AKU DAN TEMAN-TEMAN GURU
Saat itu tahun 1994, sudah lebih dari setahun aku mengajar di sekolah itu. Aku menikmati pekerjaanku, dan cepat akrab dengan semua pengajar disana, baik yang wanita maupun pria. Aku merasa teman-teman guru pria umumnya lebih senang ngobrol dan bercanda dengan aku dibanding dengan teman wanita yang lain. Mungkin karena aku termasuk yang termuda di antara guru-guru wanita dan juga tercantik (kata mereka sih).
Umurku saat itu 27 tahun. Tinggal bersama kakakku dan suaminya. Suamiku masih tinggal di Bandung menyelesaikan studinya. Saat itu anakku baru dua orang. Yang tertua perempuan umur 7 tahun dan adiknya lelaki umur hampir 2 tahun. Banyak orang yang menganggap wajahku mirip Meriam Belina. Kulit putih, rambut ikal, tinggiku 163 cm. Buah dadaku ukuran 34C. Bodiku masih kencang dan sexy, walau sudah punya 2 orang anak. Dan yang cukup menonjol adalah boncengan alias pantatku yang lumayan bohay. Tentu saja aku selalu berbusana muslimah yang sejak SMA kukenakan.
Guru-guru pria umumnya senang bercanda yang agak miring-miring ke seks kepadaku. Dan aku tidak keberatan untuk menanggapi candaan mereka. Di antara mereka terdapat dua orang yang kurasa memiliki perhatian khusus kepadaku. Yang pertama, Pak Joko, umur 46 tahun, guru olah raga, seorang yang sudah setahun menduda. Tampang Pak Joko bisa dibilang jauh dari ganteng, tapi tubuhnya sangat atletis dan cukup tinggi. Pak Joko sudah cukup lama di sekolah ini. Yang kedua, Pak Endi, umurnya lebih muda dariku, 25 tahun, bergabung di sekolah ini bareng denganku. Guru bahasa Inggris. Masih bujangan.
Boleh dibilang mereka berdua selalu ada diseputarku setiap ada kesempatan. Pak Joko lebih agresif mendekatiku, candaannya juga selalu menjurus ke hal yang berbau seks. Sedangkan Endi lebih malu-malu. Para pria di sekolah ini memang suka menggoda ke guru-guru wanita hal-hal yang berbau seks, dan itu biasa mengingat kami semua, kecuali Pak Endi semua sudah berkeluarga.
Tapi Pak Joko terasa jauh lebih intens mendekatiku melalui candaan-candaannya yang menjurus porno. Aku sendiri juga sering menimpali candaan tersebut. Mungkin karena itu dia menjadi sangat akrab denganku.
Suatu saat Pak Joko memanggilku ketika sedang berkumpul di ruang guru. Aku menoleh melihatnya menghampiriku dengan sehelai kertas yang dilipat-lipat.
“Bu Erna, coba kesinikan jempol Bu Erna,” sapanya. Aku mengernyitkan alisku, tetapi tetap kusodorkan jempol tanganku.
Pak Joko mengukur kuku jempol tanganku dengan kertas yang sudah dilipat-lipat, lalu merobeknya. Ternyata membentuk lubang di kertas tersebut. Pak Joko mengamati lubang di kertas itu.
“Wah.. Bu Erna sempit juga ya lubangnya,” katanya. Mengertilah aku bahwa tentu lubang di kertas itu dianggap sebagai ukuran lubang kewanitaanku. Kamipun semua tertawa.
Tentu saja akupun membalas melakukan hal yang sama. Mengukur kuku jempol tangannya dengan kertas yang sudah dilipa-lipat, lalu merobeknya sesuai ukuran sehingga membentuk sebuah lubang.
“Waaahhh… gede juga diameternya punyanya Pak Joko,” kataku membalas. Pak Joko cengengesan.
“Masa sih Pak… segede itu? Ah bohong kali,” kejarku.
“Gak percaya?” sanggahnya balik. Aku menggelengkan kepala, sambil mencibirkan bibirku.
“Periksa sendiri,” katanya seraya menarik tanganku kearah selangkangnya. Tentu saja aku menarik tanganku sambil memakinya. Gila!
Tetapi kemudian aku mencocokan antara ukuran lubang milikku dan diameter kemaluannya versi kedua kertas tersebut. Aku melihat ukuran lubangnya sedikit lebih besar dari lubangku.
“Wah… Gak muat nih Pak Joko. Gak jadi ah… Tadinya sih pengen nyobain,” godaku. Aku sendiri kaget atas godaanku kepadanya.
“Belum tentu loh Bu Erna. Kan kalo dah becek jadi muat,” katanya.
“Huuu ngarep. Enak aja..” ledekku… sambil berlalu ke WC guru karena kebelet pipis.
Bukan hanya candaan omongan, Pak Jokopun berani menyentuh bagian-bagian tubuhku. Awalnya, Pak Joko sering secara bercanda menggandeng lenganku, yang tentu saja segera aku tepis sambil melototkan mataku kea rah. Biasanya dia Cuma ketawa saja. Tapi Pak Joko tidak pernah jera, terusnya menggandeng lenganku setiap ada kesempatan. Akhirnya bosan menepis tangan, kadang-kadang aku membiarkannya cukup lama.
Merasa aku biarkan, lama-lama Pak Joko makin berani. Bila tidak terlihat oleh guru yang lain, dia suka menggandeng pinggangku. Lama-lama Pak Joko berani mencolek pantatku bahkan menepoknya. Tentu saja sambil bergaya bercanda. Kadang-kadang secara ‘tidak sengaja’ menyenggol buah dadaku.
Tentu saja aku berlagak marah kepadanya. Tapi entah mengapa aku tidak pernah serius marah kepadanya. Mungkin karena aku benar-benar menganggapnya tidak sengaja atau hanya bercanda.
INSIDEN WC GURU
Tempat paling sering dimana Pak Joko mencolek pantatku adalah di WC guru. Seperti sudah direncanakannya, aku selalu berpapasan dengannya ketika mau masuk WC ataupun sekeluar dari WC.
WC guru terletak di ujung kelas dekat ruang peralatan olah raga yang sekaligus gudang. Masuk ke Kamar kecil khusus guru sendiri ada pintu koboi langsung bertemu washtafel. Lalu ada dinding penyekat yang memisahkan ruang WC tersebut. Ada dua ruang WC guru.
Aku sendiri mulai terbiasa dengan keisengannya mencolek pantatku. Paling-paling aku cuma bergumam lirih, “Dasar gila.”
Rupanya merasa mendapat angin dariku, Pak Joko semakin berani. Saja.
Suatu saat begitu aku membuka pintu WC setelah pipis, Pak Joko tepat di depan pintu menghadangku.
Belum sempat aku berfikir, Pak Joko langsung merangkul pinggang merapatkan tubuhku ke tubuhnya. Secara reflek aku langsung menggunakan kedua tanganku menahan dadanya, sehingga hanya bagian pinggang kami saja yang merapat.
“Pak Joko apa-apan sih?” tanyaku.
“Pengen ngerasain meluk Bu Erna,” jawabnya sambil cengengesan.
“Lepasin ah.. jangan kelewatan becandanya,” sahutku. Bukannya melepaskan pelukannya, Pak Joko malah menyosorkan bibirnya ingin menciumku tentu saja aku menarik wajahku menjauh.
“Ntar ada yang lihat ah..,” sungutku sambil meronta. Lepas dari pelukannya aku segera keluar dari WC guru kembali ke kelas.
Kejadian serupa sempat terulang kembali sekali. Aku dapat melepaskan diri dengan mudah. Tetapi merasa aman-aman saja dengan kelakuannya terhadap Pak Joko semakin berani. Seperti hari itu.
Waktu itu begitu aku membuka pintu WC, ada Pak Joko menghadang. Karena sudah dua kali mengalami hal serupa, aku tidak kaget lagi. Tapi ternyata kali ini berbeda. Dia langsung menarik tanganku masuk kembali ke dalam WC.
Di dalam WC, Pak Joko langsung mengunci pintu, lalu kembali memeluk pinggangku. Dirapatkannya bagian pinggangku ke pinggangnya. Tangannya meremas-remas pantatku.
“Iiihhh… mau apa sih Pak Joko,” tanyaku pelan sambil memelototkan mataku mencoba menunjukkan kemarahanku.
“Mau meluk Bu Erna. Abisnya Bu Erna ngegemesin sih,” jawabnya.
“Enak aja pelak-peluk. Ada yang punya tau,” sahutku masih separuh menganggap ulahnya sebagai becandaan.
“Biarinlah… Yang punyanya jauh,” sahutnya.
“Udah ah. Ntar ada yang liat, dikiranya ngapain lagi,” jawabku sambil mencoba meronta untuk melepaskan diri dari pelukkannya. Aku berharap seperti biasa dia akan melepaskanku.
Di luar dugaanku. Pak Joko tidak melepaskanku. Malah mendorongku kea rah dinding WC. Aku terkejut beberapa saat.
Dan saat terkejut itu tiba-tiba tangan kanan Pak Joko memegang bagian kepalaku dan mendekatkan wajahnya ke wajahku. Sadar bahwa Pak Joko mau mencium bibirku, aku segera memalingkan wajah. Ciumannya mendarat di pipi membuatku geli karena kumisnya. Detik berikutnya Pak Joko telah menempelkan bibirnya di leher belakang telingaku, daerah yang lumayan sensitif buatku sehingga aku lemas dan dimanfaatkannya untuk menyudutkanku ke dinding WC Guru. Pak Joko juga menciumi leherku bagian depan. Untuknya aku memakai kerudung jadi ciumannya tidak langsung menyentuh kulit sensitifku.
“Pak Joko apaan sih..lepaskan Erna, Pak Joko.. lepasin..!”, rontaku. Aku mencoba mendorong dadanya dengan kedua tanganku sekaligus melindungi dadaku dari himpitan dadanya. Tapi Pak Joko tak mau bergeming.
“Lepasin gak… Erna teriak nih,” ancamku. Tapi sepertinya Pak Joko tahu bahwa aku tidak akan berteriak di suasana ini karena akan mempermalukan semua orang.
Dengan satu gerakan pelan Pak Joko mencium bibirku lagi. Mataku terpejam karena malu. Ciumannya terasa begitu bernafsu. Aku tak mengelak dan tidak menolak, aku pikir gak ada gunanya juga. Dia tidak akan berhenti sebelum mendapatkan apa yang diinginkan. Satu – satunya yang bisa aku lakukan adalah membiarkannya mendapatkan yang dimauinya.
Kepasrahanku membuat Pak Joko leluasa mengulum bibirku. Aku mencoba tidak bereaksi. Kubiarkan bibirnya dengan gemas melumat bibirku. Dia tak mau berhenti begitu saja, Pak Joko mengeluarkan lidahnya untuk menerobos bibirku . Lidah itu bergerak liar bagai seekor ular menggeliat, menjilat dan menusuk mencoba masuk kedalam. Lidah Pak Joko berusaha menemui pasangannya yang masih bersembunyi di dalam mulut, yakni lidahku.
Ternyata aku takmampu bertahan lama. Aku membuka mulutku, membalas ciuamannya. Langsung saja lidah Pak Joko untuk menemukan lidahku, keduanya langsung bertaut dan menarik pasangannya, berpagut bagai saling merindu. Aku tidak menduga, bahwa aku akan menerima saja malah membalas dicumbu seperti ini.
Tanpa kusadari tanga kananku sudah berpindah ke belakang kepala Pak Joko, seakan takut kepalanya menjauh dan ciuman kami akan terlepas. Aku harus berjinjit untuk mengimbangi tingginya.
"Sekarang, turunkan tanganmu," katanya, dan aku melakukannya, kali ini tanpa sepatah kata pun aku menurunkan tangan kiriku yang masih menahan dadanya. Saya pikir saya tidak mau, tetapi pada titik ini hampir seolah-olah saya tidak lagi mengendalikan tubuh saya. Dia berbicara, dan saya menurutinya seperti robot. Tangan kanannya berpindah merangkul pundakku, membuat tubuh kami semakin merapat. Tangan kirinya masih setia di pinggulku. Meremas-remas bongkahan pantatku.
Napasku menjadi cepat dan dangkal, hampir seperti anjing yang terengah-engah. Buah dadaku terhimpit dadanya. Selangkangannya merapat ke perutku. Aku pun tersadar Pak Joko sudah dilanda birahi. Walaupun aku tidak bisa melihatnya, tetapi aku merasakan perutku terganjal sesuatu yang mengeras pada bagian selangkangannya.
“Aaaahhh Pak Joko,” desahku ketika kurasa tangan Pak joko membimbing tangan kiriku ke benda mengeras di selangkangannya.
Aku mencoba menarik tanganku, tapi tangan Pak Joko menahannya. Akhirnya aku menurutinya. Memegang batang kejantanannya yang teras semakin keras di dalam celananya. Setelah yakin aku akan tetap memegang kontolnya, dia kemudian dia meletakkan tangannya di atas kemeja safariku. Tangannya meremas buah dadaku sebelah kanan. Rasanya seperti sengatan listrik melewati tubuhku, dan aku menggigil.
“Pak Joko jangan Pak,” pintaku. Tapi aku tidak mencegahnya sama sekali. Kedua tanganku punya kesibukan sendiri.
“Sssstt… Paakk… mmmppphh… pppaakk… apa sssst yang Bapak… aaaahh lakukan,” tanyaku keluar terputus-putus diselingi desahan dari bibirku di sela-sela ciuman Pak Joko. Nafasku semakin tersengal-sengal. Tangannya seperti berusaha menangkup seluruh bukit kenyal kiriku semuanya. Birahiku mulai bangkit.
"Udah Pakk… Jangan… Saya sudah bersuami..?" bisikku tersengal, ketika berhasil melepaskan ciumannya. Tapi tanganku tidak melepas genggaman di kejantanannya.
"Bu Erna tenang aja," jawab Pak Joko, "Saya sudah lama gemas pengen ngeremas."
“Aufft… udah Pak… ntar ketahuan orang?” bisikku.
“Makanya jangan berisik Bu. Biar gak ketauan yang lain,” bisiknya. Tangannya kini meraih kancing atas kemeja safariku.
“Jangan Pak.. Dari luar aja,” larangku spontan. Berarti aku tidak keberatan lagi dia meremas-remas tetekku asal dari luar kemeja. Tapi mana mungkin Pak Joko menuruti omonganku. Tangannya berhasil melepas satu kancing kemejaku dan berusaha membuka satu lagi.
Tiba-tiba…
“Bu Erna ya?” terdengar suara Bu Tuti dari luar WC. Aku terdiam bingung apakah harus menjawab atau diam saja.
“Bu Erna? Bu?” tanya Bu Tuti lagi. Kudengar dia masuk ke WC sebelah. Aku berpikir cepat. Inilah kesempatan untuk molos dari Pak Joko.
“Iya Bu,” jawabku. Segera ku dorong tubuh Pak Joko. Dan selagi dia tidak mengira, aku segera meraih slot pintu WC dan langsung membukanya. Dan keluar dari WC.
“Bu Tuti, saya duluan,” pamitku langsung keluar.
“Ehh.. Pak Joko. Silahkan Pak,” aku berpura-pura melihat Pak Joko baru memasuki WC.
Hari itu aku masih selamat dari serangan Pak Joko. Demikian juga hari-hari berikutnya, aku berhasil menghindari upaya Pak Joko, menyeretku kembali ke dalam WC.
===============
Bagian Kedua
AKHIRNYA DI DALAM GUDANG ALAT OLAH RAGA
Kira-kira sebulan sejak insiden di WC, entah kenapa sudah seminggu lebih lamanya Pak Joko tidak menggangguku di WC. Mungkin dia sudah bosan kali, pikirku.
Bukan hanya di WC. Dalam pertemuan sehari-hari juga Pak Joko berubah. Tidak ada lagi senggolan-senggolan seperti-tidak-sengaja. Tidak lagi merangkul pinggangku. Walapun aku dan dia masih suka ngobrol dan becanda Bersama.
Ada perasaan lega dalam hati ku, terbebas dari gangguannya. Tetapi ada perasaan kehilangan. Entah kenapa setiap keluar WC, aku seperti berharap bertemu Pak Joko. Aku seperti kangen akan godaannya. Kejahilannya. Remasan-remasannya. Hatiku jadi bertanya-tanya kenapa Pak Joko seperti tidak tertarik lagi padaku.
Nampaknya kerinduanku akan kejahilannya, terlampiaskan juga. Kami situ seperti biasa, aku giliran piket, gak ada jam mengajar. Menjelang akhir waktu sekolah aku menunaikan hajatku buang air kecil di WC guru. Selesai, aku keluar lagi-lagi tidak ada Pak Joko di depan WC.
