PROLOG :
2020. Tahun yang penuh kenangan. Covid menjalar ke seantero nusantara. Tingkat kesehatan masyarakat menukik drastis, sejalan dengan menurunnya kepercayaan ke pemerintah yang malah menerbitkan Omnibus Law.
Meski terhalang anjuran untuk jaga jarak, ratusan bahkan ribuan warga tetap turun ke jalan menggelar aksi demo. Namun sesuai perkiraan, aksi itu tidak menghasilkan apa-apa dan aturan tetap berjalan.
Ada 3 jenis korban pada periode covid. Jenis yang pertama adalah mereka yang tumbang karena faktor kesehatan. Entah harus menjalani karantina mandiri berhari-hari, atau bahkan sudah mencatatkan namanya di batu nisan.
Jenis yang kedua adalah mereka yang secara kesehatan masih aman, namun tertekan dalam hal keuangan. Pemecatan karyawan besar-besaran, status pekerjaan yang menggantung tidak jelas, dan masih banyak lagi masyarakat yang sekarat karena kehilangan penghasilan.
Dan yang paling parah adalah jenis yang ketiga, ialah mereka yang merasakan jenis pertama dan kedua sekaligus. Sudah jatuh kesehatannya akibat virus, jatuh pula ekonominya akibat saldo yang semakin minus.
Untungnya, bumi masih berputar. Walau korban masih terus berjatuhan, kehidupan harus tetap berjalan.
###
Anton baru saja menyelesaikan makan siangnya. Dia terbaring lemah di atas ranjangnya sendirian, sementara istrinya mencuci piring di dapur. Lelaki yang baru saja menginjak kepala tiga itu mendapatkan hadiah ulang tahun yang sangat luar biasa. Setelah bulan sebelumnya resmi mendapatkan pemutusan hubungan kerja, kali ini dia mendapatkan hadiah virus corona dan harus melakukan karantina mandiri selama berhari-hari.
"Kenapa harus aku, kenapa bukan orang-orang seperti mereka saja," rutuk Anton berulangkali.
"Sabar, mas. Ini ujian kita," Mega, istri Anton, berhenti tepat di depan pintu kamar setelah selesai melakukan pekerjaannya. Sejak Anton resmi mendapatkan anjuran karantina mandiri, mereka harus berpisah kamar dan berbincang dari jauh seperti itu.
"Kenapa bukan mereka yang mendapatkan ujian?" Anton memekik marah. Mega mendengus pelan, sudah beberapa hari ini suaminya begitu.
Semenjak terkena virus, Anton sering curhat tentang teman-temannya, banyak diantara mereka yang suka berbuat maksiat, tapi hidupnya baik-baik saja. Pekerjaan masih lancar, kesehatan tidak terganggu, dan mereka bebas berbuat sesuka hatinya seolah tidak ada balasan atas perbuatan mereka selama di dunia.
"Itu juga ujian, mas. Namanya Istidraj," Mega memberikan jawaban yang ditemukannya dari internet setelah beberapa hari mencari tahu apakah keresahan suaminya itu dirasakan juga oleh orang lain.
"Apa itu Istidraj?" Anton menoleh penasaran. Meski sama-sama beragama Islam, keduanya bukan pemeluk agama yang alim. Mereka hanya mengerjakan ibadah wajib tanpa mencari tahu lebih dalam tentang agama yang mereka anut.
"Istidraj itu pembiaran, mas. Maksudnya adalah Tuhan membiarkan mereka menikmati segala kesenangan di dunia sampai mereka melupakan akhirat, hingga nanti kenikmatan itu akan dicabut dan diganti dengan siksaan yang amat pedih," Mega membacakan artikel yang ditemukannya di internet. Anton terlihat agak lega setelah mendengarkan perkataan istrinya, sepertinya dia mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang mengganjal di kepalanya.
Suara keras pintu depan yang menjeblak terbuka mengagetkan sepasang suami istri yang baru beberapa tahun menikah itu. Tiga orang laki-laki sekonyong-konyong masuk seolah mereka lah pemilik rumah sebenarnya. Raut wajah Mega berubah setelah melihat kedatangan mereka, begitu juga Anton yang bisa menduga siapa yang datang dari perubahan wajah istrinya.
"Mana Anton?" bentak lelaki berkepala plontos yang berada paling depan, diikuti dua lelaki berwajah garang dan berambut gondrong.
"Itu di kamar, lagi sakit," Mega menjawab singkat agak ketakutan.
"Sudah berapa bulan tunggakan hutang kalian? bukannya nyari duit, malah tiduran di kamar," lelaki plontos itu memaksa masuk ke dalam kamar bersama dua rekannya.
"Jangan, nanti kalian ketularan," Mega mencoba memperingatkan. Tapi ketiga lelaki itu tidak peduli dan tetap masuk ke dalam kamar. Anton bangkit dari tidurnya dan duduk di sisi ranjang.
"Kami tidak percaya dengan yang namanya covid-covid itu. Yang kami percaya hanyalah uang. Jadi kapan kalian membayar tunggakan yang menumpuk itu?" lelaki plontos itu menarik kerah Anton sampai berdiri dari duduknya.
"Tunggu saya sembuh dulu, pak Budi," Anton menjawab lemah.
"Kalau kamu mati gimana? Siapa yang bayar hutangmu?" lelaki yang dipanggil Budi itu mencengkram kerah Anton lebih erat, sampai Anton kesulitan untuk bernafas.
"Tolong lepaskan suami saya, pak. Jika dibutuhkan saya yang akan bekerja untuk menggantikan suami saya," Mega membungkuk memohon kepada para penagih hutang itu.
"Emang bisa apa kamu?" Budi melepaskan cengkramannya dan menoleh ke arah Mega. Lelaki paruh baya itu mengamati Mega dari atas ke bawah.
"Saya bisa mengerjakan apa saja, pak. Dulu saya punya pengalaman bekerja di kantor," Mega agak lega setelah mereka melepaskan suaminya. Anton kembali duduk di tepi ranjang meski nafasnya masih tersengal-sengal.
"Hmm, lumayan juga. Oke, kalau gitu besok kamu datang ke sini," Budi memberikan sebuah kertas bertuliskan alamat sembari mengamati Mega lebih dekat. Kemudian dia menoleh ke dua anak buahnya, dimana keduanya mengangguk setuju. Sementara Mega membaca alamat yang diberikan kepadanya, ternyata lokasi salah satu kafe mewah yang ada di kota mereka.
"Jam berapa pak?" tanya Mega setelah memastikan alamatnya.
"Datang saja jam 7 malam," Budi melambaikan tangannya dan kedua ajudannya langsung mengikutinya pergi dari sana
###
Mega adalah wanita yang berparas manis, secara visual mungkin tidak secantik wanita-wanita yang ada di explore instagram. Jika mau dirating mungkin nilainya 7 atau 7,5 dari 10. Wajahnya cukup menarik dan tidak membosankan untuk dipandang. Kelebihan lainnya adalah secara postur tubuh cukup ideal, tidak terlalu kurus dan tidak terlalu berisi. Ditunjang dengan aset atas bawah yang di atas rata-rata dan terlihat menonjol jika dibandingkan posturnya yang cenderung mungil.
Budi sudah menyadarinya tempo hari, itulah mengapa dia bersedia menerima Mega bekerja di tempatnya. Sebuah tempat karaoke plus plus berkedok kafe mahal.
Dan disanalah Mega berada sekarang. Di salah satu ruangan menemani seorang lelaki paruh baya dengan setelan jas mahal. Beragam minuman keras sudah dihidangkan di atas meja beserta berbagai jenis snack. Asap rokok membubung tinggi memenuhi ruangan. Irama musik sendu mulai mengalun perlahan.
"Boleh juga barang barunya," lelaki berjas itu berkomentar sembari memandang Mega alih-alih melihat lawan bicaranya.
"Pasti dong, fresh from the oven ini," Budi tersenyum puas, sementara Mega tidak tahu harus berbuat apa. Dia merasa terjebak. Padahal dia sudah memakai pakaian kantorannya dulu.
"Kebetulan aku mau nyari buat salah satu klien besar. Boleh nih kayaknya," lelaki itu manggut-manggut seperti sudah menemukan apa yang dia cari.
"Silakan dicoba dulu bos, kalau ada apa-apa langsung kontak aja," Budi beranjak pergi dari sana, begitu juga dua anak buahnya yang sedari tadi menunggu di depan pintu ruangan. Lelaki berjas hanya melambaikan tangan tak peduli, dia lebih fokus mengamati Mega.
"Sudah berapa lama kerja di sini?" lelaki itu tersenyum ramah.
"Baru hari ini, pak," balas Mega sopan.
"Baru debut rupanya," gumam lelaki itu, Mega bisa mendengarnya. Meski tidak punya pengalaman tapi Mega bisa menebak apa yang sedang dihadapinya sekarang.
"Hmm pantesan aroma parfumnya kurang menggoda. Ini sih parfum buat kerja kantoran," gurau lelaki itu sembari duduk tepat di sebelah Mega dan merangkulnya. Mega yang terkejut dengan aksi mendadak itu tidak sempat berbuat apa-apa. Meski risih, tapi Mega masih menahan diri.
"Kok diam aja? buruan pilihin lagunya," lelaki itu menunjuk ke layar kecil untuk memilih lagu di depan mereka. Mega mengambil kesempatan untuk sedikit menjauh dari lelaki itu dan mulai menggeser layar.
Ketika Mega fokus memilih lagu, tiba-tiba lelaki itu memeluknya dari belakang dan menggerayangi dadanya. Sontak Mega segera berkelit dan mendorong lelaki itu menjauh. Kemudian Mega bergegas keluar dari ruangan itu.
Lelaki itu tidak mengejar Mega. Dia menyalakan hapenya dan langsung menghubungi Budi.
"Maaf, bos, saya akan ganti rugi untuk hari ini," Budi terdengar panik setelah lelaki itu menjelaskan kronologinya.
"Oke. Hari ini aku pulang dulu, mungkin besok aku balik lagi. Tolong ditertibkan dulu anak barunya," lelaki itu berkata tegas, Budi buru-buru menyanggupi.
###
Kafe itu memiliki keamanan yang cukup baik. Tim security sudah berjaga di semua titik terutama pintu masuk dan pintu keluar, cctv juga dipasang di banyak lokasi kecuali di dalam ruangan VIP. Mega tentu saja tidak akan bisa kabur atau bersembunyi.
Lelaki berjas memang sudah pulang, tapi Mega tidak bisa lolos dari kepungan Budi dan timnya. Salah satu tim security menemukan Mega bersembunyi di salah satu toilet wanita. Dia segera dibawa ke salah satu ruangan VIP, dimana Budi dan dua anak buahnya telah menunggu. Anak buah yang sama yang dibawa ke rumah Mega tempo hari.
"Kamu tahu apa kesalahanmu?" bentak Budi ketika tim security sudah pergi, menyisakan dia dan dua anak buahnya.
"Saya tidak tahu kalau pekerjaannya begini. Maaf, saya tidak bisa," Mega menjawab dengan berani.
"Kalau tidak bisa berarti perlu belajar. Tenang, kita akan mengajarimu sekarang," Budi tersenyum licik sebelum memberikan kode kepada kedua anak buahnya.
Kedua lelaki gondrong itu langsung menghambur ke arah Mega. Dengan cepat keduanya menahan Mega agar tidak bergerak. Bukan hanya itu, keduanya mencoba untuk melepaskan pakaian Mega.
"Mau apa kalian? lepaskan aku," teriak Mega sembari berontak. Sayangnya ruangan VIP itu kedap suara, dan sayangnya tenaga Mega tidak sebanding dengan dua anak buah Budi.
"Ya ini kan lagi kita lepaskan," salah satu lelaki gondrong menyindir Mega. Budi tertawa mendengarnya.
"Joko, Joko, pinter juga kau ternyata," Budi tertawa puas.
Tidak mau kalah, lelaki gondrong satunya membuktikan diri dengan melepaskan pakaian Mega secara cepat. Beberapa detik kemudian hanya tersisa bra dan celana dalam saja yang membalut tubuh Mega.
"Seperti biasa, tangan cepat Rudi memang bisa diandalkan," Budi tidak lupa memuji kinerja anak buah satunya.
"Oke, sekarang sudah dilepaskan, sudah cukup apa mau dilepas lagi?" Budi sudah berada tepat di depan Mega. Tenaga wanita itu sudah habis akibat pemberontakan yang gagal. Dia hanya pasrah mendengarkan pertanyaan retorik dari Budi. Namun matanya menatap tajam seperti ingin menguliti Budi saat itu juga.
"Kamu kira aku takut? aku lebih takut kehilangan salah satu pelanggan besarku daripada tatapan mata jalangmu itu," Budi balik mendelik ke arah Mega. Hening selama beberapa detik ketika keduanya saling menatap tajam satu sama lain.
"Kalian lanjut dulu deh, aku lagi kehilangan mood," Budi berbalik dan duduk di salah satu sofa yang ada disana. Kedua anak buahnya mengangguk penuh semangat. Jarang-jarang mereka bisa mencicipi duluan, biasanya baru dapat sisa setelah bos mereka puas.
Seolah sudah direncanakan, Rudi dan Joko bergerak kompak menyerang bagian atas dan bawah Mega. Rudi dengan tangan cepatnya langsung menyusup di balik celana dalam Mega, sementara Joko bertugas menyerang area atas. Kedua tangannya bergerak perlahan menyusuri gunung kembar Mega, sementara lidahnya menjelajahi area leher dan telinga.
Tentu saja Mega kelabakan mendapatkan rangsangan dari segala arah. Meski hati dan pikirannya menolak, tapi tubuhnya tidak bisa diajak kompromi. Kedua puting payudaranya menegang, liang kewanitaannya mulai basah, dan Mega harus menahan diri agar tidak mendesah.
"Wah, kalian berdua memang pintar membawa suasana," Budi yang sedari tadi hanya menonton mulai ikut mendekat. Mega sudah telanjang bulat tanpa penutup apapun. Pakaiannya berserakan di sana-sini. Mereka bertiga sudah bergumul di atas ranjang besar yang telah disediakan di ruangan VIP.
