu sayang akukan?" Tanya Chakra.

"Iya, tapi jangan seperti ini, aku mohon!" Lathifa menggenggam erat tangan Chakra, tapi pemuda itu malah mengarahkan tangan Lathifa kearah penisnya. Tentu saja Lathifa kaget, tapi ia menuruti keinginan pacarnya untuk menggenggam penis tersebut.

Chakra kembali memanggut bibir Lathifa, dan meminta Lathifa untuk mengocok penisnya, dan gadis itu walaupun merasa enggan ia tetap mengikuti keinginan pacarnya, tangan mungilnya bergerak mengocok penis pacarnya, sembali membalas pagutan pacarnya, membelit dan menghisap lidah pacarnya.

Lidah Chakra turun menjilati dada Lathifa secara bergantian, memainkan dan menghisap puttingnya dengan rakus penuh nikmat, sementara tangannya kembali turun membelai bibir vagina Lathifa hingga gadis itu mengerang semakin dalam.

Ciumannya kembali turun keatas perut Lathifa, dia menari-nari diatas pusarnya, dan dengan perlahan dia membuka kaki kanan Lathifa sehingga bibr vaginanya terkuak, perlahan Chakra mulai menciumi bagian dalam pahanya, sementara tangannya menstimulasi payudara Lathifa.

"Udaaaaah... Aahkk... " Erang Lathifa memohon.

Tapi Chakra yang di kuasai iblis sama sekali tidak mengubris rintihan pacarnya, bahkan ia semakin bernafsu ingin menodai Lathifa seutuhnya.

Lida iblisnya kembali terjulur, menyapu belahan bibir vagina Lathifa, menghisap dan memainkan clotoris Lathifa, membuat gadis 16 tahun itu merintih nikmat penuh dosa. Ajaran-ajaran Agama ia dapatkan selama ini hilang sudah, di telan oleh nafsu birahi, dan inginannya untuk mencapai klimaks.

"Aaaaaaa.... " Ia mengerang hebat tatkalah badai orgasme datang menghempaskan dirinya.

Chakra tersenyum puas karena berhasil membuat wanitanya tidak berdaya, dia membelai pipi Lathifa sambil mengecup lembut bibir Lathifa, sementara tangannya kembali membuka kaki Lathifa sambil memposisikan tubuhnya di atas tubuh kekasihnya, dan mengarahkan penisnya tepat di belahan bibir vagina Lathifa.

Dengan perlahan ia menggesek-gesekan penisnya kearah bibir vagina Lathifa, sadar akan bahaya yang mengancamnya, Lathifa kembali memberontak.

Tapi Chakra bukanlah seorang pemuda biasa yang tampa pengalaman, sudah tak terhitung berapa banyak santriwati yang menjadi korbannya, dan saat ini ia berniat ingin merenggut kesucian Lathifa.

"Aku mencintaimu." Bisik Chakra merayu Lathifa, dia kembali meremas payudarah Lathifa. "Sayang, bolehkan kalau aku menyatuh dengamu, sebagai bentuk rasa cinta kita berdua." Dengan perlahan kepala penis Chakra mulai membela bibir vagina Lathifa yang masih perawan.

"Ta... tapi... Aaaahk... " Lathifa memekik perih.

"Aku akan melakukannya dengan pelan." Bisik Chakra, kini posisi Chakra sudah sangat sempurna, dengan satu dorongan, maka Chakra akan memperawani Lathifa.

"Janji jangan tinggalin aku."

"Iya... muahk... aku janji sayang." Lalu dengan perlahan penis itu semakin dalam menembus vagina Lathifa hingga menubruk sesuatu benda tipis.

Dengan senyuman menyeringai, Chakra menghentak pinggulnya, hingga merobek slaput perawan milik Lathifa, gadis itu langsung berteriak kesakitan. "Saakiiiiiiittt.... pelan-pelan." Erang Lathifa, tapi Chakra yang merasa puas karena berhasil memperawani pacarnya semakin cepat menggoyang pinggulnya maju mundur, mengehentak selangkangan Lathifa.

Isak tangis Lathifa pecah, selain karena rasa sakit yang ia rasakan, Lathifa juga merasa sangat bersalah karena telah membiarkan kesuciannya di renggut oleh orang lain.

Sementara yang dirasakan Chakra malah sebaliknya, ia merasa begitu hebat dan perkasa karena bisa merenggut kesucian wanita seperti Lathifa, seorang gadis alim yang lugu, yang begitu mudanya ia tipu dengan rayuan gombalnya.

--------------------------


Irma

Cukup lama dia memandangi wajah Suaminya yang sedang terlelap, ada perasaan bersalah yang amat besar di dalam dirinya, karena ketidak mampuannya untuk menjaga kesucian pernikahannya. Tak sadar, ia mulai meneteskan air matanya, isak tangisnya pecah tatkala mengingat bagaimana Reza berhasil memperdaya dirinya, menikmati tubuhnya dan membuat dirinya orgasme beberapa kali.

Dengan perlahan ia turun dari atas tempat tidurnya, rasa haus sedikit mengganggunya.

Saat berjalan menuju dapur rumahnya, bayangan pelecehan yang di lakukan Reza kepadanya kembali terngiang-ngiang di benaknya, bagaimana mungkin seseorang seperti dirinya dengan begitu mudahnya menyerahkan tubuhnya kepada pria berengsek seperti Reza, seorang pria yang tak tau diri.

Bibirnya bergetar, berusaha menikmati air dingin membasuh tenggorakannya yang terasa kering.

"Bajingaaan... " Sesal Irma, ia terduduk di kursi yang tak jauh dari kulkas tempat ia mengambil minumannya "Seharusnya ini tidak perlu terjadi, kalau seandai saja aku bisa menahan nafsu iblisku." Gumam Irma menyesali apa yang telah terjadi saat ini.

"Sayang...!" Dengan perlahan Irma mengangkat kepalanya saat mendengar suara panggilan dari.orang yang amat sangat ia kenal. Tak jauh dari dirinya saat ini, Iwan berdiri lalu berjalan menghampirinya.

Buru-buru Irma menghapus air matanya, ia tidak ingin Suaminya tau kalau saat ini dia sedang bersedih.

"Kamu kenapa sayang?" Tanya Iwan.

Irma menggeleng lemah, sambil tersenyum. "Gak apa-apa kok Mas, Ehmm... Mas.kok belom tidur?" Tanya Irma hendak mengalikan permbicaraan.

"Mas tadi kekamar mandi, terus liat kamu lagi duduk di sini."

"Mas mau minum?" Tawar Irma, Iwan mengangguk lalu ia mengecup kepala Istrinya.

Irma segera menuangkan air kedalam gelas dan menyerahkan gelas tersebut kepada Suaminya. "Terimakasi." Kata Iwan sembaril meminumnya.

"Kita kekamar lagi yuk Mas, aku udah ngantuk ni." Ajak Irma.

"Tapi beneran kamu gak apa-apa sayang, soalnya tadi kayaknya aku mendengar suara tangisan kamu." Tanya Iwan yang masi merasa khawatir terhadap Istrinya.

"Beneran Mas, aku gak apa-apa dan aku gak nangis kok Mas, mungkin tadi mas salah denger." Jawab Irma berbohong, dia merasa beruntung karena tadi tidak menghidupkan lampu dapurnya, kalau tidak Iwan bisa melihat sisa-sia air matanya.

"Ya udah kalau gitu, ayuk kita tidur lagi."

Iwan menggandeng mesrah tangan Istrinya menuju kamar mereka berdua.

Hampir satu minggu aku tidak pulang kerumah, kejadian beberapa waktu yang lalu membuatku merasa bersalah terhadap Kakak iparku, seharusnya aku bisa menahan diri, bukannya mengikuti naluri nafsuku yang ingin memilikinya. Sadar Dit, dia Istri Saudaramu, aku tidak boleh melecehkannya lebih dari ini.

Aku berjalan santai menelusuri jalanan berkerikil menuju rumahku, hari ini yang kutau Mas Jaka baru pulang dari kota, sehingga aku tak perlu merasa khawatir kalau kejadian kemarin kembali terulang.

Tapi sebenarnya ada perasaan bersalah dan takut kalau harus bertemu dengan Mas Jaka, aku merasa bersalah karena beberapa hari ini, terutama kejadian seminggu yang lalu saat aku menggerayangi tubuh Kak Nadia, kalau seandainya Mas Jaka tau, mungkin dia akan sangat membenciku, bahkan kemungkinan terburuk dia akan membunuhku.

Hufff… Aku menarik nafas dalam, saat tinggal beberapa langkah lagi aku sampai di rumah.

"Assalamualaikum...!"

"Waalaikumsalam..." Kudengar jawaban Kak Nadia dari dalam rumah.

Aku memberanikan diri memasuki rumahku, bersiap menerima kemungkinan terburuk dari Mas Jaka, kalau seandainya Kak Nadia sampai menceritakan perbuatanku kepadanya di saat Mas Jaka tidak sedang berada di rumah.

Aku menghampiri Kak Nadia di ruang makan dan menyalaminya, ia diam tanpa ekspresi.

"Mas Jaka mana Kak?" Tanyaku agak ragu.

"Ada di dalam kamar Dit, oh iya... kamu beberapa malam ini kemana? Kok gak pulang kerumah?" Tanya Kak Nadia, kali ini ekspresi wajahnya beruba menjadi tampak khawatir kepadaku.

"Aku nginap di asarama Kak." Jawabku.

Aku menarik kursi makan, lalu duduk tenang di sana dengan perasaan campur aduk, antara takut dan merasa bersalah yang amat besar kurasakan.

Kak Nadia menarik satu kursi di sampingku, lalu duduk sambil menatapku dalam. Aku memberanikan diri membalas memandangnya, dan astaga Kak Nadia sangat cantik sekali, apa lagi ketika ia sedang tersenyum, ia sangat mengagumkan.

"Kamu membuat Kakak khawatir beberapa hari ini."

"Eh... " Kupikir dia senang karena aku tidak ada di rumah. "Maaf Kak, soalnya aku merasa..." Psstt... ia menutup bibirku dengan jari telunjuknya, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya memintaku untuk tidak meneruskan ucapanku.

"Jangan di bahas, di rumah ada Masmu."

"Maafin aku Kak." Kataku sembari kembali menunduk.

"Ya sudah kamu makan dulu, kamu pati laperkan? Apa lagi kamu sudah lama gak makan masakan Kakak, ini Kakak sengaja memasak makanan kesukaan kamu, ayo makan dulu." Katanya penuh semangat, benar-benar di luar dugaanku.

Tanpa berkata lagi aku langsung melahap makanan yang di sajikan Kakak iparku, dan harus kuakui masakannya memang tidak ada duanya, sangat lezat sekali, di bandingkan masakan yang lainnya.

Selesai makan aku segera kekamarku untuk berganti pakaian dan beristirahat.

Ping...
Hpku bergetar, kulihat ada bbm yang masuk, setelah kubaca ternyata bbm dari Clara. Ya... gara-gara kejadian kemarin, hubunganku dengan Clara semakin akrab.

Clara : Lgi apa?
Aku : Lagi tidur-tiduran aja, kamu lagi apa Ra?
Clara : Sama ni, btw bsok malam kmu ada acara gak?
Aku : Gak ada knapa?
Clara : Ktemuan yuk, di villa kmrin
Aku : Serius.
Clara : Iya aku serius
Aku : Boleh, dengan senang hati :)[/i]

Aaaaarrr.... sumpah demi apapun, aku gak nyangka kalau Clara mengajakku keluar bareng, pasti sangat menyenangkan bisa menghabiskan malam minggu bersama di villa, sambil memandangi danau.

Ternyata benar apa kata orang, di balik kesusahan pasti ada kesenangan.

Aku kembali mengirim pesan kepadanya, hanya sekejar mengobrol basa-basi, mengakrabkan diri dengannya, dan besok malam adalah momen yang tepat bagiku untuk menyatakan perasaanku kepadanya, rasanya sudah lama sekali aku tidak pacaran, sementara mantanku dulu sewaktu SMP sudah lama putus.

Tapi kira-kira nanti aku di terima gak ya? Ah... persyetan, yang penting di coba dulu, masalah keterima apa gaknya, itu urusan belakangan.

-------------

Di tempat yang berbeda, seorang gadis berteriak girang di hadapan kedua sahabatnya yang tampak mayun. Dia baru saja berkirim pesan, dan malam besok dia berjanji akan bertemu di villa. Sebuah pertemuan yang akan menjadi penentu kemenangannya.

"Ingat ya janji kalian, kalau gue bisa jadiin sama adiknya Ustad Jaka, kalian harus teraktir gue selama sebulan penuh... Hahaha... !" Dia tertawa puas.

"Jangan senang dulu, kan belom jadian." Ujar Vera

"Iya ni Clara, pede banget si bakalan di tembak malam besok, kayak adiknya Ustad Jaka mau aja sama lu." Kesal Yuli sambil memanyunkan bibirnya.

"Eeitts... kita liat aja tar malam." Balas Clara sambil mengdipkan matanya.

"Ingat ya kalau lu sampe kalah, lu harus cium Mang Rozak... ingat itu." Ujar Yuli sambil mencolek dagu clara dengan jari telunjuknya.

"Tenang gue pasti menang kok."

"Yakin banget lu, jadi gak sabar nunggu besok." Timpal Vera sambil senyum-senyum sendiri, padahal di dalam hatinya ia mulai was-was, takut kalau nanti Clara benar-benar memenangkan taruhan.

Sebulan yang lalu, mereka bertiga sepakat untuk taruhan, kalau seandainya Clara bisa dekat dan pacaran dengan adiknya Ustad Jaka, Raditya. Maka mereka akan mentraktir Clara sebulan penuh, tapi sebaliknya, kalau seandainya Clara gagal, maka ia harus mencium bibir Pak Rozak satpam di sekolah mereka.

Clara yang memang di kenal sebagai play girl tentu saja menerima tantangan kedua sahabatmya, apa lagi Raditya di kenal sebagai cowok yang dingin terhadap lawan jenis, tentu menjadi tantangan tersendiri bagi Clara yang sudah beberapa kali menaklukan santri lainnya.

-------------------

Hari ini Nadia merasa sangat senang sekali, bukan... bukan karena Suaminya pulang, melainkan karena Adik iparnya yang sekarang ada di rumah. Beberapa hari terakhir ia merasa sangat kesepian tatkala Adik iparnya sedang tidak berada di rumah. Tapi sekarang ia sudah berkumpul kembali seperti saat ini.

Mereka baru saja menghabiskan makan malam bersama, dan sekarang mereka sedang bersantai di ruang keluarga sambil menonton sinetron.

Beberapa kali tanpa sepengetahuan Suaminya, Nadia mencuri pandang kearah Adik iparnya, dia benar-benar terpesona dengan kharisma Adik iparnya, yang tidak di miliki oleh Suaminya Jaka.

"Mas, aku mau ngomong sesuatu." Ujar Raditya tiba-tiba, dia menghadap kearah Jaka.

"Mau ngomong apa? Kayaknya penting banget."

"Eehmm... aku mau tinggal di asrama aja Mas." Jelas Raditya agak ragu, dan permintaan Raditya cukup membuat Nadia kaget, dan mengalihkan fokusnya 100% kearah Raditya.

Nadia tidak menyangkah kalau kejadian kemarin membuat Raditya benar-benar berfikir ingin meninggalkan rumahnya, dan memilih tinggal di asrama, tentu saja keputusan Raditya sangat memukul dirinya, karena ia saat ini benar-benar merasa nyaman di dekat Raditya ketika Suaminya sedang tidak ada.

"Loh... emangnya kenapa kamu mau tinggal di asrama, bukannya di sini kamu punya rumah." Jelas Jaka, dia merasa ada sesuatu yang di sembunyikan oleh Adiknya.

"Cuman mau fokus belajar aja Mas, soalnyakan bentar lagi aku mau ujian."

"Kamukan bisa belajar di sini." Ujar Jaka.

"Bedalah Mas, kalau di asramakan aku punya teman buat belajar bersama, apa lagi di asrama ada Ustad yang membimbing." Jelas Raditya, dia sangat berharap Jaka mau mengizinkan ia tinggal di asrama.

Karena menurut Raditya, dengan tinggal di asrama ia bisa terhindar dari keselahan-kesalahan sebelumnya, dia tidak yakin bisa menahan diri kalau masi tinggal di rumah saudaranya, apa lagi Jaka sering tidak ada di rumah, dia takut apa yang tidak ia inginkan terjadi.

"Aku tidak setuju Mas." Celetuk Nadia. "Maskan jarang di rumah, kalau Raditya tinggal di asrama, berarti aku tinggal sendirian di rumah, aku takut Mas." Terang Nadia, tapi alasan yang sesungguhnya dia tidak ingin jauh dari Adik iparnya, tapi bukan berarti ia ingin mengkhianati Suaminya.

Bagaimanapun juga ia sangat mencintai Suaminya, tapi kehadiran Raditya membuat hidupnya lebi berwarna, dia merasa nyaman berada di dekat Adik iparnya.

"Benar apa kata Kakakmu Dit." Bela Jaka.

Raditya menarik nafas dalam, bagaimanapun caranya ia harus meninggalkan rumah ini.

"Tapi Mas, aku benar-benar ingin tinggal di asrama, Kak Nadia bisa saja meminta salah satu muridnya untuk tinggal di rumah kita, untuk menemaninya." Kata Raditya ngotot, membuat Nadia sangat kecewa.

"Ya sudah kalau itu maunya kamu, Mas ijinkan kamu tinggal di asrama." Ujar Jaka mengalah, tapi apa yang di katakan Adiknya memang benar, kalau tinggal di asrama Raditya bisa lebi fokus belajar.

"Terimakasi ya Mas." Kata Raditya girang.

Sementara itu Nadia merasa sangat kecewa dengan Adik iparnya, kenapa Raditya harus meninggalkan rumah hanya untuk menghindari dirinya, padahal ia sama sekali tidak mempermasalahkan kejadian beberapa hari yang lalu, karena ia sadar Raditya tidak salah, yang salah adalah dirinya.

Tanpa di sadari keduanya, mata Nadia berkaca-kaca, ia sangat marah, tapi tidak tau harus marah dengan siapa, karena tidak ada yang salah dengan keputusan Adik iparnya yang ingin tinggal di asrama.

"Aku kekamar dulu ya Mas." Lalu tanpa menunggu jawaban Suaminya, Nadia langsung pergi meninggalkan mereka berdua.

Jaka yang tidak mengerti apapun, terlihat biasa saja, berbeda dengan Raditya, ia tampak sedih melihat Kakak iparnya yang marah karena keputusannya untuk meninggalkan rumah demi kebaikan bersama.

Maafin aku Kak, aku tidak ingi menyakitimu, karena aku menyayangimu, dan aku tidak ingin berada diantara kalian berdua walaupun aku sangat menginginkanmu, maafin aku karena membuatmu kecewa....

------------------------------

Nadia tidak masuk kedalam kamarnya, melainkan ia berlari kekamar mandi, dia menutup dan mengunci kamar mandinya, dan tak lupa ia menghidupkan shower untuk meredam suara tangisannya.

Oh Tuhan... apa yang terjadi kepadaku, kenapa dadaku sesek banget denger dia mau meninggalkan rumah ini, aku tau ini salah, aku tau ini dosa besar, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa, rasa ini hadir begitu saja, rasa ini tak dapat aku pungkuri lagi, kalau aku mencintainya, menyukai Adik dari Suamiku.

Aku mohon, jangan tinggalin aku Radit, aku mau melakukan apa saja, asal kamu tidak pergi dari sini, bahkan kalau memang harus, aku rela menyerahkan tubuhku ini untukmu, karena aku sangat-sangat menyukaimu, aku tidak ingin jauh darimu.

Oh Tuhan, apa yang harus kulakukan sekarang

----------------

Sudah hampir satu minggu ini Irma tak lagi bertemu dengan Reza, ia bertekad tak kan lagi jatuh kedalam pelukan Reza, walaupun ia sendiri memang sangat membutuhkan kepuasaan seksual dari Reza, tapi cintanya yang besar terhadap Suaminya membuat ia bertekad kejadian kemarin tak akan perna terulang lagi.

Tapi harapan tinggalah harapan, ketika hpnya berbunyi dan ketika di buka ternyata dari Reza, ia mengirim foto Irma dalam keadaan telanjang, beserta sebuah pesan ancaman agar Irma membukakan pintu untuknya.

"Kamu kenapa sayang?" Tanya Suaminya, yang ternyata belum tidur.

Buru-buru Irma menyembunyikan hpnya. "Gak apa-apa Mas, kok mas belom tidur?" Tanya Irma, karena setaunya tadi Suaminya sudah mendengkur.

"Kebangun denger suara hp kamu. Emang siapa yang malam-malam begini menghubungi kamu?" Jawab Iwan, selaligus bertanya kepada Irma.

"Itu Mas... temen lama cuman nanya kabar." Jawab Irma gugup, ia sangat ketakutan.

"Ya udah, kamu bilang ini sudah malam, sudah waktunya beristirahat." Ujar Iwan menasehati Istrinya, Irma mengangguk lemah, dan sedikit bersyukur karena Suaminya tidak ingin melihat pesan di hpnya.

Irma segera membalas pesan Reza, memintanya untuk menunggu sebentar.

-------------------

Setelah memastikan Suaminya tidur kembali, Irma bergegas keluar kamar, menuju pintu depan rumahnya membukakan pintu untuk Reza yang telah menunggunya cukup lama, mungkin sudah hampir satu jam lamanya Reza menunggu.

Saat pintu di buka ternyata Reza masi setia menunggunya, padahal Irma sangat berharap Reza kelelahan dan segera pulang dari rumahnya.

"Lama banget? Suami kamu udah tidur?" Tanya Reza, sambil melirik kearah Irma.

"Maaf iya, dia sudah tidur." Jawab Irma gugup.

Reza tersenyum, ia membelai wajah cantik Irma, ia paling suka melihat ekspresi wajah Irma yang tegang, semakin takut mangsanya ia semakin senang, dan menikmati ketidak berdayaan korbannya.

Lalu tanpa berkata lagi, Reza memeluk tubuh Irma dan mencium bibirnya, melumatnya dengan lembut, sementara kedua tangannya mencengkram erar pantat Irma, menekan pinggul Irma hingga selangkangan mereka berdua menempel.

"Eehmmpp... cukup aku mohon." Pinta Irma, dia merasa tubuhnya mulai panas.

"Kenapa? Kamu gak kangen memeknya di sodok pake kontol besar, Eehmm... Kamu gak pengen jadi budak saya, jadi pelayan seks saya?" Goda Reza, mengusik sisi lain di dalam diri Irma.

"Ta... tapi di rumah ada Suami saya."

"Bagus dong, bila perlu kita main di depannya, hahaha... ini hanya sebentar kok." Reza merangkul pinggang Irma dan mengajaknya masuk.

Tentu saja Irma sangat panik, bagaimanapun juga di dalam rumahnya saat ini ada Suaminya, dia tidak bisa membayangkan reaksi Iwan kalau sampai melihat dirinya sedang bermesraan dengan sahabatnya.

Tapi anehnya kondisi seperti ini malah membuat Irma menjadi terangsang, dia dapat merasakan kalau organ intimnya memproduksi cairan lebi banyak dari biasanya, bahkan celana dalam yang ia kenakan terasa sangat lembab sekali.

Reza membawa Irma kedapur, lalu dia kembali memanggut bibir Irma, dan kali ini Irma membalasnya dengan perasaan was-was takut ketahuan Suaminya.

"Kamu sudah gila Mas." Umpat Irma di sela-sela ciumannya.

"Aku gila karena kamu sayang, ayo buka bajumu." Perintah Reza sambil meremas-remas bokong Irma yang padat berisi.

Irma segera mempreteli satu-persatu kancing piyamanya, dan melepasnya, di lanjut dengan melepas tali behanya, hingga kedua payudaranya terbebas.

Dia menuntun Irma duduk diatas meja makan, kemudian kembali menggerayangi tubuh Irma, dia mencium sekujur wajahnya, lalu turun kelehernya, membuat tubuh Irma menggelinjang nikmat, bahkan wanita alim itu tak segan memeluk kepala Reza, dan mengarahkannya kearah payudaranya yang sudah siap untuk di santap.

"Kamu sudah tidak sabar sayang?" Goda Reza, lalu dia.melahan salah satu payudarahnya.

"Aaauuww... Eesstt... aaku ingin ini cepaat selesaaaiiii... Aaahk.... Eehmmpp.... " Jawab Irma, sambil menahan desahannya, ia takut kalau nanti Suaminya terbangun karena mendengar suaranya.

"Hehehe.... aku suka melihat kamu seperti ini." Puji Reza sembari meremas dan memilin putting Irma yang sebelah kanan penuh nikmat.

Kedua tangan Reza melingkar di pinggang Irma, jari-jarinya memegang di kedua sisi karet celana tidurnya. Reza melepas kulumannya, dan memandang Irma. Dengan perlahan Irma menganggukkan kepalanya, dan sedikit mengangkat pantatnya, mempermuda Reza melepas celana tidurnya sekaligus celana dalamnya.

Mata Reza berbinar tatkala memandang vagina Irma yang indah, setelah satu minggu lamanya ia menahan libidonya, malam ini ia akan menuntaskannya.

Salah satu kaki Irma di naikan keatas meja, sementara kaki satunya lagi di buka melebar sehingga bibir vagina Irma terkuak lebar, menampakan bagian dalamnya yang kemerah-merahan.

Reza segera berjongkok, ia mulai menjilati betis Irma, lalu naik keatas menjilati pahanya, dan kembali turun kebetisnya, gerakan tersebut ia lakukan berulang-ulang, membuat Irma merasa sangat menderita akibat rangsangan-rangsangan yang di berikan lidah Reza, belom lagi jari-jari Reza yang bergeriya di atas perutnya.

"Uuuhh... Eehmmpp... udah Mas!" Rintih Irma, ia setenga mati berusaha mendekap mulutnya agar suara erangannya tidak sampai terdengar Suaminya.

Irma semakin panik tatkala ketika lida Reza menyentuh bibir vaginanya, mengecup lembut dan perlahan mulai mengisap clitorisnya, membuat tubuhnya menegang hebat sanking nikmatnya, kedua betisnya mengejang menahan rasa geli yang amat sangat.

Sslluuuupppss......... Ssslluuuuuuppp.......Ssssllluuupss..... Sslllluuupppss.......... Slllluuuuuppp...... Sllluuuuuppsss.......

"Aaaaah.... aku dapeeet!" Erang Irma, sedetik kemudian lendir cintanya muncrat sanking nikmatnya.

Muaahk... "Gimana sayang, enakaan!" Bisik Reza sembari berdiri di hadapan Irma.

Irma tak mau memandang Reza, ia benar-benar merasa malu di hadapan Reza, apa lagi setelah ia mendapatkan orgasmenya barusan, ia benar-benar merasa dirinya begitu hina dan kotor. Bagaimana mungkin wanita seperti dirinya bisa melakukan perbuatan sehina ini.

Reza menarik tangan Irma, dan memintanya untuk berjongkok di hadapannya.

"Kalau kamu merindukannya, kamu boleh membuka dan membelainya sayang." Ujar Reza sembari mengusap-usap kepala Irma yang tertutup kerudung putihnya.

Darah Irma berdesir mendengar kata 'merindukan', karena ia memang sangat merindukan penis Reza, ia merasa ada yang hilang beberapa hari ini, walaupun ia selalu berusaha menutupinya dengan cara sering melakukan hubungan sex dengan Suaminya.

Tapi ternyata cara itu malah semakin memperjelas perbedaan anatara Suaminya Dan Reza.

Selain Reza memiliki ukuran penis yang lebi besar, Reza juga sangat pintar merangsang dirinya, baik itu lewat perbuatan, ataupun lewat kata-kata.

Walaupun hati kecilnya menolak, tapi kedua tangan Irma sama sekali tak mendengar kata hati kecilnya, dia menbuka perlahan celana tidur Reza berikut dengan celana dalamnya, hingga penis Reza langsung menampakan diri.

"Oh... Tuhan!" Gumam Irma kaget.

"Sentuhlah sayang, masukkan kedalam mulutmu dan rasakan kenikmatannya." Bisik Reza, yang kemudian di turuti Irma.

Tangan mulus itu gemetar saat menggenggam penis Reza, rasanya hangat dan nyaman. Lalu dengan perlahan ia mengarakan penis itu kedalam mulutnya dan 'hup...' dia mengulum penis itu.

Reza kembali membelai kepala Irma, sambil memaju mundurkan pinggulnya, menyodok-nyodok mulut Irma dengan amat kasar, sampai-sampai Irma nyaris kehabisan nafas, tapi beruntung sebelum itu terjadi Reza segera mencabut penisnya dari dalam mulut Irma.