Pas aku mulai melangkah meninggalkan WC, kulihat Pak Joko berdiri di ruang penyimpanan alat olah raga. Pintu ruang tersebut terbuka separuh. Kulihat Pak Joko melambaikan tangannya ke arahku. Memanggil.
“Bu Erna,” panggilnya nyaris berbisik. Pak Joko meletakkan telunjuk di depan mulutnya sebagai isyarat agar aku tidak bersuara. Pak Joko mengisyaratkan agar aku masuk ke dalam ruang tersebut.
Tentu saja aku sudah bisa menduga apa maunya Pak Joko dan seharusnya aku mengabaikan saja ajakannya. Tapi belum sempat aku mempertimbangkan, kakiku sudah melangkah sendiri ke dalam ruangan.
Oh ya hampir dua minggu aku belum disentuh laki-laki. Suamiku pulang dari Bandung dua minggu sekali hari Sabtu.
Begitu aku di dalam, Pak Joko langsung mengunci pintu dari dalam. Hatiku berdegub menanti apa yang akan dilakukan Pak Joko.
“Ada apa Pak?” tanyaku sambil menguatkan diri memandangnya.
“Kangen sama Bu Erna,” jawabnya sambil mendekat. Tubuhnya mulai merapatkan ke tubuhku. Tangan merangkul pinggangku.
Tiba-tiba otakku menagkap sinyal bahaya. Buru-buru aku berkelit mencoba ke luar ruangan. Tetapi sebelum aku bisa meraih handel pintu, Pak Joko berhasil memeluk erat pinggangku dari berlakang.
“Pak Joko apa-apaan sih?” tanyaku dengan suara pelan. Bagaimanapun aku tidak mau ada yang mendengar suaraku selain Pak Joko.
Aku meronta berusaha melepaskan pelukan tangannya dari pinggangku. Namun entah tenagaku yang kalah kuat, atau aku yang tidak terlalu bersungguh-sungguh untuk melepaskan diri.
Pak Joko semakin merapatkan tubuhnya. Pelukannya semakin erat. Dia mulai menciumin leher belakangku dan telinga yang masih tertutup hijab. Sensasi waktu-waktu lalu ketika dia menciumi leherku, mulai hadir kembali.
“Pak lepasin dong… Erna mau balik piket, nanti dicari Bu Tuti,” aku merengek pelan.
“Sebentar Bu… kangen berat nih… lama gak meluk Bu Erna,” katanya sambil terus menciumi tengkukku. Tangannya sudah berpindah ke dadaku. Meremas.
“Iihh Bapak ngaco nih.. lepasin dong..” kataku. Tubuhku mulai merinding. Ciuman –walaupun masih terhalang hijab-- dan remasannya mulai memberikan pengaruh pada diriku. Aku menangkap gelagat berbahaya pada diriku. Kali ini aku hanya berdua dengannya di ruangan terkunci.
Aku harus segera melepaskan diri dan keluar dari situ, pikirku. Akun mencoba meronta melepaskan diri, tapi sia-sia.
“Makanya cium dulu dong… udah lama gak ciuman sama Bu Erna,” sahut Pak Joko. Tangannya terus meremasi dadaku dari luar kemejaku.
“Pak udah dong lepasin Erna,” rengekku.
“Makanya cium dulu dong kalau mau dilepasin,” jawabnya. Pantatku merasa sesuatu di selangkangannya mulai membesar dan mengeras. Sementara gairahku sendiri mulai muncul. Gawat nih.. makin lama makin berbahaya, pikirku.
“Kalau udah cium udah ya,” tanyaku. Sebaiknya aku kasih cium aja, biar cepat berlalu, pikirku.
“iya,” jawab Pak Joko. Akupun membalikkan tubuh menghadapnya. Pak Joko langsung menarik bongkahan pantatku ke arahnya. Aku merasakan batangnya yang semakin mengeras di perutku. Okelah, pikirku, Cuma ciuman aja, toh kami sudah cukup sering berciuman.
Aku pasrah menutup mata menantikan bibirnya melahap bibirku. Aku merasakan nafasnya di wajahku, menandakan wajahnya sudah sangat dekat. Sedetik.. dua detik.. tiga detik.. Pak Joko belum juga menciumku. Malah tidak lagi kurasakan nafasnya di wajahku.
Aku membuka mataku dan melihat Pak Joko tengah menatap wajahku.
“Bapak pingin lihat Bu Erna tanpa kerudung,” katanya.
Aku menghela nafas sebentar lalu menarik kerudungku lepas. Juga daleman kerudungku. Rambut ikalku langsung tergerai. Aku menunduk malu. Pak Joko mengangkat daguku.
“Bu Erna cantik sekali,” pujinya.
“Cepet Pak,” kataku menahan malu. Aku ingin semua ini segera berakhir. Benarkah?
Pak Joko Membungkukkan tubuhnya. Aku berjinjit. Kali ini aku tidak memejamkan mata. Wajahnya mendekat, lalu bibirnya menyentuh bibirku. Lalu mulai melumat. Aku ingin diam saja, tapi toh sedetik kemudian aku membalas lumatannya.
Beberapa saat aku terhanyut. Tangannya meremasi pantatku. Lalu tangan kanannya berpindah ke dadaku, mulai meremas disana.
“Nngghhh…,” desahku tanpa sempat kucegah. Tertahan suaraku karena mulutku tertutup lumatannya.
Akupun tersadar. Gairahku mulai menyalah lagi. Segera kumenjauh. Mulutku terlepas darinya.
“Sudah… Pak… cukup,” bisikku sedikit tersengal. Aku mendorong dadanya. Tapi membiarkan tangannya tetap di dadaku. Wajah Pak Joko Kembali mendekat.
“Sebentar lagi… masih kangen berat… 3 menit aja,”katanya. Pak Joko mendorongku sampai pantatku tertahan sebuah meja.
Kembali Pak Joko melumat bibirku. Aku membiarkan. Membalas. Tiga menit? Berapa lama 3 menit itu? Seratus delapan puluh detik. Kalau hanya beberapa detik saja sudah membuatku mulai bergairah, apa jadinya dengan 180 detik.
Tapi toh aku membiarkannya. Aku membalasnya. Bahwa lidah kami mulai saling membelit. Kedua tangan Pak Jokos masih sibuk meremas. Kiri di pantatku, kanan di dada. Kedua tanganku merangkul tengkuknya. Membantu menahan tubuhku yang berjinjit.
Aku mulai menikmati permainannya. Tidak lagi kuhitung waktu yang berlalu. Ciuman Pak Joko mulai menjalar ke belakang telingaku, lalu turun ke leher, lalu kembali melumat bibirku sebentar sebelum balik lagi ke belakang telinga dan turun ke leher makin lama makin turun. Aku merasa dia menyupangi pangkal leherku. Biarlah, pikirku, toh ketutup kerudung.
Bibir Pak Joko berusaha turun lagi menyusuri kulitku, tapi terhalang kemejaku. Tiba-tiba kurasakan kedua tangannya berpindah tempat. Pak Joko mencoba membuka kancing kemejaku. Aku menahan tangannya.
“Jangan dibuka, Pak,” cegahku.
“Sedikit aja, ngintip dikit,” bisiknya. Akhirnya aku membiarkannya membuka dua kancing kemejaku. Belahan dadaku terkuak. Mata Pak Joko langsung melalap pangkal payudaraku menyembul tak tertutup beha. Langsung bibirnya melanjutkan perjalanannya. Pangkal payudaraku yang kenyal dilahapnya.
Aku merasa Pak Joko membuat beberapa cupang disana. Kubiarkan saja. Aku sendiri yang sudah gak bisa membendung gairahku malah mendekap kepalanya. Tangannya masuk ke dalam kemejaku. Meremas-remas tetekku yang masih terbungkus BH.
Ketika tangan Pak Joko mengusap-usap pangkal payudaraku yang tidak tertutupi BH. Meremas lembut disana. Sentuhan langsung itu benar-benar seperti mengalir kenikmatan yang luar biasa. Sementara jemari tanganku mengacak-acak rambutnya yang mulai botak.
“Aauuh Pak….,” lenguhanku akhirnya keluar juga, Ketika tangan Pak Joko menyelinap masuk kedalam cup BHku. Lenguhanku segera lenyap ketika mulutnya kembali melumat bibirku. Kedua lidah Kembali saling membelit. Saling menghisap lidah. Saling bertukar ludah.
“Udah Pak… nanti ketahuan orang,” rintihku di sisa-sisa pertahanan kesadaranku yang semakin tipis.
Tetapi bukannya berhenti, Pak Joko malah menguak behaku, sehingga menyembullah kedua bukit kenyalku. Langsung menjadi sasaran kedua tangannya. Remasan. Elusan. Juga pilinan jemarinya pada putting tetekku. Semua membuat otakku menjadi berkabut.
“Aauuff… Pak…. Ahhh,” bibirku yang mengeluarkan ceracauan gak jelas dihanyutkan gelombang nikmat yang melanda ketika mulut Pak Joko mencaplok tetek kiriku. Lalu diikuti sedotan pada putingku. Lidahnya menyapu puncak-puncak pentil susuku.
“Aaahhh… ahhhh,” sebisa mungkin aku menahan volume desahanku. Badanku sampai melengkung dibuatnya. Aku semakin menekan kepalanya ke dadaku.
“Enak ya… Bu Erna?” Tanya Pak Joko entah untuk apa. Toh dari desahan dan gelinjang tubuhku, dia pasti tahu jawabannya.
Kancing kemejaku ternyata sudah terlepas semua. Dan… tess… kait beha dipunggungku terlepas… Pak Joko melepas kemejaku yang berbahan katun diikuti behaku. Kini aku bagian atas tubuhku telanjang sama sekali.
Pertahananku runtuh. Kesadaranku hilang. Aku tidak peduli lagi bahwa laki-laki yang menggumuliku bukanlah suamiku. Bahkan bukan pacar, atau selingkuhanku. Aku tidak ingat lagi bahwa aku perempuan bersuami yang sehari-hari menggunakan hijab menutup auratku, yang kini menjadi santapan teman sekerjaku.
Pak Joko melepas kenyotan mulutnya dari tetekku. Bergeser agak menjauh dari tubuhku, untuk menggantung kemeja dan behaku. Dia tidak langsung kembali kepadaku, melainkan membuat jarak untuk memandang tubuh setengah telanjangku. Aku mendekapkan tangan menutup bukit kembarku.
“Bu Erna cantik sekali.. seksi sekali…” katanya pelan sekali. Mungkin aku sendiri tidak mendengarnya, tetapi membaca gerak bibirnya. Rasa malu menyelinap di hatiku.
Mata Pak Joko beralih ke bagian bawah tubuhku yang masih tertutup rok panjangku. Aku grogi, tentu sebentar lagi, pakaian yang menutupi bagian bawah tubuhku akan dibukanya juga. Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku hanya menunggu dia membuka rok panjangku
Ternyata aku keliru…
“Buka…. Semuanya,” perintahnya. Seperti tadi nyaris tanpa suara. Hanya gerakan bibir yang kubaca. Tapi di dalam benakku seperti suara petir yang mengelegar.
Apaaa? Dia menyuruhku menelanjangi diriku sendiri?! Tidak! Ini salah banget. Ngaco! Emang aku perempuan apaan? Dia itu siapanya aku? aku berkata dalam pikiranku. Bingung dan juga marah. Tapi itulah aku, aku hanya memandangnya sebentar. Kulihat Pak Joko sedang membuka ikat pinggangnya, nampaknya dia akan melepaskan celananya.
Aku pun melepaskan kaitan rok panjangku, lalu menurunkan resletingnya. Rok panjangku jatuh ke lantai. Lalu jari-jari sudah menyelip di ban karet celana dalamku. Kupeloroti CD ku sampai ke lutut. Aku kembali tegak dan memandangnya tepat ketika dia menurunkan celana panjangnya sekaligus CDnya.
Kulihat batang kejantanannya besar sekali. Aku yakin setidaknya panjangnya lebih dari 22cm. Dengan diameter yang sesuai. Gila! Mungkin terbesar yang pernah aku lihat. Batang kemaluannya mulai ngaceng. Belum sepenuhnya. dan keliatannya keras dengan urat-urat yang menonjol. Mataku seperti tidak bisa memandang ke arah lain, selain ke kontolnya. Terbayang kontol itu di dalam memekku.
Dengan kaki kulepas CDku sama sekali. Kini aku berdiri telanjang bulat, tak ada sehelai benangpun yang menutupi tubuhku. Dua meter di hadapanku, seorang teman sekerja sesama guru telanjang di bagian bawah, dengan kontol yang mulai mengacung. Kontol yang sebentar lagi akan menghujam ke dalam memekku. Memek seorang guru yang sehari-hari berhijab.
Aku menanti Pak Joko menghampiriku. Tapi lagi-lagi aku salah….
Pak Joko menggunakan isyarat dengan tangannya, agar aku mendekat. Akupun mendekat menghampirinya. Seorang perempuan bersuami menghampiri lelaki lain dalam keadaan telanjang bulat agar bisa dizinahi.
Pak Joko langsung kembali meremas-remas tetekku. Tangan satunya mengelus-elus kewanitaanku. Terasa cairan kemaluanku merembes keluar. Dia mengelus-elus klitorisku. Kadang memasukkan jarinya ke dalam lubangku sedikit. Lagi-lagi kesadaranku hilang terbawa gairah nikmat.
Kedua tanganku punya kemauan sendiri. Tanpa kuperintah, aku langsung menggapai ke benda di bawah perutnya. Kugenggam dengan kedua tangan, gak habis. Mungkin butuh tiga tangan. Aku mengurutnya lembut. Benda itu berdenyut-denyut semakin mengacung dan mengeras. Tambah panjang dan besar juga.
“Aaah… enak Bu Erna… teruuus…” desah Pak Joko. Batang kontolnya cepat mengeras sepenuhnya.
“Ayo.. Pak.. sekarang,” pintaku tanpa malu-malu lagi. Aku tidak lagi peduli betapa besarnya resiko ketahuan orang lain. Yang ada di benakku hanyalah menuntaskan nafsu syahwat yang sudah mengelegak dalam tubuhku. Toh Pak Joko juga sudah pengen sekali pasti.
Pak Joko tersenyum mendengar permintaanku. Dia menuntunku ke arah gulungan matras. Dibukanya gulungan itu sedikit, lalu mengisyaratkan agar aku telentang di atas bagian bersih dari matras ini. Aku segera menurutinya. Berbaring telentang dengan kedua paha kulebarkan. Menunggu. Pasrah.
Pak Joko yang mengerti apa mauku, segera mengambil posisi diantara kedua pahaku. Aku mengangkang semakin lebar. Mengantisipasi. Dengan dituntun tangan kanannya, diarahkan batang monsternya ke arah kewanitaanku yang sudah banjir.
“Aaaaaahhh….” Lagi-lagi aku tidak bisa menahan suaraku, ketika kepala jamurnya menyentuh bagian paling sensitive dari seorang perempuan. Nikmat gairahnya seperti listrik yang mengalir ke ubun-ubunku. Punggungku melengkung. Aku menutup mulutku agar tidak terlalu berisik.
“Paaak…. Ehhmmmmmppph…ahhhh”desahku tertahan tanganku sendiri.
Pak Joko tidak langsung memasuki diriku. Kepala jamurnya bergerak menelusuri celah di lembah yang ditumbuhi rambut keriting hitang. Diikuti batang kerasnya terus kearah perut menyundul daging kecilku.
“Aaaach… Ehmmmmppph… Paaak” aku memandangnya meminta.
“Sabar… Bu Erna… sebentar lagi,” Pak Joko seperti mengerti apa yang ada di benakku.
Kedua tangan Pak Joko menelusuri lutut terus turun sepanjang pahaku hingga ke selangkangan. Sementara itu pinggulnya menarik Sang Monster mundur kembali ke depan liang senggamaku. Suara mendesis seperti kepedasan dari bibirku menyertainya.
Kedua tangan Pak Joko begerak melanjutkan perjalanan melewati lembah kewanitaan. Jempolnya mengelus klitorisku. Terus lalu berhenti di atas perut.
“Sssssshhhhhhh…ehhmmmppphhh” aku tak peduli lagi apa dinding dan pintu ruangan ini mampu meredam suaraku.
Pak Joko tersenyum merayakan kemenangannya atas tubuh mudaku. Lelaki tua itu seperti tidak ingin segera membuka kado spesialnya. Lalu kembali dia memajukan pantatnya, sehingga kembali tongkat saktinya menelusuri celah yang sudah berkilat dengan cairan pelicin. Daging kecil yang paling sensitive di ujung itupun ditabraknya kembali.
“Ehmmmmpppph…. Aaaachhh” tanganku hanya bisa meremas matras.
Kembali aku memandang wajah Pak Joko. Rasanya benci sekali melihat senyumnya yang seperti menertawakan gairah berahiku yang sedang menunggu disetubuhi.