Kerjasama apik ditunjukkan Rudi dan Joko. Saat Rudi menghujamkan batangnya ke liang Mega, Joko mengarahkan batangnya ke mulut Mega. Meski awalnya menolak, tapi dalam kondisi disodok liangnya tentu Mega kesulitan untuk mempertahankan diri sehingga Joko bisa memaksa Mega untuk mengoral batangnya. Kombinasi itu dilakukan berulang oleh mereka berdua secara bergantian sampai cairan putih mereka berceceran di tubuh Mega.
Budi sudah tidak tahan lagi setelah melihat aksi dua ajudannya. Dia membuka celananya dan bersiap meminta jatah. Tubuh Mega yang semakin lemah tentunya hanya bisa pasrah menerima sodokan batang ketiganya hari ini. Bahkan tanpa ditahan oleh Rudi dan Joko, wanita itu tak lagi memberikan perlawanan dan membiarkan Budi menuntaskan hajatnya.
"Wah, gila, barang bagus ini ternyata. Padahal udah dipake dua orang tapi masih rapet aja," Budi meracau sembari terus menggoyangkan batangnya di liang Mega.
"Di luar ekspektasi, bos," Joko membalas komentar Budi. Dia dan Rudi terlihat mulai kelelahan setelah berulangkali mencapai klimaksnya.
"Mahal ini, bos," Rudi ikut memberikan komentar.
"Emang rejeki ga kemana," Budi akhirnya mencapai klimaksnya dan bergegas menarik batangnya keluar. Meski menggarap Mega sesuka hati, tapi ketiganya paham bahwa wanita ini adalah aset berharga sehingga tidak ada yang mengeluarkan cairannya di dalam liang Mega.
"Kamu lihat itu di atas meja, di pojok atas, dan di sebelah sana juga. Itu semua kamera yang sudah merekam aksi kita tadi. Kalau besok kamu tidak mau bekerja kayak tadi, maka bersiaplah videonya tersebar ke semua orang," Budi merapikan kembali pakaiannya. Sementara Mega terkapar tak berdaya di atas ranjang. Cairan putih kental berceceran di sekujur tubuhnya. Air mata perlahan menetes dari kedua sudut matanya.
###
Mega langsung masuk kamar mandi begitu sampai di rumah. Keran air dinyalakan sekencangnya untuk menyembunyikan suara tangisnya yang menderu. Guyuran shower dia arahkan ke tubuhnya yang masih berpakaian lengkap. Dia merasa jijik dengan dirinya sendiri. Perasaan marah, kecewa, tak berdaya, bercampur jadi satu.
Tak terasa satu jam lebih dia di kamar mandi. Suaminya sampai keluar dari kamar dan mengetuk pintu kamar mandi karena merasa khawatir.
"Sayang, kamu tidak ketiduran kan?" ujar Anton setelah mengetuk pintunya beberapa kali.
"Nggak kok, mas. Aman," balas Mega seraya menyembunyikan tangisnya.
"Oke, jangan lama-lama ya nanti masuk angin. Aku balik ke kamar kalo gitu," Anton kembali setelah memastikan kondisi istrinya.
"Iya, mas. Selamat istirahat yaa," Mega membalas lagi sebelum melanjutkan mandinya. Tangisnya sudah habis, kali ini dia benar-benar membersihkan diri.
###
Setelah menangis semalam, Mega sedikit merasa lega. Meski perasaannya masih campur aduk, tapi dia mencoba untuk menerima kenyataan. Ini jalan yang harus dia hadapi, dia akan melawan ini semua, sebuah pengorbanan untuk keluarga kecilnya.
Setelah berpamitan dengan suaminya, Mega kembali ke tempat kerja barunya, dimana Budi dan dua kroninya sudah menunggu. Begitu melihat kedatangan Mega, senyuman lebar mengembang di bibir mereka bertiga.
"Sudah siap bekerja?" Budi yang pertama menyambutnya.
"Siapa tamunya?" Mega balas bertanya dengan raut wajah datar. Dia merasa kosong. Apapun yang terjadi maka terjadilah.
"Tenang, hari ini cuma satu kok," Budi menjawab dengan ramah, tidak peduli meski Mega tidak menjawab sapaannya.
"Maksudnya gimana?" Mega menambahkan pertanyaan.
"Dalam sehari kan ada targetnya. Kalau ada tamu yang membayar sesuai target ya cukup satu tamu aja, kalau tidak ya berarti kamu harus menemani beberapa tamu," Budi memberikan penjelasan singkat.
"Oh gitu. Oke. Mana tamu yang sekarang?" Mega tidak mempedulikan penjelasan Budi. Apapun itu intinya tetap sama, tetap saja dia harus melayani tamu yang memesannya.
Kali ini Budi mengantarkan sendiri tanpa ditemani dua ajudannya. Begitu ruangan dibuka ternyata lelaki berjas yang dulu ditolak Mega. Setelah melihat Budi sendirian, lelaki itu tersenyum penuh arti.
"Sudah aman ya?" lelaki berjas itu mengkonfirmasi.
"Sudah dong, silakan dibuktikan saja," Budi membalas dengan senyuman mesum. Kemudian dia langsung meninggalkan mereka berdua tanpa mengunci pintu.
"Maaf pak, kemarin hari pertama saya, jadi saya belum terbiasa," Mega mengawali percakapan saat tersisa mereka berdua di dalam ruangan.
"It's okay. Hal yang biasa di dunia kerja," Lelaki berjas itu melambaikan tangan, kemudian memberikan kode untuk Mega mendekatinya.
"Bapak suka lagu yang seperti apa?" Mega duduk di sebelah lelaki itu dan mulai mencari lagu di layar.
"Apa saja, yang kamu suka aja, yang penting jangan panggil bapak dong, panggil aja mas Doni," lelaki itu memperkenalkan dirinya.
"Oke, mas Doni. Tapi maaf sebelumnya, saya masih pemula jadi belum tahu harus seperti apa, tolong saya dipandu ya," Mega memilih salah satu lagu mellow kesukaannya.
"Tenang, hari ini memang aku mau melatihmu. Karena jika cocok, besok aku mau booking lagi untuk klien besarku. Salah satu orang paling kaya di kota ini," Doni terlihat berapi-api saat menyebutkan tentang kliennya.
"Siapa itu mas?" Mega bertanya bukan karena penasaran, tapi demi menjaga alur percakapan saja.
"Besok aja kalau ada orangnya aku kenalin. Sekarang aku mau ngetes kemampuanmu dulu," Doni memberikan senyuman yang sama dengan senyuman Budi sebelum pergi tadi.
"Silakan, mas," Mega berhenti mencari lagu di layar. Dia menunggu aksi dari Doni.
"Coba buka bajumu dulu deh," Doni memberikan intruksi.
"Oke, mas," Mega langsung melepaskan blouse yang dipakainya, menyisakan bra saja.
"Itu dilepas juga dong," Doni melanjutkan intruksinya. Mega menjawabnya dengan melepaskan branya. Kedua gundukan di dadanya langsung berguncang begitu penutupnya dilepas.
"Wow, ukuran tetekmu sepertinya terlalu besar dibandingkan postur tubuhmu," Doni sedikit kaget melihat gunung kembar Mega yang lebih besar dari ekspektasinya.
"Ini asli kan?" Doni meremas-remas kedua payudara Mega bergantian. Gundukannya masih kenyal dan tidak kendor sama sekali. Putingnya berwarna coklat muda hampir mendekati warna merah muda.
"Asli dong, mas," balas Mega singkat, tapi nada suaranya sudah membaik, tidak sedatar waktu awal datang.
"Masa sih? coba aku tes ya," Doni memilin kedua puting Mega dalam waktu bersamaan, sambil sesekali menjilatnya seperti menjilat chocochip es krim.
"Enghh, geli, mas," Mega mulai terbawa suasana. Dalam hati dia mencoba menenangkan dirinya bahwa ini adalah profesionalitas dalam pekerjaan yang harus dia lakukan.
"Baru gitu udah geli, kalo yang ini gimana," Doni menggesekkan tangannya di lipatan paha Mega.
"Kalo yang itu ga kerasa mas, kan pake celana jeans," Mega mulai menguasai diri dan berani balas menggoda.
"Ya dilepas juga aja," wajah Doni mulai terlihat tidak tahan.
"Lepasin dong, mas," Mega menjulurkan kedua kakinya ke arah Doni untuk mempermudah proses pelepasan celana.
"Katanya baru pemula, tapi udah mulai nakal ya," Doni langsung sigap meloloskan celana jeans Mega, tapi dia sengaja menyisakan celana dalamnya.
"Kok nggak dilepas juga, mas?" Mega melanjutkan godaannya.
"Ini nggak perlu dilepas, kan bisa langsung gini," Doni menyibak celana dalam Mega dari samping, membuat liangnya terekspos. Jari tangannya langsung bergerak lihai menyerang area kewanitaan Mega.
"Nah, ini baru geli, mas," bisik Mega ketika jari Doni mulai menyerang liangnya. Apalagi Doni juga menambahkan dengan serangan lidahnya. Dalam sekejap saja liang Mega dibuat becek.
"Udah basah aja nih, udah pengen ya," Doni gantian menggoda.
"Iya nih, mas. Buruan dong sebelum kering lagi," selain memang sudah siap menerima sodokan, Mega juga mengharapkan Doni segera mengakhiri aksinya karena Mega sudah mulai tidak betah berakting seperti itu.
"Oke, aku juga ga bisa lama-lama ini," Doni langsung melepaskan pakaian dan celananya. Pusakanya sudah menegang sempurna dan siap menyodok liang Mega.
"Maafkan aku, mas. Ini batang keempat yang sudah menodaiku. Tapi tenang saja, semuanya biasa saja kok, tak ada bedanya dengan milikmu," gumam Mega dalam hati. Secara keseluruhan memang semuanya berukuran rata-rata, sama seperti suaminya. Tapi tentunya hanya dengan suaminya saja dia bisa membawa perasaan dalam aksinya.
"Enghh, rapet banget memekmu, Meg. Emang cocok sih namamu. Coba sekalian ganti nama aja jadi Memeg," Doni meracau tak karuan saat batangnya maju mundur menghujam liang Mega. Sementara di sisi lain Mega justru membayangkan sedang bersama suaminya. Ini adalah trik yang sudah dia siapkan setelah membulatkan tekad untuk melanjutkan pekerjaannya.
"Ahh, enak banget, Meg. Aku nggak kuat, ahhh," Doni menumpahkan cairannya di dalam liang Mega. Ini sekaligus menandai pertama kalinya ada lelaki lain yang melakukan itu selain suaminya, karena sebelumnya Budi dan dua kroninya tidak berani melakukan itu.
"Enak, mas?" Mega mencoba tersenyum ramah meski kesal karena Doni menumpahkan cairan ke dalam liangnya. Apalagi Mega juga belum mencapai klimaksnya sama sekali.
"Enak banget, besok aku boking lagi ya," nafas Doni terengah-engah, tubuhnya yang penuh peluh bersandar di sofa.
###
Besoknya mereka berdua kembali berada di ruangan yang sama, tanpa perlu diantar oleh Budi. Namun bedanya kali ini ada seorang lelaki lain yang menemani Doni. Atau mungkin lebih tepatnya Doni yang menemani lelaki itu.
"Meg, ini yang aku ceritain kemarin, namanya pak Bahrun," Doni yang membuka percakapan. Mega agak terkejut karena Doni memanggilnya bapak padahal lelaki itu terlihat lebih muda.
"Ngapain pake pak segala, panggil mas aja," lelaki keturunan Arab itu langsung menyahut.
"Nama saya Mega," Mega langsung menjulurkan tangan untuk berkenalan. Bahrun menyambutnya dan keduanya bersalaman selama beberapa detik.
"Oke, kalau gitu saya tinggal dulu ya, pak," Doni langsung bangkit dari duduknya begitu Mega dan Bahrun selesai berkenalan.
"Eh, langsung toh, nggak mau satu-dua lagu dulu?" Bahrun tidak menduga kalau Doni hendak langsung cabut.
"Ada urusan lain, bos. Nanti aja kontak lagi kalau udah selesai," Doni mengedipkan matanya memberikan kode.
"Yauda kalo gitu, buruan pergi sana," Bahrun malah mengusirnya.
"Abis ngajak 1-2 lagu terus ngusir, orang kaya bebas sih emang," sindir Doni sebelum benar-benar keluar dari ruangan itu. Bahrun langsung melemparkan botol minuman. Sayangnya tidak kena.
Suasana canggung langsung menyeruak ketika Doni sudah pergi. Entah kenapa Mega tidak berani membuka obrolan seperti saat menangani Doni kemarin. Dia merasa ada yang berbeda dengan lelaki itu.
"Apakah Anton tahu kamu bekerja seperti ini?" ujar Bahrun tiba-tiba membuyarkan suasana.
"Eh, Anton siapa?" Mega mencoba memastikan apakah mereka memikirkan orang yang sama.
"Ya Anton suamimu, siapa lagi," balasan singkat Bahrun membuat perasaan Mega langsung jungkir balik. Bagaimana bisa lelaki itu mengenal suaminya? Dan bagaimana bisa dia mengetahui bahwa Anton adalah suaminya? Sementara Mega merasa tidak pernah bertemu dengan lelaki itu.
"Di undangan pernikahan kalian dulu kan ada foto kalian. Meski tidak diundang tapi kebetulan aku melihat undangan kalian dari temanku yang diundang. Aku salah satu teman sekolah Anton dulu," Bahrun memberikan penjelasan seolah sudah mengetahui apa yang menjadi pertanyaan Mega.
"Oh pantesan kok aku ngerasa belum pernah ketemu," Mega manggut-manggut memahami situasinya.
"Iya memang ini pertemuan kita yang pertama, tapi kamu belum menjawab pertanyaanku," Bahrun tersenyum ramah.
"Pertanyaan? Pertanyaan apa ya tadi? maaf aku kurang fokus," Mega benar-benar lupa karena terlalu dikejutkan dengan situasi yang terjadi.
"Kenapa kamu kerja disini? Dan apakah Anton tahu?" Bahrun menanyakannya lagi dengan sedikit tambahan detail.