"Ayo kita selesaikan sekarang." Ujar Reza.

Irma mengangguk cepat, dia segera naik keatas meja sembari membuka kedua kakinya.

"Lakukan dengan cepat Mas aku mohon." Pinta Irma, selain karena ia menginginkan penis Reza mengaduk-aduk liangnya, ia juga semakin khawatir dengan keberadaan Suaminya.

"Kamu pasti akan menikmatinya." Jawab Reza.

Dia mendekatinya, lalu mengerahkan penisnya kearah bibir vagina Irma, dengan satu kali sentakan penis Reza amblas kedalam rahim Irma. "Eeenhhkk... " Irma melenguh kesakitan, saat Reza menusuknya dengan amat kasar.

Dan tanpa memberi jedah, Reza langsung memompa vagina Irma dengan tempo cepat, dia sangat puas ketika melihat Irma meringis kesakitan yang bercampur nikmat, membuatnya semakin bersemangat menyetubuhi Istri sahabatnya itu.

Dan begitu juga yang di rasakan Irma, dia merasa sangat menikmati cara Reza menikmati tubuhnya, dia senang saat laki-laki itu sangat berkuasa terhadap dirinya.

Tanpa sadar Irma melingkarkan kedua tangannya di leher Reza, kemudian ia melumat bibir Reza, mencari-cari lida Reza yang seolah menghindar, mempermainkan dirinya yang sudah sangat bernafsu.

"Eehmmpp... sodok lebi cepat Mas." Rintih Irma.

"Kamu memohon hanya untuk mendapatkan apa yang kamu inginkan sayang? Dasar wanita murahan." Goda Reza yang kini menurunkan temponya.

"Bajingan kamu Mas." Umpat Irma kesal.

"Hahahaha...."

Irma ikut menggerakan pinggulnya maju mundur, menyambut setiap sodokan dari penis Reza. Dia sangat menikmati gesekan antara penis Reza dengan dinding vaginanya, yang sedang mengapit erat penis Reza, seolah tak ingin melepaskannya.

Hingga akhirnya, tanpa sepengetahuan Reza, Irma kembali mendapatkan orgasme.

"Eeenggkk... " Erang Irma tertahan karena sambil berciuman dengan Reza.

-------------

Sudah hampir setenga jam lamanya Reza mengaduk-aduk liang vagina Irma, tapi belum ada tanda-tanda kalau ia akan segera selesai, sementara Irma sudah tak terhitung berapa kali mencapai orgasme, sampai-sampai ia sangat kelelahan.

"Sayaaaang... " Tiba-tiba terdengar suara Iwan yang memanggil.

Reflek Irma mendorong tubuh Reza menjauh darinya, mukanya mendadak pucat, kelelahan yang ia rasakan hilang sudah sanking takutnya. Berbeda dengan Reza yang tampak lebi tenang. Dia terlihat sangat menikmati momen ini.

Mereka saling pandang, seolah bertanya apa yang harus di lakukan. Reza mengangkat kedua tangannya.

"Hahaha... jangan takut." Ujar Reza.

Belum sempat Irma menjawab, Reza segera memungut pakaian Irma dan dirinya, lalu kemudian ia menggendongnya. Irma yang kebingungan malah semakin panik melihat kelakuan Reza yang malah terlihat seperti sengaja ingin memperlihatkan hubungan terlarang mereka kepada Suaminya.

Reza berlari kecil, lalu dia membuka kamar mandi dan segera menutupnya.

"Ayo jawab panggilan Suamimu, bilang kalau kamu sedang kebelet." Ujar Reza, Irma mengangguk setuju, ia menarik nafas sebentar menghilangkan ketegangan di dalam dirinya.

"I... iya Mas, aku di dalam kamar mandi, lagi kebelet." Sahut Irma takut-takut, ia merasa sangat khawatir kalau sampai ketahuan Suaminya.

"Ooo... kamu di kamar mandi." Jawab Suaminya.

"Iya Mas, Aaauuuuu..." Tiba-tiba Irma terpekik nyaring.

Gilaaa... pikira Irma, ketika ia merasakan penis Reza.kembali terbenam kedalam vaginanya, dan kemudian tanpa permisi lagi, Reza memompa vagina Irma ketika ia sedang berbicara dengan Suaminya.

Dia menahan punggung Irma agar sedkit menungging, sehingga penisnya semakin dalam memasuki rahim Irma yang selama ini sangat terjaga.

"Kenapa sayaaaang?' Panggil Iwan khawatir.

"Eenggg... enggak apa... Aaahkk.. apa Mas!" Jawab Irma terputus-putus. "Tadi ada kecoak lewat." Buru-buru ia memberi alasan sebelum Suaminya mendatanginya.

Suasana mendadak hening, keringat Irma perlahan jatuh dari keningnya, ia sangat ketakutan, tapi di balik rasa tegang itu tiba-tiba ia ingin kembali mencapai orgasmenya. Dengan sekuat tenaga ia menutup mulutnya dengan kedua tangan tangannya agar tidak bersuara, tapi tiba-tiba saja Reza menarik kedua tangannya.

"Aaaaaarrhkk.... Eehhmmppp... " Walaupun ia sudah mengatupkan mulutnya tapi tetap saja, suara erangannya cukup nyaring.

Tubuhnya bergetar hebat, sampai-sampai ia hampir terjerembab kalau seandainya saja Reza tidak menahan tubuhnya dari belakang. Siapa yang menyangka, kondisi seperti ini, Irma mendapatkan multi orgasmenya.

"Kamu benar-benar gila Mas.." Rutuk Irma.

"Hahaha... tapi kamu menikmatinyakan? Kamu suka aku entotin kayak gini di depan Suami kamukan?" Bisik Reza menggoda Irma.

"Terserah apa katamu Mas, aku ingin ini segera selesai Mas, aku takut ketahuan." Pinta Irma memelas.

"Oke... oke... aku akan segera menyelesaikannya."

Reza menarik tubuh Irma hingga mereka sama-sama berdiri, lalu kedua tangan Reza mendekap payudara Irma dan memerasnya, membuat Irma kemnali terangsang, apa lagi ketika jari-jari Reza memilin puttingnya yang sangat sensitive.

Sementara itu dari belakang Reza menyodok-nyodok vagina Irma tanpa ampun.

"Sayaaaang...!" Deg, lagi-lagi Iwan memanggil Istrinya.

"Jawab." Perintah Reza.

"Khiyaaa Masss.... Aadaaaa.... aaphaaa? Aa... aku belum... Aaahkk... selesai !" Jawab Irma putus-putus karena Reza tidak mau berhenti menyodok vaginanya.

"Kamu kenapa sayang? kok suaranya mendesah-desah gitu." Tanya Reza curiga, kemudian terdengar suara langkah kaki yang mendekat.

Irma semakin panik, ia menoleh kebelakang sambil menggeleng-gelengkan kepalanya meminta Reza berhenti, tapi Reza malah tersenyum, dan mencengkram pantat Irma sambil menghentakan pinggul, hingga penisnya semakin dalam menusuk rahimnya.

Di saat seperti ini Irma malah semakin terangsang di tenga-tenga setuasi yang mencekam.

"Aaaww... aaahkk.... aaahkk..." Erang Irma.

"Sayang, kamu lagi masturbasi ya?" Deg....mata Irma melotot. "Ce... celana dalam kamu kok ada di luar sayang?" Lanjut Iwan.

"Mas... Aahkk... maaf Mas, aku benar-benar gak tahan lagi Mas, tadi aku buru-buru... Aaahlk... enggk... jadinya celana dalamku ketinggalan di luar." Jawab Irma berusaha berskap tenang, sambil memandang kesal kearah Reza.

"Maaf." Bisik Reza.

Sepertinya tadi waktu Reza menggendong Irma kedalam kamar mandi, celana dalamnya sempat terjatuh.

"Gak perlu mintak maaf, ini salah Mas, karena gak bisa memuaskan kamu sayang, maafin Mas ya." Ujar Iwan lirih, membuat Irma merasa sangat bersalah.

"Gak apa-apa Mas."

"Ya sudah, kalau begitu Mas ke kamar dulu, celana dalam kamu Mas letakin di depan pintu." Ujar Iwan, kemudian terdengar suara langkah yang menjauh.

Irma menarik nafas lega, hampir saja ia ketahuan sedang bersetubuh dengan pria lain.

Ternyata sensasi yang Irma rasakan sangat luar biasa, ketika ia di setubuhi di dekat Suaminya sendiri yang hanya di batasi oleh sebuah dinding. Walaupun di sisi lain, Irma merasa sangat berdosa dan bersalah terhadap Suaminya sendiri, karena berselingkuh di belakangnya dan sangat menikmatinya.

"Aku mau keluar Mas!" Erang Irma, dia sudah tidak tahan lagi ingin segera menuntaskan hasratnya.

"Iya aku tau, kali ini kita barengan."

Reza menarik jauh kebelakang penisnya, lalu menghentakannya jauh kedalam, seiring semburan lahar panasnya kedalam rahim Irma. Irma menggigit bibirnya, menahan sejuta rasa yang ia rasakan ketika badai orgasme menghantamnya dan menerima sperma Reza di dalam rahimnya.

Plooops...
Reza mencabut penisnya, dan membiarkan tubuh Irma ambruk kelantai kamar mandi.

"Kamu hebat sayang, besok malam temuin saya di rumah, tanpa mengenakan dalaman, ingat kalau kamu berani membangkang, kali ini saya pastikan, Suami kamu melihat video kita kemarin." Ancam Reza, kemudian ia mengecup bibir Irma.

"I... iya!" Jawab Irma pasrah.

"Oh iya, lain kita main di depan Suami kamu, saya yakin kamu pasti menyukainya. Hahaha...!" Tawa Reza, kemudian dia mengenakan kembali pakaiannya.

Reza sempat meleparkan senyuman sebelum ia meninggalkan Irma sendirian.

Hampir satu jam lamanya aku berdiri di sini, sendirian sambil memandangi danau yang malam ini tampak lebi tenang, di temani kicauan burung yang saling sahut menyahut di bawah sinar rembulan yang mengintip malu-malu di balik awan.

Aku mulai khawatir kalau Clara tidak jadi datang, tatkala air hujan mulai turun dengan perlahan.

Kalau seandainya saja malam ini ia tidak datang, maka aku tidak akan lagi mencoba untuk mendekatinya, karena aku tidak ingin di kecewakan untuk kedua kalinya, cukup malam ini saja aku menderita seperti ini.

Walaupun aku mengenakan jacket, tapi tak dapat kupungkiri, angin malam ini cukup kencang untuk menbus jacketku hingga terasa ketulang rusuku.

Drap... drap...draaap.... terdengar suara langkah kaki.
"Hei... Hup... aah... aah... maaf aku telat."

Aku tersenyum senang melihatnya yang tiba-tiba saja sudah berada di dekatku, aku tidak menyangkah kalau ia akan datang dalam keadaan cuaca gerimis seperti ini.

"Maaf ya, tadi masi ada pengurus jadi aku gak bisa keluar sembarangan,.please maafin aku ya." Katanya memohon, seolah ia melakukan kesalahan yang amat besar.

"Tidak perlu meminta maaf, aku malah sangat berterimakasi karena kamu mau datang kesini dalam keadaan hujan." Terangku girang, aku tidak menyangkah kalau ia akan berkorban sejauh ini untukku, sekarang aku sangat yakin kalau dia memang di lahirkan untukku, malam ini aku tak akan ragu untuk menyatakan perasaanku kepadanya.

"Iya, aku juga senang kamu mau menungguku, kupikir kamu sudah pulang."

"Aku di sini, karena aku punya keyakinan kalau kamu akan datang menemuiku." Ujarku sembari tersenyum, lalu aku memberanikan diri meraih tangannya.

"Iya... makasi!" Jawabnya malu-malu, aku membalasnya dengan senyuman. "Eh... kita masuk yuk, anginnya makin kencang ni." Sambungnya, sembari menarik tanganku masuk kedalam villa yang kebetulan tidak di kunci karena memang nyaris tidak perna di gunakan.

Aku sedikit terkejut saat dia membawaku masuk kedalam sebuah ruangan kecil, seperti sebuah kamar.

"Kita di sini aja dulu ya? Sampe hujan reda, soalnya kalau di depan aku takut kalau nanti tiba-tiba ada pemeriksaan." Jelas Clara,.seolah mengerti apa yang kupikirkan.

Dan untuk lebi amannya lagi aku mengunci pintu kamarnya agar tidak ada yang masuk,.tak lupa aku mematikan lampu agar tak terlihat dan membiarkan lampu bagian depan saja yang hidup, sehingga kami bisa mengintip dari dalam kalau terdengar suara yang mencurigakan.

Setelah yakin kami aman, aku menyusulnya duduk.di pojokan sambil bersandar di dinding kayu.

Aku kembali memegang tangannya yang terasa dingin, aku tau.dia tadi sempat kehujanan, membuatku berinisiatif untuk merangkulnya, berbagi kehangatan.

"Eh..." Katanya kaget.

"Maaf, aku pikir kamu kedinginan Ra!" Ujarku sembari hendak menarik kembali tanganku yang dengan lancangnya berani merangkul pundaknya, tapi dia menahan, dan aku sangat terkejut saat ia merebahkan kepalanya di dadaku.

"Gak apa-apa kok Dit, dengan begini kita bisa saling menghangatkan." Jelas Clara.

Aku kembali tersenyum, dan kemudian untuk menghilangkan rasa canggungku kepadanya, aku mulai bercerita ringan, dan menanyakan beberapa hal yang ia suka. Sesekali aku berhasil membuatnya tertawa dengan lolucon ringanku.

Semakin lama obrolan kami semakin serius, dia mulai menceritakan tentang dirinya, dan menceritakan kisah cintanya terhadahulu yang berakhir tragis, bahkan aku sempat kecewa ketika ia mengatakan kalau ia tidak lagi perawan karena termakan bujuk rayuan mantannya.

"Jadi kalian sudah putus?" Tanyaku.

"Iya, dia memilih temanku di bandingkan aku, dan semenjak itu aku berjanji tidak akan perna lagi mau mempercayai cowok." Ujarnya lirih, walaupun aku tidak bisa melihat pasti raut wajahnya, tapi aku yakin, pengalamannya dulu membuatnya trauma.

Entah kenapa dadaku terasa sesak, ingin rasanya aku menjadi seorang dokter untukmya, agar bisa menyembuhkan trauma yang di alaminya.

Dengan perasaan tak menentu, aku memeluknya dengan erat, seakan aku tak ingin melepaskannya, aku tidak ingin melihatnya bersedih seperti saat ini, aku berjanji, apapun yang terjadi aku akan selalu ada di samping dirinya, karena aku mencintainya dengan tulus sepenuh hatiku.

"Ra... Radit, kamu kenapa?" Bisiknya lirih.

"Maaf Ra, tapi izinkan aku menjadi pemadammu, agar aku bisa memadamkan kesedihanmu, dan aku tidal akan membuat kamu bersedih lagi, karena ada aku di sini sekarang, aku akan menjagamu, karena aku menyukaimu." Jawabku, dengan perasaan tak menentu.

"Ma... maksud kamu?"

Aku melepas pelukanku, lalu sambil menatapnya aku berujar kembali. "Kamu mau gak, jadi pacarnya aku?" Kataku, yang akhirnya nekad menyatakan cintaku kepadanya.

"Kamu serius?" Katanya ragu-ragu.

"Iya aku serius Clara." Bisikku pelan.

Lalu entah dapat keberanian dari mana sehingga aku berani mencium bibirnya, dan rekasi yang kudapatkan darinya, hanya diam membisu, membuatku menyesali tindakan bodohku yang langsung menyosor bibirnya.

Perlahan kutarik kembali bibirku sambil menundukkan wajahku, aku sangat menyesali keputusanku.

Dia meraih tanganku, lalu tersenyum sangat manis sekali dan selanjutnya, tiba-tiba ia memanggut bibirku, membuatku sempat kaget tapi aku segera menguasai diriku, dan membalas pagutannya, kamipun berciuman dengan sangat panas, membuat aku yakin kalau ia sudah sangat berpengalaman.

"Aku sekarang milikmu." Bisiknya, kemudian ia menerkam dirku hingga terjengkang kebelakang.

Sambil memeluknya aku membalas pagutannya, kini aku melakukannya bukan karena hanya rasa sayangku, melainkan karena aku juga sudah mulai terbakar nafsu birahiku, apa lagi suasana malam ini sangat mendukung.

Segera aku balik tubuhnya sehingga kini aku berada di atasnya, sembari menatapnya, aku membuka jacketku lalu di susul dengan kaos yang aku kenakan, kemudian aku kembali melumat bibirnya sambil menggerayangi payudara kirinya, aku meremasnya pelan membuatnya merintih nikmat.

"Aku mau kamu sayang." Bisik Clara lirih.

"Iya, aku juga menginginkanmu, apakah aku boleh membuka pakaianmu?" Tanyaku, sembari membelai wajah cantiknya yang memerah menahan birahi.

"Lebih dari itu juga boleh kok sayang." Jawabnya, memberiku lampu hijau untuk melakukan hubungan yang lebih jauh lagi.

Segera aku membuka kaosnya, lalu sambil kembali mencium sekujur wajahnya, aku menyingkap branya hingga menampakan sepasang payudarahnya yang ranum dengan puttingnya yang kuperkirakan agak kecoklatan.



Lalu di dalam kegelapan ciumanku turun menuju puncak payudarahnya, aku mengelumnya penuh nikmat sembari tangan kananku menarik keatas rok panjangnya dan membelai paha mulusnya yang ternyata Clara tidak mengenakan celana panjang, seperti biasa yang suka di pake oleh para santri lainnya, sehingga tak ada penghalang bagiku untuk segera menyentuh kulitnya.

Ciumanku turun keperutnya, kukecup mesrah setiap inci perutnya, lalu kusingkap lebi tinggi rok yang ia kenakan sehingga aku dapat melihat jelas kemulusan pahanya, berikut dengan kain segitiga miliknya yang berearna cream di padu dengan warna merah muda, sungguh sangat indah sekali.

Perlahan kedua tanganku memegang kedua sisi celana dalamnya, lalu dengan satu tarikan aku melepas celana dalamnya.

"Aaahkk... eeehkk... ya Dit, di situ." Erang Clara ketika aku mulai menjilati vaginanya. menghisap clitorisnya menikmati lendir cintanya yang terasa renyah untukku.

Lidaku menari-nari di lobang vaginanya, menusuknya keluar masuk, membuat Clara mengerang-erang kenikmatan, kedua kakinya mengejang-ejang sembari memekik kuat, beruntung lokasi villa yang cukup jauh dari asrama dan hujan yang turun semakin deras sehingga aku tak perlu khawatir kalau akan ada orang yang akan mendengarnya.



Kurasakan kedua tangannya menekan bagian belakang kepalaku, sembari kedua kakinya mendekap leherku, seolah dia tidak ingin kehilangan lidaku di bibir vaginanya, dan akibatnya aku kesulitan bernafas, dan beberapa menit kemudian ia mencapai klimaksnya.

"Aku dapeeeet.... " Ia kembali memekik.

Kuangkat kepalaku seraya tersenyum senang karena berhasil membuatnya mencapai klimaks. Diam menatapku dengan tatapan memelas, seolah ingin memintaku untuk segera menuntaskannya.

Aku segera melepas celanaku, saatnya untuk kemenu utama. Kubuka kedua kakinya, lalu dengan perlahan aku menindi tubuhnya sambil mengerahkan penisku di lipatan bibir vagina yang licin, sudah siap menerima roketku. Mata kami saling bertemu, seiring dengan perlahan penisku menubruk vaginanya, dia meringis tatkalah penisku mentok menabrak rahimnya.

Dengan perlahan aku memaju mundurkan penisku, rasanya nikmat sekali sambil sesekali mengecup bibirnya.

"Aaahkk... ennaaak... Ditt... ooohkk... !"

"Memek kamu sempit sayang, Eehhmm... Ooo... oo..." Erangku sambil meremas-remas payudaranya yang terasa sangat kenyal dan empuk.

Plopp.... ploppp.... plooopp... plopp....
Aku memompa vaginanya semakin cepat, membuat tubuhnya mengejang-ejang nikmat.



"Aduh Dit... enak bangeet Aah... aaah...!" Dia mencengkram erat kedua tanganku.

"Sayaaang... Aaa... memek kamu juga enak banget, dari dulu aku selalu membayangkan kita bisa seperti ini." Katakku sambil menatap wajahnya yang manis.

"Oh iyaa.... Aaahkkk... emang aku begitu nafsuin ya."

"Sangaaat.... melihat kamu dari jauh sudah bisa membuatku sangat bernafsu." Jelasku, sembari mengecup mesra pipinya, sementara Clara membalasku dengan melingkarkan kedua tangannya di leherku sambil memanggut bibirku.

Kami berciuman sangat panas, sementara pinggulku bergerak semakin cepat keluar masuk kedalam liang vaginanya, rasanya hangat dan sangat nikmat sekali, membuatku rasanya tidak ingin berhenti menyodok memeknya.

Bagiku Clara saat ini adalah wanita terbaik yang sangat aku inginkan, selain Kakak Iparku Nadia, andai saja aku punya kesempatan bisa menikmati tubuh Kakak Iparku, tentu aku akan merasa sangat bahagia sekali karena bisa menaklukan dan menikmati tubuh mereka berdua.

"Radiiit.... aku mau keluar!" Erangnya, aku tersenyum semakin cepat menyodok vaginanya.

Kuangkat kedua kakinya di atas pundakku sehingga penisku semakin lancar keluar masuk di dalam vaginanya yang sudah sangat becek itu. Dan tak lama kemudian ia mengerang kembali seiring orgasme yang ia dapatkan. Aku mencabut penisku, tampak cairan bening meleleh keluar dari lobang vaginanya.

"Aaaahkk... kamu hebaaat!" Desahnya pelan.

"Tentu saja, aku pasti bisa membuatmu puas beberapa kalipun kamu mau sayang." Ujarku sembari mengecup mesrah keningnya yang berkeringat itu.

"Hihihi... kalau begitu aku mau lagi." Katanya.

"Yakin?"

"Iya.... tapi sekarang giliran aku yang aktif." Dia mendong tubuhku hingga aku terlentang, kemudian ia mencium sekujur wajahku, mengulum daun telingaku, menbuat aku merasa sangat kegelian tapi sensasinya luar biasa.

Gila... dia sangat agresif sekali, bahkan sekarang ia melumat bibirku, menghisap lidahku tanpa perduli airku yang semakin banyak ia telan.

Kemudian ia meraih penisku, mengerahkannya tepat di lipatan bibir vaginanya. Perlahan tapi pasti, kurasakan hawa hangat menjalar di kulit penisku, membuat otot-otot penisku semakin mengeras, menikmati jepitan dinding vagina Clara yang terasa menghisap penisku.

Sambil mengulum bibirku, dia bergerak turun naik, sambil membelai pipiku, sementara aku hanya bisa memeluk pinggangnya sembari mengikuti hentakan pinggulnya.

Aku tidak menyangkah ternyata Clara begitu hebat, dia membuatku sangat kewalahan, dan membuatku harus bertahan mati-matian agar tidak keluar lebi dulu sebelum ia medapatkan orgasme keduanya.

"Sayang... kita ganti gaya lagi?" Tawarku sembari merabahi bibirnya yang kemerah-merahan.

"Bentar lagi sayang, Uuhjkk... kontol kamu enak banget, aku sudah lama tidak merasakan kontol sekeras ini, kamu membuatku melayang sayang." Katanya memujiku, membuatku merasa bangga dan semakin yakin aku belum boleh keluar sekarang, kalau tidak ia akan sangat kecewa.

Dia sangat kaget saat aku menarik tubuhnya dan memaksanya menungging seperti anjing.

"Kamu sudah siap?" Tanyaku menyeringai seperti hewan buas.

"Tentu... tusuk aku sekarang, jangan ragu sayang, aku sekarang adalah milikmu." Katanya, lalu tangan kanannya membuka lipatan pantatnya sehingga aku dapat melihat bibir vaginanya yang mereka beserta anusnga yang menggoda.

Aku kembali menekan pinggulku, hingga penisku amblas kedalam tubuhnya untuk ketiga kalinya. "Aaaarrttt.... "Dia mengerang perlahan saat aku kembali berhasil menyetubuhinya.

Lalu dengan gerakan yang cepat aku memompa penisku keluar masuk tanpa ampun, sambil mencengkram kedua bongkahan pantatnya yang sungguh sangat menggoda, sementara ia mengerang-erang kesetanan sambil meremasi salah satu payudarahnya, sementara tangan satunya lagi bertempuh di lantai menyeimbangkan bersat tubuhnya.



Aku sudah berada di ambang batas, aku sudah tidak tahan lagi untuk menumpahkan ribuan sel sperma kedalam tahimnya. Aku menekan kuat pinggulku.

"Claraa.... aku keluaaar..."

Crrooooott.... Crooott.... Crrooott.... "Kyaaa.... aku jugaaa...!" Dia memekik mendapatkan orgasmenya setelah ribuan sel spermaku tumpah kedalam rahimnya.

------------------

Aku bersandar di dinding villa yang terbuat dari kayu jati, sambil memeluk seorang gadis yang amat sangat aku sayangi, aku tidak menyangkah malam ini, selain menjadi pacarnya, aku juga telah menidurinya layaknya sepasang Suami Istri.

Hujan di luar sana perlahan mulai redah, menyisakan hawa dingin yang menembus kulitku. Walaupun malam semakin larut, tapi rasanya aku belum ingin berpisah dengannya.

"Kamu yakin?" Dia mengangkat wajahnya menatapku lembut.

"Maksudnya?" Aku berhentai membelai kepalanya.

"Eehmm... kamu tau kalau aku sudah tidak perawan lagi, apa kamu serius masi mau denganku yang kotor ini. Aku benar-benar merasa sangat malu." Katanya, sembari membenamkan wajahnya di dadaku.

Aku mengerti ini memang sangat sulit, seburuk apapun pria pasti menginginkan pasangan yang suci. Tapi... bagiku itu tidak penting, aku mencintainya dengan tulus tanpa ada maksud tertentu, aku tidak perduli masa lalunya.

Dengan sangat erar aku memeluknya, seolah aku tidak akan perna melepaskan dirinya apapun yang terjadi.

"Aku sangat mencintaimu Clara, dari awal bertemu denganmu aku sudah menyukai, bahkan sampai detik ini perasaan itu tetap sama dan tidak akan perna berubah sampai kapanpun." Kataku tulus sambil mengecup keningnya.

"Terimakasi..."

------------------------



Ploookkk.... ploookk... ploookk....

"Aaahkk... Aaahkk... aku mohon jangan kasar-kasar Mas, Aahhkk."

"Anjiiiing, memek lo enak banget Fa, gue gak perna bosan ngentotin memek elo." Erang Chakra tanpa henti menggenjot vagina Lathifa yang merintih-rintih kesakitan.

"Pelan-pelan Mas, Aahkk... Oohkk... sakiiiiit."

Chakra tanpa ampun menggenjot vagina Lathifa sambil sesekali memukuli pantat dan punggung Lathifa hingga memerah, tidak sampai di situ saja, ia dengan teganya menjambak rambut Lathifa hingga gadis itu merintih-ritih kesakitan, bahkan ia meneteskan air matanya sanking tersiksanya.

Tapi Chakra seolah tak perduli, dia merasa sangat puas melihat Lathifa kesakitan, bahkan ia terlihat seperti ingin membunuhnya.

Chakra mencabut penisnya, kemudian memaksa Lathifa untuk terlentang dan mengangkangkan kakinya, kemudian dia kembali menyetubuhi Lathifa.

"Tolong Mas.... Aaahkkk... pelan sedikit." Erang Lathifa.

"Kenapa sayang, bukankah ini rasanya enak sekali hah? Memek kamu kamu enak banget sayang, gak rugi kemarin aku berhasil merenggut keperawanan kamu hahaha... kamu bodoh sangat bodoh sayang hahaha...." Chakra kembali tertawa puas, mentertawakan kepolosan Lathifa.

Sambil mengaduk-aduk liang senggama Lathifa, dia mencengkram kedua payudara Lathifa dengan sangat kencang, membuat gadis polos itu meraung-raung menangis sejadi-jadinya.

Plaaak... plaaaak.... plaaak....
Tanpa ampun Chakra menampar wajah Lathifa hingga memerah, kemudian tubuhnya bergetar hebat....

"Aku keluaaaaar anjiiiiiing." Chakra memekik kencang sambil menyemburkan lahar panasnya.

"Aaaawwww.... " Teriak Lathifa.

Seusana mendadak hening, hanya terdengar suara isak tangis dari Lathifa. Dengan perlahan Chakra mencabut penisnya 'plopps' sambil memandangi Lathifa yang sedang menangis.