Batang kontol Pak Joko pasti sudah basah kuyub oleh cairan senggamaku. Bukti bahwa celah di lembah cantikku sudah sangat basah kuyup. Dan dia memperhatikan.
"Mmmm, sudah basah banget," bisik Pak Joko.
"Siap Bu Erna? Masukin sekarang ya” Pak Joko seperti memberi peringatan. Aku mengangguk.
“Sekarang Pak… sekarang,” bisikku berharap.
Kembali Pak Joko memundurkan pinggulnya. Menenmpatkan ujung kepala jamurnya tepat di lobang memekku. Kedua tangannya sekarang meraih kedua bukit kenyalnya yang kembar. Di remas-remasnya tetekku. Sambil diselingi memilin-milin putingnya.
Pak Joko mulai memajukan pinggulnya. Aku mengangkat punggungku agar bisa melihat sendiri bagaimana batang kejantanannya menghilang ke dalam tubuhku.
Pak Joko pelan-pelan berusaha mendorong sehingga kontolnyanya perlahan melewati bibir kemaluanku dan berani di pintu masuk ke vaginaku. Aku takut kepala jamur yang begitu besar akan menyakitiku. Pak Joko bisa melihat lubang vaginaku penuh dengan cairan pelicin saat dia berhenti pada posisi itu. Pak Joko melihatku memeriksa reaksiku sebelum meneruskan dorongannya.
Sleebsh… Kepala jamur itu mulai menerobos masuk… Aku langsung memuncak mendekati orgasme ketika kepala jamur itu berhasil masuk seluruhnya.
“Emmmppphhh… Aacchhh…,” aku menjatuhkan kepalaku ke matras. Lagi mulutku gagal menahan desahan, walaupun sudah tertutupi tangan. Pak Joko berhenti lagi.
Pak Joko tersenyum, merasakan liang senggamaku bereaksi meremas kepala kontol. Dia merasa bangga akan pengaruh kepala jamurnya pada diriku. Hanya ujungnya saja sudah membuatku terbang kepuncak.
Pak Joko mendorong lagi batang besarnya semakin masuk kedalam diriku. Kembali aku mengangkat punggung untuk menyaksikan bagaimana kontol besarnya memberikan kenikmatan terlarang kepadaku. Aku melebarkan selebar-lebarnya kakiku untuk memudahkan dia memasukiku lebih dalam.
Batang kontol yang keras itu mulai menghilang kedalam terowongan rahimku. Rasanya penuh sekali. Dengan suara seperti menyeruput, batang berjamur makin masuk makin dalam. Aku merasa lubangku dipaksa melebar. Ada rasa nyeri yang tidak sebanding dengan rasa nikmatnya. Otot-otot vaginaku menahan pelebaran itu akibatnya serasa seperti meremas batang yang menyumpal lubang surgawiku. Seperti menghisap untuk menarik lebih jauh lagi ke dalam dirinya.
Kembali aku mendesah. Tanganku mencengkeram kedua tangan Pak Joko. Kepala jatuh kembali ke matras. Dia menyeringai dan dengan senang hati memenuhi tuntutan tubuhku. Dia mendorong masuk sedikit lebih dari separuh ke dalam. Kali ini dia sendiri tidak mampu menahan nikmat akibat gesekan batang kontolnya dengan dinding memekku.
"Aaaahhh… enak sekali memek Bu Erna. Siap untuk merasakan lebih dari yang selama ini Ibu dapatkan dari suami?" tanyanya
"Ini sudah lebih dari yang pernah Erna rasain. Punya Bapak gede sekali," jawabku dengan nafas yang tersengal.
Tiba-tiba Pak Joko menarik kontol seperti mau dikeluarkan.
“Jangan..” panik aku menahan pinggulnya. Takut dia tidak jadi melanjutkan perzinahan ini. Pak Joko menarik seluruh batang kontol kecuali kepalanya.
Tapi kemudian aku menjerit tertahan, saat dia mendorong lebih jauh dari semula di dalam dirinya lagi.
“Auuhhh Paak enaak banget… gede banget,” celotehku tak keruan. Aku merintih saat sensasi yang menambah kenikmatan yang dia dapatkan dari tongkat bercinta Pak Joko yang luar biasa. Kepalaku menggeleng-geleng ke kiri dan kanan
"Nikmat sekali… Sesak banget" rintihku berulang-ulang seperti ingin memberitahukannya pada seluruh isi gudang ini. Aku gemetar seperti mengalami dari kesenangan bercinta pertama kalinya. Aku merasa seperti perawan.
Pak Joko berhenti sebentar untuk menciumku. Aku membalas ciumannya seperti orang kehausan berebut air dari botol. Lalu kembali dia menarik batang kontolnya, dan ini digunakannya untuk menghisap tetekku. Aku meremasi rambutnya.
Pak Joko menciumku lagi, lalu mengangguk seperti memberitahukanku bahwa dia akan masuk sepenuhnya. Dia mendorong sepenuhnya sisanya. Aku merasa benar-benar terisi, tubuhku menggeliat dalam ekstasi di sekitar kemaluan yang luar biasa. Aku seperti berpindah ke dimensi lain. Yang sepenuhnya hanya ada kenikmatan gairah hewaniahku.
"Aargh!” aku merasa sedikit saakit yang tak kupedulikan. Kakiku semakin diregangkan sejauh mungkin dan pinggulku otomatis terangkat menyambut tusukkan kontolnya. Vaginaku bergesekan dengan kontol Pak Joko dan begitu seret walaupun cairanku melumasi sekitarnya.
Tuhan, aku membenci Pak Joko dan aku benci kontolnya yang besar. Yang sebentar lagi menghantarku pada puncak kenikmatan orgasme hanya dengan beberapa genjotan.
"Ooooh," suara Pak Joko melenguh. Sepertinya dia juga tengah dilanda kenikmatan yang sama. Vaginanya menjepit di sekitar kemaluannya yang gagah saat aku semakin dekat dengan orgasme, membuatnya kewalahan.
Dan ketika Pak Joko berhasil membenamkan seluruh batangnya. Selangkangannya menindih klitorisku, aku benar-benar hampir mencapai puncakku. Ada bagian-bagian yang sebelumnya tidak pernah tersentuh sekarang diperawaninya. Aku bahkan menarik pantatnya lebih menekanku lagi, seakan-akan ingin membenamkan kontolnya lebih dalam lagi.
Pak Joko sekarang memutar-mutar pinggulnya. Seakan-akan ingin mengaduk rahimku dari dalam. Mata kami saling bertatapan.
“Erna udah mau keluar… Pak… shshiiishsh,” bisikku.
Pak Joko tersenyum, seakan mengejekku yang terlalu cepat klimaks. Ya, ini mungkin klimaksku yang tercepat. Lalu dia mulai menggenjotku pelan. Setiap genjotan mengantarku makin ke puncak.
“Aargh, Pak… eemmpph.. dikit lagi.. Pak,” ceracauku.
“Memek Bu Erna masih sempit juga…. Enak banget,” balas Pak Joko.
“Iya, Pak… Kontol Bapak juga enak banget… terus Pak… dikit lagi,” balasku
Dan akhirnya klimaks itu datang. Melontarkanku ke puncak ekstasi seksual. Aku mencengkeram erat pantatnya. Menarik ke arah selangkanganku sedalam-dalamnya. Pak Joko berhenti menggenjotku.
“Aaarghgh… shish ahh… uhhh… Erna keluaaaar,” jerit tertahanku di tengah badai orgasme. Seluruh tubuhku mengejang. Punggungku terangkat.
Pak Joko memberikan kesempatan aku menikmati orgasme pertamaku dengannya. Dia sendiri juga mungkin menikmati otot-oto vaginaku yang mencengkeram kontolnya dengan keras.
Mungkin proses itu Cuma sebentar. Beberapa detik atau semenit. Tapi rasanya lama sekali, sebelum kejang tubuh mengendur. Punggung kembali jatuh ke matras. Ekstasiku mereda.
Pak Joko menciumi leher hingga ke telingaku, lalu bibirku. Kami berciuman mesra. Lalu dia mulai menggenjotku lagi agak pelan dan semakin cepat. Nafasnya semakin cepat. Dia mulai mengeluarkan suara lenguhan yang ditahan saat dia merasa kemaluannya mulai bergetar dan membengkak di vaginaku.
Aku tahu dia akan muncrat dan bayangan orgasmenya memicu gairahku bangkit kembali. Ekstasi yang sudah agak menurun cepat menanjak lagi.
“Bu Erna… Bapak mau keluar… Aaarrgh” desah Pak Joko. Genjotannya semakin cepat. Dia hampir sampai puncak, begitu pula aku.
“Erna juga … Pak… mau keluar lagi.”
Croot… croot… croot akhirnya Pak Joko memuncratkan sperma ke dalam rahimku yang terlindungi spiral KB.
“Aaaaarrghhh,” Pak Joko melolong.
“Aaaaaahhhh,” semprotan spermanya ke pintu rahimku membuat aku terlempar kembali ke puncak orgasme kedua kalinya.
Pak Joko menindih tubuhku. Memelukku. Aku juga memeluknya erat. Dia masih menggenjotku 2-3 kali lagi. Masih ada sisa-sisa sperma yang memuncrat.
Kami berciuman dengan sisa gairah yang ada. Terlontar ke puncak… lalu pelan-pelan kembali ke dunia. Panca Indraku kembali berfungsi. Samar-samar kudengar suara. Suara itu memanggil namaku.
“Bu Erna… Bu Erna.. Pak Joko,” suara itu sepertinya berbisik memanggil. Suara itu berasal darimana? Suara siapa?
Dari pintu! Bu Tuti!! Itu suara Bu Tuti memanggil pelan dari balik pintu.
Aku melepas ciumanku dan memandang ke pintu yang terkunci, lalu ke wajah Pak Joko, lalu ke pintu lagi. Bu Tuti! Gawat!! Pikirku.
Aku mendorong tubuh Pak Joko dari atas tubuhku. Dia berguling ke sebelah kiriku. Plop! Suara kontolnya tercabut dari dalam memekku. Celaka! Bu Tuti datang di saat aku dan Pak Joko meraih puncak orgasme kami. Dia pasti mendengar suara desahan dan jeritanku.
Aku segera bangkit mencari dan memunguti celana dalam dan rok panjangku. Memakainya. Lalu beha dan kemejaku. Kerudungku. Terakhir sepatu. Aku abaikan daleman kerudungku. Kulirik Pak Joko juga sudah memakai celananya. Dia terlihat tidak terlalu panik. Karena dia menyetubuhi masih memakai kaosnya.
Aku mengelap mukaku yang basah. Sebagian karena keringatku sendiri, sebagian lagi keringat dan air liur Pak Joko. Ku kuatkan diriku. Kubuka pintu. Nampak Bu Tuti berdiri di muka pintu.
“Sebentar lagi bell bubar sekolah,” bisiknya.
“Iya,” jawabku lemah sambil berlalu melewati Bu Tuti. Aku tidak berani memandang wajahnya. Selintas kulirik Bu Tuti melihat kedalam gudang peralatan olah raga. Melihat ke Pak Joko sebentar, lalu menyusulku. Ditepok-tepoknya bagian rokku yang kotor oleh debu.
Ya Tuhan! Aku baru saja dizinahi lelaki lain dan dipergoki oleh sahabatku. Malu karena ketahuan ditiduri sesama rekan guru datang membanjiri pikiranku. Bukan rasa bersalah. Rasa bersalah tidak pernah muncul. Sebaliknya, sedikit aku merasakan denyut nadiku berdebar karena sensasi eksibisionisme.
Kembali ke meja piket, aku merasa sperma Pak Joko mengalir keluar dari vagina. Sisa-sisa ekstasi masih masih terasa bergumul dengan rasa malu. Aku hanya bisa bersandar di kursi dan menutup mata. Aku yakin Bu Tuti tengah memandangiku penuh tanya. Berharap penjelasan dariku. Pejuh Pak Joko kembali mengalir keluar diserap oleh bahan celana dalamku. Mudah-mudahan gak sampai netes ke lantai, pikirku.
Aku menghela nafas. Keberanianku mulai tumbuh. Membuka mataku dan menoleh ke Bu Tuti. Benar saja Bu Tuti tengah memandangi dengan tatapan curiga.
“Tadi barusan aku curhat ke Pak Joko. Lagi ada masalah berat,” kusampaikan alibiku.
Bu Tuti masih tetap menatapku. Dia diam. Aku juga diam. Satu dua detik sama-sama diam. Lalu setelah menghela nafasnya, dia berbalik melihat jam dinding. Kurang dari dua menit lagi, waktu sekolah bubar. Bu Tuti menengok ke salah satu kelas. Dia melihat satu guru keluar kelas menuju ruang guru. Bu Neti.
Bu Tuti berbalik ke arahku. Kami saling mamandang. Lalu dia mengangguk-angguk. Masih tanpa suara. Melongok lagi ke jam dinding. Sudah waktunya. Diapun memencet bel sekolah.
Dia menarikku untuk berdiri. Diperiksanya rokku. Ditepok-tepoknya bagian yang masih berdebu. Membersihkannya.
“Bersihin dulu di toilet sana. Jangan sampai nembus,” bisiknya sebelum melangkah menuju ke ruang guru. Bu Tuti berhenti dan membalik lagi ke arahku.
“Lain kali kalau mau curhat jangan di sekolahan, Na. Bahaya. Bisa kepergok anak-anak atau guru lain. Di hotel aja. Yang murah banyak,” katanya tanpa nada mengejek. Lalu dia meneruskan langkahnya. Aku juga menuju ruang guru, tapi sebelumnya aku harus ke toilet.
=================
BAGIAN IIIa
APA AKU PEREMPUAN BINAL?
Aku melangkah memasuki toilet. Pada saat yang sama Pak Joko baru keluar dari toilet. Dia langsung merengkuh tubuh dan mencium bibirku. Diremas-remasnya tetekku.
“Kita pulang bareng yah,” bisiknya. Aku gak tau harus menjawab apa. Aku langsung masuk ke toilet.
Di dalam toilet kukorek keluar sperma Pak Joko dari dalam liang senggamaku. Kubersihkan juga yang di celana dalam sebisaku, setelah itu aku merapihkan pakaianku sebentar. Keluar dari toilet, aku tak menemukan dia. Aman, pikirku sambil berjalan ke ruang guru.
Di ruang guru, kulihat seluruh guru sedang bersiap-siap untuk pulang. Dengan diam aku menuju mejaku. Karena semua sibuk, maka kebisuanku terabaikan. Aku juga membenahi mejaku, bersiap untuk pulang. Pikiranku masih dipenuhi peristiwa yang baru aku alami di ruang penyimpanan alat olah raga.
“Erna!!… Apa yang baru kamu lakukan dengan Pak Joko tadi? Kamu baru saja berzinah lagi dengan lelaki lain!” Pikiranku menghakimiku, ”Dasar perempuan gampangan!”
“Pak Joko menjebak dan memaksaku,” bela pikiranku yang lain.
“Terpaksa apanya? Kamu secara sukarela berbaring telentang dan melebarkan kakimu!” pikiran yang pertama kembali menghujat.
“Apa dayaku sebagai perempuan? Pak Joko berhasil merangsang gairahku. Aku gak sanggup melawannya. Sudah hampir dua minggu aku tidak bercumbu dengan suami,” pikiran yang lain setia membelaku.
“Seharusnya kamu dari awal jangan menghampirinya. Kamu kan sudah tahu apa yang akan dilakukannya di ruangan itu. Dasar perempuan binal!! Sudah berapa lelaki yang menghujamkan kontolnya ke memekmu? Perempuan murahan! Istri binal!” nampaknya suara pikiran yang pertama yang menang. Suara yang membelaku menghilang.
Sudah berapa lelaki yang telah menyetubuhiku? Pikiranku menerawang ke masa lalu. Pada saat yang sama aku sudah di depan ruang guru. Aku berdiri sebentar mengembalikan kesadaranku. Semua guru sudah bersiap untuk pulang. Aku menuju mejaku.
“Daritadi Bu Erna kok diem aja?” sapa Bu Syarifah atau Bu Ipah.
“Iya nih, Bu Erna. Pak Joko mah begitu orangnya, jangan dipikirin,” sahut Bu Neti.
Dug.. jantungku seperti copot. Kok Bu Neti ngomong gitu ya? Apa dia tahu yang baru saja terjadi? Pikiranku bertanya-tanya.
Aku terpaksa membalas omongan mereka hanya dengan senyuman.
“Yuk ah.. duluan semuanya. Assalamu’alaikum,” pamit Pak Endi
“Wa’alaikum salam,” semua membalas seperti koor.