"Oh, iya suamiku tahu, tapi dia tidak tahu apa pekerjaanku. Dan aku kerja disini untuk membantu suamiku sih," Mega memberikan jawaban yang umum dan tidak terlalu detail. Dia masih belum mempercayai lelaki di depannya.
"Kalau gitu sampaikan saja salamku untuk Anton. Besok aku masih disini, kalau masih mau lanjut ngobrol nanti aku booking lagi," Bahrun beranjak dari tempatnya dan bersiap untuk pergi.
"Loh, udah gitu aja?" Mega keceplosan karena tidak menyangka bahwa mereka hanya berbincang saja.
"Ya kalau mau lanjut ngobrol kan besok masih bisa, hari ini aku masih ada urusan," Bahrun lagi-lagi tersenyum ramah, memamerkan cambangnya yang lebat.
Mega hanya terpaku kala Bahrun benar-benar pergi dari ruangan itu.
###
"Gimana kerjaan hari ini sayang? lancar ya?" Anton menyapa istrinya yang pulang lebih cepat dari sebelumnya.
"Lancar dong, sayang. Oh iya, mas. Hari ini tadi aku nggak sengaja ketemu teman sekolahmu loh," Mega berbincang dengan suaminya sembari berganti pakaian.
"Ohya? kerja di sana juga?" Anton antusias karena jika ada temannya di sana mungkin bisa membantu pekerjaan istrinya juga.
"Nggak sih, kayaknya temennya orang yang kerja disana," Mega berpikir sejenak sebelum memberikan jawaban ke suaminya.
"Oh cuma mampir, siapa emangnya?" Anton melanjutkan pertanyaannya.
"Namanya Bahrun, mas. Dia nitip salam juga buat kamu," Mega menjawab dengan santai. Tapi di luar dugaan, Anton memberikan reaksi yang sangat berlawanan.
"Apa? Bahrun? Hati-hati sama dia, jangan sampai kamu berurusan dengan bajingan itu," nada suara Anton langsung melonjak tinggi.
"Hah? Kenapa emangnya mas?" Mega sangat terkejut dengan reaksi suaminya.
"Masih ingat yang kamu bilang istidraj istidraj itu? dia ini salah satu orang yang aku maksud. Dari dulu suka maksiat, suka ngebully orang, semaunya sendiri lah pokoknya, tapi dari dulu sampai sekarang hidupnya tuh enak terus," Anton menjelaskan dengan berapi-api.
"Oh yang itu toh," Mega bingung mau bilang gimana. Dia tidak menyangka bahwa lelaki yang sudah berbuat baik kepadanya itu ternyata justru musuh suaminya.
"Iya, pokoknya kamu harus hati-hati jangan sampai berurusan sama dia. Semoga dia tidak mampir ke tempat kerjamu lagi," Anton memberikan peringatan kepada istrinya.
"Iya, sayang, semoga tidak ketemu lagi," demi menenangkan suaminya, Mega memilih menjawab begitu alih-alih menjelaskan bahwa Bahrun berbuat baik kepadanya.
###
Sesuai yang dijanjikan, Bahrun kembali memesan Mega. Kebetulan Mega memang ingin melanjutkan perbincangan. Ada beberapa hal yang hendak dia tanyakan.
"Oh, itu kenakalan masa kecil aja. Aku sudah minta maaf ke banyak orang sebelum sampai di titik ini. Kebetulan Anton termasuk salah satu yang belum sempat kutemui untuk minta maaf," Bahrun menjawab dengan santai ketika Mega menanyakan tentang kenakalannya di masa lalu sampai Anton begitu membencinya.
"Tapi buktinya sampai sekarang masih nakal," Mega menunjuk ke arah botol minuman keras yang tengah ditenggak oleh Bahrun. Kenyataan bahwa dia berada di ruang karaoke dan menyewa wanita juga menjadi bukti yang menguatkan.
"Kalau ini menjadi pertanda bahwa seseorang nakal, berarti suamimu juga, kan dulu suamimu marketing. Pasti sudah biasa lah menjamu klien. Kita hanya beda posisi aja," Bahrun masih tersenyum dan tidak merasa tersinggung dengan pernyataan Mega yang menyudutkannya.
"Maksudnya kerjaan marketing gimana? kan marketing cuma jualan produk atau jasa biar laku," Mega masih belum paham dengan jawaban Bahrun.
"Nah itu dia. Gimana agar jualan laku? gimana caranya memenangkan hati klien? tentu saja dengan melakukan trik-trik untuk menghiburnya, atau istilah marketingnya adalah gimana caranya melakukan entertain. Jika klien suka mabuk, ya temenin mabuk. Jika klien suka seks, ya temenin cari wanita. Apapun pasti dilakukan untuk memenangkan klien. Jadi, apakah suamimu nakal?" Bahrun tersenyum penuh kemenangan. Sementara Mega mulai mencerna penjelasannya. Berarti selama ini ada dunia suaminya yang tidak diketahuinya.
Perbincangan mereka kembali berlanjut. Meski kurang tepat jika disebut perbincangan, karena lebih banyak Bahrun yang menjelaskan tentang pekerjaannya. Mega hanya menjawab secukupnya saja karena pikirannya sedang tidak fokus.
"Sepertinya ada urusan yang perlu segera kamu selesaikan. Ini hari terakhirku di sini, kalau perlu berbincang lebih lanjut hubungi aku aja, nanti aku mampir kesini lagi," Bahrun menyadari apa yang tengah dipikirkan oleh Mega. Dia menyerahkan sebuah kertas kecil yang bertuliskan nomor hapenya.
"Ah, baiklah. Terima kasih atas pengertiannya," tanpa basa-basi Mega langsung menyimpan kertas itu dan bergegas pulang ke rumah. Kali ini ada yang perlu dia tanyakan kepada suaminya.
###
Terkadang sebuah hal yang kecil bisa menjadi besar jika terjadi di momen yang tidak tepat. Sama halnya dengan pembahasan yang dibawa oleh Mega. Hal yang memang tidak bisa dibilang kecil, namun jika momennya tepat harusnya itu tidak menjadi masalah besar.
Tapi karena Mega membawanya di momen yang kurang tepat, baik di sisi suaminya maupun dari dirinya sendiri. Sebuah bom seolah baru saja dilemparkan di rumah mereka.
Alibi utama Anton adalah tidak semua orang marketing seperti itu. Balasan dari Mega adalah mengapa dulu Anton tidak pernah bercerita. Lalu Anton membalas bahwa untuk urusan pekerjaan dia tidak bercerita karena biar dia sendiri yang menyelesaikan. Mega kembali membalas bahwa dalam rumah tangga seharusnya semuanya dilakukan berdua.
Perdebatan panjang tak berujung berlanjut sepanjang malam. Tidak ada titik temu yang didapatkan mereka berdua karena memang momennya tidak tepat. Alhasil perdebatan berakhir dengan kondisi menggantung dan kedua pihak sama-sama masih tidak terima.
Besoknya, ketegangan kembali berlanjut dan keduanya tidak saling sapa. Meski demikian, Mega masih menyempatkan untuk menyiapkan makanan dan obat untuk suaminya sebelum berangkat kerja.
Hari ini Mega sedang tidak mood untuk bekerja. Bahrun sudah tidak ada sehingga yang memesannya pasti akan memintanya untuk berhubungan intim. Mega sedang tidak mood untuk berakting. Akhirnya dia memilih untuk bolos kerja dan menghubungi Bahrun untuk melanjutkan perbincangan sekaligus curhat.
###
Sudah lama Mega tidak masuk ke kamar hotel bintang lima. Terakhir dia kesana adalah saat bulan madu dengan suaminya di awal pernikahan mereka. Kali ini dia masuk ke kamar hotel bintang lima dengan tujuan curhat ke orang lain.
Seperti biasa, kamar hotel bintang lima berukuran besar dengan fasilitas yang lengkap. Mega sedang menunggu di ruang depan yang memang ditujukan untuk menerima tamu. Sofa besar menghadap ke televisi menemani Mega bersama dengan cemilan lengkap di atas meja.
Selang beberapa menit kemudian Bahrun keluar, dia masih mengenakan mantel mandi berwarna putih khas hotel. Dia sedang mandi ketika Mega datang. Tadi dia menghubungi room service agar membantu Mega untuk bisa masuk dulu dan menunggunya di ruang depan.
"Sori, nunggu lama ya?" ujar Bahrun setelah duduk di sofa yang tidak ditempati Mega.
"Nggak juga, kalau ruangannya gini, cemilan banyak, kayaknya menunggu lama nggak masalah sih," Mega menjawab sambil terus memamah kacang mente.
"Suka ngemil juga ternyata ya," Bahrun tertawa mendengar jawaban Mega.
"Emang ada orang yang nggak suka ngemil?" balas Mega cuek, dia masih asyik menonton tayangan drama korea.
"Kesini mau numpang nonton drakor aja nih ceritanya?" sindir Bahrun, senyuman tipis mengembang di bibirnya.
"Iya nih, aku mau nyantai dulu boleh ya," Mega malah merebahkan diri di sofa yang memang bisa diubah jadi seperti kasur.
"Boleh dong, kalau gitu aku ambil pelengkapnya ya, wait," Bahrun kembali ke dalam, membuka kulkas, dan membawa keluar sebotol minuman.
"Kuat minum nggak?" Bahrun meletakkan botol di meja bersama dengan dua gelas berisikan es batu kecil-kecil.
Sebelum Mega menjawab, dia sudah menuangkan sedikit untuknya sendiri dan bersiap menenggaknya. Namun Mega malah merebutnya.
"Lah, masa nuangin buat diri sendiri," Mega langsung menenggak minuman yang telah direbutnya, Bahrun hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah wanita itu. Sepertinya belum minum tapi sudah mabuk.
Bahrun kembali menuangkan minuman di gelas satunya, kemudian dia mendekatkan sofanya dengan sofa yang ditempati Mega.
Mega menceritakan tentang segala unek-uneknya belakangan ini. Perdebatan dengan suaminya, pekerjaan yang terpaksa harus dilakukannya, dan kondisi ekonomi keluarganya yang sedang memburuk. Bahrun membiarkan saja Mega mengumpat merutuki tentang segala hal.
"Misuhmu kok aneh gitu? nggak pernah misuh ya?" sindir Bahrun setelah mendengar umpatan yang kurang fasih dari Mega.
"Ya gimana lagi, kan aku wanita baik-baik. Ya nggak pernah misuh lah," meski dikatakan dengan bercanda, tapi memang Mega bukan wanita yang suka mengumpat.
"Wanita baik-baik mana yang curhat sambil mabuk dengan pria lain?" sindir Bahrun membalas perkataan Mega tempo hari.
"Bales dendam nih ceritanya?" Mega belum mau kalah.
"Bukannya kamu yang mau bales dendam ke suamimu?" Bahrun menarik sofa yang ditempati Mega sampai tidak ada jarak lagi diantara mereka berdua. Keduanya saling tatap sebelum saling melumat bibir lawannya. Mata Mega terlihat sayu dilanda birahi, entah karena minuman keras atau karena situasi yang mendukung.
Tangan Bahrun bergerak cepat menggerayangi tubuh Mega. Begitu juga Mega yang balas menyerang tubuh Bahrun yang tidak memakai apa-apa lagi di balik mantel mandinya.
Tanpa melepaskan ciuman, keduanya bahu membahu melepaskan pakaian lawannya sampai telanjang bulat. Mega terkejut saat melihat pusaka milik Bahrun yang berukuran hampir dua kali lipat milik suaminya.
"Kenapa? Baru lihat yang gede ya? punyaku saat kondisi biasa mungkin sama dengan punya suamimu pas tegang-tegangnya," Bahrun tersenyum mesum sembari memamerkan pusakanya.
"Duh, kayaknya nggak muat deh," Mega berpura-pura mengeluh.
"Coba aku cek dulu," Bahrun berjongkok di hadapan Mega yang duduk di sofa. Bagaikan dokter yang hendak memeriksa pasien, wajah Bahrun mendekat ke liang kewanitaan Mega. Lalu lidahnya bergerak buas menjelajahi area itu, terkadang menjilat, terkadang menghisap, terkadang menusuk dengan jari tengahnya.
"Hmm, satu jari masih aman," gumam Bahrun seolah-olah sedang melakukan pengecekan. Setelah itu dia mengubahnya menjadi dua jari, jari tengah dan jari manis.
"Enghh," Mega sudah melenguh keenakan sedari tadi, sejak Bahrun membuka praktek dokter-dokteran.
"Dua jari juga cukup kok. Aman lah ini, bisa dilanjut," Bahrun bangkit dari jongkoknya. Alih-alih melanjutkan dengan 3 jari, kali ini Bahrun menggesekkan pangkal pusakanya ke bibir bawah Mega.
"Duh, lama amat sih," protes Mega yang tidak sabar karena Bahrun terus menggodanya dengan menggesekkan pangkal pusakanya saja tanpa memasukkannya.
"Loh, katanya tadi nggak muat, ya nggak aku masukin toh," Bahrun kembali menggoda.
"Masukin dikit aja deh, buruan," titah dari Mega yang wajahnya udah memerah penuh birahi.
"Oke, siap-siap ya," Bahrun menghujamkan pusakanya secara perlahan. Meski liang Mega sudah becek, tapi tetap saja ukuran batangnya terlalu besar, bahaya jika langsung dipaksakan masuk.
"Engghh, gede banget punyamu, muat nggak ini," Mega meracau ketika pangkal Bahrun mulai masuk secara perlahan.
"Nggak tahu nih, punyamu terlalu sempit," Bahrun juga keenakan dijepit liang Mega yang masih rapat dan mencengkram.
Perlahan tapi pasti pusaka Bahrun mulai bisa diterima oleh liang Mega. Meski akhirnya tidak bisa masuk semua, tapi separuh lebih sudah bisa menghujam ke dalam lubang kenikmatan.
"Nah kan, cukup gini loh," Bahrun menyodok liang Mega dengan perlahan, menikmati jepitannya yang mencengkram.
"Duh, tapi abis ini jadi longgar dong punyaku," Mega masih sempat bercanda.