Chakra memang seorang predator, dia tidak segan menyiksa lawan mainnya, walaupun korbannya sudah memohon ampun tapi ia tidak perduli, asalkan dia mendapatkan kepuasaan biolgisnya tanpa ada perasan belas kasihan terhadap korban yang sebenarnya adalah pacarnya sendiri.

Karena alasan itulah dia sekarang berada di sini, di sekolah khusus. Sebelumnya karena prilaku seksnya yang menyimpang, ia hampir membunuh mantan pacarnya, membuat mantan pacarnya kritis dan di larikan kerumah sakit Akibat ulahnya tersebut ia sempat di penjara, tapi tak lama kemudian ia di bebaskan karena pengaruh orang tuanya.

Demi kesembuhan anaknya, mereka mengirim Chakra ke Madrasa berharap ia sembuh dari prilaku menyimpangnya dan menjadi anak yang baik.

Tapi siapa yang menyangkah, prialaku seks menyimpangnya tetap tak bisa di kendalikan, sudah beberapa santri yang menjadi korbannya, dan sekarang giliran Lathifa yang menjadi korbannya, menjadi tempat plampiasan nafsu setannya.

"Ck... ck... ck..." Seseorang berdecak sambil menggelengkan kepalanya.

Reflek Lathifa dan Chakra menoleh kebelakang, dan Chakra sangat terkejut saat melihat siapa yang datang, bahkan saking takutnya ia terduduk di tanah tanpa sempat mengenakan pakaian terlebih dahulu.

Berbeda dengan Lathifa ia merasa tertolong saat melihat Ustad Reza yang entah kapan sudah berdiri di belakang mereka.

"Kalian berdua telah mencoreng nama baik sekolah, apa yang barusan kalian lakukan." Ujar Reza dengan suara datar, ia mengambil celana Chakra kemudian melemparnya, karena ia merasa jijik melihat Chakra telanjang.

"To... tolong, aku di perkosa Ustad." Mohon Lathifa sambil menutupi tubuhnya dengan pakaia ala kadarnya.

Reza menoleh kearah Lathifa, ia sangat kagum dengan kemolekan tubuh Lathifa yang masih muda, payudarahnya yang coba di sembunyikan tampak begitu ranum.

"Jangan bohong, saya akan mengaduhkan masalah ini dengan kepala sekolah, selain itu kedua orang tua kalian akan saya panggil." Jelas Reza dengan gaya yang beriwibawa, seolah ia memang seorang guru yang baik.

Keduanya saling berpandangan, dari pancaran kedua mata mereka, sangat jelas tergambar rasa takut.

"Maafin kami Ustad, saya mohooon." Ujar Chakra lirih ia hampir saja menangis.

Keganasannya saat sedang menggauli Lathifa hilang sudah, di gantikan rasa takut yang amat sangat, membuatnya terlihat bagaikan seorang pengecut.

Bahkan Lathifa sampai benar-benar menangis, sanking takutnya, ia tidak bisa membayangkan kalau kedua orang tuanya tau perbuatan zinanya, bisa-bisa dia tidak akan perna lagi diakui sebagai seorang anak.

"Maaf? Ck... ck... ck... kalian tau apa yang barusan kalian lakukan?" Reza melotot dengan tatapan amarah, membuat nyali Chakra kembali ciut. "Kalian tidak dapat di maafkan, kesalahan kalian sangat besar." Jelas Reza.

"Tolong jangan Ustad, kami bersedia menerima hukuman apapun bahkan keluar dari sekolah ini, tapi tolong jangan kasi tau apa yang terjadi dengan kedua orang tua kami." Mohon Lathifa sambil terisak takut.

"Kalian yakin mau menerima hukuman apa saja dari saya?" Tanya Reza sambil melirik kearah mereka secara bergantian.

Lathifa mengangguk lemah, ia sadar tidak ada pilihan lain kecuali menerima hukuman apa saja dari Reza.

"Iya Ustad, kami mau di hukum apa saja asal perbuatan kami tidak di aduhkan." Dengan cepat Reza menjawabnya, dia berharap bisa mendalatkan hukuman yang ringan.

"Bagus..." Jawab Reza tersenyum menyeringai.

Dan selanjutnya membuat Irma sangat terkejut bahkan ia rasanya lebi memilih mati saat ini, ketika seorang yang dianggap suci malah berbuat sekejam itu kepadanya.

Reza dengan biadabnya, membuka celananya dan mengeluarkan penisnya berdiri tegak di hadapan murid perempuannya. Sungguh sebuah perbuatan yang tidak terpuji yang di lakukan seorang guru terhadap muridnya.

"Chakra... pilihanmu hanya dua, orang tua, atau pacarmu, kamu pilih yang mana?" Tanya Reza sambil melihat kearah Chakra yang tampak kaget.

Pemuda itu terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang di inginkan gurunya. Hingga akhirnya ia menyimpulkan kalau gurunya ini juga menginginkan kekasihnya. Entah kenapa sisi liar Cakra bergejolak membayangkan wanita sepolos dan sealim Lathifa di setubuhi oleh gurunya sendiri di hadapannya.

Reza tersenyum kearah Lathifa yang semakin ketakutan, dia berusaha melarikan diri, tapi entah kenapa tubuhnya mendadak kakuh dan hanya bisa diam ketika Reza berjongkok di sampingnya sembari tersenyum menyeringai.

"Jangan takut sayang, bukannya tadi kamu bilang mau menerima hukuman apa saja, asalkan saya tidak mengadukan perbuatan kalian kepada kedua orang tua kalian." Ujar Reza, dia membelai pipi Lathifa yang sedang ketakutan.

"I... iya Ustad, kami akan menerima hukuman apa saja." Jawab Chakra yang membuat kaget Lathifa.

"Hahahaha.... bagus, kalau begitu sekarang sebagai hukumannya, tolong kamu bantu saya." Pinta Reza.

"Baik Ustad." Lalu Chakra segera mendekat, dia memegangi kedua tangan Lathifa yang sedang mendekap pakaiannya untuk menutupi tubuh telanjangnya.

Lathifa langsung memberontak sejadi-jadinya sembari menangis, dia tidak menyangkah kalau nasibnya akan setragis ini. Chakra cinta pertamanya dengan teganya membantu orang lain untuk ikut memperkosa dirinya.

Sambil menangis, ia mendorong tubuh Reza yang sedang berusaha menindihnya, ia menggoyang pinggulnya berusaha menghentikab penis Reza yang hendak mencoblos vaginanya.

"Tenang manis, ini hanya sebentar." Reza membuka kaki Lathifa hingga kepala penisnya menyentuh bibir vagina muridnya.

"Tolooooong jangaaan Ustad, Aaaww.... Aaahkk.... ampuuuun, Mas lepasin saya." Dia mengibah berharap ada belas kasihan dari mereka berdua.

Tapi usaha Lathifa sia-sia saja di hadapan kekasinya yang memiliki penyimpangan seksual dan seorang guru gadungannya yang memang dari awal kedatangannya ke Madrasya bikan untuk mendidik, melainkan karena memang memiliki niat jahat.

Tanpa bisa ia cegah, perlahan benda tumpul milik gurunya membela, menembus pertahanan terakhirnya. Ia memejamkan matanya merasakan setiap inci benda terkutuk itu menjelajahi vaginanya, yang ia bisa ia lakukan hanyalah berteriak dan mengetuk perbuatan pacarnya dan seorang guru yang seharusnya menjaga dirinya.

"Aaaaaaaaaaaaahhhhhhhhkkkkkkk........"

Sudah satu minggu lebih Radtya tinggal di asrama, dan selama itu Nadia benar-benar merasa kesepian, dia berharap sesekali Raditya bisa pulang walaupun hanya sebentar. Tapi sayang, sepertinya Raditya benar-benar ingin menghindarinya, bahkan saat mereka bertemu di kelas, Raditya lebi sering mengalihkan perhatiannya di buku pelajaran dari pada menatapnya.

Tapi rasa kesepiannya sedikit berkurang, ketika Ria menemaninya.

Seperti yang di sarankan Raditya, Nadia meminta salah satu murid kesayangannya Ria untuk menemaninya di rumah, ketika Suaminya sedang tidak berada di rumah.

Setidaknya dengan kehadiran Ria, dia sedikit bisa mengalihkan perhatiannya kepada Ria, dan sedikit bisa mengurangi rasa kangennya terhadap Raditya, walaupun jauh di dalam hatinya, ia masih menyimpan nama Raditya, dan berharap pemuda itu tak lagi berusaha untuk menghindari dirinya.

"Eehmm...!" Nadia mengalihkan pandangannya kearah muridnya yang sedang duduk disampingnya.

"Kamu kenapa?" Tanya Nadia.

"Gak apa-apa kok Mi, dari tadi Ria perhatiin Umi ngelamun terus, kenapa Umi?" Ujar Ria balik bertanya, ia merasa bingung dengan keadaan Ustadza Nadia, yang lebi sering ngelamun sedih.

"Cuman perasaan kamu doang, Umi bukannya lagi ngelamun, tapi lagi serius nonton." Elak Nadia sembari tersenyum palsu.

"Umi pasti lagi kangen sama Ustad ya?" Tembak Ria.

"Apaan kamu, masih kecil sok tau." Ujar Nadia sambil mencubit pipi tembem Ria.

"Tuhkan bener.... Hahaha!"

"Awas kamu ya, berani ngeledekin Umi." Nadia segera menggelitikki pinggang Ria. "Ini hukuman anak nakal." Sambung Nadia tanpa ampun menggelitiki pinggang Ria yang berusaha melarikan diri.

"Ampuuuuun Umi, aaaww.... awwww....!"

---------------

"Abi aku pergi dulu ya." Irma mengamit tangan Suaminya.

"Iya sayang, pulangnya jangan terlalu malam."

"Iya Bi."

Dengan langkah gontai Irma meninggalkan rumahnya, dia berjalan mengikuti trotoar sambil sesekali kepalanya celingak-celinguk memperhatikan sekitarnya seolah ingin memastikan kalau tidak ada yang sedang mengikutinya Langkahnya terasa semakin berat, tatkalah ia melihat sebuah rumah yang sederhana yang berdiri diantara pepohonan.

Rumah Reza memang di bangun di bagian paling belakang, diantara pepohonan besar yang tumbuh di sekitar rumahnya.

Irma menarik nafas panjang sebelum akhirnya ia memberanikan diri mengetuk pintu rumah tersebut, tak lama kemudian seseorang membukakan pintu, Irma segera menundukan wajahnya, ia merasa amat malu dan terhina berada di hadapan pria tersebut.

Tadi sore Irma di temui Reza di kantor, pria itu memintanya untuk datang kerumahnya, karena ia ingin mengadakan pesta kecil-kecilan dirumahnya.

Tentu saja Irma tak bisa menolak kecuali ia ingin rumah tangganya hancur berantakan. Karena berada di bawah ancaman, mau tidak mau ia menuruti kemauan Reza yang memintanya untuk datang.

"Kukira kamu tidak datang." Ujar Reza sambil membelai wajah Irma.

"Bajingan kamu Reza." Umpat Irma pelan.

"Hahaha... aku menyukai kamu yang seperti ini sayang." Bisik Reza, lalu ia memeluk Irma dan melumat bibirnya dengan perlahan.

Irma tak melakukan perlawanan apapun, ia membiarkan bibir dan lidah Reza mempermaikan mulutnya bahkan dia hanya bisa mengerang tatkalah Reza meremas bongkahan pantatnya yang sekal. Bahkan Irma sedikit kecewa ketika Reza berhenti melumat bibirnya.

"Kamu selalu membuatku bergairah." Bisik Reza. "Ayo kita masuk pestanya sudah mau di mulai, tapi sebelum itu kamu tanggalkan dulu pakaianmu itu." Lanjut Reza menyeringai mesum.

Dengan perlahan ia menanggalkan baju gamisnya, meninggalkan kerudung dan bra mini yang hanya menutupi puttingnya, lalu celana dalam G-string yang hanya berbentuk tali. Dia terlihat sangat seksi sekali dengan penampilannya saat ini.

"Waaaw... kamu sangat menggairahkan Irma, Suamimu sangat beruntung sekali." Reza berdecak kagum melihat penampilan Irma yang sangat seksi.

"Cukup, kamu memuakan! Aku akan...."

"Ssttt... jangan merusak suasana malam ini sayang, ayo lebih baik kita masuk, kasihan yang lain sudah menunggu kita dari tadi." Potong Reza, lalu dia merangkul pinggang Irma, mengajaknya masuk kedalam rumah.

Di ruang tamu itu sudah ada lima orang yang menunggu mereka, dalam keadaan setengah telanjang, Rozak, Dewa, Budi. Dan ada dua orang yang cukup membuat Irma sangat terkejut melihatnya, dia adalah Chakra dan Lathifa. Salah satu siswa berprestasi di sekolahnya.

Tidak hanya Irma yang kaget, Lathifa lebih kaget lagi saat melihat kedatangan Irma yang sedang di rangkul oleh Reza, dia tidak menyangkah wanita sealim Irma bisa berada di dalam pelukan Ustad Reza dalam keadaan setenga telanjang.

Sama halnya dengan keadaan Lathifa yang hampir sama dengannya, hanya mengenakan bikini dan kerudung coklat yang masih melekat di kepalanya.

"Kamu...!"

"Umi"

Plok... plok... plok... "Wah... wah... wah... pertemuan yang sangat mengharuhkan." Ujar Reza sambil bertepuk tangan melihat kedekatan antara guru dan murid.

"IBLIS KAMU REZA, dia anak baik-baik kenapa kamu tega melakukannya? Kamu memang tidak tau diri, ingat Reza suatu hari nanti kamu akan kena KARMA dari perbuatan kamu hari ini." Irma memandang lekat kearah Reza, ia sangat marah ketika melihat Lathifa murid kesayangannya juga menjadi korban atas kebiadaban Reza sahabat Suaminya.

"Dia sama sepertimu, awalnya malu-malu, dan sekarang dia sangat liar." Bisik Reza, kemudian dia meremas pantat Irma membuatnya terpekik.

"ANJING KAMU REZA, LEPASIN DIA SEKARANG."

"Jangan emosi gitu dong sayang." Ujar Reza, lalu dia meraih wajah Irma dan melumat bibirnya sebentar. "Budi, tolong perlihatkan, senakal apa anak didiknya." Lanjut Reza sembari meremas payudara Irma.

Budi yang di beri perintah langsung melorotkan celana dalamnya, dan mengarahkan penisnya kearah Lathifa. Irma melongok saat melihat muridnya dengan suka rela meraih penis Budi, lalu menjilati penis tersebut dengan suka cita, seperti sedang menikmati permen lolipop.

Tidak sampai di situ saja, pertunjukanpun berlanjut ketika Dewa duduk di samping Lathifa, pria buruk rupa itu meraih payudara Lathifa, menyingkap bra mini itu, kemudian mengulumnya dengan rakus.

Wajah Lathifa memerah, ia sepertinya sangat menikmati kuluman Dewa di atas payudarahnya.

"Bagaimana sayang hehehe!" Tawa Reza menyeringai mesum.

"BANGSAT KAMU REZA!"

"Upss... na sekarang tugas kamu puasin anak didik kamu yang satunya lagi, Chakra, sepertinya dari tadi dia sudah mupeng pengen dapat jatah dari kamu, iyakan Chakra?" Tanya Reza kepada Chakra.

Chakra mengangguk sembari tersenyum. "Ayuk Umi, kita main di kamar aja." Ajak Chakra.

"KAMU... APA-APAAN INI, LEPASIN SAYA ATAU KAMU MAU SAYA KELUARKAN DARI SEKOLAH INI?" Ancam Irma, rapi Chakra sepertinya tak perduli.

Dia menarik tangan Irma lalu menbawanya kedalam kamar, kemudian ia menutup pintu kamar tersebut dan mengunci pintu kamarnya.

"Jangaaan... ingat Chakra aku gurumu." Ujar Irma berusaha melunak.

"Iya aku tau Umi, dan aku juga tau kalau Umi selain pintar mengajar pelajaran sekolah, Umi juga sangat pintar memuaskan nafsu kami." Jawab Chakra sambil membuka celana dalamnya.

Irma menggeleng-gelengkan kepalanya, tapi dia tak berdaya ketika Chakra mencengkram lengannya dan menjatuhkannya keatas kasur.

Lalu Chakra menindih tubuhnya sambil berusaha mencium bibir Irma. Ustadza itu berusaha memberontak, baginya saat ini cukup hanya Reza dan kawan-kawannya yang menikmati tubuhnya, ia tidak ingin ada lagi pria lain yang menikmati tubuhnya, sudah cukup ia mengkhianati cintanya.

Tapi apa daya Chakra sama halnya dengan Reza, pemuda itu sangat kuat sehingga dia hanya bisa pasrah ketika bibirnya di kulum dan payudarahnya di gerayangi oleh Chakra, membuat puttingnya terasa mengeras karena mulai terangsang kembali.

Ciuman Reza turun kelehernya, lalu kepuncak payudarahnya. Reza menarik puttus branya, dan membuangnya.

Kini kedua payudaranya dengan bebas di jelajahi Chakra dengan lidanya, memainkan puttingnya dan sesekali menghisapnya. Sementara Irma hanya mendesah panjang, dia sangat menikmati cara Chakra merangsang dirinya, apa lagi ketika payudarahnya di remas kuat.

"Uuuhhkk... Chakraaa! Aaahkk... tetek Umi kamu apain?"

"Teteknya aku kulumin Umi, puttingnya aku hisap-hisap terus teteknya aku remas kuat-kuat." Jawab Reza sembari menikmati sepasang payudarah Irma.

"Aampuuun Chakra, jangan perkosa Umi." Erang Irma.

Lalu ciuman Chakra berpindah keperutnya dan kemudian dia membuka kedua kaki Irma dan mulai menjilati paha mulus Irma, sementara tangannya masih meremas-remas payudara Irma.

Otomatis apa yang di lakukan Chakra membuat Irma sangat terangsang, dan dengan perlahan kesadarannya mulai hilang dan di ambil alih oleh birahi nafsunya, bahkan dia tak segan menjambak rambut Chakra agar mau menjilati memeknya, tapi Chakra sengaja mempermainkan nafsu birahi Irma.

"CHAKRAAAA! AAAAHKKKK.... AYOOO JILATI MEMEK UMI, BUKANNYA TADI KAMU YANG MAU." Erang Irma dia sudah benar-benar tidak tahan lagi.

"Hehehe... jadi Umi mau aku jilatin memeknya?" Tanya Chakra sambil mengangkat kepalanya.

"Tidaak... aah... iyaaa... aku mohon!" Pinta Irma.

"Dengan senang hati Umi, tapi aku gak tau gimana caranya ngejilat memek. Apa Umi mau ngajarin aku cara ngejilat memek Umi? dan satu lagi, mulai sekarang panggil aku dengan panggilan Tuan." Tanya Chakra menggoda Irma yang sudah di ambang batas kesadarannya.

"Iya, nanti Umi ajarkan Tuan." Jawab Irma.

Kemudian Chakra menarik lepas g-string yang di kenakan Irma, lalu dia mendekatkan wajahnya, mengendus-endus seperti anjing, menikmati aroma vagina Irma yang sangat menyengat, lalu dengan perlahan dari ujung lidanya ia menjilati bibir vagina Irma.

"Iya Tuan begitu, aaawww.... kamu cari clitoris Umi sayang, yang bentuknya kayak kacang diantara lipatan bagian atas." Ujar Irma mengarahkan Chakra apa yang harus ia lakukan kepadanya.

Chakra mengikuti arahan Ustadzanya, walaupun sebenarnya ia tau apa yang harus ia lakukan, tapi Chakra memilih untuk melanjutkan permainannya.

Setelah mendapatkan clitorisnya, Chakra mengisap, menyedot clitoris Irma yang sebesar biji kacang, sementara tangannya mencengkram erat kedua paha bagian dalam milik Irma.

Irma merintih semakin kencang, dia sangat menikmati ketika clitorinya di hisap cukup kuat, walaupun ia sedikit kesakitan, tapi rasa perih itu malah mengantarkannya ke orgasme pertamanya, dia mengerang hebat, kedua kaki mengejang-ejang tak terkontrol, kemudian dari sela lipatan bibir vaginanya, nampak cairan bening muncrat kemana-mana sanking banyaknya.

"AAAANJIIIIINGGG....!"

------------------

Nasib Lathifa tak jauh beda dengan Irma, bahkan ia di keroyok empat orang sekaligus.

Saat ini ia sedang tiduran diatas tubuh satpam sekolahnya Pak Rozak sambil menggoyang pinggulnya menyambut setiap sodokan penis Pak Rozak, sementara mulutnya sibuk mengulum penis Reza dan kedua tangannya mengocok penis Dewa dan Budi.

Ini untuk kali kedua bagi dirinya melayani empat orang sekaligus, sehingga ia tidak begitu kaget, walaupun harus di akuinya melayani empat orang sekaligus tidaklah muda, apa lagi keempatnya memiliki nafsu yang sangat besar sekali.

"Oooo... aku mau keluar!" Erang Rozak.

Tak lama kemudian Lathifa merasakan ribuan sel sperma memenuhi rahimnya.

Tubuhnya yang lemah tak berdaya hanya bisa pasrah ketika Dewa memintanya menungging, dan dari belakang vaginanya kembali di jejalkan benda tumpul nan keras mengaduk-aduk liang senggamanya.

"Gilaaa... ini memek enak banget, masih sempit lagi." Ceracau Dewa sambil mencengkram erat bongkagan pantat Lathifa.

Reza kembali menyodorkan penisnya, Lathifa sudah tau apa yang harus ia lakukan, gadis muda itu segera mengulum penis Reza. Baru beberapa kali isapan, tiba-tiba Reza menembakan spermanya kedalam mulutnya, dan dengan penuh kesadaran Lathifa menelan sperma Reza.

Kini giliran Budi yang mendekat, dia mengarahkan penisnya di hadapan wajah Lathifa sambil mengocok penisnya dan tak lama kemudian Budi menumpahkan spernanya di wajah cantik Lathifa.

Dewa menarik tubuh Lathifa, dia menelentangkan tubuh Lathifa, kemudian dia kembali memompa vagina Lathifa dengan gaya konvensional.

"Aku mauuuuu keluar lagi Pak." Erang Lathifa.

"Kali ini kita bareng ya Neng." Ujar Dewa semakin cepat mengocok penisnya di dalam vagina Lathifa, lalu semenit kemudian ia mendesah panjang sambil membenamkan benihnya kedalam rahim Lathifa.

Dewa segera mencabut penisnya dan duduk santai di lantai sambil mengatur nafasnya yang berat.

Sementara Lathifa memanfaatkan waktunya untuk beristirahat sebelum masuk ronde kedua, dia memandang keempat pejantannya, lalu lirikannya berpindah kearah pintu kamar yang di dalamnya terdapat Irma dan kekasihnya Chakra.

Kreaaaak...
Pintu kamar terbuka, dua sosok berlainan jenis keluar sambil berpelukan.

Irma melingkarkan kedua tangannya di leher Chakra, sementara kedua kakinya melingkar di pinggangnya sembari di setubuhi. Dia mengerang nikmat setiap kali penis Chakra menusuk vaginanya dari bawah, dan rangsangan itu semakin bertambah ketika murid kesayangannya dan Reza dkk sedang memandangnya dengan takjub.

"Gilaaaa... ini cewek nafsunya gede banget." Ujar Rozak melihat semangat Irma yang seolah tidak perna padam menyambut sodokan kasar dari muridnya.

"Hahaha.... gimana Chakra? apa penilaianmu terhadap gurumu ini." Sambung Reza sembari mendekati Reza yang sedang berdiri sambil menyodok-nyodok memek Irma dari bawah.

"Dia pelacur murahan! Lebih murahan dari muridnya Lathifa, iyakan sayang?" Bisik Chakra sambil menjilati daun telinganya Irma.

"Uugghkkk... AANJIIIIINGGG.... SAYA DAPEEEET LAGI TUAAANNNN...." Jawab Irma yang membuat semua orang tertawa kecuali Lathifa yang merasa miris melihat keadaan gurunya.

Chakra menurunkan tubuh Irma, kemudian ia duduk di sofa dan meminta Irma menduduki penisnya yang masih berdiri dengan kokohnya.

Tanpa ada bantahan, Irma segera merayap naik keatas pangkuan Chakra, kemudian dia mengarahkan penis muridnya untuk kembali menjelajahi liang senggamanya yang amat terasa gatal. Dengan perlahan penis itu kembali memasuki tubuhnya.

"Ayo guruku sayang goyang yang lebih binal lagi, tunjukan kepada mereka kalau kamu seorang pelacur murahan yang lebih memilih di entot oleh kontol besar kami di bandingkan kontol Suamimu yang gak ada artinya itu, yang gak perna bisa memuaskan memek kamu." Terang Chakra panjang lebar sambil mencengkram erat kedua pipi pantat Irma.

"Aauuww...." Rintih Irma menikmati persenggamahan terlarangnya dengan muridnya sendiri.

"Mari kita berbagi dengan yang lain." Bisik Chakra sambil membuka lebar kedua pipi pantat Irma hingga anusnya terlihat jelas dari arah belakang.

Reza diam-diam mendekat dan kemudian dia mengarahkan penisnya kedepan lobang dubur Irma yang tampak sangat menggodanya, sudah lama sekali ia ingin memperawani dubur Irma tapi kesempatan itu baru hadir malam ini, ketika Irma dalam keadaan setenga sadar.

Dia menoleh kebelakang, melihat Reza yang hendak memperawani anusnya membuatnya Irma agak panik, tapi beruntung Chakra berhasil menenangkannya.

"Jangan takut Umi, percaya sama saya, Umi pasti menyukainya di saat kedua lobang berharga Umi di jejali dua kontol besar sekaligus. Lathifa kemarin juga tidak mau, tapi lihatlah dia sekarang sangat ketagihan." Jelas Chakra kepada Irma.

Irma mengalihkan pandangannya kearah Lathifa yang sedang di garap depan belakang oleh Pak Rozak dan Budi, sementara Dewa menerima service mulutnya.

Dia merasakan dekapan di pinggangnya terasa semakin erat, membuatnya sulit bergerak, dan kemudian Reza dari belakang mulai mendorong penisnya, memaksa dubur Irma membuka lebih lebar.

"Sakiiiiiittt... please aku mohon pelan-pelan Mas." Pinta Irma, dia merasa sangat tersiksa.

"Hahaha.... kamu pasti akan menyukainya." Jawab Reza, sembari menekan pinggulnya hingga akhirnya ia berhasil memperawani anus Irma.

"Ooohhh.... aaahkk.... aaahkkk...."

"Memek sama pantat gak ada bedanya, kalian juga nanti harus coba pantatnya." Ujar Reza memprovokasi teman-temannya yang lain.

Dengan gerakan yang hampir sama mereka berdua menyodok, menusuk kedua lobang berharga milik Irma, membuat Irma mengerang kesakitan sekaligus keenakan karena kedua lobangnya di garuk-garuk oleh penis dengan ukuran yang cukup besar.

Lama-kelamaan Irma mulai terbiasa menerima sodokan di anusnya, bahkan dia sangat menikmati dirinya di apit oleh dua orang pria sekaligus.

Kemudian Budi mendekati mereka dan menyodorkan penisnya kearah Irma.

"Ini dari pantatnya Lathifa, murid kesayangan anda." Ujar Budi sambil menampar-namparkan penisnya kewajah Irma yang tampak kaget.

"Ayo dong Umi di coba dulu." Bujuk Chakra.

"Aaa.... jangaan, aku gak mauuu Tuan, itu jorooook!" Erang Irma sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Tapi apa daya dengan sedikit paksaan, Irma membuka mulutnya, menyambut penis Budi yang sebelumnya di gunakan untuk mengobok-obok dubur murid kesayangannya.

Dan ternyata rasanya tidak seberuk yang di pikirkan Irma, bahkan sepertinya ia cukup menyukainya, terbukti ia tak lagi berusaha menghindar, dan lebi memilih untuk menikmati penis Budi yang terasa asin tapi sensasinya luar biasa, apa lagi saat ini ia sedang di setubuhi oleh dua orang pria yang sangat ia kenal.

Tak lama kemudian, Budi memuntahkan lahar panasnya kedalam mulut Irma, lalu di susul Reza yang menyiram duburnya dengan sperma.

--------------

Semakin malam pesta seks semakin memanas, sudah tidak terhitung lagi seberapa banyak mereka berdua menelan sperma, menampung sperma mereka di dalam rahim maupun anus mereka.

Kini Irma juga tak lagi jaim, ia sangat menikmati ketika tubuhnya di jadikan obyek nafsu kelima pejantannya. Bahkan Irma mengambil inisiatif sendiri memanggil mereka berlima dengan panggilan Tuan, karena ia merasa semakin dirinya di hina ia semakin sangat terangsang.