“Bu Erna jadi gak saya temani ke S*****? Kalau jadi saya tunggu,” tiba-tiba suara Pak Joko menyeruak.
“Hah?” karena tak menyangka, aku jadi tergagap.
“Jangan mau Bu Erna. Pak Joko kalau baik, pasti ada udang dibalik bakwan.,” malah Bu Neti yang menjawab.
“Ayo semua aku duluan… Assalamu’alaikum,” sekarang Bu Ipah yang pamit.
Sama seperti tadi kami semua membalas salamnya. Lalu satu persatu meninggalkan ruang guru. Tinggal aku, Bu Tuti, dan Pak Joko.
“Jadi bareng?” Pak Joko mengulang pertanyaannya. Aku bingung harus jawab apa.
“Udah sana jalan,” Bu Tuti malah menyarankan.
“nanti Dian aku yang jemput pulang,” lanjutnya.
Oh ya Dian.. Ya Ampun aku sampai lupa pada anak pertamaku. Dian sekolah di SD kelas 4. Harusnya aku menjemputnya di sekolah. Dian pasti lagi menungguku.
“Ayo Bu Erna, kita jalan sekarang,” desak Pak Joko. Akupun mengangguk. Bu Tuti tersenyum.
“Hati-hati di jalan,” pesan Bu Tuti, melepas aku dan Pak Joko meninggalkan ruang guru.
Tak lama aku sudah membonceng di motor Pak Joko menjauhi sekolah. Aku meletakkan tas di antara aku dan dirinya. Berpegangan pada motor, aku tak ingin menyentuhnya. Bagaimanapun besar kemungkinan akan ada yang mengenali kami.
“Kita mau kemana, Pak?” tanyaku memecah kebisuan.
“Ke S***** aja,” jawab Pak Joko. Aku mencoba menebak.
“Ke S***** nya kemana?” tanyaku lagi setelah tak mampu mengira.
“Maunya Erna kemana?” malah Pak Joko balik bertanya. Dia tidak lagi memanggil “bu”.
“Kok malah tanya Erna? Kan Bapak yang ngajak.”
“Barangkali Erna punya saran tempat yang enak buat berdua.”
“Terserah Bapak aja,” jawabku lalu kembali bisu.
Motor terus melaju sebelum terlalu jauh akhirnya membelok ke tujuan. Sebuah motel. Dan aku bisa menebak apa yang akan Pak Joko lakukan kepadaku sebentar lagi.
DI SEBUAH MOTEL MURAH
Begitu motor memasuki pekarangan motel, terlihat seorang petugas motel menyambut dan mengarahkan motor ke sebuah garasi dengan ‘rolling door’ terbuka. Bersamaan itu rolling door garasi disebelah kanan terbuka. Sebuah mobil kijang mundur keluar.
Seorang gadis nampak duduk di kursi penumpang sebelah supir. Sulit menebak kisaran usianya. Make up-nya lumayan tebal. Setidaknya untuk di siang hari begini. Rambutnya pendek. Dia menatapku dan seperti agak heran.
Tatapan yang sama dari petugas motel. Dia sempat menatapku beberapa detik. Mungkin di benak si petugas hotel bertanya, mau apa perempuan berhijab rapih sepertiku masuk motel bersama seorang lelaki yang pasti bukan suaminya. Duh… pasti dia bisa menebak dengan tepat apa yang akan aku dan Pak Joko lakukan. Bagaimana kalau dia mengenalku? Duh malu-maluin banget, pikirku.
Kesadaran akan apa yang bakal terjadi di dalam kamar membawa kembali ingatanku pada permainan kami di sekolah tadi. Tidak lama memang. Mungkin cuma 15 menit atau 20 menit. Tapi gairahnya begitu menggebu. Mungkin aku dan Pak Joko terlalu menggebu jadi cepat klimaks.
Sayang gak bisa terlalu lepas, pikiranku semakin liar. Kalau di kamar ini pasti akan lebih bebas. Dan bisa lebih lama. Loh kok malah aku jadi berfikir kotor? Dan rasa gatal mulai muncul di bagian-bagian tubuhku yang sensitif.
“Masuk yuk Erna,” ajakan Pak Joko membuyarkan lamunanku. Duh pakai nyebut namaku di depan si petugas motel lagi.
Aku mengangguk pasrah. Apakah aku akan menyerah membiarkan Pak Joko menikmati tubuhku lagi? Aku menghela nafas panjang. Melangkah naik tangga sedikit terus melewati pintu kamar yang ada dalam garasi itu.
Di dalam kulihat ada sebuah tempat tidur ukuran sedang tertutup sprei putih. Ada selimut. AC yang baru dinyalahkan. Televisi 24 inchi. Dua botol air mineral. Dua buah handuk, sabun dan sikat gigi terbungkus plastic bening. Pak Joko bayar sewa kamar. Seratus sepuluh ribu rupiah.
Tidak. Aku harus menahannya agar kali ini tidak terlalu jauh melewati batas hubungan yang bukan suami istri. Mungkin tidak sampai persetubuhan. Ya ngobrol-ngobrol aja sambil peluk-peluk.. dan ciuman… tambah raba-raba lah boleh. Asal tidak sampai memasukkan batang kemaluannya ke dalam kemaluanku. Kan tadi udah…. pikirku optimis. Tekad bulat sudah.
Petugas motel pun menghilang. Pak Joko mengunci pintu. Lalu berbalik ke arahku. Mendekati, lalu memelukku. Bibirnya langsung menyosor bibirku. Aku menyambutnya. Tangan kami mulai saling meraba dan meremas. Tangannya satu di bokongku, yang lain meremas dadaku.
Remasan-remasan itu menimbulkan sensasi nikmat yang membangkitkan gairah kewanitaanku. Gairah yang bangkit itupun membuat syaraf-syaraf semakin sensitive, sehingga sensasinya semakin nikmat. Begitulah terus menerus sehingga menjadi gelombang birahi yang menghanyutkan.
Begitu besar gelombang gairah birahi menghanyutkan kesadaranku. Mengahanyutkan tekad bulatku. Yang ada hanya tuntutan badaniahku harus terpenuhi.
“Aahhh… uffff… Pak,” rintihku.
Kurasakan tangan Pak Joko berpindah ke kancing kemejaku. Segera kudorong tubuhnya, dan aku mundur menjauh. Tapi kali ini aku tak bermaksud menolak dirinya, melainkan ingin dia segera membuka pakaiannya. Urusan pakaianku biar aku buka sendiri.
Pak Joko yang sempat kaget aku mendorong tubuhnya, menjadi tersenyum Ketika melihat aku melepas kerudungku, lalu mulai melepas kancing-kancing kemeja. Dia pun melepas kaosnya.
Aku membuang kemejaku ke lantai. Lalu menyusul beha. Kini aku berdiri dengan bagian atas tubuh telanjang. Pak Joko memandang takjub pada kedua bukit kembarku yang belum jatuh walaupun sudah beranak dua. Aku yang memberi isyarat agar Pak Joko mendekat. Kamipun kembali saling merengkuh.
“Oohhh Erna…” desah Pak Joko. Kedua bukit kembarku langsung menjadi santapannya. Nikmat sekali rasanya. Birahiku sudah pada titik tak mungkin surut sebelum dituntaskan.
“Aaahhh.. Pak.. ennaaaak… terus isep Pak,” ceracauku sambal meremasi rambutnya.
“Tetek Erna indah sekali… bagus… empuk,” kata Pak Joko.
“Iya Pak.. isep terus… dua-duanya Pak,” rintihku. Tanganku mencari sesuatu ke selangkangnya yang masih tertutup celana panjang. Kuelus-elus batang kontol yang mulai bangun membesar.
“Aaaahhh... enak Na.”
Aku segera melepaskan diri kembali mundur dua langkah ke arah tempat tidur. Seperti tadi aku ingin segera Pak Joko melepas celananya. Diapun langsung melepas sekaligus celana dalamnya. Aku sendiri segera melepas rok panjangku. Sementara kubiarkan celana dalamku tetap di tempatnya.
Sekarang Pak Joko sudah dalam keadaan bugil. Kontol monsternya sudah mulai mengacung. Dilihatnya aku berdiri hanya tertutup celana dalamku yang semi transparan. Dia langsung menyerbuku Kembali. Kembali mencumbu payudaraku. Kini tangan kirinya mengelus-elus bukit kecil di antara kedua pahaku. Masih terhalang CD nilonku. Tapi bagaimanapun tetap menimbulkan nikmat birahi.
Aku sendiri tentu langsung menangkap batang kejantanannya. Kuelus-elus dan kuurut, otot yang sebentar lagi akan memuaskan hasrat kewanitaanku.
“Aaaahhh terus Na.. enak sekali… kocok terus,” pintanya. Tentu saja aku terus mengocoknya tanpa diminta sekalipun. Akun ingin batang itu segera mengeras dengan penuh.
“Aaaahhh terus Naa….”
Kini tangannya menekan pundakku ke bawah. Aku tahu apa yang dimauinya. Akupun segera berjongkok. Kini batang kejantanan yang kukagumi itu berjarak hanya satu senti dari bibirku. Tanganku taku berhenti mengurutnya.
Kujilat kepala jamurnya. Aku mendongak ingin melihat hasil perbuatanku.
“Aaaahhhh mantap Na,” desah Pak Joko sambal memejamkan mata menikmati. Aku semakin gairah. Jilatanku merayap sepanjang batang itu menuju pangkalnya. Kujilat juga kantung yang menggantung disana, lalu kembali ke kepala jamur. Kembali ku mendongak melihat hasil kerja ku.
“Seddaaaaaap Na… terus,” Pak joko terlihat menengadah ke atas, sehingga tak bisa kulihat ekspresinya dari bawah sini. Tapi itu tak perlu. Batang yang mengangguk-angguk yang semakin tegak dan urat-uratnya semakin menonjol sudah memperlihatkan kenikmatan seperti apa yang kuberikan. Aku semakin semangat.
Langsung kumasukan kepala jamur itu kedalam mulut.
Slluurrpp…. Kepala kontol besar dengan batangnya masuk sedalam mungkin. Sambil mulutku menghisapnya. Shhhheeeeeppsss…
“Gilaaaaa enak sekali sepongan kamu Na,” Kedua tangannya terus menekan kepalaku ke selangkangannya. Aku segera menarik mundur kepalaku. Gerakan kepalaku sekarang menjadi maju-mundur di depan selangkangannya. Batang kontolnya bergerak keluar masuk.
Kadang kuselingi dengan jilatan sepanjang kontolnya.
Pak Joko sontak menghentikan seponganku dan meraihku untuk berdiri. Sepertinya dia tak ingin terlalu cepat keluar nanti. Sebaliknya sekarang dia yang berjongkok untuk memelorotkan celana dalamku.
Tiba-tiba kurasakan benda lunak hangat menyapu bibir vaginaku. Aaaaahhhhhh seperti aliran listrik rasa geli tapi nikmat menjalar ke seluruh tubuhku. Kini lidah Pak Joko gantian bermain di kewanitaanku. Sambil berdiri aku merenggangkan kedua kakiku, agar dia lebih leluasa menjelajahi celah sempit di bukit kecil itu.
“Aaaaahhhh…Pak… enakk… shshshshh,” gentian aku yang berceloteh sambil meremas rambutnya.
Kakiku semakin merenggang. Sekarang Pak Joko dapat mengakses liang senggamaku. Lidahnya langsung menjukur-julur memasukinya, lalu ganti menghisap klentitku. Dia seperti mengocok klentitku.
Crrt.. crrt.. terasa cairan pelicinku mulai keluar.
“Slluurrppp,” Pok Joko sepertinya tak ingin cairanku menetes sia-sia.
“Aaarrrggghhh… Nikmat Pak… itu diapain?” tanyaku. Rasanya aku mulai menapak ke puncak.
Untung Pak Joko tidak terlalu lama. Segera aku di dorongnya ke tempat tidur. Aku telentang disana dengan kedua kaki mengangkang dan lutut terangkat.
Tak lama Kembali kepala Pak Joko berlabuh di antara kedua pahaku. Mulutnya kembali bermain disana.
“Aarrgghhh…,” teriakku Ketika Pak Joko memasukkan jari telunjuknya. Mengorek-ngorek dinding dalam Lorong kenikmatan itu. Jarinya bergerak keluar masuk disana. Liangku pasti sudah penuh dengan cairan cintaku.
“Paaaaakkkk…. Aduhhh… gak tahan,” celotehku. Kedua tanganku meremas-remas tetekku sendiri.
Sekarang jari tengahnya menyusul. Aku hanya bisa menggeleng kepala ke kiri dan kanan. Sensasi nikmat dari permain kedua jari didalam memekku dan bibir serta lidahnya bermain di luar, tak bisa kubendung lagi. Aku ingin segera tuntaskan permain ini. Untung Pak Joko juga mengerti.
Kini, Pak Joko mengarahkan kepala kontolnya ke memekku. Di gesek-gesekkannya kepala itu ke klentitku. Kedua tangannya mendorong kedua pahaku ke arah dadaku sambal tetap melebarkan. Otomatis pantatku terangkat mengekspose lobang memekku sepenuhnya. Pasti sudah banjir banget.
Kepala jamur tepat di mulut lubang vaginaku. Membelah tirai labia minora ku dan akhirnya..
Sleebbhhss…. Kepala jamur itu menyelusup masuk kontol liang senggamaku.
“Aaaaaahhh….. Paakkkk… Gedeeeeee,” jeritku. Liangku Kembali dipaksa melebar untuk menerima diameter batang itu. Akibatnya seluruh syaraf di saluran muskulomembranasea atau otot selaput yang menghubungkan rahimku dengan dunia luar mendapat stimulus gesekkan dengan batang kontolnya, tentu saja kenikmatannya juga jadi maksimal.
“Ernaaaa… masih sempit banget… ngempot… enak banget,” igau Pak Joko.
Pak Joko memompa batangnya keluar masuk beberapa kali sebelum akhir semua batangnya masuk ke dalam lorong memekku. Kepala jamur itu terasa mendesak mulut rahimku makin ke dalam supaya bisa muat…
“Aaahhhhhhh…. Pak Jokooooooo…. Memek Erna sesak banget.”
=================
Bagian 4 AWAL PERSELINGKUHAN
Aku terbangun sekitar pukul tiga sore, karena kedinginan. Kubuka mataku, menemukan ketelanjanganku. Sebuah lengan lelaki memalangi tubuhku pas di bawah dadaku. Walau aku tahu siapa pemiliknya, tetap aku menoleh ke kiri melihat wajahnya. Pak Joko... tentu saja. Siapa lagi...
Permainan gairah kami tadi rupanya terlalu menguras tenaga, sehingga kami berdua terlelap setelahnya. Ku perhatikan wajah Pak Joko, seperti baru mengenalnya. Tidak ganteng. Jauh dibandingkan suamiku. Aku menghela nafas panjang. Menerawang melintasi waktu. Batinku berkata, “Dan terjadi lagi....”
AWAL DARI SEGALANYA (enam tahun sebelumnya)
Pagi itu aku berangkat kuliah dalam keadaan galau. Pikiranku melayang kesana kemari, gak karuan. Tidak satupun perkuliahan yang masuk ke dalam memoriku. Kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut para dosen, hanya numpang lewat saja. Masuk kuping kiri keluar kuping kanan.
Aku sedang galau berat. Semalam aku bertengkar dengan suami. Pertengkaran pertama dalam umur pernikahan kami yang belum berumur 2 tahun. Suamiku mengaku habis bertemu teman SMPnya, Endang namanya, perempuan.
Suamiku pernah bercerita, bahwa dalam kenakalannya ketika kelas dua SMP, dia dan teman-temannya yang cowok suka menyelundupkan novel panas ‘Nick Carter’ ke kelas. Dan membacanya. Biasanya anak cewek gak peduli hal seperti itu. Kecuali Endang. Dia suka membaca cerita Nick Carter. Dan suka membacanya berdua. Endang menyukai scene-scene erotisnya.
Jadi aku tak percaya ketika suami cerita mereka hanya makan malam di rumah Endang yang ketika itu sepi. Bagaimana mungkin berdua dengan cewek binal itu di sebuah rumah sepi, dan gak ngapa-ngapain. Mungkin saja mereka saling bercumbu. Atau malah sampai berhubungan sex. Mengingat itu aku jadi marah.
Lalu begitu saja melintas dipikiranku, bagaimana rasanya ngesex dengan orang lain. Aku belum pernah berhubungan sex dengan laki-laki lain. Aku masih perawan ketika malam pertama dengan suamiku. Pengalamanku terkait sex minim sekali.
Aku hanya dua kali pacaran sebelum berhubungan dengan suamiku. Ketika SMA aku sempat pacaran dengan Rahman teman sekolah ketika di kelas 1 SMA. Rahman adalah teman sekelas dan teman pengajian. Saat itu aku baru mulai berhijab dan aktif mengikuti majelis taklim.