"Ya gpp, kalo mainnya sama aku terus kan nggak masalah," Bahrun memeluk tubuh Mega dan mengendus setiap jengkal tubuhnya.
"Ngapain kamu?" Mega penasaran dengan aksi Bahrun.
"Ngecek titik sensitifmu," Bahrun terus mengendus satu-persatu area tubuh Mega. Kedua tangannya juga ikut bergerak.
"Duh, ngapain sih, fokus yang bawah aja loh," protes Mega karena Bahrun jadi menghentikan sodokan batangnya.
"Udah, ngikut aja deh, protes mulu," Bahrun mencekal kedua tangan Mega yang mencoba menahan laju kepalanya. Setelah mengecek area bawah, Bahrun naik ke atas lagi karena tidak menemukan titik yang dicari.
Sama seperti wanita pada umumnya, selain vagina dan payudara, titik sensitif wanita biasanya terletak pada leher dan telinga. Tapi selain itu biasanya ada titik tambahan lagi, entah di paha, di lengan, di punggung, di perut, dan lain sebagainya.
"Duh, muter-muter terus sih," Mega lagi-lagi mencoba menghentikan pergerakan kepala Bahrun. Namun kali ini Bahrun menarik kedua tangan Mega ke atas, menampakkan ketiak Mega yang putih dan mulus, tanpa ada bulu sedikit pun.
"Wah, mahal nih perawatannya," sindir Bahrun.
"Mahal dari mana, dari dulu emang nggak tumbuh kok," balas Mega cepat. Baginya daripada untuk perawatan seperti itu mending uangnya dipakai untuk makan atau kebutuhan yang lain.
"Ah, kayaknya ini deh kalo gitu," Bahrun langsung merangsek ke arah ketiak Mega. Diendusnya bergantian yang kanan dan kiri sembari menggoyangkan batangnya lagi.
"Engghh, jangan gitu, geli ahh, engghh," Mega seketika mendesah bertubi-tubi saat liangnya disodok secara bersamaan dengan serangan di kedua ketiaknya. Setelah membandingkan beberapa kali, Bahrun menyadari bahwa ketiak kanan Mega lebih sensitif, maka dia lebih memfokuskan disana, tangan kanannya yang terbebas menambahkan serangan di puting Mega yang sudah mengacung tegak sejak tadi.
"Aduhh, geli mass,, ahhh," Mega terus menerus meracau ketika serangan 3 titik dilakukan oleh Bahrun. Ketiak kanannya sudah basah kuyup, begitu juga liangnya yang sudah basah sejak awal serangan.
Bahrun mempercepat gerakannya sampai akhirnya Mega berteriak kencang dan mencapai klimaksnya yang pertama.
"Ahh, aku keluar mass, ahhh," cairan kental merembes perlahan saat Bahrun mencabut pusakanya. Mega terkapar lemas di atas sofa, melawan Bahrun ternyata sama capeknya dengan saat dia melawan 3 orang dulu.
"Udah nih? nggak mau lanjut lagi?" Bahrun menggoda sembari memamerkan pusakanya yang masih berdiri kokoh.
"Nggak dulu deh," Mega menggeleng lemah.
###
Anton baru saja selesai makan malam ketika tiga orang familiar itu datang. Tidak pakai ketuk pintu atau mengucap salam. Karena pintu masih terbuka, ketiganya langsung masuk dan menemui Anton di meja makan.
"Woy, istrimu mana?" Budi langsung bertanya pada intinya.
"Loh, ya kerja lah, belum pulang kok," Anton memandang mereka dengan heran. Harusnya kan mereka yang lebih tahu dimana istrinya.
"Mana ada, hari ini dia tidak datang ke kafe," Joko yang menyahut ucapan Anton.
"Loh, tadi dia berangkat seperti biasanya kok," Anton masih membela istrinya.
"Tapi buktinya hari ini dia tidak datang, padahal sudah banyak yang pesan dia," Rudi yang menyahut kali ini, Budi membiarkan saja kedua ajudannya yang gantian berkomunikasi.
"Pesan? Pesan gimana ini maksudnya?" Anton semakin heran, apa hubungannya antara kerjaan istrinya dengan kafe, dan kenapa justru istrinya yang dipesan alih-alih menu di kafenya.
"Lah selama ini kau nggak tahu apa kerjaan istrimu?" Budi mengambil alih percakapan.
"Ya kerja kantoran biasa kan, apa lagi?" Anton menjawab polos.
"Mana ada kerja kantoran mulai jam 7 malam, kau ini bodoh apa tolol?" Budi malah menghardiknya. Sementara Anton langsung paham dari kalimat itu, lebih tepatnya sebenarnya dia sudah mempunyai dugaan, hanya saja dia sendiri yang menyangkalnya selama ini.
"Tidak usah banyak bengong, pokoknya kalau besok istrimu tidak datang lagi, siap-siap aja terima akibatnya," Budi menutupnya dengan ancaman. Mereka bertiga langsung pergi dari sana karena yang dicari tidak ditemukan.
Sepeninggal mereka, Anton merenung di atas ranjangnya. Perasaannya campur aduk. Marah pasti ada, tapi bukankah dia yang menyebabkan istrinya berkorban seperti itu. Lambat laun rasa bersalah semakin menyelimuti dirinya, dia terus-menerus menyalahkan dirinya sendiri.
Sampai akhirnya Mega pun datang. Tidak seperti biasanya, Anton langsung bangkit dari tidurnya dan menyambut istrinya di depan.
"Kamu dari mana sayang? Barusan Budi dan dua rekannya datang kesini menanyakan kamu," Budi bertanya dengan nada yang lembut, nada yang sudah beberapa hari ini tidak dia gunakan semenjak perdebatan dengan istrinya tempo hari.
Mega hanya terdiam, dia tidak menduga akan didatangi oleh para penagih hutang itu. Dia mencoba memikirkan alasan apa yang bisa dipakai untuk menjawab suaminya.
"Aku paham sayang, kamu pasti lelah dan ingin menjauh dari itu semua ya? Maafkan aku yang membuatmu harus berkorban sampai seperti ini. Mulai besok tidak usah kesana lagi, biarkan aku yang memikirkan cara untuk membayar mereka," Anton tiba-tiba menangis, sayangnya mereka harus jaga jarak, kalau tidak pasti Anton sudah memeluknya sekarang.
"Maafkan aku juga karena tidak bercerita kepadamu apa yang kukerjakan beberapa hari ini," Mega bingung karena tiba-tiba situasi sudah teramankan tanpa dia perlu menjawab. Tapi dia bisa menduga bahwa para penagih hutang itu telah menceritakan kerjaannya kepada suaminya.
"Tidak masalah sayang, aku bisa memahami itu. Sama seperti aku yang tidak mau menceritakan terkait pekerjaanku dulu, pasti kamu juga merasakan hal yang serupa. Ayo segera masuk dan istirahat sayang," Anton terlebih dahulu masuk ke dalam kamarnya agar Mega bisa lebih leluasa beraktivitas.
Sementara itu, Mega yang tadinya kabur karena sebal dengan suaminya jadi merasa bersalah begitu melihatnya seperti itu. Dia memutuskan untuk mengikuti perkataan suaminya dan tidak pergi ke kafe itu lagi. Tapi dia harus gali lubang untuk menutup lubang. Untungnya dia sudah menemukan lubang yang lebih dalam.
Mega langsung menghubungi Bahrun untuk meminta bantuan melunasi hutang kepada Budi dkk. Begitu mengetahui nominalnya, Bahrun langsung menyanggupi untuk membayarnya tapi dengan syarat Mega harus bekerja kepadanya ketika dia kembali ke kota itu. Mega yang sudah menduganya tentu saja menyanggupi persyaratan itu.
###
Beberapa hari kemudian, kondisi kesehatan Anton mulai membaik. Selain karena memang sudah waktunya, didukung juga dengan hubungannya yang sudah membaik dengan istrinya serta para penagih hutang itu sudah tidak lagi datang ke rumahnya.
Anton mulai gencar mencari lowongan pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya, begitu juga dengan Mega yang menemaninya dan mengatakan akan bekerja juga untuk membantunya jika diperlukan.
Meski masih harus menjaga jarak, tapi hubungan keduanya sudah jauh lebih baik dan kembali seperti semula. Hanya saja semenjak pengalaman kerjanya tempo hari, Mega jadi merasa lebih butuh dengan hubungan seksual. Karena belum bisa berhubungan dengan suaminya, Mega harus berusaha keras untuk menahan diri.
Cobaan kembali datang ketika Anton belum juga mendapatkan panggilan pekerjaan, sementara Bahrun akan datang kembali dan meminta Mega untuk bersiap-siap. Mega pun menceritakan itu kepada suaminya dan Anton mendukungnya untuk bekerja asalkan bukan di tempat Budi dkk dulu.
Mega merasa agak dilema, di satu sisi dia ingin terus memperbaiki hubungan dengan suaminya, tapi di sisi lain dia butuh untuk menuntaskan hasratnya. Selain itu dia juga tidak yakin suaminya bisa membayar hutang kepada Bahrun dengan cara lain.
Sampai akhirnya hari yang ditunggu tiba. Bahrun memintanya datang ke hotel yang dulu. Keduanya sepakat untuk bertemu di pagi hari agar tidak membuat Anton curiga. Seolah Mega memang menjalani pekerjaan kantoran seperti yang dikatakannya.
###
"Gimana sama suami? sudah baikan atau makin marahan?" Bahrun menyambut Mega dengan ramah. Kali ini dia mengenakan pakaian biasa, bukan mantel mandi.
"Syukurlah sekarang sudah membaik, apalagi karena hutangnya sudah lunas kan," Mega juga membalas dengan ramah.
"Belum dong, makanya ini aku mau buat kontrak perjanjian terkait pelunasan hutangnya," Bahrun tersenyum sembari menyerahkan secarik kertas di tangannya.
Mega balas tersenyum sebelum membaca surat kontrak itu. Disana dituliskan bahwa Mega selaku pihak kedua harus menuruti apapun permintaan dari Bahrun selalu pihak pertama dalam jangka waktu satu bulan terhitung dari hari ini. Namun Mega memiliki tiga kali kesempatan untuk menolak permintaan yang dianggap terlalu memberatkan.
"Gimana? Aman kan?" Bahrun mengajukan pertanyaan retorik. Bagaimana pun juga Mega pasti akan menerima surat kontrak itu karena dia sudah tidak punya pilihan lain.
"Aman sih, tapi aku punya satu syarat," Mega mencoba membuat batasan tambahan.
"Hmm, apakah itu?" Bahrun penasaran apa syarat tambahan yang diminta Mega.
"Apapun yang kita lakukan nanti jangan sampai diketahui atau melibatkan orang-orang terdekatku terutama suamiku," Mega mengajukan persyaratannya.
"Ah, itu sangat boleh, dan sepertinya memang tidak akan bersinggungan sih," Bahrun tersenyum licik.
Di luar dugaan, ternyata hari pertama Mega tidak dihabiskan di hotel bintang lima itu. Bahrun justru meminta Mega untuk mengenakan pakaian yang lebih tertutup dan memakai jilbab. Bahrun mengajak Mega berkeliling menemui beberapa rekanannya di kantor mereka dan mengenalkan Mega sebagai sekretarisnya.
Setelah seharian berkeliling, Mega diizinkan untuk pulang oleh Bahrun. Hari pertamanya benar-benar seperti bekerja sungguhan.
"Mulai besok, saat bekerja denganku kamu harus pake jilbab ya. Boleh dipakai dari rumah atau kalau belum terbiasa ya ganti di hotel aja," Bahrun menitipkan pesan sebelum Mega pulang. Wanita itu tentu saja mengangguk mengiyakan.
###
Setelah beberapa hari bekerja seperti sekretaris sungguhan. Di hari keempat akhirnya Mega mendapatkan tugas di luar job desc sebagai sekretaris.
"Temani aku ke mall, tapi pake baju ini ya," Bahrun memberikan satu set pakaian yang baru saja dibelinya. Blouse putih dengan kancing yang terbuka dan celana hitam kain yang ketat dan menerawang.
"Kalau ini sih seragam untuk sekretaris di film-film bokep kayaknya," canda Mega. Beberapa hari bersama telah mengembalikan kedekatan diantara mereka berdua, sebelumnya mereka agak canggung saat pertama kali bertemu lagi.
"Tapi tetep pake jilbab buat nutupin itu," Bahrun menunjuk ke belahan dada Mega yang terlihat karena diminta membuka dua kancing teratasnya.
"Terserah lah," Mega segera mengenakan jilbab berwarna senada. Keduanya kemudian meluncur ke salah satu mall besar terdekat.
Mega merasa deg-degan karena takut bertemu orang yang dikenalnya. Apalagi dari tadi banyak orang yang melirik ke arahnya. Bagaimana tidak, seorang wanita berjilbab tapi memakai celana hitam yang ketat dan menerawang, sampai terlihat celana dalam putih di dalamnya. Ditambah lagi ujung jilbabnya yang terus bergerak ketika dia berjalan tentunya jadi tidak bisa menutupi belahan dadanya yang terbuka. Bahrun tersenyum mesum ketika ada lelaki yang melirik dari seberang ketika mereka sedang berada di eskalator.
"Gimana rasanya jadi perhatian orang banyak?" bisik Bahrun saat mereka turun dari eskalator.
"Duh, malu banget, kenapa nggak naik lift aja sih," awalnya Mega merasa tenang karena menggunakan masker, hal yang sudah menjadi kebiasaan meski pandemi sudah mulai mereda. Tapi lama kelamaan dia merasa risih juga terus dilihat orang dengan tatapan mesum.
"Oke, kita coba naik lift kalau gitu," Bahrun mengajaknya turun sampai lantai dasar dulu sebelum naik lift menuju lantai teratas.
Ketika sudah berada di dalam lift, Bahrun sengaja menjauh sedikit seolah-olah tidak saling kenal. Kemudian seorang laki-laki muda masuk dan Bahrun memberikan ruang agar pemuda itu berada diantara Bahrun dan Mega. Mega hendak memprotes tapi di tempat yang sempit begitu tentunya dia tidak bisa berbuat banyak.