Begitu juga dengan Lathifa, dia semakin liar bahkan terkesan menuntut untuk selalu di puaskan.

Saat ini Irma sedang menungging sambil di sodomi Dewa, sementara lidanya sedang menjilati anus dan vagina Lathifa yang sedang mengulum penis Rozak. Sementara Reza, Chakra, dan Budi sedang menonton mereka berempat sembari beristirahat.

-------------------

Jam dinding di ruang tamu itu menunjukan pukul 3 pagi ketika pesta seks itu selesai, Irma dan Lathifa terkapar tak bertenaga sanking lelahnya, bahkan keduanya bisa saja pingsan keenakan kalau pesta seks ini di teruskan oleh mereka. Sementara Reza dan kawan-kawan tampak begitu puas malam ini.

Reza berdiri dengan sisa tenaganya, kemudian ia masuk kedalam kamar, dan tak lama kemudian Reza keluar dan menghampiri Lathifa.

"Ini kamu minum dulu pilnya."

"Itu pil apa Ustad?" Tanya Lathifa ragu-ragu.

"Ini obat agar kamu gak hamil, kamu pasti gak mau hamilkan setelah rahim kamu menampung sperma kami berlima?" Jelas Reza sambil membelai wajah cantik murid kesayangannya.

"I... iya Ustad saya gak mau."

"Ya udah kalau gitu kamu minum pil ini biar gak hamil." Kata Reza sambil menyerahkan pil anti hamil tersebut kepada Lathifa.

"Untuk saya mana Mas?" Tanya Irma, dia juga berharap Reza mau memberikan juga obat anti hamil tersebut kepada dirinya.

"Kalau untuk kamu gak ada sayang." Jawab Reza.

"Kok gitu Mas, nanti kalau aku hamil gimana Mas? Tolong Mas, aku juga mau." Pinta Irma memelas.

"Umi gak perlu obat itu." Timpal Chakra, ia mendekati Irma lalu memeluk tubuhnya. "Karena aku mau lonteku ini hamil bukan karena Suaminya tapi hamil dari pria lain." Jelas Chakra, lalu dia mengecup pipi Irma.

"Ta... tapi!"

"Udah gak ada tapi-tapian, sekarang kalian berdua boleh pergi, nanti kami hubungi lagi kalau kami lagi butuh kalian berdua." Potong Reza.

Irma hanya tertunduk lemas, kemudian ia mengenakan kembali pakaiannya, begitupun dengan Lathifa. Mereka berdua keluar beriringan dari rumah Reza, tanpa ada sepata katapun yang keluar dari bibir mereka.

Tapi jauh di dalam hati mereka, mereka berdua menangis meratapi nasib mereka kini.

Cukup lama Erlina berdiri di samping daun pintu yang sedikit terbuka itu, ia melihat, tidak tepatnya mengintip seorang remaja tanggung sedang duduk di kursinya di hadapan layar monitor yang sedang menayangkan sebuah adegan panas antara pria dan seorang wanita.

Tangan kanannya bersembunyi di bawah meja belajarnya, bergerak cepat turun naik, sementara tangan kirinya menggenggam kain segitiga berwarna biru langit yang ia dekatkan kehidungnya.

Remaja tanggung itu adalah Aldi, anak kedua dari Ustadza Erlina. Dia sedang menonton film 17+ sambil bermasturbasi menciumi dan menjilat celana dalam Uminya sendiri. Sementara Erlina yang melihat anaknya begitu terobsesi terhadap dirinya hanya bisa diam sambil menatap senduh.

Kalau seorang Ibu pada umumnya, mereka pasti akan sangat marah terhadap putranya kalau melihat apa yang di lakukan anaknya, tapi tidak dengan Erlina, Ibu muda itu cukup sadar diri, karena dialah penyebab kenapa anak kandungnya bisa begitu terobsesi terhadap dirinya, seandainya saja dia tidak selalu menganganggap dan memperlakukan putranya seperti anak balita, mungkin anaknya sekarang tidak akan seperti ini.

"Umiiiii..." Creooott.... crroottss...

Sambil menutup mulutnya, Erlina segera pergi dari kamar anaknya, ia takut kalau nanti putranya menyadari kehadirannya. Dan tidak jauh dari Erlina berdiri barusan, seseorang wanita yang usianya tidak jauh dari Erlina sedang tersenyum melihat Erlina yang pergi meninggalkan kamar anaknya.

---------------

Dua hari kemudian....
Mata Aldi tak berkedip memandang seorang wanita paru baya, usainya berkisaran 40 tahun. Tapi di usianya yang sudah berkepala empat, wanita tersebut masih terlihat cantik dan bentuk tubuhnya masih terlihat kencang, tidak heran kalau Aldi sangat betah berada di dekatnya.

Nama wanita itu Marni, biasa di panggil Tante Marni, dia adalah saudara kandung Umi Erlina.

Semenjak bercerai dengan Suaminya terdahulu, Marni tinggal di rumah Erlina untuk sementara waktu, pekerjaannya sehari-hari membantu pekerjaan Erlina, seperti memasak dan mencuci pakaian seperti yang sedang ia kerjakan saat ini.

Marni sedang membilas pakaian di belakang di dekat kamar mandi, ia duduk di kursi plastik di temani Aldi yang hanya menonton dirinya. Marni tersenyum sembari membuka kedua kakinya semakin lebar sehingga keponakannya semakin leluasa memandangi paha mulusnya berikut celana dalam yang ia kenakan saat ini.

Dia tau percis kalau keponakan ini paling suka mengintip, bukan hanya kepadanya saja tapi juga kepada Ibunya Elina dan Kakaknya Popi.

Terakhir ia memergoki Aldi yang sedang bermasturbasi sambil menciumi celana dalam Ibu kandungnya. Saat itu Marni tidak mengatakan apapun, dia langsung menampar Aldi dan merebut celana dalam Erlina.

"Hayooo ngeliatin apa?" Goda Marni.

"Gak... ngeliatin apa-apa kok Tan, cuman mau nemenin Tante aja." Elak Aldi, dia menunduk malu tatkala ia melihat Marni memandangnya sinis.

"Kamu itu, udah ketahuan masi aja bohong."

"Tan... soal kemarin jangan kasih tau Umi ya Tan." Kata Aldi gugup, dia memberanikan diri melihat kemata Marni yang memandangnya dengan tatapan menusuk.

"Beri Tante alasan, kenapa Tante gak boleh kasi tau Umi kamu soal kebiasaan kamu yang suka menciumi celana dalamnya yang kotor." Ejek Marni, dia paling suka melihat wajah polos keponakannya yang menggemaskan.

"Jangan ya Tan, aku takut nanti Umi marah! Aku janji gak akan kayak gitu lagi."

"Kayak gitu gimana, ngomong yang jelas dong Al, biar Tante kamu ini ngerti." Ujar Marni, dia membuka kakinya semakin lebar memperlihatkan bagian dalam paha mulusnya.

"Soal kebiasaan nyiumin celana dalamnya Umi."

"Jadi kamu gak mau lagi nyiumin celana dalamnya Umi? Kalau Tante yang suruh gimana?"

"Maksud Tante?" Tanya Aldi kebingungan.

Marni tak langsung menjawab, dia mengambil sesuatu di balik baskom, kemudian beranjak dan duduk di samping keponakan yang polos. Dia merangkul pundak Aldi dan memberikan kain segitiga yang barusan ia ambil, dan menyerahkannya kepada Aldi, keponakannya. Walaupun dia tidak mengerti, Aldi tetap mengambil celana dalam itu.

"Kamu tau gak ini punya siapa?" Tanya Marni.

"Eehnm... punya Umi." Jawab Aldi ragu-ragu, tapi dia sangat yakin kalau celana dalam itu punya Uminya.

"Sampe hafal, hahaha... pasti kamu sering liat ya, dasar anak mesum kamu." Ejek Marni sambil mengucek-ngucek rambut Aldi hingga acak-acakan.

"Iih... Tante!"

"Mau Tante bantuin gak?"

"Bantu apa?" Tanya Aldi bingung.

Marni tak menjawab, kemudian dia meraih burung Aldi dari luar celana, Aldi sempat kaget, tapi hanya diam ketika tangan Marni meremas-remas penisnya dari luar. Tidak sampai di situ saja, Marni semakin iseng mengerjai keponakannya, dia mengambil kembali celana dalam tersebut, kemudian mengusapkan celana dalam itu kewajah Aldi.

Dalam keadaan bingung, Aldi hanya pasrah bahkan menikmati menghirup aroma celana dalam Ibunya.

"Enaak ya?"

"Eehmmpp... enak banget Tan." Jawab Aldi polos.

"Hihihi... kamu suka banget ya sama Umi kamu?" Tanya Marni sambil membuka celana Aldi, sehingga ia bisa mengurut penis Aldi secara langsung.

Tubuh mungil Aldi berdesir nikmat merasakan belaian di penisnya, dia tidak menyangkah kalau Tantenya akan memperlakukannya seperti ini, dan dia baru tau ternyata jauh lebih nikmat di kocokin oleh Tantenya di bandingkan ia mengocok sendiri apa lagi sambil menghirup aroma celana salam Ibu kandungnya sendiri.

Dia mulai membayangkan kalau saat ini sedang bersama Ibunya, dan melakukan hal yang tabu dengan Ibu kandungnya sendiri, yang seharusnya tidak ia lakukan.

"Aaahkk... iya Tan, aku suka Umi... !" Erang Aldi sambil menjawab pertanyaan Tantenya.

"Apa yang kamu suka dari Umi?"

"Uhhkk... Umiii cantik Tan, tubuhnya bagus, teteknya besar dan memeknyaa... Aaahkk... pokoknya aku suka semua yang ada di diri Umi."

"Kamu sayang sama Umi?" Tanya Marni lagi.

Aldi mengangguk sambil berujar. "Sayang banget Tan, Aldi mau melakukan apapun demi Umi Tan." Kata Aldi matanya memandang Marni dengan tatapan sayu.

"Berarti kamu gak marahkan kalau Umi kamu di entotin orang lain selain Abi kamu." Aldi terdiam, dia kaget mendengar pertanyaan Marni, tentu saja dia merasa tidak rela, tapi melihat senyuman Marni, entah kenapa hatinya merasa luluh.

"Tapi Tan...!"

"Katanya kamu sayang sama Umi, kalau begitu kamu gak boleh marah kalau Umi senang di entotin orang lain." Jelas Marni, dia semakin erat mendekap tubuh Aldi.

Diam-diam Aldi mulai membayangkan melihat Ibu kandungnya sedang di setubuhi orang lain, dan anehnya ia merasa semakin sangat terangsang. Tapi walaupun begitu, dia juga merasa sangat cemburu walaupun hanya baru membayangkannya saja.

Tapi sebelum Aldi menjawab, tiba-tiba darahnya terasa mendidih, urat-urat penisnya mengejang, dan tubuhnya bergetar hebat, beberpa detik kemudian, dia memuntahkan spermanya cukup banyak kelantai. Marni buru-buru membersihkan penis Aldi dengan celana dalam yang ia pegang.

"Gak perlu di jawab, Tante uda tau jawabbannya." Ujar Marni, lalu dia bangkit. "Ya udah kamu mandi dulu, bauuk... Oh iya jangan cerita sama siapapun, kamu mengerti?" Sambung Marni, sambil membenarkan letak lipatan kainnya.

"Iya Tan..."

--------------

"Assalamualaikum."

Tok... tok... tok...
Beberapa kali aku mengetuk dan mengucapkan salam, tapi tetap tak ada jawaban dari Kakak Iparku, mungkin dia sedang keluar, kuputuskan untuk segera masuk karena pintu rumah tidak dalam keadaan terkunci.

Sudah satu bulan lebih aku tidak pulang kerumah, bahkan setelah ujian berakhir aku tetap memilih tinggal di asrama, kuhabiskan waktuku di asrama dengan belajar dan belajar, berharap aku bisa melupakan semuanya. Tapi ternyata aku tidak bisa, terutama setelah tak lagi mendapat kabar dari Clara.

Iya hubunganku dengan Clara saat ini ngenggantung, setelah percumbuan kami kemarin, aku sudah tidak perna lagi bertemu dengannya, bahkan terkahir kami berbalas pesan satu minggu yang lalu dan semenjak itu kami tak lagi berkirim pesan karena hpnya tak lagi aktif.

Creaaak...
Dengan perlahan aku mendorong pintu kamarku yang sudah aku tinggal cukup lama.

"MALIIING, TOLOOOOONG ADA MALIIIIING.... SANA KELUAAARRR...!"

Aku sangat terkejut ketika aku membuka pintu kamarku, kulihat ada seorang anak gadis berada di dalam kamarku, sepertinya ia sedang ingin berganti pakaian. Karena ia hanya mengenakan pakaian dalam.

Aku sempat terpesona dengan pemandangan yang ada di hadapanku saat ini. Tapi karena panik mendengar teriakannya aku buru-buru menyekapnya, kututup mulutnya dengan tanganku agar dia tidak bisa berteriak, bisa bahaya kalau sampai ada orang lain yang mendengar teriakannya, bisa-bisa aku di pukuli dan di kira ingin mencuri, bahkan lebih parahnya lagi aku bisa di tuduh ingin memperkosa dirinya.

Dia terus merontah, tapi aku mendekapnya sangat erat sambil menjatuhkan tubuhnya diatas kasurku dan menindihnya agar ia tidak bisa bergerak.

"Lepasiiiinmmm... eehmmpp...!"

"Ssstt... diam gue bukan maling." Kataku berusaha menenangkannya yang ketakutan.

"Ada apa ini? Radit? Ria?"

"Kakak....??"

-----------------------

Aku hanya bisa tertunduk malu-malu, sesekali aku memandangi Kak Nadia yang sedang tersenyum dan seseorang gadis remaja seusiaku yang juga sedang tertunduk malu, mukanya tampak memerah, mungkin saja ia juga sangat marah.

"Ya udah sana baikan, cuman salah paham." Ujar Kak Nadia santai, seolah tak perna terjadi sesuatu hal yang besar yang perlu di besar-besarkan.

Aku menyodorkan tanganku hendak meminta maaf. "Maafin gue ya, tadi gue gak sengaja." Kataku, tapi tak ada reaksi darinya, bahkan ia memandangku seolah ia ingin membunuhku. Aku merenyitkan dahiku.

"Kenapa?" Dia membentak. "Dasar otak mesum, dari dulu kamu tuh gak perna beruba." Katanya melotot, tapi tunggu dulu, apa maksudnya dari dulu.

Lama aku memandang dirinya, sepertinya aku sudah mengenalnya cukup lama, tapi dimana? Dan dia siapa?.

"Emang kita udah saling kenal ya?" Tanyaku bingung.

"Aku benci sama kamu, berani-beraninya kamu ngintip terus habis itu sengaja banget nyari kesempatan buat meluk aku barusan, ingat kita ini bukan muhrim."

"Kan udah di bilang gak sengaja, lu juga yang salah, ngapain di kamar gue." Kataku tak kalah sinis.

"Eeitt... kamu gak boleh nyalahin Ria, Kakak yang nyuruh dia tinggal di kamar kamu, bukannya kemarin kamu bilang gak mau pulang lagi, kenapa sekarang kanu tiba-tiba pulang, malah bikin onar." Celah Kak Nadia, aku tak berani membantahnya.

"Maaf Kak."

"Marahin aja Umi, emang dari dulu dia itu mesum kok, bilang aja emang sengaja mau lihat aku telanjang, pake bilang-bilang gak sengaja segala." Omel Ria, duh... rasanya mau kupelintir mulutnya itu, yang seenaknya saja bicara.

"Apaan si lo, sok kenal banget!"

"Udah... udah... gak usah berantem lagi." Lerai Kak Nadia. "Oh iya malam ini kamu mau nginap di rumah Umi, apa mau pulang keasrama, Ria?" Tanya Kak Nadia kepadanya, sementara aku hanya membuang muka jauh-jauh.

"Aku balik keasrama aja Umi, males juga ketemu dia."

"Siapa juga yang mau." Kataku sengit.

"Duh... kamu ini Dit, sana kamu mandi dulu gih, bauk... Malam ini kamu nginap ya, soalnya Kakak sendirian." Jelas Kak Nadia, aku mendengus kesal.

Padahal rencanya aku hanya ingin singgah sebentar, tapi gara-gara dia aku terpaksa menginap malam ini.

"Iya Kak." Jawabku males-malesan.

Aku segera pergi kekamarku sehingga aku tak lagi mendengar obrolan mereka, aku mengambil handukku, dan ketika ingin kekamar mandi, aku kembali melihat kearahnya, entah kenapa nama dan wajahnya seperti sudah sangat familiar untukku. Tapi di mana aku mengenalnya? Sudalah...

----------

Di tempat lain, di dalam sebuah kamar seorang wanita bergerak liar diapit oleh dua orang sekaligus, mereka adalah Budi dan Rozak yang sedang menggarap tubuh Clara yang bening bermandikan keringat.

Dia mendesah nikmat tatkalah penis keduanya bergerak lincah keluar masuk di kedua lobangnya.

Saat ini ia sudah menjadi bagian dari kelompok Reza, sebagai pemuas nafsu mereka sama seperti Ustadza Irma dan Lathifa. Tapi diantara mereka, hanya Clara yang tampak benar-benar sangat menikmati di perkosa secara beramai-ramai, bahkan saat ini dia yang sengaja datang kepada mereka meminta untuk di perkosa oleh mereka.

Awalnya mulanya dia bergabung dari keisengannya yang suka bertaruh mendapatkan Santri, karena keberhasilannya merayu Adik Ustad Jaka, membuat teman-temannya kembali bertaruh untuk mendapatkan Chakra, dan siapa yang menyangka kenekatannya mendekati Chakra malah membawa petaka baginya, dia di jebak dan di jadikan pemuas nafsu Chakra dan kawan-kawan yang lainnya hingga akhirnya ia yang memang dari awal memang pemuja sex menjadi ketagihan.

"Aaahkk... Aaahkk.... aku mau keluaaar Pak!" Erang Clara, untuk kesekian kalinya hari ini tubuhnya bergetar hebat.

"Ajiiing looonteee... gue juga mau keluaaar!" Budi mencengkram erat pantat Clara, lalu detik kemudian dia memuntahkan spermanya kedalam anus Clara.

Rozak segera meminta berganti posisi, dia menidurkan Clara dengan posisi terlentang, kemudian dia kembali mengarahkan terpedonya kearah selangkangan Clara, dengan perlahan penisnya kembali membelah vagina Clara.

Dia mulai menggoyang dengan cepat, pinggulnya maju mundur menyodok vagina Clara, sementara Clara hanya mengerang-erang nikmat menerima sodokan penis Pak Roza.

"Bapaaak mau keluaaar Non!"

Croooooortt.... cccrrooooottt.... cccrrroooottt.....

--------------

"Kamu... apa-apaan si Chakra" Bentak Irma setelah di paksa masuk kedalam wc umum.

"Sssstt.... tenanglah sayang, jangan marah-marah gitu, emang kamu gak kangen sama kontolku, hehehe...!" Chakra tertawa sambil mendorong tubuh Irma kedinding.

"Jangan Chakra, Umi mohon."

PLAAAK... Tiba-tiba Chakra menampar pipi Irma hingga memerah, Irma melotot memandang marah kearah Chakra.

"Lonthe kurang ajar, berani manggil Chakra lagi gue siksa lo..." Bentak Chakra, kemudian dia mencekik leher Irma hingga Irma kesulitan bernafas.

Irma berusaha melepaskan diri, tapi Chakra menahan tubuhnya dengan sangat erat, kemudian dia mulai menjilati sekujur wajah Irma, dari kening, mata, hidung hingga kebibirnya, lalu mengulum dan melumat bibir Irma.

Irma sedikit dapat bernafas lega, ketika cekikan Chakra perlahan mulai mengendur, tapi berganti dengan belaian kasar diatas payudarahnya dari luar gamis yang ia kenakan. Perlahan tapi pasti, rasa tersiksa barusan berganti dengan rasa nikmat yang menjalar keseluruh tubuhnya.

Irma tak habis pikir, bagaimana mungkin sebagai seorang Ustadza dia melayani nafsu muridnya di dalam kamar mandi umum, dia hanya berharap tidak sampai ketahuan.

Chakra membalik tubuh Irma hingga menghadap kedinding, lalu dia menyingkap gamis Irma hingga sebatas pinggang, menampakan sepasang betis putih bersih dan bongkahan pantat yang sekal tertutupi kain segitiga yang hanya berbentuk seutas tali. Kemudian Chakra berlutut menghadap kearah pantat Irma yang menantang.

"Tuaaaaan... Aaahkk...!" Irma merintih panjang tatkalah lidah Chakra menjilati bongkahan pantatnya dan kedua paha bagian dalamnya nyaris mengenai bibir vaginanya.

Kedua kaki jenjang Irma mengejang geli, apa lagi sambil menjilati pahanya sambil menarik-narik celana dalamnya hingga menekan-nekan dan menggesek clitorisnya, membuatnya semakin terangsang.

Bahkan hanya dalam waktu kurang dari lima menit, Irma sudah mencapai klimaknya.

Chakra menarik kesamping g-string yang di kenakan Irma, hingga ia dapat melihat bagian dalam bibir vagina Irma dan anusnya. Kemudian dia kembali menjulurkan lidahnya, menyapu bibir vagina Irma, lalu naik hingga ke lobang anus Irma tanpa merasa jijik sedikitpun, bahkan ia tak segan menghisap bibir vagina Irma, dan anus Irma.

"Tuaaaan... jangan hisaaap, Aaahkk... Aahkk... Geli Tuan rasanya, Uuhkk... Ouuuwww....."

"Anus Umi enak bangeeet, aku tusuk-tusuk ya Umi!"

"Jaa... Aauuwww... geeliiii... jangan tusuk pakeee lidaaa... aduuuh memekku di apaaain Tuaaaan... Aaahkk.... Ooookkk... aku dapeeeet lagiiii...!" Irma melenguh ketika kembali mendapatkan orgasmenya.

Tapi Chakra tak bergenti dia terus merangsang tubuh Irma, lidahnya menusuk-nusuk anusnya, dan kedua jarinya mengorek-ngorek liang senggama Irma yang terasa semakin hangat tatkalah ia orgasme. Chakra baru berhenti ketika badai orgasmenya berhenti.

Dia menarik tubuh Irma dan memeluknya, lalu dia melumat bibir Irma dengan rakus.

"Kulumin kontolku lonte!" Perintah Chakra.

Irma mengangguk pasrah, dia berlutut di hadapan Chakra sambil membuka kancing bagian depan gamisnya, dan mengeluarkan kedua payudarahnya karena Irma tak perna lagi memakai bh di balik baju syar'inya.

Dengan perlahan jemari lentik itu membuka celana Chakra, mengeluarkan terpedonya yang berukuran besar.

Lalu dia mulai menjilati kepala penis Chakra, terus turun kebatangnya hingga seluruh penis Chakra basah terkena air liurnya, dan kemudian dia melahap habis penis Chakra hingga mulutnya terasa penuh, sementara tangannya meremas kantung pelir Chakra, hingga membuat Chakra mendesah nikmat.

"Shiiiiitt... mulut lonthe Umi enak bangeet! pinter banget ngulumnya... Aaaahhh....!" Ceracau Chakra sambil meremas-remas susu Irma.

Irma menghisap penis Chakra layaknya seorang perempuan murahan, dia lagi-lagi lupa dengan statusnya yang sebagai seoramg Ustadza dan seorang Istri yang alim.

Lima menit kemudian, Chakra menarik penisnya dari dalam mulut Irma, kemudian dia meminta Irma berdiri dihadapannya, kemudian dia mengangkat satu kaki Irma dan mengarahkan penisnya di hadapan lipatan bibir vagina Irma, dengan perlahan ia mulai mendorong penisnya membela bibir vagina Irma dan menusuk masuk kedalam rahimnya.

"Aaaahkkkk....!" Irma melenguh nikmat.

Chakra mulai menggerakan maju mundur menyodok vagina Irma, sambil melumat bibir sensual Irma.

"Anjiiiing... gue gak perna bosen ngentotin memek lu lonte! Aaah... Lu sukakan gue entoton memek lu ini." Ceracau Chakra, dia menghentak-hentak selangkangan Gurunya sendiri.

"Aaawww.... Aaahkk.... Aaahkkk...."

"Aaanjiiiiiing.... ngeeeentot looo pecun murahan, dasar wanita jalang gak tau diri.... Ini gue sodok memek lu, gue bakalan bikin lu hamiiill... Aanjiiiiing!"

Chakra merasa vagina Irma sangat hangat sekali, membuat ia merasa sangat puas bisa menyetubuhi gurunya sendiri yang di kenal sebagai wanita yang baik dan alim.

Dia mencabut penisnya dari Irma, lalu dia membalik kembali tubuh Irma membelakangi dirinya, kemudian dari belakang sambil meremas dan memilin kedua susu Irma, Chakra menggenjot kasar vagina Irma hingga terdengar suara benturan antara kedua jenis kelamin mereka hingga terdengar suara yang nyaring.

"Aaaauww... Aku mau dapat lagi...!" Erang Irma.

"Keluaaaarin lontheee... keluarin semua yang kamu punya... Aaahk.... aanjiiing... aaaah....!" Nikmat Chakra, dia menarik-narik putting Irma.

Irma menggelengkan kepanya saat multy orgasmenya tiba. "Aaampuuunn... Aaahkkk... sudaaah... ngiluuuu tuaaan... Aampuuuunn....!" Erang panjang Irma saat badai orgasme tak perna berhenti ia dapatkan.

"Sabaaar... Ni trimaaa sperma gueee!" Pekik Chakra, dia.mendorong penuh pinggulnya sebelumnya penisnya menembakan jutaan sel mahluk hidup kedalam rahim Irma, seorang wanita yang sudah bersuami.

Tubuh Irma ambruk kelantai dengan nafas memburu, ia tidak menyangkah permainan kali ini walaupun hanya sebentar tapi terasa sangat nikmat sekali dan sangat menguras tenaganya. Dia memandang Chakra yang tersenyum.puas.

"Hebaaat... Hahaha... " Komentar Chakra sambil membenarkan celananya.

Setelah selesai merapikan kembali pakaiannya, Chakra segera keluar dari dalam wc meninggalkan sendiri Irma yang masih bersimpuh di dalam wc.

Irma kembali menangisi nasibnya, walaupun ia selalu berusaha mencoba tidak menikmati setiap pemerkosaan yang ia alami, tapi pada akhirnya ia tetap saja kalah menghadapi nafsunya, bahkan sekarang ia mulai ketagihan dengan permainan mereka yang selalu melecehkannya.

Malam ini aku terpaksa menginap di rumah, hanya berdua dengan Kakak Iparku, karena lagi-lagi Mas Jaka pergi keluar kota, entah apa yang ia kerjakan di kota. Sepulangnya Ria, aku nyaris tidak keluar kamar untuk menghindari bertemu dengan Kakak Iparku.

Aku hanya beberapa kali keluar kamar, dan itupun kulakukan dengan cara mengendao-endap. Dan bahkan dari tadi sore setelah mandi, aku tidak keluar kamar, hingga aku tidak sempat makan malam, dan harus menahan rasa lapar.

Aku berencana makan tengah malam di saat Kak Nadia sudah terlelap dengan mimpi indahnya, dengan begitu aku tidak perlu bertemu dengannya hingga esok pagi.

Kulihat jam di dinding kamarku sudah menunjukan jam 11 malam, dan sudah 1 jam lamanya aku tidak mendengar suara tv yang menyalah. Kupikir sudah saatnya aku mengisi perutku yang sedari tadi sudah meminta untuk segera di isi.

Dengan perlahan aku keluar kamar, dan benar saja, suasana tampak hening, bahkan lampu di ruang tengah sudah di matikan.

Aku berjalan berjinjit menuju dapur, saat aku membuka lemari aku dapat bernafas lega karena masi tersisa lauk pauk malam ini, sepertinya Kak Nadia menyisakan lauk pauk untukku beserta nasinya.

Setelah mengambil makan malamku, aku segera duduk manis di meja makan dan mulai melahap makan malamku.

Cleeek...
Tiba-tiba lampu dapur menyala terang benderang, kulihat tak jauh dari meja makan Kak Nadia berdiri sambil berkacak pinggang, dia menggeleng-gelengkan kepalanya seolah seperti baru saja memergoki kucing nakal yang sedang mencuri makanan.

"Laper ya? Kakak kira kamu gak laper?"

"Eh Kak Nadia, hehehe... Kakak kok tumben belom tidur?" Tanyaku mengalihkan rasa gugupku.