Tentu saja pacaran kami jauh dari aktivitas sexual. Palin jauh hanyalah saling bergenggaman tangan. Itu pun kami sudah merasa bersalah karena bersentuhan kulit dengan berlainan jenis. Itu hal yang aku percayai haram. Aktivitas lain paling sekedar boncengan motor. Selebihnya hanya sekedar ngobrol-ngobrol saja.
Sebelum SMA, aku punya teman sepermainan sejak kecil. Tetanggaku, Kirman namanya. Aku memanggilnya Kak Kirman. Dia lebih tua 3 tahun dariku. Memasuki masa remaja, orang-orang di sekitar kami meledek kami pacaran. Kami sendiri tidak keberatan. Karena kami memang saling menyukai. Mungkin itu yang disebut sebagai cinta monyet.
Aku sendiri sangat akrab dengan keluarganya. Kak Kirman 3 bersaudara dia anak kedua, Kakaknya cowok seorang polisi, tinggal di Bekasi. Pacaranku dengan dengan Kak Kirman justru lebih jauh dibandingkan dengan Rahman. Wajar karena sebelum SMA, aku masih remaja yang bebas. Belum hijrah. Rokku sering kali masih cukup pendek. Di atas lutut. Kak Kirman senang meraba-raba lututku. Mungkin agak naik sedikit ke ujung paha tidak jauh dari lutut. Kami beberapa kali berciuman. Beberapa kali tangan Kak Kirman meremas dadaku dari luar pakaianku. Aku selalu menepis tangannya dari dadaku.
Aku jadi memikirkan Kak Kirman dan betapa lamanya aku tidak menjumpainya. Semenjak SMA aku pindah menempati rumah Ayahku yang berlokasi lebih dekat ke sekolah. Tinggal bersama Kakak dan adikku. Sesekali aku bertemu dengannya, pada saat aku main ke rumah orang tua. Tapi hanya sekedar saling melontarkan basa basi.
Aku juga jadi teringat cumbuannya ketika remaja dulu. Ingatan itu menimbulkan sedikit geli di antara kedua pahaku. Bagaimana Kak Kirman sekarang? Pikirku. Apa dia sudah pacar? Ngapain aja sekarang dia kalau pacaran? Aku jadi malu ketika membayangkan seandainya Kak Kirman masih pacaran denganku sekarang ini. Apakah kami akan bercumbu seperti dulu. Masihkah dia tertarik padaku? Ah Mana mungkin. Aku sekarang sudah bersuami. Tentu juga dia sudah pacaran dengan cewek lain.
Tapi bisa saja Kak Kirman masih tertarik padaku. Aku masih cantik. Bodyku masih seperti gadis, walaupun sudah memiliki satu putri. Sepertinya gak ada yang berubah. Aku jadi penasaran Bagaimana aku bisa tahu kalau aku masih semenarik dulu? Pikirku. Cowok manapun pasti tidak berani mendekatiku ketika tau aku sudah bersuami. Tentu mereka takut dituduh melecehkanku.
Bagaimana kalau aku goda Kak Kirman. Aku akan jadi bisa tau apakah aku masih bisa menggoda birahinya seperti dulu. Aku merasa jadi bergairah memikirkan itu. Kenapa gak ya? Toh cuma sekedar menggoda, apa salahnya? Lantas bagaimana mengukurnya bahwa aku bisa menggodanya? Kalau dia sampai tak tahan untuk memelukku atau menciumku. Itu tanda aku masih menggairahkan.
Aku jadi makin bergairah memikirkannya. Bagaimana kalau Kak Kirman meminta yang lebih jauh? Berhubungan badan misal? Bagaimana kalau KakKirman malah menelanjangiku? Bagaimana kalau dia ingin melakukan hal yang biasa suamiku lakukan.. Aaahhh... Aku merasa lembab di balik celana dalamku.
Jam 11.00 perkuliahanku habis hari itu. Aku memutuskan main ke rumah ortuku. Mungkin aku akan mampir dulu ke rumah Kak Kirman. Silatturahmi ke Bu Wondo, Ibunya. Atau Menggoda Kak Kirman mungkin? Ahh mampir ajalah, putusku. Selanjutnya bagaimana nanti aja.
Aku melangkah memasuki halaman rumahnya. Seperti juga gang menuju rumah orang tuaku yang lebih senggang dari biasanya, rumah Kak Kirman terasa sangat sunyi. Sampai di halaman rumahnya aku ragu, apakah akan meneruskan niatku atau langsung saja pulang ke rumah orang tuaku. Sebenarnya aku sama sekali tidak ada dorongan birahi untuk bercumbu dengan Kak Kirman. Hanya dorongan tantangan untuk bertualang mencoba membuktikan bahwa aku masih mampu menggoda laki-laki.
Aku tidak akan berbuat terlalu jauh, janjiku pada diri sendiri. Aku hanya ingin melampiaskan kekesalanku terhadap suami dengan melampiaskannya ke lelaki lain. Itu saja. Aku tidak ingin merusak rumah tanggaku. Pikiranku bergumul dengan kebimbanganku.
Aku toh tidak akan melakukan lebih jauh dari sekedar menggodanya, dengan pelukan dan rabaan. Aku akan menghentikannya kalau dia mau berbuat jauh. Lagipula belum tentu itu akan terjadi. Bisa jadi Bu Wondo dan adiknya, Hani, ada di rumah. Atau malah Kak Kirmannya gak ada di rumah. Jadi ini akan sekedar silatturahmi. Dengan pikiran seperti itu aku aku menguatkan hati untuk meraih tombol bel di pintu.
Bell pintu berbunyi, saat kupencet tombol. Mudah-mudahan tidak ada orang di rumah itu, jadi aku bisa langsung ke rumah orang tuaku. Maka akan selesai konflik batinku.
Tapi aku kurang beruntung, Kak Kirman terlihat keluar dari kamar menuju pintu. Kurang beruntung? Bukannya malah kamu merasa senang toh? Suara batinku mengejek. Dia membukakan pintu dan aku menjadi grogi di hadapannya. Dia mengenakan kaos t-shirt dan celana pendek model kolor. Mengetahui apa yang mungkin akan terjadi membuatku merasa seolah-olah dia juga mengetahuinya.
“Assalamu’alaikum,” aku memberi salam dengan suara sepelan mungkin.
"Wa’alaikum salam, masuk," Suara Kak Kirman tampak sedikit melengking karena gugup. Dia memberi isyarat kearah sofa saat aku melewatinya masuk ke dalam rumah. Dia menutup pintu dengan cepat, aku merasa sedikit takut bahwa ada tetangga mungkin melihat aku memasuki rumah dan menebak apa yang akan terjadi.
“Sepi. Pada kemana? Hani? Ibu?” tanyaku basa basi. Aku duduk di sofa.
“Biasalah. Tiap hari juga sepi sekarang. Kan sekarang tinggal berempat di rumah ini. Ibu di toko, Hani lagi ikut Ospek di kampus pulangnya malam ,” jawabnya. Hani adalah adiknya, setahun di bawahku. Waduh, berarti cuma aku berdua dia di rumah ini. Sebaiknya aku pulang saja, pikirku. Tapi ini kan kesempatan yang kebetulan untuk sekedar iseng.
“Minum apa?” tanyanya bergerak ke kulkas.
“Gak usah. Cuma sebentar kok,” jawabku, tapi dia sudah kembali membawa sebotol air dingin dan gelas kosong. Aku semakin bimbang, antara pikiran untuk pulang cari aman. Atau mencoba sedikit merasakan petualangan.
"Wah, tumben Na mampir. Tambah cantik aja. Tambah seksi!" Suara Kak Kirman lembut dan entah bagaimana menenangkan. Aku merasa wajahku memerah karena pujian itu. Aku merasa seperti remaja lagi ketika dia bergerak maju dan menggerakkan tangannya untuk meraih pundakku, menariknya mendekat untuk dicium. Aku langsung menghindar dengan berdiri. Terbukti sudah, aku masih menarik. Tentu aku bisa pulang. Tunggu dulu, belum tentu, sergah pikiranku. Lagipula apa salahnya sekedar minum saja.
“Aku pulang aja,” tiba-tiba kuputuskan untuk menghindari resiko.
Kak Kirman ikut berdiri dan langsung memelukku. Kali ini agak lebih erat dan bertenaga. Mungkin dia tidak ingin aku bisa melepaskan diri dengan mudah. Tiba-tiba dia menciumku. Aku yang tidak siap dan tidak bisa mengelak. Awalnya aku diam saja kaget, tapi akhirnya aku meresponsnya juga. Kami berciuman dengan lembut tapi semakin. Seperti kena jampi-jampi, tubuhku melemah saat pelukannya semakin erat.
Ketika ciuman itu akhirnya terlepas, meskipun pelukannya tidak, aku akhirnya mematahkan jampi-jampinya dan berbicara. "Kak, aku harus pulang. Gak baik berdua aja disini. Apa kata tetangga nanti" Suaraku serak dan terbata ketika dia berbicara, mengungkapkan betapa gugupnya aku.
Aku sadar kalimatku salah, seakan-akan aku tidak keberatan dengan ciumannya dan lebih mengkhawatirkan ketauan orang lain. Jadi aku cuma takut ketauan orang lain, bukan tidak ingin berselingkuh?
"Gak akan ada yang tau, Na. Kan Cuma kita berdua,” jawab Kak Kirman lembut. Pelukannya lepas saat aku memberontak melepaskan diri. Tapi aku tidak menjauh darinya.
“Nanti kalau ada yang datang bagaimana?” tanyaku sedikit canggung dan malu karena telah memperlihatkan keinginanku yang sebenarnya untuk tetap disitu.
Kak Kirman terkekeh dan tersenyum. "Jadi, mau ngobrol dimana? Di kamar aja yuk. Kayak biasa dulu?" dia bertanya sambil berdiri terus berjalan ke kamarnya.
Wajahku terasa makin memerah saat mendengar usulannya. Masa ngobrol berdua di kamar? Sekarang kan aku sudah bersuami? Pikiranku bimbang, tapi tubuhku tidak. Aku mengikutinya ke kamar, berhenti tepat di ambang pintu kamar.
"Harusnya jangan di kamar ah. Gak baik loh, sekarang kan aku udah istri orang,” kataku sambil mencoba terdengar sedikit berwibawa. Kak Kirman tidak menjawab. Aku masuk ke kamarnya. Aku menyadari bahwa kami dulu sering berdua di kamar ini. Kadang cuma ngobrol, kadang sedikit bercumbu kalau tidak ada orang lain selain kami di rumah ini. Seperti sekarang. Dan seperti sekarang juga pintu selalu dibiarkan terbuka. Aku melarangnya menutup pintu kamarnya.
Seketika bayangan saat kami bercumbu hadir kembali di benakku. Memang paling jauh hanya berciuman, sambil tangannya meremas dadaku yang belum terlalu tumbuh. Aku ingat terakhir dia menindihku di atas tempat tidur dan tangannya menyelinap ke dalam seragam SMP ku yang beberapa kancing sudah terlepas. Meremas tetekku yang masih tertutup beha.
“Santai aja Na. Aku tadi lagi ngetik skripsi. Tapi otak macet. Kebetulan kamu datang. Biasanya kalo ada kamu otakku jadi encer… hehehe,” jelasnya sambil nyengir.
Kak Kirman dengan cepat duduk di kursi meja belajar tepat sebelah tempat tidurnya. Ada mesin ketik dengan selembar kertas HVS digulungannya. Setumpuk kertas yang sudah selesai diketik disatukan oleh penjepit kertas. Tanpa memberiku waktu untuk merasa canggung, dia mengisyaratkan agar aku duduk di tepi tempat tidur di dekatnya.
"Jadi ada apa nih, tumben mampir? Tapi terima kasih ya… Kakak kangen banget," Dia bertanya.
"Gak ada apa-apa. Cuma mau mampir aja. Kangen…. Kangen sama Ibu sama Hani,” aku buru-buru meralat takut Kak Kirman salah tanggap. Aku mulai merasa lebih nyaman sedikit. Aku duduk di tepi tempat tidur.
“Sama Kakak nggak?”
“Kangen jugalah.”
Tiba-tiba Kak Kirman menarikku berdiri lagi. Langsung memelukku. Aku kaget. Takut. Situasi yang tak terhindarkan telah dimulai. Aku sekarang berdua di kamar lelaki yang bukan suamiku, dan tidak ada orang lain di rumah ini. Dan… berpelukan. Dia menarik lepas kerudungku.
“Jangan begini, Kak,” cegahku.
"Kangen banget sama kamu, Na,” Kak Kirman memajukan wajah sampai dekat sekali dengan wajahku. Aku memundurkan kepalaku. Dia maju lagi. Aku gak bisa mundur lagi. Dia mencium bibirku, aku membalasnya.
Lalu aku mendorong sehingga ciuman dan pelukkannya terlepas. Napasku agak tersengal.
“Udah cukup Kak. Erna mau pulang aja,” kataku.
"Kenapa? Emang Erna gak kangen?" dia tersenyum. Aku menepuk kedua tanganku ke sisi tubuh sebagai tanda putus asa dan gugup.
“Kangen… Tapi Erna gak mau kayak gitu. Erna gak mau keterusan. Erna sekarang istri orang,” aku coba menjelaskan.
"Kakak masih sangat mencintai Erna. Kakak janji gak akan melakukan yang Erna gak suka. Janji gak macam-macam," Kak Kirman bergerak mendekat dan sekali lagi menarikku ke dalam pelukan, tangannya sekali lagi membelai punggungku.Kami mulai berciuman lagi, semakin bergairah seiring detik demi detik berlalu. Oke, selama masih berpakaian dan kelamin kami bertemu, maka itu bukan sex. Bukan Persetubuhan. Bukan Zinah, pikiranku mencari pembenaran.
Tangannya mulai menjelajahi tubuhku saat ciuman itu berlanjut, berlari ke depan sebelum bergerak ke atas untuk membelai payudaraku. Aku bisa merasakan geli di antara kedua kaki saat menjadi lebih terangsang pada tekanan lembut di area sensitive di dadaku.
Lalu tangan Kak Kirman bergerak perlahan ke tengah punggung pangkal belakang leher. Aku tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ritsleting mulai perlahan turun saat dia menariknya ke bawah, menggoda perlahan, sampai mencapai akhir perjalanannya.
“Aaaaah.. Kak… jangan,” protesku di antara rasa nikmat gairah yang mulai membesar. Dia menciumku lagi. Protesku senyap kembali. Aku bisa merasakan tubuhku makin merapat saat kedua tangannya menyelinap ke dalam gamisku membelai punggungku yang terbuka.
Tanganku merangkul lehernya erat. Tubuhku semakin merapat saat salah satu tangannya menyelinap ke pantatku. Terasa sedikit sulit, karena ujung reliting ku hanya sampai pinggang. Tapi kegigihannya membuahkan hasil. Sekarang tangannya meremas-remas pantatku yang masih tertutup celana dalam.
Kak Kirman menarik diri dari ciuman saat tangannya bergerak dari pinggulku ke bagian depan, untuk membelai payudaraku melalui bahan yang sekarang longgar menutupi diriku. Tangannya meremas bukit kenyalku dari luar gamis. Aku semakin terhanyut oleh rangsangannya. Rasa geli di antara kedua kakiku semakin terasa.
Aku merasa bimbang. Aku takut ini akan berlanjut melewati batas. Tapi aku juga tidak ingin menghentikannya.
“Kak udah… auuhhhff.. Tadi janjinya.. apa,” Aku mencoba mencegahnya berbuat lebih jauh.
“Tenang, Na. Kakak gak akan melanggar janji,”
Tangannya bergerak ke atas untuk menarik gamis itu dari bahuku, menurunkannya secukupnya, sehingga kini dia bisa mengakses payudaraku yang tertutup bra. Kini tanganku tak bisa lagi merangkul lehernya. Kini remasannya hanya terhalang bahan behaku.
“Aaahhh.. Kak..,” desahku disela-sela ciuman yang semakin bergairah. Kedua lidah kami menari-nari.
“Na… bibir kamu lembut sekali,” balasnya
Lalu dia kembali menarik gamisku untuk lebih menurunkannya. Sekarang gamisku sudah sampai di siku kedua lenganku, membuat buah dadaku yang terlindung beha terlihat. Aku menatap matanya untuk melihat nafsu yang dia miliki saat melihat tubuhku terbuka di hadapannya. Melihat rasa laparnya memicu gairahku sendiri. Aku menikmati gairahnya.