Bahrun mencolek bahu pemuda itu dan memberikan kode untuk melirik ke arah Mega. Pemuda itu menelan ludah ketika melihat belahan dada Mega yang terbuka. Menyadari tatapan dari pemuda itu, Mega langsung membetulkan posisi ujung jilbabnya.
Bahrun belum menyerah, kali ini dia mengkode untuk melihat ke arah bawah. Lagi-lagi pemuda itu menelan ludah begitu menyadari celana Mega yang ketat dan menerawang.
Lift kembali terbuka di lantai tiga. Kali ini seorang lelaki seumuran Bahrun masuk dan dia mengambil posisi tepat di depan Mega. Entah sengaja atau tidak. Mega jadi makin terdesak di sudut belakang lift.
Lift kembali berjalan, Mega terpaksa membetulkan jilbabnya lagi yang bergeser akibat guncangan lift. Lelaki di depannya terus menatap ke arahnya seolah menunggu momen itu.
Lift terbuka di lantai empat. Lelaki di depan Mega yang tadinya memilih empat tidak jadi keluar dan memilih lantai teratas, lantai yang sama dengan tujuan Bahrun dan Mega.
Lift kembali terbuka di lantai lima, kali ini dua orang pemuda masuk dan mengisi tempat yang tersisa. Bahrun bisa melihat bahwa kedua pemuda itu langsung melirik ke arah Mega saat pertama kali masuk.
Karena sudah terisi penuh, lift tidak berhenti lagi sampai ke lantai teratas. Selama perjalanan lift itu Mega merasakan tatapan mesum dari para lelaki di sekitarnya.
Menjelang sampai di lantai teratas, Bahrun sengaja menggoda Mega dengan meremas pantatnya.
"Ahhh," Mega menjerit kecil. Semua lelaki langsung menoleh ke arah Bahrun yang dengan santainya malah membalas dengan senyuman.
Mereka kemudian berbalik ke arah Mega yang hanya diam saja dan malah memalingkan muka. Lelaki di depannya langsung berbuat nekad dan meremas gunung kembar Mega yang mengintip dari belahan blouse-nya.
"Ehh, jangan, pak," Mega menutupi dadanya dengan kedua tangan, tapi sudah telat, lelaki di depannya sudah merasakan kekenyalan payudaranya.
Seolah dikomando, para pemuda lainnya serempak melakukan remasan juga entah di pantat atau di dada Mega. Bahrun hanya tersenyum melihat wajah para lelaki yang dipenuhi birahi itu.
Untungnya lift kemudian terbuka, menyelamatkan Mega dari serangan para lelaki random itu. Mega bergegas lari keluar diikuti oleh Bahrun. Sementara para lelaki yang lain bertahan di lift agar tidak dicurigai oleh orang-orang di sana.
"Gimana? Seru kan?" Bahrun kembali mendekati Mega ketika mereka sudah jauh dari lift.
"Gila, serem banget tau, sampe shock aku," Mega mengikuti langkah Bahrun menuju ke salah satu gerai pakaian besar di sana.
"Yuk, ikut aku," Bahrun melangkah santai menuju salah satu bilik untuk ganti pakaian.
"Mau ngapain? kan belum ambil baju barunya," Mega bingung ketika mereka berdua sudah masuk ke dalam bilik tanpa membawa pakaian baru.
"Lihat nih, punyamu udah basah banget," Bahrun tiba-tiba meraba lipatan paha Mega. Dan memang benar, bagian ujung celana dalam Mega sudah basah dan membuat bagian luar celana kainnya basah juga. Untungnya hanya sedikit dan tidak terlihat dari luar, kecuali jika Mega mengangkang atau membungkuk.
"Iya nih, sebelum masuk lift tuh udah mulai kepancing, puncaknya pas di dalam lift tadi itu," Mega mengakui apa yang dia rasakan.
"Seru kan?" Bahrun tidak berhenti dan malah menggesek-gesek bagian ujung celana dalam Mega. Celana kain yang ketat dipadu dengan celana dalam basah membuat tangan Bahrun mudah menemukan gundukan tembem Mega.
"Eh, mau disini banget nih?" Mega terkejut melihat Bahrun melanjutkan aksinya.
"Iya dong, emang kamu nggak mau?" Bahrun terus menyerang gundukan bawah Mega, membuatnya semakin basah.
"Nanti aku keluarnya gimana dong kalau celanaku basah," Mega mencoba menawar tapi pasrah menerima serangan Bahrun.
"Oh iya bener juga, tunggu sebentar kalau gitu," Bahrun keluar dari bilik sesaat. Tak lama berselang dia kembali bersama salah satu pegawai toko yang laki-laki dan sebuah celana kain baru.
"Nah, ini istri saya, mas. Tolong dibantu buat gantiin celananya ya," setelah menutup pintu bilik, Bahrun mengangkat tubuh Mega sedikit untuk memudahkan mengganti celananya.
"Eh, gpp nih, pak," pemuda yang menenteng celana baru itu bingung, entah apa yang dikatakan Bahrun kepadanya tadi.
"Buruan, nggak kuat aku lama-lama," perintah Bahrun, Mega hanya bisa pasrah menurut kemauan lelaki mesum itu.
"B, baik, pak. Permisi ya, bu," meski terbata-bata pemuda itu akhirnya memberanikan diri melepaskan celana yang dipakai Mega.
Pemuda itu menelan ludah melihat celana dalam Mega yang sudah basah kuyup. Namun dia profesional dan bersiap untuk memakaikan celana yang baru.
"Eh, itu celana dalamnya lepas sekalian aja mas, celana barunya basah juga dong nanti," Bahrun memberikan intruksi baru yang mengejutkan Mega dan pegawai itu.
"Eh, tapi, pak," pemuda itu semakin bingung.
"Cepetan, mas. Tangan saya kram ini lama-lama," Bahrun terus mendesak pemuda itu, sampai akhirnya dia benar-benar melepaskan celana dalam Mega. Pemuda itu terdiam sesaat terpana melihat gundukan indah yang baru pertama kali dilihatnya langsung.
"Belum pernah liat memek, mas?" Bahrun membuyarkan lamunan pemuda itu.
"Eh, belum pernah kalau langsung, pak. Biasanya cuma lihat dari film porno," pemuda itu menjawab dengan jujur.
"Coba aja pegang kalo gitu, mas. Anggap saja tip dari saya," Bahrun kembali melontarkan ide gilanya. Mega langsung menoleh ke arahnya, begitu juga dengan pemuda itu.
"Cepat sebelum saya berubah pikiran loh, mas," Bahrun mendesaknya lagi. Pemuda itu seperti sedang dihipnotis dan langsung menuruti perintah dari Bahrun. Kapan lagi dia bisa merasakan secara langsung punya istri orang.
"Ahh," Mega mendesah karena kondisi yang sangat mengejutkan itu, seorang pegawai toko meraba area kewanitaanya di dalam bilik untuk ganti pakaian.
"Enak banget ternyata, pak," gumam pemuda itu girang. Dia memberanikan diri untuk memasukkan jarinya ke dalam liang Mega yang masih basah.
"Kalau mau yang lebih enak, keluarin aja itu kontolmu," lagi-lagi Bahrun berkata vulgar dan mengejutkan mereka. Namun kali ini pemuda itu tidak membantah dan langsung mengikuti perintah Bahrun. Dia melorotkan sedikit celananya dan mengeluarkan pusakanya yang telah menegang sempurna, ukurannya sedikit di atas rata-rata.
"Nah, gitu dong, kalau disuruh itu langsung gercep, aku juga ikutan kalo gitu," Bahrun juga mengeluarkan pusakanya yang masih belum berdiri tegak, namun ukurannya sudah lebih besar dari pemuda itu dan membuat pemuda itu sedikit kaget melihat pusaka seperti yang ada di film porno.
Bahrun memutar tubuh Mega menghadap ke arahnya dan meminta Mega untuk memainkan batangnya. Selain itu dia membungkukkan tubuh Mega sampai bagian belakang Mega tepat mengarah ke pemuda itu seolah siap untuk disodok.
"Permisi ya, bu," ujar pemuda itu sebelum menghujamkan pusakanya ke dalam liang Mega. Pemuda itu terlihat belum berpengalaman dan langsung menyodokkan batangnya dengan cepat seperti dikejar setan. Desahan Mega tertahan karena dia harus memasukkan batang raksasa Bahrun ke dalam mulutnya. Itu saja hanya separuh yang bisa masuk ke dalam mulutnya.
"Enghh, enak banget memeknya, bu, engghh," pemuda itu terus menggenjot dengan kecepatan tinggi. Pada saat bersamaan Mega juga semakin barbar memainkan pusaka Bahrun. Begitulah rumus dalam berhubungan intim, semakin besar nikmat yang didapatkan, maka semakin besar pula usaha yang ingin diberikan untuk membalas nikmat itu.
Sekitar 5 menit kemudian pemuda itu akhirnya mencapai klimaksnya. Dasar bocah kurang pengalaman, dia tidak sempat mencabut batangnya dan menumpahkan semua cairan kentalnya di dalam liang Mega.
"Maaf, pak. Ini pengalaman pertama saya soalnya," wajahnya memerah karena takut kepada Bahrun.
"Oke, dimaafkan asalkan jangan cerita kejadian ini kepada siapapun ya," Bahrun memberikan kode kepadanya untuk segera pergi dari sana. Pemuda itu merapikan kembali pakaiannya dan keluar dari bilik kenikmatan itu. Salah satu rekannya di luar menanyakan kepergiannya, dia hanya menjawab dari kamar mandi.
"Mau lanjut disini atau tempat lain?" Bahrun menggoda Mega setelah tersisa mereka berdua.
"Tempat lain aja lah, aku udah lelah dengan semua kejadian hari ini," Mega merangkul Bahrun dengan tubuhnya yang sudah terasa lemas.
###
Setelah mulai terbiasa, Mega pun memakai jilbab sejak berangkat dari rumah. Anton penasaran dengan perubahan yang terjadi kepada istrinya secara tiba-tiba. Pagi itu dia mencoba menanyakan kepada istrinya apa alasannya menggunakan jilbab sekarang.
"Oh, ini cuma persyaratan dari kantor aja kok, mas. Bukan karena aku mau hijrah atau semacamnya," Mega memberikan penjelasan yang masuk akal, tapi entah kenapa Anton tidak bisa mempercayainya. Karena sangat jarang perusahaan meminta pegawainya memakai jilbab, yang sering terjadi justru perusahaan meminta pegawainya untuk melepaskan jilbabnya.
Karena kondisi tubuhnya masih belum benar-benar pulih, Anton tidak bisa membuntuti Mega untuk memastikan kebenarannya. Akhirnya Anton menghubungi Budi untuk mencari informasi. Tapi setelah menghubungi si penagih hutang itu, Anton justru mendapatkan informasi yang di luar perkiraannya. Ternyata selama ini yang melunasi hutangnya adalah Bahrun, dan kemungkinan sekarang Mega bekerja di kantor atau perusahaan milik Bahrun.
Belum sampai ke tempat Bahrun, Mega dikejutkan dengan panggilan telepon dari suaminya. Tidak hanya itu, Anton juga memintanya untuk pulang saat itu juga. Mega pun menyanggupinya dan menyampaikan kepada Bahrun bahwa hari ini dia tidak bisa kesana.
Begitu Mega sampai di rumah, Anton langsung marah-marah dan menyebutnya sebagai pembohong dan pengkhianat. Anton menceritakan segala informasi yang didapatkannya dari Budi dan menuding istrinya selama ini ternyata berselingkuh dengan Bahrun seperti apa yang dia khawatirkan.
"Aku memang bekerja di tempat mas Bahrun, tapi ini semua tidak seperti yang kau bayangkan. Bahkan dulu saat aku bekerja di tempat mas Budi, hanya mas Bahrun satu-satunya pelanggan yang tidak menyentuhku dan hanya mengajakku ngobrol," Mega mencoba memberikan penjelasan kepada suaminya. Salah satu cara untuk menguatkan alibi adalah dengan mencampurkan kebohongan dengan realita.
"Tidak mungkin, aku lebih tahu orang seperti apa Bahrun, tidak mungkin selama ini kalian tidak main di belakang," kebencian Anton yang cukup dalam kepada Bahrun membuatnya tidak bisa menerima apapun alasan yang diberikan oleh istrinya.
"Terserah kalau mas tidak percaya. Kalau begitu besok aku tidak kerja lagi di sana, silakan pikirkan sendiri cara melunasi hutangnya," Mega melangkah masuk ke dalam kamar, percuma berdebat dengan orang yang sedang dipenuhi emosi.
"Iya, mulai besok kamu tidak usah kerja lagi. Biar aku saja yang kerja," Anton berteriak ke arah kamar Mega sebelum masuk kembali ke kamarnya. Hubungan mereka yang tadinya positif dan adem ayem kini kembali lagi ke kondisi minus.
###
"Bajingan, berani juga kau menampakkan hidungmu ke sini, sudah bosan hidup kau rupanya," pagi itu Anton sudah marah-marah sebelum sempat sarapan. Perkaranya sederhana, Bahrun tiba-tiba datang ke rumah mereka untuk memberikan penjelasan. Lelaki itu tetap tenang mendengarkan segala sumpah serapah dari Anton. Setelah Anton mulai kelelahan dan berhenti berteriak, barulah Bahrun mengeluarkan beberapa dokumen dari tas koper yang dibawanya.
"Ini surat kontrak pelunasan hutang yang ditandatangani Mega. Ini surat kontrak detail pekerjaannya untuk mencicil pelunasan hutangnya. Dan ini beberapa dokumentasi pekerjaan yang telah dilakukan oleh Mega. Kalau mau juga ada soft copy hasil pekerjaan Mega beberapa hari ini di sini," setelah suasana mulai kondusif, Bahrun langsung memberondong Anton dengan data-data yang tidak semuanya fakta. Foto dokumentasi pekerjaan Mega memang fakta, tapi itu adalah foto saat mereka berkeliling ke rekanan Bahrun di awal pekerjaan Mega. Bahkan Mega tidak menyadari jika Bahrun memotret aksinya kala itu. Ternyata itu disiapkan untuk kondisi seperti ini.