Kulihat malam ini Kak Nadia terlihat begitu cantik nan seksi dengan gaun tidur berwarna hitam yang menerawang dan kerudung jenis rumahan yang juga berwarna hitam, sangat kontras dengan kulitnya yang putih mulus.

Kak Nadia berjalan melewatiku, dia membuka lemari es, dan mengambil sebotol air mineral dan membawanya kearahku.

Dia mengambil gelas dan menuangkan air kedalam gelasku dengan posisi merunduk sehingga aku dapat melihat belahan payudarahnya yang malu-malu mengintip dari sela-sela lehernya, karena kebetulan kerudung rumahan yang di kenakan Kak Nadia tak begitu lebar.

"Habis makan temuin Kakak di kamar, jangan coba-coba ngelak ya...!"

Lalu tanpa berkata lagi dia melangkah pergi sambil menggoyangkan pinggulnya kiri kanan, dan kemudian menghilang dari balik tembok dapurku.

-----------

Selesai menghabiskan makan malamku, aku segera menysul kekamar Kakakku, agak ragu sebenarnya, tapi kupikir sebaiknya aku segera menyelesaikan masalahku dengannya agar tak lagi berlarut-larut.

Aku menarik nafas panjang, dengan perlahan mengetuk pintu kamarnya.

"Masuk Dek, gak Kakak kunci kok."

Perlahan aku membuka pintu kamarnya, kulihat Kak Nadia sedang duduk di tepian tempat tidurnya, dia tersenyum manis kearahku, melambaikan tanganku agar aku segera masuk kedalam kamarnya.

Aku segera masuk kedalam kamarnya, kemudian berdiri di depannya sambil memandangnya yang tersenyum cantik.

Entah kenapa aku mendadak gerogi, apa lagi malam ini aku melihat Kak Nadia tampil begitu seksi dengan gaun yang indah membalut tubuhnya yang sempurna.

"Duduk sini dong Dek." Dia menarik tanganku, dan memaksaku duduk di sampingnya. "Kayak sama orang lain aja si." Omelnya, aku hanya menuruti keinginannya.

"Ada apa Kak?"

"Kita harus menyelesaikan masalah kita Dek, Kakak gak mau kita kayak gini terus." Jelasnya, dan itu juga yang aku inginkan.

"Iya Kak, eehmm... aku benar-benar minta maaf atas kejadian waktu itu, saat itu aku benar-benar khilaf, aku minta hhmpp..." Tiba-tiba Kak Nadia menutup mulutku dengan jari telunjuknya, membuatku terdiam.

Kami saling pandang, kemudian kulihat Kak Nadia mulai menangis, membuatku semakin merasa bersalah karena dulu perna melecehkannya, padahal selama ini dia sangat peduli dan sayang kepadaku, tapi aku malah membuatnya menangis.

Aku mengambil inisiatif menghapus air matanya, tapi kemudian tiba-tiba dia memelukku dan menangis.

"Kakak capeek!"

Perlahan aku melingkarkan tanganku di pundaknya, membalas pelukannya.

"Maafin aku Kak."

"Kamu tidak salah Dek, ini salah Kakak yang plin-plan, sebenarnya sudah lama Kakak menyukaimu, dan rasa itu semakin lama semakin besar, Kakak sudah tidak sanggup lagi menahan perasaan ini." Aku sangat kaget mendengar pengakuan, dan hendak melepaskan pelukannya, tapi dia malah memelukku semakin erat.

"Maaf Kak, tapii..."

"Kakak tau ini gila, tapi aku sudah benar-benar tidak kuat, apa lagi sekarang kamu mulai menghindar dari Kakak."

"Aku hanya tidak ingin terjadi kesalah pahaman di antara kita." Jawabku pelan, sebenarnya aku juga sangat menyukainya.

"Aku tidak perduli, semuanya sudah terlanjur Dek, Masmu... dia punya wanita simpanan di kota, makanya dia jarang pulang, jadi gak ada lagi yang perlu Kakak pertahankan, dan kamu tidak perlu merasa bersalah, karena Kakak yang meminta kamu untuk meniduri Kakak." Jelasnya panjang lebar, sementara aku sangat kaget mendengar penjelasannya, rasanya sulit di percaya kalau Mas Jaka bisa berbuat setega itu kepada Istrinya.

Dan yang lebih mengagetkan lagi, dia memintaku untuk menidurinya. Oh tidak... aku pasti salah dengar.

"Mana mungkin Kak."

"Terserah kamu mau percaya atau tidak." Jawabnya, kemudian dia melepas pelukannya dariku.

Aku semakin di buatnya tercengang, ketika ia mulai membuka kerudungnya, membiarkan ramburnya tergerai, dan di lanjutkan dengan melucuti pakaian tidurnya, hanya menyisakan pakaian dalam serba hitam yang melekat di tubuhnya.

Belum sempat aku berkomentar, Kak Nadia langsung menerkam tubuhku, hingga aku terlentang berada di bawah tubuhnya.

Dengan sisa-sisa kesadaranku, aku berusaha menolak, tapi lama-kelamaan aku tidak tahan juga tatkalah ia memaksaku mencium bibirku dengan penuh gairah,.

"Eeehmmmppp... Kak!" Aku mengerang sambil memeluk tubuhnya yang ramping.


"Jangan ragu, nikmatin tubuh Kakak!" Bisiknya sembari melepaskan ciumannya dan membuka kaitan branya.

Kini sepasang gunung kembar nan indah terpampang di hadapanku dengan putting yang menggairahkan berwarna coklat muda. Aku sudah tidak tahan lagi, kedua tanganku langsung meraih payudarahnya dan meremasnya pelan, menikmati tekstur lembut payudarahnya yang menggoda.

Dia kembali melumat bibirku, kami berciuman dengan amat panas hingga beberapa menit lamanya. Kemudian aku memutar tubuhnya hingga kini aku berada di atasnya.

"Kakak yakin ingin melakukan ini?" Tanyaku, sebelum aku melangkah terlanjur jauh, walaupun sebenarnya aku juga sudah sangat terangsang dan ingin segera merasakan kehangatan tubuh Kakak Iparku.

"Kakak milikmu sekarang." Jawabnya.

Kurendakan tubuhku untuk kelumat sebentar bibirnya, lalu ciumanku turun kelehernya, menjilati lehernya yang jenjang hingga membuat Kak Nadia merintih lemah sambil mendekap kepalaku.

Sapuan lidahku kembali turun menuju payudara, kekecup lembut puttingnya, sesekali kuhisap, membuat Kak Nadia melenguh panjang, dia tampak sangat menikmati permainan lidahku diatas kedua payudarahnya yang menggoda.

Kehisap payudarahnya secara bergantian, kumainkan puttingnya, sementara jari jemariku menggelitik perutnya.

"Aauww... Adeeekk... geliii... Aahk... Ahkk..."

Sluuupss... ssluuppss...
Tangan kananku kuarahkan keselangannya, kebelai vaginanya dari luar celana dalamnya, kegesek-gesekkan jari telunjukku diantara lipatan bibir vagina Kak Nadia yang sudah bermandikan lendir birahinya.

Kedua tanganku beralih kekedua sisi celana dalam Kak Nadia, dengan perlahan aku menarik turun celana dalamnya.

"Indah sekali Kak!" Aku bergumam pelan.

"Jangan Dek, Kakak malu ah..."

Dia barusaha menutupi selangkangannya dengan kedua telapak tangannya, tapi dengan perlahan aku menyingkirkan kedua tangannya, sehingga aku dapat melihat keindahan bentuk vagina Kakak Iparku yang tembem, di hiasi dengan rambut yang lebat tapi tertata dengan sangat rapi, berbeda dengan yang kulihat beberapa bulan yang lalu yang tidak terlalu lebat.

Kuciumi pangkal pahanya, sementara jari jempolku menekan clitorisnya.

"Uuhkk... Dek jangaaan, Aaahk... jorok Dek!" Kak Nadia mulai tidak tenang, pinggulnya bergera kekiri dan kekanan.

Ciumanku kini tiba di bibir vagina Kak Nadia, kujulurkan lidahku menyapu bibir vaginanya, kusodok lubang vaginanya dengan lidahku membuat vaginanya semakin licin dan basah karena tercampur dengan air liurku.

Kuhisap lembut clitorisnya, dan kedua jariku berenang bersama-sama kedalam lautan vagina Kak Nadia.

Dengan gerakan perlahan aku mengocok vaginanya, sambil menghisap dan memainkan clitorisnya yang memerah malu-malu menerima setiap serangan dariku.

"Kak boleh aku masukin sekarang?" Tanyaku, sambil menatap matanya yang senduh.

"Boleh sayang, sekarang Kakak udah jadi milik kamu, ayo di masukan sekarang, Kakak juga udah gak tagan Dek." Jawabnya, dia melebarkan kakinya semakin lebar.

Segera kubuka baju kaosku, lalu si susul dengan celanaku, hingga aku telanjang bulat sama seperti Kak Nadia.

Aku segera memposisikan diriku diatasnya, kegenggam penisku lalu kuarahkan kedepan mulut vagina Kak Nadia, kugesek perlahan bibir vaginanya yang berlendir, terasa hangat dan nyaman di kepala penisku.

"Kakak yakin?" Tanyaku untuk kembali mengingatkannya sebelum terlambat.

"Sangat yakin sayang, kamu sendiri bagaimana? Kamu yakin ingin menodai Istri Saudara kandungmu." Balasnya, dia membelai wajahku. Aku tersenyum lalu kujawab dengan menekan pinggulku.

Tidak kusangkah ternyata vagina Kak Nadia jauh lebi sempit ketimbang milik Clara, penisku rasanya di jepit sangat erat sekali, sehingga sangat sulit untukku menembus liang syurga milik Kak Nadia. Kuturunkan lagi tubuhku hingga perutku menyentuh perutnya, lalu dengan sekuat tenaga menekan kembali penisku kedalam vaginanya.

Kak Nadia meringis, dia menggoyangkan pinggulnya kekanan seperti mencari posisi yang membuatnya lebih nyaman.

Kukecup keningnya tatkalah penisku makin dalam menusuknya, hingga menyentuh rahimnya, dan lagi kurasakan sensasi yang luar biasa menjalar keseluruh tubuhku.

"Aaaahkk... kontol kamu besar banger Dek."

"Iya Kak aku tau, kontol Mas Jaka pasti tak sebesar punyakukan Kak?" Tanyaku sembari mengecup bibirnya.

Dia melingkarkan tangannya di leherku sambil berujar. "Iya sayang, punya masmu tidak perna terasa penuh seperti ini. Kamu hebat sayang, Kakak semakin yakin kalau kamu pasti bisa membuat Kakak bahagia."

"Aku akan melakukan apapun untukmu Kakakku tersayang."

"Aaahkk... aku cinta kamu Dek."

"Aku juga Kak, Ooohk... memek Kakak enak sekali, sempiiit banget Kak." Kugoyang perlahan pinggulku keluar masuk liang senggamanya yang hangat.

Kubelai rambut Kak Nadia, sambil kupompa vaginanya. Aku benar-benar tidak menyangkah bisa meniduri Istri Saudaraku yang alim dan sangat setia terhadap Suaminya. Tapi kini dia sedang menikmati penisku yang sedang mengaduk-aduk vaginanya yang hangat.

"Adeeek... Kakak, mau nyampe!"

Plookk... ploookk... ploook...
Aku semakin cepat mengaduk-aduk liang vaginanya, sembari meremasi payudarahnya, hingga akhirnya tubuhnya mengejang sebentar, dan dinding vaginanya terasa menjepit penisku semakin erat, tatkala dengan perlahan kurasakan cairan hangat menyembur keluar dari dalam vaginanya.

Kucabut penisku dengan perlahan, membiarkan Kak Nadia menikmati orgasme pertamanya dariku.

"Aaah... aaah... aaaah... capeek Dek, kamu belom dapet ya sayang?"

"Kalau aku santai aja Kak, kalau Kakak capek kita lanjut lain kali aja gak apa-apa kok Kak." Jawabku, sembari mengusap dan mengecup lembut keningnya yang berkeringat.

"Gak adil dong sayang."

"Beneran gak apa-apa kok Kak."

"Sini... Kakak kulumin aja dulu kontol kamu ya, sambil Kakak beristirahat sebentar." Dia segera duduk dan aku di mintanya terlentang.

Tangan lembut Kak Nadia mulai membelai penisku, sesekali dia mengecup lembut kepala penisku, dan menjilati batang kemaluanku dengan perlahan, membuatku mengeluh pelan.

Kubalas perlakuannya dengan meremasi payudaranya yang bergelantungan di depan mataku, membuatnya semakin bersemangat mengoral penisku, bahkan kini ia memasukan penisku kedalam mulutnya, kepalanya bergerak liar turun naik diatas penisku sambil membelai pahaku.


Uuhh... rasanya ngilu, apa lagi ketika gigi Kak Nadia menyentuh penisku, rasanya kurang nyaman. Kurasa Kak Nadia belum berpengalaman oral seks.

"Kak... udahan dulu, ngilu." Kataku memintanya untuk berhenti.

"Kenapa Dek, gak enak ya?"

"Enak kok Kak, tapi aku gak mau keluar sekarang, aku masi ingin menikmati memek Kakak yang sempit itu." Jelasku berbohong dan sedikit menggodanya.

Kak Nadia tersenyum, lalu dia melangkahiku dan berjongkok diatas selangkanganku.

"Dasar nakal." Komentarnya, aku hanya terkekeh pelan sambil membelai wajah cantiknya yang sedang tersenyum.

Perlahan ia menggenggam penisku, dan mengarahkannya ke bibir vaginanya. Perlahan ia mulai menduduki penisku, kurasakan kembali hangatnya dan jepitan bibir vagina Kak Nadia ketika menelan habis penisku kedalam rahimnya.

Lalu tanpa memberi jedah, dia menarik dan menghentakan pinggulnya kebawah dengan keras tapi sangat teratur.

"Memek Kakak sedap bangeet, rasanya di gigit gitu Kak, Oooo... enaaaak bangeeet Kak." Erangku, sambil mencengkram kedua paha mulusnya yang halus.

Kak Nadia menjatuhkan tubuhnya, kemudian dia memanggut bibirku.

Kepeluk erat pinggangnya yang ramping, tatkala pinggulnya bergoyang liar diatas selangkanganku, mencengkram erat penisku seoalah ia tidak ingin melepaskannya.

"Dek... Kakak mau dapet lagi?"

"Yang bener Kak, baru aja tadi dapet, sekarang mau keluar lagi?" Tanyaku tak percaya, biasanya butuh waktu lama untuk kembali mendapatkan orgasm selanjutnya.

"Habiiis kontol kamu enak banget Dek."

"Kontol aku yang enak apa Kakak yang nafsuaan? Dasar Kakak nakal." Kataku sambil mentoel hidungnya.

Tak lama kemudian kembali kurasakan semburan lendir cintanya, dan tubuhnya kembali ambruk menindih tubuhku, menekan dadaku sangat kuat. Kubelai kepalanya, sembari kucium keningnya.

Kemudian dengan perlahan aku menggeser tubuhnya, kuminta dia menungging, mengangkat sedikit pantatnya.

Dari belakang aku dapat melihat bibir vagina Kak Nadia yang memerah tampak begitu licin karena basah oleh cairan cintanya. Perlahan kembali kuarahkan penisku di depan bibir vaginanya, kugesek-gesek pelan penisku di belahan bibir vaginanya.

"Lanjut ya Kak, tanggung." Kataku meminta izin kepadanya.

"Iya sayang, masukin pelan-pelan."

"Iya Kak." Jawabku, lalu kuselipkan penisku kedalam lobang vagina Kak Nadia, dengan perlahan kudorong penisku hingga amblas kedalam vagina Kak Nadia.

Dengan gerakan perlahan aku kembali menyodok vagina Kak Nadia, kali ini terasa lebi nikmat dan lebih menggigit, ketika penisku kembali di makan vagina Kak Nadia yang terasa hangat dan nyaman.

Kecengkram pinggulnya, dan penisku kembali bergerak liar bahkan lebih cepat dari sebelumnya.

"Aduuuuh... Aaahkk.... Aaahkkk...."

Plaaak.... Plaaakk.... Plaaak.... Plaaaak... Plaaak.... Plaaak.... Plaaaakkk.... Plaaak.... Plaaakk.... Plaaakk.... Plaakk.... Plaakkk...

"Enaaak bangeeet Kak."

Pplaaak.... plaaak... pkaaak... plaaak.... plaaakk... plaaaakk.... plaaakk....

"Sayaaang, Uhhkk... kamu nafsu banget si, memek Kakak ngilu bangeeet rasanyaa... Aahkk... tapi enaaak Dek, kamu hebaaat bangeet ngeentotnyaa..."

"Habis aku sudah lama ingin sekali ngentotin Kakak, tapi baru kali ini kesampean."

"Hihihi.... dasar Adek! Aaahkk... ya udah sekarang puasin entotin Kakak, jangan lupa hamilin Kakak juga ya sayang." Ujarnya sembari ikut menggoyangkan pantatnya, menyambut sodokanku.

Plaaaakkk... Plaaaak... Plaaaakk... Plaaakk.... Plaaaakk... Plaaakk....

"Kakak serius?" Tanyaku.

"Iya sayang, tolong hamilin Kakak..."

Tak butuh waktu lama, kali ini aku merasa sudah di abang batas kemampuanku, penisku berkedut-kedut, darahkupun terasa memanas, menandakan kalau sebentar lagi aku akan mencapai puncaknya, menyemburkan jutaan sel sperma kedalam rahim Kakak iparku.

Kuhentakan kuat-kuat pinggulku, hingga di hentakan terakhir, aku memuntahkan semua isi didalam kantung penisku kedalam rahim Kakak iparku. Aku tidak tau apakah spermaku bisa menghamilinya atau tidak.

Crroooottss.... cccrroooott.... cccrroooott....

Sulit rasanya kupercaya, saat ini di sampingku seorang wanita cantik sedang tertidur lelap dalam keadaan telanjang bulat. Kusingkap perlahan selimut tebalnya, hingga aku dapat melihat jelas keindahan tubuhnya yang menggoda. Kulit putih bersi bak pualam, payudarah yang indah bergerak turun naik mengikuti alunan nafasnya, perutnya yang ramping dan vaginanya yang di tumbuhi rambut lebat tapi tertata sangat rapi.

Aku memiringkan tubuhku, perlahan kukecup keningnya sambil membelai payudarahnya, rasanya kenyal dan sangat lembut sekali.

Semalam rasanya seperti mimpi, aku tidak menyangkah kalau semalam aku telah meniduri Kakak Iparku, gak terbayang apa yang akan di lakukan Mas Jaka, kalau dia tau Istrinya telah kunodai.

Tapi di sisi lain aku merasa benar-benar sangat beruntung memiliki Kakak ipar secantik dan sebaik Kak Nadia, selain cantik dan baik, dia juga bisa kupakai kapanpun aku mau, dan hebatnya lagi dia memintaku untuk menghamilinya, menggantikan tugas Mas Jaka.

Ciumanku perlahan beralih kepipinya, lalu turun keleher jenjangnya, sementara tangan kananku yang tadinya hanya membelai, kini meremas nakal payudarahnya, sambil kujepit putting susunya dengan kedua jariku hingga puttingnya membesar.

"Eeiiisstt... Dek!" Kak Nadia melenguh pelan.

"Kebangun ya Kak." Tanyaku memasang wajah polosku.

"Iyalah kebangun, di mesumin kayak gini masak gak kebangun sayang, kamu tuh nakal banget si sama Kakak, masi sepagi ini udah di jahilin aja." Sungut Kak Nadia, membuatku semakin gemes.

"Habis Kakak nafsuin!" Jawabku sambil menyusu di payudarah kirinya.

Kuhisap lembut puttingnya, sambil kuremas kasar payudarah satunya.

"Aahkk... kamu beda banget sama Masmu, kalau Masmu gak perna senakal ini."

Sluuupsss.... Sslluupppss.... Sluuppss... Sluuppss... Aku menghisap putting Kak Nadia kuat-kuat sambil mendengarkan perkataannya.

"Taphii... Kakak sukhakan?"

"Uuhhkk... iya sayang, Aahkk... Kakak suka kamu nakalin sepagi ini hihihi... Aaahkk... pelan-pelan dek."

Aku berpindah menghisap payudarah satunya, sementara tanganku yang tadi meremas payudarahnya, beralih kebawah membelai bibir vaginanya yang ternyata sudah sangat basah dan licin, sehingga aku tidak kesulitan saat menusuk vaginanya dengan dua jari sekaligus.

PLOOOOPPP.... PLOOOOPPP.... PLOOOOPP.... PLOOOOOKKKK..... PLOOOOPPPP.... PLOOOKK.... PLOOOOPPP... PLOOOPP....

Kedua jariku bergerak liar keluar masuk kedalam vagjnanya, membuat Kak Nadia mengerang semakin keras menikmati tusukan jariku kedalam vaginanya.

Puas mengulum payudarahnya, aku beralih kevagina Kak Nadia, kedua kakinya kubuka lebar, dan tubuhku masuk diantara kedua kakinya, kuposisikan penisku tepat di lipatan bibir vaginanya, bersiap kembali menodai Istri dari Saudara kandungku.

"Aku masukin sekarang ya Kak, udah jam enam Kak takut gak ada waktu lagi." Kataku meminta izin.

"Dasar kutu buku, mau nidurin Kakak iparnya aja masih sempet-sempetnya mikirin sekolah, dasar kamu ini." Ujar Kak Nadia, aku hanya cengengesan.

Perlahan kugesek-gesekkan penisku di belahan bibir vaginanya yang berlendir menggoda.

Kupandangi wajah cantik Kak Nadia yang merem melek menikmati sensasi gesekan penisku yang terkadang menyentuh clitorisnya, dan secara diam-diam, tepat ketika kepala penisku berada di lobang vaginanya, aku memusatkan tenagaku di pinggulku, dan kemudian mnedorong punggulku dengan keras, hingga penisku amblas kedalam bibir vagina Kak Nadia.

"Aaaaaaaauuuuuwwww...." Kak Nadia terpekik.

"Uupss... kekerasan ya Kak?" Tanyaku segera mencabut kembali penisku.

"Duh... pelan-pelan dong Dek, sakit tau...!"

"Hehehe... iya Kak Maaf!" Kataku sambil menggaruk kepala bagian belakangku.

"Ya sudah ayo masukin lagi, tapi pelan-pelan ya?"

"Iya Kak, ini pelan-pelan kok." Jawabku, lalu kuangkat kedua kakinya dan kuletakan diatas pundakku. Perlahan kumasukan kembali penisku kedalam vagina Kak Nadia.

Kudorong pelan penisku memenuhi liang senggamanya, lalu ketarik kembali dengan gerakan yang juga tak kala pelan. Kak Nadia mulai meracau tak jelas menikmati sodokanku yang bergerak dengan ritme yang pelan keluar masuk kedalam vaginanya.

"Iyaaa... Aaah... gituuu sayaaang... Aaahk... nikmat banget kontol kamu sayaaang!" Ceracaunya gak jelas di iringi desahan-desahan erotis, membuatku semakin bersemangat menggenjot vaginanya.

PPLOOOOKKK.... PLOOOOOKKK.... PLOOKKK.... Terdengar suara benturan antara kulit selangkanganku dengan selangkangannya.

Semakin lama aku semakin cepat menggenjot vagina Kak Nadia. Dan kembali aku menciumi sekujur wajahnya, sambil meremas-remas kasar payudarahnya yang menggemaskan, tak lupa aku menjepit puttingnya dengan kedua jariku, lalu kutarik-tarik pelan.

"Aaaaaa.... enaaak Deek... Aaahkk... genjotan kamu enak bangeeet Dek....! Aaahkk... Aahkk...!"

"Memek Kakak kerasa ngejepiiit banger Kak!"

"Aaaaaaaahhkkk.... kamu bisa aja Dek, Uuhhkk... kontol Adek yang kedeaan, memek Kakak rasanya penuh banget di isi kontol kamu sayang." Rengek Kak Nadia, sambil merangkul erat leherku.

PLOOOOOOKKKK..... PLOOOOOOKKK.... PLOOOKK.... PLOOOKKK.... PLOOOKKK.... PLOOOKK.... PLOOOOKKK.... PLOOOOKKKKK..... PLOOOKKK....

Tak terasa aku sudah menggenjot vagina Kak Nadia hampir lima belas menit lamanya, tapi belum ada tanda-tanda kalau Kak Nadia akan segera mencapai puncaknya, padahal aku sudah sangat kelelahan, badanku sudah bermandikan keringat, sama seperti Kak Nadia yang juga basah bermandikan keringat.

Kembali kurangsang payudarahnya, kupelintir kedua puttingnua membuat Kak Nadia mengerang panjang, dan jepitan vaginanya semakin terasa.

"Kakaaaaak dapeeeeeet....!" Dia memekik.

Aku semakin cepat, hingga pinggulku terasa sangat pegel tapi rasa nikmat yang menjalar keseluruh tubuhku, membuatku lupa akan rasa pegal di pinggangku.

"Adeeek juga Kak."

"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA....." Kami berteriak berbarengan.

Crrrrooooootttt.... Crrroooott.... Seeeeeerrr.... Seeeerrrr....
Secara bersamaan kami mencapai puncak kenikmatan yang kami rasakan.

Tubuhku ambruk kesamping tubuh Kak Nadia, sementara Kak Nadia masi dalam posisinya mengangkang dengan nafas yang memburu, dia menatapku seraya tersenyum puas dengan permainan kami pagi ini.

"Adeeeekkk hebat bangeet, rahim Kakak rasanya penuh sama sperma Adek." Katanya terputus-putus.

"Siapa dulu dong Kak? Raditya gitu loh..." Kataku memanggakan diriku sendiri, Kak Nadia langsung menjawabnya dengan mencubit penisku. "Aaww... sakit Kak, kok di cubit." Keluhku sambil membalas meremas vaginanya yang basah bercampur spermaku.

"Habiiss... sok banget."

"Hahahaha....."

"Ya sudah katanya mau mandi? Nanti telat loh kesekolahnya." Katanya sambil mendorongku.

"Mandiin dong..."

"Iihh... Adek manja! Sana mandi sendiri, Kakak mau istirahat dulu capek."

"Ya udah de, aku mandi dulu ya Kak, nanti nyusul ya..."

"Iya sayang..."

Aku segera beranjak dari tempat tidurku, lalu masi dalam keadaan telanjang bulat aku kembali kekamar mengambil handuk, dan setelah itu aku langsung menuju kamar mandi tanpa mengunci pintunya.

Tak lama kemudian pintu kamar mandi terbuka, dan kulihat Kak Nadia yang telanjang bulat langsung masuk kedalam kamar mandi.
(Bayangin sendiri kelanjutannya gimana, sesuai imaginasi kalian aja)

-------------------

Selama di sekolah aku lebi banyak melamun dari pada memperhatikan pelajaran, bahkan ketika Ustadza Irma mengakhiri pelajarannya aku sama sekali tidak sadar, hingga pundakku di tepuk oleh sahabatku.

"Woi... mau ngantin gak?"

"Setan lu, ngagetin aja..." Kataku rewel.

"Udah yuk ngantin, laper ni gue... jangan ngelamun terus nanti kesambet lo...!" Paksanya sambil menarik tanganku, hingga dengan terpaksa aku mengikutinya.

Padahal hari ini aku merasa males sekali kekantin, hari ini aku lebih suka menyendiri ketimbang harus kekantin bareng sahabat-sahabatku.

Bayangan Kak Nadia rasanya tidak mau hilang dari benakku, erangannya dan goyangan erotisnya silih berganti memenuhi otakku, mau tidak mau penisku mulai mengeras di balik celana hijauku.

"Ini pesanannya Mas." katanya membuyarkan lamunanku.

"Eh iya, terimakasi..." Jawabku buru-buru. Kemudian pelayan itu pergi meninggalkan kami.

"Kenapa lu Dit, lagi ada masalahnya?" Tanya Yogi kepadaku, aku membalasnya dengan menggeleng lemah kepadanya.

"Dari tadi kerjaan ngelamun doang, emang lu lagi mikirin apa si Dit? Beda banget dari biasanya." Timpal Arman, aku males nanggepin omongan dia, bisa runyem kalau harus ku jawab.

"Kalau ada masalah cerita aja bro? Siapa tau kita bisa bantu." Sambung Mulya sambil menepuk pelan pundakku.

Diantara kami berempat memang Mulya yang lebih dewasa, biasanya kalau ada masalah kami sering curhat dengannya, dan seperti biasanya, ia akan mengeluarkan kata-kata bijaknya yang ampuh, yang mampu membuat kami merasa legah.

Tapi untuk urusan Kak Nadia, aku tidak akan cerita kepada siapapun, walaupun ada rasa ingin berbagi dengan mereka bertiga.

"Beneran gak ada masalah." Tegasku.