Kembali kedua tubuh kami merapat. Ciuman semakin membara. Aku benar-benar hanyut dalam permainan lidahnya di mulutku dan telapak tangannya di dadaku. Aku merasakan tangannya kembali ke belakang punggungku. Lalu… tes.. kait beha di punggungku
Kak Kirman melepas pelukannya untuk meraih tali beha di kedua pundakku menurunkannya sampai ke siku dan bergabung dengan bagian atas gamisku. Kini kedua bukit kembarnya menjadi santapan matanya. Dia melepaskan ciuman dan merenggangkan tubuh kami untuk bisa menikmati pemandangan tubuhku. Dan lagi kulihat sinar birahi di matanya, membuatku makin terbakar oleh hasratku sendiri. Aku merasa sangat seksi. Merasa menjadi wanita paling menarik di mata lelaki.
Lambat kedua tangannya menggapai kedua bukit kembarku. Mulai memijat-mijat keduanya, seperti mau mengukur tingkat kekenyalannya. Begitu lembut gerakannya, tapi dahsyat sekali pengaruhnya pada diriku. Kak Kirman tidak lagi memelukku, akulah yang memeluk pinggangnya. Dan sama sekali aku tidak berniat melepaskannya. Kini aku benar-benar telah terbakar nafsu syahwatku.
“Kamu cantik sekali Erna. Payudara kamu indah. Masih kencang,” puji Kak Kirman
“Aarrghh Kak. …,“ aku hanya bisa mendesah menjawab pujiannya.
Aku sudah merasakan tonjolan di celananya membesar selama ciuman mereka dan sekarang terasa semakin besar dan keras. Aku mencoba membayangkan seberapa besar miliknya. Nafsuku semakin melambung, mengetahui pengaruh tubuhku terhadap tubuhnya. Kepercayaan diriku tumbuh dalam permainan peran baruku dan pengaruh nyata yang dialami Kak Kirman.
Aku menarik ujung T-shirtnya ke atas dan melewati kepalanya, membiarkannya telanjang dada dan menjelajahi dadaku. Aku merapatkan pinggulku untuk menekan tonjolan di bagian depan celananya ke selangkanganku. Kak Kirman menanggapi dengan cubitan ringan di puting teteku. Aku mengerang mengungkapkan nikmat yang melanda diriku akibat perbuatannya.
“Aahh Kakak…,” eranganku semakin menjadi. Aku terus membiarkan tangannya sendiri memainkan putingku yang pasti sudah tegak terkena sentuhannya. Pandanganku meredup sebelumnya akhir mataku tertutup menikmati rangsangan.
Aku merasakan Kak Kirman membungkukkan badannya. Kepalanya bergerak lebih rendah ke payudaraku, menciumi bukit kembarku bergantian, kiri-kanan, merayap untuk mencapai tujuan akhirnya. Tapi masih terganggu oleh gamisku yang masih tersangkut di kedua sikuku.
Kak Kirman melepaskan ciumannya dari payudaraku. Melumat bibirku, yang langsung kubalas lumatannya. Lalu kurasakan dia berusaha melepas gamisku dari sikutku. Sedikit kesadaran yang masih tersisa menyebabkan alarm tanda bahaya di pikranku berbunyi.
Tidak..!! Aku tak boleh membiarkannya melucuti gamisku. Sebab kalau itu terjadi, berarti aku akan telanjang bulat hanya tersisa celana dalamku. Aku langsung menepiskan usahanya.
“Jangan Kak… cukup segini saja,” bisikku.
Dia menciumku lagi lalu melepaskannya dan berbisik, “Kakak janji cuma atasnya aja.”
Aku menggeleng, “Jangan Kak. Erna gak mau sejauh itu.”
Kak Kirman menghadapkan wajahku ke wajahnya. Matanya menatap langsung ke mataku. Kami bertatapan. Sinar matanya yang penuh gairah begitu membujuk. Dan akhirnya aku terbujuk. Kulolos kan lengan gamisku berikut tali behaku melewati tangan kanankuku. Gamisku dan beha langsung jatuh tapi masih tertahan bagian lengan kiri. Aku tak mau melepaskan yang terakhir. Aku tak mau gamisku melorot semua ke lantai.
Walau tidak kulepas semua, ternyata itu cukup bagi Kak Kirman. Matanya menyantap buah dadaku yang terbuka. Kedua tangannya kembali memijat teteku, meremas dan memilin-milin putingnya. Dia kembali membungkuk untuk mendaratkan mulutnya di payudaraku. Terus menjalar ke arah putingku. Lidahnya dengan ringan menjentikkan putingnyaku, sebelum mengisapnya ke dalam mulutnya dan berputar-putar dengan lidahnya.
Tanganku bergerak ke belakang kepalanya, jari-jariku terjalin dengan rambutnya, menariknya lebih keras ke dadaku, mendesaknya untuk melanjutkan permainan lidah di puting sensitifku. Aku merasa napasnya semakin berat saat mengerang dan mendesah kenikmatan.
Bibir Kak Kirman kembali ke bibirku, dia sekali lagi mulai menciumnya, menggerakkan tangannya untuk kembali membelai seluruh tubuhku. Tanpa sadar tanganku mengelus ke dadanya terus turun ke bawah perut sampai mencapai bagian atas celana kolornya. Sepertinya di dalam disana sudah keras sekali.
“Erna… teruss Na Kakak sayang sekali sama kamu,” erangnya.
Tiba-tiba Kak Kirman mendorongku telentang di kasur tempat tidur. Dia memposisikan dirinya diantara kedua kakiku, lalu menindihku. Akibat dari kejatuhanku ke kasur dan tindihan tubuhnya, aku merasa bagian ujung bawah gamisku terangkat sampai melewati lututku. Posisi tubuhnyanya menyebabkan aku harus mengangkang. Akibatnya bagian bawah gamisku terangkat sampai ke pahaku.
Aku tak sempat menurunkan kembali ujung gamisku, karena Kak Kirman kembali menyerbuku dengan ciumannya. Dadaku tergencet oleh dadanya, menyebabkan setiap gerakannya menimbulkan gesekan pada putingku. Kembali aku hanyut dalam cumbuannya.
Dari bibirku ciumannya terus turun ke bawah ke sasaran utamanya, yakni kedua puncak bukit kembarku. Lidahnya kembali memainkan putting susuku. Aku yakin kedua putingku sudah begitu mengeras dan tegak. Seperti menara pemancar, sensasi permainan lidahnya di putingku memancarkan rasa nikmat keseluruh tubuh.
Tangan Kak Kirman juga membuka front serangan baru. Tangan kirinya kurasakan mendarat di paha kananku. Mengelus-elus dan memijat disana. Merayap makin ke atas. Menuju pusat rasa geliku yang menanti.
“Aaaah... Kaaak,” erangku ketika tangannya tiba di bukit kecilku yang masih tertutup CD ku. Pinggulku serentak terangkat dari kasur. Seperti tersengat aliran listrik.
“Kakak... jangan disitu, Kak,” larangku. Tapi mana mau dia mematuhinya. Lagipula gerak pinggulku yang merespons elusan tangannya di bukit kecil yang terbelah itu seperti memberikan perintah yang berlawanan dengan kata-kataku sendiri.
Mendapat serangan nikmat di dua bagian tubuhku yang paling sensitif, membuatku hilang kepedulian tentang apa yang sedang ku lakukan dan dengan siapa aku melakukannya. Aku hanya peduli apa yang kurasakan. Kedua tanganku memeluk kepalanya. Jemariku mengacak rambutnya.
Aku ragu apa aku akan membiarkannya meningkatkan level permainan kami. Tapi yang jelas aku tidak ingin menghentikannya. Lalu Kak Kirman melepas tubuhku, mundur dan berdiri di sisi tempat tidur.
Kemudian jari-jarinya dengan cekatan menurunkan celana kolor sekaligus celana dalamnya. Batang kerasnya langsung mengacung tegang sekali. Ukurannya cukup besar walaupun masih di bawah ukuran milik suamiku. Dia membungkuk untuk melorotkan kolor dan celana dalam sampai ke bawah.
Aku melihat Kak Kirman berdiri dalam keadaan telanjang bulat, dengan batang kontol yang mengacung tegak. Baru kali ini aku melihat langsung lelaki dewasa telanjang bulat, selain suamiku. Aku tercengang di buatnya.
“Kak Kirman mau ngapain?” tanyaku tak percaya dengan apa yang kulihat. Mataku masih terpaku pada batang kontolnya.
“Erna gak mau lebih jauh dari ini Kak,” bisikku lirih. Rasa takut mulai menjalariku.
Apakah Kak Kirman mau menyetubuhi? Apa aku mampu mencegahnya? Apa yang akan terjadi denganku dan rumahtanggaku. Kak Firman menghampiriku.
“Jangan Kak,” kucoba mengingatkannya. Mataku masih terpaku pada benda yang mengacung di selangkangannya. Dia tetap menghampiriku. Tangannya kembali menjangkau buah dadaku. Mulai meremas-remas disana. Tapi gak terlalu ngefek padaku. Rasa takut menurunkan gairahku.
Lalu tangannya menggapai gamisku yang menggulung di pinggangku. Aku sadar dia bermaksud melepaskan gamisku seutuhnya. Lalu celana dalamku. Membuatku telanjang bulat sepenuhnya. Aku belum mau itu terjadi.
“Jangan Kak.. Erna gak mau... Kita udah terlalu jauh,” cegahku sambil mempertahankan gamisku.
“Ayolah, Na... Kakak pengen sekali,” jawab Kak Kirman.
“Gak Kak. Erna Gak mau sejauh itu. Erna gak mau khianatin suami.”
“Please Na. Sekali ini aja,”rayunya
Lalu entah dari mana datangnya kekuatanku. Kali ini aku tak mau menyerah. Dia tetap memaksa. Sejenak kami saling tarik menarik gamisku. Tiba-tiba... Plak!!! Tangan kananku mendarat di pipinya. Kakiku menendang perutnya. Dia jatuh terduduk. Ekspresi wajahnya memperlihatkan kekagetan. Aku sendiri kaget akan reaksiku. Aku kini bangkit merubah posisi dari berbaring menjadi duduk di tepi tempat tidur. Aku menarik gamis menutupi ketelanjangan payudaraku. Tapi aku belum memakainya.
“Jangan paksa Erna, Kak. Erna sudah bersuami. Segini aja kita udah terlalu jauh,” jelasku. Mentalku saat itu sudah lebih kuat. Aku akan menghentikan semua ini. Kalau perlu aku akan melawannya sekuat tenaga. Aku bermaksud memakai kembali pakaianku.
Dan terjadilah yang tak terduga.... Kak Kirman masih dalam keadaan duduk, menundukkan kepalanya. Kedua tangannya menutupi wajahnya. Pundaknya terguncang menandakan dia sedang menangis.
“Maafin Kakak, Na. Kakak gak bermaksud memaksa Erna. Kakak kebawa nafsu,” katanya disela rintihannya.
Aku terpana. Jujur aku tak siap melihatnya menangis. Aku menjadi iba.
“Maaf Kak. Erna gak bermaksud kasar,” kataku
“Kamu pantas marah. Malah pantas mukul Kakak. Kakak emang jahat berusaha menodai kamu. Kakak sudah sangat keterlaluan,” lanjutnya.
“Erna juga salah Kak,” jawabku. Aku tak ingin dia menanggung kesalahan sendiri. Bagaimanapun aku juga bersalah.
“Gak Na.. Kakak emang udah keterlaluan.”
“Harusnya Kakak menjagamu. Bukan memaksa kamu. Kakak masih terlalu mencintaimu. Setiap hari Kakak selalu teringat kamu. Merindukan Erna. Kakak selalu membayangkan seandainya Kakak yang menjadi suami. Bercumbu di kamar ini,” lanjutnya. Aku jadi semakin merasa bersalah.
Tidak, Kak. Kakak gak salah, Erna yang salah. Kakak gak tau kalau Erna sengaja kesini untuk menggoda Kakak, aku menjerit dalam hati. Rasa bersalahku semakin besar. Aku tak jadi melanjutkan memakai kembali gamisku dengan benar. Aku meraih kepalanya dan memeluknya. Gamisku luruh lagi. Bagaian atas tubuhku kembali terbuka.
“Kamu gak tau Na. Kakak sering membayangkan kita melakukan hubungan sebagai suami istri. Kakak membayangkan memberikan kepuasan ke Erna setiap saat ada kesempatan. Kakak akan selalu membahagiakan Erna,” katanya lagi. Wajahnya kini terbenam di antara kedua buah dadaku. Kini dia tidak menutupi wajahnya lagi. Kedua tangannya diletakan di kedua lututku.
“Tapi Erna sudah jadi istri orang, Kak,” aku mencoba menyadarkannya.
“Kakak tau. Kakak iri sama suami kamu. Betapa beruntungnya dia memiliki kamu,” jawabnya. Hatiku jadi galau.
“Kamu gak tau Erna. Betapa sakit hati Kakak kehilangan kamu. Perih sekali kalau membayangkan Erna berdua sama suami di tempat tidur,” rintihnya terluka. Aku jadi ikut merasakan penderitaannya.
"Kakak masih berharap suatu saat Erna jadi milik Kakak," bisiknya.
“Maafin Erna, Kak,” kataku. Aku mengecup rambut di kepalanya terus menempelkan pipiku disana. Aku merasa tangannya mulai mengusap-usap lututku. Aku membiarkannya. Mungkin itu bisa mengurangi penderitaannya. Biarlah...
Aku membiarkan telapak tangan yang mengelusi lututku mulai merayap ke pahaku. Kak Kirman memijat-mijat disana. Memanggil kembali rasa geli yang sempat menghilang.
Bibirnya kini mulai mengecup lembah di antara kedua bukit payudaranya. Tangannya sudah tiba di pangkal pahaku. Disusul bibirnya telah kembali ke puncak bukit kenyalku. Menghisap putingku. Nikmat gairah yang sempat pergi mulai kembali lagi.
Aku menggerakkan kakiku merenggang untuk memberinya akses ke tempat di mana sekarang sangat ingin kembali disentuh. Dia tidak mengecewakan. Tangan kirinya menyelinap ke dalam bagian depan celana dalamku dan langsung bagian yang sekarang sangat basah. Menggosok klitorisku beberapa kali. Tipisnya bahan celana dalamku tak mampu meredam sensasinya.
Bibirku melepas erangan kembali. Sensasi rangsangan membawaku kembali ke gelombang gairah birahi. Dan sekarang, jari-jari Kak Kirman menelusuri sepanjang celah memekku. Naik turun dengan kecepatan yang meninggi menyebabkan pinggulku bergoyang karena serangan di memekku.
Kembali benakku dipenuhi kebimbangan. Apakah aku harus membiarkan dia mendapatkan keinginannya yang mungkin keinginanku juga atau aku menghentikannya dan menyelematkan pernikahanku.
Tiba-tiba, Kak Kirman melepaskan ciumannya pada putingku. Berpindah ke paha dalamku. Lalu menyusur ke arah pusat kenikmatanku. Aku semakin merenggangkan kakiku. Kakiku naik ke tepi tempat tidur. Aku memindahkan berat badanku ke belakang dan bertumpu pada lengan kiriku. Tangan kananku menarik kepalanya ke arah memekku.
Dan kebimbanganku lenyap seketika. Aku langsung memutuskan.
“Asal jangan sampai yang 'itu', ya Kak,” aku meminta jaminan. Dia mengangguk.
Karena ingin menuntas apa yang sudah menggelora, akupun langsung berbaring telentang. Kak Kirman merangkak di tempat tidur tangannya meraih gamisku. Seperti tadi dia ingin melepaskan sisa pakaian yang masih melekat di tubuhku. Kali ini aku sudah memutuskan untuk membiarkannya. Kupejamkan mataku menunggu.
Beberapa saat kutunggu, Kak Kirman belum juga meneruskan niatnya. Aku membuka mataku, kulihat dia sedang menatapku menunggu persetujuanku. Aku mengangguk. Kuangkat pinggulku untuk memudahkannya. Kak Kirman langsung menyelesaikan misinya , memerosotkan gamis berikut celana dalamku.
Sekarang aku berbaring telentang dalam keadaan telanjang bulat. Ku renggangkan kakiku untuk memberikannya akses yang selama ini hanya kuberikan kepada suamiku. Aku merasa sangat terbuka sekarang. Mata Kak Kirman terfokus pada memekku yang pasti sudah basah sekali. Kak Kirman langsung merangkak ke atasku. Menempatkan pinggulnya diantara kedua kakiku.
“Jangan dimasukin ya... janji,” aku masih mencoba mengingatkan akan janjinya. “Ayo sekarang...” nafsuku menuntutnya untuk segera.
Aku tidak perlu mengatakan dua kali dan dengan cepat Kak Kirman menurunkan pinggulnya di antara pahaku dan menempelkan batang kontolnya yang sudah tegang sepenuhnya di sepanjang vaginaku yang terbuka. Dia mulai bergerak maju mundur dan menyebabkan batang kemaluannya meluncur di sepanjang celah memekku. Kali ini simpul-simpul syaraf di memekku tidak lagi terhalang bahan celana dalam.