Surat kontrak pelunasan hutang dan surat kontrak detail pekerjaan sudah pasti rekayasa dari Bahrun, yang asli hanya tandatangan Mega yang diambilkan dari surat kontrak asli yang berdurasi satu bulan saja. Begitu juga dengan soft copy hasil pekerjaan yang ada di flashdisk, itu adalah pekerjaan dari sekretaris asli Bahrun di salah satu kantornya.
"Dan karena sebagian besar pegawai wanita di tempatku memakai jilbab, maka aku juga menyarankan Mega untuk menggunakannya," Bahrun masih terus memberikan info-info rekayasa. Sementara Anton terbungkam sembari melihat satu-persatu dokumen yang ada di hadapannya. Khususnya dokumen tentang detail pelunasan hutangnya. Bahkan setelah beberapa tahun bekerja sebenarnya uang yang didapatkan Mega belum cukup untuk melunasinya.
"Aku menganggapnya lunas karena dia istrimu, tapi aku juga tidak mungkin memberikan uang secara cuma-cuma, makanya aku butuh sedikit bantuannya di salah satu perusahaan milikku yang sedang berkembang," Bahrun kembali menambahkan polesan-polesan dalam cerita fantasi yang dibuatnya. Dan untungnya Anton termakan dengan segala karangan indahnya. Wajahnya berubah dari marah menjadi merasa bersalah.
"Jika memang kamu tidak mengijinkan istrimu untuk bekerja, maka tolong lunasi sisa dari yang telah dilakukan istrimu ini," Bahrun menunjuk ke bagian yang ditandai dengan tinta merah. Seolah-olah Bahrun sudah menghitung kinerja Mega selama ini. Tidak hanya Anton, bahkan Mega pun takjub dengan skenario yang sudah disiapkan oleh Bahrun. Ternyata lelaki itu tidak hanya mengandalkan privilege saja melainkan sangat mahir dan teliti dalam pekerjaannya.
"Tidak, aku yang salah karena dibutakan kebencian masa lalu. Aku mohon maaf kepadamu dan juga kepada istriku. Semua orang pasti bisa berubah kan," Anton mulai melunak dan malah meminta maaf kepada Bahrun dan Mega.
"Tentu, semua orang pasti akan berubah jika mendapatkan kesempatan. Aku juga mohon maaf atas perbuatanku di masa lalu ya," Bahrun membalas permintaan maaf dari Anton. Setelah bersalaman dengan Bahrun, Anton langsung memeluk istrinya juga.
"Eh, mas, sudah aman kah?" Mega terkejut dengan pelukan dadakan dari suaminya. Biasanya suaminya selalu menahan diri agar tidak menularkan kepadanya.
"Aman, aku sudah rapid test kemarin dan akan dijadwalkan untuk PCR seminggu lagi. Aku hanya perlu beristirahat seminggu lagi," Anton menyampaikan kabar gembira itu dengan riang.
"Alhamdulillah, akhirnya ya, mas," Mega balas memeluk suaminya. Akhirnya berita bahagia datang untuk keluarga mereka.
"Selamat, bro. Aku ikut senang," Bahrun menambahkan.
"Terima kasih. Jika minggu depan memang hasilnya akurat, aku akan mengadakan syukuran kecil-kecilan dan mengundangmu juga, istriku jago masak loh," Anton melirik Mega dan keduanya sama-sama tersenyum.
"Wah, kalau gitu aku akan mengosongkan jadwal minggu depan. Eh tapi sebelum itu, maaf jika harus membahas pekerjaan di saat seperti ini. Tapi kalau memang Mega masih diijinkan bekerja di tempatku, maka aku membutuhkan bantuannya untuk ikut bersama timku yang lain menemui klien di luar kota," Bahrun mengecek catatan di hapenya seolah baru saja mengingat sesuatu hal yang penting.
"Tentu saja aku mengijinkannya. Aku percaya dengan kemahiran istriku dalam menangani pekerjaannya. Kapan kalian akan berangkat?" Anton langsung menyetujui permintaan Bahrun.
"Nanti siang bro, aku harus segera booking pesawatnya sebentar lagi," Bahrun lagi-lagi mengecek catatan di hapenya.
"Wah, kalau gitu kamu harus segera mempersiapkan bawaanmu, sayang," Anton menoleh ke arah istrinya. Walau agak ragu karena Mega belum mau berpisah dengan suaminya dan dia juga sudah tahu apa yang sebenarnya disiapkan oleh Bahrun, tapi demi menghormati suaminya maka dia bergegas masuk ke dalam kamar.
"Oke, sayang. Aku siap-siap dulu ya kalo gitu," Anton mengangguk membiarkan istrinya bersiap-siap.
"Syukurlah masih ada tiket pesawat," ujar Bahrun setelah mengutak-atik hapenya beberapa saat.
"Syukurlah, emang mau kemana dan berapa lama?" tanya Anton ketika tersisa mereka berdua.
"Klien besarku ini ada di Bali, bro. Jika berjalan lancar harusnya besok pagi kita sudah balik, tapi kemungkinan terburuknya kita baru akan balik besok lusa," Bahrun berpura-pura cemas seolah ada yang dikhawatirkannya.
"Semoga dengan bertambahnya istriku ke dalam tim kalian bisa membuat tender berjalan lebih lancar ya," Anton menepuk bahu temannya itu untuk memberikan suntikan semangat.
"Thanks a lot, bro. Kehadiran istrimu memang sangat banyak membantu kami," Bahrun tersenyum misterius.
###
Cuaca siang itu cukup cerah, mereka berdua mendarat mulus di bandara Denpasar tepat pada waktunya. Kemudian mobil jemputan dari hotel mengantarkan mereka ke salah satu hotel mewah yang ada di dekat pantai. Sore itu juga mereka langsung check-in sekamar berdua dengan ranjang berukuran King.
"Sangat matang sekali ya rencanamu," sindir Mega ketika mereka sudah berdua di dalam kamar hotel.
"Tapi aku tidak berbohong loh kalau kita disini tidak berdua saja," Bahrun merebahkan tubuhnya di atas ranjang hotel.
"Emang ada siapa lagi?" Mega juga ikut merebahkan diri di ranjang. Sudah cukup lama dia tidak liburan jauh seperti ini.
"Ada deh, tunggu aja nanti malam," Bahrun tersenyum mesum.
"Emang berapa lama kita disini?" Mega bangkit untuk merapikan bawaannya.
"Sehari doang, besok siang balik, biar dikira lancar karena ada kamu," Bahrun ikut merapikan barang-barang bawaannya juga.
"Emang dasar perencana ulung ya," Mega geleng-geleng kepala.
Usai membereskan barang bawaan, keduanya terlelap tidur tanpa ada pertarungan karena memang masih lelah setelah perjalanan.
Mega bangun lebih dulu menjelang maghrib, setelah mandi dan berganti pakaian, Mega membangunkan Bahrun dan berpamitan jalan-jalan keluar. Bahrun hanya bangun sebentar, kemudian tidur lagi setelah mendengar Mega berpamitan keluar.
Hotel itu tepat berada di sebelah pantai. Mega yang tergolong anak pantai tentu saja bersemangat menikmati keindahan pantai di hadapannya. Berbagai macam foto telah dia abadikan. Dia juga berjalan menyusuri pantai dari ujung ke ujung, serta menikmati matahari terbenam yang indah.
Di sepanjang jalan hilir mudik sepasang kekasih yang asyik bercengkrama dan bersenda gurau. Hatinya mencelos membayangkan hubungannya dengan suaminya. Dia merasa iri dengan mereka yang bisa berduaan bersama pasangannya. Sementara dia disini bersama lelaki lain, bahkan mungkin suami dari orang lain, dia juga tidak tahu. Dia mengharapkan bisa berada di sana bersama suaminya. Tapi mungkin jika dengan suaminya justru dia tidak akan bisa kesini. Sungguh hubungan yang terlanjur rumit.
Matahari sudah sepenuhnya tenggelam sejak tadi, digantikan cahaya rembulan yang menghiasi keremangan malam. Mega berjalan gontai kembali ke kamar hotelnya. Namun dia berpapasan dengan Bahrun yang sepertinya baru selesai mandi dan mengajaknya ke rooftop bar yang terletak di lantai teratas.
Suara percakapan manusia dipadu dengan hingar bingar musik memenuhi rooftop bar. Bahrun mengambil salah satu tempat kosong di sudut bar. Mega mengikutinya kesana. Posisi yang lumayan strategis, bisa melihat seisi rooftop bar sekaligus bisa melihat pemandangan pantai di bawah.
"Kamu suka bule nggak?" ujar Bahrun tiba-tiba.
"Tergantung, kalau ganteng ya suka-suka aja," balas Mega sembari menyeruput minumannya. Dia lebih memilih menatap pantai daripada para muda-mudi yang asyik berjoget di bagian tengah rooftop bar.
"Kalau bule yang itu gimana?" Bahrun menunjuk seorang lelaki blonde yang sepertinya baru saja datang.
"Lumayan lah," Mega menoleh ke arah yang ditunjuk Bahrun dan melihat lelaki berkulit putih dan berambut blonde, sepertinya berasal dari Inggris atau Amerika Serikat.
"Atau kamu lebih suka dengan yang korea-korea seperti itu?" kali ini Bahrun menunjuk seorang lelaki yang duduk sendirian di seberang mereka. Sama seperti Mega, lelaki itu terlihat lebih asyik menikmati pemandangan pantai.
"Lumayan juga," Mega kembali mengikuti arah yang ditunjuk Bahrun. Kali ini lelaki kebangsaan Korea dengan rambut hitam pendek seperti baru saja menyelesaikan wajib militer.
"Lebih ganteng yang mana? Jangan bilang aku yang paling ganteng ya, kalo itu sih udah pasti," goda Bahrun.
"Sama-sama ganteng, tapi yang jelas keduanya lebih ganteng dari kamu," Mega membalas godaan Bahrun.
"Nggak masalah, yang penting aku punya kelebihan lainnya," Bahrun melirik ke arah pusakanya.
"Dasar mesum," Mega mengabaikannya dan kembali menatap pantai.
Tanpa sepengetahuan Mega, Bahrun melambaikan tangannya kepada mereka dan keduanya langsung datang menghampiri begitu melihat Bahrun. Seolah dari tadi mereka memang sedang mencari Bahrun.
"Apa kabar, bos?" ujar lelaki blonde dengan bahasa Indonesia yang beraksen British.
"Selalu baik. Bahasamu sudah lebih baik ya, Dave," Bahrun mempersilakan David untuk duduk di depannya.
"Jangan terlalu memujinya, bos. Nanti dia jadi malas belajar," lelaki Korea datang tepat di belakangnya dengan penggunaan bahasa Indonesia yang jauh lebih baik.
"Yah, dia memang tidak sepintar dirimu, Kang. Jadi kita harus menghargai usahanya," Bahrun memberikan isyarat agar Kang duduk di depan Mega.
"Tuh, dengar apa kata bos," Dave mengejek Kang.
Mega hanya terdiam mematung ketika tiba-tiba dua lelaki bule yang tadi ditunjuk oleh Bahrun ternyata adalah temannya dan sekarang keduanya duduk santai di depannya.
"Ah, iya, perkenalkan, Mega, angel kita malam ini," Bahrun akhirnya mengenalkan Mega kepada mereka.
"Wow, so cute," Dave yang pertama berkomentar sembari mengulurkan tangan. "Nama saya David, boleh dipanggil Dave," lanjutnya.
"Nama saya Mega," Mega membalas jabat tangannya.
"She's hot, like Megan Fox, right?" Dave menanyakan pendapat lelaki Korea di sebelahnya
"Nope, dia lebih mirip artis Jepang, Nao Jinguji. Perkenalkan nama saya Song Kang, terserah mau panggil Song atau Kang," kali ini gantian lelaki Korea yang mengulurkan tangan. Mega menjabatnya juga setelah mengucapkan namanya lagi.
"Oke, perkenalan cukup sampai disini, mari kita menikmati malam ini, silakan pesan sepuas kalian, aku yang traktir," Bahrun mengangkat gelasnya, disambut kedua rekan bulenya.
"Hidup Bos B," dua lelaki bule itu serempak mengacungkan gelasnya.
###
Malam semakin larut, pesta semakin liar. Mereka yang tadinya berjoget biasa di bagian tengah bar, sekarang ada yang sampe striptease dan melepaskan pakaiannya. Pasangan lelaki dan perempuan dengan santainya berciuman tanpa mempedulikan sekitar, bahkan ada yang sampai saling menggerayangi satu sama lain. Mega merasa culture shock disana.
"Seru kan?" Bahrun berbisik di telinga Mega, bersamaan dengan tangannya yang mulai menggerayangi tubuh Mega.
"Eh, mau ngapain? Dilihat orang loh," Mega terkejut dan tidak tahu harus berbuat apa. Sementara kedua lelaki bule menatapnya seperti tengah menonton televisi.
"Tenang aja, semuanya fokus dengan urusannya masing-masing, tidak akan ada yang peduli," Bahrun melepaskan bra Mega dan mulai melanjutkan pergerakan tangannya ke bawah.
"Itu ada dua temanmu," Mega masih merasa kagok.
"Justru ini aku sedang mengajari mereka," Bahrun duduk di kursi yang sama dengan Mega, tepatnya dia memangku tubuh Mega sembari menggerayanginya dari belakang. Tangan kanannya memainkan puting Mega, sementara tangan kirinya menyusup di rok Mega dan memainkan gundukan tembem Mega.
"Jangan disini ah, nanti aja di kamar," Mega masih memprotes, tapi saat dia melihat ke sekelilingnya ternyata hampir semuanya tengah melakukan hal yang sama. Saling bercumbu dengan pasangan masing-masing tanpa mempedulikan pandangan dari sekitar.
Alih-alih mendengarkan permintaan Mega, Bahrun malah semakin asyik menggerayangi tubuhnya. Bahkan celana Mega dia lorotkan sampai ke lutut untuk mempermudah serangannya. Dave dan Kang terlihat fokus mengamati segala aksi yang dilakukan Bahrun, sementara Mega semakin salting karena dilihat oleh mereka.