"Paling tentang Clara." Tembak Arman, aku hanya tersenyum kecut mendengar nama Clara di sebut-sebut.

Sudah cukup lama aku tidak lagi mendengar kabar Clara, hubungan kami menggantung begitu saja tanpa ada kejelasan darinya, tapi untunglah sekarang ada Kak Nadia yang mau menutupi kekosongan yang di tinggalkan Clara.

Tapi ngomong-ngomong soal Kak Nadia, entah kenapa perasaanku menjadi tak tenang, aku tak habis pikir dengan diriku sendiri, bagaimana mungkin aku bisa mengkhianati Mas Jaka, saudara kandungku sendiri. Padahal selama ini dia sangat baik kepadaku, tapi aku malah membalasnya dengan menyetubuhi Istrinya. Bahkan bisa jadi aku akan menghamili Istrinya.

"Ya... dia bengong lagi." Ujar Arman.

"Apaan si gak jelas." Kataku mulai kesal. Tanpa memperdulikan mereka, aku mulai menyantap makananku.

"Eh... ngomong-ngomong tar malam kita ngintip lagi yuk."

"Ngintip apaan?" Tanyaku pada Arman. "Mau ngintipin Santri wati mandi lagi? Gak takut nanti ketahuan lagi." Kataku dengan nada sinis.

"Kalau ini beda bro, eksklusif!" Jawab Yogi.

"Bener Dit, lu mau ikut gak? Kita ngintipin skandal Ustad di sekolah kita." Timpal Yogi, kali ini aku sedikit tertarik mendengar kata skandal dari Yogi.

"Dia mana mau, percuma di ceritain juga." Potong Arman sambil meminum minumannya.

"Skandal apaan ni?"

"Ini tentang Ustad Reza bro, minggu kemarin kita di ajakin Arman ngintip rumahnya Ustad Reza." Jawab Yogi menjelaskan pertanyaanku.

"Wah... gila kalian, berani banget ngintipin rumah Ustad Reza, nanti di kira maling baru tau rasa kalian."

"Ni ye gue kasi tau, tuh Ustad cabul sering ngadain pesta sex seminggu sekali, dan lu tau siapa artisnya? Usntadza Karima bro... lu gak bakalan nyesal kalau melihat pesta seks mereka, soalnya selain Ustadza Karima ada juga beberapa Santri wati lainnya." Terang Arman, aku nyaris tidak percaya mendengar ucapan Arman, tapi melihat Mulya yang mengangguk serius membuatku mau tidak mau harus percaya.

"Tar malam lu ikut aja." Kata Mulya.

"Oke deh... tar malam gue ikut, jam berapa ni?"

"Jam 11 malam Dit, kita tunggu lu di asrama ya." Jawab Yogi antusias.

"Oh iya... tar malam lu nginep di asrama apa balik kerumah Kakak lu." Tanya Arman, aku tau dia ingin menggodaku.

"Gue balik bentar kerumah." Jawabku.

Setelah itu kami mengobrol santai tentang rencana nanti malam, dan aku masih merasa tidak percaya dengan apa yang kudengar dari mereka.

------------

Sepulang sekolah Aldi berjalan gontai pulang kerumahnya, dan seperti biasanya tanpa mengucap salam, Aldi nyelonong masuk kedalam rumah.

Dia hendak kekamarnya, tapi langkahnya terhenti ketika melewati kamar Kakaknya, dia melihat pintu kamar Kakaknya tidak tertutup rapat, dan dari cela pintu tersebut ia melihat bayangan Kakak kandungnya masih mengenakan seragam sekolah.

Rasa iseng tiba-tiba saja timbul di benaknya, bayangan Kak Popi yang sedang mengganti pakaian, membuat Aldi nekad ingin mengintip Kakaknya.

Dia berjalan mengendap-endap lalu dengan sedikit membungkuk ia melihat dari cela pintu yang terbuka, Kakaknya sedang membuka satu-satu persatu kancing seragam putihnya. Setelah membuka seragamnya, Kak Popi melempar bajunya.

Dan saat Popi melempar bajunya keatas tempat tidurnya, tiba-tiba Popi melihat bayangan Adiknya yang sedang mengintip dari balik cela pintu kamarnya.

Ngapain Aldi di situ? Dia lagi ngantipp... Astagaaa... kok bisa Adek kayak gitu... Gumam Popi tidak percaya, melihat Adiknya nekad mengintip dirinya yang sedang berganti pakaian.

Rasanya dia ingin langsung melabrak Adiknya, memarahinya habis-habisan, apa lagi selama ini dia memang sudah lama sekali membenci adiknya, semenjak Adiknya lahir, kasih sayang kedua orang tuanya lebi ke Adiknya dari pada kedirinya.

Tapi setela ia pikir, rasanya kurang seru kalau harus melabraknya sekarang, sehingga ia memutuskan untuk membiarkan Adiknya melihat lebih jauh lagi.

Saat dia menarik kaos dalamnya hingga sebatas perutnya, tiba-tiba ada sedikit keraguan di dalam hatinya untuk meneruskannya, hingga akhirnya ia mengurungkan niat melepas kaosnya dan memilih melepas rok panjangnya terlebih dahulu.

Setelah melepas rok panjangnya dan menyisakan kaos dalam dan celana legging berwarna hitam, dia berdiam diri sejenak sambil mengamati Adiknya.

"Kurang ajar, dia malah onani!" Umpat Popi kesal.

Karena merasa kepalang tanggung, Popi melanjutkan menelanjangi dirinya.

Dia membuka kaos dalamnya, membiarkan perutnya terbuka hingga memperlihatkan punggungnya yang putih mulus berikut dengan tali branya yang berwarna cream, setelah melepas behanya, dia meletakan kedua jari jempolnya di sisi celana legingnya, kemudian dia menarik turun celana leggingnya.

Mata Aldi tak berkedip memandangi bongkahan pantat Kakak kandungnya yang di balut kain segitiga berwarna cream. Bahkan sankin bernafsunya, Aldi menarik turun celananya, dan pada saat itulah....

"Adeeeeeekkk.....!"

-------------------

Hari ini aku bertekad ingin bertemu dengan Clara, aku bertekad ingin menyelesaikan masalahku dengannya.

Tak lama kemudian aku melihat Clara keluar kelas, pada saat itulah dengan cepat aku berlari menghampirinya, saat aku berlari menghampirinya, beberapa pasang mata tampak mengawasiku, mungkin di benak mereka agak aneh melihat aku seorang Santri nekad masuk kewilayah Santri wati. Tapi persyetan dengan mereka.

"Radit, kamu ngapain kesini?" Tanya Clara kaget.

"Aku mau ngomong sesatu sama kamu, tapi tidak di sini." Kataku tersengal-sengal sembari mengatur nafasku yang terasa berat. "Aku tunggu kamu besok malam di tempat biasa, aku harap kamu datang." Kataku sembari menatap matanya dengan serius.

"Kamu nekad banget si Dit."

"Sudalah, pokoknya kamu harus datang ya..."

"Iya... aku usahain Dit." Jawabnya buru-buru, lalu dia segera berjalan hendak meninggalkanku.

Tapi begitu aku hendak berbalik, tiba-tiba seseorang seperti memanggilku. "Hei... KAMU!" Dari suaranya dia adalah seorang wanita.

Aku menoleh kebelakang dan ternyata dia adalah seorang Ustadza. Mati aku.....

"A... aku Umi?"

"Iya siapa lagi." Katanya, sambil melambaikan tangannya.

Aku berjalan mendekatinya dengan wajah tertunduk, yang kutakutkan akhirnya terjadi juga.

"A...Ada apa Umi?" Tanyaku takut-takut.

"Ada apa? Seharusnya Umi yang nanya bukan kamu." Katanya dengan nada galak. "Kamu ngapain kesini, kamu taukan batasan-batasan Santri sama Santriwati." Bentaknya keras.

"Maaf Umi... aku!"

"Umi gak mau denger penjelasan dari kamu, sekarang kamu ikut Umi kekantor sekarang juga." Katanya dengan nada marah.

Aku terdiam ingin menyampaikan pembelaan, tapi sepertinya dia tidak perduli, dan tetap memaksaku untuk mengikutinya dari belakang.

Dengan amat terpaksa aku mengikutinya dari pada nanti aku mendapatkan masalah yang lebih besar.

Kupikir dia akan mengajakku kekantor akademik, dan melaporkan kenekatanku, tapi ternyata aku salah, dia malah mengajakku kekantor Stanawiyah (setingkat SMP) yang tampak sepi, karena semua guru sudah pulang kerumah mereka masing-masing. Dia memintaku untuk masuk, lalu kami menuju kesalah satu ruangan, yang kupikir itu adalah ruangannya.

Sesampai di dalam ruangan, dia memintaku duduk, sementara ia duduk di kurisnya.

Entah kenapa perasaan takut yang sebelumnya kurasakan kini berganti dengan perasaan tegang, aku merasa beliau tidak akan mengadukan perbuatanku kepada pihak akademik tapi sebagai gantinya dia pasti akan menghukumku, tapi hukuman apa itu aku juga tidak mengerti.

Ustadza tersebut menutup pintu ruangan dan kemudian 'kleek... kleeek...' Kurasa pintu ruangannya terkunci.

"Nama kamu Radityakan? Kamu adik iparnya Ustadza Nadia?" Tanyanya, aku mengangguk, tidak aneh bagiku kalau banyak orang yang mengenalku walaupun Ustadza yang satu ini tidak mengajar di kelasku.

"Oh iya, nama Umi Erlina...!" Ujarnya sambil menyodorkan tangannya.

Aku ragu menyambut uluran tangannya, jadi kuputuskan untuk menungkup kedua tanganku di depan dada, mengingat dia seorang perempuan yang yang harus aku hormati.

"Gak perlu sok alim gitu." Katanya cukup pedas.

Aku memberanikan diri menyaliminya, bahkan aku mencium punggung tangannya, aromanya jemarinya terasa wangi dan sangat halus, ciri khas seorang wanita jilbaber pada umumnya, yang memang kulitnya sangat terjaga. Jangankan terkena matahari, bersentuhan dengan lawan jenis saja sangat jarang mereka lakukan.

Ustadza Erlina duduk diatas mejanya, membuatku cukup kaget melihat caranya yang agak tidak sopan, mengingat statusnya sebagai Ustadza.

"Tadi kamu ngapain ke wilayahnya Santri wati?"

"Aku mau nyari Ustadza Nadia Umi." Jawabku berbohong.

"Jangan berbohong, tadi Umi lihat kamu menemui Clara, bahkan kalian sempat berbicara, apa kalian pacaran?" Tanya Ustadza Karlina, duh... pertanyaan ini membuatku bingung antara ingin berkata jujur atau tidak.

Aku menggeleng pelan. "Tadi aku cuman bertanya soal keberadaan Ustadza Nadia." Jawabku gugup, semoga saja Umi Erlina percaya padaku.

"Kan sudah Umi bilang, Umi gak suka kalau kamu berbohong. Atau kamu mau masalah ini Umi aduhin ke akademik? Kamu bisa di keluarkan dari sekolah ini, kamu pasti masih ingin sekolah di sinikan? Jawab dengan jujur." Katanya dengan suara yang pelan, tapi sangat dalam dan menusuk.

Aku tertunduk sesaat, sebenarnya aku ingin mempertahankan kebohonganku tapi entah kenapa, aku merasa Ustadza Erlina tidak dapat kubohongi. Rasanya.percuma kalau aku terus berbohong, bisa-bisa dia akan mengaduhkan masalahku keakademik.

Kuangkat kepalaku sehingga aku dapat melihat wajahnya, kemudian ia tersenyum, dan senyuman itu entah kenapa membuatku tersihir.

"Maaf Umi, iya aku pacaran dengan Clara!"

"Na gitu dong jujur! Umi juga perna muda kok, jadi wajar kalau di usia kamu ini mulai suka dengan perempuan." Jelasnya, membuatku semakin yakin kalau Ustadza Erlina berbeda dengan guru-guru lainnya.

"Terimakasih Umi."

"Tapi cara nekad kamu itu salah, coba kalau ada Ustad atau Ustadza lain yang melihat, bisa saja kamu di hukum sangat berat, kemungkinan besar kamu di keluarkan. Yang malu nanti bukan hanya kamu atau kedua orang tua kamu, tapi juga menyangkut nama baik Ustad Jaka dan teman Umi Ustadza Nadia. Seharusnya kamu sudah tau itu." Jelasnya panjang lebar, aku hanya mengangguk mendengarkan nasehatnya, lebi baik di ceramahi dari pada di aduin ke akademik.

"Iya Umi maaf."

"Pacaran juga ada batasnya loh." Lanjutnya.

"Iya Umi, aku akan jaga batasannya agar tidak melakukan hal yang tidak di inginkan." Jawabku, yang kini bisa tersenyum.

"Yakin? Umi gak percaya, kalau di lihat dari muka kamu, pasti sudah biasa pacaran. Ayo jujur perna ngapain aja sama Clara selama pacaran sama dia?" Katanya, aku nyengir kuda mendengar pertanyaannnya.

"Cuman pegang tangan aja sama cium tangan doang kok Umi." Jawabku malu-malu.

"Iya udah, tapi ingat ya jangan sampe berbuat zina, ketemuannya juga di kurangin."

"Siap Umi..."

"Semoga kalian habis ini baikan ya, jangan marahan lagi."

"Eh..." Kataku bengong.

"Sudah sana keluar..." Usirnya.

Aku segera balik badan, ternyata Ustadza Erlina memang baik, mungkin karena ia mengenal Kak Nadia. Mending pulang nanti aku cerita dengan Kak Nadia soal Ustadza Erlina.

-----------

"Adeeeeek...!"

Aldi mati kutu, ia tidak bisa lari lagi ketika Kak Popi tiba-tiba menghampirinya membuka pintu kamarnya selebar mungkin, kemudian di membuka kamarnya dan menarik Aldi masuk kedalam kamarnya.

Popi mengambil selimut dan menutupi tubuhnya dengan selimut, sementara Aldi masih berdiri di depan Kakaknya.

"Benerin tuh celana kamu." Kata Popi.

"Iya Kak." Buru-buru Aldi merapikan kembali celananya, dia lebih merasa sangat malu ketimbang rasa takutnya.

"Semenjak kapan kamu suka ngintipin Kakak."

"Ba... baru ini kok Kak, itu juga gak sengaja Kak, tadi kamar Kakak terbuka, niatnya tadi mau ngagetin Kakak, eh gak taunya Kakak lagi ganti pakaian." Jelas Aldi berbohong, mukanya merah padam menahan rasa malunya.

"Terus... karena liat Kakak ganti pakaian, kamu jadi ngintipin Kakak sambil coli gitu?"

"Maaf Kak."

"Sudah sana keluar, Kakak gak nyangkah kamu bisa seperti ini terhadap Kakak, padahal kamu itu Adik kandung Kakak, jangankan mau ngelindungin Kakak, ini kamu malah sengaja mau ngejahatin Kakak." Mendengar ucapan Popi, Aldi menjadi semakin merasa sangat bersalah.

Tapi mau bagaimana lagi, Kak Popi memang sangat cantik dan menggoda, seperti saat ini, walaupun hati Aldi menolak, tapi matanya tak mau lepas menatap paha mulus Kakaknya yang terekpose, karena selimut yang di kenakan Popi tak mampu menutupi paha mulusnya.

Bagaimana dengan Popi? Tentu Popi juga sadar kalau sedari tadi Adiknya sering kali melirik kearah paha mulusnya.

Bukannya marah Popi malah terangsang, apa lagi beberapa hari yang lalu, sahabatnya Ashifa perna bercerita kalau ia perna menggoda Santri yang sedang mengintipnya ketika ia sedang mandi, bukannya marah, Ashifa malah sengaja menggoda pengintip tersebut dengan membiarkan orang itu terus melihat ia mandi hingga selesai.

Dan sekarang entah kenapa, ia ingin membiarkan Adiknya menikmati keindahan tubuhnya, tentu dengan cara berpura-pura tidak tau, dan tetap menjaga wibawanya sebagai seorang wanita yang punya harga diri.

"Tolong maafin Adek Kak."

"Kamu minta maafnya kayak gak ihklas gitu." Ujar Popi dengan suara gemetar menahan birahinya.

"Terus Adek harus gimana dong Kak?"

"Sungkem kek, tunjukin dong kalau Adek emang bener-bener ngerasa bersalah, jangan cuman di mulut aja, tapi ada usahanya juga." Kata Popi dengan nada tinggi.

Tanpa di minta dua kali, Aldi langsung berlutut di hadapan Kak Popi, dengan harapan bisa di maafkan.

"Ci... ciuuum Kaki Kakak." Perintah Popi.

Aldi segera mengangkat kepalanya, dia sangat kaget mendengar permintaan Kakaknya. "Gak mau Kak, jorok banget si..." Kesal Aldi sambil membuang muka.

Bagi Aldi permintaan Kakaknya sudah terlalu kelewatan, dia mau meminta maaf sambil bersejut, tapi dia tidak mau kalau harus mencium kaki Kakaknya, apa lagi dia tidak tau seberapa bersih kaki Kakak kandungnya.

"Ya sudah, kalau kamu gak mau... sekarang mending kamu keluar aja dari kamar Kakak." Ujar Popi kali ini dia benar-benar sangat marah, karena penolakan Aldi membuat harga dirinya berasa di injak-injak oleh Adiknya.

"Ya uda aku keluar." Kesal Aldi, kemudian dia segera berdiri dan pergi meninggalkan Kakaknya.

"Mulai sekarang jangan perna lagi ngomong sama Kakak, dasaaar Adek gak tau...." Braaaak.... terdengar suara pintu yang di banting keras oleh Aldi.

"Adeeeeeeekkk....!"

-------------------------------------

Setibanya di rumah aku berusaha mencari Kak Nadia, di mulai dari kamarnya, terus kedapur, hingga kebelakang rumah, tapi aku tetap tidak menemukannya. Kemana perginya Kak Nadia? Jangan-jangan dia memang belum pulang.

Akhirnya kuputuskan untuk kembali kekamarku dan berganti pakaianya. Selesai berganti pakaian aku mendengar suara pintu terbuka, kupikir itu pasti Kak Nadia. Segera aku keluar kamar, aku berjalan mengendap-endap menuju kamar Kak Nadia dan hendak mengagetkannya, perlahan kudorong pintu kamarnya.

"Kaaaaaa...."

Buuuuukkk... sebuah boneka mendarat tepat di wajahku tanpa bisa aku hindari.

"Radiiiiiiittttt....."

Siaaaaaaaalll....
Aku segera menutup kembali pintu kamar Kak Nadia, saat mengetahui siapa yang ada di dalam kamar Kak Nadia.

Sesampai di kamarku, aku langsung menutup dan mengunci pintu kamarku. Entah kenapa aku selalu saja ketiban sial setiap kali membuka pintu, baik itu pintu kamar tidur, ataupun pintu kamar mandi. Tapi ngomong-ngomong, ngapain lagi dia kesini, padahal dia sudah tidak di butuhkan lagi.

---------------------

Radiiiittt jahaaaat.... Radiiiit Nakaaal.... Radiiiit mesuuum... Ria benci Radit, kenapa dia selalu ceroboh langsung membuka pintu gitu aja, bukannya mengetuk terlebih dahulu.

Ria mendumel kesal sambil membenamkan wajahnya diatas bantal milik Ustadza Nadia.

Dia marah, kesal, tapi juga malu, karena untuk kedua kalinya Raditya melihatnya dalam keadaan setenga telanjang, hanya mengenakan pakaian dalam saja. Padahal Raditya yang dulu ia kenal tidak semesum ini, tapi kenapa sekarang Raditya bisa jadi semesum ini kepadanya.

"Awas aja, nanti aku bakalan aduhin sama Umi Nadia." Katanya berujar sambil memajukan bibir imutnya, membuatnya terlihat begitu lucu dan menggemaskan.

Kreeaaaak.... (Pintu di buka)
"Ria..."

Gadis itu langsung beranjak duduk saat mendengar suara Ustadza Nadia yang baru saja pulang.

"Baru pulang Umi?" Tanya Ria.

"Iya sayang, tadi Umi ada rapat sebentar." Jelas Nadia, kemudian dia mengambil pakaian di dalam lemari.

"Kalau begitu Ria keluar sebentar ya Umi."

"Loh, mau kemana?" Tanya Nadia.

"Umi mau ganti pakaiankan? Ria mending keluar aja dulu Umi." Jelas Ria, Ustadza Nadia hanya tersenyum menanggapi kepolosan murid kesayangannya itu.

"Gak perlu keluar, di sini aja, kitakan sesama wanita kebapa harus malu, apa lagi kamu sudah Umi anggap seperti Adik sendiri." Jawab Nadia melarang Ria untuk pergi, keluar dari kamarnya karena ia merasa tidak masalah kalau harus berganti pakaian di depan Murid kesayangannya.

Ria mengurungkan niatnya, kini perhatiannya fokus kearah Ustadza Nadia yang mulai membuka pakaiannya satu persatu. Di mulai dari kerudung, hingga pakaian kerjanya dan menyisakan pakaian dalam yang melekat di tubuh Ustadzanya.

Walaupun Ria seorang wanita, tapi ia sangat takjub melihat kemolekan tubuh Ustadzanya itu, kulitnya putih dan payudarahnya sangat kencang bersembunyi di balik branya yang berwarna merah mudah. Belum lagi paha Umi yang putih mulus dan masih sangat kencang.

Karena merasa risih melihat tatapan Ria, Nadia secepat mungkin mengenakan daster panjangnya dan kerudung santai berwarna putih. Walauapun pakaian yang di kenakan Nadia sangat sederhana, tapi ia terlihat seperti wanita berkelas.

"Umi, malam ini kayaknya Ria gak perlu nginep ya?" Ujar Ria memecah kesunyian.

"Kenapa?"

"Aku risih ada Radit." Jawab Ria, dia kembali teringat bagaimana di kedua pertemuan terakhir mereka selalu terjadi kejadian yang sangat memalukan.

"Kok bisa? Bukannya dulu kamu perna cerita kalau sebenarnya kalian sudah saling kenal. Bahkan dulu kalian sangat dekat sekali"

"Iya itu udah lama banget Umi, waktu kami masi sd, Radit aja kayaknya uda lupa." Jelas Ria, dia merasa sangat kecewa dengan sikap Radit yang dengan mudanya melupakan dirinya.

"Nanti Umi bilangin ke Radit biar dia ingat."

"Kok di kasi tau Umi, biarin aja Umi nanti dia juga tau sendiri."

"Hahahaha... kamu malu ya? Ya udah Umi akan tutup mulut soal masa lalu kalian, jadi kenapa kamu bisa merasa risih dengan adanya Radit di rumah." Tanya Nadia, dia duduk di samping Ria yang sedang memeluk bantal dengan sangat erat, seolah tak ingin melepaskannya.

Ria mulai bercerita tentang kejadian tadi siang saat Raditya tiba-tiba masuk kedalam kamar, padahal saat itu ia sedang berganti pakaian sama

Entah kenapa mendengar cara Ria bercerita tentang kejadian tadi siang, membuat Nadia malah tertawa, apa lagi melihat raut wajah Ria yang manyun, dia terlihat sangat lucu sekali, dan Nadia sangat paham sikap malu-malu kucing Ria menandakan kalau gadis ini menaruh hati terhadap Adik iparnya.

--------------------------

Tok... Tok... Tok...
"Dek...!"

Aku segera bangun dan membuka pintu kamarku, kulihat Kak Nadia tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, aku tersenyum kecut.

"Rianya masi ada Kak?" Tanyaku.

"Kenapa kamu tanya Ria? suka ya?" Aku mendengus kesal.

Kak Nadia masuk kedalam kamarku, lalu dia duduk di tepian tempat tidurku. Aku menarik kursi belajarku, dan duduk di depannya. Kalau di lihat-lihat Kak Nadia memang sangat sempurna, mata sipitnya yang indah dan bibirnya yang seksi membuatku tak ingin berpaling darinya.

"Aku lebi suka Kakak." Jawabku.

"Dasar gombal."Katanya sembari tertawa renyah.

Aku bangkit dari tempat dudukku, lalu duduk di sampingnya, kelingkarkan tangan kananku di pinggangnya yang ramping, tidak ada penolakan sama sekali dari Kak Nadia, bahkan ia menyandarkan kepalanya di dadaku.

Kebelai kepalanya, lalu kekecup lembut kepalanya penuh rasa kasi sayangku kepadanya.

"Tapi Kakak sangat mendukung kalau kamu pacaran sama Ria, dia itu gadis yang baik, Kakak pikir dia cocok denganmu." Jelas Kak Nadia, aku hanya tersenyum mendengarnya, aku tidak ingin berdebat dengannya.

Entah siapa yang memulai lebih dulu, tiba-tiba bibit kami berdua sudah saling menyatu, saling melumat dan membelit lidah satu sama yang lainnya. Tangan kananku kuletakan diatas payudarahnya, kemudian aku meremasnya perlahan tapi sangat kuat, membuat Kak Nadia mendesah lirih.

Tak mau kalah dariku, dia membuka resliting celanaku, lalu menyusupkan tangannya kedalam celanaku, dia menggenggam penisku, mengocoknya perlahan membuatku merasa kegelian bercampur rasa nikmat.

Harus kuakui belaian tangannya, sangat memanjakan juniorku yang sudah berdiri tegak.

Kulepas bibirku, lalu kusingkap kerudungnya dan aku mulai menjelajahi lehernya yang jenjang, sementara tanganku berusaha menarik keatas dasternya. Tak begitu sulit bagiku melepaskan dasternya, hingga kini di hadapanku, Kak Nadia hanya mengenakan pakaian dalam berwarna merah muda.

"Ssssttt.... Adeeek!" Kak Nadia mendesis, ketika tanganku menyusuk kebali cup branya, kembali kuremas-remas payudarahnya yang kenyal.

Mungkin karena sudah tidak tahan lagi, Kak Nadia melepas branya hingga kini payudarahnya terbebas dan aku semakin leluasa bergerilya diatas payudarahnya.

Ciumanku di lehernya berpindah kebawah, kini sasarannya adalah payudarahnya, kuhisap kasar payudaranya, sambil sesekali aku menyentil puttingnya dengan ujung lidahku, sementara tanganku memelintir putting yang satunya lagi, bahkan aku menarik-nariknya pelan.

"Aaaauuww.... Aaaaa.... Aaaaahkk...."

Tangan kiriku bergerak kebawah, kubelai paha mulusnya, lalu kugesek pelan bibir vagina Kak Nadia dengan jari telunjukku di luar celana dalamnya.

Kurasakan celana dalam Kak Nadia sudah amat basah, sepertinya dia sangat menikmati permainanku.

"Aaaaaadeeeek.... Aaaahkk.... eeenak bangeeet Dek... Ooooo.... Ooooo.... Kakak gak kuat Dek." Ceracaunya semakin tidak jelas dan membuatku semakin bersemangat.

Kuhentikan semua aktivktasku, aku berlutut di hadapannya, kemudian kutarik lepas celana dalamnya. Dan astaga... ternyata Kak Nadia telah mencukur rambut kemaluannya hingga botak, dan aku dapat melihat jelas belahan bibir vagina Kak Nadia yang sangat menawan tanpak begitu licin.

"Kamu sukakan Dek?"

"Eh... iya Kak, memek Kakak jadi makin menggemaskan sekali, bersih... indah sekali." Pujiku jujur, mengakui keindahan vagina Kak Nadia.

"Kalau begitu ayo di mulai, jangan di liatin terus."

Aku mengangguk, lalu Kak Nadia mengangkat kedua kakinya, menekuk dan meletakan kedua kakinya diatas tempat tidurku dengan posisi mengangkang, sehingga belahannya merekah memperlihatkan lubang vaginanya dan clitorisnya yang sebesar biji kacang tampak malu-malu mengintip diantara lipatan bibir vagina bagian atas.

Aku langsung menciumi bibir vaginanya, menjulurkan lidaku menggesek-gesek clitotisnya, dan kemudian clitorisnya kuhisap dan kugigit dengan bibirku.

Jariku juga tidak mau diam, kubelai bibir vagina Kak Nadia, lalu dengan kedua jariku, aku memasukan jariku kedalam liang vaginanya, lalu kutusuk masuk keluar dengan tempo perlahan sambil menghisap clitorisnya.

"Aaampuuuun Deek... Uuhkk... Aaahkk... Aahkk..." Erang Kak Nadia, dia menjambak rambutku, mungkin dia sangat tersiksa dengan permainanku.

Tak lama kemudian, kedua paha Kak Nadia semakin erat menjepit kepalaku, dan kurasakan semburan hangat dari dalam vaginanya, menandakan kalau ia baru saja mendapatkan klimaksnya. Perlahan kedua paha Kak Nadia kembali merenggang, dengan nafas yang memburu.