Kini tubuh Kak Kirman menindihku. Tubuh kami merapat. Buah dadaku tergencet dadanya. Aku merangkulnya erat. Mulutku melumat mulutnya. Lidah ketemu lidah.
Kubiarkan diriku larut dalam momen itu. Merasakan gelombang nikmat menjalar ke seluruh tubuhku. Kak Kirman pasti tahu aku sudah di dalam kekuasaannya, eranganku semakin keras saat napasnya semakin berat. Dia membuat diriku menyerah mengirimkan gelombang orgasme yang mulai meninggi ke seluruh tubuhnya, pinggulku naik turun mengikuti gerakannya, rintihan dan eranganku memenuhi kamarnya dengan ekstasi. Desahan nafas Kak Kirman juga semakin cepat.
Beberapa kali ujung kepala jamurnya, kurasakan tergelincir ke lubang memekku sampai ke ambang pintu guanya. Tapi Kak Kirman tidak pernah melanjutkan masuk. Aku gak tau apa harus merasa lega karena tidak melewati batas yang kutetapkan sendiri, atau kecewa. Kurasa, aku merasakan keduanya.
Pinggulku terangkat. Membuat lubang kewanitaanku sejajar dengan lintasan gerakan batang kontolnya. Dan ketika lagi-lagi kepala jamur itu tergelincir disana, kali ini masuk agak lebih dalam. Aku merasakan kepalanya melewati pintu lubang menuju syurga kenikmatanku.
“Aaahh Kaak,” erangku. Kak Kirman pelan melanjutkan gerakannya. Licinnya lubang senggamaku dan gerakannya yang lebih menekan membuat batang kontolnya cepat menyelusup masuk.
Ssleebbbs... Batang kontol itu pun masuk seutuhnya. Batang kontol pertama yang bukan milik suamiku yang memasuki lubang kenikmatanku.
“Aaahh Kak.. Masuk Kak,” entah kenapa aku merasa harus memberitahukannya. Padahal Kak Kirman juga pasti tahu dan emang sengaja memasukkannya.
“Ahh.. Enak banget Na...,” erangnya
“Kok dimasukin Kak?” protesku tapi mungkin hanya seper seratus hati. Buktinya pinggulku terangkat dan bergoyang mengikuti gerakan keluar masuk kontolnya.
“Iya Na.. Kakak gak tahan Na.. Aaahhh.. Enak banget memek kamu,” jawabnya
“Aahh Kakak.. Ssshhh gak pegang janji,” aku berceloteh gak jelas.
Tiba-tiba dia menarik pinggulnya seperti mau mencabut lepas.
“Maaf Na... Kak keluarin lagi ya?”tanyanya.
Aku langsung menekan pinggulnya agar merapat lagi. Kontolnya kembali masuk.
“Udah terlanjur Kak... terusin.. Aahhh... enak Kak,” erangku.
Kak Kirman kembali menggenjotku. Aku mulai meraih orgasmeku. Sepertinya dia juga.
“Aaahhh Na.. Kakak sayang Erna.. Ah nikmat banget Na,” rayunya.
Aku tidak lagi peduli akan rayuannya. Sekarang hanya gairah birahi yang menuntut segera dituntaskanlah yang aku pedulikan. Genjotannya yang aku inginkan.
“Aaahh.. Terus Kak.. Erna mau sampai,” kataku.
Kak Kirman tidak lagi menjawab. Nampaknya dia akan segera muncrat. Genjotannya tambah cepat dan berkekuatan. Ekspresi wajaknya mengeras.. Dan..
“Ooohhh... Naaa...” akhirnya.
Crot-.crot.. Crot.. Aku merasakan pejuhnya memancar dalam rahimku. Semburan itu mendorongku ke puncak orgasme ku sendiri.
“Arrgghh... Kak.. Enak,” jeritku saat mencapai orgasmeku.
Aku membiarkannya rubuh di atas tubuhku. Lambungan ekstasi kenikmatan dari orgasmeku membuatku tak merasakan berat tubuhnya. Beberapa saat seperti itu lalu berguling ke sebelah kiriku telentang di sampingku. Lama terdiam di sana.. Hanya nafas kami yang saling berpacu. Lama-lama mulai normal.
Aku membuka mataku menoleh ke arahnya. Matanya masih tertutup belum sepenuhnya pulih dari orgasmenya. Aku membelai payudaraku sendiri dan bermain dengan putingnya. Meresapi orgasmeku yang masih tersisa. Aku meraba memekku dan mengambil alih tempat dimana kontol Kak Kirman baru saja menguasai. Terasa pejuhnya disana bercampur cairanku sendiri. Rabaan-rabaanku membuat ekstasi orgasme sedikit bertahan lama. Lalu ku lihat matanya terbuka. Nafasnya sudah sepenuhnya normal. Dia memiringkan tubuhnya menghadap ke arahku. Tersenyum. Tangannya membelai rambutku.
Belaian lembut itu hampir terasa seperti ungkapan perasaan lelaki yang pertama kali merasakan orgasme. Aku menikmati perasaannya ini menggunakan tubuhku untuk menyenangkan dirinya sendiri, terutama karena aku telah membawanya ke orgasme persetubuhan pertama kali baginya. Seperti perasaan aku telah mempersembahkan tubuhku kepada seorang kekasih.
Kekasih? Kata itu sedikit berputar di kepalaku. Dia jauh dari kategori kekasihku sekarang. Tidak juga dulu. Dulu hanya kedekatan teman sepermainan sampai beranjak remaja. Cinta monyet istilahnya. Aku tidak pernah mencintainya.
Aku tak percaya apa yang baru saja terjadi. Aku telah berzinah. Membiarkannya menzinahiku. Aku datang ke rumahnya memang untuk berzinah dan tidak lebih. Aku telah berhubungan seks dengannya. Aku telah menyerahkan tubuhku untuk dinikmati lelaki yang bukan suamiku sekarang dan aku tahu aku menyukai sensasinya.
Kak Kirman tidak seganteng suamiku. Tidak seasyik suamiku. Bahkan kemaluannya tidak sebesar milik suamiku. Tapi tetap aku menikmati persetubuhan yang baru saja terjadi.
Ada sensasi berbeda dengan persetubuhanku dengan suami. Aku baru tahu bahwa aku bisa menikmat hal seperti itu, menyukainya seperti itu, tanpa cinta, hanya gairah dan birahi.
Lalu kesadaranku hadir.... Ya Tuhan aku mengkhianati suamiku. Lelaki yang kucintai dan mencintaiku. Aku telah berbuat zinah. Dosa yang sangat besar. Yaa Tuhan betapa teledornya aku, hingga semua ini terjadi.
Maka pecahlah tangisanku.
=================
Bagian ke lima
SEORANG DEWI SEKS BANGKIT
Lamunanku terganggu oleh gerakan tangan Pak Joko meremas buah dadaku. Aku menoleh menatapnya. Dia masih memejamkan matanya. Sepertinya masih tertidur. Atau mungkin masih ngumpulin nyawanya, pikirku. Pasti tadi dia kecapekan memforsir tenaganya untuk memberikanku kepuasan.
Aku jadi teringat setiba aku di rumah orangtuaku, aku langsung mandi. Di kamar mandi aku menggosok tubuhku, mencoba menghilangkan noda zinah yang baru aku lakukan bersama Kak Kirman dari tubuhku. Berulang kali aku menyabunin tubuhku namun tetap saja merasa kotor. Kukorek lubang senggamaku mengeluarkan semua pejuhnya yang mungkin masih tersisa se dalam mungkin, tetap saja aku merasa noda itu bersemayam disana.
Aku malah masih merasakan bagaimana batang keras kemaluan Kak Kirman bergerak keluar masuk lubang itu. Masih terasa bagaimana esekan batang itu dengan dinding vaginaku memberikanku kenikmatan yang berbeda dengan milik suamiku. Bagaimana sensasi semprotan spermanya ke rahimku mengirimku ke puncak orgasme.
Entah bagaimana memori tentang nikmat yang diberikan Kak Kirman tidak bisa kubersihkan dari otakku. Menimbulkan sensasi gairah yang aneh di tengah rasa penyesalanku. Aku tak mengerti bagaimana itu bisa terjadi, batinku. Secara fisik dia tak semenarik suamiku. Wajahnya. Senyumannya. Bahkan ukuran kejantanannya. Permainannyapun tak selama suami. Biasa saja. Tetapi sensasi gairahnya terus memenuhi ingatanku.
Bahkan ketika aku pulang ke rumah, dan malamnya suamiku memperlihatkan gairah meminta, aku melayani. Ingatanku atas hubungan seksku dengan lelaki lain, membuatku lebih aktif dari biasanya. Orgasmeku pun lebih memuncak.
“Bunda malam ini mantap banget,” puji suamiku setelah kami sama-sama terkapar waktu itu. Suami nampak tersenyum lebih bahagia dari biasanya.
Aku cuma membalas senyum dan memeluknya. Satu-satunya cara menghindari mataku bertatapan dengannya. Ahhh... Seandainya Ayah tahu, kata batinku, pasti Ayah gak akan tersenyum. Tapi setidaknya pengaruhnya cukup positif untuk malam itu. Maafin Bunda Ayah... Bunda janji gak akan mengulanginya lagi.
***
Tangan Pak Joko menarik ke dalam pelukkan, ini memaksaku memiringkan tubuh ke arahnya. Kini aku dan dia berhadapan dalam posisi berbaring miring. Dia mengecup bibirku. Aku membalasnya. Sekarang matanya sudah terbuka sepenuhnya.
“Jam berapa sekarang?” tanyanya.
“Jam empatan,” jawabku. Aku tadi sempat melihat jam.
“Hhhhmmmm pulas banget tidur Bapak... Erna gak tidur?”
“Tidur. Baru bangun juga.”
Pak Joko tersenyum menatapku. Tangannya mengelus buah dadaku. Aku teringatkan keadaan kami masih sama-sama telanjang bulat. Bahkan kami gak sempat menyelimuti tubuh dengan selimut. Terasa pahaku basah akibat sebagian pejuhnya mengalir keluar.
“Tadi itu enak sekali, Na. Kamu luar biasa mainnya,” puji Pak Joko. Wajahku terasa memerah. Setiap wanita pasti senang kalau permainan seksnya mendapat pujian. Mungkin. Tapi yang pasti aku merasa tersanjung.
“Bapak juga hebat. Erna sampai tepar,” aku membalas pujiannya. Tapi memang bukan pujian kosong.
Ingatanku langsung memutar ulang seperti kaset video memutar kembali adegan demi adegan mesumku dengannya. Bahkan bukan hanya gambarnya yang terputar kembali. Rasanya juga.
Kontol Pak Joko yang besar itu benar-benar menyesaki lubang kewanitaanku. Bahkan terasa menyentuh daerah-daerah dalam gua kenikmatanku, yang belum pernah tersentuh lelaki manapun. Bahkan kepala jamurnya terasa seperti mendorong mulut rahimku jauh kedalam.
Ketika Pak Joko mulai bergerak memompa kontol super besarnya merangsang seluruh syarafku, tak ada yang tertinggal. Gerakan pompanya kadang lambat dan lembut, kadang cepat menyentak. Ketika pelan, aku memutar pinggulku. Ketika cepat aku mengangkat punggulku lebih tinggi. Dia yang memimpin aku mengimbangi.
Menjelang puncak, Pak Joko menindih tubuhku. Aku merangkulnya erat. Sekarang bukan hanya kelamin kami yang bergesekan tapi hampir seluruh tubuh kami saling bergesekan. Perutnya dengan perutku. Dadanya dengan dadaku. Bibirnya dengan bibirku. Jelas aku bersetubuh dengan seorang dewa seks.
“Ngelamunin apa Na?” Pak Joko mengganggu lamunanku untuk kesekian kali.
“Nggak... cuma keingatan yang barusan,” jawabku malu.
“Kenapa?”
“Kita gila ya? Bapak sih nggak kali. Tapi Erna kan harusnya gak melakukan itu,” aku menjawab malu.
“Nggak apa-apa. Sekali-sekali nakal nggak apa-apa kan,” jawabnya mencoba mengusir rasa bersalahku. Tangan kirinya meninggalkan dadaku untuk membelai rambut. Tangan kanannya menopang kepalanya.
“Nggak tau lah,” jawabku. Kali ini aku benar. Aku nggak tau apa arti semua ini.
Tangannya sekarang membelai tubuhku lembut. Dari pundak ke pinggul. Pinggul ke pundak. Bolak-balik entah berapa kali sebelum kembali ke dadaku.
Pak Joko ingin bercinta lagi. Pengalamanku membawa pada kesimpulan itu. Dia ingin memasuki diriku lagi, mengisiku dengan kontolnya yang besar. Kini mulutnya menggantikan tangannya mencumbu tetekku. Tangannya pindah ke bukit rimbun di antara kedua kakiku. Bergerilya di hutan kecil disana. Aku melirik ke bawah melihat tangannya beraksi, lalu beralih ke kemaluannya yang masih belum membesar penuh. Tanganku langsung menggapainya. Kuelus-elus kontol besar yang sudah dua kali memberikanku kenikmatan. Aku haus.
“Erna haus...,” kataku. Aku segera bangkit berdiri ke arah meja kecil dimana 2 botol air mineral tersedia. Aku berjalan melintasi kamar itu dalam keadaan bugil tanpa merasa canggung. Seakan-akan itu adalah kamar tidurku. Seolah-olah lelaki yang berbaring sama telanjangnya denganku itu adalah suamiku. Aku yakin mata lelaki itu melahap bagian belakang tubuhku. Terutama ‘boncenganku’.
Pantatku yang lumayan besar adalah andalanku. Selalu menjadi daya tarik bagi lawan jenis. Suamiku biasa menyebut pantat penggoda iman. Sekarang aku yakin Pak Joko sedang mengagumi pantatku. Aku merasa sangat seksi dengan ketelanjanganku. Aku merasa sangat binal. Seorang guru berhijab yang binal.
Aku membuka botol air mineral. Perlahan. Aku ingin memberi waktu pada Pak Joko menikmati pemandangan tubuhku.
“Bapak mau minum?” tawarku kepadaku akhirnya.
“Mau, Na. Kamu seksi sekali, Na. Badan kamu kayak belum pernah melahirkan,” puji Pak Joko.
“Masa sih, Pak?” jawabku senang.
Aku berjalan menghampirinya sambil membawa botol air mineral. Telanjang bulat tanpa merasa canggung. Aku menjadi merasa sangat bergairah. Rupanya kebinalan ini sangat menggairahkanku. Melakukan sesuatu yang nakal, yang biasanya jauh dari kelakuanku sehari-hari sebagai wanita berhijab, menimbulkan sensasi tersendiri. Lelehan pejuhnya yang mengalir dari memek ke pahaku kuyakin menambah binal penampilanku.
Pak Joko bangkit dari berbaring. Duduk di sisi tempat tidur. Kakinya merenggang, menyambutku. Dia Menariku pinggangku. Aku berdiri di antara kedua kakinya. Aku memberinya botol air mineral itu, tapi kemudian berubah pikiran. Kutenggak air dari botol milikku, dan menyimpannya di mulutku. Aku mencegahnya membuka botolnya.
Aku membungkuk menciumnya dan memberinya minum langsung dari mulutku. Kami berciuman, sebagian air tumpah, kami tak peduli. Ciuman kami berpisah, dia menelan airnya. Lalu kuulangi lagi, sampai empat kali. Dia memberi isyarat tanda cukup baginya soal minum air. Dia ingin yang lain.
Dia mencium atas perutku. Dalam posisi aku berdiri, dia tidak bisa menjangkau putingku. Hanya bisa menciumi pangkal payudaraku. Tapi itu cukup. Tangannya meremasi pantatku. Tangan yang lain menggantikan peran mulutnya. Meremasi tetekku dan memilin-milin putingnya. Putting-putting itu segera mengeras dan tegak. Tak lama, tangan itu bergerak ke bawah menelusuri perutku, lalu ke bawah lagi mengelus-elus pahaku.
Tanganku merangkul kepalanya, kuresapi kenikmatan yang diberikannya. Lalu kurasakan tangannya bermain di kewanitaanku. Aku merasakan gairahku bangkit kembali. Baiklah, putusku, akan kuperlihatkan kebinalanku. Kalau dua persetubuhan yang lalu, Pak Joko yang mengambil inisitif, sekarang giliranku menunjukan kemahiranku bermain cinta.