"Oke, she's ready," gumam Bahrun saat mengetahui liang Mega telah basah. Lelaki itu membalikkan tubuh Mega menghadapnya dan mengeluarkan pusakanya yang berukuran di atas rata-rata.
"Wow, the big d is coming out," Dave terlihat semakin antusias menikmati tayangan di depannya.
Bahrun mengarahkan pusakanya masuk ke liang Mega secara perlahan. Kali ini Mega tidak protes lagi karena dia membelakangi dua lelaki bule itu. Dengan mudahnya Bahrun menggoyangkan tubuh Mega naik turun untuk mengocok pusakanya. Wanita itu mulai mendesah keenakan dibuatnya.
"Body-nya bagus juga ternyata," Dave lagi-lagi berkomentar setelah melihat payudara dan pantat Mega.
"Shut up, Dave. Let's enjoy the moment," Kang memprotesnya yang berisik terus dari tadi.
Permainan yang liar dari Bahrun di tengah hiruk pikuk manusia membuat Mega kelabakan. Tidak seperti biasanya, hanya beberapa menit saja Mega sudah mencapai klimaksnya yang pertama. Wanita itu melenguh keenakan sembari merangkul tubuh Bahrun yang kekar.
"Siapa yang mau mencoba?" Bahrun memberikan penawaran kepada kedua temannya setelah berhasil memberikan klimaks pertama untuk Mega.
"Me first," Dave langsung bangkit dari duduknya dan meminta bertukar posisi dengan Bahrun.
Meski merasa canggung, Mega tetap mencoba mengikuti arah permainan. Dave yang sudah dilanda birahi langsung berjongkok di bawah Mega dan melumat liang kewanitaannya. Lelaki British itu menjilat cairan kenikmatan Mega sampai habis. Jilatannya yang penuh teknik berhasil membawa Mega mencapai klimaks keduanya, yang lagi-lagi dijilat sampai habis oleh Dave.
"Gantian ya," Dave berdiri dan menjulurkan batangnya ke arah Mega. Pusakanya yang belum disunat telah menegang sempurna dan berukuran di atas rata-rata. Berbeda dengan milik Bahrun, batang Dave agak letoy meski berukuran mendekati Bahrun. Tanpa mempedulikan pandangan sekeliling, Mega membalas segala teknik yang diberikan oleh Dave dengan kemampuan yang dimilikinya.
"Enggh, so cute," racau Dave tidak tahan melihat wanita imut di depannya berusaha menyajikan serangan balasan. Meski tekniknya biasa saja, tapi Dave terlanjur nafsu kepada Mega dan akhirnya mencapai klimaksnya juga. Dave mengarahkan semburannya ke lantai agar tidak mengotori Mega.
Suara sorakan tiba-tiba terdengar dari beberapa orang di sekitar mereka. Sebagian besar pengunjung ternyata sedang menyaksikan duel antara Mega dengan Dave. Dan mereka bersorak karena Mega berhasil membuat Dave mencapai klimaksnya. Dave hanya tersenyum santai, sementara Mega malu karena tidak menyadari banyak yang mengawasinya.
"Ini giliranku sekarang," Kang bangkit dari kursinya dan meminta Dave untuk duduk menggantikannya. Para penonton kembali bersorak ketika Kang menghampiri Mega. Ibarat adegan di drama Korea, Kang mengangkat tubuh Mega dan memagut bibirnya. Suara sorakan penonton membuat Mega panas dan membalas ciuman panas dari Kang.
Setelah berciuman cukup lama, keduanya melanjutkan dengan saling melepaskan pakaian masing-masing sampai sama-sama telanjang bulat. Entah karena buaian alkohol atau karena sudah kepalang basah, Mega sudah tidak lagi mempedulikan orang di sekitarnya. Dia melayani segala aksi yang dilancarkan oleh Kang. Duel diantara mereka bukanlah duel panas seperti dengan Dave tadi, melainkan persetubuhan yang lembut dan romantis. Beberapa pasangan yang menonton jadi terpancing juga dan memilih untuk menirunya bersama pasangannya alih-alih melanjutkan menonton aksi mereka.
Pusaka Kang juga berukuran di atas rata-rata, tapi tidak letoy seperti Dave dan tidak sebesar milik Bahrun. Bagi Mega ternyata batang Kang terasa pas di liangnya, keseluruhan pusakanya telah ditelan sempurna oleh liang Mega. Kang meraung keenakan menikmati kehangatan jepitan Mega.
"Oh, shit. Benar ucapanmu, bos. It's the real deal," Kang semakin terbakar gairahnya.
"Sejak kapan omonganku pernah salah," Bahrun hanya tersenyum melihat salah satu rekan bisnisnya kelojotan keenakan.
Bukan hanya Kang yang terpacu birahinya, Mega pun demikian, meski dia sudah mendapatkan dua kali klimaks dengan Kang tapi tubuhnya masih terus meminta lebih. Begitu juga para penonton yang masih bertahan menyaksikan mereka. Semuanya terus berteriak, "Encore, encore, encore."
Tapi pergumulan panas itu akhirnya berakhir pada klimaks Mega yang ketiga, hampir bersamaan dengan klimaks pertama Kang. Lelaki bertubuh atletis itu akhirnya tidak mampu menahan diri lagi dan menumpahkan semua cairannya ke lantai, sama seperti yang dilakukan Dave. Kang merebahkan tubuh lemas Mega di kursi sembari mengelus rambutnya.
"Thanks, angel Mega," ucapan Kang disambut sorakan dari belasan penonton yang masih bertahan dan bisa mendengarnya.
Kang kembali duduk di sebelah Dave, gantian Bahrun yang bangkit dari duduknya dan membopong tubuh Mega. Meski tubuhnya sudah lemas, tapi berani-beraninya Mega menyusupkan tangannya ke celana Bahrun dan menarik pusakanya keluar.
"Wow," seruan tertahan dari beberapa penonton wanita serempak muncul ketika pusaka Bahrun menyembul keluar. Mega tersenyum licik seolah sukses membalas dendam.
"Masih mau lagi kah?" bisik Bahrun sembari menjilati leher Mega.
"Sepertinya bisa sekali lagi, tapi tubuhku sudah lemas, tidak bisa berdiri," balas Mega lemah.
"Oke, bisa diatur, Dave, Kang, help me," Bahrun memanggil kedua rekannya. Setelah keduanya berdiri di dekatnya. Bahrun duduk bersandar di kursi, Mega duduk membelakanginya dengan kondisi liangnya sudah dimasuki sebagian pusaka Bahrun. Dave dan Kang berada di kanan kiri Mega untuk memegangi tubuhnya agar tetap bisa berdiri. Tidak hanya memegangi, mereka berdua bertugas untuk menyerang payudara dan ketiak Mega, masing-masing mendapatkan tugas satu sisi.
"Okay, let's start," Bahrun memberikan aba-aba. Dia mulai menggoyangkan tubuh Mega naik turun secara perlahan, begitu juga Dave dan Kang yang menyerang payudara dan ketiak Mega pada saat bersamaan. Dave dengan ganas menjilati sekujur ketiak kanan Mega, sembari memilin puting kanannya. Sedangkan Kang hanya mengendus ketiak kiri Mega dan meremas payudara kirinya.
Posisi Mega membelakangi Bahrun dan justru menghadap ke arah penonton. Mereka semua bisa melihat tubuh telanjang Mega dan reaksi yang dia berikan saat tiga lelaki dari ras yang berbeda menyerangnya pada saat bersamaan.
Suara sorakan penonton semakin keras memberikan semangat kepada Mega yang tengah diserang berbagai titik sensitif di tubuhnya. Menit demi menit berlalu tanpa terasa, sampai akhirnya Mega kembali mencapai klimaksnya. Bukan klimaks yang biasa, saat Bahrun mencabut batangnya ternyata liang Mega menyemburkan cairan cukup deras ke arah penonton. Itu adalah pertama kalinya Mega merasakan orgasme yang dibarengi dengan squirt. Penonton kembali bersorak bersamaan dengan limbungnya tubuh Mega. Bahrun dengan cepat langsung meraihnya dan membopong tubuhnya.
"Terima kasih, teman-teman, kami ijin pamit dulu," Bahrun berdiri dan melambaikan tangan kepada para penonton. Mega masih bergelayut di tubuhnya, dan pusakanya masih menegang sempurna memancing birahi para penonton wanita. Dave dan Kang mengikutinya dari belakang. Suara sorak sorai dan tepuk tangan mengiringi kepergian mereka.
###
Mega sarapan sendirian di salah satu sudut restoran yang menghadap ke kolam renang. Bahrun masih tertidur pulas, begitu juga Dave dan Kang di kamarnya masing-masing. Mega asyik menyantap makanan yang lezat sambil melihat anak kecil bermain di kolam renang bersama kedua orangtuanya. Hatinya mencelos membayangkan dia adalah salah satu orangtua yang ada di sana. Menemani anaknya yang bermain dengan riang gembira. Tapi bagaimana dia bisa memikirkan anak jika rumah tangganya sudah terlanjur rusak seperti ini. Apalagi setelah mengingat kejadian gila semalam. Semuanya itu terasa tidak nyata bagaikan mimpi.
Sayangnya itu bukan mimpi tapi kenyataan. Aktifitas seksualnya sudah sejauh itu, berbanding terbalik dengan suaminya yang hanya pernah berhubungan seks dengan dia saja. Perasaan bersalah yang besar membuatnya memutuskan untuk mengirimkan pesan kepada suaminya. Hal yang akhir-akhir ini jarang dia lakukan, lebih banyak suaminya yang menghubunginya duluan.
Beberapa menit menunggu ternyata suaminya tidak kunjung membalas, kemungkinan masih tertidur. Mega memilih kembali ke kamar untuk menghindari pemandangan keluarga yang ada di depannya. Kebetulan makanannya juga sudah habis.
"Pagi, Meg, gimana semalam? seru kan?" Bahrun ternyata sudah terbangun dan bersiap untuk mandi. Dia tidak mengenakan apa-apa dan hanya membawa handuk hotel.
"Nggak masuk akal," balas Mega sambil geleng-geleng kepala. Bahrun tertawa puas mendengarnya.
"Hari ini kita checkout jam 12, tapi kalau mau sebelum itu juga boleh, barangkali mau beli oleh-oleh dulu," Bahrun mengingatkan Mega.
"Oke, barangku sudah siap semua kok, tinggal berangkat aja," Mega menunjuk ke arah kopernya yang sudah tertata rapi. Tadi pagi dia memang sudah menyiapkan segalanya sebelum mandi dan sarapan.
"Sip, aku mandi dulu kalo gitu. Eh, mau lanjut satu ronde lagi kah?" goda Bahrun.
"Hahhh," Mega mengambil nafas panjang layaknya orang yang mengeluh, Bahrun kembali terbahak. Belum sempat Mega membalas Bahrun tiba-tiba hapenya berbunyi. Panggilan telepon dari suaminya.
"Halo, sayang," Mega langsung mengangkat teleponnya. Bahrun mencium kesempatan dalam kesempitan. Dia menunda mandinya untuk sementara dan mendekati Mega yang duduk di atas ranjang.
"Iya, sayang, Alhamdulillah kemarin lancar, harusnya siang ini kita perjalanan pulang," Mega menjawab pertanyaan suaminya tentang kegiatannya kemarin.
"Yang ikut? banyak sih sebenernya, tapi tim intinya cuma 4, masing-masing dikasih kamar sendiri-sendiri," Mega kembali melanjutkan kebohongannya. Bahrun mulai mendekat dan menjalankan ide liarnya. Menggerayangi tubuh Mega yang tengah telponan dengan suaminya.
"Apa sayang? aku nggak denger," Mega memberikan kode kepada Bahrun untuk menghentikan aksinya. Tapi tentu saja Bahrun malah semakin aktif menggerayangi tubuh Mega. Satu percakapan, satu pakaian Mega terlepas. Sampai akhirnya Mega duduk telanjang di atas ranjang.
Tidak berhenti di sana, Bahrun naik ke ranjang dan memeluk tubuh Mega dari belakang. Tentunya bukan sekedar memeluk saja, tetapi kedua tangannya bergerak aktif meraba payudara dan area kewanitaan Mega. Alhasil Mega terpaksa harus menahan diri agar tidak bersuara, dia lebih banyak mendengarkan perkataan dari suaminya saja dan hanya menjawab dengan iya atau tidak.
Untungnya tak lama kemudian suaminya mengakhiri panggilannya setelah meminta Mega untuk mengabari jika sudah pulang. Begitu panggilan selesai, Mega langsung melepaskan desahannya. Bahrun tertawa melihat tingkah Mega yang menggemaskan.
"Kamu bener-bener ya, aku ini udah mandi loh tadi," Mega ngambek kepada Bahrun.
"Yauda mandi lagi aja," Bahrun tidak peduli dan menggendong tubuh Mega ke kamar mandi. Bahrun melanjutkan aksinya yang sempat terhenti tadi. Bathtub menjadi saksi pergumulan Mega dan Bahrun untuk kesekian kalinya.
###
Setelah berpamitan dengan Dave dan Kang, Bahrun dan Mega pulang ke daerah asalnya. Mega kembali menjalani realita dimana dia harus memilih diantara menjadi ibu rumah tangga yang baik atau menuruti hawa nafsunya yang semakin meninggi. Kebetulan Bahrun memberikan cuti kepada Mega selama beberapa hari sampai acara syukuran yang diadakan suaminya.
Selama beberapa hari Mega lebih banyak merenung dan memikirkan rencananya ke depan. Sementara Anton terlihat bersemangat menjelang jadwal tes PCR-nya.
Hari yang ditentukan akhirnya tiba. Anton menjalani pemeriksaan dengan baik dan ternyata Anton dinyatakan sudah pulih seratus persen. Mega tentu saja senang mendengar kabar kesembuhan suaminya. Dia pun membantu suaminya menyiapkan makanan untuk syukuran kecil-kecilan. Selain mengundang tetangga, Anton juga mengundang Bahrun dan para penagih hutang yang dia anggap menjadi bagian dari kehidupannya beberapa waktu belakangan.