"Kamu... aaahk... hebat banget sayang!"

"Ini belum seberapa Kak, nanti aku akan kasi yang jauh lebi nikmat dari ini." Kataku, berbisik di dekat telinganya, lalu kepeluk ia untuk meredahkan sisa-sisa orgasmenya

"Terimakasi sayang, sekarang giliran Kakak ya."

Kini giliran dia yang berjongkok, sementara aku duduk di tempat ia duduk barusan. Kak Nadia memantuku melepas celanaku, sementara aku membuka bajuku, memperlihatkan dada bidangku dan penisku yang kokoh.

"Jangan di buka Kak." Aku melarangnya ketika Kak Nadia hendak ingin membuka kerudungnya.

"Kenapa?"

"Gak apa-apa, aku lebih suka Kakak pake kerudung."

"Huh dasar kamu ini aneh... Ada-ada aja permintaannya." Ujar Kak Nadia, lalu dia meraih penisku menggenggamnya dan kemudian mengocoknya peahan.

"Uhkk... enak banget Kak."

Mula-mula Kak Nadia hanya mengocok penisku, tak lama kemudian ia menjulutkan lidahnya, menyapu kepala penisku dengan lidahnya yang hangat, sementara kocokannya semakin cepat dan nikmat.

Aku mulai tak tenang, nafasku mulai tak beraturan, apa lagi ketika seluruh penisku masuk kedalam mulutnya.

"Kakak... enaaak banget Kak, Aaahkk... hisap lebi dalam Kak." Erangku sambil membelai kepalanya yang masi tertutup kerudung santainya.

Di kulum oleh wanita berkerudung seperti Kak Nadia rasanya begitu nikmat sekali, apa lagi sesekali aku dapat melihat senyumnya yang nakal, membuatku tanpa sadar malah ikut menekan kepalanya.

Semakin lama, aku semakin lepas kendali, kini aku yang menggerakan kepalanya maju mundur, membuat beberapa kali Kak Nadia tersedak ketika penisku menabrak tenggorokannya, tapi entah kenapa aku mendadak tidak perduli, aku terus menggerakan pinggulku maju mundur.

"Aaaa... enak bangeet Kak."

Kak Nadia menggapai tanganku yang sedang memegangi kepalannya, tapi dia tak mampu melepaskan tanganku yang terus menekan kepalanya, menggerakan kepalanya maju mundur, melesatkan penisku jauh kedalam tenggorokannya.

"Anjiiiing gue mau keluaar."

PLOOOPPPP.... PLOOOPP... PLOOOPPP...
Aku memompa penisku semakin cepat di dalam mulutnya, aku sangat terangsang merasakan mulutnya yang nikmat.

Dan dalam hitungan dua menit, aku memuntahkan lahar panasku kedalam mulutnya. Kak Nadia langsung memberontak, dan melepaskan diri dariku. Dia terduduk di lantai dengan muka memerah, dapat kulihat sisa-sisa spermaku di sela bibirnya.Beberapa kali ia terbatuk karena tersedak spermaku yang tadi aku tumpahkan kedalam mulutnya.

Aku baru tersadar ketika orgasmeku benar-benar meredah. Segera aku menghampiri Kak Nadia.

"Maaf Kak." Kataku sambil merangkulnya.

"Kamu mau membunuh Kakak ya." Bentaknya marah, aku tertunduk lesu. "Kakak gak suka kamu kasar kayak gini." Sambungnya sambil berusaha melepaskan pelukanku.

Lalu dia berdiri memandangku marah, bahkan saat aku ingin menyentuhnya, Kak Nadia menepis tanganku.

"Maaf Kak Tadi aku..." Dia berbalik membuka pintu kamarku.

Braaak.... Kak Nadia membanting pintu kamarku, dia pergi begitu saja dari dalam kamarku, bahkan dia tidak sempat mengambil kembali pakaiannya.

Aku tertunduk lesu, sial... gara-gara aku tidak bisa mengontrol nafsuku, sekarang Kak Nadia sangat marah kepadaku. Apa yang harus aku lakukan sekarang. Aaaaaarrrrttt... Siaaaal!

Kuhempaskan tubuhku diatas tempat tidurku, mengutuk kebodohanku yang membuat hubunganku dengan Kak Nadia berantakan, sekarang aku tidak tau apakah Kak Nadia akan memaafkan atas perbuatanku.

"Eehhmmppp...!"

Reza memeluk erat tubuh Irma, kedua tangannya bergerilya meremasi bongkahan pantat Irma yang sekal, sementara bibirnya dengan liar memanggut bibir Irma, dia menghisap dan mengulum bibir Irma dengan sangat bergairah, seolah ia sudah lama tidak menikmati bibir Irma, padahal hampir setiap hari ia menikmati tubuh Istri sahabatnya itu.

Sementara Irma sendiri seperti biasanya tak berdaya berada di dalam pelukan Reza, seorang predator pemangsang wanita.

Sambil berciuman Reza mengangkat sebela kaki Irma, kemudian dia melesatkan penisnya kedalam liang senggama Irma, dia mengocok dengan ritme yang perlahan sementara ciumannya perlahan turun menghisap leher Irma.

Tubuh Irma menggelinjang di dalam dekapan pria lain yang bukan Suaminya, dia mendesah semakin kencang tatkalah kocokan penis Reza semakin berutal menghujami vaginanya.

"AAAAAHHKKK.... PELAAAN-PELAAAAN... AAAAAHKK... AAAHKK.... AAAAHKK.... OOOOOHHK...."

PLOOOOKKK.... PLOOOOKKK..... PLLLLLLOOOOKKKK..... PLOOOOOOKKKKK.... PLOOOKKK... PLOOOOKKK....

"Anjiiiiiiiing....."

----------------

Seperti yang sudah kami sepakati bersama, aku bersama ketiga sahabatku berkumpul di asrama, tepat jam sebelas malam, setelah kami menentukan jalan yang akan kami tempuh yang memakan waktu lebi lama, kurang lebih setengah jam lamanya.

Kami sengaja memilih jalur memutar karena kalau melewati jalur biasanya, kami takut nanti akan di lihat oleh Ustad atau Santri lain, bisa-bisa rencana kami malam ini akan gagal total.

Selama di perjalanan ketiga sahabatku tanpak asyik mengobrol, menilai apa yang akan mereka lihat nanti, dan tampaknya, mereka sudah tidak sabar menaton live show yang akan kami lihat nanti. Dan sementara aku lebih banyak diam memikirkan Kak Nadia yang tadi siang sempat marah kepadaku.

Pulang dari sini, aku harus bisa membujuk Kak Nadia agar ia tak marah lagi kepadaku.

Setibanya di rumah Ustad Reza, kami langsung mengambil posisi. Arman segera mengambil dua buah bangku yang menganggur tidak jauh dari tempat kami berdiri, dan rencananya bangku itu akan menjadi pijakan kaki kami, agar bisa mengintip dari pentilasi rumah Ustad Reza yang memang cukup tinggi. Kami secara teratur segera menaiki bangku tersebut.

Dan benar saja, aku yang sebelumnya tidak percaya kini sangat yakin kalau Ustad Reza mengadakan pesta sex di rumahnya bersama beberapa pegawai Madrasah, seorang santriwati yang kutahu dia adalah anak yang paling berprestasi di sekolahku, bersama Ustadza Irma yang tak lain sahabat dari Kakak Iparku, dan salah satu staf pengajar di madrasyah. Sungguh sangat sulit untuk dapat kupercaya.

Kulihat Ustadza Irma sedang berdiri bersandar di tembok, sementara Ustad Reza menghimpit tubuhnya sambil menggoyangkan pinggulnya.

"Walaupun sudah di sodok setiap hari, tapi memek kamu rasanya tetap sama saja." Ujar Ustad Reza, dia meremasi payudara Usradza Irma.

"Aauuuwww... aaaahkk... Mas enaaaak... sodok lebih dalam lagi Mas."

"Tentu sayaaaang... HAHAHAHA..."

PLOOOOOOKKKK.... PPPPLLOOOOOKKK.... PLOOOKKK.... PLOOOOOKK.... PLOOOOKK.... PLOOOKKK...

Tanpa ampun Ustad Reza menyodok habis memek Ustadza Irma, hingga terdengar suara benturan antar kelamin yang amat nyaring di telingaku.

Kulihat ketiga sahabat mulai beraksi, salah satu tangan mereka kini menghilang, bersembunyi di balik celana mereka masing-masing. Aku juga tidak mau kalah, bagaimanapun juga pemandangan yang ada di hadapanku saat ini sangat menggairahkan.

Kedua guruku itu kemudia berpagutan sangat mesrah, sementara di bawah sana selangkangan mereka saling beradu dengan irama yang menggoda.

"Nungging sayang..." Kata Ustad Reza.

Ustadza Irma segera memutar tubuhnya menghadap tembok, lalu dari belakang Ustad Reza kembali menyetubuhi Ustadza Irma, sambil menarik kerudung yang di kenakan Ustadza Irma, hingga wajahnya yant cantik bermandikan keringat mengadah keatas.

Pandanganku beralih ke Lathifa, seorang santri wati yang sangat terkenal prestasinya, dan sudah beberapa kali ia mengharumkan nama Madrasya dengan memenangkan beberapa perlombaan bergengsi.

Berbeda dengan Ustadza Irma, pakaian Lathifa masih utuh, dia mengenakan kerudung biru langit bereserta gamis yang sewarna, ia di kelilingi 3 pria sekaligus.

"Neng sudah siapkan melayani kita-kita?"

Lathifa mengangguk, dia berjongkok di hadapan ketiga pria yang sedang berdiri dalam keadaan telanjang bulat. Kedua tangannya ia gunakan mengocok dua penis sekaligus dan mulutnya ia gunakan untuk mengulum penis Pak Rozak, kepala satpam Madrasya. Sungguh aku tidak menyangkah orang yang selama terlihat baik, ternyata memiliki hati yang busuk.

Tangan-tangan kotor mereka mulai bergerilya, secara bergantian mereka membelai kepala Lathifa, meremasi payudarah Latifha.

Kulihat ekspresi yang di berikan Lathifa tampak murung, matanya menatap sayu, dengan sedikit linangan air mata. Apakah dia melakukannya karena terpaksa? Entahla... tapi kalau di perhatikan lagi dengan seksama, walaupun dia melayani mereka dengan baik, tapi ia sangat tertekan dan sangat depresi.

Secara bergantian Lathifa mengocok dan mengelum penis mereka bertiga.

Mulutnya yang mungil itu menghisap penis mereka satu persatu, membuat ketiga pria beruntung itu mendesah nikmat, meresapi nikmatnya di kulum oleh gadis muda seperti Lathifa.

"Cukup Neng, kita langsung aja kemenu utama." Ujar Dewa, dia membantu Lathifa berdiri, kemudian dia meminta Lathifa tiduran diatas meja.

Kulihat mereka bertiga kembali mengelilingi Lathifa yang sedang berbaring, lalu satu-persatu pakaian Lathifa di lepas dan hanya menyisakan kerudungnya saja. Sungguh Lathifa sangat menggairahkan dalam kondisi telanjang seperti itu.

"Ni cewek bener-bener dah keterlaluan badannya."

"Gue gak perna bosan buat ngentotin lu Neng, tapi sebelum itu, memeknya gue jilat dulu ya Neng." Ujar Dewa, kemudian dia berlutut di hadapan kedua kaki Lathifa yang terbuka lebar, tapi sayang aku tak dapat melihat bibir vaginanya.

"Kulumin dulu neng." Budi menyodorkan penisnya dan langsung di kulum oleh Lathifa.

Sementara Pak Rozak mengulum payudara ranum Lathifa yang sangat menggairahkan dan masi amat muda.

Di keroyok tiga orang sekaligus, reaksi Lathifa tetap sama, tatapannya datar, walaupun sesekali aku mendengar desahannya, tapi aku yakin dia tidak dapat menikmatinya di perlakukan kasar oleh mereka bertiga. Entah kenapa melihat kelakukaan mereka bertiga mengingatkanku dengan Kak Nadia.

Sementara itu, kulihat Ustadza Irma sedang menungging di lantai dan sepertinya ia sedang di sodomi dari belakang oleh Ustad Reza. Tidak kusangkah, wanita sealim Ustadza Irma mau di sodomi seperti itu.

"Teruuuuusss Maaass.....! Sodokkkk pantat aku Massss, lebi cepaaat lagi... Aaaaahkkk.... Aaahkk...."

Plaaakkk... Plaaaakkk.... Plaaaakk.... Ustad Reza tak segan-segan menampar pantat Ustadza Irma. "Bool kamu enak banget Ma, Aaahkkk... kamu belum pernakan di sodomi sama Suami kamu?" Ujar Ustad Reza sambil menarik kerudung Irma.

"Beluuummm... Aaaaahkk... cuman kalian yang sering menggilir pantat saya."

"Baguus... pantat kamu cuman hanya milik kami, Suamimu yang bodoh itu tidak pantas mendapatkan pantat kamu sayang. Hahahahaha...." Tawanya pecah, dia amat senang sekali.

Kembali pandanganku beralih kearah Lathifa, gadis muda itu tampak sangat tersiksa ketika Dewa menyetubuhinya, sementara mulutnya di sumpal oleh penis Budi. Entah kenapa aku yang tadi sempat terangsang, berubah menjadi amat jijik melihat cara mereka yang bermain sangat kasar terhadap Lathifa.

"Bajingaaan!" Tidak sadar, aku mengeram kesal.

Ingin rasanya aku mendobrak pintu rumah Ustad Reza dan menghajar mereka semua, tapi ini bukanlah sebuah pemerkosaan, sehingga aku merasa tidak perlu ikut campur, toh aku juga sama seperti mereka, bahkan aku menyetubuhi Kakak iparku sendiri.

Aku sudah tidak tahan lagi, kuputuskan untuk mengakhiri acara mengintip ini.

"Ustad gantian dong, gue da bosen ama pecun ini."

"Siaaal lu, udah nikmatin memek gue, pake acara bilang bosen lagi." Jawab seorang perempuan, entah kenapa aku merasa mengenal suara perempuan tersebut.

Setelah kucari sumber suaranya, aku sangat terkejur melihat Chakra yang baru keluar dari dalam ruangan yang sepertinya kamar tidur milik Ustad Reza, sambil menggendong seorang wanita yang amat sangat kukenal, karena dia adalah wanita idamanku.

Claraaaa....!

"Hahahaha.... sebentar ya saya belum selesai."

"Jangan lama-lama ya Ustad." Ujar Reza, lalu dia menidurkan Clara dilantai, dan kembali menyetubuhi Clara dengan sangat brutal.

Siaaaaal....
Aku langsung melompat turun dari atas bangku, aku merasa sangat marah melihat Clara yang merintih, mengerang di setubuhi Reza teman kelasku.

Dasar wanita murahan, aku tidak menyangkah kalau Clara begitu murahnya sehingga mengobral tubuhnya dengan pria manapun.

Aku sudah tak mau lagi melihat apa yang sedang terjadi di dalam, mendengar suara erangan mereka saja sudah membuatku merasa jijik. Aku memilih diam sambil memikirkan apa yang akan kulakukan untuk Clara yang tega mengkhianatiku.

-----------------------

Sementara di dalam rumah pesta sex terus berlanjut, Irma kini sedang melayani murid kesayangannya, ia duduk di pangkuan Chakra sambil menggoyang pinggulnya naik turun mengikuti irma.

Sementara Reza sedang menyodomi muridnya Clara, dan yang lebih tragisnya lagi adalah Latifha.

Gadis muda itu sedang di himpit oleh dua pria sekaligus, Rozak di bawah menggenjok memeknya, sementara Budi sedang menganalnya dari belakang, tanpa ada belas kasihan mereka secara bersama-sama menggenjot tubuh Lathifa tanpa ampun.

"Aauuuwwe.... Aaaaahkk.... tolooong pelan-pelan Pak... Aaahkk..... Sakiiiiitt....." Erang Lathifa, di meringis kesakitan.

"Maaf Neng, gak bisa pelan..." Jawab Budi.

"Aduuuuh... Pak sakit bangeeet! Berenti dulu." Pinta Lathifa, dia tampak sangat tersika dengan permainan mereka berdua.

PLLLOOOKKKSS..... PLOOOOOOOKKKK.... PLOOOKSS.... PPPLLLLOOOOKKKKSS........ PLOOOOOOKKKKKSS.......
PLOOOOKKK.... PLOOOOKKK.... PLOOOKK.....

Lathifa merasa matanya mulai berkunang-kunang, ia sudah tidak tahan lagi dan merasa sebentar lagi kesadarannya akan menghilang kalau kedua pria itu tetap memaksanya melayani mereka, terus-terusan menyodok vagina dan anusnya dengan sangat kasar.

Tapi seperti yang sudah-sudah, mereka terus saja menyetubuhi Lathifa, bahkan ketika kesadaran gadis itu benar-benar menghilang mereka tetap menyetubuhinya. Lathifa yang jatuh pingsan, tak bisa berbuat apa-apa terhadap tubuhnya yang tetap menjadi tempat pelampiasan mereka.

Sementara itu di atas lantai, Irma sedang duduk membelakangi Reza, pinggulnya naik turun menghentak selangkangan Reza, sementara mulutnya sibuk mengoral penisnya Dewa, dia mengulum dan terkadang menjilati batang penis Dewa.

"Satu uda kalah, sekarang giliran siapa ni? Hahaha..." Tanya Pak Roza, sambil melepaskan penisnya dari tubuh Lathifa yang sudah tidak sadarkan diri.

"Sini Pak, kita hajar Clara saja, saya sudah capek." Ajak Ustad Reza, dia mencabut penisnya dari pantat Clara.

Rozak dan Budi langsung menghampiri Clara, dia mengajak Clara berdiri lalu memeluk tubuh sintal Clara sambil melumat bibir Clara, Pak Roza mengangkat kaki Clara satu-persatu, dan melilitkannya di pinggangnya yang kekar.

Clara segera merahi kejantangan Pak Rozak, kemudian dia mengarahkannya kelobang vaginanya.

"Aaaaaaa... enaaak banget Pak!" Erang Clara.

"Hehehe... ini belum selesai Non Clara, kamu sudah siapkan sayang?" Jawab Pak Rozak, lalu dia membuka lipatan pantat Clara, dan tiba-tiba dari belakang Budi menghimpit tubuh Clara dan memasukan penisnya kedalam anus Clara.

Gadis muda itu memejamkan matanya, walaupun sudah sering di sodomi bahkan di sandwitd seperti saat ini, tapi tetap saja, dia selalu merasa deg-degkan ketika kedua lobangnya di isi penuh oleh kedua penis mereka.

Perlahan, inci demi inci, ia rasakan penis Budi menyeruak masuk kedalam anusnya.

Tubuh Clara mengeras, dia mengeram perlahan, punggungnya melengkung kebelakang, langsung di sambut Budi dengan memeluknya, sambil mencengkram kedua payudarah Clara, membuat rangsangan terhadap.Clara bertamba.

"Aaaaarrrtttt...." Clara mengerang sambil menjulurkan lidahnya.

Kedua pria itu secara bersamaan menggenjot tubuh Clara, menikmati setiap lobang Clara yang memberikan sekuta kenikmatan.

"Paaaaak... Aaaaahkk.... Aaaaaaaahhkkk...."

"Hebaaat kamu manis, Hahaha..."

"Coba kita lihat Pak, seberapa lama dia bisa bertahan." Ujar Budi sambil menggerkan penisnya naik turun, menyodok anus Clara.

"Aauuuww... enaaak Pak! Aku pasti bisa memuaskan kaliaan semuaa... Uuuhkk... sodok lebi keras Pak" Erang Clara, dia sangat menikmati sodokan kasar dari mereka berdua.

"Hahaha...!" Tawa mereka bersamaan.

Nasib Irma tak jauh berbeda dengan muridnya Clara, dia sedang terlentang di tindih oleh Dewa, yang sedang menyetubuhinya, mengaduk-ngaduk liangnya yang tiada henti mengeluarkan cairan cintanya.

Mata Irma tak betkedip melihat Clara yang sedang di sandwich oleh mereka berdua, dia benar-benar tidak menyangkah kalau Clara bisa seliar itu, tapi dia malah merasa senang melihat keliaran muridnya, dan sebaliknya ia merasa amat sedih dan merasa sangat berdosa melihat murid kesayangannya Lathifa yang tergolek tak berdaya setelah di garap habis-habisan.

"Ooooo sayaaaa keluaaaar." Pekik Dewa.

Crrrooooottt.... cccrrroooott... ccrroottt...
Untuk kesekian kalinya, rahimnya menampung sperma mereka yang bukan Suaminya.

Chakra kembali mendekati Irma setelah tenaganya kembali pulih. Dia duduk bersandar di dinding, dan meminta Irma untuk duduk di pangkuannya, dengan sisa-sisa tenaganya, Irma merangkak dan duduk di pangkuan muridnya.

Ia meraih penis Chakra kedepan bibit vagina, lalu dengan perlahan dia menekan pinggulnya kebawah, dan memasukan penis Chakra kedalam rahimnya.

"Aaaahhkk... Tuaaan!" Erang Irma tertahan.

"Cuman memeknya Umi yang buat aku tidak perna bosan ngentotinnya." Bisik Chakra, sambil membelai punggung Irma yang bermandikan keringat.

"Aaaahkk... Tuaaaaan... Aaaagkk.... nikmatin memek Umi Tuaaan... Aaaaahkkk...."

"Umi...."

"Aaaaahkk.... Aaaahkkk...."

Reza yang sedang duduk di sofa kosong tampak tersenyum puas melihat mereka semua, Reza merasa sangat puas bisa memperbudak mereka, dan dia merencanakan akan menambah lebi banyak lagi anggota, terutama kaum perempuannya.

"Diaaa... iya, aku harus dapatkan dia, Hahaha..." Tawa Reza di dalam hatinya.

Pesta sex itu terus berlanjut hingga menjelang pagi, sementara Raditya dan kawan-kawan sudah lama meninggalkan tempat tersebut jauh sebelum pesta sex itu berakhir. Walaupun mereka masi ingin menikmati live show yang mereka lihat saat ini, tapi mereka sadar, saat ini bukanlah saat yang tepat, karena mereka sadar apa yang di rasakan Raditya setelah melihat Clara yang ternyata bagian dari kelompok Reza.

Sesampainya di asrama, Raditya langsung berpamitan pulang kerumahnya.

Aku segera pulang kerumah, dengan kunci cadangan yang kubawah aku membuka pintu rumahku yang dalam keadaan gelap gulita.

Mungkin Kak Nadia sudah tidur, semoga besok pagi ia tidak marah lagi padaku.

Pemandangan yang kulihat barusan sedikit banyak membuatku terangsang, walaupun menyimpan banyak tanda tanya melihat sikap Ustadza Irma dan Lathifa, dan menyisakan rasa sakit hati, mengetahui wanita yang kucinta terlibat dalam pesta sex.

"Baru pulang?"

"Eh... " Aku menghentikan langkahku di ruang keluarga, dari dalam kegelapan aku dapat melihat seorang wanita yang sedang duduk di sofa. "Kak Nadia belum tidur?" Sapaku hanya sekedar berbasa-basi.

"Mana bisa tidur, kalau selalu kepikiran kamu." Jawabnya dengan nada jutek. "Hidupkan lampunya Dek." Aku segera menghidupkan lampu hingga terang benderang.

Kini aku dapat melihat jelas Kak Nadia yang sedang duduk di sofa, sambil melipat kedua tangannya di dada, membuat dadanya yang besar semakin membusung kedepan, membuatku bergairah. Seandainya saja Kak Nadia sedang tidak marah kepadaku, mungkin aku bisa dapat jatah secelup dua celup.

Aku duduk di samping Kak Nadia, dia langsung membuang mukanya.

Sepertinya Kak Nadia sudah tidak marah lagi, dia hanya sedikit merajuk. Dan itu artinya, aku hanya perlu membujuknya dengan perlahan agar dia tidak merajuk lagi seperti saat ini.

Aku memberanikan mengamit tangannya, tapi dia menepisnya, aku mencobanya lagi tapi kembali di tepis, dan kucoba lagi untuk ketiga kalinya, dan kali ini dia diam menerima tangannya kugenggam. Kudekatkan tubuhku, lalu tangan kananku memeluk perutnya dari samping.

"Lepasiiin."

"Gak akan, kecuali Kakak mau maafin aku!" Kataku, semakin erat memeluknya.

"Kamu minta maaf aja belum."

"Ya udah aku, minta maaf ya Kak, jangan marah lagi... soalnya kalau Kakak marah, aku jadi merasa kehilangan Kakak." Kataku memebujuknya, lalu aku mengecup pundaknnya dengan lembut.

"Lepasin..." Dia menggeliat.

Aku memeluknya semakin erar, kusandarkan kepalanya di dadaku, sementara bibirku menghujami wajahnya dengan ciuman. Kak Nadia berusaha memberontak, tapi rontahannya sangat lemah bahkan terkesan pasrah, walaupun ia selalu berusaha menghindari ciumanku kebibirnya, tapi dia sama sekali tidak menyingkirkan tanganku yang sedang meremasi payudarahnya.

Muuaahk... Akhirnya aku bisa mencium bibirnya, dan lidahku mulai menari-nari di dalam mulutnya.

Aku menghisap lidanya dengan lembut, menelan air liurnya dan memberikan air liurku kepadanya, kami berciuman sangat panas. Sementara tanganku meremas teteknya semakin kencang.

"Aaahkk... Dek!" Erang Kak Nadia.

Aku melepas ciuman dan remasanku, cukup lama aku menatap matanya yang berbinar.

"Ngambeknya di kamar aja ya Kak?" Ujarku sambil membelai wajahnya, lalu kukecup mesrah keningnya, dan secara bergantian aku mencium kedua pipinya.

"Apaan si Dek." Katanya pura-pura judes.

"Apa perlu aku gengdong."

"Gak mauuu... Aaauuww..." Kak Nadia segera melingkarkan kedua tangannya keleherku, saat aku tiba-tiba menggendongnya.

Aku mbawanya masuk kedalam kamarmya, kujatuhkan tubuhnya di atas tempat tidurnya. Aku kembali menutup pintu kamar Kak Nadia, kemudian mengunci pintu kamarnya. Kak Nadia segera menghampiriku, ia hendak membuka pintu kamarnya, tapi aku cekatan menghalanginya, kupeluk tubuhnya dengan erat sambil melumat bibirnya, sementara tanganku bergerilya diatas pantatnya yang montok.

Kugiring Kak Nadia keatas kasur, lalu kehempaskan tubuhnya kembali dan menindihnya.

"Jangan marah lagi ya Kak." Bisikku pelan di dekat telinganya, lalu lidahku menjulut menyapun daun telingannya, menghisap lembut daun telinganya.

Sementara kedua tanganku satu persatu membuka kancing piyama pakaian Kakakku, dan seperti yang kuduga Kak Nadia tidak mengenakan bra, sehingga payudarahnya langsung melompat keluar.

Aku segera mengulum payudara Kak Nadia secara bergantian, menghisap lembut puttingnya yang meruncing indah, membuat tubuhnya menggeliat nikmat, dan mendekap kepalaku cukup erat.

"Ooouuhhkkk.... Aaadeeeeek.... Aaaahhkk.... Aaahkk...."

Secara bergantian aku mengisap dan meremas payudarah Kak Nadia, membuat Kak Nadia mengerang semakin keras.

Kedua tanganku memegang kedua sisi celana tidur Kak Nadia, lalu dengan perlahan aku menarik turun celana tidurnya, menyisakan g-string hitam yang di kenakan Kak Nadia. Jilatanku kini beralih keatas perutnya, aku menjilat pusarnya, sementara tangan kananku mengelus dan merabah vagina Kak Nadia dari luar celana dalamnya yang nampak sangat basah.

Iseng kutarik keatas celana dalamnya hingga tenggelam kedalam lipatan bibir vagina Kak Nadia, sementara bibirku menciumi pinggiran celana dalam Kak Nadia.

"Aduuuuhk... Deeekkk.... ! Aaahkk.... Aaahkkk.... memek Kakak gateeeellll Dek." Pekik Kak Nadia, sepertinya ia sudah tidak sabar lagi merakasan kontolku di dalam memeknya yang gatal.

Kutarik lepas g-astringnya, lalu lidahku menjilat dan menghisap bibir vagina Kak Nadia.

Dengan cekatan aku mencari clitoris Kak Nadia, lalu kini aku memfokuskan lidahku bermain dengan clitorisnya, sementara jari telunjukku mengorek-ngorek liang vaginanya, mengocoknya dengan perlahan.

PLOOOOPPSSS.... PLOOOOPPPSS... PLOOPPSS.... PLOOOPSSS... PLOOOPPSS.... PLOOOPPS.... PLOOPSS.... PLOOOOPSSSS.... PLOOOOPP.... PLOOOPPSS....