Aku menengok ke bawah, pandanganku terhalang oleh kepala Pak Joko. Kudorong sedikit pundaknya agar merenggang sedikit. Dia menengadah memandangku. Kutekuk lututku sedikit sehingga wajah kami jadi sejajar. Kucium bibirnya. Mulut kami kembali saling melumat, tapi kali ini aku yang lebih agresif. Lidahku menerobos ke dalam mulutnya bermain-main disana. Setelah kurasa puas berciuman, mulutku berpindah ke telinganya dan lidahku menjilatinya.
“Erna kepengen diewe lagi sama kontol Bapak,” kubisikan kata-kata kotor di telinganya.
Kurasa Pak Joko terkejut mendengarnya, sebelum akhirnya mengangguk. Lalu jilatanku turun lebih ke bawah menelusuri dadanya yang bidang, sasaranku adalah putting-putting susunya, kuhisap, lidahku bermain-main di putingnya. Apa yang di permainan lalu dilakukan Pak Joko kepadaku, kini kukembalikan kepadanya.
Kini aku berlutut di antara kedua kakinya. Kedua tanganku menggenggam, batang kemaluannya yang mulai mengeras dan menegang. Kukocok batang kemaluannya dengan lembut. Aku menengadah untuk melihat pengaruh perbuatanku. Pak Joko terlihat memejamkan mata. Jelas dia sedang meresapi kenikmatan yang kuberikan.
“Ssshhhhh... ahhh... enak Na,” erangnya membuatku semakin gairah. Memberikannya kenikmatan menimbulkan rasa nikmat tersendiri dalam diriku. Sex memang proses yang aneh.
“Bapak suka gak, Erna kocokin?” tanyaku memastikan.
“Suka banget... enak.. Terusshhh Na,” jawabnya
Kurasakan batang kemaluan itu berdenyut. Semakin besar dan semakin keras. Aku terus mengocoknya. Kedua tangan Pak Joko menggapai kedua bukit kenyal di dadaku. Memainkan putingku. Kami seperti berlomba memberikan kenikmatan satu sama lain. Saatnya bergerak ke bawah lagi. Kini aku bersimpuh. Wajahku sekarang sejajar dengan batang kontolnya.
Aku mulai menjilati kepala jamur kontolnya. Tangan kananku pindah ke kantung zakarnya. Memijat lembut buah zakarnya, sementara tangan kiriku tetap mengocok batangnya, berkolaborasi dengan bibir dan lidahku.
“Gila enaknya, Na...Bapak belum pernah ketemu cewek binal kayak kamu,” puji Pak Joko lagi. Tangannya meremasi rambutku, sambil menekan ke arah selangkangannya. Penciumanku menangkap aroma khas kontol yang habis memasuki lobang memekku dan memuncratkan pejuh disana. Bau khas selangkangan lelaki bercampur dengan bau sperma dan cairan pelicinku sendiri. Aku menyukai bau itu.
Sekali lagi aku menengadah untuk memeriksa hasil kerjaku melalui ekspresi wajahnya. Terlihat jelas bahwa hasil kerjaku sangat memuaskan. Aku kembali fokus pada batang kontolnya. Kucium kepala jamurnya sebelum ku mulai memasukkan ke dalam mulut. Kuhisap kuat batang kenikmatannya, sambil kuturunkan kepalaku membuat batang besar itu masuk lebih dalam. Tentu saja tidak bisa muat semuanya.
Aku mulai menaik turunkan kepalaku, menggerakkan bibirku sepanjang kemaluannya. Memutar tanganku di batangnya saat aku mengeluarkan batang kontolnya dari mulut sambil menghisap kuat-kuat. Dan aku memainkan lidahku saat aku memasukkan batang itu ke dalam mulut sambil tanganku mengurutnya ke pangkal. Aku melakukan ini beberapa kali, menikmati perasaan itu di mulutku, mengetahui kesenangan yang aku berikan padanya.
Ketika aku menyetubuhi batang kejantanannya dengan mulutku, Pak joko terus mendesah dan mengerang. Sekarang, tangan kananku meninggalkan kantung zakarnya dan bermain di memekku sendiri, mulai menggosok klitorisku sendiri, bergairah dengan apa yang aku lakukan padanya. Aku juga memasukkan jari tengahku kedalam lubangnya. Jari telunjukku segera menyusul. Aku memberikan kenikmatan pada dirinya dan diriku sekaligus.
Suara becek di memekku berorkestra dengan suara seruput mulutku di batang kontolnya. Pak Joko hanya bisa meremas rambutku. Akulah sekarang yang mengendalikan permainan. Kemahiranku bermain yang menentukan kualitas kenikmatan yang kami berdua rasakan. Gairah birahiku kembali memuncak, sehingga aku merasa bisa mencapai orgasme dengan kocokan jariku sendiri. Hal yang sama kuyakin sedang dirasakan olehnya.
Shit. Aku belum kepengen orgasme. Masih belum waktunya. Aku masih ingin pegang kendali dan mendemonstrasikan kemahiranku bercumbu. Aku ingin bersetubuh seliar-liarnya. Kali ini, aku ingin all out. Bahkan aku ingin melakukannya secara sadar sebagai seorang yang bersuami. Persetan untuk kali ini.
Aku segera bangkit berdiri, merenggangkan kakiku, menyebrangkan kedua kakiku mengangkangi pahanya. Aku membiarkannya mencumbu perutku sebentar. Kedua tangannya meremasi setiap bongkahan pantatku. Lalu aku merendahkan tubuhku. Kupegang batang kenikmatannya di mulut vaginaku untuk sesaat menggosoknya bolak-balik untuk menyebarkan cairan vaginaku ke batangnya sebelum mengambil napas dalam-dalam dan menurunkan diriku lebih lanjut, dan dia tenggelam jauh di dalam diriku dalam satu gerakan perlahan. Aku melingkarkan tanganku di lehernya dan membenamkan wajahnya di dadaku, aku menghentikan gerakan pantatku lebih dari separuh jalan dan menahan usahanya untuk mendorong ke dalam diriku.
"Sabar ...Pak," aku terengah-engah. "Sebentar." Aku diam tak bergerak, mata kami saling menatap. Aku tersenyum nakal. Aku ingin dia berharap aku melanjutkan gerakanku membenamkan seluruh batang kejantanannya. Kurasakan tangannya menarik pinggangku ke bawah. Aku bertahan. Sedikit kuputar pinggulku. Aku ingin dia tahu bahwa akulah sekarang yang pegang kendali.
Akhirnya dia tidak lagi menarik pinggangku ke bawah. Sekarang kedua tangannya meremas-remas dadaku. Mengarahkan ke dua putingku ke dalam mulutnya. Keliatannya dia paham bahwa akulah yang memimpin babak ini. Lalu aku turunkan lagi tubuhku sampai duduk dipangkuannya. Sekarang dia sepenuhnya di dalam tubuhku.
Berat badan kuseimbangkan di antara selangkangan kami. Aku tidak ingin kantung zakarnya tergencet. Aku membiarkan posisi tersebut beberapa saat. Semenit, dua menit mungkin, tapi seakan berjam-jam. Dan kemudian perlahan, hampir tanpa terasa, aku mulai menggerakkan pinggulku berputar. Kontolnya tetap terkunci di dalam diriku, tulang kemaluan kami menggiling satu sama lain. Aku bergoyang-goyang, kecepatannya secara bertahap meningkat sampai aku sendiri hampir tidak tahan lagi. Kadang kuselingi gerakan maju mundur, bukan naik turun. Punggungku melengkung, menahan beban gairah.
Lalu aku mencondongkan tubuh ke depan dan mengayunkan pinggulku ke depan dan ke belakang sambil menciumnya. Tentu saja gerakan itu sedikit menguntungkan karena klitoris bergesekan bagian bawah perutnya. Menimbulkan kenikmatan yang melemparku mendekati orgasmeku sendiri. Akhirnya Pak Joko tidak sanggup bertahan lagi dan meraih bongkahan pantatku . Diangkatnya pantatku secukupnya sehingga dia bisa mendorong masuk dan keluar dari vaginaku yang sudah licin. Aku menghela nafas dalam-dalam, suaraku parau dan tegang.
"Ah, ah, terus Pak," aku mengerang dan tidak lagi mencoba untuk mengendalikan tempo. Aku juga mulai menggerakkan tubuhku naik dan turun menyesuaikan setiap dorongannya. Dia menarikku lebih dekat dan mengisap putingku sementara aku menungganginya. Kami mulai bersetubuh dengan liar, tidak lagi bercinta.
Kami bersetubuh seperti binatang, napas kami terengah-engah sesak. Keringat kami beterbangan ke segala arah dan suara mengerang keras yang tidak dapat dikenali hampir menenggelamkan suara tamparan ketika tubuh kami yang saling berbenturan. Kami berebut meraih orgasme kami sendiri-sendiri. Tidak ada lagi kepura-puraan basa-basi, hanya nafsu birahi liar, egois menuntut untuk dipenuhi, dan tidak terkendali.
Ah, ah, arrghh.. Argh, plak-plak, plok-plok. Desah nafas, Erangan, suara tamparan, dan suara kecipak cairanku yang makin membanjir.
Akhirnya, kucengkeram kedua pundaknya, dan....
“Paakkk... aaahhh... nikmaaat..” aku mengerang seperti tangisan dan roboh ke arahnya. Aku benar-benar luluh lantak oleh ledakan orgasme. Dia memelukku erat-erat, aku hanya bersandar kehabisan tenaga. Napasku begitu berat. Pak Joko memberiku kesempatan menikmati ekstasi orgasmeku. Nafas perlahan kembali agak normal. Aku langsung melumat bibirnya.
Tangannya tetap di kedua bongkahan pantatku. Sambil menahan berat badanku, dia berdiri menggendongku. Tanganku reflek merangkul lehernya. Kakiku merangkul pinggangnya. Aku bisa merasakan cairanku menetes keluar dan mengalir di atas biji-bijinya. Kontolnya masih tetap tegang terkubur di dalam diriku.
Aku sadar Pak Joko ingin segera meneruskan untuk meraih kepuasannya sendiri. Dia mengangkat dan menurunkan tubuhku, membuat kontolnya kembali bergerak keluar-masuk. Karena tidak punya tumpuan aku tidak bisa mengimbanginya, kecuali mengikuti saja gerakannya menggendongku naik-turun. Makin lama makin cepat. Gairahku yang belum sepenuhnya reda segera menyalah kembali. Aku melumat bibirnya.
Suara erangan, desahan, tamparan dan kecipakan kembali memenuhi kamar motel itu.
Aku kagum akan kekuatan Pak Joko menggendongku. Suamiku takkan kuat lama menggendongku. Apalagi sambil menggenjotku. Lima menit kemudian aku merasa Pak Joko sudah hampir meraih orgasmenya. Aku pun mau meraih yang kedua di babak ini. Tiba-tiba dia menjatuhkan ku ke kasur, lalu menindihku.
Dia mendorong dirinya masuk ke dalam diriku sepenuhnya , memutar pinggulnya dengan setiap dorongan, kakinya mendorong kasur dengan ritme bergantian, mencapai setiap bagian dalam diriku. Tubuhku bahkan ikut terdorong, hingga kepalaku mencapai sisi seberang tempat tidur. Aku tenggelam dalam gelombang besar kenikmatan. Aku tidak bisa mengatur napas, hampir tidak bisa melihat, dan aku tidak tahu apakah aku bisa menahan sensasi lebih banyak lagi.
“Arrgggh Bapaaaaak enak banget... memek Erna sesak banget... entot Erna terus Paak,” erangku liar dan kotor.
“Aaaahhh.. Memek Erna enak sekali Na... Bapak pengen entotin Erna teruuusssh,” igaunya diujung desahannya.
Gelombang nikmat birahi yang telah naik di dalam diriku akhirnya menerobos ke permukaan, dan ketika aku hampir mencapai puncaknya, itu dengan suara erangan asli tanpa dibuat-buat. Kali ini, dia melepaskan dan ikut denganku, menambahkan suara kebinatangannya sendiri ke suaraku. Dia telah menghabiskan setiap tetes energiku, membakar tubuh kami berdua, terkuras, dan basah kuyup. Dan aku sangat menyukainya.
“Bapak gak kuat lagi... pengen keluar... pengen mejuhin Erna lagi.”
“Uuhhh...Keluarin Pak... Erna suka dipejuhin Bapak... Erna juga mau keluar lagi.”
“Aaarrgghh... Bapak.. Keluaaaaarrrrrr"
Croot... crooot...crooot... Kontolnya berdenyut di dalamku, walaupun terasa tidak banyak semprotan spermanya ke dalam rahimku. Namun bayangan kontol itu akhirnya memuncratkan pejuhnya, di pikiranku berhasil membawaku ke orgasme kedua. Tubuh kami sama-sama mengejang. Sebelum sama-sama ambruk.
Kali ini kontolnya cepat mengecil dan dengan sendirinya keluar dari tubuhku. Pak Joko meraih dan membelai rambutku, dengan lembut menarik wajah untuk memiringkan kepala ke arahnya. Aku bisa melihatnya. Matanya terpejam, ekspresi kepuasan total di wajahnya. Aku mencondongkan tubuh ke depan dan mencium kedua kelopak matanya, hidungnya, dan sudut mulutnya.
Dia tersenyum sambil tetap terpejam dan menciumku ringan di mulutku lembut. Dia meraih sekitar punggungku dan memelukku padanya, meratakan payudaraku ke dadanya. Putingku sekarang sudah tidak keras lagi, santai dan puas seperti juga bagian tubuhku lainnya.
"Kamu hebat, Na," bisiknya ke telingaku, "Kamu benar-benar luar biasa fantastis. Belum pernah Bapak ngentot seperti tadi. Dimana kamu belajar ngentot seperti itu?"
“Ada deh.. Mau tahu aja,” jawabku. Kegenitanku kembali setelah badai kenikmatannya mereda.
“Memek Erna masih sempit banget. Kalau Erna istri Bapak, pasti bakal Bapak entot tiap hari,” katanya. Aku tidak tahu apakah dia mengatakan ini hanya kepadaku atau kepada semua perempuan yang habis ditidurinya, tetapi pada saat itu, aku tidak pedulikan. Aku merasa cantik dan diinginkan dan seksi sekali. Perasaan itu mendorongku untuk semakin nakal.
“Iya memang Erna bukan istri Bapak. Tapi boleh kok Bapak entotin tiap hari,” kataku nakal sambil membelai kontolnya yang sudah menciut sepenuhnya. Biarlah hari ini aku jadi sebinal-binalnya perempuan.
Akhirnya aku pergi ke kamar mandi. Aku berfikir sebaiknya aku mandi dulu membersihkan diriku dari keringat dan air liurnya, sebelum pulang. Aku ke kamar mandi sendiri, tapi sengaja pintunya tidak kututup. Aku mengundangnya mandi bersama. Dan memang kemudian dia menyusul.
"Kamu menggoda banget. Bapak gak tahan," katanya malu-malu.
Kami berciuman perlahan sambil menggosokkan tangan kami yang bersabun ke atas dan ke bawah punggung satu sama lain. Aku merapatkan tubuhku kepadanya. Dia dengan penuh kasih menyabuni payudaraku dan kemudian pindah ke vagina dan membersihkannya dengan sangat teliti. Aku kemudian membalas menyabuni kantung zakarnya, kontolnya, bahkan anusnya. Aku hampir tidak bisa mempercayai ketika kurasakan kontolnya mulai keras lagi.
Aku tahu kami sama-sama bergairah lagi. Mungkin bisa satu ronde lagi. Sayang waktu tidak memungkinkan, aku harus menjemput Dian, putriku, di rumah Bu Tuti. Aku mengulum kontolnya beberapa saat, memberinya kenikmatan secukupnya, lalu kutinggalkan menggantung.
“Nanti kita lanjutin lagi. Erna harus jemput Dian di rumah Bu Tuti,” jelasku. Dia kecewa, namun mengerti.
Kemudian, setelah kami mandi dan berpakaian, kami meninggalkan kamar motel itu sambil berangkulan di pinggang. Penjaga motel yang tadi tersenyum penuh arti kepadaku. Aku tidak lagi canggung membalas tersenyum. Dia membuka rolling door. Motorpun bergerak meninggalkan motel dan masuk ke jalan raya.
Pak Joko memboncengiku sampai ke depan rumah Bu Tuti. Dia menciumku dengan lembut, selamat tinggal, dan saat itu tepat Bu Tuti keluar menyambutku. Bu Tuti menatapku sambil tersenyum misterius.
“Bagaimana curhatnya? Puas?” tanyanya. Aku hanya membalas dengan senyum.
Saat aku naik becak pulang ke rumah, aku mengingat kembali setiap menit dari perzinahan liar yang terlarang dan bertanya-tanya bagaimana aku bisa pulang dan bertindak seolah-olah hidupku tidak berubah tanpa dapat ditarik kembali. Itu cuma sekedar seks belaka. Seks yang sangat hebat. Aku sangat mencintai suamiku.
=================
0 comments:
Post a Comment