Acara syukuran berjalan khidmat dan sederhana. Usai pembacaan doa dari para tetangganya, acara dilanjutkan dengan makan bersama. Bahrun, Budi dan dua ajudannya ikut hadir di acara itu. Mereka ikut makan bareng berbaur dengan tetangga yang lain. Setelah berjalan hampir dua jam, acara itu diakhiri dengan pembacaan doa lagi. Kemudian satu-persatu tetangganya berpamitan pulang, sampai akhirnya menyisakan Bahrun, Budi, Joko, dan Rudi. Mereka membantu Anton dan Mega membersihkan sisa-sisa makanan dan merapikan tempat yang digunakan untuk syukuran.
Tak terasa sudah jam 9 malam. Ketika para penagih uang hendak berpamitan, Bahrun mengeluarkan hadiah yang telah disiapkannya. Beberapa botol minuman keras mahal yang didapatkannya dari luar negeri.
"Mari kita memulai syukuran ronde kedua. Ini minuman untuk membersihkan jiwa dan raga Anton agar terhindari dari segala jenis penyakit," Bahrun mengangkat botolnya. Budi dan dua rekannya tentu saja tidak jadi pulang dan memilih untuk mencicipi minuman yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya.
"Terima kasih atas hadiahnya, bro. Sayang, ayo kumpul sini," Anton memanggil istrinya yang tengah beristirahat di kamar setelah selesai beres-beres.
"Ada apa mas?" Mega keluar lagi setelah berganti pakaian dengan daster rumahan.
"Syukuran ronde kedua, kalian bisa minum kan?" Bahrun menodongkan botolnya ke arah Anton dan Mega.
"Bisa dong, ayo kita lanjut," Anton mengambil salah satu gelas dan menyodorkannya ke Bahrun yang bertindak sebagai penyaji minuman.
Malam semakin larut, obrolan demi obrolan sudah terlewati, gelas demi gelas sudah ditandaskan. Tidak terasa hanya tersisa satu botol saja, itu pun tinggal setengahnya.
"Ayo, yang lagi syukuran lanjut terus dong," Bahrun memanasi Anton untuk menghabiskan sisa di botol.
"Udah sayang, kamu udah mabuk ini?" Mega berusaha mengingatkan suaminya.
"Aman sayang, kapan lagi bisa begini, ini terakhir kalinya deh aku mabuk begini," Anton terus menyodorkan gelas kepada Bahrun dan tentu saja Bahrun terus mengisinya sampai botol terakhir benar-benar tandas.
Bahrun yang memang tidak banyak minum tentunya masih bugar, sedari tadi dia lebih banyak bertugas sebagai penyaji saja. Begitu juga Mega yang hanya minum beberapa gelas. Budi dan dua rekannya terlihat sudah lumayan mabuk. Mereka bertiga duduk sempoyongan di sofa ruang tamu. Dan yang paling parah tentunya adalah Anton. Setelah lama tidak minum, dia langsung minum dalam jumlah banyak. Alhasil dia sampai tergeletak tak sadarkan diri di ruang tamu.
"Duh, syukuran kok malah jadi merepotkan begini," gerutu Mega melihat suaminya tertidur pulas.
"Santai, biar aku yang membawanya ke kamar," Bahrun dengan sigap mengangkat tubuh Anton dan membopongnya menuju ke kamar. Mega membantu membukakan pintu kamar dan menyiapkan tempat tidurnya.
"Gimana kabarmu?" Bahrun tersenyum ramah setelah membaringkan Anton di ranjangnya.
"Baik," balas Mega agak ketus.
"Lho, kok jadi ketus gini sekarang," Bahrun masih tetap tersenyum.
"Kamu sih, pake bawain minuman segala," protes Mega masih tidak terima melihat suaminya mabuk sampai seperti itu.
"Iya maaf, jangan ngambek gitu ah," Bahrun mencolek pantat Mega yang menjeplak di dasternya.
"Eh, malah colek-colek, dasar mesum emang," Mega menjauh untuk menghindari serangan Bahrun.
"Kok kamu kuat minum sih?" Bahrun mengalihkan topik dan menarik Mega mendekatinya.
"Kata siapa kuat?" Mega tidak melawan saat Bahrun merangkulnya.
"Hmm, berarti udah kepengen ya? udah berapa lama nih sejak di Bali?" Bahrun berbisik sembari mengendus telinga Mega.
"Ya terakhir kali itu," Mega pasrah menerima serangan Bahrun.
"Berarti udah saatnya nih," Bahrun tidak melorotkan daster Mega, tetapi melepaskan bra dan celana dalamnya. Kedua tangannya bergerak lincah menjelajah dibalik daster.
"Eh, jangan disini dong, kan ada suamiku," protes Mega, tapi dia tidak menghentikan serangan Bahrun.
"Justru itu lebih seru kan," Bahrun kembali berbisik di telinga Mega. Tak mau kalah, Mega balas mengeluarkan pusaka Bahrun dari sarangnya.
"Awas ya kalo suamiku sampe bangun, aku cabut ini," Mega meremas batang Bahrun yang perlahan mulai menegang.
"Jangan dong, nanti kalau itu dicabut, nggak ada yang muasin kamu dong," keduanya mulai berpagutan sembari menyerang titik sensitif satu sama lain. Bahrun melepaskan semua pakaiannya di lantai, sementara Mega tetap memakai dasternya.
"Wah, sepertinya lebih menarik kalo pake ini," Bahrun melihat ada penutup mata untuk tidur di atas meja dekat ranjang. Tanpa membuang waktu dia segera meminta Mega memakainya.
"Duh, ada-ada aja deh bapak ini," Mega menggerutu tapi tetap memakainya. Dia berbaring di atas ranjang tepat di sebelah suaminya yang tertidur. Sementara Bahrun menggerayanginya dari samping ranjang.
Beberapa saat kemudian, Mega merasakan ada hal yang aneh. Dia merasakan perubahan pada tangan yang menggerayanginya. Tidak hanya itu, dia merasa ada yang naik ke atas ranjang juga. Secara reflek, Mega membuka penutup matanya. Dia terkejut ketika yang ada di hadapannya bukan Bahrun melainkan trio penagih hutang. Budi yang naik ke atas ranjang dan bersiap menghujamkan batangnya. Rudi duduk di samping ranjang dan bertugas memainkan payudara Mega dengan tangannya yang lincah. Sementara Joko yang berada di sebelah atas ranjang menarik tangan Mega ke atas dan bersiap menjilati ketiaknya. Mega melihat ke sekeliling, ternyata Bahrun ada di dekat pintu dan tengah merekam aksi mereka dengan hape milik Mega.
"Yok, action," Bahrun memberikan aba-aba. Ketiga lelaki paruh baya itu segera menjalankan tugasnya masing-masing. Menyerang Mega dari tiga titik sensitif. Sementara itu, Bahrun bak fotografer profesional berjalan kesana-kemarin merekam dari sudut yang tepat dan akurat.
"Gimana Meg? sudah lama kan nggak ngerasain punya kita?" goda Budi sembari memegangi pinggul Mega untuk memudahkan sodokannya.
"Ketiaknya ini loh yang bikin kangen, udah mulus, wangi pula," Joko antusias menjilati kedua ketiak Mega bergantian.
"Sebelah kanan yang lebih sensitif, Jok," Bahrun memberikan petunjuk.
"Ah, siap, bos. Aku fokuskan yang kanan kalo gitu," Joko langsung menuruti perkataan Bahrun.
"Bagus, kalau dari situ lebih pas juga buat direkam," Bahrun melanjutkan perekamannya.
"Enghh,,enghh,,enghhh," Mega masih terus menahan desahannya karena kuatir suaminya akan terbangun.
"Udah, lepaskan aja Meg, suamimu pasti baru bangun besok pagi," Budi masih bergoyang dengan irama pelan menikmati jepitan hangat memek Mega.
"Aku udah nggak tahan nih, bos, gimana ini," Joko mengakhiri jilatannya, batangnya sudah berkedut-kedut.
"Aku kurang dikit nih, minta dikocokin dulu aja," Budi memberikan saran.
"Eh, aku juga mau kalo gitu," Rudi bergerak lebih cepat dan mengarahkan tangan Mega ke batangnya. Berbeda dengan saat diperkosa dulu, kali ini Mega lebih responsif dan bersedia melayani balik. Meski dalam kondisi berbaring, Mega berusaha mengocok batang Rudi dengan tangan kanannya.
"Sialan si Rudi, aku gimana nih," Joko menggerutu karena kalah cepat dengan Rudi.
"Itu mulutnya kan masih nganggur, Jok," lagi-lagi Bahrun memberikan arahan.
"Wah, bos emang pengalamannya banyak," Joko mendekatkan batangnya ke wajah Mega, untuk memudahkan Mega, Joko sendiri yang menggoyangkan batangnya, sementara Mega hanya menyambut dengan mulutnya.
"Nah, mantap nih posenya," setiap menemukan pose yang bagus, Bahrun menghentikan rekamannya sesaat dan memotret momen itu untuk mengabadikannya, kemudian dia melanjutkan rekamannya lagi.
"Aku udah mau keluar nih, tembak dalam ga masalah kan bos?" Budi bertanya kepada Bahrun alih-alih kepada Mega.
"Hajar," balas Bahrun singkat. Budi seketika menumpahkan cairan kentalnya ke dalam liang Mega. Begitu Budi mencabut batangnya, cairan kental merembes keluar dari liang Mega yang masih terlihat sempit.
"Oke, gantian aku," Rudi langsung sigap menggantikan posisi Budi. Sementara Budi yang baru saja mencapai klimaksnya istirahat sebentar.
"Mumpung cuma dua orang, ganti posisinya," Bahrun kembali memberikan arahan. Posisi Mega diubah menjadi merangkak di atas ranjang. Rudi menyodok liangnya dari belakang, sementara Joko lanjut dioral oleh Mega, kali ini dengan mulut dan tangannya.
"Gila ni cewek, memeknya masih sempit aja, padahal udah sering dipake bos kan?" Rudi mulai menghujamkan batangnya secara perlahan, menikmati jepitan Mega dulu sebelum mulai menggenjotnya dengan cepat.
"Ya, masih belum sering lah, cuma sesekali," Mega menoleh ke arah Bahrun, tidak terima dibilang belum sering. Bahrun tertawa gemas melihatnya.
"Aduh, aku nggak kuat nih, bahaya banget memeknya," beberapa menit kemudian Rudi sudah tidak tahan.
"Cemen amat lu, masak kalah sama bos Budi," sindir Joko.
Mendengar kesombongan Joko, Mega meningkatkan intensitas oralnya berdasarkan pengalaman yang telah didapatkannya. Tidak hanya mengocok dan menjilat, Mega juga menghisap pangkal pusaka Joko. Sesekali memutar pangkalnya dan menjepitnya dengan tangan. Mega mencoba menerapkan semua teknik yang dipelajarinya, dan ternyata kali ini berhasil. Bersamaan setelah Rudi menumpahkan cairannya ke dalam liang Mega, begitu juga Joko yang menumpahkan cairannya di mulut Mega.
"Jok, Jok, kirain jago, tapi baru kena mulut aja udah keluar," Rudi balas menyindir.
"Eh, jangan salah, dia udah jago ini ternyata, coba aja sendiri nanti kalo ga percaya," Joko tidak terima karena sudah keluar duluan sebelum mencicipi jepitan Mega.
"Udah, jangan berisik, istirahat dulu tuh sebelum lanjut lagi, kita gas sampai pagi pokoknya," Bahrun menghentikan perdebatan mereka.
"Eh, bos, aku ada ide nih, yuk kita foto bareng," Budi mengajukan ide gilanya. Bahrun menyetujuinya. Mereka berempat mengelilingi Mega yang sudah dilepaskan dasternya. Empat lelaki dalam kondisi telanjang mengelilingi seorang wanita yang telanjang juga, dan ada suaminya yang tengah tidur di sebelahnya.
"Bagus juga idemu, Bud, ini mahakarya nih," Bahrun mengagumi hasil fotonya sendiri. Untungnya dia sudah menyiapkan tripod.
"Cocok nih bos kalau dikasih caption : Suami tidak berguna," komentar Budi disambut tawa rekan-rekannya. Mega mendelik tajam mendengarnya.
"Becanda doang, Meg. Gimana, udah siap digas lagi?" Bahrun menyadari perubahan reaksi Mega dan mencoba menenangkannya. Mega hanya menunduk pasrah. Perjalanan mereka masih panjang sebelum pagi menjelang.
###
Epilog :
"Headline news hari ini. Seorang laki-laki yang baru saja sembuh dari Covid ditemukan mati gantung diri di kamar mandi rumahnya," seorang presenter wanita membacakan berita seperti biasa. Ya, kematian yang berkaitan dengan Covid memang sudah menjadi hal yang biasa, entah setelah sudah sembuh maupun sebelum sembuh.
"Di saku celana korban terdapat sebuah kertas wasiat dengan tulisan tangan korban yang bertuliskan : 'Saya akan menunggu hukuman untuk kalian di sana'. Sementara barang bukti lainnya yang ada di TKP adalah smartphone milik istrinya yang sepertinya dibanting oleh korban sampai rusak. Polisi sedang mengamankan barang tersebut untuk dicek data apa yang ada di dalamnya," presenter wanita itu melanjutkan isi beritanya dengan nada datar, sepertinya dia sudah bosan membacakan berita-berita serupa.
"Istri korban yang berinisial M ditemukan dalam keadaan pingsan setelah menjerit histeris saat menemukan mayat suaminya. Para warga datang berbondong-bondong setelah mendengarkan teriakan istrinya itu. Sekian untuk headline news hari ini, sampai berjumpa lagi besok di jam yang sama," presenter wanita itu mengambil nafas panjang setelah mengakhiri beritanya.
- END -
"Tidak semua penjahat mendapatkan hukumannya. Tidak semua pahlawan mendapatkan penghargaannya. Pahlawan lebih sering tidak dihargai, sementara penjahat lebih sering menguasai"
0 comments:
Post a Comment