Semakin lama aku semakin cepat mengocok vagina Kak Nadia hingga cairan cintanya membanjir semakin deras, lalu tak lama kemudian, tubuhnya menggigil hebat, kedua betisnya mengejang kaku, tatkala orgasme menghantam tubuhnya tanpa ampuun.

"Aaaaddddeeeeekkk.....!"

Tubuh Kak Nadia langsung terkulai lemas, nafasnya memburu dengan keringat yang bercucuran di dahinya. Aku berbaring di samping Kak Nadia lalu, kupeluk mesrah pinggangnya sambil menatap matanya.

Kak Nadia memang sangat cantik, dia terlihat sempurna di mataku, sungguh beruntung saudaraku bisa menikahi wanita sebaik Kak Nadia.

"Kenapa? Kepingin?" Tanya Kak Nadia membuyarkan lamunanku tentang dirinya.

"Kakak gak marah lagi?"

"Gak kok Dek, tapi lain kali mainnya pelan-pelan aja ya Dek, Kakak gak suka kamu main kasar kayak tadi siang, rasanya gak enak banget."

"Iya Kak, Maaf ya Kak." Kataku berbinar senang.

"Iya Adekku yang bandel, Kakak maafin, sekarang masukin kontol kamu ya, Kakak dari tadi siang nahan-nahan pengen di entot sama kamu." Pintanya vulgar membuatku senang bukan kepalang.

Kemudian Kak Nadia membuka pakaianku hingga telanjang bulat, dan menggenggam penisku, mengocoknya perlahan sambil menyapukan lidahnya diatas kepala penisku.

Darahku langsung berdesir nikmat, meresapi permainan lidah Kak Nadia.

Mulut Kak Nadia terbuka lebar, dia melahap penisku, sementara tangannya membelai kantung pelirku, rasanya ngilu tapi sangat nikmat.

"Cukup Kak, aku belum mau keluar." Kataku memintanya untuk segera berhenti.

Kakakku segera berhenti mengoral penisku, tapi sebagai gantinya, dia memintaku duduk bersandar dan kemudian dia duduk di pangkuanku, dia menggenggam penisku, mengarahkan penisku kedalam vaginanya yang sudah sangat licin itu.

Aaahkk... memek Kakak rasanya enak banget, ngejepit kontolku dengan sangat erat, aku sangat menyukai sensasi jepitan memek Kakak.

Dengan perlahan, Kak Nadia berhasil menelan semua batang kemaluanku hingga menubruk rahimnya. "Aaaaahkk..." Dia mendesah pelan, lalu dengan perlahan ia menggoyangkan pinggulnya naik turun di atas pangkuanku dengan ritme perlahan.

Aku meraih lehernya, lalu mendekatkan wajahku kewajahnya. Bibir kami kembali berpagutan mesrah seperti sepasang kekasih yang sudah lama tidak perna bertemu dan berbagi kasih.

PLOOOOKKK.... PLOOOOKKK.... PLOOOKK.... PLOOOKKK... PLOOOOKKK.... PLOOOKKKKKKK......

Kubuka perlahan kerudung Kak Nadia, lalu kelempar sembarangan, ku kecup mesrah lehernya, kubuat beberapa cupangan merah di lehernya.

Persyetan dengan Mas Jaka, yang terpenting saat ini aku bisa memuaskan birahiku yang sempat tertunda, dan meredahkan amarahku yang tadi sempat memuncak gara-gara melihat Clara.

"Aaaa... Adeeeeekk... Aaahkk... isep tetek Kakak Dek, Ooohhkk... kontol kamu enak bangeeet dek." Dia menyodorkan payudarahnya kedepanku, lalu aku langsung melahap payudarahnya.

Ssluuuppss.... Plooookkkkkk.... Ploooookkss.... Plokks.... Plookokk.... Sluuupsss.... Sluuupppp.... Plookk... ploook... Sluuppss.... Ploookkkkkssss.... Ploookkss....

Aku menghisap rakus payudarah Kak Nadia, sambil menikmati setiap hentakan pantat Kak Nadia yang turun naik di atas pangkuanku.

Sepuluh menit kemudian, kurebahkan tubuh Kak Nadia agar berbaring, lalu ku tindih tubuhnya, dan kulesatkan kontolku kedalam memeknya, kukocok dengan cepat memeknya yang sudah sangat licin itu.

"Aaaaahhkkk.... kamu hebaaar Deeek!"

"Kakak pasti kangenkan sama kontol aku?" Godaku, sambil memainkan kedua payudarahnya yang terguncang-guncang itu.

"Adeeeeekk.... sodok lebih cepaaat, Oooh..."

"Iya Kak, kayaak gini Kak?"

"Iyaaaa.... aaauuuwwe.... gitu sayaaaang, Ooohhkk... nikmatnya kontol kamu Dek...."

"Memek Kakak juga enak bangeeet." Erangku, tak henti menggoyang pinggulku maju mundur menghentak selangkangan Kak Nadia.

"Adek, Kakak mau keluaaar..."

"Adeeeeek juga Kak."

Crrrrooooottt..... cccrrrooottt.... seeerrr....ssssseeeerrr....
Kami secara bersamaan mencapai klimaksnya. Kurebahkan tubuhku dari atas tubuh Kak Nadia, sambil mengatur nafasku yang berat.

---------------------

Aku duduk bersandar sambil memeluk tubuh Kak Nadia yang indah, rasanya aku tidak perna bosan melihat tubuh indah Kak Nadia yang sangat menggoda. Sungguh bodoh Mas Jaka meninggalkan Istrinya yang cantik jelita di rumah sendirian.

Melihat Kak Nadia, aku jadi ingat dengan Ustadza Irma, mungkin saat ini mereka masi melakukan pesta sex di rumah Ustad Reza.

"Kakak kenalkan dengan Ustadza Irma?" Tanyaku memulai obrolan.

"Iya Kakak kenal emang kenapa?"

"Cukup dekat?" Kataku memastikan.

"Sangat dekat malahan, Kakak tau Irma luar dalam Dek, dia udah kayak saudara buat Kakak. Emangnya kenapa si Dek? Ada masalah?" Tanyanya penasaran, dia memeluk perutku dengan erat sambil menyadarkan kepalanya di atas dada bidangku.

"Gimana ya memulainya?" Ujarku bingung.

"Uda cerita aja kenapa?"

"Eehmm... Kakak tau gak hubungan Istadza Irma dengan Ustad Reza? Menurut Kakak ada yang aneh gak sih dengan sikap Ustadza Irma akhir-akhir ini." Tanyaku, karena jujur saja aku masi tidak percaya kalau Ustadza Irma yang baik itu bisa melakukan pesta sex bersama-sama seperti yang aku lihat barusan.

"Maksud kamu?"

"Jadi gini Kak, tadi pagi temenku cerita katanya di rumah Ustad Reza suka ada pesta sex, karena penasaran tadi aku sama temen-temenku sengaja datang kerumah Ustad Irma buat memastikan cerita temanku.

Dan ternyata memang benar Kak, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, Ustad Reza sedang menggauli Ustadza Irma, gak hanya mereka berdua, ada Pak Rozak, Budi dan Dewa juga, selain itu ada teman kelasku Chakra, lalu perempuannya selain Ustadza Irma, ada santriwatinya juga, Lathifa bersama Clara." Jelasku panjang lebar, sementara Kak Nadia menatapku serius, mendengarkan ceritaku.

"Kamu yakin Dek?"

"Yakin banget Kak, aku melihatnya sendiri denyan kedua mataku secara langsung." Kataku dengan serius, apa yang kutakan memang benar apa adanya.

"Pantesan akhir-akhir Irma sering menyendiri, setiap aku ajak cerita gak perna nyambung." Kata Kak Nadia, dia menggeser posisinya. "Tapi jujur Dek, Kakak ragu kalau sahabat Kakak Irma bisa berbuat seperti itu, pasti ada sesuatu yang terjadi terhadap dirinya."

"Maksudnya Kakak di paksa?"

"Iya bisa jadi, gak menutup kemungkinan kalau dia diancam oleh Reza, karena dulu Irma perna cerita, kalau Reza itu bajingan, perna sekali Reza menggoda Irma saat Suaminya sedang tidak di rumah." Jelas Kak Nadia serius, aku mengangguk pelan.

"Tapi Kak, kalau aku lihat Ustadza Irma sangat menikmati ketika di gituin sama Reza, bahkan ia yang minta-minta sama mereka."

"Yaelah Dek, Irmakan juga wanita normal, wajarlah kalau dia menikmati saat di perkosa..." Jelas Kak Nadia, tapi kalau di pikir-pikir memang benar apa yang di kantakan Kak Nadia, buktinya saja Kak Nadia juga suka lepas kendali setiap kali kusetubuhi.

"Terus kita harus gimana Kak?"

"Begini saja, nanti Kakak yang ngomong sama Irma, kalau dia melakukan itu karena suka sama suka ya kita biarkan saja, tapi kalau karena terpaksa, atau di ancam, kita wajib harus bantuin dia Dek, karena dia sahabat terbaik Kakak, kamu maukan bantuin sahabat Kakak." Ujar Kak Nadia, aku mengangguk setuju.

"Terimakasi ya Dek."

Lalu bibir kami kembali bertautan, sementara tanganku meremas kedua payudaranya.

Kupinta Kak Nadia untuk menungging, dan dari belakang kusiapkan terpedoku untuk kembali menyodok memek Kak Nadia dari belakang.

Kucengkram erat pantatnya, kemudian 'bleeas...' dengan satu kali hentakan penisku amblas kedalam memek Kak Nadia, dengan perlahan aku mulai memompa memek Kak Nadia sambil membelai dan meremas pantat Kak Nadia, aku semakin cepat menyodok memeknya.

Dan seperti biasanya, Kak Nadia mengerang, dan aku mendesah, menikmati persetubuhan terlarang kami hingga menjelang subuh.

Semenjak kejadian mengintip itu, hubungan Aldi dengan Kak Popi menjadi sangat renggang, setiap kali Aldi mencoba menegurnya ia hanya diam seribu bahasa, membuat Aldi merasa sangat berasalah, tapi di sisi lain ia merasa tidak setuju kalau harus mencium kaki Kak Popi.

Aldi menghempaskan pantatnya di atas sofa, sementara Kak Popi sedang menonton televisi sambil tiduran tengkurep.

Harus di akui Kak Popi memang sangat seksi, pantatnya memang tidak terlalu besar, tapi sangat menggairahkan, apa lagi samar-samar dapat terlihat jelas garis celana dalammya. Tak terasa pemandangan itu membuat Aldi jadi terangsang membayangkan yang ada di balik daster yang dikenakan Kak Popi.

"Apa lihat-lihat, gak perna lihat cewek cantik lagi tiduran ya? Apa mau ngintip lagi?" Katanya sinis, ucapannya cukup menohok hati Aldi, dan membuat Aldi merasa malu.

"Apaan si Kak, kemarinkan gak sengaja."

"Bohooong!"

Siaall...Umpatku kesal, memang kemarin aku sengaja mengintipnya ganti pakaian, tapikan itu juga salahnya dia, siapa suruh ganti pakaian pintunya gak di tutup rapat, akukan cowok normal jadi wajar kalau jadi tertarik untuk mengintip dirinya yang sedang berganti pakaian.

"Benaraaan Kak."

"Kakak males ngomong sama kamu, pokoknya awas ya kalau kamu berani ngintip lagi?" Ancamnya sambil menunjuk kearah Adiknya dengan wajah geram.

"Iya Kak, aku gak akan ngintip lagi kok, kemarinkan aku sudah bilang gak sengaja." Jelas Aldi memohon.

"Kakak baru mau maafin kamu, asalkan kamu mau nurutin semua yang Kakak suruh, gimana?" Tawar Kak Popi, ada-ada aja permintaan Kak Popi ini.

"Iya Kak, tapi emang mau nyuruh aku apa?"

"Pertama kamu harus minta maaf sambil mencium kaki Kakak, dan jangan berhenti sebelum Kakak menyuruhmu berhenti, kalau kamu setuju Kakak akan memaafkan kamu, dan melupakan perbuatan kamu yang sudah berani ngintipin Kakak, bagaimana? Kamu maukan Kakak maafkan kamu, dan gak marah lagi sama kamu." Jelas Kak Popi panjang lebar.

"Emang gak ada cara lain?"

"Tidak ada,.kecuali kamu mau kita musuhan terus." Ancamnya, dia menatap Adiknya tajam.

Aldi terdiam sejenak, baru beberapa hari gak saling tegur dengan Kakaknya ia sudah merasa sangat kesepian dan di hantui rasa bersalah, apa lagi kalau harus lebih lama lagi, bisa-bisa Aldi makin gusar dengan keadaan ini.

Tapi apakah Aldi harus melakukan semua yang di suruh oleh Kakaknya? Bagaimana kalau Kakaknya memnta Aldi untuk melakukan hal yang berbahaya? Ah tidak mungkin, bagaimanapun juga Popi adalah Kakaknya, tidak mungkin Popi meminta Adiknya melakukan hal yang membahayakan Adiknya.

"I... iya Kak aku mau." Jawab Aldi menyerah.

"Seriuss..." Popi beranjak dari tidurnya lalu menghampiri Adiknya yang sedang duduk di sofa. Aldi mengangguk lemah. "Kalau begitu, sekarang bersujudlah, dan memohonlah, mengakui semua kesalahan Adek." Perintah Popi, dia duduk di sofa dengan perasaan gembira, akhirnya ia bisa menaklukan Adiknya.

Aldi segera menuruti perintah Kakaknya, ia berjongkok di hadapan Popi, kemudian bersujud. Popi mengangkat kakinya sedikit, kemudian Aldi memegangi kaki Kakaknya, walaupun ragu ia tetap melakukannya. Dengan perlahan ia mendekatkan bibirnya, kemudian ia mencium Kaki Kakaknya.

Popi tersenyum lebar, dia membelai kepala Adiknya yang sedang merunduk menciumi Kakinya.

"Maafin Adek ya Kak."

"Emangnya kamu salah apa Dek?" Tanya Popi memulai sandiwaranya.

Aldi mengangkat kepalanya, ia ragu ingin mengelak atas perbuatan sebelumnya, tapi setelah melihat mata Popi, Aldi yakin kalau harus mengakui semua kesalahannya, sebelum Kakaknya semakin marah kepadanya.

"Karena sudah berani ngintipin Kakak."

"Hah... kamu serius ngintipin Kakak? Kamu nakal banget si Dek, masak Kakak kandungnya senditi di intipin." Ujar Popi pura-pura kaget, sambil membelai wajah Adiknya.

"I... iya Kak, habis Kakak cantik banget." Jawab Aldi.

"Dasar anak Nakal." Umpat Popi dengan nada yang menggoda.

"Aku di maafin gak Kak?"

"Iya, Kakak maafin, tapi kamu harus tetap di hukum biar gak nakal lagi." Ujar Popi, dia mengucek-ucek gemes kepala Adiknya.

"Loo... kok di hukum? Kan janjinya tadi di maafkan kalau aku nyiumin kaki Kakak."

"Ya sudah kalau kamu gak mau." Kesal Popi, padahal dia lagi seru-serunya berakting, tapi di kacaukan oleh pertanyaan Adiknya. Melihat Kakaknya marah, membuat Aldi kembali gusar.

Dengan gerakan cepat Aldi memegangi pergelangan kaki Kakaknya, sambil menciumi kaki Kakaknya dan memohon maaf, tapi Popi yang sudah keburu kesal, hanya diam dan tidak perduli dengan permintaan Adiknya.

Tanpa di sadari Aldi, dari belakang seseorang sedang melihatnya yang sedang memohon ampun kepada Kakaknya, bahkan orang itu mengabadikannya dengan video hp.

"Popi, kekamar Tante sebentar sayang." Panggil Tante Marni.

"Iya Tan..." Popi segera beranjak.

Dia berdiri, dan tanpa memperdulikan Adiknya yang sedang bersujud memohon ampunan darinya, dia menghampiri Tante Marni yang sudah cukup lama berdiri di belakang Aldi. Sementara Aldi tampak kaget melihat kehadiran Tante Marni.

Sebelum meninggalkan Adiknya, Popi masih sempat menjulurkan lidahnya mengejek Adiknya, bahkan ia sempat menggoda Aldi sambil menggoyangkan pantatnya.

--------

Baru saja Popi masuk kedalam kamar Tantenya, tiba-tiba saja dari belakang seseorang memeluknya dengan sangat erat, dan membawanya naik ketas kasur yang empuk. Kemudian orang itu langsung menghujaninya dengan ciuman.

"Ampuuuuuun... Aaaww....Hahaha... Aaawww..."

"Tante kangen sama kamu sayang." Bisik Marni sambil menjilati daun telinga Popi.

"Aduuuh Tante, bikin kageeet."

"Habis kamu hari ini jahat banget sama Adik kamu." Ujar Marni gemas kepada ponakannya.

"Tapi Tante sukakan, lihat aku ngerjain Adek."

"Iya sayang, Tante suka bangeeet... besok-besok kita kerjain dia lagi, lebih dar ini." Marni langsung menyerbuh wajah Popi dengan ciuman panas dan penuh nafsu.

"Terserah Tante saja, Aaahkk....!"

"Oh iya, gimana kabarnya temen kamu Asyifa? Sesekali ajak main kerumah dong, Tante kangen sama dia." Ujar Marni, sambil membuka pakaian keponakannya hingga telanjang bulat, kemudian dia juga membuka pakaiannya sendiri.

Kemudian mereka kembali berciuman dengan sangat panas, lidah mereka menari-nari saling membelit seperti ular, sementa tangan mereka menggerayangi tubuh pasangan masing-masing.

Marni mulai menjamah payudara Popi, dia meremasnya pelan sambil menyentil putting Popi yang kemerah-merahan, menghisapnya lembut penuh birahi, membuat jiwa muda Popi menggolara, nafasnya mulai terasa berat, dan di bawah sana sudah sangat banjir.

Jilatan dan ciuman Marni turun keatas perut Popi yang ramping, kemudian ia membuka kedua kaki Popi hingga bibir vaginanya menyeruak, tampak licin dan menggairahkan.

"Tanteeee.... aaakuuu mau piiiipiiss....!" Erang Popi tertahan.

"Pipisin aja yang banyak sayang." Jawab Marni, sambil menghisap clitoris Popi.

Tak lama kemudian tubuh Popi mengejang hebat, cairan cintanya keluar semakin banyak, dan tubuhnyapun melemas, menyisakan suara nafas yang berat tatkala orgasmenya berhenti, meninggalkan sisa-sisa kenikmatan.

Marni tiduran di samping Popi, sambil membelai rambut Popi yang panjang.

"Tante... terimakasi ya?"

"Iya sayang, sama-sama... CUP... Tante sayang kamu."

"Aku juga sayang Tante." Balas Popi sambil memeluk erat tubuh Marni yang bermandikan keringat.

Popi memejamkan matanya, mengingat kembali awal mula hubungan terlarangnya dengan Tante Marni, Adik kandung Ibunya. Bermula ketika Ashifa menginap di rumahnya, dan karna tergoda ia melakukan petting bersama Ashifa, dan siapa yang menyangkah, perbuatan mereka kepergok oleh Tantenya.

Tapi Tante Marni bukannya marah, ia malah ikut-ikutan petting bersama Popi dan Ashifa.

Semenjak kejadian itu, hampir setiap hari di saat ada kesempatan Marni dan Ashifa melakukan petting. Dan hubungan mereka sekian lama semakin akrab, apapun baik itu senang atau sedih, Popi berbagi cerita dengan Tante Marni.

"Sekarang giliran kamu yang muasinTante." Ujar Marni, Popi mengangguk pelan seraya tersenyum manis.

----------

Untuk kesekian kalinya, aku bertemu dengan Clara di villa ini, aku berdiri, tanganku bertumpuh di pagar villa yang terbuat dari kayu, mataku jauh memandang sungai yang tampak tenang, tapi menghanyutkan. Sama seperti kondisi diriku saat ini, diam tapi sangat marah.

Baru semalam aku melihat Clara di gilir di rumah Ustad Reza, dan hari ini aku tidak sengaja melihat Clara berduan dengan Chakra sambil berciuman.

Dasar cewek murahan, kenapa juga dulu aku bisa suka kepadanya, aku benar-benar menyesal sudah menyatakan cintaku kepadanya, sudah mengira kalau dia gadis yang baik, yang akan mejadi pendampingku besok.

"Maaf ya...!"

"Sudalah, apa yang aku lihat barusan sudah cukup.menjelaskan." Kataku, sambil meliriknya sebentar, kemudian aku kembali mengalihkan pandanganku kesungai.

"Aku tau, aku salah... tapi perasaan tidak dapat di bohongi."

"Kamu yakin, kalau kamu melakukan itu bersama Chakra karena kamu cinta dia? Bukan karena nafasu doang." Kataku pedas, sumpah aku sangat marah sekali.

"Maksud kamu? Aku bukan cewek murahan yang bisa di tiduri sama cowok manapun."

"Oh ya... tapi aku ragu."

"Terserah kamu mau ngomong apa,.dan kamu juga harus tau ya... selama ini aku mendekati dan mau jadi pacar kamu bukan karena aku cinta sama kamu, tapi karena taruhan... dan aku menang taruhan gara-gara kamu." Seperti yang aku duga sebelumnya, pasti ada apa-apanya kenapa ia mau mendekatiku.

Setelah itu dia pergi meninggalkanku, aku masih sempat melihat punggungnya sebentar, sebelum aku kembali mengalihkan pandanganku jauh keujung sungai.

Sungguh sangat di sayangkan, padahal yang kutahu dia anak yang baik dan ramah, rasanya sulit untuk di percaya melihat tingkah kesehariannya dengan sifat aslinya yang bertolak belakang. Suatu saat nanti kamu pasti akan mendapatkan balasan yang setimpal, ingat itu Clara....

---------------

Clara duduk menyendiri, matanya berkaca-kaca mengingat ucapan Raditya. Dia merasa sangat berdosa terhadap dirinya sendiri, memang benar apa yang di katakan Raditya, ini bukan cinta tapi nafsu. Tubuhnya yang menginginkan ini semua bukan hatinya, ini bukan dirinya yang sebemarnya.

Seandainya saja dulu ia tidak bertemu dengan Chakra, mungkin nasibnya tak akan seperti ini.

Chakra satu-satunya pria yang bertanggung jawab terhadap dirinya, karena Chakra yang dulu mengambil kegadisannya, dan sekarang dia memperbudak Clara menjadi pemuas nafsu, bahkan gara-gara Chakra kini ia menjadi ketagihan ingin selalu di setubuhi secara beramai-ramai.

Tak sadar matanya berkaca-kaca, ia tidak bisa membayangkan kalau sampai kedua orang tuanya tau kelakuannya selama di Madrasyah, bukannya menuntut ilmu, malah menjadi seorang pelacur murahan.

"Mbak Clara kok nangis?" Tiba-tiba, seseorang menegurnya.

"Eeh kamu Ria, gak apa-apa kok." Buru-buru Clara menyeka air matanya.

"Ada apa Mbak nyuruh aku kesini, ada yang ingin di omongin ya?" Ria segera duduk di samping Clara, walaupun ia merasa heran kenapa Clara bisa menangis, tapi ia memilih tetap diam dari pada mencari tau alasan kenapa Clara menangis.

"Begini, tadi aku di suruh Ustad Reza untuk mencari orang yang bisa main tennis meja, katanya mau di persiapkan buat lomba. Seingetku, kemarin kamukan juara tenis meja."

"Maksud Mbak, aku di minta ikut lomba?"

"Iya, kamu maukan ikut?"

"Tapi Mbak..." Ujar Ira ragu.

"Ini demi nama baik sekolah, sahabat kamu Lathifa aja ikut kok." Jelas Clara meyakinkan Ria.

"Oke deh, eehmm... terus aku harus gimana?"

"Lusa kita ngumpul bareng di rumah Ustad Reza, ada rapat kecil-kecilan gitu, nanti kamu aku hubungin lagi aja deh kapan jamnya, gimana? kamu maukan?"

"Boleeh..."

"Ya udah, kalau gitu aku balik keasrama dulu." Ujar Clara sambil menyodorkan tangannya.

Mereka bersalaman sebentar, lalu Clara buru-buru pergi meninggalkan Ria. Sekilas terlihat bibir tipis Clara menyunggingkan senyuman.

---------------

Aku segera pulang kerumah, dan ternyata di rumah ada Ustadza Irma, ia sedang menangis sambil memeluk Kak Nadia. Sepertinya Ustadza Irma sudah menceritakan semuanya tentang kejadian tadi malam. Kak Nadia memberiku kode, untuk meninggalkan mereka berdua.

Aku segera menuju kamarku, lalu kuhempaskan tubuhku di atas kasur, mataku menerawang memandangi pelapon rumahku.

Sekarang apa yang harus kulakukan? Ingin sekali aku membalas perbuatan Clara, tetapi aku tidak tau bagaimana caranya, tapi kalau di biarkan, mungkin akan semakin banyak korban seperti diriku ini. Aarr... sial!.

Tak lama kemudian, pintu kamarku terbuka, dan ternyata Kak Nadia yang masuk.

"Gimana Kak?" Tanyaku.

"Apanya Dek?"

"Soal Ustadza Irma? Kakak pasti sudah bicarakan sama beliau?" Tanyaku lagi, Kak Nadia tersenyum, lalu dia duduk di sampingku diatas tempat tidurku.

Kerangkul pundaknya, sementara Kak Nadia memeluk tubuhku sambil menyandarkan kepalanya. Perlahan kukecup mesrah kepalanya, selayaknya sepasang kekasih.

"Kasian Irma Dek? Ternyata dia diancam, selama ini dia di perkosa dan di perbudak Reza. Kalau Irma menolak, Reza akan menyebarkan video perbudakan Irma ke Suaminya. Irma gak punya pilihan lain kecuali menuruti kemauan Reza. Selain Irma, ternyata Lathifa juga di jebak." Penjelasan Kak Nadia cukup menjelaskan kenapa saat itu aku melihat ada yang aneh dari Lathifa yang tampak murung, bahkan menangis.

"Bagaimana dengan Clara Kak?"

"Pacarmu itu?" Tanya Kak Nadia.

"Bukan, tapi mantan." Jawabku agak jengkel mendengar pertanyaan Kak Nadia.

"Hahahaha... jangan marah dong sayang." Ledek Kak Nadia, lalu dia memanggut bibirku, sementara jemarinya membuka seragam sekolahku.

Aku membalas pagutan Kak Nadia, sambil memainkan lidahku di dalam mulutnya. Kami berciuman sangat panas, dan terasa semakin panas ketika Kak Nadia berhasil membuka celana hijauku, tangannya masuk kedalam celana dalamku, mencari penisku lalu mengeluarkannya.

Dia mengocok penisku dengan perlahan, rasanya nyaman dan menegangkan. Tak tahan kutarik kepalanya dan memintanya untuk segera mengulum penisku.

Lidahnya terjulur, menyapu kepala penisku, dia mengecup lembut lobang kencingku, rasanya geli sekali. Kemudian dia melahap penisku, kepalanya maju mundur mengulum dan menghisap penisku, rasanya sangat nikmat sekali.

"Uuhgkk... "

"Enakkan sayang?" Sluuurrrpp... Sluurrpp... Sluurrppss...

"Enaaak Kak, kuluman Kakak enak bangeeet, Ooo... Eehhmm... jadi gimana Kak? Apa Clara juga di paksa oleh Ustad Reza untuk menjadi budak mereka?" Tanyaku, sambil menikmati oral seks dari Kak Nadia.

"Gak tau juga Dek, tapi kalau menerut cerita Irma, Clara datang sendiri, karena kebetulan dia ternyata pacarnya Chakra." Jelas Kak Nadia.

"Sudah kuduga, kalau begitu kita harus mengaduhkan masalah ini ke Ustad lainnya, biar rumahnya di gerbek sekalian." Ujarku geram, ingin sekali aku melihat Reza dan kawan-kawannya di arak keseluruh Madrasya.

"Gak bisa gitu Dek, nama baik Ustadza Irma di pertaruhkan."

"Terus kita harus bagaimana Kak?"

"Kudengar dari Irma, katanya dua hari lagi mereka akan kembali mengadakan pesta sex, dan mereka akan membawa korban baru... Mungkin kita bisa memanfaatkan setuasi itu."

"Maksud Kak Nadia?"

"Nanti Kakak akan jelaskan rencananya... Sekarang Kakak ingin merasakan kontol kamu dulu di dalam memek Kakak." Jawab Kak Nadia, lalu dia melepaskan penisku.

Dan setelah itu kalian pasti tau apa yang akan terjadi selanjutnya antara aku dan Kak Nadia.

0 comments:

Post a Comment